Al qur’an dan tafsir
-
Upload
nur-alfiyatur-rochmah -
Category
Education
-
view
370 -
download
8
description
Transcript of Al qur’an dan tafsir
BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an, dalam tradisi pemikiran Islam, telah melahirkan sederetan teks
turunan yang sedemikian luas dan mengagumkan. Teks-teks turunan itu merupakan
teks kedua – bila Al-Qur’an dipandang sebagai teks pertama – yang menjadi
pengungkap dan penjelas maka-makna yang terkandung di dalamnya. Teks kedua ini
lalu dikenal sebagai literatur tafsir Al-Qur’an ; ditulis oleh para ulama dengan
kecenderungan dan karakteristik masing-masing, dalam berjilid-jilid kitab tafsir.1
Usaha-usaha pemahaman atas teks Al-Qur’an yang melahirkan beragam
karya tafsir tersebut telah menjadi fenomena umum di kalangan umat Islam. Prinsip
dasar yang digunakan adalah : Al-Qur’an sebagai Kitab petunjuk yang di dalamnya
termuat manhaj-manhaj rabbany yang maha paripurna. Keragaman literatur tafsir
yang terus berkembang dan beragam terjadi karena teks Al-Qur’an merupakan
sistem tanda (a system of signs).2 Ia memiliki makna yang beragam dikarenakan
adanya proses pemaknaan seperti tafsir (exegesis) dan takwil (interpretation, ). Dari
proses pemaknaan ini, terlahirlah sebuah peradaban yang paling revolusioner.
Nasr Hamid Abu Zaid dalam bukunya Mafhum al-Nash: Dirasah fi Ulumil
Qur’an, menyebutkan bahwa peradaban Islam adalah peradaban teks. Artinya,
fundamen intelektual dan kultural umat Islam tidak mungkin mengabaikan
sentralitas posisi teks Al-Qur’an dalam dialektikanya dengan realitas. Hal ini
memang diperintahkan Al-Qur’an yang berkali-kali menyuruh kita untuk mendalami
1 Prof. Dr. H Amin Abdullah, Arah Baru Metode Penelitian Tafsir di Indonesia, dalam pengantar Khazanah Tafsir Indonesia, hlm.172 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, (Jakarta, Teraju, 2002), hlm.28
1
kandungan ayat-ayat Al-Qur’an, seperti dalam firman Allah yang artinya :
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka
terkunci.” ( QS. Muhammad : 24 )
Sampai di sini, setidaknya ada satu tanda tanya besar yang menggelitik kita.
Bagaimana cara kita mengungkap kandungan Al-Qur’an dengan baik dan benar ?
untuk menanggulanginya, dibuatlah suatu rambu-rambu dan prosedur dalam
memaknai Al-Qur’an, yaitu Ulumul Qur’an yang dipandang para Ulama sebagai
ilmu bantu bagi para mufassir Al-Qur’an. Wawasan sekitar Al-Qur’an di berikan
oleh Ulumul Qur’an yang membahas tentang seluk beluk Al-Qur’an. Ulumul Qur’an
memadukan seluruh pembahasan sistematis yang berhubungan dengan Al-Qur’an.
Al-Qur’an adalah sumber ilmu yang cahayanya memancar ke segala penjuru.
Dalam kerangka pluralitas makna Al-Qur’an, Abdullah Ad-Darraz dalam bukunya
al-Naba’ al-‘Azhim ( Kabar Besar ) membuat suatu pernyataan yang menarik, ” ( Al-
Quran ) itu intan, setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan yang
terpancar dari sudutnya yang lain. Tidak mustahil bila anda mempersiakan orang lain
untuk memandangnya, ia akan melihat lebih banyak dari yang anda lihat. “
2
BAB II
Deskripsi
A. Al-Qur’an dan Tafsir
Al-Qur’an dan Tafsir laksana dua sejoli yang takkan pernah terpisahkan,
dikarenakan korelasi yang amat kuat diantara keduanya. Jika salah satunya
dipisahkan dari yang lainnya, maka akan terjadi kepincangan. Keduanya bersifat
komplementer, jika Al-Qur’an adalah buku maka Tafsir adalah pensilnya.
