Cendeklawan dan Kebebasan - Journal Portal

12
Cendeklawan dan Kebebasan Akademik Imam Moedjiono Dosen & PD III FIAI UII Yogyakarta Salah satu hasil reformasi yang dapat dirasakan ofeh segenap bangsa Indonesia adalah kebebasan berbicara. Pada puncaknya kebebasan berbicara tersebut sering diidentikkan dengan euphoria, karena kadar kebebasan tersebut terkadang dipandang melebihi ambang batas kewajaran. Hal tersebut tercermin pada fenomeria ketiidupan berbagal komunitas di tengah masyarakat Indonesia. Sebagian masyarakat sangat merasakan kebahaglaan dengan adanya kebebasan berbicara, setelah merasa tercekam selama tiga puluh dua tahun. Akibatnya mereka memanfaatkan aura kebebasan berbicara tersebut secara optimal melalui berbagai media. Koran, majalah, tabloid, radio dan televisi mereka manfaatkan untuk mengekspreslkan kebebasan berbicara tanpa takut dibredel atau dicabut izin siarannya. Namun demikian ada pula sebagian masyarakat yang merasakan kekhawatiran mendalam, bahkan trauma, akibat adanya kebebasan berbicara, yang terkadang dirasakan telati melampaui batas kewajaran. Pernyataan- pernyataan yang sarkastis, caci-maki, bahkan hujatan terhadap kelompok tertentu yang disampaikan dengan enjoy, tanpa disadari telah merugikan gerakan reformasi itu sendiri, karena di samping bersifat kontra produktif dan dapat disalah-tafsirkan dengan agitasi dan provokasi yang potensial membuahkan perusakan, pembakaran dan penjarahan fasilitas umum maupun harta milik pribadi kalangan etnis tertentu, juga memiliki potensi untuk mengarah kepada disintegrasi bangsa. Insan-insan kampus yang dikenal sebagai lokomotif gerakan reformasi sering terkena getahnya. Berbagai implikasi negatif dari gerakan reformasi, seolah juga menjadi tanggung jawab insan kampus. Padahal mereka tidak lebih hanyalah merupakan kekuatan moral yang menyuarakan suara hati nurani masyarakat yang terbelenggu selama tiga dasa warsa. Selama berlangsungnya gerakan reformasi, mahasiswa tidak jarang mendapat tuduhan negatif, bahwa seolah-olah mereka digerakkan oleh kekuatan politik tertentu, atau seoiah ada yang mendalangi dan mendanainya. Kalau mau jujur, sebenarnya memang ada yang menggerakkan, yakni hati nurani, yang mendalangi adalah akal sehat, dan yang mendanai yakni tekad yang kuat untuk membebaskan bangsa dari penjarahan kemerdekaan berbicara, dan membebaskan dari tradisi kolusi, korupsi dan nepotisms. JPIFIAIJurusan Tarbiyah Volume VTahun IVAgustus 1999 67

Transcript of Cendeklawan dan Kebebasan - Journal Portal

Page 1: Cendeklawan dan Kebebasan - Journal Portal

Cendeklawan dan Kebebasan

Akademik

Imam MoedjionoDosen & PD III FIAI UII Yogyakarta

Salah satu hasil reformasi yang dapatdirasakan ofeh segenapbangsaIndonesia adalahkebebasan berbicara. Pada puncaknyakebebasan berbicara tersebut sering diidentikkandengan euphoria, karena kadar kebebasantersebut terkadang dipandang melebihi ambangbatas kewajaran. Hal tersebut tercermin padafenomeria ketiidupan berbagal komunitas ditengah masyarakat Indonesia.

Sebagian masyarakat sangat merasakankebahaglaan dengan adanya kebebasanberbicara, setelah merasa tercekam selama tigapuluh dua tahun. Akibatnya merekamemanfaatkan aura kebebasan berbicara

tersebut secara optimal melalui berbagai media.Koran, majalah, tabloid, radio dantelevisi merekamanfaatkan untuk mengekspreslkan kebebasanberbicara tanpa takut dibredel atau dicabut izinsiarannya.

Namun demikian ada pula sebagianmasyarakat yang merasakan kekhawatiranmendalam, bahkan trauma, akibat adanyakebebasan berbicara, yang terkadang dirasakantelati melampaui batas kewajaran. Pernyataan-pernyataan yang sarkastis, caci-maki, bahkanhujatan terhadap kelompok tertentu yangdisampaikan dengan enjoy, tanpa disadari telahmerugikan gerakan reformasi itu sendiri, karena

di samping bersifat kontra produktif dan dapatdisalah-tafsirkan dengan agitasi dan provokasiyang potensial membuahkan perusakan,pembakaran dan penjarahan fasilitas umummaupun harta milik pribadi kalangan etnistertentu, juga memiliki potensi untuk mengarahkepada disintegrasi bangsa.

Insan-insan kampus yang dikenal sebagailokomotif gerakan reformasi sering terkenagetahnya. Berbagai implikasi negatif dari gerakanreformasi, seolah juga menjadi tanggung jawabinsan kampus. Padahal mereka tidak lebihhanyalah merupakan kekuatan moral yangmenyuarakan suarahati nurani masyarakat yangterbelenggu selama tiga dasa warsa.

Selama berlangsungnya gerakanreformasi, mahasiswa tidak jarang mendapattuduhan negatif, bahwa seolah-olah merekadigerakkan oleh kekuatan politik tertentu, atauseoiah adayang mendalangi dan mendanainya.Kalau mau jujur, sebenarnya memang ada yangmenggerakkan, yakni hati nurani, yangmendalangi adalah akal sehat, dan yangmendanai yakni tekad yang kuat untukmembebaskan bangsa dari penjarahankemerdekaan berbicara, dan membebaskan daritradisi kolusi, korupsi dan nepotisms.

