DM pada anak.doc
-
Upload
ramadhan-ananda-putra -
Category
Documents
-
view
61 -
download
1
Transcript of DM pada anak.doc
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peningkatan obesitas pada anak dan remaja juga disertai dengan peningkatan insiden
Diabetes Mellitus Tipe 2 pada anak dan remaja. Sangat penting untuk mencapai dan
mempertahankan kontrol metabolik pada anak dan remaja untuk mencegah peningkatan
risiko komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler dan kurangnya kontrol glikemik pada
saat dewasa.1
Manifestasi klinis Diabetes Mellitus Tipe 2 heterogen di usia muda, dari gejalanya
minimal sampai dengan ketoasidosis diabetik. Peningkatan Diabetes Mellitus Tipe 2 pada
anak dan remaja, telah sebanding dengan meningkatnya obesitas, yang merupakan faktor
risiko utama yang mempengaruhi sensitivitas insulin. Faktor risiko tambahan termasuk ras,
riwayat keluarga diabetes mellitus, ibu diabetes selama kehamilan, kelompok usia pubertas
dan kondisi-kondisi yang berhubungan dengan resistensi insulin. Patofisiologi Diabetes
Mellitus Tipe 2 telah dipelajari dan diterima secara luas bahwa resistensi insulin, penting
untuk pengembangan klinis diabetes melitus di masa dewasa.2
Prevalensi Diabetes Mellitus Tipe 2 pada anak dan remaja terus mengalami
peningkatan di seluruh dunia. Selama 3 dekade terakhir, Diabetes Mellitus Tipe 2
merupakan penyakit yang sebelumnya terbatas pada pasien dewasa, telah meningkat tajam
prevalensinya di kalangan anak dan remaja. Di Amerika Serikat, sekitar 1 dari 3 kasus baru
diabetes melitus yang didiagnosis pada pasien dengan usia kurang dari 18 tahun adalah
Diabetes Mellitus Tipe 2. Masalah ini tidak terbatas di Amerika Serikat, tetapi juga terjadi
secara internasional.3 Di kalangan anak-anak usia sekolah di Jepang kejadian Diabetes
Mellitus Tipe 2 meningkat dari 7,2 per 100.000 kasus pada tahun 1976-1980 menjadi 13,9
per 100.000 kasus pada 1991-1995. Kejadian tahunan rata-rata Diabetes Mellitus Tipe 2
pada anak-anak Australia dengan usia kurang dari 16 tahun adalah 2,5 per 100.000 kasus
pada tahun 2001-2002.4
Meningkatnya Diabetes Mellitus Tipe 2 anak dan remaja menimbulkan tantangan
kepada dokter untuk mengobati penyakit ini. Kebanyakan edukasi yang dirancang pada anak
1
penderita Diabetes Mellitus Tipe 1 yang menekankan pengobatan insulin dan pemantauan
glukosa, tidak selalu sesuai untuk anak-anak dengan Diabetes Mellitus Tipe 2. Kebanyakan
obat yang digunakan untuk Diabetes Mellitus Tipe 2 telah diuji untuk keamanan dan
keampuhan hanya pada individu dengan usia lebih dari 18 tahun, dan ada sedikit bukti
ilmiah untuk optimalnya pengelolaan anak-anak dengan Diabetes Mellitus Tipe 2.3
Prevalensi Diabetes Mellitus Tipe 2 pada anak dan remaja terus mengalami
peningkatan. Data di Indonesia menunjukkan prevalensi diabetes pada anak di daerah
perkotaan Jakarta meningkat dari 1,7% pada tahun 1982 menjadi 5,7% pada tahun 1995,
namun sayangnya tidak ada data lebih lanjut mengenai prevalensi Diabetes Mellitus Tipe 2.
Sampai saat ini, obat anti diabetik oral yang sudah disetujui penggunaannya pada anak oleh
Food and Drug Administration (FDA) hanya metformin. Sedangkan obat anti diabetik oral
golongan lain masih dalam perdebatan. Secara umum, mekanisme kerja obat-obat tersebut
dalam mengontrol kadar gula darah yaitu dengan meningkatkan sekresi insulin seperti obat
golongan sulfonylurea, menurunkan resistensi insulin seperti obat golongan biguanid dan
menurunkan absorpsi glukosa postprandial seperti obat golongan inhibitor alfa-glucosidase.
Keberhasilan terapi dinilai berdasarkan kadar glukosa darah, kadar HbA1c, dan sindrom
metabolik yang menyertainya seperti obesitas, hipertensi dan hiperlipidemia. Selain
mengontrol kadar gula darah, tata laksana Diabetes Mellitus Tipe 2 juga meliputi modifikasi
gaya hidup dan mengatasi gejala sindrom metabolik yang menyertainya. Tujuan terapi
Diabetes Mellitus Tipe 2 secara keseluruhan adalah tercapainya kadar glukosa darah yang
normal, penurunan berat badan pada pasien obesitas, pengendalian faktor-faktor comorbid
seperti hipertensi, dislipidemia, nefropati, dan steatosis hepatik (fatty liver).5
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mempelajari dan mengetahui definisi,
epidemiologi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan,
komplikasi, dan prognosis dari Diabetes Mellitus Tipe 2 pada anak dan remaja.
1.3 Manfaat Penulisan
Referat ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber informasi tentang Diabetes
Mellitus Tipe 2 pada anak dan remaja.
2
1.4 Metode Penulisan
Penulisan referat ini menggunakan tinjauan kepustakaan yang merujuk kepada
berbagai literatur.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Definisi
Diabetes Mellitus Tipe 2 merupakan kelainan metabolik yang kompleks, ditandai dengan
defek pada sekresi insulin dan kerja insulin yang akan menyebabkan hiperglikemia. (6)
Pasien dengan Diabetes Mellitus Tipe 2 menunjukkan resistensi terhadap insulin pada
tingkat otot skelet, peningkatan produksi glukosa oleh hepar, dan penurunan sekresi insulin.(7) Obesitas pada anak dan remaja telah menyebabkan peningkatan insidens Diabetes
Mellitus Tipe 2 dalam 2 tahun terakhir ini.(8) Obesitas mulai menjadi masalah kesehatan di
seluruh dunia, bahkan WHO menyatakan bahwa obesitas sudah merupakan suatu epidemik
global, sehingga obesitas sudah merupakan suatu problem kesehatan yang harus segera
ditangani (9)
II.3 Faktor Risiko
Faktor risiko untuk Diabetes Mellitus Tipe 2 termasuk riwayat keluarga (kondisi medis yang
resisten insulin), obesitas, aktifitas fisik yang kurang, ras dan etnik.(10)
a. Riwayat Keluarga
Faktor genetik mempengaruhi perkembangan Diabetes Mellitus Tipe 2,
sehingga riwayat keluarga merupakan faktor risiko yang penting. Risiko untuk
pasien dengan riwayat keluarga yang mempunyai Diabetes Mellitus Tipe 2 adalah
lima sampai sepuluh kali lebih tinggi dari pasien tanpa riwayat keluarga diabetes.
