Distribusi Vertikal Dan Horizontal Meiofauna Di Pantai Wori, Sulawesi Utara Dan Teluk Kuta Lombok,...
-
Upload
anjar-titoyo -
Category
Documents
-
view
378 -
download
0
Transcript of Distribusi Vertikal Dan Horizontal Meiofauna Di Pantai Wori, Sulawesi Utara Dan Teluk Kuta Lombok,...
DISTRIBUSI VERTIKAL DAN HORIZONTAL MEIOFAUNA DI PANTAI WORI, SULAWESI UTARA DAN TELUK KUTA LOMBOK,
NUSA TENGGARA BARAT
SKRIPSI SARJANA SAINS
Oleh
ANJAR TITOYO
FAKULTAS BIOLOGI UNIVERSITAS NASIONAL JAKARTA
2009
ii
FAKULTAS BIOLOGI UNIVERSITAS NASIONAL Skripsi, Jakarta 28 April 2009 Anjar Titoyo Distribusi Vertikal dan Horizontal Meiofauna di Pantai Wori, Sulawesi Utara dan Teluk Kuta Lombok, Nusa Tenggara Barat. xiv + 94 hal, 16 tabel, 3 gambar, 19 lampiran
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas lautan 62% dari luas teritorialnya. Di bagian utara Indonesia, Pantai Wori, Sulawesi Utara merupakan salah satu wilayah perairan yang masih alami dengan tingkat keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Sementara itu di bagian selatan Indonesia Teluk Kuta merupakan salah satu wilayah dengan kondisi lingkungannya yang juga masih cukup baik. Meiofauna merupakan salah satu biota perairan yang dapat dijadikan bioindikator perairan dan sangat berperan di dalam rantai makanan. Mengingat organisme ini memiliki peranan yang sangat penting di laut, maka perlu adanya informasi tentang keberadaannya di lingkungan bentik baik secara vertikal maupun horizontal.
Pengambilan sampel meiofauna dilakukan pada bulan Juli – Agustus 2006 di Pantai Wori, Sulawesi Utara dan Teluk Kuta Lombok, Nusa Tenggara Barat menggunakan tabung suntik ukuran 50 mL yang dibenamkan ke dalam substrat. Setiap lokasi terdiri dari 3 stasiun, dan masing-masing stasiun terdiri dari 3–5 titik sampling mulai dari pantai sampai ke tubir.
Secara umum kelimpahan meiofauna di Teluk Kuta lebih tinggi dibandingakan dengan Pantai Wori. Meiofauna dapat terdistribusi baik pada kedalaman 0-2 cm. Keanekaragaman meiofauna di kedua lokasi cenderung moderat. Kemerataan meiofauna cenderung terjadi dengan semakin dekatnya ke arah tubir. Hal ini mengindikasikan bahwa daerah dekat tubir merupakan daerah yang cenderung lebih stabil dan sesuai untuk kehidupan meiofauna.
Adanya penelitian meiofauna secara berkelanjutan perlu dilakukan agar diharapkan nantinya dapat diketahui kegunaan dan manfaatnya lebih banyak lagi, mengingat meiofauna memiliki potensi yang luar biasa untuk dikembangkan.
Daftar bacaan : 56 (1971-2009)
iii
DISTRIBUSI VERTIKAL DAN HORIZONTAL MEIOFAUNA DI PANTAI WORI, SULAWESI UTARA DAN TELUK KUTA LOMBOK,
NUSA TENGGRARA BARAT
Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA SAINS DALAM BIDANG BIOLOGI
Oleh
ANJAR TITOYO 013112620150024
FAKULTAS BIOLOGI UNIVERSITAS NASIONAL JAKARTA
2009
iv
Judul Skripsi : DISTRIBUSI VERTIKAL DAN HORIZONTAL MEIOFAUNA DI PANTAI WORI, SULAWESI UTARA DAN TELUK KUTA LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT.
Nama Mahasiswa : Anjar Titoyo Nomor Pokok : 0162010024 Nomor Kopertis : 013112620150024
MENYETUJUI
Pembimbing Pertama Pembimbing Kedua Susetiono, drs, MSc. Imran SL Tobing, drs, MSi.
Dekan
Tatang Mitra Setia, drs, MSi. Tanggal Lulus : 28 April 2009
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan atas rahmat, berkat
dan kuasa-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini yang berjudul
“Distribusi Vertikal dan Horizontal Meiofauna di Pantai Wori, Sulawesi Utara
dan Teluk Kuta Lombok, Nusa Tenggara Barat”. Penulisan skripsi ini guna
memenuhi Satuan Kredit Semester (SKS) pada mata kuliah Seminar Skripsi sebagai
syarat untuk meraih gelar Sarjana Sains di Fakultas Biologi Universitas Nasional
Jakarta.
Segala daya dan upaya dalam penyelesaian skripsi ini dilakukan atas bantuan,
dukungan dan kerjasama yang baik dari berbagai pihak. Untuk itu penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Susetiono, drs, MSc selaku Pembimbing Pertama yang telah membimbing
penulis, memberikan petunjuk, pengarahan selama dalam penelitian, saran, kritik
dan diskusi yang sangat berguna dalam penulisan Skripsi ini.
2. Bapak Imran SL Tobing, drs, MSi selaku Pembimbing kedua yang telah
membemberikan pengarahan, bimbingan, saran dan kritik, serta diskusi yang
sangat berguna bagi Penulis untuk menyelesaikan Skripsi ini.
3. Bapak Tatang Mitra Setia, drs, MSi selaku Dekan Fakultas Biologi Universitas
Nasional.
vi
4. Ibu Yulneriwarni, dra, MSi selaku Pembimbing Akademik atas segala doa restu,
saran, dan motivasi yang diberikan kepada Penulis.
5. Ibu, Bapak tercinta yang selalu memberikan kasih sayang, mendoakan,
memberikan dukungan dan motivasi, baik moril maupun materil kepada Penulis.
6. Adikku Alryan Ridwantoro yang turut menjadi pendorong semangat penulis.
7. Segenap peneliti dan teknisi di P2O LIPI, UPT Bitung, UPT Mataram, dan
COREMAP LIPI yang telah membagi banyak ilmu dan pengalaman-pengalaman
hebat yang pernah dijalani bersama, serta memberikan rasa keramahan,
kenyamanan dan kekeluargaan selama penelitian berlangsung.
8. Almarhum Benny Djaja, drs, yang telah memberikan banyak inspirasi atas
kegigihan, keteguhan, dan keyakinan untuk setiap hal yang dijalani.
9. Perpustakaan PDII LIPI, Perpustakaan P2O LIPI, Perpustakaan COREMAP LIPI,
Perpustakaan Limnologi LIPI, Perpustakaan IPB, dan Pusat Informasi Ilmiah
(PII) Fakultas Biologi Universitas Nasional atas keramahannya di dalam
memberikan informasi dan pelayanan selama Penulis mencari literatur.
10. Teman-teman angkatan 2001; Ahmad Saleh Suhada SSi, Wisnu Wijiatmoko SSi,
Ady Kristanto SSi, Dewi Suprobowati SSi, Devi Asriana SSi, Fitriah Basalamah
SSi, Astri Zulfa SSi, Aan Aliyah SSi, Putri Wulansari SSi dan lain-lain yang
selalu memberikan sumbangan pikiran, semangat, keceriaan, kebersamaan, serta
rasa persahabatan dan persaudaraan.
11. Keluarga besar Kelompok Studi Ekologi Perairan (KSEP) tempat Penulis
menimba dan berbagi ilmu, pengalaman, serta kebersamaan.
vii
12. Teman-teman Penulis Lita Bunga Amalia SSi, Yunita Nurdini SSi,
Ruskomalasari SSi, Rahmalia Nurul Ahsani Amda SSi, Iwan Faturahman SSi,
Fitri Ayu Wulan Yuniarti SSi, Wisnu Wijaksono SSi, yang tidak pernah lelah
memberikan semangat kepada Penulis.