Secara definitif, banyak sekali Ulama yang merumuskan ta’rif Al-Qur’an,
diantaranya, menurut Dr. Subhi as-Shalih dalam bukunya Mabahits fi Ulumil
Qur’an, secara leksikal, Al-Qur’an merupakan bentuk mashdar dari fi’il madli qa-
ra-a yang bermakna tala (membaca) diambil orang-orang Arab dari bahasa Aramia
dan digunakannya dalam percakapan sehari-hari. Kata Qur’an bersinonim dengan
kata qira’ah yang berarti al-maqru’ ( bacaan ).3 Secara terminologis, dengan
mengutip pendapat Imam Ali As-Shabuni, Al-Qur’an adalah kalam Allah yang
mengandung mukjizat, yang diturunkan kepada penutup para nabi dan rasul, dengan
perantara malaikat Jibril a.s. yang tertulis pada mashaaif.4 Diriwayatkan kepada kita
secara mutawatir, bernilai ibadah jika dibaca. Diawali dengan surat Al-Fatihah dan
ditutup dengan surat An-Nas.5
Dalam tradisi studi teks Al-Qur’an, Tafsir merupakan salah satu kontributor
yang paling besar peranannya. Dalam Lisanul ‘Arab, disebutkan bahwa kata Tafsir
berasal dari kata al-fusru yang berarti al-bayan (menjelaskan) atau kasyful
3 Dr. Subhi ash-Shalih, membahas ilmu-ilmu al-Qur’an, terjemah Nur Rakhim, dkk. (Jakarta, Pustaka Firdaus,1993), hlm.64 Mashaaif artinya buku atau lembaran-lembaran, dalam pengertian Al-Qur’an yang telah dikodifikasikan.5 Ali As-Shabuni, At-Tibyan fi Ulumil Qur’an, (Jakarta, Dar Ihya Kutub al-Arabiyyah, 1985), hlm.8
3
mughaththa (menyingkap sesuatu yang tersembunyi).6 Sedangkan menurut
terminologis mufassirun, kata tafsir selalu dibandingkan dengan takwil, di kalangan
mereka telah terjadi perbedaan pengertian antara terma tafsir dan takwil, yang
pertama biasanya diterjemahkan menjadi penjelasan (exegesis) atau komentar
(commentary), dan yang kedua diterjemahkan menjadi interpretasi. Sebagian ada
yang memandang bahwa tidak ada perbedaan antara keduanya.
Sederhananya, tafsir menjelaskan “yang luar” dari Al-Qur’an, sedangkan
takwil menjelaskan hal-hal yang tersembunyi dari Al-Qur’an. Artinya peran penafsir
dalam penafsiran Al-Qur’an hanya dalam kerangka menangkap signal-signal.
Sedangkan dalam takwil, interpreter lebih dari sekedar menerapkan dua bidang ilmu
yang dipergunakan dalam tafsir di atas. Takwil dalam pengertiannya yang lebih baru
takwil menggunakan perangkat keimuan lain dalam ilmu-ilmu sosial dan
kemanusiaan untuk menguak makna teks yang lebih dalam. Hanya saja dalam tradisi
khazanah literatur Islam, istilah takwil dalam disiplin keilmuan Al-Qur’an ini jarang
dipakai dan terlanjur cenderung dibebani makna-makna yang negatif. Itulah
sebabnya masyarakat muslim lebih akrab menyebutnya “ kitab tafsir Al-Qur’an “
daripada “ kitab Takwil Al-Qur’an ”7.
Tidak diragukan lagi bahwa sejarah tafsir Al-Qur’an berlangsung melalui
berbagai tahap dan kurun waktu yang panjang sehingga mencapai bentuknya seperti
sekarang ini. Pertumbuhan tafsir Al-Qur’an dimulai sejak dini yaitu sejak zaman
Nabi Muhammad SAW sebagai figur sentral dalam menafsirkan Al-Qur’an. Jika
para sahabat mengalami ketidakjelasan dalam memahami suatu ayat, mereka
langsung bertanya kepada Rasulullah SAW. Seperti hadits riwayat Bukhari-Muslim
dari Ibnu Mas’ud, yang menyatakan : “ketika turunnya surat al-an’am ayat 82, yang 6 Muhammad Husain ad-Dzahby, at-Tafsir wal Mufassirun, (Kairo, Dar el-Hadits, 2005), hlm.177 Khazanah Tafsir Indonesia, hlm.18
4
menyatakan, “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukan iman
mereka dengan kezaliman”, banyak orang yang merasa resah. Lalu mereka bertanya
kepada Rasulullah SAW : “Ya Rasulullah, siapakah diantara kita yang tidak berbuat
kezaliman terhadap dirinya ? “ Nabi menjawab : “Kezaliman di sini bukan seperti
yang kamu pahami. Tidakkah kamu pernah mendengar apa yang dikatakan oleh
seorang hamba Allah yang saleh sesungguhnya kemusyrikan adalah kezaliman yang
besar (Luqman : 13), jadi maksud kezaliman di sini ialah kemusyrikan.