JPIFIAIJurusan Tarbiyah Volume VTahun IVAgustus1999 67

Page 2: Cendeklawan dan Kebebasan - Journal Portal

Reformasi Pendidikan

Diakui atau tidak, mahasiswa yangmerupakan kelompok termuda dalam jajarancendekiawan (Arief Budiman, 1984:150) memiiikiperan panting dalam setiap perubahan sosialpoiitik di beberapa negara. Kesuksesan gerakanmahasiswa antara lain terlihat pada peristiwapengguiingan Juan Peron di Argentina tahun1955, Perez Jimenez di Venezuela tahun 1958,dan Ayyub Khan di Pakistan 1969.

Di Indonesia dalam setiapepisode gerakanyang berimplikasi pada perubahan sosial poiitik,senantiasa mendudukkan cendekiawan terutama

mahasiswa dalam jajaran termuda kalangancendekiawan, sebagai pemeran utama. Mulai darigerakan Budi Oetomo yang merupakan cikalbakal kebangkltan nasional 1908, yang dimotorioleh para mahasiswa STOVIA. Gerakan KAMI1966, yangberhasil memobilisirsegenap potensibangsa untuk meruntuhkan kekuatan Orde Lamayang tumbang bersama dengan lengsernya BungKarno. Peristiwa MALARl 1974, dan gerakanreformasi yangmenggulingkan Soeharto di tahun1998 yang baru lalu, mahasiswa senantiasaberperan aktif bersama dengan segenapcendekiawan dan komponen masyarakat lainnya.

Tulisan berikut ini bermaksud untuk

mengungkap masaiah kebebasan cendekiawandan kebebasanakademik, yangsecara berurutanakan dimulai dari pembahasan tentang klarifikasiistilah cendekiawan, posisi cendekiawan,peranan cendekiawan, cendekiawan danmodernitas, cendekiawan dan fenomenakebebasan, klarifikasi istilah kebebasanakademik, cendekiawan dan kebebasanakademik, serta implementasi kebebasanakademik di Indonesia.

Klarifikasi Istilah

Cendekiawan

Sebelum meianjutkan pembahasan, peiiudilakukan klarifikasi tentang istilah cendekiawanterlebih dulu, sehingga diketahui secara past!siapasaja yang termasuk kategori cendekiawan.Apakah Cak Nun (EMHA Ainun Nadjib),Muhammad Sobari, Gunawan Mohammad, GusOur (KH. Abdurrahman Wahid), Mustofa Bisri,Mahbub Djunaidi, yang tidak memiiiki ijazahkesarjanaan, tetapi mampu dan maumenunjukkan kemampuan nalar melalui karyatulis masing-masing secara produktif, untukmemberikan kecerahan kepada masyarakat,termasuk kategori cendekiawan? Apakah, KosimNurseha, dan Syukron Makmun, yang tidakbergelar sarjana tetapi selalu dirindukan jutaanumat, karena kemampuan mereka merangkaikalimat dan logika yang dikemas dalam bentukfatwa yang dapat memberikan pencerahankehidupan sosial keagamaan, dan selaluproduktif melontarkan gagasan-gagasan aktualmenyoroti persoalan sosial dengan memberikanalternatif solusi, dapat disebut sebagaicendekiawan? Apakah para guru besar yangmemiiiki keanggunan akademik tetapi telahkehllangan gairah meneliti dan menulis, masihtermasuk kategori cendekiawan? Apakah paramahasiswa yang memiiiki kegenitan intelektualrajin membaca, diskusi, meneliti, menerjemahkankarya besartokoh dunia, menulis artikel danbukusemasa menjadi mahasiswa seperti BudhiMunawar Rahman, Syaiful Muzanni, AE Priono,Jenny DA, sudah layak dimasukkan kategoricendekiawan pada waktu itu? Apakah RomoMangun yang memiiiki latar belakang pendidikanarsitektur tetapi lebih banyak menekuni bidangsosial keagamaan dan budaya, atau Ir. Soekamoyang lulusan ITB tetapi leblh banyak aktif di

68 JPIFIAI Jurusan Tarbiyah Volume VTahun TVAgustus 1999

Page 3: Cendeklawan dan Kebebasan - Journal Portal

bidang politik dan birokrasi, atau para doktor yangmeninggalkan "habitatnya" dan disibukkandengan urusan bisnis, politik, dan birokrasi yangmungkin tidak terkait dengan bidang keilmuannyajuga termasuk kategori cendekiawan?

Dalam ilmu-ilmu sosial, memang tidakmudah untuk membatasi suatu konsepsedemikian rupa, sehingga batasan itu mencakupkesepakatan umum di antaraparaahli. Kesulitanyang sama muncul juga dalam memberikanbatasan mengenai istilah cendekiawan. Banyakahli yang telah mengemukakan definisicendekiawan yang memiliki perbedaanredaksional, perbedaan sisi pandang atauperbedaanskalaprioritas, tetapi Oxford LearnersDictionary memberikan batasan yang cukuprepresentatif tentang cendekiawan {yangdiistilahkan dengan inteilectuaf) dengan "orang-orang yang mempunyai atau menunjukkankemampuan nalar (reasoning power) yang baik,yang tertarik pada hal-hal rohani (things ofmind)seperti kesenian, atau ide-ide demiseni atau demiide itu sendiri, serta memiliki kemampuan untuksungguh-sungguh berpikir bebas". Definisitersebut setidak-tidaknya dapat mengeliminirkegamangan kita meskipun tidak dapatmenjawab semua persoalan di atas secarainstant.

Bagi Dody Tisna Amidjaja (1984:314),cendekiawan adalah pembaharu masyarakatyang terlatih untuk selaiu berada dalam prosesberpikir, dengan sikap dan cara pendekatan yangobyektif berdasarmetode ilmiah, dansenantiasamempertanyakan sesuatu dalam usahamencapai kebenaran yang hakiki, sehinggaterkadang mengesankan sebagai tukangmengkritik.