13. Seluruh Civitas akademika Fakultas Biologi Universitas Nasional atas semua
bantuan, saran serta kebersamaannya selama ini.
14. Fauna-Flora International Indonesian Programm (FFI-IP) yang telah memberikan
banyak kesempatan Penulis untuk mendapatkan banyak informasi dan
pengalamannya serta segenap fasilitas yang diberikan.
15. Jakarta Green Monster (JGM) yang telah memberikan banyak kesempatan Penulis
untuk menggali potensi diri menjadi lebih baik lagi, serta rekan-rekan sesama
voulenteer JGM dalam memberikan banyak motivasi, keceriaan dan dukungan
hingga Penulis mampu menyelesaikan Skripsi ini.
Penulis sangat menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu segala saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan dari
semua pihak. Penulis berharap semoga Skripsi ini dapat memberikan informasi yang
berguna dan bermanfaat bagi ilmu pengetahuan serta setiap pihak yang membacanya.
Jakarta, 28 April 2009
Penulis
viii
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR…………………………………………………………....... v DAFTAR ISI…………………………………………………………………..…... viii DAFTAR TABEL…………………………………………………………………. xi DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………… xiii BAB I. PENDAHULUAN……………………………………………………………... 1
II. TINJAUAN PUSTAKA………………………………………........................ 5
A. Ekosistem Perairan Pesisir………………………….………………….….. 5
B. Meiofauna…..............………………………...………………………….... 6
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Meiofauna......................... 18
1. Suhu...................................................................................................... 18 2. pH (Derajat keasaman).......................................................................... 19 3. Salinitas................................................................................................. 19 4. Sedimentasi........................................................................................... 20 5. Total Organic Matter (TOM)................................................................ 21
D. Distribusi Meiofauna................................................................................... 22
E. Peranan Meiofauna …………………………………………..................... 24
III. METODOLOGI PENELITIAN………...…………………………………....... 26
A. Waktu dan Lokasi Penelitian………....…………………………………..... 26
B. Alat dan Bahan................................................................…………………. 27
C. Cara Kerja…................................................................................................ 28
1. Parameter Lingkungan…..…………………..…………...……………… 28 2. Parameter Biologi…………....………………................………………. 31
D. Analisis Data ………………………………………................................... 32
ix
1. Keanekaragaman (H’)………….…………………………...……...…..... 32 2. Uji Hutchinson………………………………………............................. 33 3. Kemerataan (E)………………................................................................ 34 4. Dominansi (D)………………………...................................................... 35 5. Indeks Kesamaan Taksa (IS).................................................................... 36 6. Uji F.......................................................................................................... 36
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN......................................................................... 38
A. Faktor Lingkungan……………………………………............................... 38
1. Suhu......................................................................................................... 38 2. pH............................................................................................................ 38 3. Salinitas................................................................................................... 39 4. Komposisi Butiran (Grain Size) dan Total Organic Matter
(TOM) Sedimen...................................................................................... 41
B. Keanekaragaman Taksa (H’), Kemerataan (E), dan Dominansi (D) Meiofauna.................................................................................................... 42
1. Keanekaragaman taksa, kemerataan, dan dominansi meiofauna secara vertikal di Pantai Wori dan Teluk Kuta…………...................... 42
2. Keanekaragaman taksa, kemerataan, dan dominansi meiofauna secara horizontal Pantai Wori dan Teluk Kuta...................................... 45
3. Keanekaragaman taksa, kemerataan, dan dominansi meiofauna di Pantai Wori dan Teluk Kuta.................................................................. 47
C. Sebaran Kelimpahan Meiofauna…............................................................. 49
1. Kelimpahan vertikal meiofauna di Pantai Wori dan Teluk Kuta........... 49 2. Kelimpahan horizontal meiofauna di Pantai Wori dan Teluk Kuta....... 54 3. Kelimpahan meiofauna di Pantai Wori dan Teluk Kuta....................... 57
D. Indeks Kesamaan Taksa (IS)....................................................................... 62
1. Kesamaan taksa meiofauna berdasarkan distribusi vertikal meiofauna di Pantai Wori dan Teluk Kuta............................................................ 62
2. Kesamaan taksa meiofauna berdasarkan distribusi horizontal meiofauna di Pantai Wori dan Teluk Kuta.......................................... 64
3. Kesamaan taksa meiofauna di Pantai Wori dan Teluk Kuta................ 66
V. KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………………….. 67
A. Kesimpulan.................................................................................................. 67
B. Saran............................................................................................................ 68
x
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….... 69
LAMPIRAN……………………………………………………………................. 74
xi
DAFTAR TABEL
TABEL Halaman
Naskah 1. Data parameter lingkungan di dua lokasi pengamatan........................................ 38
2. Komposisi sedimen dan TOM di Pantai Wori, Sulawesi Utara danTeluk Kuta,
Lombok................................................................................................................ 41
3. Nilai keanekaragaman taksa (H’), kemeratan (E), dan dominansi (D) berdasarkan kedalaman sedimen di Pantai Wori, Sulawesi Utara....................... 43
4. Nilai keanekaragaman taksa (H’), kemeratan (E), dan dominansi (D) berdasakan kedalaman sedimen di Teluk Kuta, Lombok NTB.......................... 43
5. Nilai keanekaragaman taksa (H’), kemeratan (E), dan dominansi (D) berdasarkan sebaran horizontal meiofauna di Pantai Wori, Sulawesi Utara..... 45
6. Nilai keanekaragaman taksa (H’), kemeratan (E), dan dominansi (D) berdasakan sebaran horizontal meiofauna di Teluk Kuta, Lombok NTB......... 46
7. Nilai keanekaragaman taksa (H’), Kemerataan (E), dan Dominansi (D) di dua lokasi pengamatan.............................................................................................. 48
8. Kelimpahan vertikal meiofauna di Pantai Wori, Sulawesi Utara...................... 51
9. Kelimpahan vertikal meiofauna di Teluk Kuta, Lombok NTB......................... 53
10. Kelimpahan horizontal meiofauna di Pantai Wori, Sulawesi Utara.................. 55
11. Kelimpahan horizontal meiofauna di Teluk Kuta, Lombok NTB..................... 56
12. Kelimpahan meiofauna di kedua lokasi penelitian............................................. 59
13. Kesamaan taksa meiofauna pada kedalaman sedimen yang berbeda di Pantai Wori, Sulawesi Utara............................................................................... 62
xii
14. Kesamaan taksa meiofauna pada kedalaman sedimen yang berbeda di Teluk Kuta, Lombok NTB................................................................................ 63
15. Kesamaan taksa meiofauna di setiap titik pengambilan sampel di Pantai Wori, Sulawesi Utara........................................................................................ 64
16. Kesamaan taksa meiofauna di setiap titik pengambilan sampel di Teluk Kuta, Lombok NTB.......................................................................................... 65
Lampiran
1. Data parameter lingkungan di Pantai Wori, Sulawesi Utara............................ 74
2. Data parameter lingkungan di Teluk Kuta, Lombok NTB............................... 74
