Disusun Oleh - IIQrepository.iiq.ac.id/.../123456789/692/2/13210535_Publik.pdf · 2020. 6. 30. ·...
Transcript of Disusun Oleh - IIQrepository.iiq.ac.id/.../123456789/692/2/13210535_Publik.pdf · 2020. 6. 30. ·...
TAWAKAL DALAM AL-QUR’AN
(STUDI KOMPARATIF TAFSIR AL-MIZAN DAN RUHUL MA’ANI)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Tafsir Hadis (S. Ag)
Disusun oleh:
Nuraini Syarifuddin
Disusun Oleh :
Nur’aini Syarifuddin
NIM.13210535
Dosen Pembimbing:
Dr. H. Muhammad Ulinnuha, Lc. MA
PRODI ILMU AL-QUR`AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT ILMU AL-QUR`AN (IIQ) JAKARTA
2017 M / 1438 H
TAWAKAL DALAM AL-QUR’AN (STUDI KOMPARATIF TAFSIR AL-
MIZAN DAN TAFSIR RUH AL-MA’ANI
Proposal ini Disusun Dalam Rangka Memenuhi Tugas Pada
Mata Kuliah Seminar Proposal
Dosen Pembimbing :
Dr. Muhammad Ulinnuha, LC. MA
Disusun Oleh :
Nur’aini Syarifuddin
NIM. 13210535
PRODI TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ) JAKARTA
2016 M / 1437 H
No : Istimewa
Lampiran : 1 Berkas
Hal: Pengajuan Judul Skripsi
Kepada yang terhormat
Dekan Fakultas Ushuluddin IIQ Jakarta
Ibu Dr. Hj. Maria Ulfa, M.Ag
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Salam silaturrahmi kami haturkan, semoga ibu selalu dalam lindungan Allah Swt dan
Sukses dalam menjalankan aktifitas sehari-hari, Amin.
Nama : Nuraini Syarifuddin
Nim : 13210535
Memohon kepada ibu untuk memberikan persetujuan atas proposal judul skripsi saya,
serta dapat memberikan rujukan dosen pembimbing untuk memberikan kemudahan dalam
penulisan skripsi ini sebagai syarat kelulusan dalam memperoleh gelar sarjana pada program
strata 1 di fakultas Ushuluddin IIQ Jakarta.
Adapun skripsi yang saya ajukan berjudul “Tawakal dalam Al-Qur’an (Studi
Komparatif Tafsir Al-Mizan dan Ruh Al-Ma’ani)” Dengan proposal sebagaimana terlampir.
Dengan demikian permohonan ini saya sampaikan, Atas perhatian dan dukungannya
saya ucapkan terima kasih.
Wassalammu’alaikum Wr.Wb
Jakarta, 24 Januari 2017
Hormat saya
Nuraini Syarifuddin
13210535
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsi dengan judul “Tawakal dalam Al-Qur`an (Studi Komparasi Tafsir Al-
Mizan dan Al-Alusi)” yang disusun oleh Nuraini Syarifuddin dengan Nomor
Induk Mahasiswa 13210535 telah melalui proses bimbingan dengan baik dan
disetujui untuk diujikan pada sidang munaqosyah.
Jakarta, 3 Augustus 2017
Pembimbing,
Dr.H Muhammad Ulinnuha,LC.MA
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi dengan judul “Tawakal dalam Al-Qur`an (Studi Komparasi Tafsir Al-
Mizan dan Al-Alusi)” oleh Nuraini Syarifuddin dengan NIM 13210535 telah
diujikan pada sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu Al-
Qur`an (IIQ) Jakarta pada tanggal Juli 2017. Skripsi ini diterima sebagai
salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag).
Jakarta, Augustus 2017
Dekan Fakultas Ushuluddin
Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta
Dra. Hj. Maria Ulfah, MA
Sidang Munaqasyah
Ketua Sidang Sekretaris Sidang
Penguji I, Penguji II,
Pembimbing,
Dr. H. Muhammad Ulinnuha,LC. MA
iii
PERNYATAAN PENULIS
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Nuraini Syarifuddin
NIM : 13210535
Tempat/ Tgl. Lahir : Pelalawan,RIAU, 01 Januari 1995
Menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Tawakal dalam Al-Qur`an (Studi
Komparasi Tafsir Al-Mizan dan Al-Alusi)” adalah benar-benar asli karya
saya kecuali kutipan-kutipan yang sudah disebutkan. Kesalahan dan
kekurangan di dalam karya ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya.
Jakarta,2 Augustus 2017
Nuraini Syarifuddin
iv
PERSEMBAHAN
Saya Persembahkan karya sederhana ini teruntuk kedua orang tua tercinta,
ummi dan abi, kepada semua kakak saya, abang saya, kaka maisarah
(Almarhumah) dan abang Ghazali (Almarhum). Terima kasih telah
mendidikku dengan penuh kasih sayang dan kesabaran, doa yang selalu tak
pernah lupa engkau kirimkan untukku dan yang selalu memberikan ku
semangat untuk setiap langkah. Terima kasih atas semua jasa-jasamu yang
tak terbalaskan dengan kata-kata. Semoga Allah memberikan kesehatan
selalu kepada kedua orang tua dan family.
v
انسحيى بسى الله انسح
KATA PENGANTAR
Segala Puji bagi Allah swt yang Maha Kuasa hanya dengan izin-Nya
terlaksana kebijakan dan kesuksesan. Shalawat serta salam semoga
senantiasa tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad saw. Sahabat serta
para pengikutnya.
Dalam penulisan skripsi ini, Alhamdulillsah skripsi ini dapat
terselesaikan berkat adanya dorongan, nasehat serta bimbingan dari semua
pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada
semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini. di
antaranya kepada:
1. Allah swt, yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang atas setiap
kemudahan dan kelancaran-Nya selama penulis mengerjakan skripsi
ini.
2. Ibu Prof. Dr. Hj. Khuzaemah Tahido Yanggo, Lc, MA Ibunda kita
semua, Rektor Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta.
3. Ibu Dr. Hj. Maria Ulfa, MA dekan fakultas Ushuluddin IIQ
Jakarta,atas segala kebaikan dan bimbingannya.
4. Bapak Dr. H. M. Ulinnuha Husnan, Lc, MA selaku dosen
pembimbing yang telah meluangkan waktunya guna memberikan
bimbingan dan pengarahan yang sangat berarti dalam penulisan
skripsi ini.
5. Segenap dosen pengajar IIQ terutama Fakultas Ushuluddin jurusan
Tafsir Hadist yang telah memberikan banyak ilmu pengetahuan,
sehingga penulis mampu memahami banyak hal terkait ilmu-ilmu Al-
Qur`an.
vi
6. Segenap instruktur tahfidz atas ilmu dan semangat yang telah
diberikan kepada penulis. Kak A‟yuna, Ibu Mahmmudah, Ibu Atiqoh,
Ibu Amilah, Ibu Muthmainnah, dan Bu Istiq serta Bapak Fathoni.
7. Seluruh staf Fakultas yang telah membantu apapun yang dibutuhkan
penulis selama menjadi mahasiswa.
8. Pimpinan dan staf perpustakaan IIQ Jakarta, perpustakaan Fakulats
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, perpustakaan umum UIN Syarif
Hidayatullah, perpustakaan UIN SUSKA (Sultan Syarif Kasim) Riau,
perpustakaan PSQ, dan perputakaan Iman Jama‟ terimakasih atas
kesempatannya untuk penulis dalam mecari bahan yang diperlukan
dalam penyusunan skripsi.
9. Mommy tercinta Hj. Syarma dan my daddy H. Syarifuddin, serta my
brother H. Muslim Lc.MA. yang selalu memberikan supportnya serta
membantu dalam menyelasaikan skripsi ini, terimakasih momy,
daddy dan abang.
10. Teman teman angkatan 2013 terkhusus untuk teman teman
Ushuluddin, atas kebersamaan dan supportnya selama masa
perkuliahan hingga sekarang.
Harapan penulis, semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan
masayarakat. Semoga Allah melimpahkan Rahmat dan pahala-Nya kepada
kita semua. Amin.
Jakarta, Augustus 2017
Nuraini Syarifuddin
vii
DARTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... ii
PERNYATAAN PENULIS .......................................................................... iii
PERSEMBAHAN..........................................................................................iv
KATA PENGANTAR .................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................ vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................... xi
ABSTRAKSI ................................................................................................ xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Identifikasi, Pembatasan Dan Perumusan Masalah .................. 10
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ................................................ 12
D. Tinjauan Pustaka ....................................................................... 13
E. Metodologi Penelitian ............................................................... 15
F. Teknik Dan Sistematika Penulisan............................................ 16
BAB II HAKIKAT TAWAKAL
A. Pengertian Tawakal ................................................................... 19
1. Pengertian Secara Bahasa ..................................................... 19
2. Pengertian Secara Istilah ....................................................... 22
B. Urgensi Tawakal ....................................................................... 27
C. Identifikasi Ayat-ayat tentang Tawakal .................................... 39
D. Hubungan Tawakal dan Prilaku Keseharian ............................. 41
BAB III BIOGRAFI PENULIS DAN PROFIL KITAB TAFSIR
A. Biografi Muhammad Husain Thaba-thaba‟i ............................. 51
viii
B. Biografi Syihabuddin Sayyid Mahmud Afandi al-Alusi .......... 55
C. Profil Tafsir al-Mizan ................................................................ 61
a. Latar Belakang Penulisan Tafsir ................................ 61
b. Karya-karya Thaba-thaba‟i ........................................ 63
c. Metode dan Sistematika Penafsiran ........................... 65
d. Corak Penafsiran ........................................................ 66
e. Karakteristik Tafsir .................................................... 67
D. Profil Tafsir Ruhul Ma‟ani ........................................................ 68
a. Latar Belakang Penulisan Tafsir ................................ 68
b. Karya al-Alusi ............................................................ 70
c. Metode Penafsiran ...................................................... 70
d. Sumber Penafsiran ..................................................... 70
e. Corak Penafsiran ....................................................... 71
f. Referensi Tafsir .......................................................... 71
g. karakteristik Tafsir ..................................................... 72
h. Sistematika Penafsiran ............................................... 72
BAB IV PENAFSIRAN AYAT-AYAT TAWAKAL
A. Penafsiran Muhammad Husain Thaba-thaba‟i dan Al-Alusi .... 75
1. Perintah Tawakal ................................................................. 75
a. QS. At-Taubah [9]: 51 ................................................... 75
b. QS. Al-Ahzab [33]: 3 .................................................... 78
2. Tawakal Sifat Orang yang Beriman .................................... 79
a. QS. Al-Anfal [8]: 2 ........................................................ 80
b. QS. At-Taghabun [64]: 11-13 ....................................... 84
c. QS. Yunus [10]: 84 ........................................................ 86
3. Balasan Bagi Orang yang Bertawakal ................................. 90
a. QS. Al-„Ankabut [29]: 58-59 ........................................ 90
b. QS. Ath-Thalaq [65]: 3 .................................................. 92
ix
B. Analisis Persamaan dan Perbedaan Penafsiran ............................ 97
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................... 99
B. Saran ........................................................................................... 100
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 101
x
PEDOMAN TRANSLITERASI
A. Konsonan
Huruf
Arab Nama
Huruf
Latin Keterangan
alif - Tidak dilambangkan أ
”bā` B Huruf “be ة
”tā` T Huruf “te ث
”tsā` Ts Huruf “te” dan “es ث
jim J Huruf je ج
hā` H Huruf “ha” dengan garis bawah ح
”khā` Kh Huruf “ka” dan “ha خ
”dal D Huruf “de د
”dzal Dz Huruf “de” dan “zet ذ
”rā` R Huruf “er ز
”zai Z Huruf “zet ش
”sin S Huruf “es س
”syin Sy Huruf “es” dan “ye ش
”shād Sh Huruf “es” dan “ha ص
”dhād Dh Huruf “de” dan “ha ض
”thā` Th Huruf “te” dan “ha ط
”zhā` Zh Huruf “zet” dan “ha ظ
„ ain„ عKoma terbalik di atas hadap
kanan
”ghain Gh Huruf “ge” dan “ha غ
”fā` F Huruf “ef ف
”qāf Q Huruf “qi ق
”kāf K Huruf “ka ك
”lām L Huruf “el ل
”mim M Huruf “em و
nun N Huruf “en”
”wāwu W Huruf “we و
”hā` H Huruf “ha ھ
hamzah ` Apostrof ء
”yā` Y Huruf “ye ي
xi
B. Vokal
Vokal Tunggal
Tanda Vocal
Arab
Tanda Vokal
Latin Keterangan
A Harakat Fathah
I Harakat Kasrah
U Harakat Dhammah
Vokal Panjang
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin Keterangan
ȃ Huruf “a” dengan topi di
atas
Î Huruf “i” dengan topi di atas
Û Huruf “u” dengan topi di
atas
Vokal Rangkap
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin Keterangan
Ai Huruf “a” dan “i”
Au Huruf “a” dan “u”
C. Kata Sandang
1) Kata sandang yang diikuti oleh alif lam (ال) qamariyyah
ditransliterasi sesuai dengan bunyinya. Contohnya:
al-Madînah :انديت al-Baqarah :انبقسة
2) Kata sandang yang diikuti oleh alif lam (ال) syamsiyyah
ditransliterasi sesuai dengan aturan yang digariskan di depan dan
sesuai bunyinyaContoh:
xii
as-Sayyidah : انسيدة ar-rajul : انسجم
ad-Dȃ : اندازيى asy-syams : انشس rimî
3) Syaddah (Tasydîd) dalam sistem aksara Arab digunakan dengan
lambang (__), sedangkan untuk alih aksara dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan cara menggandakan huruf yang bertanda tasydîd.
Aturan ini berlaku umum, baik tasydîd yang berada di tengah kata, di
akhir kata ataupun yang terletak setelah kata sandang yang diikuti
oleh huruf-huruf syamsiyyah. Contoh:
Âmannȃ : أيب ببلله billȃ hi انسفهبء Âmana as-Sufahȃ : أي ’u
انري wa ar-rukka’i : وانسكع Inna al-ladzîna : إ
4) Ta Marbuthah (ة) apabila berdiri sendiri, waqaf atau diikuti oleh kata
sifat (na’at), maka huruf tersebut dialih aksarakan menjadi huruf “h”.
Contoh:
al-Af`idah : الأفئدة
al-Jȃ : انجبيعت الإسهبييت mi’ah al-Islȃ miyyah
Sedangkan ta marbuthah yang diikuti atau disambungkan (di-
washal) dengan kata benda (isim), maka dialih aksarakan menjadi
huruf “t”. Contoh:
Âmilatun Nashibah’: عبيهت بصبت
al-Âyat al-Kubrȃ : الٱيت انكبسى
xiii
ABSTRAKSI
Nuraini Syarifuddin (13210535)
Tawakal dalam Al-Qur`an ( Studi Komparasi Tafsir Al-Mizan dan Al-
Alusi)
Skripsi ini menelaah tentang makna tawakal, penulis mengambil tema
ini karena banyak orang salah dalam memahami makna tawakal kepada Allah
swt. Mereka menganggap bahwa tawakal itu semata-mata menyerah kepada
Allah tanpa berusaha. Itulah yang membuat penulis terdorong untuk
mengkaji lebih mendalam, apakah tawakal itu bisa membawa perbedaan
dalam maksud ataupun tujuannya dengan mengambil penafsiran dari tafsir
Al-Mizan dan Al-Alusi, yang mana keduanya merupakan mufassir dari
madzhab theologi yang berbeda, yaitu Syi‟ah dan Sunni.
penelitian ini termasuk dalam penelitian kepustakaan (Library
Research), maka penulis merujuk kepada Tafsir Al-Mizan dan Tafsir Al-
Alusi sebagai data primer. Kemudian didukung oleh data dari literature yang
ada kaitannya dengan penelitian ini. Selanjutnya tehnik pengumpulan data
yang digunakan adalah dokumentasi. Data-data tersebut dikumpulkan
seterusnya mencari titik persamaan dan perbedaannya melalui pendekatan
metode tafsir muqarin.
Muhammad Husain Thaba-thaba‟i menafsirkan tawakal adalah
bergantung pada takdir yang telah ditetapkan Allah atau bersifat Jabariyyah.
Segala urusan hanya Allah saja yang mengatur tanpa campur tangan manusia
di dalamnya, jadi manusia tidak diperkenankan berikhtiar. Sedangkan al-
Alusi menjelaskan Tawakal itu adalah menyerahkan kepada Allah segala
perkara setelah berusaha dan berikhtiar, kita hanya perlu bersandar kepada-
Nya karena hanya Dia-lah yang mampu mengurus segala urusan hamba-
hamba-Nya.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang
cukup signifikan antara mufassir sunni dan syi‟ah. Mufassir sunni
mengatakan Tawakal merupakan landasan atau tumpuan terakhir dalam
sesuatu usaha atau perjuangan. Baru berserah diri kepada Allah setelah
menjalankan ikhtiar. , sedangkan mufassir Syi‟ah lebih condong ajaran
Jabariyyah.
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur‟an adalah mukjizat Islam yang kekal dan mukjizatnya
selalu diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Ia kalamullah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw untuk mengeluarkan manusia
dari suasana yang gelap menuju yang terang serta membimbing mereka
ke jalan yang lurus.1
Hati merupakan dasar keimanan dan tempat berpencarnya iman,
satu-satunya landasan universal untuk mengenal hati beserta tingkah
lakunya adalah tawakal kepada Allah. Realisasi tawakal hanya kepada
Allah, Dialah yang Maha Penolong dan tak suatu pun bisa menandingi-
Nya dan tidak mungkin tawakal dilakukan sesama makhluk yang
lemah. Tawakal kepada Allah akan memberi pengaruh pada perbuatan-
perbuatan hati lainnya dan juga akan diikuti oleh perbuatan serta gerak-
gerik jasmani.
Sikap manusia terhadap perkara tawakal ini amat beraneka
ragam, diantara mereka ada sekelompok manusia yang telah takluk
dengan kehidupan materi yang melampaui batas hingga menimbulkan
kesengsaraan yang membawa mereka amat menggantungkan hidup
dengan harta. Sikap seperti ini amat jelas pengaruhnya pada hati yaitu
hati menjadi asing untuk melakukan tawakal kepada Allah, mereka
hanya mengandalkan otak dan berbangga diri dengan apa yang mereka
miliki yang berupa pengetahuan.
Sebaliknya di antara manusia ada yang merasa puas dengan
duduk berdiam diri, senang menunda-nunda pekerjaan, kemalasan dan
1 Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, terj. Mudzakir AS
(Jakarta;Pustaka Litera AntarNusa,2012), cet. Ke-15, h. 1
2
kebodohan menyelimuti diri mereka, walaupun demikian mereka tetap
mencari-cari alasan untuk membenarkan apa yang mereka lakukan
dengan dalih bahwa mereka bertawakal kepada Allah, mereka
menganggap bahwa tawakal adalah meninggalkan sarana dan usaha
yang mendatangkan keuntungan materi atau harta. Singkatnya mereka
sudah merasa puas dengan rizki yang didapat dari orang lain dan dari
sedekah-sedekah yang mereka terima, mereka hidup di sudut-sudut
kehidupan dan terpencil dari dinamika kehidupan.
Manusia dalam kehidupan pribadi dan sosialnya, bahkan
kehidupan ekonomi dan politik yang sehari-hari ia lewati, memerlukan
pihak lain. Kekurangan dan kelemahan memaksa manusia memerlukan
bantuan, sandaran, penolong, pelindung yang dalam bahasa sehari-hari
disebut wakil. Dalam ajaran Islam, manusia dituntut untuk memiliki
sifat tawakal.2
Ungkapan tawakal adalah ungkapan agama, ungkapan
ruhaniyyah yang berkaitan dengan keyakinan seseorang pada Allah dan
berkaitan dengan tauhid. Tawakkal hanya dimiliki oleh orang yang
beriman kuat dan memiliki tauhid yang tinggi, sehingga tidak ada
pikiran yang tertanam dalam dirinya, kecuali pikiran tentang Allah
dengan segala kemahakuasaan, dan segala sifat-sifat luhur lainnya,
pantas jika tawakal hanya dimiliki orang khas, bukan kaum awam atau
masyarakat kebanyakan yang tingkat tauhid, iman,dan takwanya
rendah.3 Sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Mâidah ayat 11:
2 Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur‟an, Tafsir al-Qur’an Tematik,(Jakarta: Lajnah
Pentashih Mushaf al-Qur‟an Kementrian Agama RI, 2010), h. 206 3 Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur‟an, Tafsir al-Qur’an Tematik,(Jakarta: Lajnah
Pentashih Mushaf al-Qur‟an Kementrian Agama RI, 2010), h.211
3
“ Hai orang-orang yang beriman, ingatlah kamu akan nikmat Allah
(yang diberikan-Nya) kepadamu, di waktu suatu kaum bermaksud
hendak menggerakkan tangannya kepadamu (untuk berbuat jahat),
Maka Allah menahan tangan mereka dari kamu. dan bertakwalah
kepada Allah, dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin
itu harus bertawakkal”. (QS. Al-Mâidah[5]: 11)
Keterikatan antara iman dan tawakal, maka tak diragukan lagi
bahwa buah tawakal yang paling utama dihasilkan adalah terealisasinya
keimanan seorang hamba, yang mana tak ada iman kecuali dengan
sikap tawakal, buah tawakal juga merupakan sesuatu yang amat
melapangkan dada dan tak ada yang bisa melapangkan hati selain sikap
tawakal tentunya.
Jika seorang hamba bertawakal kepada Allah dengan sebanar-
benarnya tawakal maka Allah akan mengangkat darinya kesedihannya
dan membuat ia nyaman dari sesuatu yang membuatnya gelisah, lalu
Allah menurunkan pada diri orang itu ketenangan.4
Tawakal adalah suatu prilaku di dalam hati yang bersumber dari
pengenalan seseorang kepada Allah, serta adanya keyakinan bahwa
Allah satu-satunya yang melakukan penciptaan, pengaturan, bahaya,
manfaat, pemberian dan penolakan, dan bahwa apa yang Allah
kehendaki maka akan terlaksana, dan apa yang Allah tidak kehendaki
4 Abdullah bin Umar ad-Dumaiji, Rahasia Tawakal dan Sebab Akibat, terj.
Kamaluddin Sa‟diatulharamain dan Farizal Tarmizi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2000), h. 82
4
maka tak akan terlaksana, maka wajib bagi seseorang untuk
menyandarkan perkaranya kepada Allah, menyerahkan kepada-Nya,
percaya kepada-Nya serta yakin kepada-Nya dengan suatu keyakinan
bahwa yang disandarkan itu akan mengurusnya dengan sebaik-baik
bagi dirinya.
Menurut Ibnu Qayyim (w. 751 H) dalam buku Rahasia Tawakal
dan Sebab Akibat mengatakan Tawakal adalah sebab yang paling
utama yang bisa mempertahankan seorang hamba ketika ia tak
memiliki kekuatan dari serangan makhluk Allah lainnya yang menindas
serta memusuhinya, tawakal adalah sarana yang paling ampuh untuk
menghadapi keadaan yang seperti itu, karena ia telah menjadikan Allah
pelindungnya atau yang memberinya kecukupan, maka barang siapa
yang menjadikan Allah pelindungnya serta yang memberinya
kecukupan maka musuhnya itu tak akan bisa mendatangkan bahaya.5
Menurut Imam al-Ghazali (w. 505 H) dalam Ihyā’ Ulûmuddin,
menyatakan, “Pembicaraan tentang tawakal merupakan pembicaraan
amat samar dan sulit, manusia tidak sanggup menyingkap ketertutupan
ini karena amat sulit. Namun beliau dalam uraian selanjutnya, masih
dalam al-ihya‟ memaknai tawakal, maka tawakal adalah suatu
ungkapan yang menggambarkan tertumpunya hati atas wakil saja.