Definisi yang paling ionggar telah diberikanEdward Shils yang menyatakan bahwacendekiawan adalah seseorang yang memiliki

Imam Moedjiono, Cendekiawan dan

concern luas pada persoalan manusia, masyarakat, dan alam. Di sampihg itu cendekiawanjugadilukiskan sebagai tempat bersemayamnya "jiwadan nurani" masyarakatnya. Hal ini paraleldengan yang dikemukakan oleh Theidor Geiger,"cendekiawan menjpakan representasi semangatkreatif masyarakatnya. Akibatnya, peranpolitisnya ditentukan oleh relasi antara kekuaaandan pemikiran" (Bud! Irawanto, 1996:22).

Dalam hubungannya dengan masalahjenjang pendidikan cendekiawan, Shils jugaterlihat fleksibel. Dia memasang standar yangberbeda untuk cendekiawan di negara maju dandi negara yang baru merdeka. Di negara majuShils (1984:242-243) mensyaratkan ijazahperguruan tinggi sebagai syarat untukmenjaiankan profesinya dan oleh karenanya lalayak disebut cendekiawan, tetapi di negara yangsedang berkembang atau negara yang baru sajamerdeka ataubahkan belum merdeka, Shils tidakmensyaratkan pendidikan tinggi melainkan cukuppendidikan lanjutdan modern. Penggunaan istilahmodern di sini dimaksudkan sebagai upayapenegasan bahwa yang dimaksudkan adalahlembaga pendidikan formal yang memilikikurikulum standar. bukan lembaga pendidikantradisional konvensional. Pensyaratan ijazah bagicendekiawan belakangan ini sudah tidakmendapat prioritas lag!, dan masyarakat lebihmenekankan pada tingkat peranannya di tengahmasyarakat, serta mentalitas dan moralitas kecendekiawanannya, bahkan Shiis sendiri dalamcatatan kakinya sudah mulai meragukanbatasannya sendiri.

Posisi Cendekiawan

Ketika Plato mendeskripsikan tentangstruktur dan komposisi ideal sebuah masyarakat,iamenempatkan keberadaan kaum cendekiawan

JPIFIAIJurusan Tarbiyah Volume VTahun IVAgustus 1999 69

Page 4: Cendeklawan dan Kebebasan - Journal Portal

Reformasi Pendidikan

dalam ppsisi yang sangat penting dan sangatterhormat, layaknya posisi vital dalam anatomitubuh manusia. Padaakhirnya bukan hanya Platoyang memberikan posisi terhormat bagi paracendekiawan.

Kalau ditelusuri secara sosiologis,keberadaan kaum cendekiawan in! dalammasyarakat juga memperoleh posisi strategis.Dalam struktur masyarakat Minangkabaumisalnya, kelompok cadiak pandai sudah sejaklama memperoleh tempat dan melakukanperannya dalam masyarakat Mlnang. Demikianpula halnya dengan di Aceh yang menempatkanulama atau cendekiawan pada posisiterhormat.Setidak-tidaknya dldapati gambaran hlstorismengenai keberadaan golongan cendekiawandalam komunitas kita sendiri. Kehadiran kaumcendekiawan senantiasa ditempatkan sebagaibagian genuin dalam masyarakat klta sendiri(Ahmad Fadilah, 1996:54).

Melihatkeberadaan kaum cendekiawan inidalam struktur sosial masyarakat kita, atau sepertlyang diinginkan oleh Plato, memang tidak dapatdihindari adanya idealisasi. Cendekiawan adalahsosok manusia "beda" dibanding sosokyanglaindalam sebuah komunitas sebuah masyarakattertentu.

Dalam perspektif islam, cendekiawan jugamemiliki posisi strategis. Secara tegas Alqur'anmenyebut: "yar fa'illahu lladziina aamanuu walladziina 'uutui 'ilma darajaat", (Allah mengangkatderajat orang-orang yang beriman sertaorang-orang yang berilmu pengetahuan/ cendekiawan).

Pada masyarakat dunia ketiga, cendekiawan selalu dikaitkan dengan agenda besarbangsa, karena kecendekiawanan tidak hanyamelekat pada dunia akademis meiainkan jugasenantiasa melekat pada lingkungannya. Olehkarenanya kecendekiawanan seseorang harusmemiliki bobot moral sosiologis, di samping

memiliki bobot ideal akademis. Kecendekiaantidak hanya untukdinikmati sendiri, tetapi melekatdengan tugas social engeneering, tujuan-tujuanbangsa, atau secara pragmatls diminta untukberada secara dekat dengan persoalan praktismasyarakatnya.

DI masa lalu para resi menempati posisipara cendekiawan, sekalipun keduanya memilikiperbedaan. Para resi lebih menekankan padapenggunaan intuisi, karena intuisi mereka dapatberkembang secara sempurna. Para cendekiawan pada umumnya lebih mengandalkan potensirasio, serta metode-metode ilmiah yang seringmereka praktekkan melalui berbagai eksperimen.Dalam kehidupannya resi lebih banyak menarikdiri dari kehidupan ramai, dan lebih senangmengasingkan diri bahkan bertapa. Hal ini selarasdengan kecenderungannya untuk menggunakanintuisi, yang dapat diasah dengan bertapa.Cendekiawan tidak merasa perlu bertapa, danjustru merasa harus berada di tengahmasyarakat, karena ilmunya memiliki fungsi sosialsehingga dengan sendirinya memiliki kewajibanmoral untuk mengabdikan kemampuannya dankecakapannya demi kemajuan masyarakat.