3. Komposisi sedimen dan Total Organic Matter (TOM) di Pantai Wori, Sulawesi Utara.................................................................................................. 75
4. Komposisi sedimen dan Total Organic Matter (TOM) di Teluk Kuta, Lombok NTB.................................................................................................... 75
5. Hasil perhitungan indeks keanekaragaman (H’) dan uji Hutchinson antar kedalaman sedimen di Pantai Wori, Sulawesi Utara........................................ 76
6. Hasil perhitungan indeks keanekaragaman (H’) dan uji Hutchinson antar
kedalaman sedimen di Teluk Kuta, Lombok NTB........................................... 78
7. Hasil perhitungan indeks keanekaragaman (H’) dan uji Hutchinson antar titik pengamatan di Pantai Wori, Sulawesi Utara.................................................... 80
8. Hasil perhitungan indeks keanekaragaman (H’) dan uji Hutchinson antar titik
pengamatan di Teluk Kuta, Lombok NTB....................................................... 81
9. Hasil perhitungan indeks keanekaragaman (H’) dan uji Hutchinson antar Lokasi penelitian.............................................................................................. 83
10. Data jumlah individu meiofauna pada lokasi penelitian, titik horizontal, dan kedalaman sedimen yang berbeda- beda.......................................................... 84
11. Hasil Uji F jumlah individu meiofauna diantara kedalaman substrat, titik
pengamatan dan lokasi pengamatan.................................................................. 85
xiii
12. Hasil Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) jumlah individu meiofauna terhadap
kedalaman sedimen.......................................................................................... 86
13. Data jumlah taksa meiofauna pada lokasi penelitian, titik horizontal, dan kedalaman sedimen yang berbeda- beda.......................................................... 87
14. Hasil Uji F jumlah taksa meiofauna diantara kedalaman sedimen, titik
pengamatan dan lokasi pengamatan................................................................. 88
15. Hasil Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) jumlah taksa meiofauna terhadap kedalaman sedimen........................................................................................... 89
xiv
DAFTAR GAMBAR
GAMBAR Halaman
Naskah 1. Titik penambilan sampel................................................................................... 27
2. Segitiga Millar…………………………………………………………......... 30
3. Grafik kelimpahan meiofauna di kedua lokasi penelitian................................ 58
Lampiran
1. Peta lokasi Pantai Wori, Sulawesi Utara.......................................................... 90 2. Peta lokasi Teluk Kuta, Lombok NTB............................................................. 91
3. Beberapa taksa-taksa meiofauna yang ditemukan di Pantai Wori, Sulawesi
Utara dan Teluk Kuta, Lombok NTB............................................................... 92
4. Alat-alat yang digunakan untuk penyortiran dan identifikasi meiofauna......... 94
1
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari
17.508 pulau dengan garis pantainya sepanjang 81.000 km dan luas laut sekitar 3,1
juta km2
Pantai Wori merupakan salah satu wilayah perairan di bagian utara
Khatulistiwa yang masih alami dan memiliki keanekaragaman hayati laut yang
terbaik di dunia. Secara geografis Wori terletak di Sulawesi Utara, dimana pada
bagian utara berbatasan langsung dengan kecamatan Likupang, sebelah timur dengan
kecamatan Dimembe, sebelah selatan dengan Kota Manado, dan sebelah barat dengan
Laut Sulawesi. Secara umum karakteristik dari Pantai Wori memiliki substrat yang
berpasir dan berhadapan langsung dengan Taman Laut Bunaken
(http://id.wikipedia.org/wiki/Wori_Minahasa_Utara). Berbagai ekosistem lahan basah
dapat dijumpai di kawasan Pantai Wori mulai dari ekosistem mangrove, padang
lamun hingga terumbu karang. Bibir pantainya yang dibatasi oleh hutan mangrove
membuat pantai Wori masih belum banyak terjamah oleh aktivitas manusia, bahkan
disini hutan mangrove dapat berinteraksi baik dengan ekosistem lamun dan terumbu
karang.
atau 62% dari luas teritorialnya (Romimohtarto dan Juwana, 2001). Sebagai
negeri bahari terbesar Indonesia memiliki kekayaan alam yang amat kaya akan flora
dan fauna yang unik karena letaknya di daerah tropis (Sidharta, 2000).
2
Teluk Kuta merupakan salah satu wilayah dibagian selatan khatulistiwa
dengan kondisi lingkungannya yang juga masih alami beserta potensi sumberdaya
lautnya yang besar. Secara geografis Teluk Kuta terletak di bagian pantai selatan
pulau Lombok Nusa Tenggara Barat, dengan posisi menghadap ke arah Samudera
Hindia. Luas teluknya sekitar 363,62 km2
Lingkungan perairan sangatlah penting artinya bagi kelangsungan hidup
manusia yang membutuhkan hasil sumberdaya perairan, sehingga upaya
penyelamatan perairan penting dilakukan guna menjaga kondisi lingkungan perairan
yang tetap baik dan stabil. Kualitas lingkungan perairan sangat ditentukan oleh
kehidupan organisme akuatik di perairan tersebut. Gangguan pada suatu perairan
dengan dasar perairannya terdiri atas pasir
berlumpur dan bebatuan (Susetiono, 2007). Teluk Kuta yang indah dengan
perairannya yang tenang dan jernih menjadikannya sebagai salah satu tempat wisata
favorit bagi wisatawan lokal maupun mancanegara. Adanya perkampungan nelayan
yang berhadapan langsung dengan Teluk Kuta ikut menjadikan teluk ini memiliki
aktivitas yang cukup tinggi, dimana padang lamun, ikan, hewan invertebrata, dan
rumput laut di Teluk Kuta memiliki kontribusi yang penting sebagai penyumbang
pasokan bahan makanan dari laut bagi masyarakat sekitar. Eksploitasi sumber daya
laut dan pemanfaatan perairan Teluk Kuta oleh masyarakat yang semakin hari
semakin tinggi dikahawatirkan dapat mengganggu kestabilan terhadap ekosistem
perairan Teluk Kuta. Padahal diketahui sumber daya laut pada umumnya sangat
sensitif terhadap gangguan lingkungan, baik yang bersifat fisik, kimia, biologi, serta
aktivitas manusia (Siswandono, 1993).
3
dapat diakibatkan dari kegiatan manusia maupun proses alamiah. Peningkatan
aktivitas manusia yang semakin pesat khususnya yang terletak di sepanjang daerah
pesisir dapat menyebabkan beban yang ditanggung suatu wilayah semakin berat
bahkan berdampak pada penurunan kualitas lingkungan perairan. Telah banyak cara
dikembangkan untuk mengetahui tentang kualitas lingkungan perairan dan salah
satunya adalah dengan melakukan analisis bentos. Dalam hal ini komponen biologi
hewan bentik yang dapat dijadikan dasar kajian yaitu dari kelompok taksa meiofauna.
Pantai Wori dan Teluk Kuta merupakan dua daerah di Indonesia yang masing-
masing memiliki perbedaan karaktersitik lingkungan yang unik. Perbedaan-perbadaan
tersebut dapat terlihat mulai dari posisi geografisnya, tingkat aktivitas di perairan
tersebut dan karakteristik lingkungannya seperti tipe substrat, kandungan bahan
organik, serta kondisi lain seperti faktor kimia, fisika, dan biologi perairannya yang
pada akhirnya perbedaan kondisi-kondisi seperti itu diduga dapat mempengaruhi
fungsi dan keberadaan meiofauna di alam baik secara vertikal maupun horizontal.
Dalam sebuah sistem ekologi, meiofauna memiliki peranan yang penting,
namun begitu keberadaannya di dalam suatu ekosistem masih kurang diperhatikan,
terutama dari aspek ekologinya. Salah satu permasalahan yang menarik untuk diteliti
dan dikaji lebih mendalam adalah masalah distribusi horizontal dan vertikal
meiofauna dalam kaitannya dengan habitat dan kondisi lingkungannya.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui distribusi meiofauna baik
secara vertikal maupun horizontal di Pantai Wori Sulawesi Utara dan Teluk Kuta
Lombok. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan atau informasi
4
tentang kualitas lingkungan perairan baik di Pantai Wori maupun Teluk Kuta, ditinjau
dari distribusi taksa meiofauna.
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah :
1. Terdapat perbedaan kelimpahan meiofauna berdasarkan distribusinya baik secara
vertikal maupun horizontal serta terdapat perbedaan kelimpahan meiofauna antara
Pantai Wori dan Teluk Kuta.