Dari hadits tersebut, nampaklah betapa urgennya tafsir Al-Qur’an. Setelah
Rasulullah wafat, para sahabat terus berusaha seoptimal mungkin menjelaskan
makna-makna Al-Qur’an sesuai dengan kemampuan masing-masing, diantara
mufassir yang terkenal dari kalangan sahabat adalah empat khalifah, Ibnu Mas’ud,
Ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit, dll. Kemudian tradisi ini terus dilanjutkan oleh murid-
murid mereka yakni para tabi’in. Setelah mereka menyadari urgensi tafsir Al-Qur’an,
maka berkembanglah sebuah disiplin ilmu baru yang secara spesifik membahas
prosedur-prosedur dalam menafsirkan Al-Qur’an yaitu Ulumul Qur’an.
Definisi Ulumul Qur’an ialah: “ Pembahasan yang berhubungan dengan Al-
Qur’an al-Majid yang abadi dari segi nuzulnya, pengumpulannya, urutannya, dan
pembukuannya. Mengetahui asbabun nuzul, klasifikasi makiyyah dan madaniyyah,
nasikh-mansukh, muhkam mutasyatabih, dan pembahasan lainnya yang berhubungan
dengan Al-Qur’an8. Faidah kita mempelajari Ulumul Qur’an ialah supaya kita
mempunyai senjata yang ampuh yang dapat kita pergunakan untuk membela
kesucian Al-Qur’an dan supaya kita mudah mendalami tafsir Al-Qur’an.
B. Ruang Lingkup Ulumul Qur’an dan Relevansinya Dengan Tafsir
8 At-Tibyan hlm.8
5
Pembicaraan tentang ruang lingkup Ulumul Qur’an setidaknya dapat ditinjau
dari segi idhafy dan istilahiynya. Dari segi idhafy, ruang lingkup Ulumul Qur’an
adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan Al-Qur’an, apapun itu. Maka segala
sesuatu yang ada hubungannya dengan Al-Qur’an termasuk ke dalam wilayah
operasi Ulumul Qur’an. Sebagian ahli bahasa mengatakan bahwa istilah Ulumul
Qur’an dengan arti lengkap baru lahir setelah disusun kitab setebal 30 jilid yang
bernama Al-Burhan fi Ulumil Qur’an, oleh Al-Hufiy. Di dalamnya diterangkan
tentang lafadz-lafadz yang gharib, i’rab, dan tafsir. Ditinjau dari segi Isthilahy, yang
kita golongkan ke dalam ruang lingkup Ulumul Qur’an adalah ilmu-ilmu Arabiyah
yang terkait dengan keperluan untuk membahas Al-Qur’an9.
Pada dasarnya maudlu’ Ulumul Qur’an ialah Al-Qur’an sendiri dari segi
penjelasan dan maknanya, hanya saja Ulumul Qur’an jika ditinjau dengan bi’tibaril
‘Ilmi ( Perspektif Ilmu ) dan bi’tibaaril ‘Amali ( Perspektif Aplikasi ) jelas akan
terjadi perbedaan wilayah operasi. Ulumul Qur’an dengan perspektif yang kedua
mempunyai ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan dengan yang pertama.
Proses dialektika Ulumul Qur’an bi’tibaaril ‘Amali lebih luas dan mendalam. Jika
Ulumul Qur’an perspektif pertama lebih terfokus pada teks (dalam pengertiannya
yang tradisional ), maka yang kedua lebih jauh dan mendalam dengan mencoba
masuk ke wilayah kontekstualisasi, yang tentunya dengan proses interaksi teks dan
dialektika relitas yang lebih mendalam.
Ulumul Qur’an adalah prosedur-prosedur dan aturan main dalam meramu Al-
Qur’an. Dalam hal ini Ulumul Qur’an merupakan sesuatu yang wajib dimiliki setiap
mufassir Qur’an agar tidak sembarangan dalam menfsirkan Al-Qur’an. Karena kitab-
kitab tasir yang ada sekarang ialah suatu produksi yang dihasilkan dari interaksi
9 TM Hasbi as-Shiddieqy. Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Semarang, Pustaka Rizki Putra, 2010 ) hlm.1
6
pengarang (author) dengan teks Al-qur’an dengan berpedoman pada aturan main
tafsir Qur’an yaitu Ulumul Qur’an sendiri. Maka Ulumul Qur’an merupakan hal
yang paling urgen dalam tradisi tafsir Qur’an.