Melihat posisi sentral cendekiawan, makasudah selayaknya jika masyarakat banyakmenaruh harapan pada para cendekiawan untukmenganalisis persoalan sosial, menyaringinformasi yang akurat, member! penyadarantentang hak-hak politik rakyat, hak-hak ekonomi,hak partisipasi dalam pembangunan sampai padahak asasi manusia.

Keberpihakan para cendekiawan kepadakaum lemah di masyarakat, merupakan kearifansikap cendekiawan. Sekalipun diakui belumsemua cendekiawan memiiiki kearifan yangtinggi. Menjamumya LSM merupakan manifestasikepedulian tersebut. Terlebih di era reformasi initerlihat semangat tinggi dari sebagian

70 JPIFIAIJurusan Tarbiyah Volume VTahun IVAgustus 1999

Page 5: Cendeklawan dan Kebebasan - Journal Portal

cendekiawan untuk melakukan pemberdayaanpolitik rakyat melalui kesedlaannya untuk menjadipengurus dan pimpinan orsospol, dan hal ini jugamerupakan bentuk lain dari kepedulian dankeberpihakan para cendekiawan kepada kaumlemah. Di samping itu kesediaan mereka untukaktif memikirkan kesuiitan masyarakat denganberupaya mencari solusi melalui berbagai cara,juga merupakan langkah dari para cendekiawanyang perlu mendapatacunganjempol. Sekalipunkita tidak dapat menutup mataadanyasebagiancendekiawan yang terlena dan selalu asyikdengan kesibukannya untuk mengurus keperluanpribadinya sendiri.

Peranan Cendekiawan

Ketika berbicara di Universitas Indonesia

pada tahun 1957, Mohamad Hatta yang saat itusudah menjadi mantan Wakll Presiden Rl,menunjukkan kedudukan dan peranan kaumcendekiawan (disebutnya inteligensia) yang justrumengimplikasikan tanggung jawabnya, yaitumencari dan membela kebenaran. Para

cendekiawan memlkul tanggung jawab besarkarena kualitasnya sebagal kelompok terpeiajar.Mereka memiliki kemampuan menguji yangbenardan yang salah, berdasar argumentasikeilmuannya. Ilmu, secara intrinsik mengandungnilal moral, dan oleh karena itu maka kaumcendekiawan juga memiliki tanggung jawabmoral, selainintelektual.

Secara leblh tegas Hatta menunjukkanperan cendekiawan dengan: "member! petunjukdan member! pimpinan kepada perkembanganhidup kemasyarakatan, dan bukannyamenyerahkan diri kepada golongan yangberkuasa yang memperjuangkan kepentinganmereka masing-masing" (Dawam, 1996:VIII).

Imam Moedjiono, Cendekiawan dan

Sistem politik suatu negara sangatmewarnal peran cendekiawan. Pada masapenjajahan Belanda dengan sistem politik yangmonolitik, para cendekiawan didesak olehkeadaan untuk mengambil perandibidangpolitikuntuk menentang kekuasaan asing danmembentuk kekuasaan baru yang bebas darikekuasaan kolonial. Di sanalah tanggung jawabintelektual mereka, maka muncullah nama

Soekarno, M. Natsir, Hatta, Tan Malaka, SutanSyahrir danlain sebagainya. WalhasHWdak sedikitdari kaum intelektual radikal pada masapenjajahan yang kemudian berubah menjadi elitepolitik pada masa kemerdekaan. Demlkian jugahalnya pada saat terjadi perubahan dari ordelama ke orde baru, atau dari orde baru ke erareformasi.

Banyak contoh pahit tentang peranancendekiawan yang hidup dalam sistem politikyang otoriter. Daniel Cosio Villegas. seorangpengamat politik Meksiko menyatakan bahwapara presiden dalam sejarah Meksiko selalutergantung kepada para cendekiawan, tetapibukan untuk memberi saran atau masukan,melainkan untuk mempersiapkan argumentasibagikeputusan yangsudah diambil sebelumnya.Contoh lain yang terjadi di Argentinasebagaimana yang dikemukakan oleh YulioCortazar, tentang nasib pahit cendekiawan dinegerinya bahwa sepanjang sejarah paracendekiawan selaludiperalat negara dan menjadikorban (Budi Irawanto, 1996:19).

Kedua contoh di Amerika Latin tersebut

menjadi contoh pahit dari peran cendekiawan ditengah masyarakatnya. Mereka tidak lag! memilikiprevilege berdiam dimenaragading, tetapiterlibatlangsung dalam sistem kekuasaan. Inilahsesungguhnya implikasi politis dari cendekiawandalam banyak negara dunia ketiga. Tampaknyamemang tidak mungkin bagi cendekiawan di

JPJFIAJJurusan Tarbiyah Volume VTahun IVAgustus 1999 71

Page 6: Cendeklawan dan Kebebasan - Journal Portal

Reformasi Pendidikan

dunia ketiga untuk bersikap "apolitis". Barangkaliini termasuk resiko dari posisinya yangsenantiasa menjadi juru bicara bagi penegakankebenaran dan keadilan.

Dalam sejarah Indonesia cendekiawanhampirselalu diagungkan danselalu berada padaposisi terhormat. Mereka dianggap mempunyaiperan yang menentukan dalam gerak sejarah.Namun demikian peran mereka dipengaruhi olehposisi mereka dalam hubungan denganpemerintah. Ada yang berada pada posisiberdampingan dan ada pula yang berhadapan.Para cendekiawan yang berada pada posisiberdampingan berperan sebagai pemberi entripoint, predlktor, problem solving hingga evalua-tor, sedangkan bagI cendekiawan yang beradadi luarsistem ada yang menjadi analis, kritikus,bahkan oposan.