Menurut Dzun Nun al-Misri (w. 246 H) dalam buku Tafsir al-
Qur’an Tematik menyatakan, “Tawakal adalah jiwa tidak mengatur
dan merencanakan sama sekali, dan melepaskan diri dari daya upaya
dan kekuatan. Tawakal seseorang menjadi kuat apabila ia telah
mengetahui bahwa Allah senantiasa mengetahui dan melihat apa yang
sedang dilakukannya.
5 Abdullah bin Umar ad-Dumaiji, Rahasia Tawakal dan Sebab Akibat, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2000), h. 80
5
Menurut Al-Qurtubi (w. 671 H) dalam buku Tafsir al-Qur’an
Tematik mengartikan kata wakil dan tawakal, sebagaimana terdapat
dalam tafsirnya sebagai berikut: “Tawakal menurut bahasa ialah,
menampilkan kelemahan dan bersandar atas yang lain. Ungkapan
wakala (mad wa) fulanun, kalau seseorang menyia-nyiakan urusannya
dengan menyerahkan kepada yang lain.6
Menurut Buya Hamka (w. 1981 M),dalam buku Tawakal Bukan
Pasrah mengatakan mengenai tawakal. Menurutnya, pengakuan iman
belum berarti kalau belum tiba di puncak tawakal. Oleh sebab itu
apabila orang mukmin telah bertawakal, berserah diri kepada Allah
Swt, terlimpah dalam dirinya sifat azȋ z (terhormat lagi mulia) yang
ada pada-Nya. Ia tidak lagi takut menghadapi maut. Selain itu
terlimpah kepadanya pengetahuan Allah. Dengan demikian, ia
memperoleh berbagai ilham dari Allah untuk mencapai kemenangan.7
Banyak sekali kita dapati ayat-ayat Al-Qur‟an yang
memerintahkan kita bertawakal, sebagaiamana tersebut dalam firman-
Nya:
“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang bertawakkal kepada-Nya”.(QS.Ali-Imrân[3]: 159)
..........
“Dan bertakwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah sajalah
orang-orang mukmin itu harus bertawakkal.”(QS.Al-Mâidah[5]: 11)
6 Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur‟an, Tafsir al-Qur’an Tematik,(Jakarta: Lajnah
Pentashih Mushaf al-Qur‟an Kementrian Agama RI, 2010), h. 208-209 7 Supriyanto , Tawakal Bukan Pasrah, (Jakarta: Qulum Media, 2010), h. 9
6
Seperti halnya zuhud dan qanā‟ah, tawakal juga salah satu sifat
yang harus dimiliki oleh setiap orang mukmin untuk membentengi diri
dari godaan materi. Sifat tawakal ini merupakan kelengkapan sifat
qana‟ah yang kedua-duanya saling melengkapi, tidak bisa dipisah-
pisahkan.
Namun perlu diingat bahwa sifat tawakal itu bukan berarti orang
tidak diwajibkan berikhtiar. Orang hidup diwajibkan ikhtiar yaitu
berusaha menurut kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Setelah itu dilakukan barulah tawakal. Oleh sebab itu benarlah bila
dikatakan bahwa “Tawakal itu sesudah ikhtiar”.
Tawakal juga merupakan berserah diri kepada Allah,
menyerahkan keputusan segala perkara, ikhtiar dan usaha kepada-Nya.
Sebagai mana kita ketahui bahwa di dalam asmaul husna, nama-nama
Allah yang bagus lagi indah, Allah mempunyai sifat al-Wakȋ l dan al-
Wāly. Dengan sifat itu, alangkah tepatnya bila orang-orang mukmin
bertawakal kepada-Nya. Sehingga dengan begitu mereka tidak perlu
bersedih hati atau berkecil hati di dalam menghadapi segala urusan
yang dirasa berat atau menyulitkan.8
Seorang muslim tidak memandang tawakal kepada Allah dalam
segala perbuatannya sebagai suatu akhlak semata, akan tetapi
memandangnya sebagai kewajiban agama dan menggolongkannya
sebagai akidah Islam. Tawakal secara mutlak kepada Allah merupakan
bagian dari akidah orang yang beriman kepada Allah.
Dengan demikian, seorang muslim berutang kepada Allah dengan
tawakal kepada-Nya dan sepenuhnya menghadapkan diri kepada-Nya.
Dia tidak memahami tawakal seperti pemahaman orang-orang yang
8 Abdullah bin Umar ad-Dumaiji, Rahasia Tawakal dan Sebab Akibat, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2000), h. 85
7
tidak tahu Islam dan para musuh kaum muslimin yang menyatakan
bahwa tawakal hanyalah sekadar kata-kata yang digumamkan lidah
tetapi tidak dipedulikan oleh hati, atau didengungkan oleh bibir tetapi
tidak dipahami oleh akal, atau yang hanya direnungkan oleh pikiran.
Seorang muslim memahami tawakal yang merupakan bagian dari
iman dan akidahnya sebagai ketaatan kepada Allah dengan cara
menyediakan saran yang memadai bagi segala perbuatan yang
dilakukannya. Jadi, tawakal bagi seorang muslim adalah perbuatan
sekaligus cita-cita, yang diiringi ketenangan hati dan jiwa serta
keyakinan yang kuat bahwa apapun yang dikehendaki Allah pasti
terjadi dan apa pun yang tidak dikehendaki pastilah tidak terjadi, dan
bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan balasan bagi orang yang telah
berbuat sebaik-baiknya.9
Sebagian Ulama Salaf berkata, “Tawakal kepada Allah itu adalah
setengah agama.” Penjelasannya adalah bahwa agama ituada dua
bagian;ibadah dan memohon pertolongan, sebagaimana Allah
memerintahkan orang-orang yang beribadah agar mereka
mengucapkan.10
“ Hanya Engkaulah yang Kami sembah,dan hanya kepada Engkaulah
Kami meminta pertolongan.”( QS. Al-Fâtihah[1]:5)
Bertawakal kepada Allah itu maknanya adalah menyerahkan
segala urusan kepada Allah. Allah mengendalikannya sesuai kehendak-
Nya, sehingga seorang hamba harus memohon pertolongan kepada
9 Syaikh Abu Bakar Jabir A-Jazairi, Munhajul Muslim, penerjemah:Fedrian
Hasmand (Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, 2015) h.257-258 10
Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi, 40 Karakteristik mereka yang Dicintai
Allah berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah, (Jakarta: Darul Haq) h. 126
8
Allah atas segala sesuatu, kemudian bersikap ridha terhadap ketentuan
dan pilihan yang telah dipilihkan oleh-Nya bagi hamba-hamba-Nya.
Allah tidaklah akan menentukan suatu ketentuan apapun bagi
seorang hamba-Nya yang beriman, kecuali ketentuan itu merupakan
sesuatu yang baik untuknya. Oleh karena itu, istikharah adalah
merupakan ciri alamat dan ciri penyerahan diri kepada Allah Rabb
semesta alam.
Orang yang bertawakal kepada Allah dalam sesuatu yang sudah
diketahui bahwa ia akan dapat memperolehnya, baik di dalam masalah
rizki, kesehatan, atau kemenangan atas musuh-musuh, masalah
keturunan, atau masalah anak. Seseorang yang benar tawakalnya
kepada Allah dalam menghasilkan sesuatu, niscaya dia akan
memperolehnya.
Perlu diketahui, bahwasanya tawakal kepada Allah itu tidak
meniadakan mencari sebab-sebabnya, karena keduanya itu hukumnya
wajib, mencari sebab-sebab itu wajib, dan bertawakal kepada Allah pun
juga wajib.
Maka mencari sebab-sebab itu tidaklah meniadakan tawakal,
namun maksud dari tawakal setelah mencari sebab-sebabnya itu adalah
agar tidak hanya menoleh kepadanya dan tidak hanya menyandarkan
kepadanya, karena siapa yang menyandarkan kepada sesuatu, niscaya
ia akan dibebankan kepadanya.11
Seperti halnya terjadi dikalangan mahasiswi IIQ yang mana pada
saat mendekati Ujian Akhir Semester mahasiswi IIQ diwajibkan untuk
menyelesaikan Hafalan sesuai dengan program yang dia ambil. Disini
kebanyakan mahasiswi IIQ mulai fokus untuk menyelesaikan
11
Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi, 40 Karakteristik mereka yang Dicintai
Allah berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah, (Jakarta: Darul Haq) h. 133-135
9
hafalannya agar bisa mengikuti UAS( Ujian Akhis Semester). Namun
kebanyakan mahasiswi IIQ mulai menyerah sehingga kebanyakan dari
mahasiswi turun program hafalan menjadi lima juz, tawakal disini
sangat diperlukan karena bertujuan untuk mengokohkan keimanan
kepada Allah swt, dengan tawakal akan hilang keangkuhan, putus asa
pada diri manusia. Mereka tidak akan menyakiti diri dan stress.
Seseorang yang bertawakal akan tetap tabah dengan kondisi yang ada,
walau memiliki kekurangan dan keterbatasan karena disampingnya ada
yang Maha Kuat.
Adapun tentang anjuran bertawakal, dari Umar bin al-Khattab ra,
Rasulullah saw bersabda, “Seandainya engkau bertawakal kepada
Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah akan memberikan
rezeki kepadamu seperti Dia memberikan rezeki kepada seekor burung
yang pergi dalam keadaan perut kosong dan pulang dalam keadaan
perut kenyang.”
Dalam sebuah riwayat, dikatakan bahwa diantara do‟a ma‟tsur
(berdasarkan al-Qur‟an dan Hadis)adalah ucapan “ HasbunAllah wa
ni’mal-wakȋ l, ni’mal mawla wa ni’man-nashȋ r (cukuplah Allah dan
Dialah sebaik-baik tempatberserah, Dialah sebaik-baik Pelindung dan
Dialah sebaik-baik Penolong.)” Do‟a ini diucapkan oleh Nabi Ibrahim
as ketika ia dilemparkan ke dalam kobaran api. Do‟a in juga diucapkan
oleh Nabi Muhammad saw dan orang-orang beriman ketika diberitakan
kepada mereka, “Orang-orang (Quraisy) telah mengumpukan pasukan
untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka,”
ternyata(ucapan) itu menambah (kuat) iman mereka dan mereka
menjawab, “ Cukuplah Allah menjadi penolong bagi kami dan
Diasebaik-baik Pelindung.” (QS. Ali Imrân[3] : 173
10
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa Tawakal hanya dimiliki
oleh orang yang beriman kuat dan yang memiliki tauhid yang tinggi.
Namun para Ulama Tasawuf dan Syi‟ah memiliki kecenderungan yang
berbeda dalam mengartikannya, untuk itu penulis mengkaji ayat-ayat
seputar tawakal yang terdapat dalam al-Qur‟an, dengan mengangkat
salah seorang tokoh ulama yaitu Muhammad Husein Thaba-thaba‟i
dengan merujuk pada kitab tafsirnya yang diberi nama Tafsir Al-Mizan
dan Syihabuddin Sayyid Mahmud Afandi al-Alusi al-Baghdadi dengan
merujuk pada Kitab Tafsirnya yang diberi nama Tafsir Ruh al-ma‟ani .
Maka dari itu penulis ingin mengangkat sebuah judul yaitu “Tawakal
Dalam Al-Qur’an (Studi Komparatif Tafsir Al-Mȋ zan dan Tafsir
Ruh al-Ma’āni ).
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Permasalahan pada penelitian ini dapat di identifikasikan sebagai
berikut:
a. Makna Tawakal dalam Al-Quran
b. Pandangan Mufassirin terhadap makna Tawakal dalam Al-Qur‟an,
c. Urgensi Tawakal
d. Persamaan dan Perbedaan penafsiran tentang Tawakal dari kedua
Mufassir.
2. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan dalam skripsi ini lebih terarah dan tersusun
secara sistematis pada pembahasan yang diharapkan, penafsiran ini
hanya mengkhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan
Tawakal dan membandingkan penafsiran teologi antara Syi‟ah dan
11
Tasawuf, yaitu Tafsir Al-Mizan karya Muhammad Husein Thaba-
thaba‟i(w.1402 H) dan Tafsir Ruh al-Ma‟ani karya Syihabuddin
Sayyid Mahmud Afandi al-Alusi al-Baghdadi (w.1207 H).
Ayat-ayat yang akan dibahas adalah ayat-ayat tentang tawakal.
Penulis menyimpulkan bahwa ada tiga kriteria yang bersangkutan
dengan tawakal , 1. Perintah bertawakal, terdapat dalam surah at-
Taubah ayat 51 dan surah al-Ahzab ayat 3, 2. Tawakal sifat orang
yang beriman terdapat dalam surah al-Anfal ayat 2, dalam surah
Yunus ayat 84, dalam surah at-Taghabun ayat 13, 3. Balasan bagi
orang yang bertawakal, terdapat dalam surah at-Thalaq ayat 3 dan
surah al-Ankabut ayat 58-59.
Alasan penulis memilih Tafsir Al-Mizan dan Ruh al-Ma‟ani
adalah penulis ingin mengenali siapa Syaikh Muhammad Husein
Thaba-thaba‟i sebagai mufassir ulama Syi‟ah yang sangat masyhur
dan Syihabuddin Sayyid Mahmud Afandi al-Alusi al-Baghdadi
sebagai mufassir ulama Tasawuf. Tafsir Al-Mȋ zan dan Ruh al-
Ma’āni adalah dua karya agung yang sangat menarik untuk diteliti
karena kedua tafsir ini Klasik dan Modern dan memberi kesan
kepada jiwa dan masyarakat.
Tawakal adalah salah satu kalimat dari sejumlah ayat yang
berkaitan dengan masalah iman dan keyakinan terhadap Allah SWT.
Maka penulis ingin mengkaji Tawakal dalam Al-Qur‟an menurut
Tafsir Al-Mizan dan Tafsir Ruh al-Ma‟ani serta prakteknya sesuai
dengan tuntunan Al-Qur‟an.
3. Perumusan Masalah
Adapun penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan Muhammad Husein Thaba-thaba‟ dan al-
Alusi tentang Tawakal?
12
2. Apa Persamaan dan Perbedaan Penafsiran Muhammad Husein
Thaba-thaba‟i dan al-Alusi tentang Tawakal?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
a. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pandangan Muhammad Husein Thaba-thaba‟ dan
al-Alusi tentang Tawakal.
2. Untuk mengetahui Persamaan dan Perbedaan Penafsiran
Muhammad Husein Thaba-thaba‟i dan al-Alusi tentang Tawakal.
b. Manfaat Penelitian
1. Manfaat secara Teoritis
Diharapkan dapat menambah informasi dan mengembangkan
khazanah ilmu-ilmu Islam, khususnya dibidang Tafsir. Dan
dipertimbangkan dalam memperkaya karya ilmiah dalam disiplin
ilmu keislaman, khususnya tentang konsep tawakal dalam bidang
ketasawufan.
2. Manfaat secara Praktis
Diharapkan penulisan ini dapat memberikan arahan dan
wawasan baru bagi para pembacanya sehingga bisa merubah pola
pikir baru dan dapat memberikan kontribusi bagi masyarakat secara
umum serta dapat merealisasikan tawakal dalam kehidupan.
D. Tinjauan Pustaka
1. Diana Nopiana, NIM 1110051000063, Mahasiswa Fak. Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Jurusan Komunikasi dan Penyiaran
Islam Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah, 2014.
Skripsinya yang berjudul “Analisi Semiotik Makna Tawakal Dalam
Film Ummi Aminah”, mengurai masalah Makna Tawakal secara
13
bahasa dalam film Ummi Aminah, persamaannya adalah membahas
makna Tawakal secara bahasa dan perbedaanya skripsi tersebut
menjelaskan makna Tawakal dalam Film Ummi Aminah sedangkan
dalam penyusunan skripsi ini, penulis akan mengkaji ayat-ayat
tawakal dalam tafsir al-Mizan dan tafsir Ruh Al-Ma‟ani serta
pendapat para Mufassir terkait dengan Tawakal.12
2. Khuloud Shefaa‟, NIM. 08210332. Mahasiswa Fakultas Ushuluddin
Jurusan Tafsir Hadis Institut Ilmu al-Qur‟an (IIQ) Jakarta, 2012.
Skripsinya yang berjudul “Tawakal dalam Tafsir Al-Jailani”, di
dalamnya mengurai ayat-ayat tawakal dalam al-Qur‟an, juga
mengurai bagaimana pendapat Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
mengenai sikap tawakal di dalam kitaf tafsir al-Jailani. Sedangkan
dalam penyusunan skripsi ini, penulis akan mengkaji ayat-ayat
tawakal dalam tafsir al-Mizan dan tafsir Ruh Al-Ma‟ani serta
pendapat para Mufassir terkait dengan Tawakal.13
3. Ahmad Kosasih, NIM 296 PTS 71, Mahasiswa program pasca
sarjana Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,
pada tahun 2000. Tesisnya yang berjudul “Konsep Tawakal di
dalam Al-Qur’an kajian tematis terhadap ayat-ayat Al-Qur’an”.
tesis ini mengurai masalah ayat-ayat Tawakal secara umum di dalam
Al-Qur‟an, didalamnya mengurai bagaimana perhatian Al-Qur‟an
terhadap sikap tawakal untuk memotivasi umat islam agar senantiasa
bertawakal kepada Allah. Juga di uraikan mengenai sikap
tawakalnya para Rasul bersama kaumnya di dalam kisah-kisah Al-
Qur‟an. Sedangkan dalam penyusunan skripsi ini, penulis akan
12
Diana Nopiana, Analisis Semiotik Makna Tawakal dalam film Ummi Aminah,(
UIN Syarif Hidayatullah, 2014) 13
Khuloud Shefaa‟, Tawakal dalam Tafsir Al-Jailani, IIQ(Institut Ilmu Al-Qur‟an),
2012
14
mengkaji ayat-ayat tawakal dalam tafsir al-Mizan dan tafsir Ruh Al-
Ma‟ani serta pendapat para Mufassir terkait dengan Tawakal.14
4. Mahfuzah, NIM 19632001208, Mahasiswa Fakultas Ushuluddin,
Jurusan Tafsir Hadis Universitas Islam Negeri Sultan Syarif
Kasim,2001. Skripsinya yang berjudul “Penafsiran Kata Tawakal
menurut Hamka dalam Tafsir Al-Azhar” Perbedaan skripsi ini
mengurai masalah penafsiran kata Tawakal dalam Kitab Al-Azhar
Sedangkan dalam penyusunan skripsi ini, penulis akan mengkaji
ayat-ayat tawakal dalam tafsir al-Mizan dan tafsir Ruh Al-Ma‟ani
serta pendapat para Mufassir terkait dengan Tawakal.15
5. Mohd Fatih Yakan bin Zakaria, NIM 10932007885, Mahasiswa
Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir Hadis Universitas Islam Negeri
Sultan Syarif Kasim,2013. Skripsinya yang berjudul “Konsep
Tawakal Dalam Al-Qur’an (Kajian Komparatif Antara Tafsir As-
Sya’rowi dan Tafsir Al-Azhar) didalamnya mengurai bagaimana
agar senantiasa Tawakal kepada Allah dan tawakal kepada selain
Allah. Persamaanya adalah membahas makna Tawakal dalam Al-
Qur‟an dan perbedaanya skripsi tersebut menjelaskan makna
Tawakal dalam Tafsir As-Sya‟rowi dan Al-Azhar sedangkan dalam
penyusunan skripsi ini, penulis akan mengkaji ayat-ayat tawakal
dalam tafsir al-Mizan dan tafsir Ruh Al-Ma‟ani serta pendapat para
Mufassir terkait dengan Tawakal.16
14
Ahmad Kosasih, Konsep Tawakal didalam Al-Qur’an kajian tematis terhadap
ayat-ayat Al-Qur’an, (UIN Syarif Hidayatullah,2000). 15
Mahfuzah, Penafsiran Kata Tawakal menurut Hamka dalam Tafsir Al-Azhar,
(UIN Sultan Syarif Kasim, Pekanbaru Riau, 2001). 16
Mohd Fatih Yakan bin Zakaria, Konsep Tawakal Dalam Al-Qur’an (Kajian
Komparatif Antara Tafsir As-Sya’rowi dan Tafsir Al-Azhar), (UIN Sultan Syarif Kasim,
Pekanbaru Riau, 2013).
15
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, karena memaparkan
data kualitatif, peneliti juga menggunakan penelitian kepustakaan
(library research),yaitu pengumpulan data pustaka dari literatur yang
berkaitan dengan judul skripsi ini.
2. Sumber Data
Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan sumber data primer
yaitu data-data yang diperoleh dari sumber aslinya yang relevan dengan
skripsi ini sebagai berikut:
1. Kitab-kitab Tafsir
a. Tafsir Al-Mizan karya Muhammad Husain Thabathaba‟i
b. Tafsir Ruh al-Ma‟ani karya al-Alusi
Adapun sumber data sekunder yang penulis gunakan dalam skripsi
ini adalah buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan ini
a. Studi Ulumul Qur‟an
b. Kitab Tafsir Klasik-Modern
c. Buku-buku Akhlak
d. Tasawuf
e. Ihya‟ „Ulum al-Din
f. Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi IIQ Jakarta
cetakan ke-2 tahun 2011
3. Teknik Pengumpulan Data
Keseluruhan data yang diambil dan dikumpulkan dengan cara
pengutipan baik secara langsung maupun tidak langsung. Kemudian
ditetapkan dengan cara dokumentasi dan disusun secara sistematis
sehingga menjadi satu paparan yang jelas.
16
4. Metode Analisis Data
Dalam menganalisa yang telah berhasil dikumpulkan dengan teknik
deskriftif, analitis (metode muqarin), yakni menggambarkan setepat
mungkin mengenai poko masalah yang berdasarkan konsep-konsep yang
dikemukakan secara jelas.
Adapun langkah-langkah yang harus ditetapkan untuk menggunakan
metode muqarin adalah dengan menganalisa ayat-ayat yang dikaji secara
menyeluruh. Kemudian melacak pendapat-pendapat mufasir tentang ayat
tersebut, serta membandingkan pendapat-pendapat yang mereka
kemukakan itu gunanya untuk mengethui kecenderungan-kecenderungan
mereka, aliran-aliran yang mempengaruhi mereka, keahlian mereka yang
mereka kuasai, dan lain sebagainya.17
F. Teknik dan Sistematika Penulisan
1. Teknik Penulisan
Teknik penulisan dalam penelitian ini merujuk pada pedoman
pembuatan skripsi yang berjudul : Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis,
Disertasi Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta (Edisi Revisi) yang
diterbitkan oleh IIQ Press cetakan ke-2 tahun 2011.18
2. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, penulis membagi
beberapa bab yang diuraikan dengan sistematika penulisan adalah
sebagai berikut:
17
Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,2002), h. 68 18
Huzaemah T. Yanggo, dkk, Pedoman Penulisan SkripsiI, Tesis, Disertasi Institut
Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta,(Jakarta: IIQ Press,2011), cet. Ke-2, h. 22
17
Bab Pertama merupakan Pendahuluan meliputi:Latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan
penelitian, tinjauan pustaka,metodologi penelitian dan sistematika
penulisan. Bab pertama ini merupakan pembuka bagi para pembaca
agar mengetahui alasan dan latar belakang penulis penelitian dengan
tema penelitian tersebut.
Bab Kedua merupakan Pengertian tawakal meliputi: Pengertian
Tawakal, Urgensi Tawakal, Identifikasi ayat-ayat tentang tawakal dan
hubungan tawakal dengan kehidupan sehari-hari. Bab dua ini
merupakan landasan teori agar penyusunan skripsi dapat terarah dan
sistematis, untuk memberikan informasi kepada para pembaca
mengenai tawakal.
Bab Ketiga merupakan Sekilas tentang Muhammad Husein Thaba-
Thaba‟i dan Syihabuddin Sayyid Mahmud Afandi al-Alusi al-Baghdadi
meliputi biografi, metode, corak dan karya-karya penafsirannya. Bab ke
tiga merupakan bab teori, mengingat pentingnya sumber primer untuk
para pembaca sebelum masuk ke pembahasan utama yaitu menjelaskan
tentang biografi para mufasir.