2. Adanya perbedaan keanekaragaman meiofauna berdasarkan distribusinya baik
secara vertikal maupun horizontal serta adanya perbedaan keanekaragaman
meiofauna antara Pantai Wori dan Teluk Kuta.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Ekosistem Perairan Pesisir
Perairan pesisir merupakan ekosistem akuatik yang memiliki sifat fisika –
kimia yang khas, secara langsung ataupun tidak langsung menghasilkan adaptasi dan
evolusi bagi organisme yang hidup didalamnya. Perairan ini juga merupakan
pertemuan antara daratan dan laut dengan batas ke arah darat meliputi bagian daratan,
baik kering maupun terendam air yang masih mendapat pengaruh sifat-sifat laut
seperti angin laut, pasang surut dan perembesan air asin. Ke arah laut, perairan pesisir
mencakup bagian terluar dari daerah paparan benua yang masih dipengaruhi oleh
proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar
(Suyatna dkk, 2000).
Ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai habitat
yang beragam di darat maupun di laut, serta saling berinteraksi antara habitat
tersebut. Seperti halnya ekosistem lain, ekosistem perairan pesisir secara garis besar
terususun dari komponen biotik dan abiotik. Komponen biotik di dalam ekosistem
perairan pesisir dapat digolongkan berdasarkan fungsinya menjadi produsen,
konsumen, dan pengurai. Komponen abiotik meliputi air beserta kandungan garam
mineral, sedimen dan kandungan mineralnya, suhu, pH, oksigen terlarut, penetrasi
cahaya dan gerak mekanik air (Suyatna dkk, 2000).
6
Produktivitas wilayah pesisir yang tinggi menjadikan daerah ini mempunyai
potensi sumberdaya yang tinggi pula. Perubahan yang terjadi di daerah pesisir
sebagian besar berasal dari aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhannya, baik di
darat maupun di perairan pesisir itu sendiri (Sutamihardja, 1992). Banyaknya
aktivitas ini akan menyebabkan peningkatan tekanan terhadap sumberdaya pesisir,
selanjutnya hal ini akan berakibat pada penurunan kualitas ekosistem pesisir.
Menurut Suyatna dkk (2000), ekosistem perairan pesisir yang masih alami
dicirikan sebagai berikut :
1. Keanekaragaman jenis yang tinggi.
2. Tidak ada dominasi oleh jenis tertentu.
3. Pembagian jenis yang hampir merata dalam area.
Sebaliknya pada lingkungan yang sudah tercemar, komunitasnya cenderung
memperlihatkan :
1. Keanekaragaman jenis yang rendah.
2. Adanya dominasi jenis tertentu.
3. Perubahan struktur komunitas dari stabil ke keadaan labil.
B. Meiofauna
Bentos adalah organisme dasar perairan, baik berupa hewan maupun
tumbuhan, baik yang hidup di permukaan dasar ataupun di dalam sedimen (Fachrul,
2007). Sementara menurut Lind (1979), bentos adalah semua organisme yang hidup
pada lumpur, pasir, batu, kerikil, maupun sampah organik baik di dasar perairan laut,
7
danau, kolam, atau sungai, merupakan hewan melata, menetap, menempel,
memendam, dan meliang di dasar perairan tersebut. Melihat dari cara hidupnya yang
relatif menetap ini, maka hewan bentos sangat baik digunakan sebagai petunjuk
kualitas lingkungan perairan.
Meiofauna adalah kelompok fauna bentos yang memiliki ukuran tubuh antara
42–1000 µm (Higgins dan Thiel, 1988). Meiofauna merupakan organisme
multiseluler akuatik yang umumnya bertubuh kecil memanjang dan hidup di antara
pasir atau di dalam permukaan lumpur (Geralch, 1971).
Menurut Romimohtarto dan Juwana (2001), meiofauna sendiri berdasarkan
sifat hidupnya dapat dikelompokkan menjadi :
1. Meiofauna interstitial, yaitu meiofauna yang hidup di substrat perairan
diantara sela-sela butiran sedimen.
2. Meiofauna emigran, yaitu meiofauna yang mempunyai kemampuan untuk
meninggalkan sedimen.
3. Meiofauna epifit, yaitu meiofauna yang hidupnya menempel pada permukaan
atas maupun bawah daun.
Adapun beberapa jenis taksa yang dapat digolongkan ke dalam meiofauna
adalah :
a. Acari
Bentuk tubuh Acari bulat sampai lonjong. Tubuhnya tidak beruas-ruas,
dimana cephalothorax dan abdomen menyatu. Kaki 4 pasang terdiri atas 6-7
8
ruas. Acari bernafas dengan trachea. Cara hidupnya ada yang parasit atau bebas
(Suwignyo dkk, 2005).
b. Amphipoda
Amphipoda memiliki bentuk tubuh pipih secara lateral dan tidak
mempunyai karapas. Satu atau dua ruas thorax pertama menyatu dengan kepala.
Bentuk dan ukuran abdomen hampir sama dengan ruas thorax (Suwignyo dkk,
2005).
Di alam diketahui terdapat 4.600 jenis Amphipoda (Suwignyo dkk,2005).
Umumnya di laut, sebagian di air tawar, bersifat pelagis atau bentik; beberapa
bersifat semi teresterial atau teresterial. Sebagian besar Amphipoda hidup dalam
pasir. Beberapa hidup dalam tabung yang mereka bangun dari lendir dan partikel
lumpur di dasar (Romimohtarto dan Juwana, 2001). Jenis lain tinggal di dasar
laut pada siang hari dan melayang-layang di perairan bersama plankton pada
malam hari. Beberapa Amphipoda merupakan bagian dari holoplankton dan
menjadi bagian penting dari populasi plankton.
Kebanyakan Amphipoda adalah pemakan detritus (Romimohtarto dan
Juwana, 2001). Jenis penghuni pantai memakan bangkai dan alga yang hanyut
oleh air pasang, beberapa jenis filter feeder, dan hanya sedikit yang ektoparasit
pada ikan (Suwignyo dkk,2005).
c. Cilliata
Secara morfologi Cilliata dicirikan dengan adanya sillia pada sebagian
atau seluruh tubuhnya. Hidup di laut, air payau, air tawar dan daratan yang
9
lembab maupun pasir kering. Diantaranya banyak yang hidup bebas dan
merupakan makanan bagi organisme dari tingkatan yang lebih tinggi (Suwignyo
dkk, 2005).
d. Cladocera
Menurut Suwignyo dkk (2005), Cladocera memiliki kaki yang juga dapat
berfungsi sebagai insang, berjumlah 5-6 pasang. Ruas-ruas tubuhnya tidak jelas.
Pada bagian thorax dan abdomen tertutup karapas yang tampak seperti 2 keping;
karapas tersebut bukan 2 keping tetapi hanya satu helai yang melipat dan terbuka
di bagian ventral.
Jenis daerah limnetik biasanya tidak berwarna atau merah muda,
sedangkan yang di daerah litoral, kolam dangkal, dan dasar perairan berwarna
lebih gelap bervariasi dari coklat kekuningan sampai coklat kemerahan, kelabu
bahkan hampir hitam. Pigmentasi ini terdapat baik pada bagian karapas maupun
jaringan tubuh. Cladocera memakan protozoa, alga, detritus organik dan bakteri
tergantung pada ukuran partikel makanannya (Suwignyo dkk, 2005).
e. Cumacea
Hewan meiofauna ini berbentuk seperti udang. Cumacea dicirikan dengan
tubuhnya yang mempunyai sebuah karapas besar dan menutup 3–4 ruas thorax
pertama dan ke arah anterior membentuk rostrum palsu. Antena tidak bercabang
dan sangat kecil pada betina. Tiga pasang kaki depannya bermodifikasi sebagai
maksilliped, sedangkan lima pasang lainnya berfungsi sebagai perepopod
10
(Susetiono, 2004). Cumacea umumnya hidup di laut pada permukaan pasir dan
lumpur dasar laut (Suwignyo dkk, 2005).
f. Foraminifera
Foraminifera termasuk ke dalam filum Protozoa karena organisme ini
bersel satu, dan termasuk pada kelas Sarcodina karena sistem pergerakannya
terdiri dari kaki semu (pseudopodia) (Rositasari, 1989). Semua Foraminifera
mempunyai cangkang. Cangkang yang dihasilkan umumnya terdiri dari bahan
kitin. Beberapa cangkang terbentuk dari bahan silika atau gelatin, yang lain
berasal dari materi lingkungan yang direkat jadi satu (Rositasari, 1989).