Dalam posisi berhadapan dengankekuasaan yang represif, cendekiawan sulitmenampikkewajiban moral, dan intelektual untukmenyuarakan kebenaran, dan mempeijuangkankebebasan. Apalagi represi yang dilakukansecara telanjang seperti yang dilakukan masakolonial, orde lamadan orde baru pada episodetertentu, maka lahlrlah istilah "non kooperatif dizaman kolonial bagi kaum cendekiawan yangalergi terhadap sistem politik kolonial. Dalamsetiap episode sejarah bangsa selalu diwamaioleh polarisasi cendekiawan seperti itu. Bahkandi awal era reformasi jugateiiihat kecenderunganpolarisasi cendekiawan yang ingin berperandalam sistem seperti Amin Rais, Yusril IhzaMahendra, Didin Hafifudin dan lain sebagalnya.Tetapi ada jugayang ingin berperanbebas diluarsistemsepertiNurcholis Madjid misalnya.

Cendekiawan di Tengah Modernitas

Setidak-tidaknya ada tiga premis niiaimodernitas yang dapat ditarik benang merahdengan keberadaan kaum cendekiawan (BudiHardiman, 1996:94). Pertama, sosok manusiamodern seharusnya mengutamakan kesadarandiri sebagai subyek yang memperhatikanpersoalan hak-hak individu, otonomi pribadi, sertakesadaran hidup berdemokrasi. Bagi seorangcendekiawan, hal-hal tersebutmerupakan baglandaritugasnya untuk mensosialisasikan nilai-nilaikepada segenap warga masyarakat melaiuimedia pendidikan maupun media massa.

Kedua, sosok manusia modem seharusnyabersikap kritis. Sikap ini juga melekat padacendekiawan. Seorang cendekiawan senantiasadituntut untuk bersikap kritis dalam menghadapiberbagai persoalan yang muncul di masyarakat.Kenyataan menunjukkan bahwa wargamasyarakat pada umumnya sering menunggurespon para cendekiawan didalam menghadapisetiap persoalan baru. Dengan kalimat laincendekiawan difungsikan sebagai barometermasyarakat. JadI, sekalipun cendekiawanmemiliki kebebasan dalam menentukan sikaptermasuk dalam mengkritisi segala sesuatu, tetapihendaknya senantiasa memperhitungkan setiaplangkahnya, karena jejaknya akan diikuti olehanggotamasyarakatawamyang lain. Sikapkritisseorang cendekiawan bukan sikap yangtercermin melaiui kritik yang dilontarkan tanpadasardantanpatahumengarah mana {nihilisme),melainkan bersifat konstruktif, dalam artimengarah kepada kemajuan dan memberisubstansi positif tertentu pada masa depan.Dengan kata lain kritik mengandung dimensinormatif utopis yang wajar daiam kehidupansoslal.

72 JPI FIAIJunisan Tarbiyah Volume VTahun IVAgustus 1999

Page 7: Cendeklawan dan Kebebasan - Journal Portal

Ketiga, sosok inanusia modem memilikikecenderungan untuk bersikap progresif,sehingga senantiasa mengadakan pembahanyang secara kualitatif meningkat, minimal baru.Kaum cendekiawan pada umumnya senantiasaconcernuntuk memajukan ilmu pengetahuandanteknologi, di samping memiliki kesadaranperlunya melakukan transformasi sosial, dalamrangka memajukan kehidupan bangsanya.

Dengan mencari kesejajaran antarapremis-premis nilai modernitas dan praksisemansipatoris kecendekiawanan, kita dapatditemukan unsur-unsur universal yangmelandasimodernitas. Namun satu ha! yang perlu dllngat,bahwa modernitas bukan satu-satunya saranatransformasi nllal dan identitas.Agama dantradisitelahlamamendarah-daging dalam pergumulankehidupan. masyarakat yang juga memiliki nilai-nilai dan identitas yang ditransformasikanolehnya. Di sinilah kecendekiaan seorangcendekiawan akan teruji, dan ujian seperti inilahyangdapat menjadi eskalasi kecendekiaannya.

Di dalam sebuah buku yang beijudul TheShaping of Modem Mind" sebagaimana dikutipoleh Taufik Abdullah (1984:307) pada kalimatpertama berbunyi: "manusia selaiu hidup dalamzaman modem". Kalimat tersebutmengindikasi-kan bahwa manusia tidak pemah terlepas dariide kekiniannya. Setiap manusia yang lahir didunia ini senantiasamerasabahwa iahidup padazaman yang paling modem, minimal lebih modern dibanding orang yang hidup sebeiumnya.Namun demikian pada umurnnya mereka jugamenyadari adanya heterogenitas tingkatmodernitas manusia yang hidup dalam masayang sama pada tempat yang berbeda. Untukmengejar ketertinggaian atau untukmengantisipasi kemajuan di masa yang akandatang, maka masyarakat mempercayakannyakepada para cendekiawan.

Imam Mo^jiono, Cendekiawan dan

Dalam proses peralihan dari masyarakattradisional menuju masyarakat yang modern,cendekiawan dipercaya untuk menjadi panduatau pelopor yang bertugas memandu anggotamasyarakat yang lain. Kepercayaan masyarakattidaklah beiieblhan, karena mereka dipandangtelah memiliki seperangkat ilmu, teori dan metodeyang telah mereka kuasal. Kepercayaan inipulalah yang memacu motivasi para cendekiawan untuk secara terus-menerus bekerja keras,bereksperimen, berkarya melalui proses imitasidan inovasi, sehingga melahirkan karya-karyanyata yang dapat membantu memudahkan danmeringankan kehidupan masyarakat.

Cendekiawan di Tengah FenomenaKebebasan

Belakangan ini aura kebebasan telahmenyusup dan merambah ke hampirsemua linikehidupan. Para pejabatyang biasanya dikenalsebagai komunitas paling takut berbicara kritislantaran takutresiko lepasnyajabatan dan olehkarenanya merasa harus hati-hati berbicara, tiba-tiba berubah drastis menjadi sosok pemberaniberbicara kritis di mana saja, kapan saja, danmengkritik siapapunjuga, tidak terkecuali mantanatasannya bahkan dengan berlagak sepertiseorangtokoh mahasiswa reformis iapun memilikikeberanian berorasi dengan menghujat mantanpresidennya yang biasanya paling ditakuti dandimuiiakannya.