Bab keempat merupakan Analisa perbandingan penafsiran terhadap
ayat-ayat tawakal meliputi: Penafsiran Muhammad Husein Thaba-
thaba‟i dan al-Alusi terhadap ayat-ayat perintah untuk tawakal, ayat
tawakal adalah ciri dari orang mu‟min, ayat-ayat urgensi tawakal dan
analisis penafsiran. Bab ini merupakan pokok pembahasan utama
penelitian skripsi ini. tujannya untuk mengetahui bagaimana analisa
penafsiran tersebut.
Bab Kelima merupakan Penutup. Pada bab ini terdiri dari
kesimpulan, saran-saran, dan daftar pustaka. Bab ini merupakan akhir
dari semua pembahasan.
18
Demikan gambaran tentang perencanaan penelitian maka
selanjutnya penulis akan mulai mengkaji pengertian tawakal yaitu
pengertian secara bahasa dan istilah, urgensi tawakal, identifikasi ayat-
ayat tawakal dan hubungan tawakal dan prilaku keseharian.
1 |
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur`an adalah mukjizat Islam yang kekal dan mukjizatnya selalu
diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Ia kalamullah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw untuk mengeluarkan manusia
dari suasana yang gelap menuju yang terang, serta membimbing mereka
ke jalan yang lurus1.
Hati merupakan dasar keimanan dan tempat berpencarnya iman,
satu-satunya landasan universal untuk mengenal hati beserta tingkah
lakunya adalah tawakal kepada Allah. Realisasi tawakal hanya kepada
Allah, Dialah yang Maha Penolong dan tak suatu pun bisa menandingi-
Nya dan tidak mungkin tawakal dilakukan sesama makhluk yang lemah.
Tawakal kepada Allah akan memberi pengaruh pada perbuatan-perbuatan
hati lainnya dan juga akan diikuti oleh perbuatan serta gerak-gerik
jasmani.
Sikap manusia terhadap perkara tawakal ini amat beraneka ragam,
diantara mereka ada sekempok manusia yang telah takluk dengan
kehidupan materi yang melampaui batas hingga menimbulkan
kesengsaraan yang membawa mereka amat menggantungkan hidup
dengan harta. Sikap seperti ini amat jelas pengaruhnya pada hati yaitu hati
menjadi asing untuk melakukan tawakal kepada Allah, mereka hanya
mengandalkan otak dan berbangga diri dengan apa yang mereka miliki
yang berupa pengetahuan.
Sebaliknya di antara manusia ada yang merasa puas dengan duduk
berdiam diri,senang menunda-nunda pekerjaan, kemalasan dan kebodohan
1 Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur`an, terj. Mudzakir AS
(Jakarta;Pustaka Litera AntarNusa,2012), cet. Ke-15, h. 1
2 |
menyelimuti diri mereka, walaupun demikian mereka tetap mencari-cari
alasan untuk membenarkan apa yang mereka lakukan dengan dalih bahwa
mereka bertawakal kepada Allah, mereka menganggap bahwa tawakal
adalah meninggalkan sarana dan usaha yang mendatangkan keuntungan
materi atau harta. Singkatnya mereka sudah merasa puas dengan rizki
yang didapat dari orang lain dan dari sedekah-sedekah yang mereka
terima, mereka hidup di sudut-sudut kehidupan dan terpencil dari
dinamika kehidupan.
Manusia dalam kehidupan pribadi dan sosialnya, bahkan kehidupan
ekonomi dan politik yang sehari-hari ia lewati, memerlukan pihak lain.
Kekurangan dan kelemahan memaksa manusia memerlukan bantuan,
sandaran, penolong, pelindung yang dalam bahasa shari-hari disebut
wakil. Dalam ajaran Islam, manusia dituntut untuk memiliki sifat
tawakal2.
Ungkapan tawakal adalah ungkapan agama, ungkapan ruhaniyyah
yang berkaitan dengan keyakinan seseorang pada Allah dan berkaitan
dengan tauhid. Tawakkal hanya dimiliki oleh orang yang beriman kuat
dan memiliki tauhid yang tinggi, sehingga tidak ada pikiran yang tertanam
dalam dirinya, kecuali pikiran tentang Allah dengan segala
kemahakuasaan, dan segala sifat-sifat luhur lainnya, pantas jika tawakal
hanya dimiliki orang khas, bukan kaum awam atau masyarakat
kebanyakan yang tingkat tauhid, iman,dan takwanya rendah.3
Sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Mâidah ayat 11:
2 Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur`an, Tafsir Al-Qur`an Tematik,(Jakarta: Lajnah
Pentashih Mushaf Al-Qur`an Kementrian Agama RI, 2010), h. 206 3 Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur`an, Tafsir Al-Qur`an Tematik,(Jakarta: Lajnah
Pentashih Mushaf Al-Qur`an Kementrian Agama RI, 2010), h.211
3 |
“ Hai orang-orang yang beriman, ingatlah kamu akan nikmat Allah
(yang diberikan-Nya) kepadamu, di waktu suatu kaum bermaksud hendak
menggerakkan tangannya kepadamu (untuk berbuat jahat), Maka Allah
menahan tangan mereka dari kamu. dan bertakwalah kepada Allah, dan
hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu harus bertawakkal”.
(QS. Al-Mâidah[5]: 11)
Keterikatan antara iman dan tawakal, maka tak diragukan lagi
bahwa buah tawakal yang paling utama dihasilkan adalah terealisasinya
keimanan seorang hamba, yang mana tak ada iman kecuali dengan sikap
tawakal, buah tawakal juga merupaka sesuatu yang amat melapangkan
dada dan tak ada yang bisa melapangkan hati selain sikap tawakal
tentunya.
Jika seorang hamba bertawakal kepada Allah dengan sebanar-
benarnya tawakal maka Allah akan mengangkat darinya kesedihannya dan
membuat ia nyaman dari sesuatu yang membuatnya gelisah, lalu Allah
menurunkan pada diri orang itu ketenangan4.
Tawakal adalah suatu prilaku di dalam hati yang bersumber dari
pengenalan seseorang kepada Allah, serta adanya keyakinan bahwa Allah
atu-satunya yang melakukan penciptaan, pengaturan, bahaya, manfaat,
pemberian dan penolakan, dan bahwa apa yang Allah kehendaki maka
akan terlaksana, dan apa yang Allah tidak kehendaki maka tak akan
4 Abdullah bin Umar ad-Dumaiji, Rahasia Tawakal dan Sebab Akibat, terj.
Kamaluddin Sa‟diatulharamain dan Farizal Tarmizi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2000), h. 82
4 |
terlaksana, maka wajib bagi seseorang untuk menyandarkan perkaranya
kepada Allah, menyerahkan kepada-Nya, percaya kepada-Nya serta yakin
kepada-Nya dengan suatu keyakinan bahwa yang disandarkan itu akan
mengurusnya dengan sebaik-baik bagi dirinya.
Menurut Ibnu Qayyȋ m (w. 751 H) dalam buku Rahasia Tawakal
dan Sebab Akibat mengatakan Tawakal adalah sebab yang paling utama
yang bisa mempertahankan seorang hamba ketika ia tak memiliki
kekuatan dari serangan makhluk Allah lainnya yang menindas serta
memusuhinya, tawakal adalah sarana yang paling ampuh untuk
menghadapi keadaan yang seperti itu, karena ia telah menjadikan Allah
pelindungnya atau yang memberinya kecukupan, maka barang siapa yang
menjadikan Allah pelindungnya serta yang memberinya kecukupan maka
musuhnya itu tak akan bisa mendatangkan bahaya5.
Menurut Imam al-Ghâzali (w. 505 H) dalam Ihya‟ Ulûmuddin,
menyatakan, “Pembicaraan tentang tawakal merupakan pembicaraan amat
samar dan sulit, manusia tidak sanggup menyingkap ketertutupan ini
karena amat sulit. Namun beliau dalam uraian selanjutnya, masih dalam
al-ihya‟ memaknai tawakal, maka tawakal adalah suatu ungkapan yang
menggambarkan tertumpunya hati atas wakil saja.
Menurut Dzun Nun al-Misri (w. 246 H) dalam buku Tafsir Al-
Qur`an Tematik menyatakan, “Tawakal adalah jiwa tidak mengatur dan
merencanakan sama sekali, dan melepaskan diri dari daya upaya dan
kekuatan. Tawakal seseorang menjadi kuat apabila ia telah mengetahui
bahwa Allah senantiasa mengetahui dan melihat apa yang sedang
dilakukannya.
5 Abdullah bin Umar ad-Dumaiji, Rahasia Tawakal dan Sebab Akibat, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2000), h. 80
5 |
Menurut Al-Qurtubi (w. 671 H) dalam buku Tafsir Al-Qur`an
Tematik mengartikan kata wakil dan tawakal, sebagaimana terdapat dalam
tafsirnya sebagai berikut: “Tawakal menurut bahasa ialah, menampilkan
kelemahan dan bersandar atas yang lain. Ungkapan wakala (mad wa)
fulanun, kalau seseorang menyia-nyiakan urusannya dengan menyerahkan
kepada yang lain6.
Menurut Buya Hamka (w. 1981 M),dalam buku Tawakal Bukan
Pasrah mengatakan mengenai tawakal. Menurutnya, pengakuan iman
belum berarti kalau belum tiba di puncak tawakal. Oleh sebab itu apabila
orang mukmin telah bertawakal, berserah diri kepada Allah SWT,
terlimpah dalam dirinya sifat azȋ z (terhormat lagi mulia) yang ada pada-
Nya. Ia tidak lagi takut menghadapi maut. Selain itu terlimpah kepadanya
pengetahuan Allah. Dengan demikian, ia memperoleh berbagai Ilham dari
Allah untuk mencapai kemenangan7.
Banyak sekali kita dapati ayat-ayat Al-Qur`an yang memerintahkan
kita bertawakal, sebagaiamana tersebut dalam firman-Nya:
“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertawakkal kepada-Nya”.(QS.Ali-Imrân[3]: 159)
..........
“Dan bertakwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah sajalah
orang-orang mukmin itu harus bertawakkal.”(QS.Al-Mâidah[5]: 11)
6 Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur`an, Tafsir Al-Qur`an Tematik,(Jakarta: Lajnah
Pentashih Mushaf Al-Qur`an Kementrian Agama RI, 2010), h. 208-209 7 Supriyanto , Tawakal Bukan Pasrah, (Jakarta: Qulum Media, 2010), h. 9
6 |
Seperti halnya zuhud dan qâna‟ah, tawakal juga salah satu sifat yang
harus dimiliki oleh setiap orang mukmin untuk membentengi diri dari
godaan materi. Sifat tawakal ini merupakan kelengkapan sifat qâna‟ah
yang kedua-duanya saling melengkapi, tidak bisa dipisah-pisahkan.
Namun perlu diingat bahwa sifat tawakal itu bukan berarti orang
tidak diwajibkan berikhtiar. Orang hidup diwajibkan ikhtiar yaitu
berusaha menurut kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Setelah
itu dilakukan barulah tawakal. Oleh sebab itu benarlah bila dikatakan
bahwa “Tawakal itu sesudah ikhtiar”.
Tawakal juga merupakan berserah diri kepada Allah, menyerahkan
keputusan segala perkara, ikhtiar dan usaha kepada-Nya. Sebagai mana
kita ketahui bahwa di dalam asmâul husna, nama-nama Allah yang bagus
lagi indah, Allah mempunyai sifat al-Wâkȋ l dan al-Wâly. Dengan sifat
itu, alangkah tepatnya bila orang-orang mukmin bertawakal kepada-Nya.
Sehingga dengan begitu mereka tidak perlu bersedih hati atau berkecil hati
di dalam menghadapi segala urusan yang dirasa berat atau menyulitkan8.
Seorang muslim tidak memandang tawakal kepada Allah dalam
segala perbuatannya sebagai suatu akhlak semata, akan tetapi
memandangnya sebagai kewajiban agama dan menggolongkannya sebagai
akidah islam. Tawakal secara mutlak kepada Allah meruupakan bagian
dari akidah orang yang beriman kepada Allah.
Dengan demikian, seorang muslim berutang kepada Allah dengan
tawakal kepada-Nya dan sepenuhnya menghadapkan diri kepada-Nya. Dia
tidak memahami tawakal seperti pemahaman orang-orang yang tidak tahu
Islam dan para musuh kaum Muslimin yang menyatakan bahwa tawakal
hanyalah sekadar kata-kata yang digumamkan lidah tetapi tidak
8 Abdullah bin Umar ad-Dumaiji, Rahasia Tawakal dan Sebab Akibat, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2000), h. 85
7 |
dipedulikan oleh hati, atau didengungkan oleh bibir tetapi tidak dipahami
oleh akal, atau yang hanya direnungkan oleh pikiran.
Seorang muslim memahami tawakal yang merupakan bagian dari
iman dan akidahnya sebagai ketaatan kepada Allah dengan cara
menyediakan saran yang memadai bagi segala perbuatan yang
dilakukannya. Jadi, tawakal bagi seorang muslim adalah perbuatan
sekaligus cita-cita, yang diiringi ketenangan hati dan jiwa serta keyakinan
yang kuat bahwa apapun yang dikehendaki Allah pasti terjadi dan apa pun
yang tidak dikehendaki pastilah tidak terjadi, dan bahwa Allah tidak akan
menyia-nyiakan balasan bagi orang yang telah berbuat sebaik-baiknya9.
Sebagian Ulama Salaf berkata, “Tawakal kepada Allah itu adalah
setengah agama.” Penjelasannya adalah bahwa agama itu ada dua bagian
ibadah dan memohon pertolongan, sebagaimana Allah memerintahkan
orang-orang yang beribadah agar mereka mengucapkan10
:
“ Hanya Engkaulah yang Kami sembah,dan hanya kepada
Engkaulah Kami meminta pertolongan.”( QS. Al-Fâtihah[1]:5)
Bertawakal kepada Allah itu maknanya adalah menyerahkan segala
urusan kepada Allah. Allah mengendalikannya sesuai kehendak-Nya,
sehingga seorang hamba harus memohon pertolongan kepada Allah atas
segala sesuatu, kemudian bersikap ridha terhadap ktentuan dan pilihan
yang telah dipilihkan oleh-Nya bagi hamba-hamba-Nya.
9 Syaikh Abu Bakar Jabir A-Jazairi, Munhajul Muslim, penerjemah:Fedrian
Hasmand (Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, 2015) h.257-258 10
Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi, 40 Karakteristik mereka yang Dicintai
Allah berdasarkan Al-Qur`an dan as-Sunnah, (Jakarta: Darul Haq) h. 126
8 |
Allah tidaklah akan menentukan suatu ketentuan apapun bagi
seorang hamba-Nya yang beriman, kecuali ketentuan itu merupakan
sesuatu yang baik untuknya. Oleh karena itu, istikharah adalah merupakan
ciri alamat dan ciri penyerahan diri kepada Allah Rabb semesta alam.
Dan orang yang derajatnya dibawah mereka adalah orang yang
bertawakal kepada Allah dalam sesuatu yang sudah diketahui bahwa ia
akan dapat memperolehnya, baik di dalam masalah rizki, kesehatan, atau
kemenangan atas musuh-musuh, masalah keturunan, atau masalah anak.
Seseorang yang benar tawakalnya kepada Allah dalam menghasilkan
sesuatu, niscaya dia akan memperolehnya.
Perlu diketahui, bahwasanya tawakal kepada Allah itu tidak
meniadakan mencari sebab-sebabnya, karena keduanya itu hukumnya
wajib, mencari sebab-sebab itu wajib, dan bertawakal kepada Allah pun
juga wajib.
Maka mencari sebab-sebab itu tidaklah meniadakan tawakal, namun
maksud dari tawakal setelah mencari sebab-sebabnya itu adalah agar tidak
hanya menoleh kepadanya dan tidak hanya menyandarkan kepadanya,
karena siapa yang menyandarkan kepada sesuatu, niscaya ia akan
dibebankan kepadanya11
.
Tentang anjuran bertawakal, dari Umar bin al-Khattab ra, Rasulullah
saw bersabda, “Seandainya engkau bertawakal kepada Allah dengan
sebenar-benarnya, niscaya Allah akan memberikan rezeki kepadamu
seperti Dia memberikan rezeki kepada seekor burung yang pergi dalam
keadaan perut kosong dan pulang dalam keadaan perut kenyang.”
Dalam sebuah riwayat, dikatakan bahwa diantara do‟a ma‟tsur
(berdasarkan Al-Qur`an dan Hadis)adalah ucapan “ HasbûnAllah wa
11
Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi, 40 Karakteristik mereka yang Dicintai
Allah berdasarkan Al-Qur`an dan as-Sunnah, (Jakarta: Darul Haq) h. 133-135
9 |
ni‟mal-wakȋ l, ni‟mal mawla wa ni‟man-nashȋ r (cukuplah Allah dan
Dialah sebaik-baik tempatberserah, Dialah sebaik-baik Pelindung dan
Dialah sebaik-baik Penolong.)” Do‟a ini diucapkan oleh Nabi Ibrahim as
ketika ia dilemparkan ke dalam kobaran api. Do‟a in juga diucapkan oleh
Nabi Muhammad saw dan orang-orang beriman ketika diberitakan kepada
mereka, “Orang-orang (Quraisy) telah mengumpukan pasukan untuk
menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka,” ternyata(ucapan)
itu menambah (kuat) iman mereka dan mereka menjawab, “ Cukuplah
Allah menjadi penolong bagi kami dan Diasebaik-baik Pelindung.” (QS.
Ali Imrân[3] : 173
Sebagian Ulama Salaf berkata: “ Siapa yang ridha Allah sebagai
penolongnya, maka ia akan mendapatkan jalan menuju semua kebaikan12
.”
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa tawakal hanya dimiliki oleh
orang yang beriman kuat dan yang memiliki tauhid yang tinggi. Namun
para Ulama Tasawuf dan Syi‟ah memiliki kecenderungan yang berbeda
dalam mengartikannya, untuk itu penulis mengkaji ayat-ayat seputar
tawakal yang terdapat dalam Al-Qur`an, dengan mengangkat salah
seorang tokoh ulama yaitu Muhammad Husein Thaba-thaba‟i dengan
merujuk pada kitab tafsirnya yang diberi nama Tafsir Al-Mizan dan
Syihabuddin Sayyid Mahmud Afandi al-Alusi al-Baghdadi dengan
merujuk pada Kitab Tafsirnya yang diberi nama Tafsir Ruh al-ma‟ani .
Maka dari itu penulis ingin mengangkat sebuah judul yaitu “Tawakal
Dalam Al-Qur`an (Studi Komparatif Tafsir Al-Mizan dan Tafsir Ruh al-
Ma’ani ).
12
Allamah Sayyid Abdullah bin Alwi al-Haddad, Agar Iman senantiasa meningkat
“Nasihat dan Wasiat seputar Ibadah dan Muamalah”, (Beirut-Libanon: al-Nasyir, 1996) cet.
1 h. 517-518
10 |
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Permasalahan pada penelitian ini dapat di identifikasikan sebagai
berikut:
a. Makna Tawakal dalam Al-Quran
b. Pandangan Mufassirin terhadap makna Tawakal dalam Al-Qur`an,
c. Urgensi Tawakal
d. Persamaan dan Perbedaan penafsiran tentang Tawakal dari kedua
Mufassir.
2. Pembatasan Masalah
a. Agar pembahasan dalam skripsi ini lebih terarah dan tersusun
secara sistematis pada pembahasan yang diharapkan, penafsiran ini
hanya mengkhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan
Tawakal dan membandingkan penafsiran teologi antara Syi‟ah dan
Tasawuf, yaitu Tafsir Al-Mizan karya Muhammad Husein Thaba-
thaba‟i(w.1402 H) dan Tafsir Ruh al-Ma‟ani karya Syihabuddin
Sayyid Mahmud Afandi al-Alusi al-Baghdadi (w.1207 H).
Ayat-ayat yang akan dibahas adalah ayat-ayat tentang tawakal.
Penulis menyimpulkan bahwa ada tiga kriteria yang bersangkutan
dengan tawakal , 1. Perintah bertawakal, terdapat dalam surah at-
Taubah ayat 51 dan surah al-Ahzab ayat 3, 2. Tawakal sifat orang
yang beriman terdapat dalam surah al-Anfal ayat 2, dalam surah
Yunus ayat 84, dalam surah at-Taghabun ayat 13, 3. Balasan bagi
orang yang bertawakal, terdapat dalam surah at-Thalaq ayat 3 dan
surah al-Ankabut ayat 58-59.
Alasan penulis memilih Tafsir Al-Mizan dan Ruh al-Ma‟ani
adalah penulis ingin mengenali siapa Syaikh Muhammad Husein
Thaba-thaba‟i sebagai mufassir ulama Syi‟ah yang sangat masyhur
11 |
dan Syihabuddin Sayyid Mahmud Afandi al-Alusi al-Baghdadi
sebagai mufassir ulama Tasawuf. Tafsir Al-Mizan dan Ruh al-
Ma‟ani adalah dua karya agung yang sangat menarik untuk diteliti
karena kedua tafsir ini Klasik dan Modern dan memberi kesan
kepada jiwa dan masyarakat.
Tawakal adalah salah satu kalimat dari sejumlah ayat yang
berkaitan dengan masalah iman dan keyakinan terhadap Allah SWT.
Maka penulis ingin mengkaji Tawakal dalam Al-Qur`an menurut
Tafsir Al-Mizan dan Tafsir Ruh al-Ma‟ani serta prakteknya sesuai
dengan tuntunan Al-Qur`an.
3. Perumusan Masalah
Adapun penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan Muhammad Husein Thaba-thaba‟ dan al-
Alusi tentang Tawakal?
2. Apa Persamaan dan Perbedaan Penafsiran Muhammad Husein
Thaba-thaba‟i dan al-Alusi tentang Tawakal?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
a. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pandangan Muhammad Husein Thaba-thaba‟ dan
al-Alusi tentang Tawakal.
2. Untuk mengetahui Persamaan dan Perbedaan Penafsiran
Muhammad Husein Thaba-thaba‟i dan al-Alusi tentang Tawakal.
b. Manfaat Penelitian
1. Manfaat secara Teoritis
Diharapkan dapat menambah informasi dan mengembangkan
khazanah ilmu-ilmu Islam, khususnya dibidang Tafsir. Dan
dipertimbangkan dalam memperkaya karya ilmiah dalam disiplin
12 |
ilmu keislaman, khususnya tentang konsep tawakal dalam bidang
ketasawufan.
2. Manfaat secara Praktis
Diharapkan penulisan ini dapat memberikan arahan dan
wawasan baru bagi para pembacanya sehingga bisa merubah pola
pikir baru dan dapat memberikan kontribusi bagi masyarakat secara
umum serta dapat merealisasikan tawakal dalam kehidupan.
D. Tinjauan Pustaka
1. Diana Nopiana, NIM 1110051000063, Mahasiswa Fak. Ilmu Dakwah
dan Ilmu Komunikasi, Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam
Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah, 2014. Skripsinya
yang berjudul “Analisi Semiotik Makna Tawakal Dalam Film Ummi
Aminah”, mengurai masalah Makna Tawakal secara bahasa dalam film
Ummi Aminah, persamaannya adalah membahas makna Tawakal
secara bahasa dan perbedaanya skripsi tersebut menjelaskan makna
Tawakal dalam Film Ummi Aminah sedangkan dalam penyusunan
skripsi ini, penulis akan mengkaji ayat-ayat tawakal dalam tafsir al-
Mizan dan tafsir Ruh Al-Ma‟ani serta pendapat para Mufassir terkait
dengan Tawakal13
.