Dalam suatu studi, 39% peserta dengan Diabetes Mellitus Tipe 2 memiliki
setidaknya satu orangtua yang mempunyai penyakit yang sama. (10)
b. Kondisi Resistensi Insulin
Sindrom ovarium polikistik (PCOS) dan acanthosis nigricans berhubungan
dengan resistensi insulin. Sindrom ovarium polikistik ini ditandai dengan
hiperandrogenisme dan amenore yang berhubungan dengan anovulasi kronik.
Wanita dan perempuan muda dengan PCOS mempunyai risiko yang tinggi untuk
intoleransi glukosa dan Diabetes Mellitus Tipe 2. Acanthosis nigricans adalah
4
gangguan kulit yang mempengaruhi intertriginosa area tubuh (misalnya, pangkal
leher, ketiak, daerah antecubital), dan menyebabkan peningkatan kekasaran dan
ketebalan kulit serta hiperpigmentasi. Kondisi ini disebabkan oleh kelebihan insulin
akibat resistensi insulin dan terdapat pada 90% dari anak-anak yang memiliki
Diabetes Mellitus Tipe 2. (10)
c. Obesitas dan Aktifitas Fisik yang Kurang
85% dari pasien yang menderita Diabetes Mellitus Tipe 2 juga obesitas.
Individu dengan berat badan yang berlebihan disertai dengan toleransi glukosa yang
terganggu mengalami resistensi insulin perifer dan deposisi lemak yang lebih tinggi
pada organ visceral dan intramuscular. (10)
d. Ras dan Etnis
Di Amerika Serikat, Diabetes Mellitus Tipe 2 ditemukan 2-6 kali lebih sering
pada populasi Hispanik berbanding orang kulit putih non-hispanik. Data dari seluruh
dunia menunjukkan bahwa obesitas, resistensi insulin, dan Diabetes Mellitus Tipe 2
telah meningkat di lokasi dimana gaya hidup mengarah westernisasi. Dalam
penelitian ini, istilah westernisasi bermaksud diet tinggi kalori dan aktifitas fisik
yang kurang. (10)
II.4 Epidemiologi
Diabetes Mellitus Tipe 2 banyak dilaporkan di seluruh dunia, di Jepang 80% dari semua
kasus baru diabetes pada anak-anak dan remaja adalah Diabetes Mellitus Tipe 2, di Taiwan
54,2% kasus baru didiagnosis dengan diabetes tipe 2, dengan kejadian 6,5 per 100.000
kasus, di Inggris didapatkan insiden diabetes tipe 2 pada anak-anak (<17 tahun) yaitu 0,53
dari 100,000 pertahun. Di Austria, kejadian Diabetes Mellitus Tipe 2 pada anak-anak dan
remaja (<15 tahun) adalah 0.25/100,000 anak. Banyak studi di Eropa menunjukkan bahwa
Diabetes Mellitus Tipe 2 tidak biasa seperti di Amerika Serikat pada populasi ini, terhitung
hanya 1-2% dari semua kasus Diabetes Mellitus.
Diabetes Mellitus Tipe 2 yang telah diamati pada kelompok non-Kaukasia (Afrika
Amerika, penduduk asli Amerika, Hispanik) sangat tinggi, Diabetes Mellitus Tipe 2 dapat
terjadi pada semua ras. Angka kejadian Diabetes Mellitus Tipe 2 (per 100.000 orang-tahun)
pada anak-anak dan remaja sangat bervariasi antara etnis, dengan angka tertinggi yang
5
dilaporkan adalah pada remaja usia antara 15-19 tahun. Tingkat kejadian yang dilaporkan
adalah 49,4% untuk penduduk asli Amerika, 22,7% untuk Asia/Kepulauan Pasifik, 19,4%
untuk Afrika Amerika, 17% untuk Hispanik, dan 5,6% untuk kulit putih non-Hispanik.
Tabel 1 : Kejadian Diabetes Mellitus Tipe 2 di kalangan anak dan remaja
Race/Ethnicity Inciden Rate (%)
African American 19.4
American Indian 49.4
Asian/Pacific Islander 22.7
Hispanic 17.0
Non-Hispanic White 5.6
Beberapa studi mendukung bahwa Diabetes Mellitus Tipe 2 memiliki prevalensi
yang lebih besar dalam kelompok etnis berisiko tinggi, Diabetes Mellitus Tipe 2 terhitung
14,9% dari semua kasus diabetes di kalangan remaja kulit putih non-Hispanik. Meskipun
prevalensi terendah dari Diabetes Mellitus Tipe 2, diamati di Eropa, dapat dikaitkan dengan
perbedaan tingkat obesitas antara remaja AS dan Eropa, penjelasan untuk perbedaan ini
masih belum jelas .
Sebuah penelitian unit kerja koordinasi endokrinologi anak di seluruh wilayah
Indonesia pada awal Maret 2012 menunjukkan jumlah penderita diabetes usia anak-anak
juga usia remaja dibawah 20 tahun terdata sebanyak 731 anak. PDN (Pusat Diabetes dan
Nutrisi) rumah sakit umum Dr. Soetomo Surabaya pernah mengklaim pada tahun 2009 ada
sebanyak 650.000 anak Indonesia menderita Diabetes Mellitus dan sebagian besar Diabetes
Mellitus Tipe 2. Jumlah ini didapat dari hasil perhitungan 5% dari total 13 juta penderita
diabetes melitus dari seluruh kelompok umur tahun 2009.
Ilmu Kesehatan Anak FKUI (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia)
menjelaskan, jumlah anak yang terkena diabetes cenderung naik dalam beberapa tahun
terakhir ini. Tahun 2011 tervatat 65 anak menderita diabetes, naik 400% dibandingkan tahun
2009. 32 anak diantaranya terkena Diabetes Mellitus Tipe 2.
II.5 Patogenesis
6
Homeostasis glukosa bergantung pada keseimbangan antara sekresi insulin oleh sel
pankreas dan kerja dari insulin. Untuk menyebabkan hiperglikemia, resistensi insulin saja
tidak cukup, perlu adanya sekresi insulin yang inadekuat juga dalam proses patologisnya.