Ulumul Qur’an sendiri dirancang para Ulama untuk mencegah penafsiran
ilegal yang ngawur dan tidak sesuai ajaran Rasulullah. Sebagaimana dipaparkan oleh
Dr. Muhammad Husain Ad-Dzahbi, bahwa Sepeninggal Rasulullah s.a.w, munculah
segolongan orang yang mencoba menceraiberaikan umat Islam, membuat bid’ah-
bid’ah dalam agama, yang hanya bisa diatasi dengan “ar-ruju’ ila kitabillah wa as-
sunnati rasulihi ” . Mereka mengabaikan Hidayah Al-Qur’an dan menafsirkan Al-
Qur’an sembarangan tidak sesuai dengan ajaran Rasulullah. Di samping itu muncul
pula golongan lain yang di lisan mereka mengaku orang islam tetapi dengan hati
yang memuja kekufuran, yakni para zanadiq. Kemudian mereka menyebarkan tafsir-
tafsir palsu yang di dalamnya terdapat doktrin-doktrin kekufuran yang dengan
mudah dapat mendoktrin orang-orang awam yang dangkal pemahamannya. Melihat
fenomena ini, para Ulama mulai menyusun langkah kongkrit untuk melenyapkan
syubhat-syubhat ini. Mereka berjuang seoptimal mungkin dengan mengerahkan
seluruh kemampuannya demi menjaga kemurnian kitab suci.Akhirnya, melalui para
ulama, Allah menyelamatkan kaum musimin dari malapetaka itu. Allah menjaga
kaum muslimin melalui para ulama dari kemudaratan.10 Hal inilah kiranya yang
melatarbelakangi penyusunan Ulumul Qur’an. Maka jelaslah bahwa relevansi
Keduanya sangatlah erat.
C. Pertumbuhan Dan Perkembangan Ulmul Qur’an
10 Muhammad Husain ad-Dzahby, at-Tafsir wal Mufassirun, (Kairo, Dar el-Hadits, 2005), hlm 11-12.
7
1. Masa Sebelum Kodifikasi
Pertumbuhan Ulumul Qur’an sendiri dimulai sejak masa Rasulullah. Ketika
itu Rasulullah berperan sebagai figur sentral dalam rujukan setiap permasalahan.
Hanya saja Ulumul Qur’an pada saat itu belum ditampilkan secara definitif. Para
sahabat Nabi adalah orang orang arab murni yang mampu memahami kesusastraan
bermutu tinggi. Mereka mampu memahami ayat-ayat Qur’an yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad. Al-Qur’an adalah kitab yang mengandung mukjizat dari
berbagai aspek termasuk aspek sastranya. Hal ini dibuktikan oleh orang-orang arab
yang ditantang untuk menandingi Al-Qur’an, dimulai dari tantangan untuk membuat
serupa Al-Qur’an, kemudian sepuluh surat seperti surat Al-Qur’an, dan yang terakhir
untuk membuat satu surat seperti A-Qur’an, dan tak ada satu pun dari mereka yang
mampu melakukannya, mereka semua menyerah kalah.
Jika para sahabat menemukan kesukaran dalam memahami Al-Qur’an,
mereka langsung bertanya kepada Rasulullah. Maka pada zaman Rasulullah dan
Sahabat, tidak ada kebutuhan sama sekali untuk menulis buku tentang ilmu Al-
Qur’an. Terlebih mayoritas sahabat Nabi terdiri dari orang-orang yang buta huruf,
alat-alat tulis pun tak mereka peroleh dengan mudah. Selain itu Rasulullah sendiri
melarang para sahabat menulis sesuatu yang bukan Al-Qur’an. Pada masa Rasulullah
sampai kepada masa kekhalifahan Abu Bakar ra dan ‘Umar ra, ilmu Al-Qur’an
masih diriwayatkan melalui penuturan secara lisan dari mulut ke mulut (talqin dan
musyafahah). 11
2. Masa Persiapan Kodifikasi
11 TM Hasbi as-Shiddieqy. Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, hlm 4.
8
Pada masa Utsman ra di mana orang Arab khususnya orang yang turut serta
dalam ekspansi wilayah, mereka mulai berasimilasi dengan orang non-Arab, beliau
memerintahkan supaya kaum muslimin berpegang pada mushaf Al-Imam dan
membuat reproduksi mushaf untuk dikirim ke beberapa provinsi, inilah yang akan
menjadi cikal bakal Ilmu Rasmil Qur’an.12 Selain itu Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib
kw. juga terkenal dengan perintahnya kepada Abu Aswad Ad-Dualy untuk
meletakan kaidah pramasastra arab guna menjaga corak keasliannya. Dengan
perintahnya itu, berarti pula Ali bin Abi Thalib ra adalah orang yang meletakkan
dasar ilmu I’rabul Quran. Dapatlah dikatakan, para perintis ilmu tersebut ialah :
1. Empat orang khalifah Rasyidin, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit,
Ubai bin Ka’ab, Abu Musa al-Asy-ari dan Abdullah bin Zubair. Mereka dari
kalangan sahabat nabi.