Hingga saat ini telah diketahui lebih dari 15.000 jenis Foraminifera.
Foraminifera berukuran 1 µm hingga 2 mm (Rositasari, 1989). Untuk hidupnya,
Foraminifera membutuhkan nutrisi yang berasal dari alga, Protozoa kecil,
Diatom, Crustacea, jenis mereka sendiri, dan serpihan bahan organik (Murray,
1973).
g. Gastrotricha
Gastrotricha merupakan kelompok taksa kecil dengan 450 jenis yang
hidup bebas baik di laut maupun air tawar. Terdapat dalam rongga interstitial
sedimen atau merayap pada alga, tanaman air atau detritus (Suwignyo dkk,
2005).
Kebanyakan Gastrotricha berukuran mikroskopis, antara 40-1000 µm,
namun beberapa jenis ada yang mencapai 4 mm. Bentuk tubuh simetri bilateral,
dengan bagian ventral datar dan bagian posterior biasanya bercabang dua.
11
Beberapa jenis dilengkapi dengan organ penempel berbentuk tabung yang dapat
berjumlah banyak dan terletak di dekat kepala, sepanjang tubuh, atau pada ujung
posterior. Organ penempel ini dugunakan untuk menempel pada substrat.
Gastrotricha memakan bakteri, Diatom, Protozoa kecil dan detritus organik
(Suwignyo dkk, 2005).
h. Halacaroidea
Cara hidup Halacaroidea di alam bersifat bentik dan beberapa ada yang
planktonik. Halacaroidea mendiami hampir di setiap bagian lautan mulai dari
laut dangkal hingga bagian terdalam samudera. Pernah ditemui Halacaroidea
pada kedalaman 6.850 meter (Higgins dan Thiel, 1988). Sekitar 50 jenis tinggal
di perairan payau dan air tawar. Halacaroidea hidup pada semua substrat, dalam
koloni alga, pada koloni dari bryozoa dan hydrozoa, diantara butiran sedimen
pasir kasar hingga halus. Halacaroidea bisanya menyukai daerah berlumpur atau
sedimen yang hampir tanpa oksigen. Halacaroidea sering kali hidup pada tubuh
biota yang lebih besar seperti Crustacea dan Gastropoda.
Pada alga di atas zona tidal, Halacaroidea sering sangat dominan diantara
kelompok meiofauna. Di zona ini angka presentase dari Halacaroidea pada
kelompok meiofauna kira-kira lebih dari 90% (Higgins dan Thiel, 1988). Pada
substrat pasir berlumpur Halacaroidea banyak ditemukan di kedalaman 0-3 cm,
sementara pada pantai berpasir Halacaroidea dapat melakukan penetrasi hingga
kedalaman 100 cm (Higgins dan Thiel, 1988).
12
i. Harpacticoida
Harpacticoida diketahui memiliki jumlah sekitar 1.200 jenis. Tubuh
Harpacticoida transparan dan tidak berwarna, beberapa jenis berwarna merah,
ungu, biru cemerlang atau hitam. Kebanyakan Harpacticoida memakan bakteri
dan detritus (Suwignyo dkk, 2005).
Harpacticoida sebagian hidup bebas dan yang lainnya parasit.
Kebanyakan Harpacticoida terdapat di laut dan sebagian lagi di air tawar, baik
sebagai plankton maupun fauna interstitial. Harpacticoida penghuni dasar
perairan merayap atau meliang dalam sedimen menggunakan kaki thorax dan
gerak tubuh. Banyak Harpacticoida yang hidup sebagai fauna interstitial
mempunyai tubuh yang langsing dengan antenna yang pendek (Suwignyo dkk,
2005).
j. Isopoda
Isopoda umumnya berwarna kusam atau kelabu. Tubuh Isopoda pipih
dorsoventral, tidak mempunyai karapas, dan abdomennya pendek, sebagian atau
seluruh ruas abdomen tumbuh menyatu (Suwignyo dkk, 2005).
Terdapat sekitar 4.000 jenis Isopoda, hidup di berbagai habitat. Sebagian
besar hidup di laut, ada juga yang hidup di air tawar, di antara tumbuhan air atau
di bawah batu. Beberapa jenis di darat dan banyak yang menjadi parasit pada
ikan dan Krustasea lain, atau pengebor kayu (Suwignyo dkk, 2005).
13
Sebagian besar Isopoda adalah omnivora, yang lain cenderung herbivora
dan detrivora. Isopoda memakan alga, jamur, lumut, serta, tumbuhan dan hewan
membusuk (Suwignyo dkk, 2005).
k. Nematoda
Filum Nematoda mempunyai anggota sekitar 15.000 jenis. Sebagian besar
jenis dari Nematoda hidup bebas baik di air laut, air payau, air tawar, dan tanah;
dari daerah kutub yang dingin sampai tropis; di berbagai habitat seperti padang
pasir dan laut dalam (Suwignyo dkk, 2005).
Bentuk tubuh Nematoda panjang, langsing, silindris dan pada beberapa
jenis menjadi pipih ke arah posterior. Di lihat dari arah anterior, tampak bahwa
daerah mulut dan sekitarnya adalah simetri radial atau biradial (Suwignyo dkk,
2005).
Kebanyakan Nematoda adalah karnivora dan memakan metazoa kecil,
termasuk jenis Nematoda lain. Beberapa jenis baik yang hidup di air laut maupun
air tawar adalah fitofagus, memakan Diatom, alga dan jamur. Ada pula jenis laut,
air tawar, dan teresterial yang merupakan pemakan deposit, memakan lumpur
dan memanfaatkan bakteri dan bahan organik yang terkandung dalam lumpur.
Beberapa jenis memakan sampah organik seperti kotoran hewan, bangkai dan
tumbuhan busuk.
l. Nemertina
Nemertina memiliki bentuk tubuh seperti cacing, adakalanya pipih, tidak
beruas-ruas. Warna tubuh pucat, namun juga ada yang cerah, merah, jingga,
14
kuning, hijau dan bergaris-garis. Nemertina memiliki probosis, semacam belalai
yang dapat dijulurkan untuk menangkap mangsa, dan dapat ditarik ke dalam
mulut (Suwignyo dkk, 2005).
Diketahui terdapat sekitar 650 jenis Nemertina. Kebanyakan Nemertina
hidup di laut, terdapat di pantai, di bawah batu atau rumput laut, beberapa jenis
di air tawar atau tanah lembab. Beberapa hidup komensal dengan Coelenterata
dan Mollusca, dan tidak ada yang parasit.
Semua Nemertina adalah karnivora dan terutama memakan cacing
Annelida. Selain itu Nemertina juga memakan Mollusca dan Crustacea kecil baik
yang hidup maupun yang mati.
m. Oligochaeta
Di dunia terdapat lebih dari 3.100 jenis Oligochaeta. Kebanyakan terdapat
di air tawar, beberapa di laut, air payau, dan darat. Jenis akuatik umumnya
terdapat pada daerah dangkal yang kurang dari 1 meter, beberapa membuat
lubang dalam lumpur, ada pula yang membuat selubung menetap atau yang
dapat dibawa-bawa. Kebanyakan Oligochaeta laut merupakan fauna interstitial,
hidup dalam lubang, di bawah batu atau pada rumput laut. Melimpahnya jenis
Oligochaeta tertentu dapat dipakai sebagai petunjuk adanya pencemaran organik
di perairan (Suwignyo dkk, 2005).