2. Khuloud Shefaa‟, NIM. 08210332. Mahasiswa Fakultas Ushuluddin
Jurusan Tafsir Hadis Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta, 2012.
Skripsinya yang berjudul “Tawakal dalam Tafsir Al-Jailani”, di
dalamnya mengurai ayat-ayat tawakal dalam Al-Qur`an, juga mengurai
bagaimana pendapat Syaikh Abdul Qadir al-Jailani mengenai sikap
tawakal di dalam kitaf tafsir al-Jailani. Sedangkan dalam penyusunan
13
Diana Nopiana, Analisis Semiotik Makna Tawakal dalam film Ummi Aminah,(
UIN Syarif Hidayatullah, 2014)
13 |
skripsi ini, penulis akan mengkaji ayat-ayat tawakal dalam tafsir al-
Mizan dan tafsir Ruh Al-Ma‟ani serta pendapat para Mufassir terkait
dengan Tawakal14
.
3. Ahmad Kosasih, NIM 296 PTS 71, Mahasiswa program pasca sarjana
Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tahun
2000. Tesisnya yang berjudul “Konsep Tawakal di dalam Al-Qur`an
kajian tematis terhadap ayat-ayat Al-Qur`an”. tesis ini mengurai
masalah ayat-ayat Tawakal secara umum di dalam Al-Qur`an,
didalamnya mengurai bagaimana perhatian Al-Qur`an terhadap sikap
tawakal untuk memotivasi umat islam agar senantiasa bertawakal
kepada Allah. Juga di uraikan mengenai sikap tawakalnya para Rasul
bersama kaumnya di dalam kisah-kisah Al-Qur`an. Sedangkan dalam
penyusunan skripsi ini, penulis akan mengkaji ayat-ayat tawakal dalam
tafsir al-Mizan dan tafsir Ruh Al-Ma‟ani serta pendapat para Mufassir
terkait dengan Tawakal.15
4. Mahfuzah, NIM 19632001208, Mahasiswa Fakultas Ushuluddin,
Jurusan Tafsir Hadis Universitas Islam Negeri Sultan Syarif
Kasim,2001. Skripsinya yang berjudul “Penafsiran Kata Tawakal
menurut Hamka dalam Tafsir Al-Azhar” Perbedaan skripsi ini
mengurai masalah penafsiran kata Tawakal dalam Kitab Al-Azhar
Sedangkan dalam penyusunan skripsi ini, penulis akan mengkaji ayat-
ayat tawakal dalam tafsir al-Mizan dan tafsir Ruh Al-Ma‟ani serta
pendapat para Mufassir terkait dengan Tawakal.16
14
Khuloud Shefaa‟, Tawakal dalam Tafsir Al-Jailani, IIQ(Institut Ilmu Al-Qur`an),
2012 15
Ahmad Kosasih, Konsep Tawakal didalam Al-Qur`an kajian tematis terhadap
ayat-ayat Al-Qur`an, (UIN Syarif Hidayatullah,2000). 16
Mahfuzah, Penafsiran Kata Tawakal menurut Hamka dalam Tafsir Al-Azhar,
(UIN Sultan Syarif Kasim, Pekanbaru Riau, 2001).
14 |
5. Mohd Fatih Yakan bin Zakaria, NIM 10932007885, Mahasiswa
Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir Hadis Universitas Islam Negeri
Sultan Syarif Kasim,2013. Skripsinya yang berjudul “Konsep Tawakal
Dalam Al-Qur`an (Kajian Komparatif Antara Tafsir As-Sya’rowi dan
Tafsir Al-Azhar) didalamnya mengurai bagaimana agar senantiasa
Tawakal kepada Allah dan tawakal kepada selain Allah. Persamaanya
adalah membahas makna Tawakal dalam Al-Qur`an dan perbedaanya
skripsi tersebut menjelaskan makna Tawakal dalam Tafsir As-Sya‟rowi
dan Al-Azhar sedangkan dalam penyusunan skripsi ini, penulis akan
mengkaji ayat-ayat tawakal dalam tafsir al-Mizan dan tafsir Ruh Al-
Ma‟ani serta pendapat para Mufassir terkait dengan Tawakal17
.
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, karena memaparkan data
kualitatif, peneliti juga menggunakan penelitian kepustakaan (library
research),yaitu pengumpulan data pustaka dari literatur yang berkaitan
dengan judul skripsi ini.
2. Sumber Data
Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan sumber data primer
yaitu data-data yang diperoleh dari sumber aslinya yang relevan dengan
skripsi ini sebagai berikut:
1. Kitab-kitab Tafsir
a. Tafsir Al-Mizan karya Muhammad Husain Thabathaba‟i
b. Tafsir Ruh al-Ma‟ani karya al-Alusi
17
Mohd Fatih Yakan bin Zakaria, Konsep Tawakal Dalam Al-Qur`an (Kajian
Komparatif Antara Tafsir As-Sya‟rowi dan Tafsir Al-Azhar), (UIN Sultan Syarif Kasim,
Pekanbaru Riau, 2013).
15 |
Adapun sumber data sekunder yang penulis gunakan dalam skripsi ini
adalah buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan ini
a. Studi Ulumul Qur‟an
b. Kitab Tafsir Klasik-Modern
c. Buku-buku Akhlak
d. Tasawuf
e. Ihya‟ „Ulum al-Din
f. Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi IIQ Jakarta
cetakan ke-2 tahun 2011
3. Teknik Pengumpulan Data
Keseluruhan data yang diambil dan dikumpulkan dengan cara
pengutipan baik secara langsung maupun tidak langsung. Kemudian
ditetapkan dengan cara dokumentasi dan disusun secara sistematis
sehingga menjadi satu paparan yang jelas.
4. Metode Analisis Data
Dalam menganalisa yang telah berhasil dikumpulkan dengan teknik
deskriftif, analitis (metode muqarin), yakni menggambarkan setepat
mungkin mengenai poko masalah yang berdasarkan konsep-konsep
yang dikemukakan secara jelas.
Adapun langkah-langkah yang harus ditetapkan untuk menggunakan
metode muqarin adalah dengan menganalisa ayat-ayat yang dikaji
secara menyeluruh. Kemudian melacak pendapat-pendapat mufasir
tentang ayat tersebut, serta membandingkan pendapat-pendapat yang
mereka kemukakan itu gunanya untuk mengethui kecenderungan-
16 |
kecenderungan mereka, aliran-aliran yang mempengaruhi mereka,
keahlian mereka yang mereka kuasai, dan lain sebagainya.18
F. Teknik dan Sistematika Penulisan
1. Teknik Penulisan
Teknik penulisan dalam penelitian ini merujuk pada pedoman
pembuatan skripsi yang berjudul : Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis,
Disertasi Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta (Edisi Revisi) yang
diterbitkan oleh IIQ Press cetakan ke-2 tahun 201119
.
2. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, penulis membagi
beberapa bab yang diuraikan dengan sistematika penulisan adalah
sebagai berikut:
Bab Pertama merupakan Pendahuluan meliputi:Latar belakang
masalah,pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan
penelitian, tinjauan pustaka,metodologi penelitian dan sistematika
penulisan. Bab pertama ini merupakan pembuka bagi para pembaca
agar mengetahui alasan dan latar belakang penulis penelitian dengan
tema penelitian tersebut.
Bab Kedua merupakan Pengertian tawakal meliputi: Pengertian
Tawakal, Urgensi Tawakal, Identifikasi ayat-ayat tentang tawakal dan
hubungan tawakal dengan kehidupan sehari-hari. Bab dua ini
merupakan landasan teori agar penyusunan skripsi dapat terarah dan
sistematis, untuk memberikan informasi kepada para pembaca
mengenai tawakal.
18
Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur`an, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,2002), h. 68 19
Huzaemah T. Yanggo, dkk, Pedoman Penulisan SkripsiI, Tesis, Disertasi Institut
Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta,(Jakarta: IIQ Press,2011), cet. Ke-2, h. 22
17 |
Bab Ketiga merupakan Sekilas tentang Muhammad Husein Thaba-
Thaba‟i dan Syihabuddin Sayyid Mahmud Afandi al-Alusi al-Baghdadi
meliputi biografi, metode, corak dan karya-karya penafsirannya. Bab ke
tiga merupakan bab teori, mengingat pentingnya sumber primer untuk
para pembaca sebelum masuk ke pembahasan utama yaitu menjelaskan
tentang biografi para mufasir.
Bab kelima merupakan Analisa perbandingan penafsiran terhadap
ayat-ayat tawakal meliputi: Penafsiran Muhammad Husein Thaba-
thaba‟i dan al-Alusi terhadap ayat-ayat perintah untuk tawakal, ayat
tawakal adalah ciri dari orang mu‟min, ayat-ayat urgensi tawakal dan
analisis penafsiran. Bab ini merupakan pokok pembahasan utama
penelitian skripsi ini. tujannya untuk mengetahui bagaimana analisa
penafsiran tersebut.
Bab Kelima merupakan Penutup. Pada bab ini terdiri dari
kesimpulan, saran-saran, dan daftar pustaka. Bab ini merupakan akhir
dari semua pembahasan.
Demikan gambaran tentang perencanaan penelitian maka
selanjutnya penulis akan mulai mengkaji pengertian tawakal yaitu
pengertian secara bahasa dan istilah, urgensi tawakal, identifikasi ayat-
ayat tawakal dan hubungan tawakal dan prilaku keseharian.
18 |
BAB II
HAKIKAT TAWAKAL
A. Pengertian Tawakal
1. Pengertian Secara Bahasa
Kata “ التوكل ” berasal dari kata “ وكل “. Dikatakan, “ وكل بالله
.berarti berserah diri kepada-Nya “ عليه واتكل كل وتوكل 20
Juga, “ وكل إليه
.yang berarti menyerahkan dan meninggalkannya “ الأمر وكلا ووكولا21
Lafadz توكل dari fi‟il madhi وكل yang artinya, menyerahkan.
Dikatakan وكل إليه الأ مر yang artinya menyerahkan kepadanya suatu
perkara. Kemudian وكل digandakan huruf kaf sehingga menjadi وكل
artinya penyerahan suatu urusan kepada orang lain dan bergantung
kepadanya, karena percaya terhadap kemampuanya atau karena
ketidakmampuan orang yang menyerahkannya untuk melakukan
sendiri.
Dari وكل ditambah huruf ta di depan menjadi توكل yang
berarti memperlihatkan ketidakmampuan dan ketergantungan kepada
orang lain. Maka arti توكل على الله adalah menggantungkan segala
urusan kepada Alllah swt22
.
20
Ibnu Mandzur,Lisan al-Arab, ((Mesir:Dar Beirut, 1388), h. 734 21
Fairuz Abadi, al-Qamus al-Muhith, (Mesir: Maktabah Musthafa, 1371), cet. Ke-
2, h.67 22
Ibnu Mandzur,Lisan al-Arab, h. 392
19 |
Kata “tawakal” berasal dari tawakkala-yatawakkalu-
tawakkulan, yakni tawakkul. Sebutan yang benar seharusnya
tawakkul, bukannya tawakkal. Kata tawakal merupakan kata transitif
yang memerlukan objek yang pasti, semacam fi‟il madhi muta‟addiy
(kata kerja yang memerlukan objek). Berbeda halnya dengan fi‟il
lazim (kata kerja yang tidak memerlukan objek). Dalam Al-Qur`an,
objek tawakal adalah “Al-Wakil”, yakni tuhan sebaik-baik tempat
bersandar, yaitu Allah swt. Tidak ada sesuatu pun selain Dia yang
layak dijadikan tempat menyandarkan segala urusan, menyangkut
segala aspek kehidupan manusia23
.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata
tawakal adalah berserah kepada kehendak Allah, percaya dengan
sepenuh hati kepada Allah (dalam hal penderitaan dan sebagainya)24
.
Sebagian ahli bahasa menafsirkan kata “ الوكيل “ sebagai “ الكافل
“ yaitu pihak yang memberi jaminan. Ar-Raghib mengatakan, “Kata
lebih umum. Karena setiap kafiil pasti wakiil, tetapi tidak „ الوكيل „
setiap wakiil itu sebagai kafiil25
.
Ibnul Atsir mengatakan, “Dikatakan „ توكل بالأمر „, jika
pelaksanaan sebuah urusan ditanggung. „ وكلت أمري إلى فلان„, berarti
saya berlindung sekaligus bersandar kepadanya dalam urusan itu.
Juga menyerahkan pelaksanaan urusan itu sendiri.” Tapi terkadang
keduanya bersatu.
Ar-Raghib al-Ashfahani mengatakan. Kata „ التوكل ‟ dikatakan
pada dua sisi. Dikatakan, „ توكلت لفلان „, yang berarti aku serahkan
23
Rif‟at Syauqi Nawawi, Kepribadian Qur‟ani, (Jakarta: Amzah, 2011), Cet.1, h.
77 24
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), cet. Ke-7, h. 1016 25
Abu Qasim al-husain bin Muhammad al-Raghib al-ashfahani, Al-Mufradat Fi
Gharib Al-Qur`an, (Kairo: Maktabah at-Taufiqiyah, t.t), h. 532
20 |
kekuasaan kepadanya. Dikatakan pula, „ وكلته فتوكل ل ‟ yang berarti
saya serahkan urusan kepadanya sehingga dia mewakili diri saya.
Juga dikatakan „ توكلت عليه ‟ berarti saya bersandar kepadanya26
.
Sedang menurut al-Qurthubi mengartikan kata wakil dan
tawakal sebagaimana terdapat dalam tafsirnya sebagai berikut:
“Tawakal menurut bahasa adalah bersandar kepada Allah
SWT beserta dengan menampilkan kelemahan dan bersandar atas yag
lain. Ungkapan wakala (mad wa) fulanun, kalau seseorng menyia-
nyiakan urusannya dengan menyerahkan kepada yang lain27
.”
Syaikh Ibrahim Mustafa menerangkan, akar kata tawakal
adalah dari kata wakala, yakilu, waklan wa wukulun artinya
menerima sesuatu, menyerahkan, dan merasa cukup denganya.
Dikatakan tawakkalar-rajulu bil-amri berarti menyerahkannya secara
penuh dan merasa cukup dengannya.28
Imam Ghazali dalam Ihya‟ „Ulumuddin, memaknai tawakal
sebagai berikut:
26
Abu Qasim al-husain bin Muhammad al-Raghib al-ashfahani, Al-Mufradat Fi
Gharib Al-Qur`an,h. 532 27
Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur`an, Tafsir Al-Qur`an Tematik; Spritualitas dan
Akhlak,(Jakarta: Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur`an Kementrian Agama RI, 2010), h. 208-
209 28
Syeikh Ibrahim Mustafa, dkk. Al-Mu‟jam al-Wasit, (Turki: al-Maktabah al-
Islamiyah Istanbul.) h. 1054-1055
21 |
“Tawakkul (masdar) diambil dari kata wakala; dikatakan
wakala amruhu ila fulanin, yaitu menyerahkan urusan kepadanya dan
bertumpu padanya. Dan diberi nama wakil orang yang
diwakilkan(sesuatu) atasnya. Dan dikatakan yang diserahinya itu
diwakilkan atasnya dan yang diserahi atasnya, sebagaimana dirinya
merasa tenteram dan percaya atas orang itu. Dan ia tidak menuduh
wakil itu lemah dan kurang. Maka tawakal adalah: suatu ungkapan
yang menggambarkan tertumpunya hati atas wakil saja.
2. Pengertian Secara Istilah
Adapun makna istilah kata “ توكل “ (tawakkul), maka dilihat
dari posisinya yang mengungkapkan salah satu keadaan hati yang
sulit diterka pada batasan tertentu, muncullah berbagai penafsiran
para ulama dalam bermacam bentuk. Ada yang menafsirkannya
secara lazimnya dan ada juga yang menafsirkannya dengan
menggunakan sebab-sebab dan faktor-faktornya, atau dengan nilai
atau sebagian dari maknanya, sebagaimana yang menjadi kebiasaan
para ulama Salaf dalam penafsiran mereka.
Di antara sebab perbedaan ini adalah karena keadaan dan amal
perbuatan hati sulit sekali diterka secara pasti dan susah di ungkapkan
(pembatasannya) dengan kata-kata. Oleh karena itu, al-Ghazali
29
Al-Ghazali, Ihya‟ „Ulumuddin, (Semarang:Toha Putra), Jilid IV, h. 253
22 |
mengungkapkan “tidak jelas dari segi makna dan sulit dari segi
amal30
.”
Sebagaimana dikutip dari Yusuf Qardhawi (L. 1926 M) dalam
bukunya Tawakal Jalan Menuju Keberhasilan dan Kebahagiaan
Hakiki, menjelaskan bahwa menurut Imam Ahmad berkata, “
Tawakal itu adalah perbuatan hati. Maksudnya adalah aktivitas hati.
Bukan dengan ucapan lisan, juga bukan dengan perbuatan anggota
tubuh, ia juga bukan merupakan suatu ilmu ataupun pengetahuan.
Sebagian orang ada juga berpendapat bahwa tawakal adalah
bagian dari ilmu pengetahuan, sehingga ia mengatakan, “Tawakal
adalah pengetahuan hati akan kecukupan yang diberikan Allah kepada
hamba-Nya.
Menurut Sahal bin Abdullah (w. 282 H) berkata , “Tawakal itu
adalah menyerahkan diri kepada Allah terhadap apa yang ia
kehendaki.” Ada juga yang menafsirkan tawakal sebagai sikap ridha.
Menurut Basyar al-Hafi (w. 227 H) berkata, “Kalau ada salah
seorang dari mereka yang mengatakan, „Aku bertawakal kepada
Allah‟. Sesungguhnya ia berdusta kepada Allah. Karena jika ia
bertawakal kepada Allah maka ia akan bersikap ridha terhadap apa
yang diperbuat oleh Allah.”
Menurut Dzu An-nun (w. 246 H) berkata, “Tawakal adalah
melepaskan diri dari segala kekuatan selain Allah dan tidak
mengkaitkan suatu kejadian dengan kejadian lain.” Artinya adalah
melepaskan diri dari sikap menggantungkan hati kepada sebab
30
Abdullah bin Umar ad-Dumaiji, Tawakal Bergantung Sepenuhnya Kepada Allah,
(Jakarta: PustakaAl-Inabah, 2015), cet. Ke-2, h.13-14
23 |
musabab suatu kejadian, bukan melepaskan keterkaitan seluruh
anggota tubuh dengannya.
Menurut Abu Said al-Kharaz (w. 279 H) berkata, “Tawakal itu
adalah keadaan berbuat tanpa henti, dan keadaan tenang dengan tidak
mengerjakan apa-apa (pasrah)” maksudnya adalah melakukan
perbuatan yang dapat menjadi sebab terjadinya sesuatu baik lahir
maupun batin, serta pasrah terhadap hasil pekerjaan yang
diperbuatnya, menerima apa adanya, hatinya tenang, dan senantiasa
berusaha untuk mendapatkan ridha-Nya.
Menurut Abu Turab an-Nakhsyabi (w. 710 H) berkata,
“Tawakal itu adalah memasrahkan diri untuk menghamba kepada
Allah, menggantungkan hati kepada Allah yang Maha Memelihara,
dan merasa tenang dengan apa yang telah diberikan Allah, jika diberi
nikmat bersyukur, jika tidak bersabar. Dari keterangan di atas dapat
kita ketahui bahwa menurut Abu Turab tawakal itu terdiri dari lima
perkara, yaitu:
1. Melaksanakan ibadah
2. Menggantungkan hati terhadap pemeliharaan Allah,
3. Merasa tentram terhadap segala ketetapan dan ketentuan-Nya
4. Merasa tenang dan cukup terhadap pemberian-Nya,
5. Bersyukur dengan apa yang diberikan kepadanya dan bersabar jika
apa yang dikehendakinya tidak dieberikan Alah31
.
Menurut Abu Ali ad-Darqaq (w. 412 H) menjelaskan
bahwasanya tawakal memiliki tiga derajat: 1. Tawakal, 2. Pasrah ,3.
31
Yusuf al-Qardhawi, Tawakal Jalan Menuju keberhasilan dan Kebahagiaan
Hakiki, (Jakarta: al-Mawardi Prima,2004), h. 20-21
24 |
Menyerahkan diri. Orang yang bertawakal akan merasa tenang karena
yakin janji Alah pasti benar, dan orang yang pasrah akan merasa
cukup karena yakin Allah Maha Mengetahui, dan orang yang
menyerahkan diri akan bersikap ridha karena yakin Allah Maha
Bijaksana. Sikap tawakal itu adalah sebuah permulaan, sikap pasrah
adalah sikap pertengahan, dan sikap menyerahkan diri adalah sebuah
sikap akhir. Tawakal adalah sifat orang-orang yang mukmin, sikap
pasrah adalah sifat para wali, dan memasrahkan diri adalah sifat
orang-orang yang mengesakan-Nya. Tawakal merupakan sifat orang
awam, berserah diri merupakan sifat orang-orang khusus, dan pasrah
merupakan sifat orang-orang yang lebih khusus dari orang-orang yang
khusus. Tawakal adalah sifat para Nabi, berserah diri adalah sifat
Ibrahim, sedangkan pasrah merupakan sifat Nabi kita Muhammad
saw32
.
Imam Al-Ghazali (w. 505 H) pernah berkata dalam kitab Ihya
ketika menjelaskan tentang hakikat tauhid yang merupakan asal dari
sifat tawakal, ketahuilah bahwasanya tawakal merupakan bagian dari
keimanan, dan seluruh bagian dari keimanan tidak akan terbentuk
melainkan dengan ilmu, keadaan, dan perbuatan. Begitupula dengan
sikap tawakal, ia terdiri dari suatu ilmu yang merupakan dasar, dan
perbuatan yang merupakan buah, dan keadaan yang merupakan
maksud dari tawakal. Jadi dapat kita simpulkan bahwa tawakal adalah
32
Ibnu Qayyim al-jauziyah, Madarijus Salikin (Pendakian Menuju Allah), (Jakarta:
Putaka Al-kautsar,1998), terj. Madarijus Salikin Baina Manazil Iyyaka Na‟budu wa Iyyaka
Nasta‟in, cet. 1, h.242-243
25 |
masalah keimanan dan tingkatan-tingkatan ruhani dalam ilmu
tasawuf33
.
Al-Ghazali secara tamsil membagi tawakal atas tiga tingkatan;
pertama, tawakal kepada Allah laksana seorang yang menyerahkan
kekuasaan kepada wakilnya dalam suatu urusan, setelah ia meyakini
kebenaran, kejujuran, dan ketulusan orang itu dalam membelanya.
Kedua, tawakal kepada Allah seperti anak kecil menyerahkan segala
persoalan kepada ibunya. Ketiga, tawakal kepada Allah laksana mayat
di tangan orang yang memandikannya.
Menurut Abu Al-Qasim Al-Qusyairi (w. 165 H) berkata:
“Pertama, dalam pengertian merasa tentram terhadap apa yang telah
dijanjikan Allah. Tawakal dalam tingkat ini merupakan tawakal
tingkat pertama (al-bidayah). Kedua, tawakal dalam pengertian
merasa puas dalam penyandaran segala urusan kepada Allah, karena
Allah telah mengetahui keadaan dirinya. Tawakal dalam bentuk ini
merupakan tawakal tingkat pertengahan (al-mutawassitah). Ketiga,
tawakal dalam pengertian merasa rela, puas, atau lapang dada dan
berserah diri kepada Allah dengan sepenuh hati. Tawakal ini
merupakan tingkat tertinggi (an-nihayah)34
.
Ibnu Qayyim (w. 751 H) dalam kitab Syarh al-Manazil
menyebutkan dengan berbagai macam tingkatan dalam betawakal:
1. Mengenal Allah dan sifat-sifat-Nya
2. Adanya ketetapan sebab musabab yang harus dijaga dan
dilaksanakan
33
Yusuf Qardhawi, Tawakal, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1996), cet. Ke-1, h.35-
36 34
Rif‟at Syauqi Nawawi, Kepribadian Qur‟ani, Cet.1, h. 83
26 |
3. Kemantapan hati dalam sikap tauhid
4. Bergantungnya hati dan menyandarkan sesuatu hanya kepada
Allah dengan disertai perasaan tenang.