Pers yang di masa orba terpasung danterkooptasi olehpenguasa, tiba-tiba menemukanjati-diri di era reformasi ini. Akibatnya terjadiboom/ng koran, majalah, dan tabloid. Artikel danberitanyapun jauh lebih transparan, bebas untukmengkritik, menyodok bahkan menghujatsana-sini, tanpa rasa risih dan tidak pernah dihantul

JPIFIAI Jurusan Tarbiyah Volume VTahwi IVAgustus 1999 73

Page 8: Cendeklawan dan Kebebasan - Journal Portal

Reformasi Pendidikan

oleh rasa takut untuk dibredel seperti di masaorba.

Rakyat yang biasanya bersikap santun(untuk tidak mengatakan apatis), tiba-tibaberubahmenjadi dinamis, kritis bahkan ada yangberubah menjadi kehilangan kesantunan,meneriakkan teriakan-teriakan yang sarkastis,yangtidak pemah mereka teriakkan dimasaorba.Euphoria massa rakyatpun pada saat-saattertentu terkadang ada yang mengarah pada haiyang negatifdan mengkristai menjadi perusakan,pembakaran, penjarahan, pembunuhan, bahkankerusuhan.

Mahasiswa yang seiama bertahun-tahunterkooptasi oleh sistem, yang secara internalmeiaiui konsep NKK/BKK maupun SMPT, dansecara eksternai meiaiui sikap represif aparatkeamanan, berubah menjadi sosok berbeda.Mereka meneriakkan ketidak-adiian dan

ketimpangan sosial, mengutuk kekuasaanabsolut rezim orde baru, membeberkan praktik-praktik monopoli dan oiigopoli. Mereka menuntutdiberantasnya korupsi, kolusi serta nepotisme,dan daiam memperjuangkan ideaiisme, merekatidak merasa takut kepada aparat keamanan.

Dari serangkaian fenomena kebebasan diatas, ada satu benang merah yakni kebebasanberbicara. Kebebasanberbicara adaiahkategoriumum yang meiibatkan seiuruh anggotamasyarakat. Kebebasan berbicara dapatdilukiskan sebagai hak semua orang ataukeiompok untuk mengungkapkan diri sertamenebarkan opini tanpa rasa takut terhadapkonsekuensi iogis yang akanditerimanya. Namunharus dipahami bahwa kebebasan tersebutsebenarnya masihberada dibawahpengawasanhukum dan peraturan tertentu, sehinggakebebasan berbicara tidak dapat dimaknaidengankebebasanuntuk memfitnah, menghujat,mendiskreditkan, atau menyerang keiompok lain

yang berbeda pandangan, faham, ras,suku,danagama, dengan.aiasan apapun.

Kenyataan menunjukkan, bahwa lokomotifpembaharuan di indonesia yang menggunakaniabei reformasi, adaiah insan-insan kampusterutama mahasiswa. Adanya beberapa impiikasinegatif seperti perusakan, pembakaran, danpenjarahan, rupanya tidak dapat dilepaskanbegitu saja dari tanggung jawab iokomotifreformasi. Akibatnya keharuman namamahasiswa juga sedikit tercemar karenanya.Namun demikian hai tersebut tidak membuat

surutiangkah para reformis, karena masyarakat-pun mengetahui secara pasti bahwa penggerakdan peiaku perusakan, pembakaran danpenjarahan adaiah bukan unsur mahasiswa.

Aura kebebasan yang merebak erareformasi, sesungguhnya merupakan peluangbag! para cendekiawan untuk meiakukanoptimalisasi peran untuk berkarya dan berinovasidalam iapangan keiimuan masing-masing. Disamping itu para cendekiawan tidak lagiterkungkung daiam bingkai-bingkai yangmenghambat kreativitasnya. Namun demikianpara cendekiawan juga berperan sebagaipembimbing masyarakat dalam memberikankesadaranhukum dansekaiigus sebagai panutandalam menaati rambu-rambu hukum. Bagai-manapun, di era reformasi ini supremasi hukumharus ditegakkan. Di siniiah peran cendekiawansangat diharapkan. Masyarakat harus dididikbahwakebebasanyangada memiliki batas>batastertentu, dan batas-batas itu adaiah rambuhukum.

Klariflkasi Istilah Kebebasan

Akademik

Kebebasan akademik pada hakekatnyamerupakan kebebasan seseorang yang terilbat

74 JPIFIAI Jurusan Tarbiyah Volume VTahunJVAgustus 1999

Page 9: Cendeklawan dan Kebebasan - Journal Portal

Imam Moedjiono, Cendekiawan dan

dalamduniaakademik-paradosen.mahasiswa, kampus, sekiranya hal itu dilakukan diatau civitas akademika- untuk mewujudkan masyarakat di kalangan awam di iuarkebebasan badan atau lembaga akademi. Russel kampus?Kirk, seorang budayawan konservatif 3. Apakah seorang cendekiawan itu bebasmenyatakan definisi yang dibenkan WY Couch berbicara di kelasnya di kampus mengenai isutentang kebebasan akademik adalah definisi kontroversial, yang berada di Iuar bidanqyang terbaik yang pernah ditemuinya. Couch keahliannya. dan kemudian mengambHmengatakan bahwa kebebasan akademik adalah: fangkah keputusan untuk hal itu*?