Umumnya Oligochaeta mendapatkan makanan dengan cara menelan
substrat, dimana bahan organik yang melalui saluran pencernaan akan dicerna,
15
kemudian tanah beserta sisa pencernaan dibuang melalui anus. Adakalanya
makanan itu terdiri atas alga filamen, Diatom, dan detritus.
n. Ostracoda
Ostracoda merupakan mikroorganisme yang mempunyai anggota badan
yang beruas-ruas dengan cangkangnya yang keras. Ostracoda dicirikan adanya
cangkang yang digunakan untuk menyelimuti bagian tubuh yang lunak serta
melindunginya dari gangguan fisik semasa hidupnya. Beberapa Ostracoda laut
yang hidup saat ini dapat mencapai ukuran 25 mm.
Ostracoda mendiami berbagai habitat perairan, mulai dari air tawar, air
payau, hinga air laut dengan keanekaragaman dan kelimpahan yang bervariasi.
Selain itu Ostracoda juga dapat dijumpai pada gua kapur, mata air, endapat
gambut, danau air tawar dan air asin, kolam-kolam penampungan air, kolam
ikan, hingga persawahan. Ostracoda juga dapat ditemukan pada saluran irigasi
dan genangan air yang muncul pada saat musim hujan serta air bawah
permukaan (Dewi dan Kapid, 2004).
Ostracoda bentonik dapat hidup pada permukaan atau bagian dalam
sedimen dasar, atau menempel pada tumbuh-tumbuhan dan binatang laut.
Aktivitas Ostracoda air tawar adalah berenang dalam kolom air atau beberapa
centimeter di atas permukaan sedimen dasar. Sedangkan Ostracoda laut yang
bentonik cenderung merayap dan menggali, serta pemakan sisa-sisa organisme
atau Diatom, Foraminifera, dan cacing kecil dari Polychaeta. Beberapa
diantaranya menempati jenis sedimen lumpur pasiran dan lumpur, serta alga dan
16
padang lamun (Dewi dan Kapid, 2004). Bahkan menurut Meisch ( 2000), ada
beberapa hasil penelitian yang menemukan Ostracoda dalam perut ikan.
o. Polychaeta
Polychaeta dicirikan dengan tubuhnya yang beruas-ruas dimana pada
setiap ruas memiliki parapodia. Pada parapodia terdapat banyak setae yang
melekat. Kecuali kepala dan ruas terakhir, semua ruas kurang lebih sama
(Suwignyo dkk, 2005). Diketahui telah lebih dari 5.000 jenis Polychaeta
ditemukan (Romimohtarto dan Juwana, 2001).
Polychaeta terdapat di semua lingkungan perairan. Sebagian besar
ditemukan di laut, beberapa jenis dapat hidup dan melimpah di perairan payau,
jarang terdapat di perairan tawar dan sangat jarang di darat, serta sedikit yang
bersifat parasit (Losovskaya, 1992). Sangat banyak dijumpai pada pantai cadas,
paparan lumpur dan sangat umum ditemui di pantai pasir. Beberapa jenis hidup
di bawah batu, dalam lubang dan liang di dalam batu karang; beberapa jenis
memendam dalam lumpur, dan beberapa lagi hidup dalam tabung yang terbuat
dari berbagai bahan.
Cara makan Polychaeta bermacam-macam tergantung jenis dan kebiasan
hidupnya. Ada yang bersifat karnivora, herbivora, ominivora, pemakan detritus,
hingga pemakan endapan (Suwignyo dkk, 2005). Polychaeta makan dengan cara
menggali substrat, mencerna dan menyerap bahan organik atau bakteri dan
mengeluarkan bahan yang tidak dicerna melalui anus (Porbert, 1984).
17
p. Tanaidacea
Tanaidacea memiliki karapas yang kecil, menyatu dan menutup 2 ruas
thorax yang pertama. Sekitar 350 jenis hidup di dasar laut daerah litoral. Cara
hidupnya dengan membuat selubung di dalam lubang atau celah batu (Suwignyo
dkk, 2005). Tanaidacea penyebarannya tidak merata di kepadatan populasi
meiofauna yang tinggi. Hal ini disebabkan Tanaidacea merupakan bagian
penting sebagai rantai makanan di ekosistem perairan laut. Tergantung dari
ukuran jenis dan cara hidupnya. Tanaidacea merupakan makanan dari
Polychaeta, Amphipoda, Decapoda, dan ikan (Higgins dan Thiel, 1988).
q. Turbellaria
Bentuk tubuh Turbellaria umumnya lonjong sampai panjang, pipih
dorsoventral dan tidak mempunyai ruas sejati. Tubuhnya dilindungi epidermis
bersillia dan mengandung banyak kelenjar lendir yang membantunya untuk dapat
hidup di antara butir-butir pasir yang tidak selalu terisi air. Warna tubuh biasanya
hitam, cokelat atau kelabu, tetapi beberapa jenis berwarna merah. Jenis tertentu
berwarna hijau disebabkan bersimbiosis dengan alga (Suwignyo dkk, 2005).
Turbellaria banyak dijumpai pada daerah tropis. Sebagian besar
Turbellaria hidup di dasar laut, di antara butiran pasir, lumpur, di bawah batu
karang, dan alga. Ada juga jenis yang pelagis. Turbellaria pada umumnya
bersifat fotonegatif, bersembunyi di bawah batu atau sampah pada siang hari dan
mencari makan pada malam hari. Beberapa jenis Turbellaria dapat hidup pada
lingkungan dengan kandungan oksigen rendah (Suwignyo dkk, 2005). Semua
18
jenis Turbellaria adalah karnivora dan memakan berbagai macam avertebrata
kecil dan bangkai.
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Meiofauna
Komposisi dan ukuran komunitas meiofauna dipengaruhi oleh kondisi
berbagai faktor ekologi yang sangat spesifik dan dalam habitat sangat spesifik
(Aryuthaka, 1991). Kondisi itu berupa sela-sela pasir dan lumpur yang susunannya
sering berubah-ubah akibat hempasan gelombang dan ombak air di daerah pasang
surut. Faktor-faktor yang sangat spesifik adalah ruang yang sempit, suhu, salinitas,
gerakan ombak, dan terbatasnya kadar oksigen dalam substrat. Selain itu, sifat
sedimen dan ketersediaan bahan makanan ikut mempengaruhi komposisi dan ukuran
komunitas meiofauna.
1. Suhu
Suhu perairan merupakan salah satu faktor lingkungan yang penting bagi
kehidupan biota perairan. Fluktuasi suhu perairan berpengaruh terhadap keberadaan
suatu biota perairan seperti penyebaran, kelimpahan, dan mortalitas (Brower dan Zar,
1977). Nybakken (1992) menjelaskan, pada perairan pesisir yang dalam memiliki
stratifikasi suhu antara bagian permukaan dan dasar, perbedaan ini akan berpengaruh
terhadap komunitas organisme penghuninya. Kenaikan suhu sebesar 10°C dapat
mengakibatkan biota perairan tertekan dan laju metabolisme meningkat 2 kali lipat
(Sidqi, 2002). Peningkatan suhu juga menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam
air dan menyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organik oleh
19
mikroba. Selain itu peningkatan suhu juga dapat menyebabkan peningkatan konsumsi
oksigen oleh organisme perairan, dan akhirnya mengakibatkan penurunan kandungan
oksigen terlarut.
Suhu yang optimum untuk perkembangan meiofauna adalah 20–30ºC. Pada
kisaran suhu yang tinggi 33–50ºC, menyebabkan terjadinya gangguan perkembangan
daur hidup meiofauna, dan penurunan suhu menyebabkan perpanjangan waktu
pergantian regenerasi (Heip dkk, 1985).
2. pH (Derajat keasaman)
Nilai pH perairan mencirikan keseimbangan antara asam dan basa dalam air.