2. Mujahid, ‘Atha’ bin Yasar, Ikrimah, Qatadah, Hasan Basri, Said bin Jubair,
dan Zaid bin Aslam dari kaum Tabi’in di Madinah
3. Malik bin Anas dari kaum Tabi’it-tabi’in (generasi ketiga kaum muslimin). Ia
memperoleh ilmunya dari Zaid bin Aslam.
Mereka itulah orang-orang yang meletakkan apa yang sekarang kita kenal dengan
ilmu tafsir, ilmu asbabun-nuzul, ilmu tentang ayat-ayat yang turun di Mekkah dan
yang turun di Madinah, ilmu tentang nasikh dan mansukh dan ilmu gharibul quran.
(soal-soal yang memerlukan penta’wilan dan penggalian maknanya).13
3. Masa Kodifikasi Al-Qur’an
12 Ilmu yang mempelajari tentang penulisan Al-Qur’an13 Dr. Subhi ash-Shalih, membahas ilmu-ilmu al-Qur’an, hlm. 157
9
Pada masa kodifikasi al-qur’an, ilmu tafsir berada di atas segala ilmu yang
lain, karena dia dipandang sebagai induk ilmu al-qur’an. Di antara orang-orang yang
sibuk menekuni dan menulis buku mengenai bidang ilmu tersebut adalah:
Dari kalangan ulama abad ke-II H: Syu’bah bin al-Hajjaj14, Sufyan bin
Uyaimah15, dan Waki’ bin Jarrah16. Kajian mereka memuat pendapat pendapat
sahabat dan tabi’in. Kemudian muncul pada zaman berikutnya Ibnu Jarir at-Tabary
menyusun kitab tafsir at-Thabary merupakan terbaik dan bermutu karena berisi
banyak riwayat hadis shahih ditulis dengan rumusan yang baik. Selain itu juga berisi
I’rab, pengkajian dan pendapat-pendapat yang berharga.17
Adapun ilmu-ilmu al-Quran yang lain, maka termasuk tokoh yang
mempeloporinya adalah:
1. Pada abad ke-3 H: Ali bin al-Madaniy18 (wafat 234 H), guru imam Bukhari
yang menyusun kitab asbabun-nuzul, Abu ‘Ubaid al-Qasim yang menyusun
nasikh dan mansukh.
2. Pada abad ke-4 H: Abu Bakar bin Qasim al-Anbari (wafat 328 H) menulis
buku yang berjudul ‘Ajaibul ‘Ulumul Qur’an. Abu Hasan al-‘Asy’ary
menulis kitab berjudul al-Mukhtazan fi ‘Ulumuil Qur’an. Abu Bakar as-
Sijistani menulis tentang keanehan-keanehan al-Qur’an19
14 Imam ahli hadis terkemuka di Basrah. Nama lengkapnya: Syu’bah bin Al Hajjaj bin al-Ward al- ‘Atik al- Azzdi Al-Wasiti. Ia mengalami hidupnya Anas bin Malik ra. dan mendengarkan pemikiran 400 orang dari kaum tabi’in. di kalangan imam ilmu Hadis dia dipandang sebagai hujjah. Wafat tahun 160 H.15 Seorang ahli tafsir dan hadis di Hijaz. Nama lengkapnya: Sufyan bin ‘Uyainah al-Hilay al-Kufi. Wafat tahun 198 H.16 Nama panggilannya: Abu Sufyan ar-Ruwasi al-Kufi, dari Qeis ‘Ailan. Dia mendengar pendapat-pendapat Ibn Jarij, al-A’masyi, al-Auza’I, dan Sufyan ats-Tsaury. Lahir 128 H dan wafat tahun 197 H. Ahmad bin Hambal dan Yahya bin Mu’in mengatakan:”Orang yang terpecaya di Iraq adalah Waki”.17Dr. Subhi ash-Shalih, membahas ilmu-ilmu al-Qur’an, hlm. 157-15818 Ia adalah ‘Ali bin Abdullah bin Ja’far, seorang dari kabilah Sa’ad berdasarkan wala (perwalian)19 Muhammad bin ‘Aziz bin al-Azizi as-Sijistani. Dalam al-Itqan ,Sayuti mengatakan:” Ia menulis kitabnya selama 15 tahun bersama gurunya, Abu Bakar al-Anbary”.
10
3. Pada abad ke-5 H: ‘Ali bin Ibrahim bin Sa’id al-Hufi20 menulis kitab yang
berjudul al-Burhan Fi ‘Ulumil Qur’an dan I’rabul Qur’an. Abu ‘Amr Ad-
Dani (wafat 444 H) menulis kitab berjudul at-Taisir Fi Qira’atis Sab’i Dan
Al-Muhkam Fi Nuqath.
