METODE TAFSIR AL-QUR’AN

36
PENDAHULUAN Al-Qur’an adalah sumber tasyri’ pertama bagi umat Muhammad. Dan kebahagian mereka tergantung pada permasalahan maknanya, pengetahuan rahasia-rahasianya dan pengamalan apa yang terkandung di dalamnya. Kemampuan setiap orang dalam memahami tafsir dan ungkapan Al-Qur’an tidaklah sama. Perbedaan daya nalar diantara mereka ini adalah suatu hal yang tidak dipertentangkan lagi. Kalangan awam hanya dapat memahami makna-makna yang zahir dan pengertian ayat- ayatnya secara global. Sedang kalangan cerdik cendikia dan terpelajar akan dapat maenyimpulkan pula dari padanya makna-makna yang menarik. 1 Redaksi ayat-ayat Al-Qur’an, sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis, tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti, kecuali oleh pemilik redaksi tersebut. Hal ini kemudian menimbulkan keanekaragaman penafsiran. Dalam hal Al-Qur’an, para sahabat Nabi sekalipun, yang secara umum menyaksikan turunya wahyu, mengetahui konteksnya, serta memahami secara alamiah struktur bahasa dan arti kosa katanya, tidak jarang berbeda pendapat, atau bahkan keliru dalam pemahaman mereka tentang maksud firman-firman Allah yang mereka dengar atau mereka baca. 1 Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Jakarta: Litera AntarNusa, 1996), 455.

Transcript of METODE TAFSIR AL-QUR’AN

Page 1: METODE TAFSIR AL-QUR’AN

PENDAHULUAN

Al-Qur’an adalah sumber tasyri’ pertama bagi umat Muhammad. Dan

kebahagian mereka tergantung pada permasalahan maknanya, pengetahuan

rahasia-rahasianya dan pengamalan apa yang terkandung di dalamnya.

Kemampuan setiap orang dalam memahami tafsir dan ungkapan Al-Qur’an

tidaklah sama. Perbedaan daya nalar diantara mereka ini adalah suatu hal yang

tidak dipertentangkan lagi. Kalangan awam hanya dapat memahami makna-makna

yang zahir dan pengertian ayat-ayatnya secara global. Sedang kalangan cerdik

cendikia dan terpelajar akan dapat maenyimpulkan pula dari padanya makna-

makna yang menarik.1

Redaksi ayat-ayat Al-Qur’an, sebagaimana setiap redaksi yang

diucapkan atau ditulis, tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti, kecuali oleh

pemilik redaksi tersebut. Hal ini kemudian menimbulkan keanekaragaman

penafsiran. Dalam hal Al-Qur’an, para sahabat Nabi sekalipun, yang secara umum

menyaksikan turunya wahyu, mengetahui konteksnya, serta memahami secara

alamiah struktur bahasa dan arti kosa katanya, tidak jarang berbeda pendapat, atau

bahkan keliru dalam pemahaman mereka tentang maksud firman-firman Allah

yang mereka dengar atau mereka baca.

Al-Qur’an secara teks memang tidak berubah, tetapi penanfsiran atas

teks, selalu berubah, sesuai dengan konteks ruang dan waktu manusia. Karenanya,

Al-Qur’an selalu membuka diri untuk dianalisis, dipersepsi, dan diinterpretasikan

(ditafsirkan) dengan berbagai alat, metode, dan pendekatan untuk menguak isi

sejatinya. Aneka metode dan tafsir diajukan sebagai jalan untuk membedah makna

terdalam dari Al-Qur’an itu. Sehingga Al-Qur’an seolah menantang dirinya untuk

dibedah.2

Saat ini, banyak terjemah, tafsir, dan buku yang mengupas Al-Qur’an.

Setiap kali kita mendengar khutbah dan ceramah, kita juga acap kali telah hafal

ayat-ayat yang disampaikan. Kita pun melaksanakan nilai dan ajaran Al-Qur’an

dalam ibadah ritual maupun muammalah. Berbagai istilah seperti sabar, tawakkal, 1 Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Jakarta: Litera AntarNusa, 1996),

455.2 Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an Kajian Tematik atas Ayat-ayat Hukum

Dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Penamadani, 2005), 3.

Page 2: METODE TAFSIR AL-QUR’AN

amal, ilmu salam, bismillahirrahmanirrahiim, juga diucapkan sebagai bahasa

nasional dan bahasa sehari-hari. Tal pelak, kini situasinya sudah sangat jauh

berbeda dari masa lalu. Yang mana, sekarang, juga banyak orang sangat akrab

dengan bahasa Al-Qur’an, dan mengerti intisari ajarannya walaupun tak

menguasai bahasa Arab.3

Selama empat belas abad ini, khazanah intelektual Islam telah diperkaya

dengan berbagai macam perspektif dan pendekatan dalam menafsirkan Al-Qur’an.

Walaupun demikian terdapat kecenderungan yang umum untuk memahami Al-

Qur’an secara ayat per-ayat bahkan kata perkata. Selain itu, pemahaman akan Al-

Qur’an terutama didasarkan pada pendekatan filologis gramatikal. Pendekatan

ayat per-ayat atau kata per-kata tentunya menghasilkan pemahaman yang parsial

(sepotong) tentang pesan Al-Qur’an. Bahkan, sering terjadi penafsiran semacam

ini secara tidak semena-mena menggagalkan ayat dari konteks dan dari aspek

kesejarahannya untuk membela sudut pandang tertentu. Dalam kasus-kasus

tertentu, seperti dalam penafsiran teologis, filosofis, dan sufistis, gagasan-

gagasan asing sering dipaksakan ke dalam Al-Qur’an tanpa memperhatikan

konteks kesejarahan dan kesusteraan kitab suci itu.4

Itulah sebabnya upaya meraih kebenaran teks dan konteks sebuah ayat,

membutuhkan ilmu alat. Dengan ilmu alat, bisa lebih mudah mengaplikasikan

makna-makna Al-Qur’an dalam kehidupan sosial. Apalagi mengenai ayat-ayat Al-

Qur’an yang berkategori mutasyabih, tentu kian rumit dan pelik. Dengan

demikian, penulis sangat tertarik untuk membahas tentang metode tafsir Al-

Qur’an dengan berbagai pembahasan antara lain pengertian, sejarah dan

perkembangan metode tafsir, serta macam-macam metode tafsir yang insya Allah

akan dibahas lebih luas dalam makalah ini.

3 M. Dawam Rahardjo, Paradigma Al-Qur’an Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial, ( Jakarta: Pusat Studi Agama Dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah, 2005), 22.