Gangguan sekresi insulin dan resistensi insulin berkontribusi bersama-sama dalam
patofisiologi penyakit Diabetes Mellitus Tipe 2.1
Secara fisiologis, glukosa darah dipertahankan dalam rentang yang sangat sempit
oleh respon sekretori sekresi insulin pankreas ke fluksus macronutrients yang dihasilkan
oleh makanan sehari-hari. Dalam menanggapi resistensi insulin, peningkatan kecil dalam
gula darah puasa (bahkan dalam rentang glukosa normal) menjadi salah satu sinyal untuk
peningkatan kompensasi dalam sekresi insulin. Selama resistensi insulin dan hiperglikemia
ringan yang dihasilkan bertahan, pankreas dipaksa untuk terus-menerus mensekresi insulin,
keadaan ini disebut 'beban allostatic'. Analisis prospektif menunjukkan bahwa toleransi
glukosa normal individu dengan beban allostatic pankreas tinggi memiliki peningkatan
risiko terhadap Diabetes Mellitus Tipe 2 dibandingkan dengan individu dengan allostatic
load pankreas yang rendah. Dengan demikian, obesitas yang disebabkan resistensi insulin
dapat menyebabkan Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan meningkatkan beban allostatic
pankreas. Salah satu cara yang mungkin bahwa peningkatan beban allostatic dapat
menyebabkan kegagalan dari pankreas endokrin adalah melalui pengaruh merugikan
hiperglikemia pada sel beta, yang sering disebut sebagai glukotoksisitas. Mekanisme
tersebut termasuk penurunan ekspresi gen yang relevan, diferensiasi beta sel dan
meningkatkan apoptosis. Selain itu, telah dikemukakan bahwa hiperglikemia kronik dapat
memperburuk resistensi insulin.2
Gangguan sekresi insulin adalah penurunan respon pada glukosa, yang diamati
sebelum onset klinis penyakit. Lebih khusus, toleransi glukosa terganggu (TGT) yang
disebabkan oleh penurunan respons glukosa sekresi insulin fase awal, dan penurunan
tambahan sekresi insulin setelah makan menyebabkan hiperglikemia postprandial. Sebuah
tes toleransi glukosa oral (TTGO) dalam kasus TGT umumnya menunjukkan respon
berlebihan pada individu Barat dan Hispanik, yang memiliki resistensi insulin yang tinggi.
Bahkan ketika respon tersebut terlihat pada orang dengan obesitas atau faktor lain, mereka
menunjukkan penurunan respon sekretori fase awal. Penurunan sekresi fase awal itu
7
merupakan bagian penting dari penyakit ini, karena perubahan patofisiologi dasar selama
timbulnya penyakit.3
Gangguan sekresi insulin umumnya progresif, dan perkembangannya melibatkan
glukosa toksisitas dan lipotoksisitas. Progresi dari penurunan fungsi sel pankreas sangat
mempengaruhi kontrol jangka panjang glukosa darah. Sementara pasien dalam tahap awal
setelah onset penyakit terutama menunjukkan peningkatan glukosa darah postprandial
sebagai hasil dari peningkatan insulin resistensi dan penurunan sekresi fase awal,
perkembangan kerusakan fungsi sel pankreas kemudian menyebabkan elevasi permanen
glukosa darah.3
Resistensi insulin adalah suatu kondisi di mana insulin dalam tubuh tidak sebanding
dengan konsentrasi darah. Penurunan nilai insulin pada organ target utama seperti hati dan
otot adalah patofisiologi umum dari Diabetes Mellitus Tipe 2. Penyelidikan mekanisme
molekuler untuk kerja insulin telah menjelaskan bagaimana resistensi insulin ini terkait
dengan faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik, termasuk tidak hanya reseptor
insulin dan substrat reseptor insulin (IRS) yang secara langsung mempengaruhi sinyal
insulin tetapi juga 3 gen reseptor adrenergik dan gen protein uncoupling (UCP), yang
berhubungan dengan obesitas viseral dan menyebabkan resistensi insulin. Glucolipotoxicity
dan inflamasi mediator juga penting sebagai mekanisme untuk gangguan sekresi insulin dan
gangguan sinyal insulin Perhatian ini difokuskan pada keterlibatan zat bioaktif adiposit yang
diturunkan (adipokinesa) dalam resistensi insulin. Sementara TNF, leptin, resistin, dan asam
lemak bebas bertindak untuk meningkatkan resistensi, adiponektin.3
Teori mengenai resistensi insulin yang diinduksi oleh asam lemak menyebutkan
bahwa akumulasi asam lemak dan metabolitnya di dalam sel akan menyebabkan aktivasi
jalur serin / threonine kinase, aktivasi jalur ini menyebabkan fosforilasi gugus tironin seperti
pada mekanisme kerja insulin yang normal akan terhambat. Hambatan pada fosforilasi pada
gugus serin dari kompleks IRS (Insulin Receptor Substrate), sehingga fosforilasi dari gugus
tironin seperti pada mekanisme kerja insulin yang normal akan terhambat. Hambatan pada
fosforilasi gugus tironin kompleks IRS ini menyebabkan tidak teraktivasinya jalur PI3
kinase dan menyebabkan glukosa tetap berada di ekstrasel. Resistensi insulin menyebabkan
penggunaan glukosa yang dimediasi oleh insulin di jaringan perifer menjadi berkurang.
Kekurangan insulin atau resistensi insulin akan menyebabkan kegagalan fosforilasi
8
kompleks IRS, penuruna translokasi GLUT4 dan penurunan oksidasi glukosa sehingga
glukosa tyidak dapat masuk ke dalam sel dan akan terjadi kondisi hiperglikemia.4
Gambar II.5.2 Mekanisme Resistensi Insulin yang Diinduksi oleh Asam Lemak 4
Sel beta pankreas pada awalnya akan mengkompensasi untuk merespon keadaan
hiperglikemi dengan memproduksi insulin dalam jumlah banyak dan kondisi ini
menyebabkan keadaan hiperglikemia. Kegagalan sel beta dalam merespon kadar glukosa
darah yang tinggi, akan menyebabkan abnormalitas jalur transduksi sinyal insulin pada sel
beta dan terjadi resistensi insulin. Resistensi insulin pada sel beta pankreas menyebabkan
aktivasi jalur Caspease dan peningkatan kadar ceramide yang menginduksi apoptosis sel
beta fase ini akan diikuti oleh berkurangnya massa sel beta pankreas. Pengurangan massa sel
beta pankreas ini akan menyebabkan resistensi insulin berkurang dan menyebabkan
Diabetes Mellitus Tipe 2.4,5
9
Gambar II.5.1 Faktor yang Mempengaruhi Kerusakan Sel Beta Pankreas2
Sel beta pankreas pada awalnya akan mengkompensasi untuk merespon keadaan
hiperglikemi dengan memproduksi insulin dalam jumlah banyak dan kondisi ini
menyebabkan keadaan hiperglikemia. Kegagalan sel beta dalam merespon kadar glukosa
darah yang tinggi, akan menyebabkan abnormalitas jalur transduksi sinyal insulin pada sel
beta dan terjadi resistensi insulin. Resistensi insulin pada sel beta pankreas menyebabkan
aktivasi jalur Caspease dan peningkatan kadar ceramide yang menginduksi apoptosis sel
beta fase ini akan diikuti oleh berkurangnya massa sel beta pankreas. Pengurangan massa sel
beta pankreas ini akan menyebabkan resistensi insulin berkurang dan menyebabkan
Diabetes Mellitus Tipe 2.