4. Dalam abad ke-6 H: Abu Qasim ‘Abdurrahman yang lebih dikenal denagan
as-Suhaili21 menulis kitab yang tentang soal yang samar-samar di dalam al-
Qur’an.
5. Pada abad ke-7 H: Ibnu ‘Abdus Salam22 menulis kitab tentang majazul
qur’an. ‘Ilmuddin as-Sakhawi23 menulis kitab tentang qira’at.24
Sebahagian penelitian sejarah al-Qur’an, istilah ‘Ulumul Qur’an - dalam arti
keseluruhan- baru muncul sebagian kenyataan yang jelas setelah munculnya
kitab berjudul al-Burhan Fi Ulimil-Qur’an tulisan ‘Ali bin Ibrahim bin Sa’id
yang terkenal dengan al-Hufi (wafat 430 H), terdiri dari 30 jilid.
Kemudian tibalah abad VI H. Pada masa itu, Ibnul-Jauzy (wafat 597 H)
menyusun dua kitab yang berjudul Funun Al-Fanan Fi Ulum Al-Qur’an dan
Al-Mujtaba Fi Ulum Tata’allaqu Bi Al-Qur’an. Keduanya masih berbentuk
manuskrip dan terdapat di Dar Al-Kutub Al-Mishriyyah, Kairo.
Pada abad VII H, ‘Ilmuddin as-Sakhawi (wafat 794 H) menulis kitab
berjudul Jamalul-Qurra Wa Kamalul-Iqra’,25dan Abu Syamah (wafat 665 H)
menulis kitsb al-Mursyidul-Wajizfi Ma Yata’allaqu bil-Qur’anil ‘Aziz.
20 Penulis kitab al-Burhan fi ‘Ulumil-Qur’an dan kitab I’rabul Qur’an. Wafat 430 H.21 Ia adalah ‘Abdurrahman bin ‘Abdullah bin Ahmad as-Suhail, nama panggilannya: Abul Qasim. Wafat di Marakesh pada tahun 581 H. Kitabnya berjudul Mubhamatul-Qur’an.22 Ia adalah Syaikul Islam Imam Abu Muhammad bin ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdus Salam. Wafat 660 H.23Ia adalah ‘Ali Muhammad bin ‘Abdus Samad , wafat 643 H. Kitabnya mengenai qira’at teratur baik dan terkenal dengan nama As-Sakhawiyah. Judul yang sebenarnya adalah Hidayatul Murtab Fi Mutasyabih.24 DR. Subhi ash-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, h.158-16025 Kitab ini mencakup berbagai bidang ilmu Qira’at, seperti: tajwid,waqaf dan ibtida’ dan nasikh wal mansukh.
11
Pada abad VIII H Badruddin az-Zarkasyi (wafat 794 H) menulis al-Burhan
Fi ‘Ulumil Qur’an.
Pada abad IX H lebih banyak lagi yang menulis buku-buku tentang ulumul
qur’an. Jamaluddin al-Bulqaini26 menulis Mawaqi’ul ‘Ulum Min
Mawaaqi’un-Nujum. Muhammad bin Sulaiman al-Kafiyaji (wafat 879 H),
kemudian as-Suyuti (wafat 911 H) menulis at-Tahbir Fi ‘Ulumit Tafsir dan
al-Itqan Fi ‘Ulumil Qur’an.27
4. Ulumul Qur’an pada Abad Kontemporer
Pada abad kontemporer ini banyak ulama-ulama yang terus melakukan penyusunan
kitab-kitab ulumul qur’an diantaranya:
a. Al- Marhum Syekh Thahir al-Jazairiy menyusun sebuah karya At-Tibyan Fi
Ulum Al-Qur’an yang terdiri dari kurang lebih 300 lembar yang disusun
pada tahun 1335 H.
b. Al-allamah Al- marhum Syekh Mahmud Abu Daqiqah menyusun sebuah
karya yang berisi peringatan berharga bagi mahasiswa Jurusan Da’wah Wa
Irsyad Fakultas Ushuluddin.
c. Al-allamah Syekh Muhammad Ali Salamah menyusun sebuah kitab untuk
mahasiswa Jurusan Al-Da’wah Wal Irsyad Fakultas Ushuluddin dengan
judul Manhaj Al-Furqan Fi ‘Ulumil Qur’an.
d. Syekh Muhammad Jamaluddin al-Qasimi membuat Mahasinut Ta’wil.