4 Ahmad As-Shouwy, Mukjizat Al-Qur’an dan Sunnah Tentang IPTEK, (Jakarta: Gema Insani Preass, 1995), 24.d

Page 3: METODE TAFSIR AL-QUR’AN

PEMBAHASAN

METODE TAFSIR AL-QUR’AN

A. PENGERTIAN METODE TAFSIR

Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani “methodos” yang berarti

cara atau jalan”.Di dalam bahasa Inggris kata ini ditulis “Method” dan bangsa

Arab menerjemahkannya dengan “Thariqat” dan “Manhaj”. Di dalam

pemakaian bahasa Indonesia kata tersebut mengandung arti: “cara yang

teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud {dalam ilmu

pengetahuan dan sebagainya); cara kerja yang bersistem untuk memudahkan

pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan”.5

Sedangkan tafsir secara bahasa mengikuti wazan “taf’il”, berasal dari

akar kata al-fasr (f, s, r) yang berarti menjelaskan, menyingkap dan

menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata kerjanya

mengikuti wazan “daraba-yadribu “ dan “nasara – yansuru”. Dikatakan “fasara

– yafsiru” dan yafsuru – fasran”, dan “fasrahu”, artinya “abanahu”

(menjelaskannya). Kata at-tafsir dan al-fasr mempunyai arti menjelaskan dan

menyingkap yang tertutup. Dalam Lisanul Arab dinyatakan: kata “al-fasr”

berarti menyingkap yang tertutup, sedang kata “al-tafsir” berarti

menyingkapkan maksud sesuatu lafadz yang musykil dan pelik.6 Sedangkan

para Ulama berpendapat: tafsir adalah penjelasan tentang arti atau maksud

firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia (mufassir).7

Tafsir menurut istilah, sebagaimana yang didefinisikan Abu Hayyan

ialah: “Ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafadz-lafadz Qur’an,

tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri

maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika

tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya”.

Jadi yang dimaksud metode tafsir Al-Qur’an adalah suatu cara yang

teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang

5 Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an Kajian Kritis Terhadap Ayat-ayat yang beredaksi mirip, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 54.

6 Manna’ Khalil al-Qattan, ibid., 455-456.7 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu Dalam

Kehidupan Masyarakat, (Bndung: Mizan, 1999), 75.

Page 4: METODE TAFSIR AL-QUR’AN

apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat Al-Qur’an atau lafadz-lafadz

yang musykil yang diturunkan-Nya kepada Nabi Muhammad saw.

B. SEJARAH PERKEMBANGAN METODE TAFSIR

Sejak Rasulullah dikenal dua cara penafsiran Al-Qur’an. Pertama,

penafsiran berdasarkan petunjuk wahyu. Kedua, penafsiran berdasarkan

ijtihad atau ra’yi. Dimasa sahabat, sumber untuk memahami ayat-ayat Al-

Qur’an di samping ayat Al-Qur’an sendiri, juga riwayat dari Nabi dan ijtihad

mereka. Pada abad-abad selanjutnya, usaha untuk menafsirkan Al-Qur’an

berdasarkan ra’yi atau nalar mulai berkembang sejalan dengan kemajuan taraf

hidup manusia yang di dalamnya sarat dengan persoalan-persoalan yang tidak

selalu tersedia jawabannya secara eksplisit dalam Al-Qur’an.8

Pada zaman Nabi dan para sahabat, pada umumnya mereka adalah ahli

bahasa Arab dan mengetahui secara baik latar belakang turun ayat (asbab an-

nuzul), serta mengalami secara langsung situasi dan kondisi umat ketika ayat-

ayat Al-Qur’an turun. Dengan demikian, mereka relatif dapat memahami ayat-

ayat Al-Qur’an itu secara benar, tepat, dan akurat. Berdasarkan kenyataan

sejarah yang demikian, maka untuk memahami suatu ayat, mereka tidak

begitu membutuhkan uraian yang rinci, tetapi cukup dengan isyarat dan

penjelasan global (ijmal). Itulah yang membuat lahir dan berkembangnya

tafsir dengan metode global dalam penafsiran Al-Qur’an pada abad-abad

pertama.

Pada periode berikutnya, umat Islam semakin majemuk dengan

berbondong-bondong bangsa non-Arab masuk Islam, terutama setelah

tersebarnya Islam ke daerah-daerah yang jauh di luar tanah Arab. Kondisi ini

membawa konsekuensi logis terhadap perkembangan pemikiran Islam;

berbagai peradaban dan kebudayaan non Islam masuk ke dalam khazanah

intelektual Islam. Akibatnya, kehidupan umat Islam menjadi terpengaruh

olehnya. Untuk menghadapi kondisi yang demikian para pakar tafsir ikut

mengantisipasinya dengan menyajikan penafsiran-penafsiran ayat-ayat Al-

8 Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir Dan Aplikasi Model Penafsiran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 66.

Page 5: METODE TAFSIR AL-QUR’AN

Qur’an yang sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan kehidupan

umat yang semakin beragam.

Kondisi seperti yang digambarkan itulah yang merupakan salah satu

pendorong lahirnya tafsir dengan metode analitis (tahlili), sebagaimana

tertuang di dalam kitab-kitab tafsir tahlili, seperti Tafsir al-Thabari dan lain-

lain. Metode penafsiran serupa itu terasa lebih cocok di kala itu karena dapat

memberikan pengertian dan penjelasan yang rinci terhadap pemahaman ayat-

ayat Al-Qur’an. Dengan demikian, umat terasa terayomi oleh penjelasan-

penjelasan dan berbagai interpretasi yang diberikan terhadap ayat-ayat Al-

Qur’an di dalam kitab tersebut. Kemudian metode penafsiran serupa itu diikuti

oleh ulama tafsir yang datang kemudian, bahkan berkembang dengan sangat

pesat dalam dua bentuk penafsiran yaitu: al-ma’tsur dan al-ra’yi dengan

berbagai corak yang dihasilkannya, seperti fiqh, tasawuf, falsafi, ilmi, adabi

ijtima’I dan lain-lain.

Dengan dikarangnya kitab-kitab tafsir dalam dua bentuk penafsiran

tersebut dengan berbagai coraknya, umat ingin mendapatkan informasi lebih

jauh berkenaan dengan kondisi dan kecenderungan serta keahlian para pakar

tafsir. Kecuali itu, umat juga ingin mengetahui pemahaman ayat-ayat Al-

Qur’an yang kelihatannya mirip, padahal ia membawa pengertian yang

berbeda. Demikian ditemukannya hadits-hadits yang secara lahiriyah ada yang

tampak bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur’an, padahal secara teoritis hal

itu tak mungkin terjadi karena keduanya pada hakikatnya berasal dari sumber

yang sama, yakni Allah.