JriThflT® Tf sang cendekiawan itu bebas menuiismpnr-pnfh ^ I h" f dan bebas berbicara kepada masyarakatmencegah atau menghambat kewajiban yang la j ^3^ kontroversiaipikul di tengah medan pencanan kebenaran" kpmnHian monnamhii iLniT ^IKlrk Kemudian mengambil iangkah yang sesuai

' untuk pendapatnya itu? (Ihsan. 1985:65)Gambaran yang lebih jeias dibenkan oleh

Aitwajri (1997:35) yang mentutip Encyclopedia ofReligion yang menj'elaskan bahwa dalam Cendekiawan dan Kebebasankebebasan akademik, "...tidak ada pembatasan, Akademikhukuman dan intimldasi berkaitan dengankegiatan tradisional insan akademik, terutama Perguruan tinggi memiiiki kebebasanyang menyangkut studi dan penelitian yang akademik untuk meiaksanakan fungsinya tanpadilakukan, atau di dalam mengutarakan dicampuri oleh kekuasaan, sehingga parapandangan, hasil-hasil temuan dan opini yang cendekiawannya dapat bergerak dengan leluasadiyakini, balk melalui lisan atau publikasi. sekallpuntetap berada dalam frame hukum yangbetapapun dianggap usang ataupun bercorak ^^rlaku, karena bagaimanapun cendekiawansubversif, bijaksana ataupun kolor. menegakkan supremasi hukum.

Mencermati beberapa definisi di atas, samping itu, perguruan tinggi jugadiperoleh kesan betapa luasnya cakupan kebe- fnemlliki kebebasan mimbar akademik yangbasan akademik, dan betapa luasnya wilayah nienjamin kebebasan para cendekiawan di dalam"kekuasaan" cendekiawan. Namun demikian perguruan tinggi untuk belajar, mengajarpada tahun 1960-an muncul persoalan-persoalan meiaksanakan penelitian serta mengemuka-kontroversial seputar masalah kebebasan pendapatnya sehubungan dengan kegiatanakademik yang menyangkut beberapa prinsip tersebut, tanpa ada pembatasan kecuali darisebagai berikut: dirinya sendiri (Ihsan, 1985:49).1. Apakah seorang cendekiawan itu bebas dikasebuahuniversitas memiiiki cendekia-

meneliti, menuiis. mengajar dalam bidang wan yang berkemampuanintelektual tinggi, yangkeahliannya di kampus secara tak terbatas dan kreatlf. maka akan selalutanpa persyaratan tertentu? muncul gagasan baru yang dicetuskannya, yang

2. Apakah sang cendekiawan itu memiiiki f^^ungkin akan berbeda dengan pandangan dankebebasan yang sama untuk mengemukakan keyakinan para pemimpin di masyarakat, balkbidarig keahliannya sebagaimana di dalam keagamaan maupun pemerintahan.

JPIFIAIJurusan Tdrbiyah Volume VTahun TVAgustus 1999 75

Page 10: Cendeklawan dan Kebebasan - Journal Portal

Reformasi Pendidikan

Oleh karenanya, sepanjang pegalanan sejarah Rentang waktu antara abad pertengahantidak jarang terlihat adanya tekanan penguasa yang penuh dengan kejayaan kebebasan ituuntuk membatasi kebebasan mengemukakan sampaiabadke-19,telahmenunjukkanhilangnyapendapat oleh cendekiawan tertentu. Penekanan kebebasan yang pernah dimiliki oleh unversitas.tersebut ada yang diiakukan secara halus dan Pada masa awal abad ke-19 konsepsi Jermanpersuasif, tetapi tidak jarang pula diiakukan "lehrfreiheit" -kebebasan profesor untukdengan cara kasar dan represif, bahkan ada yang mengadakan penelitian dan mengajarkan hasil-sampai menelan korban jiwa. hasii penelitian tanpa adanya pembatasan-

Pada masa abad pertengahan, lembaga- pembatasanyangmencampurikewenangannya-lembaga pendidikan tinggi yang kuat dan agresif telah mulai dikenal di Inggris dan di Amerikatelah menjadi "tuan-tuan" yang memiliki dan Utara.memanfaatkan hak menggunakan kebebasan Konsep tersebut merupakan gagasanuntuk mengemukakan gagasan yang aneh-aneh untuk memberikan kebebasan dan status kepadasampaiyang "takmasukakal", kebebasan untuk para dosen dan guru sebagai kelompoktetap atau berubah pendapat tentang suatu profesional, dan hal tersebut telah disambutkebenaran. Dengan kebebasan tersebut, mereka dengan penuh antusias di pelbagai kampus.telah memenangkan suatu tingkat kebebasan Tetapi interpretasi dan pengetrapannya temyatafilosofis yang tidak dimiliki dan tidak terdapat pada sangat berbeda-beda di antara universitas dikomunitas masyarakat lainnya pada waktu itu. Inggris, Kanada dan Amerika (Ihsan, 1985.52).Bahkan insan-insan kampus memiliki kebebasanyang luas sekali sehingga benar-benar memiliki ,en,entasi Kebebasanse/f conf/dence yang berlebihan. Akibatnya ^ .| j-i jmuncullah ekses pengkultusan terhadap profesor Akademik diIndonesiatertentu oleh kelompok-kelompokpenganutnya. p. ^asalah kebebasanyang tanpa disadari telah melakukan buta ditempatkan pada posisi yangterhadap pandangan profesoMertentu. Hal in ah proporsional. karena telah mendapatyang akhirnya membentuk kebekuan iklim sebagaimana tertuang dalamintelektual. Peraturan Pemerintah Repubiik Indonesia Nomor