26 Seorang ulama yang cerdas ahli di bidang ushul fiqh, ushuluddin, bahasa arab, tafsir, ma’ani dan bayan. Ia berkali-kali diangkat sebagai Ketua Mahkamah Islam di Mesir hingga wafatnya pada tahun 824 H. (Syadzaratudz-Dzahab,VII) hal. 16627 DR.Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, h. 163
12
e. Syekh Muhammad Abdul Qasim az-Zarqani menulis Manahilul Irfan Fi
‘Ulumil Qur’an.
f. Syekh Thanthawi dengan bukunya yang terkenal al-Jawahir Fi Tafsiril
Qur’anil Karim.
g. Mustafa Shadiq ar-Rafi’ menulis I’jazul Qur’an.
h. Prof. Malik bin Nabi menulis ad-Dahiratul Qur’aniyyah membahas masalah
wahyu.
i. Sayyid Imam Muhammad Rasyid Ridha menulis Tafsirul-Qur’anil-Hakim
yang berisi pembahasan mengenai berbagai ilmu tentang al-qur’an.
j. Doctor Muhammad Abdullah ad-Darraz menulis kitab berjudul An-Naba’ul
‘Adzim, berisi pandangan baru mengenai al-Qur’an.28
D. Urgensi Ulumul Qur’an
Ulumul Qur’an berfungsi sebagai kunci pembuka terhadap penafsiran Al-
Qur’an sesuai dengan maksud apa yang terkandung di dalamnya. Sedangkan
kedudukannya ialah sebagai ilmu pokok yang merupakan alat yang mutlak
28 Dr.subhi as-shalih, membahas ilmu-...., h.163
13
diperlukan bagi setiap mufassir untuk menafsirkan Al-Qur’an. Dengan demikian,
Ulumul Qur’an memang sangat urgen untuk dipelajari, disebabkan keduanya
memiliki relevansi yang sangat erat.
Menafsirkan Al-Qur’an berarti menerangkan ayat-ayatnya secara
komperhensif. Seorang mufassir baru dapat memberikan uraian dan keterangan
sesuai dengan maksud ayat tersebut secara tepat dan dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya, apabila ia telah menguasai Ulumul Qur’an.
Jika dilihat dari segi lain, maka Ulumul Qur’an juga dapat menjadi measure
(tolok ukur) bagi kualitas tafsir Al-Quran. Artinya, semakin dalam seseorang
menguasai Ulumul Qur’an, maka tafsir yang dihasilkannya juga akan lebih
berkualitas. Jargon “ kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah ” kiranya menyulut
perkelahian pemaknaan. Keduanya memang maksum (infallible), tetapi penafsiran
terhadap keduanya tidaklah maksum. Di sini hendaknya kita bisa membedakan
antara yang absolut dan yang relatif. Jika pluralitas pandangan adalah niscaya, maka
perbedaan pemahaman bukanlah sesuatu yang harus disesali. Jargon ini dapat
menjadi multi tafsir dilihat dari perspektif yang berbeda. Memaknai jargon ini
dengan perspektif salafi-wahabi (sawah) akan berbeda dengan perspektif kaum
modernis dan liberalis. Untuk mengukur kredibilitas kedua perspektif ini, Ulumul
Qur’an merupakan salah satu hakim yang akan menentukan validitas keduanya.
BAB III
ANALISIS
14
Sebagai teks kedua, dalam pengertian teks yang dihasilkan dari teks
pertama (Al-Qur’an), literatur tafsir yang menjadi objek kajian ini diposisikan
sebagai produk budaya yang tidak lepas dari proses interaksi dan dialektika
penulisnya dengan dunia sejarah lokalitasnya. Hal ini merupakan salah satu faktor
pendorong akan pergeseran paradigma tafsir dari masa ke masa. Sosio kultural umat
Islam terus berkembang secara revolusioner dalam kondisi yang sangat berbeda
dengan apa yang terjadi di masa Nabi. Oleh karenanya, kontekstualisasi Al-Qur’an
sangat diperlukan.
Menurut Nur Cholis Madjid, Al-Qur’an menunjukan bahwa risalah Islam-
disebabkan universalitasnya-adalah selalu sesuai dengan lingkungan kultural apapun
sebagaimana pada saat turunnya, hal itu telah disesuaikan dengan kepentingan
lingkungan semenanjung Arab. Karena itu Al-Qur’an harus selalu
dikontekstualisasikan dengan lingkungan budaya penganutnya, kapanpun dan
dimanapun.