Kenyataan sebagaimana yang digambarkan itu mendorong para ulama

untuk melakukan perbandingan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang pernah

diberikan oleh para ulama sebelumnya dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an

ataupun hadits-hadits Nabi. Dengan demikian lahirlah tafsir dengan metode

perbandingan (muqarin) seperti yang diterapkan oleh al-Iskafi di dalam

kitabnya Durrat al-Tanzil wa Ghurrat al-Ta’wil, dan oleh al-Karmani di

dalam kitabnya Al-Burhan fi Taujih Mutasyabah Al-Qur’an, dan lain-lain.

Permasalahan di abad modern berbeda jauh dari apa yang dialami oleh

generasi terdahulu. Perbedaan tersebut terasa sekali di tengah masyarakat,

Page 6: METODE TAFSIR AL-QUR’AN

seperti mobilitas yang tinggi, perubahan situasi yang sangat cepat, dan lain-

lain. Realitas kehidupan yang demikian membuat masyarakat, baik secara

individual maupun berkeluarga, bahkan berbangsa dan bernegara, menjadi

terasa seakan-akan tak punya waktu luang untuk membaca kitab-kitab tafsir

yang besar-besar sebagaimana telah disebutkan tadi. Padahal untuk

mendapatkan petunjuk Al-Qur’an umat dituntut membaca kitab-kitab tafsir

tersebut.

Untuk menanggulangi permasalahan itu, ulama tafsir pada abad

modern menawarkan tafsir Al-Qur’an dengan metode baru, yang disebut

dengan metode tematik (maudhu’i).

Dengan lahirnya metode ini, mereka yang menginginkan petunjuk Al-

Qur’an dalam suatu masalah tidak perlu menghabiskan waktunya untuk

membaca kitab-kitab tafsir yang besar itu, tetapi cukup membaca tafsir

tematik tersebut selama permasalahan yang ingin mereka pecahkan dapat

dijumpai dalam kitab tafsir itu.9

C. METODE-METODE PENAFSIRAN AL-QUR’AN

Ulama selalu berusaha untuk memahami kandungan Al-Qur’an sejak

masa ulama salaf sampai masa modern. Dari sekian lama perjalanan sejarah

penafsiran Al-Qur’an, banyak ditemui beragam tafsir dengan metode dan

corak yang berbeda-beda. Dari sekian banyak macam-macam tafsir, ulama

coba membuat mengklasifikasikan tafsir dengan sudut pandang yang berbeda-

beda antara yang satu dengan yang lainnya.

Quraish Shihab, dalam membumikan Al-Qur’an, membagi tafsir

dengan melihat corak dan metodenya menjadi; tafsir yang bercorak ma’tsur

dan tafsir yang menggunakan metode penalaran yang terdiri dari metode

tahlili dan maudhu’i.10

Al-Farmawi membagi tafsir dari segi metodenya menjadi empat bagian

yaitu: metode tahlili, ijmali, Muqaaran dan maudhu’i. sedangkan metode

tahlili dibagi menjadi beberapa corak tafsir yaitu: Tafsir bi al-ma’tsur, Tafsir

9 Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2005), 3-8.

10 Qurais Shihab, Membumikan Al-Qur’an, ibid., 83.

Page 7: METODE TAFSIR AL-QUR’AN

bi al-Ro’yi, Tafsir Sufi, Tafsir Fiqh, Tafsir Falsafi, Tafsir ilmi, Tafsir Adaby

dan ijtima’.11

Berikut ini akan penulis jelaskan metode-metode tafsir dengan

mengikuti pola pembagian Al-Farmawi.

1. Metode Tafsir Tahlily

a. Pengertian

Metode Tafsir Tahlily adalah suatu metode tafsir yang

bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari seluruh

aspeknya. Di dalam tafsirnya, penafsir mengikuti runtutan ayat

sebagaimana yang telah tersusun di dalam mushaf. Penafsir memulai

uraiannya dengan mengemukakan arti kosa kata diikuti dengan

penjelasan mengenai arti global ayat. Ia juga mengemukakan

munasabah (korelasi) ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud

ayat-ayat tersebut satu sama lain. Begitu pula, penafsir membahas

mengenai sabab al-nuzul (latar belakang turunnya ayat) dan dalil-dalil

yang berasal dari Rasul, atau Sahabat, atau para Tabi’in, yang kadang-

kadang bercampur baur dengan pendapat para penafsir itu sendiri dan

diwarnai oleh latar belakang pendidikannya, dan sering pula

bercampur baur dengan pembahasan kebahasaan dan lainnya yang

dipandang dapat membantu memahami nash Al-Qur’an tersebut.12

Muhammad Baqir al-Shadr menyebut tafsir metode tahlily ini

dengan tafsir tajzi’I, yang secara harfiah berarti “tafsir yang

menguraikan berdasarkan bagian-bagian atau tafsir parsial”.13

b. Bentuk Tafsir Al-Qur’an dengan metode Tahlily

Metode Tahlily kebanyakan dipergunakan para ulama masa-

masa klasik dan pertengahan. Diantara mereka, sebagian mengikuti

pola pembahasan secara panjang lebar (ithnab), sebagian mengikuti

pola singkat (ijaz) dan sebagian mengikuti pula secukupnya

11 Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 11.

12 Ibid., 12.13 Quraish Shihab dkk, Sejarah Dan ‘Ulum Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus,

1999), 172.

Page 8: METODE TAFSIR AL-QUR’AN

(musawah). Mereka sama-sama menafsirkan Al-Qur’an dengan

metode tahlily, namun dengan corak yang berbeda.14

Para ulama membagi wujud tafsir Al-Qur’an dengan metode

tahlily kepada tujuh macam (bentuk) yaitu: Al-Tafsir bi al-Ma’Tsur,

Al-Tafsir bi al-Ra’yi, Al-Tafsir al-Shufi, Al-Tafsir al-fiqhi, Al-Tafsir al-

falsafi, Al-Tafsir al-‘ilmi, dan Al-Tafsir al-Adab al-ijtima’i.

c. Kitab-kitab Tafsir yang menggunakan metode Tahlily

Diantara kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah:

Tafsir al-Qur’an al-‘azhim karya Ibn Katsir.

Tafsir al-Munir karya Syaikh Nawawy al-Bantany.

