TUBERKULOSIS ANAK.doc

32
HIV/AIDS pada anak A. Definisi Human immunodeficiency virus adalah virus RNA yang termasuk family retroviridae dan genus lentivirus yang menyebabkan penurunan imunitas tubuh pejamu. Untuk mengadakan replikasi (perbanyakan) HIV perlu mengubah ribonucleic acid (RNA) menjadi deoxyribonucleid acid (DNA) di dalam sel pejamu. Seperti retrovirus lain, HIV menginfeksi tubuh, memiliki masa inkubasi yang lama (masa laten klinis) dan pada akhirnya menimbulkan tanda dan gejala AIDS. Acquired Immune Deficiency Syndrome adalah gejala berkurangnya kemampuan pertahan diri yang disebabkan penurunan kekebalan tubuh karena virus HIV (Kemenkes, 2012). Virus tersebut pertama-tama menyerang limfosit T-Helper dan makrofag yang mempunyai reseptor CD4 dalam tubuh. Sel-sel tersebut memegang peran penting dalam sistem imunitas manusia. Akibatnya, orang yang terinfeksi HIV menjadi rentan terhadap berbagai penyakit yang dikenal sebagai infeksi oportunistik (IO) karena rusaknya sistem imunitas tubuh. Orang terinfeksi virus tersebut menjadi infeksius sepanjang hidupnya

Transcript of TUBERKULOSIS ANAK.doc

HIV/AIDS pada anak A. Definisi

Human immunodeficiency virus adalah virus RNA yang termasuk family retroviridae dan genus lentivirus yang menyebabkan penurunan imunitas tubuh pejamu. Untuk mengadakan replikasi (perbanyakan) HIV perlu mengubah ribonucleic acid (RNA) menjadi deoxyribonucleid acid (DNA) di dalam sel pejamu. Seperti retrovirus lain, HIV menginfeksi tubuh, memiliki masa inkubasi yang lama (masa laten klinis) dan pada akhirnya menimbulkan tanda dan gejala AIDS.

Acquired Immune Deficiency Syndrome adalah gejala berkurangnya kemampuan pertahan diri yang disebabkan penurunan kekebalan tubuh karena virus HIV (Kemenkes, 2012).

Virus tersebut pertama-tama menyerang limfosit T-Helper dan makrofag yang mempunyai reseptor CD4 dalam tubuh. Sel-sel tersebut memegang peran penting dalam sistem imunitas manusia. Akibatnya, orang yang terinfeksi HIV menjadi rentan terhadap berbagai penyakit yang dikenal sebagai infeksi oportunistik (IO) karena rusaknya sistem imunitas tubuh. Orang terinfeksi virus tersebut menjadi infeksius sepanjang hidupnya dan dapat menularkan HIV melalui cairan tubuh mereka selama tidak mendapatkan terapi Anti Retroviral (ARV) (Kemenkes, 2012).B. Diagnosis 1. Gejala-gejala yang menunjukkan HIV masih mungkin

Infeksi berulang : Tiga atau lebih episode infeksi bakteri yang sangat berat (seperti pneumonia, meningitis, sepsis dan sellulitis) pada 12 bulan terakhir.

Bercak putih di mulut (thrush) : Eritema dengan bercak berwarna putih (pseudomembran) di langit-langit mulut, gusi dan mukosa pipi. Setelah masa neonatal ditemukannya bercak putih di mulut tanpa pengobatan antibiotik atau berlangsung lebih dari 30 hari walaupun telah diobati atau kambuh atau meluas melebihi bagian lidah kemungkinan besar merupakan imunodefisiensi. Juga khas apabila meluas sampai di kerongkongan yang menunjukkan Kandidiasis esofagus. Parotitis kronik : terdapatnya pembengkakan parotis unilateral atau bilateral (tepat di depan telinga) selama 14 hari dengan atau tanpa diikuti rasa nyeri atau demam.