5. Berprasangka baik kepada Allah swt
6. Sikap menyerahkan hati kepada-Nya dengan menghimpun
penopang-penopangnya dan menghilangkan penghambatnya.
7. Pasrah yang merupakan ruh tawakal, inti dan hakikatnya
8. Ridha35
.
Menurut M. Quraish Shihab dalam al-Misbah menyatakan
“Kata wakil terambil dari kata wakala-yakilu yang berarti
mewakilkan. Dari kata itu terbentuk pihak lain, maka ia telah
menjadikannya sebagai dirinya sendiri dalam persoalan tersebut,
sehingga yang diwakilkan (wakil) melaksanakan apa yang
dikehendaki oleh yang menyerahkan kepadanya perwakilan36
.
B. Urgensi Tawakal
Hikmah tawakal dalam ensiklopedia adalah membuat
seseorang penuh percaya diri, memiliki keberanian dalam
menghadapi setiap persoalan, memiliki ketenangan jiwa, dekat
dengan Allah, dan menjadi kekasih-Nya, dipelihara, ditolong,
dilindungi Allah, diberikan rezeki yang cukup dan selalu berbakti dan
taat kepada Allah.
Menurut Syeikh Abdullah bin Alawi bin Muhammad (1044-
1132 H), beliau mengatakan “ Hikmah tawakal adalah tidak
melakukan perbuatan maksiat selalu menghindarkan diri dari segala
35
Abdullah bin Umar ad-Dumaiji, Rahasia Tawakal dan Sebab Akibat, (Jakarta:
Pustaka Azzam,200), h. 5-10 36
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), jilid XIV,
cet. VII, h. 522-523
27 |
yang dilarang, dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan Allah.
Tawakal menumbuhkan ketegaran, keberanian, ketenangan,
kesabaran, ketekunan, kesungguhan, dan keseriusan.
Jadi tawakal adalah sumber inspirasi dan relasi rohani secara
penuh dan amat dalam, sehingga memberikan semangat yang luar
biasa terhadap mutawakkilin. Orang beriman tidak akan berputus asa
dan berkecil hati dalam menghadapi situasi bagaimanapun. Inilah
keunggulan tawakal, suatu ajaran islam dan tanda keimanan yang
kuat. Keunggulan ini terlihat dalam berbagai macam peristiwa
kenabian dan peristiwa-peristiwa para shalihin, sebagaimana
tercantum dalam kisah-kisah Al-Qur`an37
.
Sikap tawakal yang tertanam baik dalam diri manusia akan
memberikan buah yang baik bagi diri sendiri maupun bagi kehidupan
sekitarnya:
1. Mewujudkan Keimanan
Tawakal merupakan syarat dan kelaziman iman, yang hanya
dengan merealisasikannya maka iman akan menjadi sempurna. Dan
bahwa penggabungan antara iman dan tawakal sangat mungkin
dilakukan, bahkan terkadang dapat langsung difahami di awal
penyajian.
Berdasarkan fakta bahwa iman dan tawakal bisa saling
beriringan, maka buah tawakal yang paling agung adalah realisasi
iman seorang hamba; sehingga tidak ada iman kecuali dengan
tawakal, sebagaimana juga tidak ada tawakal kecuali dengan iman.
Allah swt berfirman dalam surah Al-Maidah ayat 23
37
Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur`an, Tafsir Al-Qur`an Tematik; Spritualitas dan
Akhlak, h. 231
28 |
“. dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu
benar-benar orang yang beriman".(QS.Al-Maidaah:23)
Artinya tidak mungkin iman bisa direalisasikan kecuali
dengan merealisasikan tawakal terlebih dahulu38
.
2. Timbulnya ketenangan dan ketentraman
Ketenangan jiwa dan ketentraman hati, yang keduanya itu
akan dirasakan oleh orang yang bertawakal keada Allah. Orang yang
bertawakal tidak akan merasakan kecuali rasa aman di saat orang lain
merasa takut, rasa tenang di saat orang lain merasa bimbang, rasa
yakin di saat orang lain merasa ragu, keteguhan hati di saat orang lain
merasa goyah, penuh harapan di saat orang lain berputus asa, dan ia
akan merasa ridha ketika orang lain marah.
Keadaan seperti inilah yang didapati oleh para nabi ketika
menghadapi kaum yang menentangnya, sebagaimana yang dirasakan
oleh Nabi Ibrahim ketika ia akan dilemparkan ke dalam api. Ia sama
sekali tidak disibukkan dengan meminta pertolongan kepada para
makhluk, baik manusia maupun jin. Hatinya tidak disibukkan kecuali
hanya berkata, “Cukuplah Allah bagiku sebagai pemberi nikmat dan
pelindung.”
Dalam kitab shahih bukhari, dari Ibnu Abbas, ia berkata,
“Cukuplah Allah bagiku sebagai pemberi nikmat dan pelindung.”
Ucapan ini di ucapkan oleh Ibrahim ketika ia dilemparkan ke dalam
api. Nabi Muhammad saw berkata seperti ini ketika orang-orang
berkata kepadanya39
, sebagaimana terdapat dalam surah Ali-Imran
ayat 173
38
Abdullah bin Umar ad-Dumaiji, Tawakal Bergantung Sepenuhnya Kepada Allah,
cet. Ke-2, h.147-148 39
Yusuf al-Qardhawi, Tawakal Jalan Menuju keberhasilan dan Kebahagiaan
Hakiki, h.. 145-146
29 |
". (yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang
kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: "Sesungguhnya
manusia[250] telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu,
karena itu takutlah kepada mereka", Maka Perkataan itu menambah
keimanan mereka dan mereka menjawab: "Cukuplah Allah menjadi
penolong Kami dan Allah adalah Sebaik-baik Pelindung". (QS. Ali-
„Imran: 173).
3. Melahirkan kekuatan hati, keberanian, keteguhan, dan perlawanan
terhadap musuh
Kekuatan yang dirasakan oleh orang yang bertawakal kepada
Allah. Kekuatan itu adalah kekuatan jiwa dan batin, kekuatan materi
apapun yang di hadapan kekuatan tersebut dianggap kecil, seperti
kekuatan persenjataa, kekuatan harta, kekuatan orang banyak.
Kekuatan ini juga dapat kita rasakan pada sikap Nabi Hud di
hadapan para kaumnya, yakni kaum „Ad, dimana Nabi Hud menolak
kemusyrikan, kerusakan, dan kesesatan mereka. Merekalah orang-
orang yang membuat-buat ayat yang sesat, mereka membangun istana
dan berbagai tempat usaha agar mereka kekal. Jika mereka berkuasa,
maka mereka berkuasa dengan zalim dan angkuh. Merekalah orang-
orang yang sombong di muka bumi ini tanpa didasari dengan
kebenaran40
.
Hud telah membimbing dan menyeru mereka kepada tauhid,
istiqomah, dan takwa kepada Allah. Sebagaimana terdapat dalam
Surah Hud ayat :54
40
Yusuf al-Qardhawi, Tawakal Jalan Menuju keberhasilan dan Kebahagiaan
Hakiki, h.147-148
30 |
“Kami tidak mengatakan melainkan bahwa sebagian
sembahan Kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu." Huud
menjawab: "Sesungguhnya aku bersaksi kepada Allah dan
saksikanlah olehmu sekalian bahwa Sesungguhnya aku berlepas diri
dari apa yang kamu persekutukan,”. (QS. Huud: 54)
Akan tetapi Huud tidak menghiraukan sikap mereka itu, ia
tetap berkata dengan kekuatan keyakinan dan kepercayaan, surah Hud
(11)ayat : 57
“Jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya aku telah
menyampaikan kepadamu apa (amanat) yang aku diutus (untuk
menyampaikan)nya kepadamu. dan Tuhanku akan mengganti (kamu)
dengan kaum yang lain (dari) kamu; dan kamu tidak dapat membuat
mudharat kepada-Nya sedikitpun. Sesungguhnya Tuhanku adalah
Maha pemelihara segala sesuatu.”. (QS. Huud:57)
4. Al-Izzah (Harga Diri)
Harga diri yang dirasakan oleh orang yang bertawakal, harga
diri ini mengangkatnya lebih tinggi, dan memberikannya kekuasaan
yang lebih besar, meski tanpa tahta ataupun mahkota. Kekuatan ini
hasil dari harga diri orang yang bertawakal kepada-Nya. Sebagaimana
firman Allah dalam Surah Asy-Syu‟ara(26): 217
31 |
“Dan bertawakkallah kepada (Allah) yang Maha Perkasa lagi
Maha Penyayang,”. (QS. Asy-Syu‟ara:26)
Dan juga firman-Nya dalam surah Al-Anfal(8) : 49
“ Iingatlah), ketika orang-orang munafik dan orang-orang
yang ada penyakit di dalam hatinya berkata: "Mereka itu (orang-
orang mukmin) ditipu oleh agamanya". (Allah berfirman):
"Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, Maka Sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".(QS. Al-Anfaal: 49)
Orang yang bertawakal akan memiliki harga diri tanpa
bantuan orang, merasa kaya meski tanpa harta, dan menjadi raja
meski tanpa bala tentara dan pengikut41
.
5. Menimbulkan sikap Ridho
Sikap ridho yang membuat hati menjadi lapang, dan hati
menjadi luas. Sebagian orang menjadikan sikap ridho ini sebagai
bagian dari inti tawakal, atau menjadikannya sebagai salah satu
tingkat dari berbagai tingkatan tawakal.
Yahya bin Muadz pernah ditanya, “Kapan seseorang dapat
dikatakan telah bertawakal? ” ia menjawab, “ Yaitu jika ia ridha Allah
menjadi pelindungnya.”
Ibnu Qayyim mengatakan, “ Sesunguuhnya ridha adalah buah dari
sikap tawakal. Siapa saja yang menafsirkan tawakal sebagai sikap
41
Yusuf al-Qardhawi, Tawakal Jalan Menuju keberhasilan dan Kebahagiaan
Hakiki, h.153-155
32 |
ridha maka ia telah menafsirkannya dengan buah yang paling baik
dan yang paling bermanfaat dari sifat tawakal tersebut. Jika seseorang
benar-benar bertawakal maka ia akan ridha terhadap apa yang
dilakukan oleh pelindungnya.”
Di antara indikasi keridhaan adalah perasaan gembira dan
tenangnya batin.
Hal ini seperti diriwayatkan dalam hadis Ibu Mas‟ud secara marfu‟,
“Sesungguhnya Allah dengan sifat kebijaksanaan-Nya dan keadilan-
Nya menjaikan rasa gembira dan ketenangan batin bagi orang yang
ridha dan yakin. Dan dia menjadikan kepiluan dan kesedihan bagi
orang yang tidak bersikap ridha dan ragu-ragu.”
Orang yang bertawakal akan merasa yakin bahwa pengaturan
yang berasal dari Allah lebih baik dari pengaturan dirinya sendiri, dan
ia juga yakin bahwa ia akan senantiasa berada dalam jaminan dan
perlindungan dari Allah42
.
6. Timbulnya Harapan
Dari sifat tawakal yang lain adalah adanya harapan akan
memperoleh yang diinginkan, keselamatan dari hal yang dibenci,
hilangnya kepiluan, terlepas dari kesusahan, kemenangan yang hak
dari yang batil, hidayah dari kesesatan, dan diperolehnya keadilan
atas kezaliman.
Orang yang bertawakal kepada Allah tidak akan pernah
terbesit dalam hatinya rasa hilang harapan dan putus asa. Al-Qur`an
telah mengajarkan kepadanya bahwa putus asa adalah bagian dari
kesesatan, dan berputus asa adalah pengikut kekufuran.
42
Yusuf Qardhawi, Tawakal, h.145-146
33 |
Allah berfirman melalui lisan Ibrahim dalam surah Al-Hijr
ayat 56
“Dan Kami tiada membinasakan sesuatu negeripun,
melainkan ada baginya ketentuan masa yang telah ditetapkan.”.(QS.
Al-Hijr: 56)
Allah juga berfirman melalui lisan Nabi Ya‟kub dalam surah
Yusuf ayat 87
“ Hai anak-anakku, Pergilah kamu, Maka carilah berita
tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari
rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah,
melainkan kaum yang kafir".(QS. Yuusuf: 87)
Ibrahim mengatakan hal itu dalam posisi sebagai orang pikun
yang telah lanjut usia. Sedangkan Nabi Ya‟kub mengatakan ucapan
itu ketika ia mencari Yusuf dan saudaranya, setelah ia berpisah sangat
lama dari Yusuf, dan selama berpulu-puluh tahun lamanya berputus
berita tentang dirinya.
Orang yang bertawakal kepada Allah mengetahui betul bahwa
kekuasaan itu seluruhnya milik Allah, dan Dia-lah yang
mengurusinya. Dia bebas berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan
34 |
Dia bebas memberikan kekuasaan kepada siapa saja yang
dkehendaki-Nya43
.
7. Tawakal mendatangkan kesabaran dan ketahanan
Allah Ta‟ala menyandingkan antara kesabaran dan tawakal
dalam banyak ayat, lebih dari satu. Hal ini tidak lain karena kesabaran
dan tawakal adalah kunci dari segala urusan dan masalah yang baik-
baik; tidak terlaksananya suatu kebaikan adalah karena dua sebab,
yitu: pertama: tidak adanya sikap sabar dalam mengerahkan daya
upaya untuk mencapai tujuan yang baik, dan kedua : tidak adanya
sikap tawakal kepada Allah swt.
Allah berfirman dalam surah An-Nahl ayat 41-42
“Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah
mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus
kepada mereka di dunia. dan Sesungguhnya pahala di akhirat adalah
lebih besar, kalau mereka mengetahui. (yaitu) orang-orang yang
sabar dan hanya kepada Tuhan saja mereka bertawakkal.”. (QS. An-
Nahl: 41-42)
jika tawakal mendatangkan sifat sabar, maka kesabaran adalah
sebab terbesar untuk tercapainya setiap kesempurnaan. Oleh karena
itu, makhluk yang paling sempurna adalah yang paling sabar. Inilah
kedudukan iman yang paling besar44
.
8. Tawakal menghilangkan penyakit ujub dan sombong
43
Yusuf Qardhawi, Tawakal, h.146-147 44
Abdullah bin Umar ad-Dumaiji, Rahasia Tawakal dan Sebab Akibat, h. 102-103
35 |
Sesungguhnya penyakit yang paling besar serta mematikan
yang menimpa hati manusia, serta dapat menjadikan amalan-amalan
sia-sia, juga merusak seluruh perbuatan manusia serta melahirkan
kekerasan dan kekejian adalah; Riya dan Ujub.
Riya‟ termasuk tindakan yang melibatkan orang lain,
sedangkan ujub melibatkan diri sendiri. Dan ini merupakan sifat dan
keadaan orang yang sombong. Celaan terhadap dua sifat ini telah
disebutkan dalam banyak nash, diantaranya adalah sabda Rasulullah
saw dalam hadis Haritsah bin Wahab:
“Maukah kalian aku kabarkan tentang penghuni neraka?
Yaitu setiap orang yang kasar, angkuh, dan sombong.”45
Dari Ibnu mas‟ud dari Nabi saw, beliau bersabda:
“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya
terdapat kesombongan seberat biji atom.”46
Sa‟id bin Jubair mengatakan, “Seorang Hamba akan
mengerjakan kebaikan lalu dengannya dia masuk neraka dan seorang
hamba akan mengerjakan keburukan lalu denganya dia masuk surga.
Yang demikian itu, karena dia mengerjakn kebaikan lalu merasa
takjub dengannya. Sementara yang lainnya mengerjakan keburukan
lalu melihat dengan kedua matanya kemudian memohon ampunan
dan bertaubat kepada Allah.
45
Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam kitab Fiii Tafsiir Surah al-Walam. (no.
4918, VII/530)h.159. 46
Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab al-iman, bab tahrim al-kibr wa
bayanuhu (no 91, I 93
36 |
Pengobatan terhadap dua penyakit yang cukup parah ini
hanya bisa dilakukan dengan merealisasikan „ubudiyyah dan
tawakal47
.
9. Tawakal memperkuat tekad dan keteguhan suatu perkara
Allah swt memerintahkan Nabi saw untuk bertawakal kepada
Allah, jika sudah membulatkan tekad. Dia berfirman dalam surah Ali-
Imran ayat 159:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah
lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati
kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu
ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal
kepada-Nya.”. (QS.Ali-Imran:159)``
Kesempurnaan seorang hamba dinilai dengan tekad dan
keteguhannya. Maka, orang yang tidak memiliki tekad, masih ada
kekurangan pada dirinya. Begitu pula orang yang sudah memiliki
tekad tetapi tidak memiliki keteguhan, juga masih terdapat
47
Abdullah bin Umar ad-Dumaiji, Rahasia Tawakal dan Sebab Akibat,h. 116-117
37 |
kekurangan pada dirinya. Jika kemantapan bersatu dengan tekad,
lahirlah kedudukan yang mulia dan keadaan yang sempurna.
Tidak diragukan lagi,di antara hal yang dapat membantu
seseorang agar tetap teguh pada suatu urusan yang baik dan pendapat
yang lurus serta tekad untuk merealisasikannya adalah tawakal kepada
Allah swt.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Muslim bin Yasar ,
katanya, “Pembicaraan dalam hal takdir merupakan dua lembah yang
terbentang; orang-orang binasa di dalamnya tanpa mengetahui
luasnya. Oleh karena itu, kerjakanlah amalan layaknya seseorang
yang mengetahui bahwa yang bisa menyelamatkan dirinya hanyalah
amalnya. Dan bertawakkalah seperti tawakalnya seseorang yang
mengetahui bahwa yang akan menimpanya hanyalah apa yang telah
ditetapkan Allah.
Allah Ta‟ala berfirman kepada Nabi saw
“Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa Kami
melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah
pelindung Kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman
harus bertawakal."(QS. At-Taubah: 51)
Yang demikian itu, tidak lain adalah karena tawakal memiliki
pengaruh yang sangat besar dalam memperkuat tekad dan keteguhan.
Maka, ketika para sahabat merasa keberatan terhadap apa yang
disampaikan Rasulullah saw berkenaan hari kiamat yang sudah dekat,
mereka berkata, “ Bagaimana kami bisa bersenang-senang sedang
38 |
peniup sangkakala telah meletakkan sangkakala di mulut dan tinggal
mendengar perintah. Kapan diperintah untuk meniup, maka dia akan
meniup.” Seakan-akan hal itu begitu berat bagi para sahabat. Maka
Nabi saw berkata kepada mereka, “Ucapkanlah:
„Cukuplah Allah sebagai pelindung kami dan Dia sebaik-baik
penolong. Kepada Allah-lah kami bertawakal48
.„
C. Identifikasi Ayat-ayat tentang Tawakal
Berdasarkan uraian makna Tawakal yang dikemukakan ulama
bahasa dan tafsir di atas, terdapat beberapa nuansa dalam memaknai
tawakal, walaupun hanya dilihat dari aspek terjemahan. Sebagai
contoh, perkataan wakila yang tercantum dalam Al-Qur`an sebanyak
24 kali, maknanya dapat dikategorikan sebagai berikut:
a. Pelindung (Ali-Imran/3: 173, al-Isra‟/17: 68, al-Ahzab/33:
48, al-Muzammil/73: 9).
b. Pengurus (al-An‟am/6: 66);
c. Pemelihara (al-An‟am/6: 107);
d. Saksi (Yusuf/12: 66);
e. Bertanggung Jawab (az-Zumar/39: 41);
f. Memelihara (az-Zumar/39: 62, al-Furqan/25: 43, al-
Ahzab/33: 3)
g. Mengawasi (asy-Syura/42: 6)
h. Penolong (al-Isra‟/17: 2)
48
Abdullah bin Umar ad-Dumaiji, Tawakal Bergantung Sepenuhnya Kepada Allah,
cet. Ke-2, h.192-195
39 |
i. Penjaga (al-Isra‟/17: 54)
j. Pembela (al-Isra‟/17: 86)
Sementara itu, penggunaan kata kerja lebih banyak diartikan
menyerahkan, diserahi, dan juga makna “bertawakal”. Adapun isim
sifat dengan menggunakan mutawakkilun atau mutawakkilin diartikan
sebagai orang-orang yang bertawakal atau berserah diri. Dengan
demikian, sebagaimana disebutkan dalam Ensiklopedia Islam,
tawakal berarti menyerahkan segala perkara, ikhtiar, dan usaha yang
dilakukan kepada Allah swt serta berserah diri sepenuhnya kepada-
Nya untuk mendapatkan manfaat atau menolak mudarat.
Ada beberapa ungkapan daam Al-Qur`an yang diambil dari
kata dasar wakala, yaitu: wakil, tawakkal, tawakkaltu, tawakkalna,
wakkala, wukkila, yatawakkalu, natawakkal, dan mutawakkil, dan
mutawakkilin.
a. Wakil disebut 24 kali, yaitu dalam Surah Ali „Imran/3 : 173; al-
An‟am/6: 69, 102, 107; Yunus/10: 10; Hud/11: 12; Yusuf/12: 62;
al-Qassas/28: 28; az-zumar/39: 41 dan 62; asy-Syura/42: 6; an-
Nisa/4: 81, 109, 132, dan 171; al-Isra‟/17: 2, 54, 65, 68, 86; al-
Furqan/25: 13; al-Ahzab/33: 3 dan 48; al-Muzammil/73: 9.
b. Wakkala dengan segala bentuknya disebut 13 kali, yaitu dalam
Surah al-An‟am/6: 89; as-Sajdah/32: 11; at-Taubah/9: 129;
Yunus/10: 71; Huud/11: 56, 88; Yusuf/12: 67; ar-Ra‟d/13: 30;
asy-Syura/42: 10.
c. Tawakkaltu dengan mutakallim wahdah (pembicara seorang)
disebut sebanyak 7 kali, yaitu pada Surah at-Taubah/9: 129;
Yunus/10: 71; Hud/11: 56 dan 88; Yusuf/12: 67; ar-Ra‟d/13: 30
dan asy-Syura/42: 10.
40 |
d. Tawakkalna disebut sebanyak 4 kali, yaitu pada surah al-A‟raf/7:
89; Yunus/10: 85; al-Mumtahanah/60: 4; al-Mulk/68: 29
e. Natawakkal disebut sebanyak satu kali, yaitu pada surah
Ibrahim/14: 12
f. Yatawakkal ada 12 ayat, yaitu pada Surah Ali-Imran/3: 122, 160;
al-Maidah/5: 11; al-Anfal/8: 49; at-Taubah/9: 51; Yusuf/12: 67;
Ibrahim/14: 11 dan 12; az-Zumar/39: 48; al-Mujadilah/58: 10; at-
Taghabun/64: 13; at-Talaq/65: 3.
g. Yatawakkalun (fi‟il mudari‟ gaib, jamak) sebanyak 5 ayat, yaitu
pada Surah al-Anfal/8: 2; an-Nahl/16: 42 dan 99; al-„Ankabut/29:
59, asy-Syura/42: 36.
h. Tawakkal dan tawakkalu (fi‟il „amr) disebut sebanyak 10 kali,
terdapat pada surah Ali-Imran/3: 159; an-Nisa‟/4: 81; al-Anfal/8:
61; Hud/11: 123; al-Furqan/25: 58; asy-Syu‟ara/26: 217; an-
Naml/27: 79 ; al-Ahzab/33: 3; al-Ma‟idah/5: 23; dan Yunus/10:
84.
i. Mutawakkilun dan mutawakkilin disebut 4 kali, yaitu pada Surah
Yusuf/12: 67; Ibrahim/14: 12; az-Zumar/39: 38; Ali-“Imran/3:
159
j. Wakkalna disebut sebanyak satu kali, yaitu pada surah Al-
An‟am/6 ayat 89
k. Wukkila disebut sebanyak satu kali, yaitu pada surah As-
Sajdah/32 ayat 11
l. Wakilaan ada 13 ayat, yaitu pada surah An-Nisa‟/4: 81, 109, 132,
171, surah Al-isra‟/17 : 2, 54, 65, 68, 86, surah Al-Furqan/25: 43,
surah 33: 3, 48, surah Al-Muzammil/73: 949
.