II.6 DIAGNOSIS
Manifestasi Klinis
Pada anak yang memiliki kecenderungan genetik dan risiko terpapar lingkungan (misalnya,
pola makan yang buruk dan kurang olahraga), resistensi insulin mungkin menyebabkan
hiperinsulinemia dan intoleransi glukosa. Pasien seperti ini biasanya berkunjung ke dokter
dengan keluhan glikosuria tanpa ketonuria, poliuria, polidipsia, dan polifagi.. Namun,
hingga 33% dari anak-anak ini ditemukan ketonuria saat diagnosis, dan 5% sampai 25%
pasien kemudian diklasifikasikan sebagai pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 yang memiliki
ketoasidosis pada presentasi awal.(3)
10
Pemeriksaan Laboratorium
Diabetes didiagnosis apabila(2):
Gula darah puasa (FPG) adalah ≥ 7.0 mmol / l (126 mg / dl)atau
Gula darah post TTGO > 11,1mmol / l (200 mg/dl)
Dilakukan seperti yang dijelaskan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO),
menggunakan glukosa setara dengan 75 g glukosa anhidrat dilarutkan dalam air.atau
Gejala diabetes dengan gula darah sewaktu ≥ 200 mg / dl (11,1mmol / L).
Tes gula darah puasa dan/atau tes toleransi glukosa oral (TTGO) umumnya
digunakan untuk mendiagnosa Diabetes Mellitus. Pada tahun 1997, ADA menetapkan
bahwa TTGO tidak boleh digunakan untuk diagnosis rutin, yang menyebabkan banyak
perdebatan. Pada tahun 2003, ADA menyimpulkan bahwa tidak ada bukti yang memadai
untuk menentukan tes yang lebih unggul untuk tujuan diagnostik. TTGO lebih sensitif, hasil
dari tes gula darah puasa lebih dapat diandalkan, nyaman, dan murah. (3)
Gambar II.6.1 Kriteria Diagnosis Diabetes Mellitus3
Kriteria diagnostik untuk diabetes didasarkan pada riwayat keluarga, pengukuran
glukosa darah dan ada tidaknya gejala diabetes(2). Gejala klasik Diabetes Mellitus adalah
poliuri, polidipsi dan polifagi Jika tidak ditemukan tanda hiperglikemia yang jelas, harus
dikonfirmasi pada hari berikutnya, dengan salah satu dari tiga metode tersebut.(1)
Diabetes pada anak-anak biasanya mempunyai gejala karakteristik seperti poliuria,
polidipsia, penglihatan kabur, dan penurunan berat badan. Diagnosis biasanya dikonfirmasi
dengan cepat dengan cara pengukuran kadar glukosa darah.
11
Tabel 1 : Pemeriksaan untuk DM tipe 2 pada anak dan remaja ( American Diabetes
Association, 2009 )
12
Gambar II.6.2 Algoritma untuk Pre Diabetes dan Diabetes Mellitus Tipe 2.
Indentifikasi dan Intervensi untuk Remaja ( University of Minnesota, Pediatric
Endocrinology 2009)(4)
13
Pedoman Skrining
The American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan bahwa anak-anak menerima
skrining untuk Diabetes Mellitus apabila mereka memiliki BMI di persentil ke-85 atau lebih
tinggi serta setiap dua faktor risiko tambahanya seperti riwayat keluarga Diabetes Mellitus
Tipe 2, ras atau etnis minoritas (yaitu, Afrika Amerika, Indian Amerika, Asia atau
Kepulauan Pasifik, dan Hispanik), tanda-tanda resistensi insulin atau kondisi yang
berhubungan dengan resistensi insulin (misalnya, akantosis nigrikans, dislipidemia,
hipertensi, atau PCOS) (5)
Skrining lanjut harus dilakukan setiap 2 tahun mulai dari usia 10 tahun atau pada
awal pubertas jika terjadi pada usia muda.(5)
Gambar II.6.3: Akantosis Nigrikans pada leher (A) dan ketiak (B) pada remaja Afrika
mempunyai DM tipe 2.
14
II.7 TERAPI
Terapi Diabetes Mellitus Tipe 2 meliputi edukasi kepada pasien dan keluarga, modifikasi
gaya hidup, dan terapi medikamentosa.Tujuan terapi Diabetes Mellitus Tipe 2 secara
keseluruhan adalah tercapainya kadar glukosa darah yang normal, penurunan berat badan
pada pasien obesitas, pengendalian faktor-faktor komorbid seperti hipertensi,dislipidemia,
nefropati, dan steatosis hepatik.1
1. Edukasi
Edukasi pada pasien dan keluarga dengan Diabetes Mellitus Tipe 2 sama pentingnya
pada Diabetes Mellitus Tipe 1. Pada Diabetes Mellitus Tipe 2, edukasi berperan
lebih besar pada perubahan gaya hidup, diet dan perubahan aktivitas fisik dari yang
biasanya. Edukasi biasanya diberikan oleh kelompok dengan pengetahuan dan
keahlian khusus tentang diet, latihan fisik, dan psikologis yang dibutuhkan oleh
penderita Diabetes Mellitus Tipe 2. Seluruh keluarga akan membutuhkan edukasi
untuk memahami prinsip-prinsip pengobatan Diabetes Mellitus Tipe 2 dan
memahami pentingnya perubahan gaya hidup untuk mengelola Diabetes Mellitus
Tipe 2.2
2. Perubahan gaya hidup
Perubahan gaya hidup adalah prinsip penting dalam pengobatan Diabetes Mellitus
Tipe 2. Keluarga dan anak harus memahami implikasi medis pada obesitas dan
Diabetes Mellitus Tipe 2 kemudian dokter harus memiliki pemahaman tentang
perilaku kesehatan dari keluarga / masyarakat untuk membuat rencana perilaku yang
efektif. Perubahan harus dibuat secara bertahap dan dengan pengertian bahwa
perubahan harus permanen. Pasien dan keluarga harus dilatih untuk memonitor
kuantitas dan kualitas makanan, perilaku makan, dan aktivitas fisik.2
Diet
Rekomendasi diet disesuaikan dengan budaya pasien, sumber daya keluarga, dan
keluarga harus didorong untuk membuat perubahan pola makan dengan rekomendasi
makan yang sehat, termasuk konseling individual untuk penurunan berat badan,
mengurangi asupan total lemak jenuh, meningkatkan asupan serat, dan
meningkatkan aktivitas fisik.2
15
Manajemen diet fokus awalnya yaitu mengurangi konsumsi soft drink dan jus
yang mengandung gula dalam jumlah besar, modifikasi gaya hidup (diet dan
aktivitas) sesuai usia, meliputi diet sehat dan kebiasaan aktivitas. Menekankan pola
pemeliharaan yang sehat berhubungan dengan diet dan aktivitas dengan mengajarkan
pada orang tua contoh kebiasaan yang sehat, menghindari diet yang terlalu ketat, dan
menghindari menggunakan makanan untuk hadiah.2
Direkomendasikan makanan harus dimakan sesuai jadwal, di satu tempat,
tanpa aktivitas lainnya (menonton televisi, belajar, membaca, bermain), kontrol porsi
makanan utama dan makanan ringan, membatasi ketersediaan makanan dan
minuman tinggi lemak dan tinggi kalori di rumah, membaca label makanan dan
mengontrol pembeliannya. Memberi dorongan positif dari prestasi yang kecil dan
menghindari menyalahkan kegagalan pada anak.2
Tatalaksan Obesitas Pada Anak
Tujuan utama dari tatalaksana obesitas adalah peningkatan kesehatan fisik jangka panjang
melalui kebiasaan gaya hidup sehat salah satunya adalah penurunan berat badan. 3
American Academy of pediatrics merekomendasikan tahap –tahap tatalaksana obesitas pada
anak3
Tahap 1 Pencegahan Plus(Prevention Plus)
Anak dengan Obesitas dan Overweight dan keluarganya difokuskan pada pola makan dan
aktivitas kebiasaan yangs ehat. Tahap ini adalah strategi pencegahan obesitas. Dampaknya
adalah perbaikan body Mass Index(BMI).