Limfadenopati generalisata:terdapat pembesaran KGB pada dua atau lebih daerah ekstrainguinal tanpa penyebab jelas yang mendasarinya. Hepatomegali tanpa penyebab yang jelas: tidak terdapat infeksi virus lain seperti Sitomegalovirus (CMV). Demam yang menetap dan/atau berulang : demam (>38C) berlangsung 7 hari atau terjadi lebih dari sekali dalam waktu 7 hari. Disfungsi Neurologis:kerusakan neurologis yang progresif, mikrosefali, keterlambatan dalam perkembangan, hipertonia atau bingung (mental confusion).

Herpes zoster (shingles) : ruam kemerahan yang nyeri dengan bisul kecil terbatas pada satu dermatom di satu sisi. Dermatitis HIV:Ruam yang eritematosa dan papular. Ruam kulit yang khas meliputi infeksi jamur yang ekstensif pada kulit, kuku dan kulit kepala serta Molluscum contagiosum(MC) yang ekstensif.

Penyakit paru supuratif yang kronik (Chronic suppurative lung disease) (Kemenkes, 2012).2. Gejala yang umum ditemukan pada anak dengan infeksi HIV, tetapi juga lazim ditemukan pada anak sakit yang bukan infeksi HIV Otitis media kronik: cairan keluar dari telinga selama 14 hari.

Diare Persisten:diare yang berlangsung 14 hari.

Gizi kurang atau gizi buruk: berkurangnya berat badan atau memburuknya pertambahan

berat badan secara perlahan tetapi pasti dibandingkan dengan pertumbuhan yang seharusnya, sebagaimana yang tercantum dalam Kartu Menuju Sehat (KMS).

3. Gejala atau kondisi yang sangat spesifik untuk anak dengan infeksi HIV Bila didapatkan: PCP, Kandidiasis esofagus, LIP atau Sarkoma Kaposi. Skema permintaan Uji ini dinamakan Provider Initiated Testing and Counseling /PITC atau Konseling dan tes HIV atas inisiatif petugas kesehatan/KTIPK tanpa melihat faktor risiko perilaku (Kemenkes, 2012).Pemeriksaan serologi

Diagnosis infeksi HIV pada bayi yang terpajan pada masa perinatal dan pada anak kecil sangat sulit karena antibodi maternal terhadap HIV yang didapat secara pasif mungkin masih ada di dalam darah anak sampai anak berumur 18 bulan. Tantangan diagnostik meningkat bila anak sedang menyusu atau pernah menyusu. Meskipun infeksi HIV tidak dapat disingkirkan sampai umur 18 bulan pada beberapa anak, sebagian besar anak tidak lagi memiliki antibodi terhadap HIV pada umur 9 18 bulan. Pada anak umur kurang dari 18 bulan, diagnosis infeksi HIV bergantung pada gambaran klinis dan hasil uji HIV yang positif pada ibu (Kemenkes, 2012). JENIS UJI HIV

1. Uji antibodi HIV (ELISA atau rapid Test/Uji cepat)

Uji cepat makin tersedia dan aman, efektif, sensitif dan dapat dipercaya untuk menegakkan diagnosis infeksi HIV pada anak mulai umur 18 bulan. Untuk anak berumur < 18 bulan, Uji cepat antibodi HIV dapat dipercaya untuk mendeteksi bayi yang terpajan HIV dan untuk menyingkirkan infeksi HIV pada anak yang tidak mendapat ASI. Uji cepat HIV dapat digunakan untuk menyingkirkan infeksi HIV pada anak malnutrisi atau keadaan klinis berat lainnya di daerah dengan prevalens HIV yang tinggi. Untuk anak berumur < 18 bulan, semua uji antibodi HIV yang positif harus dipastikan dengan uji virologi sesegera mungkin. Jika hal ini tidak tersedia maka ulangi uji antibodi pada umur 18 bulan.2. Uji virologi

Uji virologi untuk RNA atau DNA yang spesifik HIV merupakan metode yang paling dipercaya untuk mendiagnosis infeksi HIV pada anak berumur < 18 bulan. Beberapa laboratorium khusus dapat melakukan uji ini. Jika anak pernah mendapatkan pencegahan dengan zidovudine (ZDV) selama atau sesudah persalinan, uji virologi tidak dianjurkan sampai 48 minggu setelah lahir karena ZDV mempengaruhi hasil. Satu uji virologi yang positif pada umur 48 minggu sudah cukup untuk membuat diagnosis infeksi pada bayi muda. Jika bayi tersebut masih mendapat ASI dan uji virologi RNA negatif maka uji tersebut perlu diulang 6 minggu setelah anak disapih untuk memastikan bahwa anak tidak terinfeksi HIV (Kemenkes, 2012).Penentuan status HIV anak