49
Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur`an, Tafsir Al-Qur`an Tematik; Spritualitas dan
Akhlak, h. 224-226
41 |
Setelah mengidentifikasi ayat-ayat tentang tawakal penulis
menyimpulkan bahwa ada tiga kriteria yang bersangkutan dengan
tawakal, Pertama, Perintah bertawakal, terdapat dalam surah at-
Taubah ayat 51 dan surah al-Ahzab ayat 3, Kedua, Tawakal sifat
orang yang beriman terdapat dalam surah al-Anfal ayat 2, dalam
surah Yunus ayat 84, dalam surah at-Taghabun ayat 13, Ketiga.
Balasan bagi orang yang bertawakal, terdapat dalam surah at-Thalaq
ayat 3 dan surah al-Ankabut ayat 58-59.
D. Hubungan Tawakal dan Perilaku Keseharian
Korelasi tawakal dengan perilaku dan amal keseharian adalah
bahwa kesuksesan suatu tindakan memerlukan ikhtiar dan usaha.
Ikhtiar adalah sesuatu yang mestinya menyatu dalam suatu sistem
kehidupan keberagaman orang beriman. Maka dipandang tidak
sejalan dengan sunnah Allah dan Sunnah Rasul-Nya apabila
seseorang malas dan tidak bekerja dengan alasan bertawakal. Artinya
memaknai tawakal berkaitan dengan etos belajar dan etos kerja. Umat
islam harus menjadi umat yang sukses dan mandiri, baik material
maupun spiritual. Seseorang yang ingin sukses dalam bidang
keilmuan harus belajar dengan baik dan teratur, orang yang ingin
memperoleh harta harus berusaha, dan orang ingin kenyang harus
makan, dan seterusnya. Keberhasilan tidak datang sendiri, tetapi
harus diraih. Bahkan, untuk bisa makan dan minum pun harus
menggunakan tangan dan mulut.
Uraian dibawah ini menerangkan bagaimana Al-Qur`an
memberikan gambaran tentang bersatunya Tawakal dan amal, seperti
yang telah dilakukan Nabi Muhammad SAW.
42 |
1. Kegiatan Individual dan Sosial
Dalam kegiatan individual dan interaksi sosialnya dengan
yang lain, seorang muslim harus selalu bertawakal pada Allah swt,
sehingga tidak ada rasa angkuh atau sombong dalam dirinya.
Kegiatan yang amat sederhana, seperti zikir-zikir yang diucapkan
seseorang; bacaan basmalah, hamdalah, tasbih ketika mendapat
rezeki atau kenikmatan, bacaan istirja‟ ketika mendapat musibah, dan
ucapan hauqalah , “La haula wala quwwata illa billah”semuanya
merupakan pernyataan tawakal. Amal usaha dan doa yang selalu
dilafalkan tersebut merupakan bagian dari ibadah dan tawakal
seseorang pada Allah. Ayat 7 merupakan hakikat tawakal secara
penuh terhadap Allah. Ketika akan tidur, seseorang disunnahkan
membaca doa. Bagi seseorang yang keluar rumah, banyak perkara
yang akan ditemui dalam berbagai urusan. Mungkin ada, yang
menyenangkan dan ada pula yang menyusahkan, sebagai bahagian
dari kehidupan. Sebagai makhluk yang di anugerahi pikiran, sebelum
keluar rumah seorang muslim sebaiknya mempunyai pertimbangan,
pemikiran dan rencana-rencana yang baik dan kemudian
memasrahkan segala sesuatunya kepada Allah.
Tawakal diperlukan oleh setiap orang yang beriman dan
berserah diri kepada Allah ketika akan melakukan suatu pekerjaan.
Setelah dengan penuh kesungguhan, program, dan rencana yang
matang, melaksanakan aktivitas secara maksimal, maka seseorang
harus berserah diri kepada Allah karena Dia pemlikinya.
Dalam riwayat lain diterangkan, „Umar bin al-Khattab pernah
memutuskan pulang ketika memasuki daerah yang penduduknya
terjangkit penyakit kusta. Hal ini menimbulkan pertanyaan yang
43 |
menentang sari sahabat lain: “ Apakah anda akan melarikan diri dari
takdir Allah?” Umar menjawab: “Ya, lari dari takdir Allah kepada
takdir Allah yang lain.” „Umar kemudian memberikan perbandingan
jika mempunyai hewan ternak di mana tersedia dua lahan, yang satu
kering dan yang lainnya subur, tentu saja lebih baik memilih bagian
yang subur. Perkara ini menunukkan bahwa ikhtiar menghindari
penyakit (tindakan berhati-hati) perlu dilakukan, seraya bertawakallah
kepada Allah. Pendapat Umar ini diperkuat oleh sabda Nabi yang
disampaikan oleh „Abdurrahman bin‟Auf :
“Apabila kalian mendengar (penyakit berjangkit) di suatu
negeri, maka janganlah kamu datang ke tempat itu. Dan kalau kamu
sedang berada dalam negeri yang tengah berjangkit penyakit
menular itu, maka janganlah kamu keluar dari negeri itu, karena
hendak melarikan diri darinya50
. (Riwayat al-Bukhori dari
„Abdurrahman bin „Auf).
2. Aspek Dakwah
Islam adalah ajaran Allah dan sibgah Allah yang paling baik.
Tidak ada ajaran agama yang diakui kecuali islam. Dakwah adalah
bagian penting dalam penyebaran ini. pemaksaan atau pindah agama
merupakan perbuatan yang dilarang sebagaimana diterangkan dalam
Al-Qur`an dalam surah Al-Kafirun (109) ayat: 1-6 dan Al-Baqarah
(2) ayat: 256
50 Muhammad bin Ismail Abdullah Al-Bukhori al-ju‟fi, Shahih Bukhari, (Beirut:
Dar Tauqin Najah, 1422), Juz. 4, h.175
44 |
Dalam surah Al-Kafirun disebutkan keharusan bagi orang
mukmin untuk bersikap tegas terhadap orang kafir menyangkut
persoalan aqidah. Tidak ada toleransi dalam masalah ibadah.
“Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan
menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah
Tuhan yang aku sembah, dan aku tidak pernah menjadi penyembah
apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi
penyembah Tuhan yang aku sembah, untukmu agamamu, dan
untukkulah, agamaku." (QS. Al-Kafiruun:1-6)
Namun demikian, sejak Zaman Rasul sampai saat ini, dakwah
bukan persoalan gampang. Ajaran Islam tidak begitu mudah dapat
diterima, malahan para pembawanya banyak dimusuhi, jangankan
orang kafir diharapkan bisa menerima, umat islam pun ketika diajak
berbuat baik dan menerapkan Syariat-Nya banyak yang menolak dan
tidak sudi diajak bersyariat. Oleh karena itu para da‟i, tidak boleh
kecewa dan putus asa, para mujahid tidak boleh berhenti. Di sinilah
Tawakal kepada Zat yang memiliki segalanya diperlukan. Atas dasar
itulah Rasul pun menyerahkannya segala urusan kepada Allah setelah
melakukan dakwah dan perjuangannya, sebagaimana tercantum
dalam surah Al-An‟am ayat :66
45 |
“Dan kaummu mendustakannya (azab) Padahal azab itu
benar adanya. Katakanlah: "Aku ini bukanlah orang yang diserahi
mengurus urusanmu". (QS. Al-An‟am:66))
Sangat banyak ayat Al-Qur`an yang senada dengan ayat di
atas , dimana umat Islam harus meyakini bahwa Allah adalah
pelindung dan kepada-Nya diserahkan segala urusan. Perintah ini
terdapat dalam surah al-An‟am/6 :102 dan 107, Yunus/10 : 108,
Hud/11 : 12,123.
Ayat-ayat tersebut merupakan salah satu bagian penting bagi
para da‟i dan Mujahid Dakwah agar dengan kesungguhan tetap
melakukan aktivitas dakwah, dan jihadnya karena Allah akan selalu
membimbingnya. Ketawakalan para mujahid dituntut pada setiap
kondisi dan situasi51
.
3. Aspek Sosial Kemasyarakatan
Tawakal di manapun dan dalam situasi apapun harus menjadi
bingkai perilaku setiap mukmin karena ia adalah bagian dari ibadah.
Suatu peristiwa yang amat memilukan, ketika Nabi Ya‟qub
kehilangan putra kesayangannya, Yusuf dan menaruh curiga dan
kekurangpercayaan kepada anak-anaknya yang lain sesudah peristiwa
itu. Namun, beliau tetap menaruh optimisme pada Allah, sehingga
putranya yang lain (Bunyamin) diizinkan dibawa oleh saudara-
saudaranya, setelah meminta jaminan dari mereka.
51
Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur`an, Tafsir Al-Qur`an Tematik; Spritualitas dan
Akhlak, h. 226-227
46 |
Demikian pula hubungan Nabi Musa dengan nabi Syu‟aib,
calon mertuanya tentang maskawin yang harus dibayarkan, padahal
Musa tidak memiliki harta, kecuali hanya tenanga dan semangat.
Sebagaimana tercantum dalam surah al-Qassas (28) ayat: 28
“ Dia (Musa) berkata: "Itulah (perjanjian) antara aku dan
kamu. mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku
sempurnakan, Maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi).
dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan". (QS. Al-Qassas:
28)
Dalam ayat ini jelas bahwa hubungan Musa dengan calon
mertuanya itu, diikat oleh suatu perjanjian yang disepakati secara
kuat, walaupun ada kekurangan agar tidak menjadi permusuhan.
Kuatnya perjanjian ini karena saksinya adalah Allah, sehingga
alangkah jeleknya, baik secara akhlak dan moral bila dilanggar52
.
4. Aspek Ekonomi
Manusia dalam aktivitas hidupnya tidak akan lepas dari jihad
dan mencari rezeki, berupa fadlullah, kecuali orang yang sakit karena
seperti itulah manusia di dunia.
52
Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur`an, Tafsir Al-Qur`an Tematik; Spritualitas dan
Akhlak, h. 227-228
47 |
Suatu saat Rasulullah Saw melihat seseorang sedang duduk di
mesjid, seperti orang yang kebingungan, Rasul bertanya, “Maukah
engkau saya ajarkan suatu do‟a, yang dengan doa itu bila engkau
baca siang dan malam Allah akan menghilangkan kerisauanmu ini?”
maka Rasul mengajarkan doa berikut yang artinya: “Ya Allah, berilah
aku perlindungan dari kedukaan hati dan keluh kesah, berilah aku
perlindungan dari kelemahan dan kemalasan, peliharalah aku dari
sifat penakut dan bakhil, peliharalah aku dari lilitan utang dan
paksaan orang lain.” (Riwayat Abu Dawud)
Dalam Al-Qur`an surah at-Talaq (65) ayat: 2-3 Allah
mengingatkan kaum muslimin sebagai berikut:
“Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka
rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik
dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu
dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.
Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman
kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah
niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. dan
memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan
48 |
Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan
urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah
Mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”. (QS. At-Talaq:2-3)
Dalam kehidupan apapun bentuknya harus didasarkan karena
Allah, seperti hubungan seseorang dengan yang lain termasuk di
dalamnya yang berkaitan dengan suami dan istri. Tidak selamanya
hubungan ini berjalan mulus karena dapat saja muncul konflik,
bahkan perceraian. Ada beberapa poin penting yang harus menjadi
perhatian pada ayat ini. Pertama, perceraian atau ruju‟ harus karena
Allah. Kedua, iman dan takwa harus tetap menjadi bingkai kehidupan
rumah tangga karena akan memberikan solusi terbaik dan jalan rezeki
yang tak terduga. Ketiga, tawakal harus menjadi dasar atas
tercukupinya segala kebutuhan manusia. Inilah ajaran islam yang
amat indah yang selalu memberikan optimisme hidup dalam situasi
apapun53
.
5. Aspek Politik atau Peperangan
Tawakal dapat membangkitkan pada diri seseorang rasa
percaya diri dan syaja‟ah(pemberani). Rasulullah dan para sahabatnya
adalah orang-orang yang memiliki derajat tawakal yang amat tinggi,
lebih dari yang dimiliki siapapun dari generasi sesudahnya, apalagi
generasi saat ini yang lemah dan tak berdaya. Memang, para sahabat
ada kalanya khawatir, terutama dalam menghadapi kepungan musuh,
namun dengan segala daya dan usaha serta rasa tawakal kepada Allah,
mereka dapat memenangkan peperangan. Hal ini menjadi pelajaran
bagi setiap muslim bahwa tawakal dilakukan setelah segala rencana,
53
Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur`an, Tafsir Al-Qur`an Tematik; Spritualitas dan
Akhlak, h. 228-229
49 |
strategi, dan „azm (tekad kuat) ditetapkan. Seseorang yang sudah
menduduki posisi mutawakkilin, maka ia akan bertawakal setelah
memiliki persiapan dalam menghadapi situasi konflik politik
Inilah hakikat tawakal dalam aktivitas kehidupan, tawakal
menjadi semangat yang tak akan pernah hilang untuk mencapai
kesuksesan hidup yang didasarkan atas spirit islam. Apabila suatu
perjuangan tidak mengalami kesuksesan, maka ada kemungkinan
terdapat kesalahan dalam memahami tawakal atau tawakal tidak
dibarengi dengan sebab dan musabbab yang memadai dan manajemen
tindakan, kata pejuang harus bertawakal kepada Allah, sekalipun
persiapan sudah matang, adalah salah, bila ada orang yang
mengatakan, “ dengan adanya teknologi dewasa ini, manusia tidak
perlu lagi berdoa.‟ Keangkuhan akan menghancurkan segalanya54
.
BAB III
MENGENAL MUHAMMAD HUSAIN
THABATHABA’I DAN AL-ALUSI SERTA TAFSIRNYA
A. Biografi Pengarang Tafsir
1. Riwayat Hidup Muhammad Husein Thaba-Thaba’i
54
Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur`an, Tafsir Al-Qur`an Tematik; Spritualitas dan
Akhlak, h. 229-231
50 |
Thaba- thaba‟i adalah seorang filosof yang melahirkan beragam
karya, baik dalam kajian filsafat maupun dalam disiplin ilmu seperti
teolog, tafsir, fiqih dan hadis55
. Beliau mempunyai nama lengkap
Muhammad Husain bin Muhammad Mirza Ali Ashgar Thabathaba‟i at-
Tabrizi al-Qadhi, lahir di Tabriz pada tanggal 30-12-1321 H atau 17-3-
1904 M. Beliau adalah putra dari as-Sayid Muhammad bin as-Sayid
Muhammad Husain Thabathab‟i wafat pada tahun 1330/1912 M56
. Anak
yatim ini tumbuh besar di Tabriz, dan setelah menyelesaikan pendidikan
keagamaan di sana pada sekitar 1341/1923 M.
„Alamah Thabathaba‟i datang dari keluarga Tabriz kenamaan,
yakni keluarga Thabathaba‟i. Beliau ditinggal mati oleh ibunya, sejak
masih berumur lima tahun yang kemudian disusul oleh ayahnya ketika ia
masih berusia sembilan tahun. Keluarga ini telah mencetak generasi
demi generasi ulama terkenal di Azerbaijan (Irak) selama tiga abad.
Mereka adalah keturunan imam kedua, al-Hasan bin Ali as. Keluarga
besar ini ditunjuk dengan gelar al-Qadhi57
.
Sedari kecil beliau mendapatkan pendidikan awal dari
keluarganya, yakni dari ayahnya. Namun setelah ayahnya wafat beliau
diurus oleh wali ayahnya yang menyerahkan beliau ke seorang pelayan
laki-laki dan seorang perempuan untuk memelihara kehidupan sehari-
hari. Kemudian pendidikan beliau diserahkan kepada seorang guru privat
yang didatangkan ke rumahnya selama enam tahun 1912M/ 1917M. Dari
guru privatnya ia mempelajari bahasa Persi dan dasar-dasar ilmu agama.
55
Achmad Muchaddam Fahham, Tuhan dalam Filsafat „Alamah Thabathaba‟i,
(Jakara: Mizan Publika, 2004), cet. 1, h.6 56
Muhsin Labib, Para Filosof, (Jakarta: Al-Huda, 2005), cet 1,h. 257 57
Sayid Muhammad Husain Thabathaba‟i, Tafsir Al-Mizan, (Jakarta: Lentera,
2010), terj. Ilyas Hasan, cet. 1, h. 11
51 |
Kemudian beliau belajar bahasa Arab serta mengkaji ajaran agama dan
teks-teks klasik islam selama tujuh tahun 1918-1925 M58
.
Setelah menyelesaikan pendidikan keagamaan di kota Tabriz pada
tahun ke-1926 H Thabathaba‟i melanjutkan studinya ke an-Najf al-
Asyraf (Irak), pusat paling penting untuk pendidikan keagamaan Islam.
di an-Najaf al-Asyraf, dia mengawali studi-studi lebih tingginya bersama
ulama-ulama termasyhur seperti asy-Syaikh al-Mirza Muhammad
Husain Na‟ini al-Gharawi dan asy-Syaikh Muhammad Husain
Ishfahani59
. Keduanya ini, bersama asy-Syaikh Dhiyauddin sangat di
hormati di dunia Syi‟ah. Mereka termasuk diantara ulama-ulama yang
paling menonjol bukan saja di bidang-bidang yurisprudensi Syi‟ah dan
prinsip-prinsip dasar yurisprudensi, namun juga dalam semua studi
Islam. Pendapat-pendapat yang mereka paparkan dan teori yang mereka
kemukakan diikuti oleh semua ulama mereka.60
. mereka mendirikan
madzhab berpikirnya sendiri-sendiri. Mereka mendidik ribuan ulama dan
ahli hukum Syiah dan semua marja‟ taqlid (otoritas tertinggi fiqh,
yurisprudensi, aturan-aturan syari‟at, yang putus-putusanya diikuti oleh
umat) dunia Syiah, hingga dewasa ini, merupakan murid-murid mereka.
Beliau juga banyak dipengaruhi oleh dua guru ini, khususnya oleh
Ishfahani dalam perkembangan pemikiran dan pengetahuannya. Dia
adalah seorang jenius yang prestasi-prestasinya membuat orang
memandang dirinya sebagai ideal. Na‟ini telah mengukir untuk dirinya
sebuah relung dalam sejarah dikarenakan pendapat-pendapat dan
putusan-putusannya yang berani dalam kehidupan politik dan sosial umat
58
Muhsin Labib, Para Filosof, cet 1,h. 257 59
Syaikh Muhammad Husain Ishfahani adalah seorang filosof yang tak tertandingi
pada zamannya, seorang penulis dan seorang penyair Arab dan Persia yang piawai. 60
Sayid Muhammad Husain Thabathaba‟i,Tafsir Al-Mizan, terj. Ilyas Hasan, h. 11
52 |
Muslim. Pengaruh ketiga datang dari as-Sayid Abdul Qasim Ja‟far
Khwansari yang dikenal sebagai “Ahli Matematika”. Ia merasa bangga
dapat belajar matematika darinya. Kemudian ia belajar filosofi dan
metafisika melalui as-Sayid Husain al-Husaini al-Badkubi(sekarang
disebut Baku, ibukota Azarbaijan Soviet), seorang guru termasyhur di
bidang filosofi dan studi-studi yang terkait pada masa-masa itu. Di
bidang etika dan spiritual, dia menerima pendidikannya dari
keluarganya, as-Sayid al-Mirza Ali Agha Thabathab‟i, seorang ulama
yang mendirikan sebuah sekolah pendidikan spiritual dan etika yang
tumbuh sehat dan kuat hingga saat ini61
.
Segenap pengaruh itu berada dalam diri beliau untuk menciptakan
dalam dirinya sebuah personalitas akademis dan spiritual yang
berimbang sempurna. Seorang otoritas terpandang di bidang studi-studi
keagamaan seperti fiqih dan prinsip-prinsip dasarnya, seorang filosof
yang pandangan-pandangan independen dan memiliki beragam teori
baru sebuah model kesempurnaan etika dan spiritual yang bersemangat,
yang bukan saja mengajarkan moralitas namun juga mengamalkannya.
Namun akan akurat kalau dikatakan bahwa prestasi akademisnya
direduksi oleh kemasyhuran dan reputasinya sebagai seorang filosof dan
sekaligus insan spiritual, religius dan mistis lagi transenden62
.
Beliau telah mencapai tingkat ilmu Ma‟rifah dan Kasysyaf . ia
mempelajari ilmu ini dari seorang guru besar Mirza Ali Qadhi dan
menguasai Fushush al-Hikam karya Ibn Arabi. Kemudian ia kembali ke
Tabriz pada tahun 1353/1943. Disini ia disambut hangat sebagai seorang
ulama. Di Tabriz inilah beliau menghabiskan waktunya dengan mengajar
61
Sayid Muhammad Husain Thabathaba‟i,Tafsir Al-Mizan, terj. Ilyas Hasan, h. 12 62
Sayid Muhammad Husain Thabathaba‟i,Tafsir Al-Mizan, terj. Ilyas Hasan, h. 12-
13
53 |
filosofi tinggi kepada murid-murid yang antusias, namun ini sebuah
tempat kecil bagi talenta-talentanya. Pada 1364/1945 M dia hijrah ke
Qum, pusat pendidikan keagamaan paling penting di Iran. Di Qum,
beliau tenggelam dalam berbagi pengetahuan etika, filosofi dan tafsir Al-
Qur`an kepada murid-murid yang sudah mencapai tingkat pengetahuan
yang tinggi. Disini dia tinggal sampai kewafatannya pada Minggu, 18-
01-1402 H atau 15-11-1981 M. Dan seiring berjalanya waktu ia juga
mencetak puluhan ulama juga pemikir yang memberikan kontribusi
besar dalam pengembangan studi filsafat, politik, tafsir dan lainnya63
.
Di Tabriz inilah ia menghabiskan waktunya dengan mengajar
filosofi tinggi kepada murid-murid yang antusias64
. Seperti:
a. Zawadi Amoli.
b. Murtadha Mutahhari
c. Hasan Hasan Zadeh Amoli
d. Yahya Anshori Syirazi
e. Muhammad Husain Bhesyti
f. Mehdi Haeri Yazdi
g. Muhammad Taqi Misbah Yazdi
h. Jalaluddin Asytiyani
i. Ja‟far Subhani65
.
Pada 1364 ia hijrah ke Qum, disana ia tenggelam dalam berbagai
pengetahuan etika, filosofi dan tafsir Al-Qur`an kepada murid-murid
yang sudah mencapai tingkatan pengetahuan yang tinggi. Di sini ia
63
Muhsin Labib, Para Filosof, cet 1,h. 257 64
Sayid Muhammad Husain Thabathaba‟i,Tafsir Al-Mizan, terj. Ilyas Hasan, h. 13 65
Muhsin Labib, Para Filosof, cet 1,h. 257
54 |
tinggal sampai kewafatannya pada minggu, 18-11-1402 H atau 15-11-
1981 M.
Beliau adalah seorang ulama yang mempelajari filsafat
materialisme dan komunisme, lalu mengkritik dan memberikan jawaban
yang mendasar sebagai seorang mufasir besar filosof sekaligus sufi66
2. Riwayat Hidup Syihabuddin Sayyid Mahmud Afandi al-Alusi al-
Baghdadi
Al-Alusi adalah seorang pemikir muslim yang ahli dalam bidang
ilmu agama, baik yang bersifat ushuli maupun furu‟i. Ahmad
Syihabuddin bin Abdullah Shalahuddin al-Alusi dilahirkan pada hari
Jum‟at 14 Sya‟ban 1217 H/ 1802 M di daerah Alus, Kurkh, Bahgdad,
Irak. Garis Syihab al-Din terbilang sangat mulia, dari pihak ayah silsilah
beliau sampai pada Sayyidina al-Husain, sedangkan dari pihak ibu
sampai pada Sayyidina al-Hasan. Ia berjuluk Abu as-Sana‟, namun lebih
dikenal dengan nama al-Alusi. Sejak usia dini, ia sudah “digodok” di
lingkungan keluarga yang shaleh dan gemar ilmu-ilmu agama. Hasilnya,
kepribadian dan wawasan keagamaannya begitu matang67
.