Persoalan sekarang lebih ditekankan bagaimana cara menyajikan Ulumul
Qur’an dengan lebih proporsional dan kondisional. Dalam tradisi pemikiran Islam,
khususnya di kalangan mufassir klasik telah banyak Ulama yang melakukan
interaksi dengan teks Al-Qur’an secara komprehensif. Dalam konteks analisis teks
persoalannya sekarang lebih ditekankan kepada dialektika Al-Qur’an dengan
realitas. Maka dalam konteks sekarang, kiranya Ulumul Qur’an harus ditempatkan
dengan perspektif aplikasi (bi’tibar al ‘amal) dengan ruang lingkup yang lebih luas
dan mendalam daripada Ulumul Qur’an bi’tibaril ‘ilmi. Langkah ini kiranya telah
memasuki ranah Hermeneutika yang keabsahannya masih kontroversial ( mukhtalaf
fihi ), padahal usaha semacam ini telah dipelopori oleh Ulama-Ulama klasik
15
Wajah Baru Ulumul Qur’an
Sebuah adagium terkenal di kalangan pesantren menyatakan “al-
muhafadzhatu ‘ala al-qadiim as-shaalih, wal akhdzu bi al-jadidil al-ashlahi “
menjaga tradisi lama yang baik dan mengadopsi tradisi baru yang lebih baik.
Beranjak dari pernyataan tersebut, kiranya kita dapat menyajikan Ulumul Qur’an
dengan wajahnya yang baru. Selama 14 abad ilmu ini tetap eksis di dalam wacana
keilmuan Islam, yang menjadi tugas kita sekarang ialah mempercantik kembali ilmu
ini agar tetap bisa mempertahankan eksistensinya di zaman modern ini.
Penafsiran klasik bukanlah produk final dan juga tidak menjadi out of date
dikarenakan perubahan zaman yang revolusioner, kontekstualisasi tafsir telah
dilakukan sebelumnya oleh para mufassir klasik , yang mengkonstruksi tafsirnya
berdasarkan setting waktu dan tempat di mana mereka berada. Maka dalam rangka “
al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlahi “, paradigma Ulumul Qur’an harus selalu di up
date. Persoalan utamanya terletak pada bangunan metode dan pendekatan dalam
menafsirkan teks Al-Qur’an. Mengingat bahwa tafsir Al-Qur’an bersifat temporal
dan relatif, tidak universal dan absolut.
KESIMPULAN
16
Khazanah Ulumul Qur’an sebagai bentuk metodologi untuk menggarap
wilayah penafsiran dan pemaknaan Al-Qur’an harus diakui memiliki tingkat
sostifikasi yang luar biasa.Sifat luar biasa dari khazanah Ulumul Qur’an ini terbukti
dari berlimpahnya karya tafsir dalam berbagai pola, mulai dari tahlili, sampai
maudhu’i dan mulai dari sekedar menafsirkan dengan mencari sinonim kata dan ayat
hingga melakukan takwil secara intuitif dan penafsiran ilmiah.
Ulumul Qur’an merupakan disiplin ilmu yang paling mulia karena dalam
kajiannya berhadapan langsung dengan kitab yang mulia yakni Al-Qur’an. Dari
sinilah muncul disiplin ilmu turunan yang lain, dari sinilah lahir sebuah perdaban
yang paling revolusioner sepanjang masa, yang semuanya bermuara pada satu
sumber yakni Al-Qur’an, dan Ulumul Qur’an bertindak sebagai kunci untuk
membuka keajaiban-keajaibannya.
Kita semua percaya bahwa kitab ini merupaka kitab yang mengandung
mukjizat yang akan senantiasa terjaga hingga akhir masa. Kemukjizatannya yang
tiada batas menembus ruang dan waktu, telah menjadikan kitab ini sebagai kitab
yang up to date sepanjang masa yang tidak akan pernah kadaluarsa. Ulumul Qur’an
ialah suatu alat untuk terus menyingkap kemukjizatan dari kitab yang maha
paripurna ini. Oleh karenanya,Ulumul Qur’an sebagai kunci pembuka harus terus
dirancang untuk dapat menyingkap kemukjizatan kitab ini kapanpun dan di
manapun.
DAFTAR PUSTAKA
17
Ash-shiddieqy, TM Hasbi, Ilmu-ilmu al-Qur’an. Semarang : PT. Pustaka Rizki
Putra. 2010.
As-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Terj. Nur Rakhim, dkk . Jakarta :
Pustaka Firdaus, 1993.
Gusmian, Islah, Khazanah Tafsir Indonesia, Jakarta : Teraju. 2003.
Adz-Dzahaby, Muhammad Husain. At- Tafsir wal Mufassirun. Kairo : Dar el
Hadits.2005.
Ash-Shobuny, Muhammad Ali. At-Tibyan fi ‘Ulumil Qur’an. Jakarta : Dar Ihya
Kutub al ‘Arabiyyah.1985.
18