Tahap 2 Manajemen Struktur Berat Badan (Structured Weight Management)
Berbeda dengan pencegahan pada tahap 1 adalah target perilaku lebih sedikit dan lebih
banyak pada dukungan dan struktur yang difokuskan untuk mencapai target perilaku
tersebut.
Tahap 3 Structured Weight Management
16
Tahap untuk meningkatkan intersitas perubahan perilaku,frekuensi kunjungan,dan spesialis
yang terlibat untuk memaksimalkan dukungan terhadap perubahan perilaku.Umumnya
program jenis ini tidak dilakukan pada pelayanan kesehatan primer.Tujuan pola makan dan
aktivitas umumnya sesuai dengan tahap 2.
Tabel 1. Target Berat Badan dan Tahapan Intervensi Berdasarkan Katagori umur dan BMI.
Syifa tolong crop table 8 pada jurnal nama filex s164.full hal 22.
Tahap 4 Tertiary Care Intervention
Tahap ini adalah tahap intervensi intersif untuk remaja yang mengalami obesitas
berat.Remaja tersebut sudah melalui tahap 3,sudah cukup mampu untuk memahami risiko
yang ada dan mampu mempertahankan aktivitas fisik ,serta intervensi tambhan berupa diet
sehat dan aktivitas yang sesuai.
Manajemen Latihan Fisik
Program latihan fisik sangat penting untuk memutus lingkaran setan dari
peningkatan berat badan. Pendekatan ditujukan terutama untuk mengurangi waktu
luang, seperti dengan tidak menonton televisi dan mengurangi waktu di depan
komputer. Aktivitas fisik harus dipromosikan kepada anak dan keluarga. Ini harus
mencakup upaya setiap hari untuk secara fisik lebih aktif, seperti menggunakan
tangga daripada elevator,berjalan atau bersepeda ke sekolah dan ke toko, dan
melakukan pekerjaan rumah. Edukasi orang tua dengan anak Diabetes Mellitus Tipe
2 untuk berperilaku sehat, mengajarkan mereka untuk mendorong dan memuji
aktivitas fisik dan kegiatan sehari-hari anak.2
3. Terapi Farmakologi
Tujuan dari terapi farmakologi adalah untuk menurunkan resistensi insulin,
meningkatkan sekresi insulin, atau untuk memperlambat penyerapan glukosa
postprandial. Diet dan latihan fisik saja pada anak yang didiagnosis dengan
Diabetes Mellitus Tipe 2, mempunyai tingkat keberhasilan yang rendah. Pilihan
pertama pada anak dan remaja adalah metformin. Kegagalan monoterapi dengan
17
metformin lebih dari 3 bulan menunjukkan perlunya terapi tambahan insulin. Hanya
metformin dan insulin yang disetujui untuk digunakan pada anak – anak dan remaja.4
a. Metformin
Metformin bekerja pada reseptor insulin pada hati, otot, dan jaringan
lemak, dengan lebih dominan pada hati. Produksi glukosa hepatik dikurangi
dengan penurunan glukoneogenesis. Insulin meningkatkan penyerapan
glukosa pada otot dan lemak. Penggunaan jangka panjang dikaitkan dengan
penurunan 1-2% HbA1c. Metformin harus dimulai bersama dengan edukasi
perubahan gaya hidup, kecuali pada kasus yang membutuhkan insulin untuk
memperbaiki toksisitas glukosa dalam ketoasidosis. Direkomendasi
pemberian obat yang dimulai pada dosis rendah 500 mg setiap hari,
meningkat 500 mg setiap 1 sampai 2 minggu, sampai ideal dan maksimum
dosis 2000 mg sehari dibagi dalam 4 dosis. Umumnya, dosis yang lebih
tinggi dari 2000 mg per hari tidak memberikan efek terapi yang maksimal.
Metformin umumnya mempunyai toleransi yang lebih baik bersama dengan
makanan.2,4
Efek samping utama dari metformin adalah di traktus gastrointestinal
yang sering terjadi pada inisiasi metformin yang bersifat sementara dan
sering hilang jika obat tidak digunakan lagi.. Efek samping pada saluran
pencernaan (sakit perut, diare, mual) dapat terjadi. Ini dapat dihilangkan pada
kebanyakan pasien dengan lambat titrasi dosis lebih dari 3-4 minggu.
Metformin tidak boleh diberikan kepada pasien dengan gangguan ginjal,
penyakit hati, jantung atau insufisiensi pernapasan, atau yang menerima
bahan kontras radiografi. Metformin untuk sementara dihentikan selama ada
gangguan pada saluran pencernaan. 2,4
Insulin
Meskipun terjadi hiperinsulinemia dan resistensi insulin, dosis kecil
dari suplemen insulin sering kurang efektif. Jika ada kontrol glikemia yang
tidak adekuat pada terapi oral, sebuah analog long-acting insulin dapat
memberikan terapi yang memuaskan, tanpa terapi makanan. Metformin harus
dilanjutkan untuk meningkatkan sensitivitas insulin. 2
18
Jika hiperglikemia post-prandial terjadi, meglitinide yang diberikan
sebelum makan adalah pilihan awal yang terbaik. Jika hiperglikemia post-
prandial berlanjut, dapat digantikan dengan insulin rapid atau short acting.