Nilai pH air dapat mempengaruhi jenis dan susunan zat dalam lingkungan perairan,
serta mempengaruhi kandungan hara dan toksisitas dari unsur-unsur renik (Saeni,
1989).
Setiap biota perairan mempunyai batas toleransi terhadap pH perairan dengan
tingkat toleransi yang berbeda-beda tergantung pada suhu, oksigen terlarut, serta
adanya berbagai anion dan kation, serta jenis dan stadium organisme (Pescod, 1973).
Untuk kehidupan biota laut kisaran nilai pH yang ideal adalah 6,5–8,5 (EPA, 1986).
3. Salinitas
Salinitas merupakan ciri khas perairan pantai atau laut yang membedakannya
dengan perairan tawar. Berdasarkan perbedaan salinitas, dikenal biota yang bersifat
stenohaline dan euryhaline (Junardi, 2001). Biota yang mampu hidup pada kisaran
salinitas yang sempit disebut sebagai biota bersifat stenohaline dan sebaliknya biota
yang mampu hidup pada kisaran salinitas yang luas disebut biota euryhaline. Sebaran
20
salinitas di perairan dipengaruhi oleh sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran
sungai (Sidqi, 2002).
Secara umum, meiofauna dapat hidup dengan keragaman yang tinggi pada
berbagai tipe salinitas di perairan yang berbeda mulai dari perairan tawar, payau,
hingga perairan laut. Hal ini mengindikasikan bahwa keragaman meiofauna yang
tinggi di dalam komunitasnya, meiofauna memiliki keragaman kemampuan fisiologis
untuk berdaptasi terhadap berbagai tipe salinitas. Salinitas pada sedimen dapat
berfluktuasi baik secara horizontal, vertikal, siklus pasang surut, maupun pengaruh
musim (Higgins dan Thiel, 1988).
4. Sedimentasi
Kondisi yang mempengaruhi meiofauna agak berbeda dengan kondisi yang
mempengaruhi makrofauna dalam area yang sama. Sebagian besar faktor yang
mempengaruhi kelimpahan meiofauna interstitial adalah ukuran butiran sedimen.
Komposisi sedimen ditentukan dari ukuran butiran sedimen dan dapat mempengaruhi
organisme yang ada di dalamnya (Higgins dan Thiel, 1988). Ukuran butiran sedimen
penting dalam mengontrol kemampuan sedimen menahan dan mensirkulasi air dan
udara. Ketersediaan air dan oksigen dalam celah-celah sedimen diperlukan untuk
kehidupan meiofauna. Sirkulasi air melalui ruang pori sedimen penting karena
pergerakan air ini dapat memperbaharui suplai oksigen dan suplai makanan serta
dapat mencegah kondisi kekeringan bagi meiofauna (Nybakken, 1992).
Sirkulasi air berlangsung dengan baik pada sedimen berbutir kasar dan
berkurang pada sedimen berbutir halus. Semakin besar ukuran butir sedimen maka
21
ruang-ruang interstitial yang tersedia di dalam sedimen semakin besar. Oleh sebab
itu, organisme yang menempati ruang interstitial yang dapat mendiami area tersebut
besar. Sebaliknya, ukuran butir sedimen yang lebih halus, ketersediaan ruang
interstitialnya lebih sedikit dan organisme yang mendiami area tersebut lebih kecil.
Dengan demikian, ukuran butir sedimen penting di dalam menentukan komposisi dan
kelimpahan meiofauna (Funch, 2002).
5. Total Organic Matter (TOM)
Bahan organik dalam ekosistem perairan terbentuk karena adanya proses
anabolisme unsur hara oleh organisme primer dengan bantuan energi matahari, lalu
diikuti proses kehidupan organisme sekunder, dan adanya masukan bahan organik
dari ekosistem lainnya (Jorgensen, 1980). Peningkatan kandungan bahan organik
sering diikuti oleh peningkatan unsur hara, bentuk-bentuk koloni fitoplankton lebih
melimpah, dan karena kegiatan biologi lebih intensif maka hasil dekomposisi berupa
detritus organik dan bakteri juga tersedia (Masyamsir, 1996).
Proses peningkatan bahan organik dan unsur hara pada batas-batas tertentu
akan meningkatkan produktivitas organisme perairan. Namun apabila masukan
tersebut melebihi kemampuan organisme perairan untuk memanfaatkannya, akan
timbul permasalahan yang serius, seperti tingginya tingkat kekeruhan perairan
(Masyamsir, 1996). Menurut Soeriatmadja (1981), peningkatan bahan organik yang
berlebih akan berdampak kepada meningkatnya unsur kimia yang berlebihan,
menurunnya pH dan oksigen terlarut, serta peningkatan aktivitas biologi yaitu proses
22
dekomposisi yang menyebabkan peningkatan suhu dan terjadinya perubahan-
perubahan pada struktur dan kelimpahan organisme perairan.
Menurut Wood (1987), terdapat hubungan antara kandungan bahan organik
dan ukuran partikel sedimen. Sedimen yang halus, persentase bahan organik lebih
tinggi daripada sedimen yang kasar, hal ini berhubungan dengan kondisi lingkungan
yang tenang, sehingga memungkinkan pengendapan sedimen lumpur yang diikuti
akumulasi bahan organik ke dasar perairan. Pada sedimen yang kasar, kandungan
bahan organiknya lebih rendah karena partikel yang lebih halus tidak mengendap
akibat adanya faktor arus.
Bahan organik yang mengendap di dasar perairan merupakan sumber bahan
makanan bagi organisme bentik, sehingga jumlah dan laju pertambahannya dalam
sedimen mempunyai pengaruh yang besar terhadap populasi organisme dasar.
Sedimen yang kaya akan bahan organik sering didukung oleh melimpahnya fauna
yang didominasi oleh organisme pemakan deposit (Wood, 1987).
D. Distribusi Meiofauna
Tempat hidup meiofauna terdapat pada air laut, dari mulai batas pasang surut
pantai sampai pada bagian terdalam dari laut. Segala bentuk sedimen dari mulai
lumpur yang paling halus hingga kerikil yang paling kasar. Meiofauna juga
menempati beberapa centimeter di atas sedimen yang mencakup tumbuh-tumbuhan
paku, lumut, makroalga, laut beku dan berbagai bagian dari binatang.
23
Dalam setiap komunitas, tidak ada jenis yang terisolasi, tetapi berinteraksi
dengan jenis yang lain pada daerah yang sama (Suyatna dkk, 2000). Interaksi itu juga
penting dalam menduga komposisi suatu komunitas. Faktor-faktor yang penting
dalam menentukan struktur jenis komunitas meiofauna adalah pemangsaan. Baik
predator invertebrata maupun vertebrata memangsa organisme meiofauna. Aktivitas
pemangsaan dapat menyebabkan hilangnya meiofauna dari suatu daerah yang sempit
dan menyebabkan gangguan yang dapat diikuti oleh suatu rangkaian pembentukan
kembali suatu koloni. Hal ini menyebabkan terjadinya distribusi yang tidak merata di
daerah dasar (Giere, 1975).
Keanekaragaman dapat dilihat dari kekayaan jenis dalam komunitas,
sedangkan ukuran populasi dapat diketahui dari jumlah individu di dalam jenis
meiofauna. Salah satu petunjuk yang dapat dipakai untuk menilai kekayaan individu
di dalam populasi yaitu dengan melihat kerapatan di dalam suatu ruang (Suyatna dkk,
2000).
Gourbault dan Mornant (1990), menyatakan bahwa komposisi meiofauna
bervariasi baik secara vertikal maupun horizontal dalam substrat. Faktor yang
membentuk zonasi ini adalah perbedaan ukuran butiran dan faktor-faktor fisika-kimia
terutama oksigen, suhu dan salinitas. Pola khas komunitas meiofauna berhubungan
dengan faktor fisika-kimia tersebut.