1. Kriteria klinis

Klasifikasi WHO berdasarkan penyakit yang secara klinis berhubungan dengan HIV

Stadium klinis pada anak

(Kemenkes, 2012).2. Kriteria imunologis

Klasifikasi WHO mengenai imunodefisiensi HIV menggunakan hitung CD4+ sebagai dasar menentukan klasifikasi.

(Kemenkes, 2012).C. Tatalaksana Umum Anak terinfeksi HIV

Langkah awal dalam tatalaksana anak yang terdiagnosis HIV adalah memastikan agar tumbuh dan kembangnya terjaga. Selanjutnya mendiagnosis dan menatalaksana IO yang ada seperti TB. Pemberian profilaksis untuk TB, PCP dan malaria merupakan bagian penting terutama pada anak dengan kadar limfosit CD4 sangat rendah (< 15%) atau bayi. Selanjutnya dilakukan penilaian untuk pemberian ARV yang meliputi memastikan orang dewasa yang akan menjadi pemberi minum obat, kondisi sosial ekonomi secara keseluruhan dan kepatuhan terhadap obat-obatan lain yang digunakan sebelum memulai terapi ARV (Kemenkes, 2012).

Pemberian ARV bukan merupakan langkah segera. Oleh karena itu, dalam konteks ko-nfeksi TB-HIV maka harus dipastikan OAT dimulai terlebih dahulu sebelum ARV dipertimbangkan (Kemenkes, 2012). Pemberian ART

Bayi yang dilahirkan oleh ibu HIV dan terbukti terinfeksi HIV langsung diberikan ART tanpa mempertimbangkan kadar CD4. Pada anak yang terinfeksi HIV, pemberian ART dimulai setelah pasien mendapat pengobatan TB selama 2-8 minggu (lebih disukai adalah 8 minggu) untuk mengurangi terjadinya IRIS dan efek samping obat yang saling tumpang tindih. Hal yang paling penting diperhatikan pada anak HIV dengan TB adalah potensi interaksi obat terutama golongan NNRTI dengan Rifampisin.

Pilihan obat ARV lini pertama yang digunakan pada anak TB-HIV

Anak umur > 3 tahun : 2 NRTI (Zidovudin dan Stavudin) + Efavirenz

Anak umur < 3 tahun : 2 NRTI (Zidovudin dan Stavudin) + Nevirapin

Anak semua umur : 3 NRTI (Zidovudin+Stavudin+Abacavir)

Pemberian ART dapat bersinergi dengan INH profilaksis. Dengan demikian pemberian ART dapat dimulai bersama dengan pemberian INH profilaksis (Kemenkes, 2012).

Pencegahan

PMTCT (Pencegahan Penularan HIV pada Perempuan, Bayi dan Anak) secara komprehensif menggunakan empat prong : Prong 1 : Mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia reproduktif. Dengan cara. Abstinence (Absen Seks Tidak melakukan hubungan seks), Be faithful (Bersikap Setia) / Tidak berganti-ganti pasangan seks, Condom / Cegah HIV dengan memakai kondom

Prong 2 : Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV positif; Prong 3 : Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi yang dikandungnya. Pencegahan dilakukan dengan cara : pemberian ARV profilaksis, konseling tentang makan bayi (pemberian susu formula) dan layanan persalinan aman (seksio sesarea).

Prong 4 : Memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu HIV positif beserta bayi dan keluarganya. Perawatan medis : Terapi profilaksis, Terapi ARV, Terapi infeksi oportunistik, Perawatan paliatif, Tes CD4, VL (viral load), dukungan psikologis : konseling, dukungan spiritual, dampingan sahabat dan dukungan masyarakat. Dukungan sosioekonomi : dukungan material, dukungan gizi. Perkiraan resiko dan waktu penularan HIV dari ibu ke bayi

Selama kehamilan : resiko 5-10 %, Ketika persalinan : 10-20 %, Melalui air susu ibu : 10-15 % , sehingga total keseluruhan resiko penularan : 25 45 %.