Efek samping dari insulin adalah terjadinya hipoglikemia dan peningkatan
berat badan. 2
Gambar II.7.1 Algoritma tatalaksana Diabetes Mellitus Tipe 2 pada anak dan remaja.
19
II.8 Komplikasi
Insiden dan prevalensi Diabetes Mellitus Tipe 2 meningkat pada masa anak-anak, namun
hanya sedikit yang diketahui mengenai komplikasi yang terjadi. Beberapa komplikasi
Diabetes Mellitus Tipe 2 pada anak-anak dan remaja yaitu :
a) Komplikasi Mikrovaskuler
Dalam penelitian yang dilakukan di India Selatan terhadap 368 anak-anak dan
remaja dengan Diabetes Mellitus Tipe 2, didapatkan sebanyak 26,7% dengan
retinopati, 14,7% dengan mikroalbuminuria, 14,2% dengan neuropati, dan 8,4%
dengan nefropati. Salah satu alasan terjadinya peningkatan komplikasi
mikrovaskuler di kalangan remaja yang menderita Diabetes Mellitus Tipe 2 adalah
karena peningkatan hiperkoagulabilitas (karena untuk peningkatan D-dimer dan
kadar kolesterol total serum).
a. Komplikasi Retinopati
Kelainan retina terjadi sangat awal dalam perjalanan penyakit Diabetes Mellitus
Tipe 2. Pengontrolan terhadap kadar glukosa selama masa anak-anak dan remaja
dapat membantu menunda atau mencegah pengembangan terjadinya diabetes
retinopati.
b. Komplikasi pada Sistem Renal
Penyakit ginjal kronis dan penyakit ginjal fase akhir atau End-Stage Renal Disease
(ESRD) dapat terjadi sejak masa anak-anak, terutama pada anak dengan obesitas dan
menderita Diabetes Mellitus Tipe 2.. Anak dengan Diabetes Mellitus Tipe 2
memiliki resiko yang lebih tinggi terkena penyakit ginjal primer, seperti Nefropati
IgA, Glomerulonefritis Membrano Proliferative serta 4 kali resiko untuk terjadi
gagal ginjal
Hiperglisemia yang terjadi selama bertahun-tahun dapat meningkatkan
terjadinya komplikasi jangka panjang. Oleh karena itu, anak-anak yang didiagnosis
dengan Diabetes Mellitus Tipe 2 perlu dilakukan pemeriksaan skrining terhadap
Laju Filtrasi Glomerular (GFR), peningkatan tekanan darah dan Laju Ekskresi
20
Albumin Urin (U-AER). Deteksi terhadap mikroalbuminuria merupakan penanda
paling awal terhadap penyakit ginjal serta prediktor yang independen untuk
morbiditas dan mortalitas di masa yang akan datang. Namun, diagnosis penyakit
ginjal tidak dapat di tegakkan hanya berdasarkan dari pemeriksaan klinis dan
pemeriksaan labor. Biopsy ginjal diperlukan untuk menegakkan diagnosis secara
pasti.
c. Komplikasi Neuropati
Perubahan mikrovaskuler yang terjadi pada Diabetes Mellitus Tipe 2 juga
berdampak terhadap perkembangan otak, hal ini dapat terjadi sebelum
ditemukannya gangguan makrovaskuler. Dewasa dengan Diabetes Mellitus Tipe
2 diketahui mengalami penurunan yang signifikan volume hipokampus dan
prefontal seiring dengan peningkatan derajat atrofi serebral secara global.
Kemungkinan penyebabnya meliputi penurunan vasodilatasi pembuluh darah
pada Diabetes Mellitus Tipe 2 dan penurunan reaktifitas serebrovaskuler
terhadap kadar CO2.
b) Komplikasi Makrovaskuler
a. Perlemakan Hati Non Alkaholik / Non alcoholic fatty liver disease (NAFLD)
Penyakit perlemakan hati non alkaholik /Non alcoholic fatty liver disease
(NAFLD) ditandai dengan peningkatan enzim hati dalam serum yang terjadi
akibat infiltrasi dan akumulasi trigliserida pada sel hepatosit. Sebagai
konsekuensi terhadap peningkatan trigliserida, NAVLD sering dihubungkan
dengan hipertrigliseridemia, peningkatan kadar alanin transverase ALT dan
defisiensi vitamin D.
NAFLD merupakan penyebab tersering terjadinya penyakit hati pada
anak yang menderita Diabetes Mellitus Tipe 2, dislipidemia, serta obesitas
abdominal. Sekitar 40-70% anak dengan obesitas menderita NAFLD. Penyakit
fatty liver non alkaholik dan penurunan sensitivitas insulin dapat bersifat
reversible apabila dilakukan pengaturan diet dalam waktu singkat dan program
21
olahraga yang bertujuan untuk menurunkan berat badan. Namun apabila hal
tersebut belum bisa teratasi, NAFLD dapat menjadi progresif dan berlanjut
menjadi sirosis hati di kemudian hari baik pada masa anak-anak maupun dewasa.
Komplikasi lain dari NAFLD dapat mengakibatkan hepatokarsinoma, kematian
terkait kelainan hepar pada usia dewasa dan perkembangan penyakit
kardiovaskuler.
Peningkatan kadar enzim hepar tidak selalu bisa dijadikan dasar diagnosis
terjadinya NAFLD. Apabila kadar ALT meningkat 3 kali diatas normal selama lebih
dari 6 bulan, maka pemeriksaan USG abdomen perlu dilakukan untuk melihat
kemungkinan terjadinya hepatitis akibat virus. Biopsy hepar diperlukan untuk
menegakkan diagnosis pasti dan menentukan derajat NAFLD.
b. Komplikasi pada Sistem Pancreas
Kadar insulin fase awal dan C Peptide menurun pada remaja obesitas yang
menderita Diabetes Mellitus Tipe 2. Fungsi sel beta menurun seiring dengan
tingkat sensitivitas insulin. Hal ini terjadi akibat penurunan fungsi sel beta secara
cepat dan bahkan tanpa adanya perubahan terhadap sensitivitas insulin di hepar.
Pemeriksaan Hba1c merupakan suatu skrining atau deteksi dini terhadap
progresivitas penyakit dan resiko kekambuhan Diabetes Mellitus Tipe 2 pada
remaja.
c. Komplikasi pada sistem Pulmo
Pengambilan oksigen puncak yang ditentukan oleh masa lemak sangat
dipengaruhi oleh Diabetes Mellitus Tipe 2 pada masa dewasa. Saat dewasa (13-
18 tahun) diminta untuk melakukan Test Ergometri sampai terjadi kelelahan
menggunakan kalorimetri indirek, dimana mereka yang menderita Diabetes
Mellitus Tipe 2 memiliki intake oksigen maksimal 11 % lebih rendah dari orang
normal dengan berat badan yang sama tetapi tidak menderita Diabetes Mellitus
Tipe 2.