Ada yang ditulis dengan sangat panjang, seperti kitab tafsir karya

al-Lusi, Fakhr al-Din al-Razi, dan Ibn Jarir al-Thabari;

Ada yang sedang, seperti kitab Tafsir Imam al-Baidhawi dan al-

Naisaburi;

dan ada pula yang ditulis dengan ringkas, tetapi jelas dan padat,

seperti kitab Tafsir al-Jalalayn karya Jalal al-Din Suyuthi dan

Jalal al-Din al- Mahalli dan kitab Tafsir yang ditulis Muhammad

Farid Wajdi.

d. Kelebihan dan kekurangan metode Tahlily

1) Kelebihan metode Tahlily

a) Dapat mengetahui dengan mudah tafsir suatu surat atau ayat,

karena susunan tertib ayat atau surat mengikuti susunan

sebagaimana terdapat dalam mushaf.

b) Mudah mengetahui relevansi/munasabah antara suatu surat atau

ayat dengan surat atau ayat lainnya.

c) Memungkinkan untuk dapat memberikan penafsiran pada

semua ayat, meskipun inti penafsiran ayat yang satu merupakan

pengulangan dari ayat yang lain, jika ayat-ayat yang ditafsirkan

sama atau hampir sama.

14 Said Agil Husin Al-munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), 70.

Page 9: METODE TAFSIR AL-QUR’AN

d) Mengandung banyak aspek pengetahuan, meliputi hukum,

sejarah, sains, dan lain-lain..15

2) Kelemahan metode Tahlily

a) Menghasilkan pandangan-pandangan yang parsial dan

kontradiktif dalam kehidupan umat Islam.16

b) Faktor subyektivitas tidak mudah dihindari misalnya adanya

ayat yang ditafsirkan dalam rangka membenarkan pendapatnya.

c) Terkesan adanya penafsiran berulang-ulang, terutama terhadap

ayat-ayat yang mempunyai tema yang sama.17

d) Masuk pemikiran Israiliyyat.18

e. Urgensi metode Tahlily

Keberadaan metode ini telah memberikan sumbangan yang

sangat besar dalam melestarikan dan mengembangkan khazanah

intelektual Islam, khususnya dalam bidang tafsir Al-Qur’an. Berkat

metode ini, maka lahir karya-karya tafsir yang besar-besar

sebagaimana yang telah disebutkan di depan. Berdasarkan kenyataan

itu dapatlah dikatakan, urgensitas metode ini tak dapat dipungkiri oleh

siapapun. Dalam penafsiran Al-Qur’an, jika ingin menjelaskan dengan

firman Allah dari berbagai segi seperti bahasa, hukum-hukum fiqih,

teologi, filsafat, sains, dan sebagainya, maka di sini metode Tahlily

lebih berperan dan lebih dapat diandalkan dari pada metode-metode

yang lain.

Dari uraian diatas dapat penulis simpulkan, bahwa jika

menginginkan pemahaman yang luas dari suatu ayat dengan

melihatnya dari berbagai aspek, maka jalan yang ditempuh adalah

15 Didin Saefuddin Buchori, Pedoman Memahami Kandungan Al-Qur’an, (Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005), 218-219.

16 Akhmad Arif Junaidi, Pembaharuan Metodologi Tafsir Al-Qur’an (Studi Atas Pemikiran Tafsir Kontekstual Fazlur Rahman), (Semarang: CV. Gunung Jati, 2000), 24.

17 Didin Saefuddin Buchori, Ibid., 219.18 Israiliyyat yaitu sesuatu yang menunjukkan pada setiap hal yang berhubungan

dengan tafsir maupun dengan hadits berupa cerita atau dongeng-dongeng kuno yang dinisbahkan pada asal riwayatnya dari sumber Yahudi, Nasrani atau lainnya. Dikatakan juga bahwa Israiliyyat termasuk dongeng yang sengaja diselundupkan oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir dan hadits yang sama sekali tidak ada dasarnya dalam sumber lama. Kisah atau dongeng tersebut sengaja diselundupkan dengan tujuan merusak Aqidah kaum Muslimin. (lihat di Supiana, dan M. Karman, Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir, (Bandung: Pustaka Islamika, 2002), 198.)

Page 10: METODE TAFSIR AL-QUR’AN

menggunakan metode tahlily. Dan inilah salah satu urgensi pokok bagi

metode ini dibandingkan dengan yang lain.

2. Metode Tafsir Ijmaly

a. Pengertian

Metode Tafsir Ijmaly adalah suatu metode Tafsir yang

menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna

global. Di dalam sistematika uraiannya, penafsir akan membahas ayat

demi ayat sesuai dengan susunan yang ada di dalam mushaf; kemudian

mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat tersebut.19

Muffasir dengan metode ini, dalam penyampaiannya,

menggunakan bahasa yang ringkas dan sederhana, serta memberikan

idiom yang mirip, bahkan sama dengan Al-Qur’an. Sehingga

pembacanya merasakan seolah-olah Al-Qur’an sendiri yang berbicara

dengannya. Sehingga dengan demikian dapatlah diperoleh

pengetahuan yang diharapkan dengan sempurna dan sampailah kepada

tujuannya dengan cara yang mudah serta uraian yang singkat dan

bagus.

Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan metode ini,

mufassir juga meneliti, mengkaji dan menyajikan asbab al-nuzul atau

peristiwa yang melatar belakangi turunnya ayat, dengan cara meneliti

hadits-hadits yang berhubungan dengannya.

Sebagai contoh: ”Penafsiran yang diberikan tafsir al-Jalalain

terhadap 5 ayat pertama dari surat al-Baqarah, tampak tafsirnya sangat

singkat dan global hingga tidak ditemui rincian atau penjelasan yang

memadai. Penafsiran tentang( ), misalnya, dia hanya berkata:

Allah Maha Tahu maksudnya. Dengan demikian pula penafsiran

hanya dikatakan: Yang dibacakan oleh Muhammad. Begitu

seterusnya, tanpa ada rincian sehingga penafsiran lima ayat itu hanya

dalam beberapa baris saja. Sedangkan tafsir tahlili (analitis), al-

19 Abdl Al-Hayy Al-Farmawi. Ibid., 29.

Page 11: METODE TAFSIR AL-QUR’AN

Maraghi, misalnya, untuk menjelaskan lima ayat pertama itu ia

membutuhkan 7 halaman.20

b. Kitab-kitab Tafsir yang menggunakan metode Ijmaly

Diantara kitab-kitab Tafsir dengan metode Ijmaly adalah:

Tafsir al-jalalain, karya Jalal al-Din al-Suyuthi dan Jalal al-Din

al-Mahalli, Shofwah al-bayan Lima’ani Al-Qur’an, karya Syeikh

Husnain Muhammad Mukhlut, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, karya

ustadz Muhammad Farid Wajdy, Tafsir al-Wasith, karya Tim Majma’

al-Buhuts al-Islamiyah (Lembaga Penelitian Islam) al-Azhar Mesir.21

c. Kelebihan dan kekurangan metode Ijmaly

1) Kelebihan metode Ijmaly

a) Praktis dan mudah dipahami

b) Bebas dari penafsiran israiliat

c) Akrab dengan bahasa Al-Qur’an

2) Kekurangan metode ijmaly

Kekurangan-kekurangan yang terdapat di dalam metode ini antara

lain sebagai berikut:

a) Menjadikan petunjuk Al-Qur’an bersifat Parsial.

b) Tidak mampu mengantarkan pembaca untuk mendialogkan Al-

Qur’an dengan permasalahan sosial maupun keilmuan yang

aktual dan problematis.

d. Urgensi Metode Ijmaly

Dalam kaitan ini, bagi para pemula atau mereka yang tidak

membutuhkan uraian yang detail tentang pemahaman suatu ayat, maka

tafsir yang menggunakan metode Ijmaly ini sangat membantu dan

tepat sekali untuk digunakan. Hal itu disebabkan uraian di dalam tafsir

yang menggunakan metode ini sangat ringkas dan tidak berbelit-belit,

sehingga relatif lebih mudah dipahami oleh mereka yang berada pada

tingkat ini.

20 Hujair A. H. Sanaky, Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau Corak Mufassirin). Diakses tanggal 12 Oktober 2009.

21 M. Alfatih Suryadilaga, dkk., Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005),46.

Page 12: METODE TAFSIR AL-QUR’AN

Kondisi tafsir Ijmaly yang ringkas dan sederhana ini juga lebih

cocok bagi mereka yang disibukkan oleh pekerjaan rutin sehari-hari.

Dengan demikian, tafsir dengan metode ini sangat urgen bagi mereka

yang berada pada tahap permulaan mempelajari tafsir dan mereka yang

sibuk dalam mencari kehidupannya.

Dalam kondisi yang demikian akan dapat dirasakan betapa

cocoknya tafsir Ijmaly ini bagi mereka dalam rangka membimbing

mereka ke jalan yang benar serta diridhai Allah.

3. Metode Tafsir Muqaran

a. Pengertian

Yang dimaksud dengan metode ini adalah mengemukakan

penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis oleh sejumlah para

mufassir. Disini seorang mufassir menghimpun sejumlah ayat-ayat Al-

Qur’an, kemudian ia mengkaji dan meneliti penafsiran sejumlah

mufassir mengenai ayat tersebut melalui kitab-kitab tafsir mereka,

apakah mereka itu mufassir dari generasi salaf maupun khalaf, apakah

tafsir mereka itu tafsir bi al-ma’tsur maupun al-tafsir bi al-Ra’yi.22

Kemudian ia menjelaskan bahwa diantara mereka ada yang

corak penafsirannya ditentukan oleh disiplin ilmu yang dikuasainya.

Ada diantara mereka yang menitikberatkan pada bidang nahwu, yakni

segi-segi I’rab, seperti Imam al-Zarkasyi. Ada yang corak

penafsirannya ditentukan oleh kecenderungan kepada bidang

balaghah, seperti Abdl al-Qahar al-Jurjany dalam kitab tafsirnya I’jaz

al-Qur’an dan Abu Ubaidah Ma’mar Ibn al-Mustanna dalam kitab

tafsirnya al-Majaz, dimana ia memberi perhatian pada penjelasan ilmu

ma’any, bayan,badi’,haqiqat dan majaz.23

Jadi metode tafsir muqaran adalah menafsirkan sekelompok

ayat Al-Qur’an dengan cara membandingkan antar ayat dengan ayat,

atau antara ayat dengan hadits, atau antara pendapat ulama tafsir

dengan menonjolkan aspek-aspek perbedaan tertentu dari obyek yang

dibandingkan itu.

22 Abdl Al-Hayy Al-Farmawi. Ibid., 30.23 Said Agil Husin al-Munawar, ibid., 73

Page 13: METODE TAFSIR AL-QUR’AN

b. Objek kajian metode Tafsir Muqaran

Objek kajian tafsir dengan metode muqaran dapat dikelompokkan

kepada tiga, yaitu:

1) Perbandingan ayat al-Qur’an dengan ayat lain

Contoh:

Penafsiran disebabkan perbedaan redaksi namun peristiwa

yang dibicarakannya sama, diantaranya yang terdapat dalam

Q.S. al-An’am ayat 151 dan Q.S. al-Isra’ 31.

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu Karena takut kemiskinan, kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka”

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu Karena takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu”.24

Penafsiran dengan redaksi yang hampir sama (mirip)

dengan pembicaraan masalah yang berbeda, diantaranya

terdapat Q.S Ali ‘Imran ayat 126 dan Q.S. al-Anfal ayat 10.

“Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala bantuan itu melainkan sebagai khabar gembira bagi (kemenangan)mu, dan agar tenteram hatimu karenanya. dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. “Dan Allah tidak menjadikannya (mengirim bala bantuan itu), melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. dan kemenangan itu hanyalah dari sisi

24 Kedua ayat tersebut, menggunakan redaksi yang berbeda, namun membicarakan masalah yang sama, yakni larangan membunuh anak-anak. Menurut al-Zarkasyi perbedaannya tampak pada khitab. Ayat pertama khitabnya orang-orang fakir (fuqara’) dengan dhomir kum, sehingga menggunakan redaksi min imlaq, yang berarti karena miskin. Sedangkan ayat kedua khitabnya orang-orang kaya (aghniya’) dengan dhomir hum, sehingga memakai redaksi khasyyah imlaq, yang berarti takut miskin. Jadi pada ayat pertama, dhomir kum didahulukan bertujuan untuk menghilangkan kekhawatiran orang miskin karena tidak mampu memberi nafkah kepada anak-anaknya, sedangkan pada ayat kedua dhomir hum didahulukan agar orang kaya yakin bahwa yang memberi nafkah kepada anak-anaknya itu Allah bukan orang kaya (lihat Supiana dan Karman), 323.