Selama kehamian resiko penularan disebabkan karena viral load ibu yang tinggi (infeksi baru/AIDS lanjut), infeksi plasenta (virus, bakteri dan parasit) dan infeksi menular seksual. Selama persalinan resiko penularan disebabkan karena viral load ibu tinggi, pecah ketuba dini (levih dari 4 jam), persalinan invasif dan korioamnionitis. Selama Menyusui resiko penularan : Viral load ibu tinggi, Durasi menyusui yang lama, Makanan campuran pada tahap awal, Mastitis / abses pada payudara, Status gizi yang buruk, Penyakit mulut pada bayi. Risiko penularan HIV dari ibu ke bayi bisa dikurangi (dari 25 - 45%) menjadi 2% jika dilakukan beberapap cara sebagai berikut :

1. Pemberian obat ARV ada saat kehamilan dan persalinan

2. Persalinan dengan secsio sesarea

3. Pemberian susu formula kepada bayi yang dilahirkanTatalaksana anak dari ibu pengidap HIV :

1. Pemberian ARV dalam rangka PMCT (Pencegahan Penularan HIV pada Perempuan, Bayi dan Anak). Pada tatalaksana ini yang difokuskan adalah Prong 3 : Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi yang dikandungnya. Pencegahan dilakukan dengan cara : pemberian ARV profilaksis, konseling tentang makan bayi (pemberian susu formula) dan layanan persalinan aman (seksio sesarea).2. Jadwal kunjungan pemantauan bayi :

Keterangan : Jadwal kunjungan disesuaikan dengan bayi sehat lainnya (klinik bersama) Tidak boleh ada pelabelan HIV Mengikuti jadwal bayi sehat lain (penimbangan, pemeriksaan KPSP, vitamin A, dll) Kewaspadaan universal tetap dilakukan

Gunakan kesempatan untuk pelayanan PMTCT Plus (kesehatan ibu, KB dan sterilisasi, kesehatan saudara kandung, penilaian ulang sosek, pasangan, keluarga besar) Manfaatkan untuk promosi nutrisi bagi ibu3. Pencegahan PCP Rekomendasi WHO menggunakan kotrimoksasol mulai 6 minggu 15 bulan, target 3 hari/minggu

Bila dana terbatas, gunakan hanya untuk bayi positif terinfeksi, dan bayi terpapar hingga minimal 6 bulan (PCR II)Kotrimoksazol 4 mg/kg

Berat BadanLarutan 8mg/mLTablet dewasa (SMX 400mg, TMP 80mg)

3 - 4.9 kg2 mL/hari

5 - 6.9 kg3 mL/hari

7 - 9.9 kg4 mL/hari1/2 tab

10 - 11.9 kg5 mL/hari1/2 tab

12 - 14.9 kg7 mL/hari1 tab

4. Imunisasi

Imunisasi diperlukan untuk melindungi bayi-bayi yang terekspos HIV Prinsip umum: tidak memberi vaksin hidup bila terdapat gejala infeksi HIV Untuk negara endemis dan sumber daya terbatas, BCG diberikan pada usia dini (mulai 0 bulan)5. Pemeriksaan status bayi Pemeriksaa status bayi harus dilakukan secepatnya Konseling pra dan pasca tes Menurut panduan yang berlaku dan perasat yang tersedia Manfaatkan/buat jejaring pemeriksaan