22
Diabetes Mellitus Tipe 2 juga memiliki efek terhadap proses pernapasan
selama tidur. Sensitivitas insulin memiliki hubungan yang negatif dengan
fragmentasi tidur dan hipoksemia intermiten pada laki-laki dewasa. Hal ini tidak
dipengaruhi oleh umur dan tumpukan jaringan lemak. Selain itu, hal ini dapat
menjadi prekursur perkembangann Diabetes Mellitus Tipe 2 pada dewasa yang
mengalami obesitas dikarenakan oleh penurunan metabolisme.
d. Hipertensi
Hipertensi lebih sering ditemukan pada anak dengan Diabetes Mellitus Tipe 2
dari pada Diabetes Mellitus Tipe 1, dimana ditemukan sebanyak 12 - 36 % pada
anak dengan Diabetes Mellitus Tipe 2. Pada saat didiagnosis dengan hipertensi,
sukar untuk ditentukan apakah anak tersebut menderita Diabetes Mellitus Tipe 1
atau Diabetes Mellitus Tipe 2. Ditambah lagi karena terdapatnya gejala yang
bercampur antara Diabetes Mellitus Tipe 1 dan Diabetes Mellitus Tipe 2. Perlu
penanganan secara proaktif dan terapeutik pada anak yang telah menderita
komplikasi hipertensi dalam perubahan gaya hidup agar dapat menurunkan
tingkat kejadian penyakit kardiovaskuler dimasa yang akan datang,
Perkembangan penyakit hipertensi bervariasi tergantung kepada etnis.
Anak yang menderita Diabetes Mellitus Tipe 2 di Etnis Melayu (Filipina)
memiliki resiko paling tinggi mengalami hipertensi dibandingkan dengan
kelompok etnis di Asia lainnya. Hipertensi merupakan komplikasi yang paling
sering diantara anak-anak, terutama pada suku Melayu.
e. Komplikasi Kardiovaskuler
Anak dengan Diabetes Mellitus Tipe 2 biasanya telah mengalami penurunan
terhadap fungsi kardiovaskuler. Aktivitas fisik regular dapat meningkatkan
kesehatan sistem kardiovaskuler dan menurunkan komplikasi Diabetes Mellitus
Tipe 2 jangka panjang. Salah satu komplikasi jangka panjang yaitu penyakit
jantung koroner. Hal ini terjadi karena ukuran lipoprotein densitas tinggi (HDL)
pada anak dengan Diabetes Mellitus Tipe 2 berubah menjadi partikel-partikel
kecil. Penyebab utama perubahan ini adalah resistensi insulin. Resistensi insulin
23
yang terjadi selama usia muda dapat mengakibatkan peningkatan morbiditas dan
mortalitas seseorang sepanjang hidupnya. Salah satu intervensi farmakologis
untuk mengatasi komplikasi Diabetes Mellitus Tipe 2 pada anak adalah dengan
pemberian obat metformin.
II.9 PROGNOSIS
Pencegahan komplikasi Diabetes Mellitus Tipe 2 adalah fokus utama untuk
memastikan prognosis yang baik. Manajemen yang intensif dan peningkatan kontrol
glikemik telah terbukti secara signifikan mengurangi perkembangan terjadinya komplikasi
mikrovaskular dan makrovaskular pada orang dengan Diabetes Mellitus Tipe 2.(3)
Pengetahuan mengenai diagnosis, perkembangan, rekomendasi skrining, dan rekomendasi
pengobatan pada Diabetes Mellitus Tipe 2 anak-anak dan remaja sangat kurang tidak seperti
Diabetes Mellitus Tipe 2 pada pasien dewasa. Sejumlah laporan telah mendokumentasikan
kejadian komorbiditas pada remaja dengan Diabetes Mellitus Tipe 2, tapi belum ada
penelitian yang mengamati perkembangan komorbiditas dan pengobatannya pada anak-anak
dan remaja.1 Sampai saat ini, sejumlah komplikasi telah diidentifikasi mengenai Diabetes
Mellitus Tipe 2 pada anak-anak dan remaja termasuk komplikasi mikrovaskuler kronis,
seperti retinopati, nefropati (mikroalbuminuria) dan neuropati perifer, dan komplikasi
makrovaskuler kronis seperti atheroskelerosis adalah yang paling lazim, dan ini mengurangi
harapan hidup dan kualitas hidup penderita. Atherosklerosis koroner dan kejadian
kardiovaskular sangat terkait dengan kontrol glikemik yang buruk. 5,6 Oleh karena itu,
pendekatan multifaktorial untuk manajemen diperlukan yang mencakup upaya untuk
mengendalikan hipertensi, dislipidemia dan obesitas serta hiperglikemia.2
Pengukuran kontrol glikemik langsung paling baik ditentukan oleh monitoring glukosa
darah karena ini dapat memberikan dokumentasi langsung dari hiperglikemia dan
hipoglikemia, yang memungkinkan penerapan strategi untuk pengobatan optimal, serta
untuk memastikan kadar glukosa selalu dalam batas normal. Hemoglobin A1c (HbA1c)
adalah satu-satunya ukuran kontrol glikemik yang akurat yang tersedia. Peningkatan HbA1c
dapat memprediksi komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler jangka panjang. Dari
24
penelitian Diabetes Control and Complications Trial (DCCT), 96% dari komplikasi pada
penderita berkorelasi dengan perubahan dalam HbA1c. DCCT, dan studi –studi yang serupa
memberikan bukti yang jelas bahwa jumlah komplikasi lebih sedikit dan onset komplikasi
lebih lambat pada remaja yang mempunyai kontrol metabolik yang baik, yang mempunyai
tingkat HbA1c yang lebih rendah. Penelitian lanjut dari data DCCT menunjukkan bahwa
kontrol glikemik 5-7 tahun yang buruk selama remaja dan dewasa muda, menghasilkan
peningkatan risiko komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler komplikasi dalam 6-10 thn
berikutnya.3
Penting untuk mempertahankan kadar HbA1 C yang normal bagi memastikan prognosis
yang baik. Saat ini, target kadar HbA1c yang dipakai untuk control glikemik adalah <7%,
namun target ketat glikemik sebesar 6,5% telah diusulkan untuk penderita Diabetes Mellitus
Tipe 2. Idealnya, ini memerlukan pencapaian target pemantauan glukosa sendiri <6mmol /
L (puasa) dan <8mmol / L (2hrs post-prandial). Pemeriksaan HbA1c sebaiknya dilakukan
setiap 3 bulan.4
Selain itu, pemantauan tanda-tanda komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler secara
klinis merupakan salah satu faktor penting mempengaruhi prognosis. Pemantauan ini harus