Page 14: METODE TAFSIR AL-QUR’AN

Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.25

2) Perbandingan ayat Al-Qur’an dengan hadits

Cara kerjanya adalah:

Menentukan nilai hadits yang akan diperbandingkan dengan

ayat Al-Qur’an. Hadits itu haruslah shahih. Hadits dhaif tidak

diperbandingkan karena, disamping nilai otentisitasnya rendah,

dia justru semakin tertolak karena pertentangannya dengan ayat

Al-Qur’an.

Membandingkan dan menganalisis pertentangan yang dijumpai

di dalam kedua redaksi yaitu ayat dengan hadits itu.

Membandingkan pendapat para ulama tafsir dalam menafsirkan

ayat dan hadits tersebut.

Contohnya adalah: perbedaan antara ayat al-Qur’an surah al-

Nahl:32 dengan hadits riwayat Tirmidzi di bawah ini:

“Masuklah kamu ke dalam syurga itu disebabkan apa yang Telah kamu kerjakan". (Q.S. Nahl:32)

الترمذى( )رواه بعمله الجنة أحدكم يدخل لن“Tidak akan masuk seorangpun diantara kamu ke dalam surga disebabkan perbuatannya”. (H.R. Tirmidzi)26

25 Ayat yang pertama berkaitan dengan pertolongan Allah kepada kaum Muslimin dalam perang Uhud, sedangkan pada ayat kedua berkaitan dengan perang Allah kepada kaum Muslimin dalam perang Badr. Variasi didahulukannya penempatan kata bih dan penambahan inna (taukid ), dimungkinkan sebagai penekanan atau penegasan kandungan ayat tersebut, yakni janjian bantuan dari Allah bagi kaum muslimin dalam perang Badr yang masih lemah. Sedangkan ayat yang berkaitan dengan perang Uhud tidak ada taukid, karena kaum muslimin sudah kuat dan pertolongan Allah terbukti dalam perang Badr. (ibid,. 324.)

26 Antara ayat al-Qur’an dan hadits diatas terkesan ada pertentangan. Untuk menghilangkan pertentangan itu, al-Zarkasyi mengajukan dua cara: Pertama, dengan menganut pengertian harfiah hadits, yaitu bahwa orang-orang tidak masuk surga karena amal perbuatannya, tetapi karena ampunan dan rahmat Tuhan. Akan tetapi, ayat diatas tidak disalahkan, karena menurutnya, amal perbuatan manusia menentukan peringkat surga yang akan dimasukinya. Dengan kata lain, posisi seseorang di dalam surga ditentukan amal perbuatannya. Pengertian ini sejalan dengan hadits lain, yaitu:

الترمذى( )رواه عملهم بفضل فيها نزلوا دخلوها إذا الجنة أهل نإ“Sesungguhnya ahli surga itu, apabila memasukinya, mereka mendapat posisi di dalamnya berdasarkan keutamaan perbuatannya”. (H.R. Tirmidzi)Kedua, dengan menyatakan bahwa huruf ba’ pada ayat diatas berbeda konotasinya dengan yang ada pada hadits tersebut. Pada ayat berarti imbalan, sedangkan pada hadits berarti sebab. Jadi, dengan penafsiran seperti itu, maka kesan kontradiksi antara ayat al-Qur’an dan hadits diatas dapat dihilangkan. (lihat Quraish Shihab dkk., Sejarah Dan Ulum al-Qur’an), 190-191.

Page 15: METODE TAFSIR AL-QUR’AN

3) Perbandingan penafsiran mufassir dengan mufassir yang lain.

Contoh: Surat al-An’am ayat 103 yang berbunyi:

“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan dialah yang Maha halus lagi Maha Mengetahui.”27

Sedangkan dalam perbedaan penafsiran mufassir yang satu dengan yang lain, mufassir berusaha mencari, menggali, menemukan, dan mencari titik temu diantara perbedaan-perbedaan itu bila mungkin, dan mentarjih salah satu pendapat setelah membahas kualitas argumentasi masing-masing.28

c. Kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode muqaran

Diantara kitab-kitab yang menggunakan metode ini adalah

Durrah al-Tanzil wa Ghurrah al-Tanwil, karya al-Iskafi yang

terbatas pada perbandingan antara ayat dengan ayat.

Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, karya al-Qurthubi yang

membandingkan penafsiran para mufassir.

Rawa’i al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam, karya ‘Ali al-Shabuny.

Qur’an and its Interpreters adalah satu karya tafsir yang lahir di

zaman modern ini, buah karya Profesor Mahmud Ayyub.

d. Kelebihan dan kekurangan metode muqaran

1) Kelebihan metode Muqaran

Membuka pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap

pendapat orang lain.

Tafsir dengan metode muqaran ini amat berguna bagi mereka

yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang suatu ayat.

27 Ayat ini berbicara dalam konteks orang-orang mukmin melihat Allah di akhirat, suatu diskursus teologis yang melibatkan banyak orang dalam perdebatan, khususnya kelompok Salaf dan kaum Rasionalis. Menurut kaum Salaf, kendati di dunia Allah tidak bisa dilihat, namun di akhirat nanti bisa. Tetapi menurut Mu’tazilah baik di dunia maupun di akhirat Allah tidak bisa dilihat oleh kasat mata. (lihat Supiana dan M. Karman), 325.

28 Quraish shihab, .Ibid, 191.

Page 16: METODE TAFSIR AL-QUR’AN

Dengan menggunakan metode muqaran ini, maka mufassir

didorong untuk mengkaji berbagai ayat dan hadits-hadits serta

pendapat-pendapat para mufassir yang lain.

2) Kekurangan metode tafsir muqaran

Diantara kekurangan metode ini adalah:

Penafsiran yang menggunakan metode ini, tidak dapat

diberikan kepada para pemula.

Metode muqaran kurang dapat diandalkan untuk menjawab

permasalahan sosial yang tumbuh di tengah masyarakat. Hal itu

disebabkan metode ini lebih mengutamakan perbandingan

daripada pemecahan masalah.

Metode muqaran terkesan lebih banyak menelusuri penafsiran-

penafsiran yang pernah di berikan oleh ulama daripada

mengemukakan penafsiran-penafsiran baru. Sebenarnya kesan

serupa itu tak perlu timbul bila mufassirnya kreatif.

e. Urgensi metode muqaran

Pada abad modern sekarang, tafsir dengan metode ini terasa

makin dibutuhkan oleh umat. Hal itu terutama dikarenakan timbulnya

berbagai paham dan aliran yang kadang-kadang jauh keluar dari

pemahaman yang benar. Dengan menggunakan metode muqaran ini,

akan dapat diketahui mengapa penafsiran yang menyimpang itu timbul

dan bahkan dapat membuat sikap ekstrim di kalangan sebagian

kelompok masyarakat.