Nama al-Alusi juga merupakan nama sebuah keluarga yang telah
banyak memunculkan intelektual terkemuka di Baghdad antara abad ke-
19 dan ke-20. Ayah Syihab al-Din sendiri adalah seorang ulama
terkemuka dan murid dari Imam Abu Hanifah. Hal inilah yang membuat
66
Sayid Muhammad Husain Thabathaba‟i,Tafsir Al-Mizan, terj. Ilyas Hasan, h. 13 67
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur`an, (Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2008), h. 121
55 |
berpengaruh pada sikap bermadzhab yang dijalankan oleh Syihab al-
Din68
.
Atas bimbingan para guru al-Alusi, seperti as-Suwaidi dalam
bidang tafsir, hadis, dan bahasa arab; Khalid an-Naqsyabandi, seorang
praktisi tasawuf sekaligus guru besar tarekat Naqsyabandiyah; Abdul
Aziz asy-Syawaf dalam bidang adab, dan terutama ayahnya, Syekh
Abdullah Shalahuddin yang menjadi guru besar di perguruan tinggi al-
Hadrah al-Aamiyyah, ia tumbuh menjadi ulama yang mumpuni dan
disegani69
.
Ia adalah salah satu di antara orang-orang pilihan di dunia ini
dengan segala kelebihannya, kebijakan, sopan-santun, ilmu, kecerdasan
dan daya pemahamannya. Ia terkenal sebagai orang yang bersih hati dan
pemikirannya, amat cerdik, cepat tanggap, bagus perangai dan mulia
akhlaknya. Ia sangat murah hati dengan mengeluarkan sedekah kepada
orang-orang fakir, rajin shalat malam, berdzikir dan beristighfar.
Ilmunya sangat luas, baik ilmu naqly (bersumber dari Al-Qur`an dan
Hadis) maupun „aqly (hasil Ijtihad). Selain itu semua, ia sangat
mencintai kitab Al-Qur`an, sangat kuat keinginannya untuk melakukan
muthala‟ah terhadap hadis-hadis Rasulullah saw dan tekun mengkaji
kedua sumber ajaran Islam itu karena keduanya mencakup segala ilmu70
.
Al-Alusi dikenal sangat cerdas, berwawasan luas, dan berpikiran
jernih. Menginjak usia 13 tahun, ia mulai mendapat bimbingan ilmu
agama dari para pemuka agama di daerahnya. Di usia itu pula ia
68
Faizah Ali Syibromalisi, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011), cet 1, h. 71 69
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur`an, h. 121 70
Ali Hasan al-Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1994), h. 32
56 |
memulai aktivitas tulis-menulisnya sembari bersekolah di lembaga
pendidikan dekat rumahnya, sebuah universitas yang didirikan oleh
Abdullah al-Aquli di daerah Rasafah71
.
Di samping itu, karena tingkat pengetahuannya, banyak sanjungan
yang dinisbatkan pada beliau, baik dari golongan pemikir, sastrawan,
maupun penguasa. Di antara sanjungan tersebut adalah Syaikh „Ulama
al-Iraq, al-Mufarrid Fi Jami‟ al-„Ulum bi al-Ittifaq, Ayat al-Allah al-
Kubra, Nadirah al-Zaman, Bahr al-Zaman al-Zhahir, Sibawaih al-
„Arabiyyah, Sa‟du Zamanih, Khatimah al-Mufassirin, al-Syihab al-
Tsaqib.
Syihabuddin al-Din al-Alusi memulai proses intelektualnya dengan
mempelajari Bahasa Arab, Fiqih, Manthiq, Jurumiyyah, Alfiyyah ibn
Malik, Ghayah al-Ikhtar, Manzhumah al Rahbiyyah, Ilmu Faroidh dan
hadis dari ayahnya sendiri. Selain itu, al-Alusi mempelajari kitab Syarh
al-Qusyji‟ li- al-Risalah, al-„Adudiyah Risalah al-„Adudiyyah: Ilmu al-
Adab wa al-Munadharah kepada „Abd al-Aziz Affandi. Karena kekuatan
hafalannya pada umur lima tahun beliau sudah hafal matan beberapa
kitan dan bahkan Al-Qur`an. Penguasaan keilmuan beliau yang
cemerlang memepermudah beliau dalam mendapatkan ijazah dari para
ulama semasanya. Di antara beberapa ijazah yang didapatkan beliau
adalah:
1. Dari „Ala‟ al-Din al-Mawshuli, dalam bidang ilmu naqliyyah, yaitu
Bahasa, Tafsir, Hadis, Fikih, dan Ushul. Juga dalam bidang ilmu
„Aqliyyah seperti Manthiq, Filsafat, Kalam dan ilmu alam.
2. Dari „Ali al-Suwaidi, dari beliau hampir mendapatkan semua riwayat
yang dipunyainya.
71
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur`an, h. 121
57 |
3. Dari Syaikh Yahya al-Muzuri, dalam bidang ilmu Tafsir, Hadis,
Fikih, Bacaan Al-Qur`an, Shalawat, Zikir dan Wirid.
4. Dari Syaikh al-Muhaddits „Abd al-Rahman al-Kuzbiri, dalam semua
bidang Naqliyyah dan „Aqliyyah.
5. Dari Syaikh al-Islam Ahmad Arif Hikmat, memberikan sanad yang
dimilikinya dan memberikan ijazah kepadanya72
.
„Umar Ridha Kahhalah, menyebutkan tiga guru al-Alusi yaitu
„Abd al-„Aziz al-Syawwaf(w. 1246), Amin al-Halli (w. 1246 H) dan
„Ala‟ al-Din Mausuli. Al-Alusi juga memperoleh ilmu dari „Abd al-
Rahman al-Kuzbiri, „Abd al-Lathif ibn Hamzah fathullah al-Biruni, al-
Syams Muhammad Amin ibn „Abidin, al-Syams al-Tamimi al-Hanafi,
„Ala‟al-Din al-Maushuli, „Ali bin Muhammad Sa‟id al-Suwaidi, „Abd al-
Aziz ibn Muhammad al-Syawwaf, Ma‟mar Yahya al-Muzuri al-„Imadi
dan Syaikh Islam Bilal ibn Hikmat. Guru al-Alusi yang paling lama
adalah Syaikh „Ala‟ al-Din al-Maushuli sekitar 13 tahun yaitu samapi
akhir tahun 1241 H73
.
Lambat laun, nama al-Alusi semakin melambung. Ia ditahbiskan
sebagai ulama senior. Banyak orang bertandang kepadanya untuk
menyerap ilmu. Murid-muridnya, dengan jumlah yang tidak terhitung,
bukan saja berasal dari daerah sekitar universitas, tetapi banyak juga
berasal dari luar daerah. Dari sentuhan “ tangan dinginnya” lahirlah para
ilmuwan agama yang berasal dari berbagai negara74
.
Kepeduliannya pada dunia pendidikan sangat besar. Kemuliaan
sifatnya pun tak diragukan lagi. Para muridnya merasakan segenap
72
Faizah Ali Syibromalisi, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, cet 1, h. 72-73 73
Faizah Ali Syibromalisi, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, cet 1, h. 73 74
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur`an, h. 121
58 |
kebaikan dan keluhuran budi pekertinya. Kalau biasanya seorang murid
melayani guru, ini malah terbalik. Sang guru melayani murid. Untuk
para murid, ia menyediakan berbagai fasilitas pendukung, seperti
makanan dan pakaian secukupnya. Bahkan, ia tidak segan-segan
mempersilahkan mereka untuk singgah dan bertempat dirumahnya.
Dengan kondisi semacam inilah, seperti dituturkan adz-Zahabi
dalam at-Tafsir wa al-Mufassirin, akhirnya al- Alusi dikenal di Irak
sebagai ulama yang sangat perhatian pada bergulirnya dinamika ilmu
pengetahuan. Jejaknya patut diteladani, terutama kedermawanannya
terhadap siapa saja yang haus akan ilmu pengetahuan.
Dalam bidang teologi, al-Alusi menganut keyakinan salaf (slafi
i‟tiqadi), sedang untuk fikih ia berpijak pada madzhab Hanafi. Hanya
saja, ia setia mengikuti madzhab Syafi‟i dalam ruang lingkup ibadah. Di
Baghdad, ia membentuk majlis ta‟lim terbesar untuk mewadahi minat
besar para penuntut ilmu.
Sungguh tepat bila dikatakan bahwa al-Alusi adalah sosok yang
langka pada masanya. Ia ulama, penyair, sekaligus penafsir. Ilmunya
sangat luas, baik ilmu-ilmu naqli yang bersumber dari Al-Qur`an dan
hadis, maupun aqli sebagai hasil ijtihad. Ia sangat mencintai Al-Qur`an.
sungguh besar tekadnya untuk mengkaji hadis-hadis Rasulullah saw. dan
Al-Qur`an.
Pengetahuan Al-Alusi yang luas terpantu pada kemampuannya
memadukan dua model penafsiran, yakni tafsir manqul (berdasar
riwayat) dan tafsir ma‟qul (berdasara rasio), ukiran prestasi yang sulit
ditandingi mufasir lain.
59 |
Walaupun al-Alusi mempelajari semua mazhab dan bidang ilmu,
tetapi beliau dikenal dengan tokoh yang menganut akidah salaf dan
bermadzhab Syafi‟i namun dalam banyak hal beliau adalah pengikut
Abu Hanifah. Beliau juga mempunyai kecenderungan untuk berijtihad.
Ketika berumur 31 tahun, tepatnya bulan Syawal 1248 H, al- Alusi
menyatakan resmi sebagai pengikut fatwa madzhab Hanafi. Bersamaan
dengan itu, atas rekomendasi Perdana Menteri Ali Rida Basya, ia
dinobatkan sebagai rektor lembaga pendidikan al-Mirjaniyyah. Perlu
diketahui, persyaratan menduduki jabatan tersebut sangat berat. Jabatan
prestisius itu harus dipangku oleh seorang ulama yang andal ilmunya.
Al-Alusi dinilai banyak kalangan telah mumpuni. Karenanya, ia patut
mendapat kehormatan tersebut. Kecuali itu, ia juga pernah menjabat
sebagai mufti (pemberi fatwa) di baghdad75
.
Pada bulan Syawal tahun 1263 H, ia mengundurkan diri dari
jabatan mufti untuk fokus menulis tafsir sampai tuntas. Tahun 1267 al-
Alusi pergi ke Konstantinopel untuk mengabarkan hasil karya tafsirnya
kepada Sultan Abd al-Majid Khan yang kemudian senang dan tertarik.
Kemudian al-Alusi kembali ke daerah asalnya pada tahun 1269 H76
.
Beliau wafat pada pagi Jum‟at, tanggal 25 Dzulqaidah 1270 H/ 19
Agustu1854 M. Ada yang mengatakan beliau meninggal karena sakit
demam ketika perjalanan pulang dari Istanbul dan dimakamkan di dekat
kuburan Syaikh Ma‟ruf al-Karakhi, salah seorang tokoh sufi yang sangat
terkenal di kota Kurkh77
.
75
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur`an, h. 122-123 76
Muhammad Husain al-Dzahabi, Ensiklopedia Tafsir, terj Nabhani Idris, (Jakarta:
Kalam Mulia, 2010), jil. 1, cet. 1, h. 330 77
Faizah Ali Syibromalisi, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, cet 1, h. 74
60 |
B. Profil Tafsir
A. Profil Tafsir Al-Mizan
1. Profil Tafsir
Tafsir al-Mizan diterbitkan pertama kali oleh Dar al-Kutub al-
Islamiyyah, Teheran, pada tahun 1375 H. Kemudian dicetak lagi tahun
1389 H dan cetakan ketiga tahun 1392 H. Lalu diterbitkan oleh
Mu‟assasah al-A‟lami, Beirut tahun 1393 H. Tafsir al-Mizan bisa
dikatakan sebagai kitan tafsir Syiah ternama dan komprehensif, yang
terlahir setelah kitab Majma‟ al-Bayan (Imam al-Thabarsi). Al-Mizan
juga merupakan kitab tafsir yang konsen dalam membahas persoalan-
persoalan kekinian, dengan berpedoman kepada kaidah Tafsir Al-Qur`an
bi Al-Qur`an78
.
Tafsir al-Mizan terdiri dari puluhan ribu halaman. Kitab berbahasa
Arab ini diterjemahkan ke dalam bahasa Persi.79
. Lahirnya Tafsir al-
Mizan diawali oleh perjalanan beliau pertama kali ketika tiba di Qum
dan memberikan kuliah-kuliah mengenai berbagai cabang keilmuan
Islam. Kemudian mahasiswa-mahasiswanya mengusulkan agar tafsir
yang masih berbentuk makalah-makalah tersebut untuk dibukukan
menjadi sebuah kitab tafsir. Kemudian Thabathaba‟i mengabulkan
permintaan mahasiswa-mahasiswanya dengan menerbitkan jilid pertama
dari kitab tafsir yang tebal ini pada tahun 1956 M. Salah satu topik kajian
beliau di lingkungan Hauzah Ilmiyah di Qum adalah tentang penafsiran
Al-Qur`an yang melibatkan banyak sarjana dan pelajar. Dia juga
melakukan dialog interaktif dengan seorang sarjana prancis, Professor
78
A. Husnul Hakim IMZI, Ensiklopedia Kitab-kitab Tafsir, (Depok: Lingkar Studi
Al-Qur`an), cet. 1, h. 187 79
Ahmad baidowi, Mengenal Thabathaba‟i, h. 40
61 |
Henry Cobyn, yang juga dihadiri oleh para ilmuwan lainnya, mengenai
ajaran-ajaran mistik dalam agama-agama besar dunia dari Filsafat80
.
Thabathab‟i mengambil nama al-Mizan (dengan judul aslinya al-
Mizan fi Tafsir Al-Qur`an), yang mempunyai makna timbangan yaitu
suatu yang digunakan untuk mengukur penafsir pada masa itu. Oleh
karena itu, beliau menggabungkan corak penafsiran pada masa periode
awal dan periode kedua untuk menjelaskan tafsir Al-Qur`an melalui
penafsir ayat per ayat kemudian dijelaskan lagi oleh periwayat-periwayat
pada masa sebelumnya81
.
Kitab tafsir ini juga sengaja disebut dengan al-Mizan karena di
dalamnya Thabathaba‟i menampilkan banyak pendapat, baik dari
mufasir maupun pakar keilmuan lainnya seperti ahli hadis, sejarah dan
lain-lain, yang kemudian dikritisi dan analisa dengan cukup mendalam.
Beliau juga mendasarkan penafsirannya kepada kisah-kisah lain yang
dipandang cukup relevan dan bisa mendukung penafsirannya, baik dalam
bidang tafsir, hadis, sirah, sejarah, bahasa dan lain-lain. Namun beliau
tetap memberikan kritikan dan komentar. Disinilah letak keunggulan
beliau di antara mufassir-mufassir lainnya82
.
Adapun kitab-kitab Tafsir yang menjadi rujukan Tafsir al-Mizan
adalah:
a. Jami‟ al-Bayan (Thabari)
b. Al-Kasysyaf (al-Zamakhsyari)
c. Majma‟ al-Bayan (at-Thabrasi )
d. Mafatihul al-Ghaib (Fakhruddin al-Razi)
e. Ruh al-Ma‟ani (al-Alusi)
80
A. Husnul Hakim IMZI, Ensiklopedia Kitab-kitab Tafsir, cet. 1, h. 189-190 81
Muhammad Husain Thabathaba‟i, al-Mizan fi Tafsir Al-Qur`an, (Teheran: Dar al-
Kutub al-Islamiyah, 1392), Jilid 1, h. 10 82
A. Husnul Hakim IMZI, Ensiklopedia Kitab-kitab Tafsir, cet. 1, h. 188
62 |
f. Anwar al-Tanzil ( Baidhawi)
Sementara dalam persoalan kebahasaan, beliau mendasar pada
beberapa kitab, antara lain:
a. Al-Mufradat (al-Raghib al-Isfahani)
b. Al-Shihah (al-Jauhari)
c. Lisan al-Arab (Ibn al-Manzhur)
d. Qamus al-Muhith (al-Fairuzzabadi)
2. Karya-karya Thabathaba’i
Tahabthaba‟i mengukir reputasi berkat beragam akademisnya yang
penting adalah Tafsir Al-Qur`an al-Mizan fi Tafsir Al-Qur`an. kalau
dikatakan bahwa karya ini merupakan fondasi atau basi prestise
akademisnya di dunia Muslim.
Dalam bidang Filsafat Dasar beliau juga menghasilkan karya
diantaranya adalah:
1. Risale dar Borhan (Risalah tentang Penalaran)
2. Risale dar Moghalata (Risalah tentang Sofistri)
3. Risale dar Tahlil (Risalah tentang Analisis)
4. Risale dar Tarkib ( Risalah tentang Susunan)83
Sedangkan ketika bermukim di Tabriz, Thabathaba‟i berhasil
menulis buku-buku sebagai berikut:
1. Risale dar Asma Safat (Risalah tentang nama-nama dan sifat-sifat)
2. Risale dar Af‟al (Risalah tentang perbuatan-perbuatan Ilahiyah)
3. Risale sar Vaseet Miyane Khoda va Ensan (Risalah tentang
perantaran antara Allah dan manusia.)
83
Ahmad Baidowi, Mengenal Thabathaba‟i, (Bandung: Nuansa, 2005), h. 45
63 |
4. Risale dar Ensan Qabla ad-Danya (Risalah tentang manusia sebelum
kehidupan Dunia).
5. Risale dar Ensan Fid-Danya (Risalah kehidupan di dunia)
6. Risale dar Ensan Ba‟da ad-Danya (Risalah kehidupan manusia
setelah di dunia)
Sedangkan kitab Thabathaba‟i yang ditulis di Qum adalah antara
lain:
1. Tafsir al-Mizan
2. Ushul-e al-Falsafe wa Ravesh Realism ( Dasar-dasar Filsafat)
berbahasa Persi.
3. Ta‟liqat „Ala Kifayah al-Ushul (Anotasi atas kitab Kifayat al-Ushul)
berbahasa Arab.
4. Ta‟liqat „Ala al-Asfar al-Arba‟ah (Anotasi atas kitab al-Asfar al-
Arba‟ah) berbahasa Arab.
5. Vahy ya Sho-ur-e Marinuz (Wahyu atas kesadaran mistik).
6. Do Risale dar Velayat va Hokumat-e Islami (Dua Risalah tentang
Pemerintahan Islam dan Wilayah).
7. Mosabeha-ya Sal-e 1338 ba Frofesor Korban Moshtashreq-e
Faransani (Wawancara tahun 1959 dengan Profesor Henry Corbin
Orentalis dari Perancis.)
Keseluruhan karya-karya Thabathaba‟i, sebagaimana diungkapkan
dalam majalah Shawt al-Ummah, mencapai sekitar 50 buah84
.
3. Metode dan Sistematika Penafsiran Tafsir Al-Mizan
84
Sayyid Muhammad Husain Thabathaba‟i, Inilah Islam:Upaya memahami Seluruh
Konsep Islam secara Mudah, Penerjemah Efendi Ahmad, (Bandung: Pustaka
Hidayah,1996), Jilid. 2, h. 17
64 |
Metode penafsirannya adalah Tahlili. Dengan menggunakan dua
pendekatan sekaligus yaitu bi al-Ma‟tsur dan bi al-Ra‟yi. Adapun
menurut „Ali al-Alusi dan al-Iyazi jenis bi al-Ma‟tsur nya al-Mizan
adalah dengan cara Maudhu‟i. Namun jenis bi al-Ma‟tsur nya tafsir al-
Mizan berbeda, misalnya dengan tafsir at-Thabari. Hal ini karena al-
Mizan sebagai kitab tafsir yang bercorak Syiah, juga didasarkan kepada
pendapat para Imam yang diyakini sebagai orang-orang yang maksum.
Bahkan beliau juga menggunakan rasio untuk memahami ayat, terutama
ayat yang menuntutnya untuk dijelaskan secara filosofis dan logis,
seperti masalah Tauhud, “Ishmah, keadilan tuhan, perbuatan manusia
antara Jabr dan Qadr85
.
Sebelum memulai menafsirkan terlebih dahulu dijelaskan beberapa
corak tafsir dan Madzhab para mufassir dan perbedaan pendapat di
kalangan mufassir, menyangkut riwayat, kalam, filsafat, tasawuf, teori-
teori ilmiah, baru kemudian beliau menjelaskan dengan manhaj yang
diyakininya sebagai yang paling tepat86
.
Kemudian Thabathaba‟i menegaskan kembali bahwa metode yang
paling tepat untuk memahami Al-Qur`an adalah dengan membiarkan Al-
Qur`an menjelaskannya sendiri. Tugas kita hanya menganalisa untuk
memperoleh pemahaman yang bersifat Qur‟ani, sambil diperkuat oleh
hadis dan riwayat dari ahlu bait yang secara konsisten senantiasa
menapaki jejak beliau87
.
Tafsir al-Mizan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa,
diantaranya bahasa Prancis, Urdu, dan Inggris. Dan telah di cetak
beulang-ulang di berbagai Negara antara lain Iran, Beirut, dan Pakistan.
4. Corak Tafsirnya
85
A. Husnul Hakim IMZI, Ensiklopedia Kitab-kitab Tafsir, cet. 1, h. 190 86
A. Husnul Hakim IMZI, Ensiklopedia Kitab-kitab Tafsir, cet. 1, h. 189 87
A. Husnul Hakim IMZI, Ensiklopedia Kitab-kitab Tafsir, cet. 1, h. 189
65 |
Tafsir al-Mizan menggunakan Tafsir Al-Qur`an bi Al-Qur`an,
konsisten termasuk menyangkut masalah aqidah dan kisah-kisah. Dalam
pandangan Thabathaba‟i, menafsirkan Al-Qur`an dengan Al-Qur`an
adalah metode penafsiran yang paling valid. Bagaimana mungkin akan
menjadi penjelas bagi segala sesuatu dan menjadi petunjuk serta penjelas
bagi setiap permasalahan, jika kemudian ayat Al-Qur`an masih
menyimpan makna yang misteri, tidak bisa ditangkap atau diungkap
maksudnya. Dengan kata lain dikatakan bahwa pada hakikatnya tidak
ada ayat yang samar (Mutasyabih) dalam Al-Qur`an, sebab kesamaran
makna Al-Qur`an telah dijelaskan oleh ayat Al-Qur`an lainnya. Memang
benar dalam Al-Qur`an menegaskan terdapat 2 ayat, yaitu ayat Muhkam
dan ayat Mutasyabih. Namun Muhkam dalam pandangan Thabathaba‟i
adalah induk dan menjadi rujukan dari ayat-ayat yang dianggap samar.
5. Karakteristik Tafsir al-Mizan
Dalam menjelaskan ayat Thabathaba‟i berpedoman kepada
pendapat para pakar dari berbagai disiplin ilmu. Seperti tafsir, hadis,
tarikh, dan lain-lain. Baik yang bersumber dari para ulama Syiah
Imamiyah, maupun dari kalangan ulama Sunni. Ini dimaksudkan untuk
menyingkap sisi-sisi pembahasan yang dikehendaki oleh tema tersebut
dan menjaga kejujuran pandangannya terhadap masalah yang dibahas.