Keadaan yang kurang sehat tersebut Tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi,menimbulkan reaksi dari luar kampus, terutama terutama pada Bab Vi tentang kebebasandari pihak gereja dan pemerintah, yang untuk akademik dan otonomi keilmuan (Soenjono,kepentingan stabilitas tidak dapat menerima dan gg^ •48)_membiarkan begitu saja keadaan yang Kebebasan akademik di Indonesia dipan-anarkhistik berlangsung terus menerus. sebagai kebebasan yang dimiliki oleh sivitasAkibatnya secara bertahap universitas semakin gg^ara bertanggungjawab danditempatkan di bawah pengawasan, sehingga melaksanakan kegiatan akademik yanggagasan apapun yang muncul di perguruan bnggi dengan pendidikan dan pengembanganselalu dipantau dan diikuli dengan seksama, pengetahuan serta teknologi. Dalamkemudian diarahkan dan ka^^au perlu disensor g^ g^jgn jimu pengetahuan. tercakup pula ilmusebeiumdipublikasikan kepada masyarakat luas. pengetahuan tentang kesenian dan dalam

75 JPIFIAIJurusan Tarbiyah Volume VTahun IVAgustus 1999

Page 11: Cendeklawan dan Kebebasan - Journal Portal

pengertian teknologi mencakup pula teknologiyang diterapkan.

Pimpinan perguruan tinggi mengupayakandan menjamin agar setiap anggota sivitasakademika dapat melaksanakan kebebasanakademik dalam rangka pelaksanaan tugas danfungsinya secara mandiri sesuaidengan aspirasipribadi dan dilandasi oleh norma dan kaidahkeilmuan.

Dalam melaksanakan keglatan akademik,setiap anggota sivitas akademika harusmengupayakan agarkegiatan sertahasiinya tidakmerugikan pelaksanaan kegiatan akademikperguruan tinggi yang bersangkutan. Di sampingitu, daiam melaksanakan kebebasan akademik

dankebebasan mimbar akademik setiap anggotasivitas akademika harus bertanggungjawabsecara pribadi atas pelaksanaan dan hasiinyasesuai dengan normadan kaidah keilmuan.

Daiam melaksanakan kegiatan akademikdaiam rangka kebebasan akademik pimpinanperguruan tinggi dapatmengizinkan penggunaansumber daya perguruan tinggi, sepanjangkegiatan tersebut tidak ditujukan untuk merugikanpribadi lain dansemata-mata untuk memperoiehkeuntungan materi bag! yang melaksanakannya.

Kebebasan mimbar akademik di Indonesia

beriaku sebagaibagian dari kebebasan akademikyang memungkinkan dosen menyampaikanpikiran dan pendapat di perguruan tinggi yangbersangkutan sesuai dengan norma dan kaidahkeilmuan. Kebebasan mimbar akademik

dilaksanakan daiam pertemuan iimiah daiambentuk seminar, ceramah, simposlum, diskusipanel dan ujian dalam rangka pelaksanaanpendidlkan akademik dan profesional.Kebebasan mimbar akademik dapatdilaksanakan dl iuar perguruan tinggi sepanjangtempat tersebut dapat dianggap"bagian

Imam Moedjiono, Cendekiawan dan

sementara dari perguruan tinggi yangbersangkutan.

Perguruan tinggi dapat mengundangtenaga ahli dari lain perguruan tinggi yangbersangkutan untuk menyampaikan pikiran danpendapat sesuai dengan norma dan kaidahkeilmuan daiam rangka pelaksanaan kebebasanakademik.

Pelaksanaan kebebasan akademik dankebebasan mimbar akademik di Indonesiadlarahkan untuk memantapkan terwujudnyapengembangan ilmu pengetahuan dan teknologiserta pembangunan nasional. Daiammerumuskan pengaturan pelaksanaankebebasan akademik dan kebebasan mimbarakademik, senat perguruan tinggi berpedomanpada ketentuan yang ada (Barthos, 1992:33).

DaftarPustaka

Abdullah, Taufik, "Cendekiawan danPembaharuan", daiam Cendekiawan danPolitik, LP3ES, Jakarta, 1984.

Altwajri, Ahmed, islam, Barat dan KebebasanAkademis, penerjemah Mufid, Titian llahiPres, Yogyakarta, 1997.

Barthos, Basir, Perguruan Tinggi Swasta diIndonesia, Bumi Aksara, Jakarta, 1992.

Budiman, Arief, "Peranan Mahasiswa sebagaiinteiigensia", dalam Cendekiawan danPolitik, Aswab Mahsin, LP3ES, Jakarta,1984.

Fadhillah Ahmad, "Cendekiawan dan TugasPenyadaran", dalam KebebasanCendekiawan, Masika (ed), PustakaRepublika, Jakarta, 1996.

Kirk, Russel, Acemic Freedom:An Essay in Definition, Henry Regnery Companion, Chicago, 1955.

JPIFIAIJurusan Tarbiyah Volume VTahun IVAgustus 1999 11

Page 12: Cendeklawan dan Kebebasan - Journal Portal

Reformasi Pendidikan

Ihsan, Achmad, Mahasiswa dan KebebasanAkademik, YP2LPM, Malang, 1985.

Irawanto, Budi, "Cendekiawan dan Kekuasaan:Sebuah Ziarah pada Kebebasan". dalamKebebasan Cendekiawan, Masika (ed).Pustaka Republika, Jakarta, 1996.

Rahardjo, Dawam, "Cendekiawan Indonesia.Masyarakat dan Negara: Wacana LintasKultural", dalam Kebebasan Cendekiawan.Masika (ed), Pustaka Republika, Jakarta.1996.

Shils, Edward, Etika Akademis, Penerjemah,Agus Nugroho, Yayasan Obor Indonesia,Jakarta, 1993.

Soenjono, Dardjo Widjojo, Pedoman PendidikanTinggi, Gramedia Widiasarana, Jakarta,1991.

Tisnaamidjaja, Doddy, "Cendekiawan danPembaharuan", dalam Cendekiawan dan

Politik, Aswab Mahasin (ed), LP3ES,Jakarta, 1994.

78 JPIFIAlJurusan Tarbiyah Volume VTahunIVAgustus 1999