Co-Infeksi Tuberkulosis-HIVEpidemiologi

Tuberkulosis masih merupakan penyakit penting sebagai penyebab morbiditas dan mortalitas, dan tingginya biaya kesehatan Setiap tahun diperkirakan 9 juta kasus TB baru dan 2 juta di antaranya meninggal. Dari 9 juta kasus baru TB di seluruh dunia, 1 juta adalah anak usia 25% (Kartasasmita, 2009).Pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TB. Ko-infeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan. Di samping itu TB merupakan penyebab utama kematian pada ODHA (sekitar 40-50%). Kematian yang tinggi ini terutama pada TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru yang kemungkinan besar disebabkan keterlambatan diagnosis dan terapi TB. Sebagian besar orang yang terinfeksi kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) tidak menjadi sakit TB karena mereka mempunyai sistem imunitas yang baik. Infeksi tanpa jadi sakit tersebut dikenal sebagai infeksi TB laten. Namun, pada orang-orang yang sistem imunitasnya menurun misalnya ODHA maka infeksi TB laten tersebut dengan mudah berkembang menjadi sakit TB aktif. Hanya sekitar 10% orang yang tidak terinfeksi HIV bila terinfeksi kuman TB maka akan menjadi sakit TB sepanjang hidupnya; sedangkan pada ODHA, sekitar 60% ODHA yang terinfeksi kuman TB akan menjadi sakit TB aktif (Kartasasmita, 2009).

Dengan demikian, mudah dimengerti bahwa epidemi HIV tentunya akan menyulut peningkatan jumlah kasus TB dalam masyarakat. Pasien TB dengan HIV positif dan ODHA dengan TB disebut sebagai pasien ko-infeksi TB-HIV. Berdasarkan perkiraan WHO, jumlah pasien ko-infeksi TB-HIV di dunia diperkirakan ada sebanyak 14 juta orang. Sekitar 80% pasien ko-infeksi TB-HIV tersebut dijumpai di Sub-Sahara Afrika, namun ada sekitar 3 juta pasien ko-infeksi TB-HIV tersebut terdapat di Asia Tenggara. Dari uraian tersebut di atas, jelas bahwa epidemi HIV sangatlah berpengaruh pada meningkatnya kasus TB; sebagai contoh, beberapa bagian dari Sub Sahara Afrika telah memperlihatkan 3-5 kali lipat angka perkembangan kasus notifikasi TB pada dekade terakhir. Jadi, pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa keberhasilan pengendalian HIV. Hal ini berarti bahwa upaya-upaya pencegahan HIV dan perawatan HIV haruslah juga merupakan kegiatan prioritas bagi pengelola program TB (Kartasasmita, 2009).

Menurut WHO sepertiga penduduk dunia telah tertular TB, tahun 2000 lebih dari 8 juta penduduk dunia menderita TB aktif. Penyakit TB bertanggung jawab terhadap kematian hampir 2 juta penduduk setiap tahun, sebagian besar terjadi di negara berkembang. World Health Organization memperkirakan bahwa TB merupakan penyakit infeksi yang paling banyak menyebabkan kematian pada anak dan orang dewasa. Kematian akibat TB lebih banyak daripada kematian akibat malaria dan AIDS. Pada wanita kematian akibat TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan, dan nifas. Menurut perkiraan antara tahun 20002020 kematian karena TB meningkat sampai 35 juta orang. Setiap hari ditemukan 23.000 kasus TB aktif dan TB menyebabkan hampir 5000 kematian. Total insidens TB selama 10 tahun, dari tahun 1990-1999 diperkirakan 88,2 juta dan 8 juta di antaranya berhubungan dengan infeksi HIV. Pada tahun 2000 terdapat 1,8 juta kematian akibat TB 226.000 di antaranya berhubungan dengan HIV (Kartasasmita, 2009).

Faktor resiko

Perkembangan TB pada manusia melalui dua proses, yaitu pertama seseorang yang rentan bila terpajan oleh kasus TB yang infeksius akan menjadi tertular TB (infectious TB), dan setelah beberapa lama kemudian baru menjadi sakit. Oleh karena itu faktor risiko untuk infeksi berbeda dengan faktor risiko menjadi sakit TB. Terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun timbulnya penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi faktor risiko infeksi dan faktor risiko progresifitas infeksi menjadi penyakit (risiko penyakit).

1. Faktor resiko infeksi tuberkulosisFaktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif ), daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (higiene dan sanitasi tidak baik), dan tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara, atau panti perawatan lain), yang banyak

terdapat pasien TB dewasa aktif

2. Faktor resiko sakit

Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit TB. Berikut ini adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB menjadi sakit TB. 1. Usia. Anak berusia