Misalnya tentang kedudukan Basmallah, baik dalam surah al-Fatihah
dan surat-surat lain. Thabathaba‟i mengambil beberapa riwayat dari para
Imam, diantaranya:”Dari Amir al-Mu‟min (Ali bin Abi Thalib) as.
Bahwasanya Basmallah termasuk dari surat al-Fatihah dan Rasulullah
saw selalu membacanya serta menganggapnya sebagai bagian darinya.
Beliau juga bersabda :”Surah al-Fatihah adalah al-Sab‟a al-Matsani.”
Hadis tersebut menyatakan bahwa Basmalah adalah salah satu
ayat dari surat al-Fatihah. Sementara beberapa riwayat yang lain
66 |
menyatakan bahwa Basmalah juga termasuk salah satu ayat dari semua
surat dalam Al-Qur`an kecuali surat al-Bara‟ah dan ini tidak ada
perselisihan pendapat diantara mereka.
Thabathaba‟i menafsirkan kata “ulil amri” adalah ahlul bait yang
ma‟shum serta seluruh sikap dan perbuatannya mencerminkan kebenaran
dan meyakini sebagai pihak yang berhak memegang kepemimpinan
seperti Nabi Muhammad saw wafat. Mereka juga memiliki keistimewaan
dalam kewenangan dan pengetahuannya tidak akan keliru dalam
memberikan penjelasan mengenai ajran-ajaran dan kewajiban dalam
islam88
.
B. Profil Tafsir Al-Alusi
1. Profil Tafsir
Dalam muqadimah tafsir ini, al-Alusi mengatakan bahwa semenjak
kecil ia punya keinginan untuk mengungkap rahasia Al-Qur`an dan
menghirup baunya yang harum. Al-Alusi sering meninggalkan tidur
untuk menghimpun makna-makna Al-Qur`an yang berserakan dan
meninggalkan kaumnya demi meraih mutiaranya, meninggalkan aneka
permainan dan hal-hal tak berguna.
Latar belakang penulisan kitab tafsir ruh al-Ma‟ani terkesan agak
mistik. Beliau menulis terdorong oleh suatu mimpi, meskipun
sebelumnya telah ada ide untuk menulis tafsir tersebut. Al-Alusi
memang ingin sekali menyusun sebuah kitab tafsir yang dapat mencakup
persoalan-persoalan yang dianggap urgen bagi masyarakat waktu itu.
Namun rupanya beliau senantiasa dihinggapi keraguan untuk
merealisasikan ide tersebut.
Akhirnya, pada suatu malam, tepatnya pada malam jum‟at bulan
rajab tahun 1252 H, beliau bermimpi disuruh Allah swt untuk melipat
88
Baidowi Ahmad, Mengenal Thabathaba‟i, h. 49
67 |
langit dan bumi, kemudian di suruh untuk memperbaiki kerusakan-
kerusakan yang ada padanya. Dalam mimpinya, beliau seolah
mengangkat tangan satunya ke langit dan yang satunya ke tempat air.
Namun, kemudian beliau terbangun dari tidurnya. Mimpi tersebut lalu
ditakwilkan dan ternyata beliau menemukan jawaban dalam sebuah
kitab bahwa mimpi itu merupakan isyarat untuk menyusun sebuah kitab
tafsir89
.
Pada tahun 1263 H, al-Alusi mengambil keputusan untuk menarik
diri dari jabatan birokrasi dan berkonsentrasi menyusun kitab tafsir Al-
Qur`an, tafsir Ruh al-Ma‟ani. Setelah merampungkan karya agung ini,
pada tahun 1266 H ia bersilaturahmi ke Sultan Abdul Majid khan di
Konstantinopel untuk menyerahkan draft karyanya agar memperoleh
kritik konsruktif.
Cara yang ditempuhnya dalam menafsirkan Al-Qur`an merupakan
hal yang mengagumkan dan rahasia yang jarang dapat ditemukan. Ia
menghabiskan waktu siang harinya untuk memberikan fatwa, mengajar
dan melakukan kajian dan pada akhir malam harinya ia berkonsentrasi
untukmenulis tafsir, ia menlis apa yang ia kehendaki.
Ia amat haus untuk menambah dan mendalami bidang ilmu yang
ditekuninya, ia tidak pernah beristirahat dari melakukan muthala‟ah dan
kajian. Berikut ini ungkapan yang seringkali ia katakan:”Aku tidak
pernah tidur di malam hari untuk memurnikan ilmu-ilmu yang telah
tercemar oleh kepentingan-kepentingan (untuk mendapatkan) kekayaan
dan wanita-wanita cantik90
.”
Al-Alusi menyebutkan bahwa ia menyelesaikan kitab tafsirnya itu
tahun 1267 H, lalu ia berfikir tentang judul namun belum menemukan
89
Dosen Tafsir hadis Fak. Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab
Tafsir, (Jakarta: Teras, 2004), h. 155 90
Ali Hasan al-Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, h. 32-33
68 |
judul yang cocok. Maka, ia menghadap sang wazir Ali Ridha Basya,
kemudian Kitab Tafsir beliau diberi nama Ruh al-Ma‟any Fi Tafsir Al-
Qur`an al-„Adhim wa al-Sab‟u al-Matsany.
Kitab ini terdiri dari 30 jilid besar, Kitab Tafsir Ruh al-Ma‟ani
berisi 30 Juz dicetak menjadi 5 jilid, yang dicetak pertama kali di kairo
kota Bulak tahun 1301 H, kemudian cetakan kedua dicetak di Baghdad
lalu dicetak lagi di Mesir menjadi 10 jilid tahun 1353 H91
.
2. Karya-karyanya al-Alusi
Al-Alusi meninggalkan banyak karya yang berfaedah terutama
tafsirnya yang amat populer, di antara karya-karyanya adalah:
1. Ruh al-Ma‟ani fi tafsir Al-Qur`an al-„Azim wa as-Sab‟i al-masani.
2. Hasyiah ala Qatar dibidang nahwu.
3. Al-Ajwibah al-Iraqiyah „anil asilatil Iraniyah.
4. Al-Ajwibah al-Iraqiyah „ala asl-„As‟ilah al-Lahuriyyah.
5. Durrotul Khuwas fi Auhami al-Khawas Nafahatul Qudsiyyah fil
Mabahis al-Imamiyah.
6. Ukallimah ila Maudiil Hal, Syarh al-Muslim fil Mantiq Al-Fawaid
Assaniyah fi II , Adabi al-Bahtsi92
.
3. Metode Tafsir
Metode al-Alusi yang dipergunakan dalam penafsirannya terhadap
Al-Qur`an adalah metode tahlili. Tahlili diartikan metode yang
menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur`an dari seluruh aspeknya
berdasarkan urutan ayat dalam Al-Qur`an, mulai dari mengemukakan
91
Anshori , Tafsir bi al-Ra‟yi, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2010), cet. 1, h. 138 92
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur`an, h. 126
69 |
arti kosa kata, munasabah antar ayat, antar surah, asbab al-Nuzul. Salah
satu yang menonjol dari metode tahlili ini adalah bahwa seorang
mufassir akan berusaha menganalisis berbagai dimensi yang terdapat
dalam ayat yang ditafsirkan. Maka biasanya mufassir akan menganalisis
dari segi bahasa, asbab al-Nuzul, nasikh mansukh, dan lain-lainya93
.
4. Sumber Penafsiran
Sumber penafsiran yang digunakan oleh al-Alusi adalah perpaduan
dari sumber Ma‟tsur (riwayat) dan Ra‟yi ( ijtihad). Artinya adalah bahwa
al-Alusi menggunakan riwayat baik yang berasal dari Nabi, Sahabat,
maupun Tabi‟in dan hasil ijtihad sebagai sumber penafsiran.
Di samping hal-hal yang bersifat ke bahasaan (seperti nahwu,
sharaf, balaghah), al-Alusi juga melakukan pendekatan penafsiran yang
bersifat sufistik. Walaupun al-Dzahabi menilai bahwa pendekatan
sufistik dalam penafsiran al-Alusi mempunyai porsi yang relatif
sedikit94
.
5. Corak Penafsiran
Corak yang dituangkan dalam tafsir ini dinilai oleh sebagian ulama
sebagai tafsir yang bercorak isyari, ada pula yang mengatakan bahwa
tafsir ini bercorak sufistik. Oleh karenanya corak yang digunakan al-
Alusi tersebut bisa dikatakan sebagai suatu keunikan tersendiri. Karena
kitab tafsir tersebut sering dianggap oleh sebagian ulama sebagai kitab
tafsir bernuansa sufistik, namun ternyata tidak semua penafsirannya
demikian. Bahkan jika tafsir yang bernuansa sufistik dianggap tidak
93
Faizah Ali Syibromalisi, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 75 94
Faizah Ali Syibromalisi, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, cet 1, h. 774-75
70 |
ma‟qul atau bertentangan. Dengan kaidah kebahasaan maka al-Alusi
akan menolaknya95
.
6. Referensi Mufasir
Dalam kitab tafsir Ruh al-Ma‟ani beliau merujuk kebeberapa kitab-
kitab tafsir klasik dalam menuangkan tulisannya. Dalam penulisan kitab
tafsirnya banyak mengulas pendapat ulama-ulama salaf baik dari segi
riwayat maupun dirayat. Sehingga dengan persepsi ulama tersebut
dipadukan dengan pemahaman beliau dalam memahami kandungan ayat-
ayat Al-Qur`an. dan diantara kitab tafsir yang menjadi rujukan beliau
adalah sebagai berikut:
1. Kitab Tafsir Ibn Athiyyah karya Ibn „Athiyyah
2. Kitab Tafsir Abi Hayyan karya Abu Hayyan
3. Kitab Tafsir Al-Kasysyaf karya al-Zamakhsyari
4. Kitab Tafsir Abi Su‟ud karya Abu Su‟ud dan dalam pengutipan ditulis
dengan Syaikh al-Islam
5. Kitab Tafsir al-Baidhawy sehingga dalam pengutipan ditulis dengan
al-Qadhi
6. Kitab Tafsir Fakhruddin al-Razi
7. Kitab Tafsir Abi Hayyan dan beberapa kitab-kitab tafsir yang
populer96
.
7. Karakteristik Tafsir
Terhadap riwayat-riwayat israiliyat yang sering disusupkan dalam
beberapa literatur hadis dan tafsir, al-Alusi dinilai sangat selektif dalam
95
Faizah Ali Syibromalisi, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, cet 1, h. 75-76 96
Faizah Ali Syibromalisi, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, cet 1, h. 76
71 |
mengambil riwayat-riwayat israiliyat. Hal ini disebabkan karena beliau
banyak menekuni disiplin ilmu hadis dan banyak bergaul dengan para
ulama ahli hadis muta‟akhkhirin. Kalaupun al-Alusi menyebutkan
riwayat-riwayat israiliyat atau hadis maudhu‟, hal itu bukan
dimaksudkan sebagai dasar penafsiran, melainkan menunjukkan
kebatilan riwayat tersebut. Selain itu juga sebagai peringatan kepada
kaum muslimin.
8. Sistematika Penafsiran
Adapun sistematika penafsiran yang biasanya al-Alusi
menyebutkan ayat-ayat Al-Qur`an dan langsung menjelaskan makna
kandungan ayat demi ayat. Terkadang beliau juga menyebutkan asbab al-
nuzul terlebih dahulu, namun kadang beliau langsung mengupas dari segi
gramatikanya, kemudian mengutip riwayat hadis atau pendapat tabi‟in97
.
Secara terperinci langkah-langkah yang digunakan al-Alusi dapat
diketahui sebagai berikut:
1. Menafsirkan dengan memulai pada penamaan surah, baik
Makkiyah maupun Madaniyyah, dan mufradat yang terdapat di
dalamnya, serta mengunggulkan salah satu pendapat atas yang
lainya.
2. Menyebutkan keutamaan surah dan spesifiknya, menafsirkan ayat
demi ayat, kalimat demi kalimat.
3. Memaparkan tafsir dengan pendekatan analisa Bahasa Arab, Sastra
dan Qira‟at
4. Mencantumkan analisanya dari segi munasabah di antara surah,
antara ayat. Juga menyebutkan asbab al-Nuzul ayat yang
diturunkan karena sebab tertentu98
.
97
Faizah Ali Syibromalisi, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, cet 1, h. 77 98
Anshori , Tafsir bi al-Ra‟yi, cet. 1, h. 141
72 |
5. Memperkuat penafsirannya dengan mengutip hadis jika ada
perkataan sahabat, tabi‟in, dan pendapat para mufassir lain, baik
salaf maupun khalaf.
6. Menyebutkan pendapat para ulama dalam penamaan suatu surah
Al-Qur`an serta perbedaan yang ada.
7. Menyertakan Syair Arab99
.
8. Mengutip riwayat hadis dan qaul sahabat dan tabi‟in.
9. Tafsir al-Alusi dikolaborasikan melalui pendekatan zahir ayat yang
rajih dengan pendekatan pada uslub dan takrib yang nampak secara
tersurat.
10. Setelah penjelasan selesai dapat yang tersurat, l-Alusi menempuh
metodologi pendekatan batin ayat.
11. Dalam pembahasan ayat yang berkenaan demgan masalah fikih,
al-Alusi mengumpulkan pendapat berbagai mazhab tentang ayat
tersebut kemudian mentarjihnya mana yang lebih kuat tanpa
didasari fanatisme terhadap mazhab tertentu.
12. Dalam menjelaskan makna kandungan ayat yang ditafsirkan, al-
Alusi sering mengutip pendapat para mufassir sebelumnya, baik
salaf maupun khalaf. Kemudian beliau memilih pendapat yang
dianggap paling tepat. Beliau menguraikan rumus-rumus dan
ungkapan-ungkapan yang samar dan sulit dipahami maksudnya
oleh para ulama, selain itu, beliau juga memberikan komentar-
komentar yang berharga dan kritik-kritik yang dalam terhadap para
ulama pendahulunya. Beliau banyak mengutarakan pendapatnya di
antara pendapat-pendapat yang sudah ada. Dengan demikian,
beliau bukanlah sekedar penukil, tetapi juga memiliki kepribadian
ilmiah yang menonjol dan pemikiran-pemikiran yang cemerlang.
99
Faizah Ali Syibromalisi, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 85-86
73 |
13. Terhadap riwayat-riwayat israiliyat yang sering disusupkan dalam
beberapa literature hadis dan tafsir, al-Alusi dinilai sanagt selektif
dalam mengambil riwayat-riwayat israiliyat100
.
100
Dosen Tafsir hadis Fak. Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Studi
Kitab Tafsir, h. 158
101
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan seluruh pembahasan yang dipaparkan sebelumnya
maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
Pertama , tawakal menurut Muhammad Husain Thaba-thaba’i
adalah bergantung pada takdir yang telah ditetapkan Allah atau bersifat
Jabariyyah. Segala urusan hanya Allah saja yang mengatur tanpa
campur tangan manusia di dalamnya, jadi manusia tidak diperkenankan
berikhtiar. Sementara menurut Al-Alusi adalah menyerahkan segala
urusan kepada-Nya setelah berusaha dan berikhtiar, kita hanya perlu
bersandar kepada-Nya karena hanya Dialah yang mampu mengurus
segala urusan hamba-hamba-Nya.
Kedua, perbedaan antara Muhammad Husain Thaba-thaba’i dan
al-Alusi dalam konsep tawakal, mereka berbeda pandangan dalam dua
aspek, Pertama: perintah tawakal, menurut Thaba-thaba’i
menjelaskan bahwa tawakal hanya diperintahkan bagi manusia yang
sebenar-benar beriman kepada-Nya dan mengetahui kedudukan
Rabbnya maka wajib bertawakal kepada Allah dan Tawakal juga
merupakan bagian dari ta’at. Sedangkan menurut al-Alusi adalah
perintah tawakal kepada setiap hamba-Nya yang beriman tanpa melihat
apakah imannya sempurna ataupun hanya mempunyai iman sebesar biji
zarrah. karena sesungguhnya penghambaan itu hanya milik Allah
semata dan tidak bergantung kepada selain-Nya dan makhluk-Nya.
Sementara dari segi aspek yang Kedua: ganjaran bagi orang yang
bertawakal, menurut Thaba-thaba’i Allah hanya menjadi penolong bagi
orang yang beriman(orang beriman yang tingkatan tertinggi) sedangkan
yang dibawa mereka tidak bisa mendapatkannya karena tingkatan iman
102
dan takwa mereka masih rendah sebab dipengaruhi oleh pengetahuan
dan amal mereka. Sedangkan menurut al-Alusi adalah Allah akan
menjadi penolong bagi setiap hamba-Nya yang beriman.
B. Saran-Saran
1. Terasa sekali bagi penulis bahwa untuk menulis karya ini
membutuhkan ilmu pengetahuan yang luas, penulis merasa jauh dari
kesempurnaan akan ilmu pengetahuan, ilmu tafsir dan ilmu-ilmu
lainnya. Oleh karena itu, janganlah merasa puas dengan apa yang
kita dapatkan akan tetapi tetaplah haus akan ilmu dan marilah kita
mencari dan mengkaji ilmu.
2. Diharapkan bagi yang membaca tulisan ini, semoga dapat
memahami dan mengambil pelajaran yang terkait dalam kehidupan
sehari-hari tentang makna tawakal. Tawakal bukan berarti pasrah
tanpa melakukan usaha akan tetapi tetap berusah dan menyerahkan
hasil dari usaha yang kita lakukakan kepada Allah. Karena tawakal
yang benar kepada Allah dapat meningkatkan taqwa dan iman
kepada Allah.
103
DAFTAR PUSTAKA
Abadi, Fairuz, al-Qamus al-Muhith, Mesir: Maktabah Musthafa, 1371.
Abdullah al-Bukhari al-Jukfi, Muhammad Ibn Ismail Ibn, Shahih Bukhari
Kitab Fiii Tafsiir Surah al-Walam, al-Qohiroh: dar Thouqin
Najath,1425H
Alwi al-Haddad, Abdullah bin, Agar Iman senantiasa meningkat “Nasihat
dan Wasiat seputar Ibadah dan Muamalah”, Beirut-Libanon: al-Nasyir,
1996.
Anshori , Tafsir bi al-Ra‟yi, Jakarta: Gaung Persada Press, 2010
Al-‘Arabi,Muhammad Husain, Ruhul Ma‟ani fi Tafsir Al-Qur‟an Al-„Azhim
wa As-Sab‟i Al-Masani, Beirut: Dar Al-Fikr, 1994.
al-Aridl, Ali Hasan, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1994.
Baidowi, Ahmad, Mengenal Thabathaba‟i, Bandung: Nuansa, 2005.
Badawi al-Khalafi, Abdul Azhim bin, 40 Karakteristik mereka yang Dicintai
Allah berdasarkan al-Qur‟an dan as-Sunnah, Jakarta: Darul Haq.
al-Dzahabi, Muhammad Husain, Ensiklopedia Tafsir, terj Nabhani Idris,
Jakarta: Kalam Mulia, 2010.
Fahham, Achmad Muchaddam, Tuhan dalam Filsafat „Alamah Thabathaba‟i,
Jakara: Mizan Publika, 2004.
al-Ghazali, Ihya‟ „Ulumuddin, Semarang:Toha Putra.
Ghofur, Saiful Amin, Profil Para Mufassir Al-Qur‟an, Yogyakarta: Pustaka
Insan Madani, 2008.
al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Abul Husain Muslim bin, Shahih Muslim
kitab al-iman, bab tahrim al-kibr wa bayanuhu, Beirut: Dar al-Ihya’at-
Tarasi al-‘Arabi.
104
Hakim IMZI, A. Husnul, Ensiklopedia Kitab-kitab Tafsir, Depok: Lingkar
Studi Al-Qur’an.
Husain Thabathaba’i, Sayyid Muhammad, Inilah Islam:Upaya memahami
Seluruh Konsep Islam secara Mudah, Penerjemah Efendi Ahmad,
Bandung: Pustaka Hidayah,1996.
Dosen Tafsir hadis Fak. Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
Studi Kitab Tafsir, Jakarta: Teras, 2004.
Husain Thabathaba’i, Sayid Muhammad, Tafsir Al-Mizan, Jakarta: Lentera,
2010.
Ismail Abdullah Al-Bukhori al-ju’fi, Muhammad bin, Shahih Bukhari,
Beirut: Dar Tauqin Najah, 1422.
Jabir A-Jazairi, Abu Bakar, Munhajul Muslim, penerjemah:Fedrian Hasmand
Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, 2015.
Labib, Muhsin, Para Filosof, Jakarta: Al-Huda, 2005.
Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’an, Tafsir al-Qur‟an Tematik,Jakarta:
Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’an Kementrian Agama RI, 2010.
al-jauziyah, Ibnu Qayyim, Madarijus Salikin (Pendakian Menuju Allah),
Jakarta: Putaka Al-kautsar,1998, terj. Madarijus Salikin Baina Manazil
Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in.
Kosasih, Ahmad, Konsep Tawakal didalam Al-Qur‟an kajian tematis
terhadap ayat-ayat Al-Qur‟an,UIN Syarif Hidayatullah,2000.
Mahfuzah, Penafsiran Kata Tawakal menurut Hamka dalam Tafsir Al-Azhar,
UIN Sultan Syarif Kasim, Pekanbaru Riau, 2001
Mandzur, Ibnu,Lisan al-Arab, Mesir:Dar Beirut, 1388
Muhammad al-Raghib al-ashfahani, Abu Qasim al-husain bin, Al-Mufradat
Fi Gharib Al-Qur‟an, Kairo: Maktabah at-Taufiqiyah, t.t.
Mustafa, Syeikh Ibrahim, dkk. Al-Mu‟jam al-Wasit, Turki: al-Maktabah al-
Islamiyah Istanbul.
105
Nawawi, Rif’at Syauqi,Kepribadian Qur‟ani, Jakarta: Amzah, 2011.
Nopiana, Diana, Analisis Semiotik Makna Tawakal dalam film Ummi
Aminah, UIN Syarif Hidayatullah, 2014
al-Qardhawi, Yusuf, Tawakal, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1996.
al-Qardhawi, Yusuf, Tawakal Jalan Menuju keberhasilan dan Kebahagiaan
Hakiki, Jakarta: al-Mawardi Prima,2004.
al-Qattan, Manna Khalil, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur‟an, terj. Mudzakir AS
Jakarta;Pustaka Litera AntarNusa,2012.
Shefaa’, Khuloud, Tawakal dalam Tafsir Al-Jailani, IIQ Institut Ilmu Al-
Qur’an, 2012
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Supriyanto , Tawakal Bukan Pasrah, Jakarta: Qulum Media, 2010.
Syibromalisi, Faizah Ali, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011
Thabathaba’i, Muhammad Husain, al-Mizan fi Tafsir al-Qur‟an, Teheran:
Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1392.
Thaba-thaba’i,Muhammad Husain, Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur‟an, Beirut:
Muassasah Al-Aa’lami Li A-Mathbu’at,1991.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996.
Umar ad-Dumaiji, Abdullah bin, Rahasia Tawakal dan Sebab Akibat, terj.
Kamaluddin Sa’diatulharamain dan Farizal Tarmizi, Jakarta: Pustaka
Azzam, 2000.
Umar ad-Dumaiji, Abdullah bin, Tawakal Bergantung Sepenuhnya Kepada
Allah, Jakarta: PustakaAl-Inabah, 2015
Yanggo,Huzaemah T. dkk, Pedoman Penulisan SkripsiI, Tesis, Disertasi
Institut Ilmu Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta,Jakarta: IIQ Press,2011
106
Zakaria,Mohd Fatih Yakan bin, Konsep Tawakal Dalam Al-Qur‟an (Kajian
Komparatif Antara Tafsir As-Sya‟rowi dan Tafsir Al-Azhar), UIN Sultan
Syarif Kasim, Pekanbaru Riau, 2013.
.