Dengan metode muqaran ini amat penting posisinya, terutama

dalam rangka mengembangkan pemikiran tafsir, yang rasional dan

objektif, sehingga kita mendapatkan gambaran yang lebih

komprehensif berkenaan dengan latar belakang lahirnya suatu

penafsiran dan sekaligus dapat dijadikan perbandingan dan pelajaran

dalam mengembangkan penafsiran Al-Qur’an pada periode-periode

selanjutnya.

4. Metode tafsir maudhu’i

a. Pengertian

Page 17: METODE TAFSIR AL-QUR’AN

Metode tafsir maudhu’i juga disebut dengan dengan metode

tematik yaitu menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai

maksud yang sama, dalam arti, sama-sama membicarakan satu topik

masalah dan menyusunnya berdasar kronologi serta sebab turunnya

ayat-ayat tersebut. Kemudian penafsir mulai memberikan keterangan

dan penjelasan serta mengambil kesimpulan. Secara khusus, penafsir

melakukan studi tafsirnya ini dengan metode maudhu’i, dimana ia

melihat ayat-ayat tersebut dari seluruh seginya, dan melakukan analisis

berdasar ilmu yang benar, yang digunakan oleh pembahas untuk

menjelaskan pokok permasalahan, sehingga ia dapat memahami

permasalahan tersebut dengan mudah dan betul-betul menguasainya,

sehingga memungkinkan baginya untuk memahami maksud yang

terdalam dan dapat menolak segala kritik.29

b. Cara kerja tafsir maudhu’i

Al-Farmawi di dalam kitab al-Bidayah fi al-Tafsir al-

maudhu’i30 secara rinci mengemukakan cara kerja yang harus

ditempuh dalam menyusun suatu karya tafsir berdasarkan metode ini.

Antara lain adalah sebagai berikut:

Memilih atau menetapkan masalah Al-Qur’an yang akan dikaji

secara maudhu’iy (tematik).

Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan

masalah yang telah ditetapkan, ayat Makiyyah dan Madaniyyah.

Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi

masa turunnya, disertai pengetahuan mengenai latar belakang

turunnya ayat atau asbab al-nuzul.

Mengetahui korelasi (munasabah) ayat-ayat tersebut di dalam

masing-masing suratnya.

Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas,

sistematis, sempurna dan utuh (outline).

29 Abdl Al-Hayy Al-Farmawi. Ibid., 36-37.

30 Ibid., 45-46.

Page 18: METODE TAFSIR AL-QUR’AN

Melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadits, bila

dipandang perlu, sehingga pembahasan menjadi semakin sempurna

dan semakin jelas.

Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh

dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian

serupa, mengkompromikan antara pengertian ‘am dan khash,

antara yang muthlaq dan yang muqayyad, mengsingkronkan ayat-

ayat yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan ayat nasikh

dan mansukh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu

muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan

terhadap sebagian ayat kepada makna yang kurang tepat.31

Menyusun kesimpulan yang menggambarkan jawaban al-

Qur’an terhadap masalah yang dibahas.32

c. Bentuk kajian Tafsir Maudhu’iy

Disini tafsir maudhu’iy mempunyai dua bentuk, yaitu:

1) Tafsir yang membahas satu surat secara menyeluruh dan

utuh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan

khusus, menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang

dikandungnya, sehingga surat itu tampak dalam bentuknya yang

betul-betul utuh dan cermat.

Menurut Quraish Shihab, biasanya kandungan pesan suatu

surah diisyaratkan oleh nama surah tersebut, selama nama tersebut

bersumber dari informasi Rasulullah saw. Ia mencontohkan surah

al-Kahfi, yang secara harfiah berarti gua. Gua itu dijadikan tempat

berlindung oleh sekelompok pemuda untuk menghindar dari

kekejaman penguasa zamannya. Dari ayat tersebut dapat diketahui

bahwa surah itu dapat memberi perlindungan bagi yang

menghayati dan mengamalkan pesan-pesannya. Itulah pesan umum

surah tersebut. Ayat atau kelompok ayat yang terdapat di dalam

surah itu kemudian diupayakan untuk dikaitkan dengan makna

perlindungan itu.

31 Alf tih Suryadilaga, ibid., 48.32 Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (tt: Tafakur, tt), 116.

Page 19: METODE TAFSIR AL-QUR’AN

Tafsir maudhu’iy dalam bentuk pertama ini sebenarnya sudah

lama dirintis oleh ulama-ulama tafsir periode klasik, seperti Fakhr

al-Din al-Razi. Namun, pada masa belakangan beberapa ulama

tafsir lebih menekuninya secara serius.

2) Tafsir yang menghimpun sejumlah ayat dari berbagai

surat yang sama-sama membicarakan satu masalah tertentu; ayat-

ayat tersebut disusun sedemikian rupa dan diletakkan di bawah

satu tema bahasan, dan selanjutnya ditafsirkan secara maudhu’iy.

Bentuk kedua inilah yang lazim terbayang di benak kita

ketika mendengar istilah Tafsir maudhu’iy itu diucapkan.

Upaya mengaitkan antara satu ayat dengan ayat yang lainnya

itu pada akhirnya akan mengantarkan mufassir kepada kesimpulan

yang menyeluruh tentang masalah tertentu menurut pandangan al-

Qur’an. Bahkan melalui metode ini, mufassir dapat mengajukan

pertanyaan-pertanyaan yang terlintas di dalam benaknya dan

menjadikannya sebagai tema-tema yang akan dibahas dengan

tujuan menemukan pandangan Al-Qur’an mengenai hal tersebut.

Contoh: ayat-ayat khusus mengenai harta anak yatim terdapat pada

ayat-ayat di bawah ini:

“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa”. (al-An’am:152).

“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk”.(Surat an-Nisa’:2)Dan surat An-nisa’:6, 10 dan ayat 127.

d. Kitab-kitab Tafsir yang menggunakan metode maudhu’iy

Sebagian kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode

maudhu’iy ini adalah: al-mar’ah fi al-Qur’an dan al-Insan fi al-

Qur’an al-Karim karya Abbas Mahmud al-Aqqad; al-Riba fi al-

Qur’an al-Karim karya Abu al-‘A’la al-Maududi; al-Wasyaya al-‘Asyr

Page 20: METODE TAFSIR AL-QUR’AN

karya Syaikh Mahmud Syaltut; Tema-tema Pokok al-Qur’an karya

Fazlur Rahman; dan Wawasan al-Qur’an Tafsir maudhu’i atas

perbagai Persoalan umat karya M.Quraish Shihab.33

e. Kelebihan dan kekurangan metode Maudhu’iy

1) Kelebihan metode maudhu’iy

Hasil tafsir maudhu’iy memberikan pemecahan terhadap

permasalahan-permasalahan hidup praktis, sekaligus

memberikan jawaban terhadap tuduhan/dugaan sementara

orang bahwa al-Qur’an hanya mengandung teori-teori

spekulatif tanpa menyentuh kehidupan nyata.