mencakup tes untuk mikroalbuminuria, skrining untuk retinopati, evaluasi tekanan darah
dan lipid darah. Skrining komplikasi ini harus dimulai pada saat tegaknya diagnosis.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Zeitler P, Hirst K, Pyle L, Linder B, Bethesda, Copeland K, et al. A Clinical Trial to
Maintain Glycemic Control in Youth with Type 2 Diabetes. N Engl J Med. 2012;
366:2247-56
2. Tfayli H, Arslanian S. Pathophysiology of Type 2 Diabetes Mellitus in Youth: The
Evolving Chameleon. Arq Bras Endocrinol Metab. 2009; 53:165-72
3. Springer SC, Silverstein J, Copeland K, Moore KR, Prazar GE, Raymer T, et al;
American Academy of Pediatrics. Management of Type 2 Diabetes Mellitus in Children
and Adolescents. Pediatrics. 2013; 648-62
4. Erhardt E, Molnar D. Is Type 2 Diabetes Mellitus A Significant Problem in European
Adolescents?. Scandinavian Journal of Nutrition 2004; 48:155-60
5. Diani A, Pulungan AB. Tatalaksana Metformin Diabetes Mellitus Tipe 2 pada Anak
Dibandingkan dengan Obat Anti Diabetes Oral yang Lain. Sari Pediatri 2010; 11:295-
400
6. Deepak N Parchwani, SMS Murthy, Amit A Upadhyah, Digisha D Patel, National
Journal of Physiology, Pharmacy & Pharmacology | 2013 | Vol 3 | Issue 1 | 57 – 68
7. Robert M, Hal B Jenson, Richard E, Bonita F. Nelson Textbook of Pediatrics 18 th
Edition
8. Tamara S. Hannon, Goutham Rao and Silva A. Arslanian, Childhood Obesity and Type
2 Diabetes Mellitus, Pediatrics 2005;116;473
9. Kohei kaku. Pathophysiology of Type 2 Diabetes and Its Treatment Policy, JMAJ 53(1):
41-46, Japan Medical Association- Journal 53 (1): 41-46, 2010
10. WHO.obesity: Preventing and managing the Global Epidemic. Geneva: WHO technical
Report Series, 2000.
11. Anila Chadha, MD, Malcolm S. Schwartz, DO, Type 2 Diabetes Mellitus in Childhood:
Obesity and Insulin Resistance, JAOA • Vol 108 • No 9 • September 2008
12. Ebe D’Adamo MD,Sonia Caprio MD,Type 2 Diabetes in Youth ; Epidemiology and
Pathophysiology, Journal Diabetes Care, Volume 34,2011.
13. Chiarelli, Francesco, Maria Loredana M. Insulin resistance and obesity in
childhood,EJE.2008
27
14. Kohei KAKU, Pathophysiology of Type 2 Diabetes and Its Treatment Policy. JMAJ:
41–46.2010.
15. P.A. Tatarani, Obesity, Diabetes & Energy Metabolism Unit, Clinical Diabetes &
Nutrition Section. Pathophysiology of obesity-induced insulin resistance and type 2
diabetes mellitus.2009
16. Savage DB, Petersen KF, Shulman GI, Mechanism of Insulin resistance in humans and
possible links with inflammation. Hypertension 2009;:828-33
17. Ten S, Maclaren N. Insulin resistance syndrome in children. J Clin Endocrinol Metab.
Jun;2004:2526-39..
18. Craig ME. Hattersley A. Donaghue KC. Definition, epidemiology and classification of
diabetes in children and adolescents, ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines
2009 Compendium, International Society for Pediatric and Adolescent Diabetes, 2009.
19. Rosenbloom AL, Silverstein JH, Amemiya S, Zeitler P, Klingensmith, G Type 2
diabetes in the child and adolescent, ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines
2009 Compendium, International Society for Pediatric and Adolescent Diabetes, 2009.
20. J Darrell Nesmith, Type 2 Diabetes Mellitus in Children and Adolescents, Pediatric in
review, 2005.
21. MN Diabetes Steering Commitee (MDSC) workgroup, Algorithm for Prediabetes &
Type 2 Diabetes Mellitus (T2DM) Identification and Intervention for Youth, University
of Minnesota Pediatric Endocrinology, 2009.
22. Malcolm S. Schwartz DO, Anila Chandha MD, Type 2 Diabetes Mellitus in Childhood:
Obesity and Insulin resistance, JAOA, 2008.
23. David A. Antonetti, Ph.D, Ronald Klein,M.D, M.P.H, Thomas W.Gardner, M.D,
Diabetic Retinopathy, NEJM, 2012.
24. Kenneth C. Copeland, Janet Silverstein, Kelly R. Moore, Greg E. Prazar, Terry Raymer,
Richard N. Shiffman, Shelley C. Springer, Vidhu V. Thaker, Meaghan Anderson,
Stephen J. Spann and Susan K. Flinn; American Academy of Pediatrics. Management of
Newly Diagnosed Type 2 Diabetes Mellitus (T2DM) in Children and
Adolescents.Pediatrics. 2013
28
25. Barlow SE.Expert Committee Recommendations Regarding the Prevention, Assessment, and Treatment of Child and Adolescent Overweight and Obesity: Summary Report. Pediatrics 2007.
26. Jordan DN, Jordan JL; Journal of Diabetes Research & Clinical Metabolism. Pediatric
type 2 diabetes mellitus complications: a systematic review of the literature, Journal of
Diabetes Research & Clinical Metabolism. 2012
27. Rewers M, Pihoker C, Donaghue K, Hanas R, Swift P, Klingensmith GJ. ; ISPAD
Clinical Practice Consensus Guidelines 2009 Compendium. Assessment and monitoring
of glycemic control in children and adolescents with diabetes. Pediatric Diabetes 2009:
10 (Suppl. 12): 71–81.
28. Department of Health, Western Australia. Type 2 Diabetes in Children and Adolescents
Model of Care and Clinical Practice Guideline. Perth: Princess Margaret Hospital and
Health Networks Branch, Department of Health, Western Australia; 2009.
29. Halpern A, Mancini MC, Magalhães EC, Fisberg M, Radominski R, Bertolami MC,
Bertolami A et al, ; Metabolic syndrome, dyslipidemia, hypertension and type 2 diabetes
in youth: from diagnosis to treatment. Diabetology & Metabolic Syndrome. 2010, 2:55
30. Donaghue KC, Chiarelli F, Trotta D, Allgrove J, Dahl-Jorgensen K; ISPAD Clinical
Practice Consensus Guidelines 2009 Compendium.Microvascular and macrovascular
complications associated with diabetes in children and adolescents. Pediatric Diabetes
2009: 10 (Suppl. 12): 195–203.
29