Sebagai jawaban terhadap tuntutan kehidupan yang selalu

berobah dan berkembang, menumbuhkan rasa kebanggaan

terhadap al-Qur’an.

Studi terhadap ayat-ayat terkumpul dalam satu topik tertentu

juga merupakan jalan terbaik dalam merasakan fasahat dan

balaghah al-Qur’an.

Kemungkinan untuk mengetahui satu permasalahan secara

lebih mendalam dan lebih terbuka.

Tafsir maudhu’iy lebih tuntas dalam membahas masalah.

2) Kekurangan metode Maudhu’iy

Mungkin melibatkan pikiran dalam penafsiran terlalu dalam.

Tidak menafsirkan segala aspek yang dikandung satu ayat, tapi

hanya salah satu aspek yang menjadi topik pembahasan saja.

f. Urgensi metode maudhu’iy

Didepan telah penulis singgung bahwa tafsir dengan metode

maudhu’iy lebih dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan

kehidupan di muka bumi ini. Itu berarti, metode ini besar sekali artinya

dalam kehidupan umat agar mereka dapat terbimbing ke jalan yang

benar sesuai dengan maksud diturunkannya Al-Qur’an.

Berangkat dari pemikiran yang demikian, maka kedudukan

metode ini menjadi semakin kuat di dalam khazanah intelektual Islam.

33 Quraish Shihab dkk, Sejarah dan ‘Ulum al-Qur’an, 194.

Page 21: METODE TAFSIR AL-QUR’AN

Oleh karenanya metode ini perlu dimiliki oleh para ulama, khususnya

oleh para mufassir atau calon mufassir agar mereka dapat memberikan

kontribusi menuntun kehidupan di muka bumi ini ke jalan yang benar

demi meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

PENUTUP

Melihat kenyataan diatas, setiap metode mempunyai efektifitas masing-

masing. Dan karena al-Qur’an merupakan kitab untuk semua bangsa serta semua

tingkatan, maka kajian terhadap al-Qur’an perlu dilakukan dengan sangat hati-hati

dan proporsional.

Bahwa al-Qur’an berfungsi sebagai sumber pengetahuan dan petunjuk.

Agar fungsi ideal itu dapat teraplikasikan maka al-Qur’an harus dipelajari dan

diupayakan penafsirannya. Untuk kebutuhan penafsiran dimaksud diperlukan

adanya kerangka dasar yang relevan yaitu sebuah metode. Jadi, keberadaan

sebuah metode dalam penafsiran mutlak diperlukan. Dan yang paling populer dari

keempat metode penafsiran yang penulis sebutkan di muka adalah metode tahlily

yang bersifat parsial dan metode maudhu’iy yang bersifat integral.

Adalah suatu kenyataan bahwa tafsir al-Qur’an ditulis dengan metode dan

pendekatan yang bervarian. Ini suatu bukti dari kesungguhan para ulama untuk

Page 22: METODE TAFSIR AL-QUR’AN

terus berusaha memahami al-Qur’an dari berbagai aspek dan kemampuan yang

dimiliki. Dan ini belum final, karena usaha untuk lebih menyempurnakan metode

dan pendekatan tafsir terus dilakukan hingga sekarang, sehingga perlu disambut

dengan cukup setiap upaya untuk terus meningkatkan pemahaman terhadap al-

Qur’an

Tidak bisa dipungkiri bahwa tiap-tiap metode yang digunakan mufassir

masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Oleh karena itu upaya

untuk terus mencari alternatif metode tafsir dengan banyak belajar dari metode-

metode dan pendekatan-pendekatan tafsir yang sudah ada dan merupakan warisan

yang tak ternilai.

Untuk itu perlu dicari metode alternatif yang kiranya memiliki relevansi

dengan zaman sekarang, dan menjadikannya menyentuh pada realitas kehidupan.

Kita semua berkewajiban melihat al-Qur’an dan salah satu bentuk

pemeliharaannya adalah memfungsikan dalam kehidupan kontemporer, yakni

dengan memberinya interpretasi yang sesuai tanpa mengorbankan teks sekaligus

tanpa mengorbankan kepribadian, budaya bangsa dengan perkembangan

positifnya.

DAFTAR PUSTAKA

Agil Husin Al-munawar, Said, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Press, 2002.

Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, tt: Tafakur, tt.

Al-Farmawi, Abdul Hayy, Metode Tafsir Maudhu’i Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.

Arif Junaidi, Akhmad, Pembaharuan Metodologi Tafsir Al-Qur’an (Studi Atas Pemikiran Tafsir Kontekstual Fazlur Rahman), Semarang: CV. Gunung Jati, 2000.

As-Shalih, Subhi , Membahas ilmu-ilmu al-Qur’an, Jakarta:Pustaka Firdaus, 1995.

As-Shouwy, Ahmad, Mukjizat Al-Qur’an dan Sunnah Tentang IPTEK, Jakarta: Gema Insani Preass, 1995.

Page 23: METODE TAFSIR AL-QUR’AN

Baidan, Nashruddin Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2005.

_______, Metode Penafsiran Al-Qur’an Kajian Kritis Terhadap Ayat-ayat yang beredaksi mirip, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Buchori,Didin Saefuddin Pedoman Memahami Kandungan Al-Qur’an, Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005.

Khalil al-Qattan, Manna’, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Jakarta: Litera AntarNusa, 1996.

Rahardjo, Dawam, Paradigma Al-Qur’an Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial, Jakarta: Pusat Studi Agama Dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah, 2005.

Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Bndung: Mizan, 1999.

---------, Sejarah Dan ‘Ulum Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.

Shihab, Umar, Kontekstualitas Al-Qur’an Kajian Tematik atas Ayat-ayat Hukum Dalam Al-Qur’an, Jakarta: Penamadani, 2005.

Supiana dan M. Karman, Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir, Bandung: Pustaka Islamika, 2002.

Suryadilaga, Alfatih, dkk., Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2005.

Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir Dan Aplikasi Model Penafsiran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Watt, W. Montgomery, Pengantar Studi Al-Qur’an, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.