Kebanyakan meiofauna terbatas pada strata-strata atau lapisan paling atas,
biasanya pada lapisan atas setebal 5 cm. Dalam penelitiannya di Eropa, Holme dan
24
Mc Intyre (1971), melaporkan antara 80% - 90% dari Nematoda, Copepoda dan
Ostracoda terdapat pada lapisan ini.
Perubahan komunitas meiofauna ditandai dengan adanya perubahan pada
indeks keanekaragaman meiofaunanya. Perubahan indeks keanekaragaman akan
terjadi bila perairan menerima masukan bahan organik dan anorganik yang cukup
tinggi. Nilai indeks keanekaragaman meiofauna dapat digunakan untuk mengetahui
tingkat pencemaran suatu perairan (Suyatna dkk, 2000).
E. Peranan Meiofauna
Meiofauna di dalam ekosistem laut memiliki peranan yang sangat penting
yaitu sebagai salah satu mata rantai penghubung dalam aliran energi dan siklus materi
dari alga sampai konsumen tingkat tinggi. Meiofauna mampu memanfaatkan detritus
dan bahan organik lain yang terkubur dan terjebak di sela-sela butiran pasir dan
lumpur, kemudian meiofauna tersebut dimanfaatkan oleh konsumen terdekat yaitu
fauna makrobentik (Montogna dkk, 1989). Menurut Suyatna dkk (2000), pada
komunitas meiofauna itu sendiri terdapat suatu mekanisme pengaturan melalui
berbagai pola interaksi sebagai akibat hidup dalam habitat dan sumberdaya yang
sama. Bentuk interaksi yang terjadi dapat berupa kompetisi, predasi dan sebagainya.
Meiofauna mempunyai kepekaan terhadap perubahan lingkungannya,
sehingga meiofauna sering digunakan sebagai indikator dalam menyatakan
kelimpahan bahan organik. Respon komunitas meiofauna terhadap perubahan
lingkungan digunakan untuk menduga pengaruh dari berbagai kegiatan, seperti
25
industri, perminyakan, perikanan tambak, pertanian, dan tata guna lahan yang akan
mempengaruhi badan air. Masukan bahan organik, perubahan substrat dan bahan
kimia beracun dapat mempengaruhi komunitas meiofauna (APHA, 1989).
26
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Pengambilan sampel dilakukan pada ekosistem pesisir pantai di dua lokasi
yaitu, Pantai Wori, Sulawesi Utara pada tanggal 28 Juli – 3 Agustus 2006 (Gambar
lampiran 1) dan Teluk Kuta, Lombok, Nusa Tenggrara Barat pada tanggal 15–22
Agustus 2006) (Gambar lampiran 2). Penelitian ini merupakan bagian kegiatan
program penelitian COREMAP P2O LIPI.
Pengambilan sampel dilakukan menggunakan metode line transect. Tiap
lokasi terdiri dari 3 stasiun, dimana setiap stasiun terdiri dari 3–5 Titik sampling
mulai dari pantai ke arah tubir dengan 2 kali pengulangan (Gambar 1). Pada setiap
lokasi sampling juga diambil contoh meiofauna pada masing-masing kedalaman
sedimen yang berbeda yaitu 0-2 cm, 2-4 cm, 4-6 cm, 6-8 cm, dan 8-10 cm dengan
asumsi bahwa meiofauna hanya dapat terdistribusi baik di kedalaman tidak lebih dari
10 cm. Meiofauna hanya terbatas pada strata-strata lapisan paling atas, biasanya pada
lapisan 5–10 cm (Meadows dkk, 1994). Pengambilan sampel meiofauna juga
dilakukan secara horizontal mulai dari tepi hingga tubir dengan jarak 100 cm per titik
sampling.
Analisis sampel dan identifikasi dilakukan di P2O LIPI dan COREMAP LIPI.
Waktu identifikasi dilakukan mulai Agustus 2006 – Maret 2007.
27
Gambar 1. Titik pengambilan sampel (Titoyo, 2009).
B. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan :
1. Termometer
2. Refraktometer
3. pH meter
4. Tabung suntik (50 mL)
5. Botol sampel
6. Kape
7. Kertas kalkir
28
8. Label dan tabulasi data
9. Saringan dengan mata saring 32 µm
10. Gelas ukur 2 liter
11. Mikroskop perbesaran rendah
12. Mikroskop perbesaran tinggi
13. Cawan petri
14. Object glass
15. O ring needle
16. Pinset
Bahan yang digunakan :
1. Rose Bengal
2. Formalin 10%
3. Gliserol
C. Cara kerja
1. Parameter Lingkungan
Pengukuran parameter lingkungan meliputi suhu, pH, salinitas, grain size
(ukuran fraksi sedimen), dan total bahan organik (TOM).
Suhu diukur dengan menggunakan termometer dengan cara memasukan
termometer ke perairan, didiamkan beberapa saat hingga raksa stabil lalu dibaca pada
batas skala raksa. Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter. Cara
kerjanya dengan memasukan elektroda yang terdapat pada pH meter lalu diamkan
29
hingga angkanya stabil. Salinitas diukur dengan menggunakan Refraktometer. Cara
kerjanya dengan meneteskan air laut pada elektroda refraktometer, dan dibaca
skalanya. Pengukuran suhu, pH dan salinitas air dilakukan sebelum pengamatan
lapangan, sedangkan pengumpulan data sedimen dilakukan bersamaan dengan
pengambilan sampel Meiofauna.
Analisis TOM sedimen bertujuan untuk mengetahui kandungan total bahan
organic yang terdapat pada sedimen. Cara kerja untuk analisis TOM adalah sebagai
berikut :
a. Timbang cawan kosong guna mengetahui berat dari cawan.
b. Masukkan sampel sedimen ke dalam cawan.
c. Cawan yang telah berisi sampel dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 600
d. Dinginkan sampel dengan silika gel, kemudian ditimbang untuk mendapatkan
nilai berat kering sampel.
C
selama 24 jam.
e. Masukkan ke pengabuan dengan suhu 6.000 0
f. Timbang kembali dan hasilnya dikurangi dengan berat cawan untuk
mendapatkan nilai berat pengabuan. Selanjutnya hitung persentase berat
persentase TOM dengan rumus :
C selama 4 jam, lalu dinginkan
kembali dengan silika gel.
𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇 (%) =𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝑎𝑎𝑎𝑎 𝑘𝑘𝐵𝐵𝐵𝐵𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 𝑠𝑠𝑎𝑎𝑠𝑠𝑠𝑠𝐵𝐵𝑠𝑠 − 𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝑎𝑎𝑎𝑎 𝑠𝑠𝐵𝐵𝑎𝑎𝐵𝐵𝑠𝑠𝑎𝑎ℎ 𝑠𝑠𝐵𝐵𝑘𝑘𝑘𝑘𝑎𝑎𝑝𝑝𝑝𝑝𝑎𝑎𝑘𝑘
𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝑎𝑎𝑎𝑎 𝑘𝑘𝐵𝐵𝐵𝐵𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 𝑠𝑠𝑎𝑎𝑠𝑠𝑠𝑠𝐵𝐵𝑠𝑠× 100%
30
Analisis fraksi sedimen (grain size) dan TOM sedimen dilakukan di P2O
LIPI. Analisis ukuran fraksi sedimen ditujukan untuk mengetahui komposisi sedimen.
Cara kerja untuk analisis fraksi sedimen adalah sebagai berikut:
a. Sampel dikeringkan menggunakan oven 70°C selama 24 jam.
b. Sampel disaring menggunakan saringan bertingkat.
c. Timbang sampel yang sudah disaring dari mulai ukuran 8-0,063 mm.
d. Substrat yang telah diketahui persentasenya tersebut selanjutnya dianalisis dan
ditentukan tipe substrat berdasarkan Segitiga Millar (Gambar 2) (Brower dan
Zar, 1977).
Gambar 2. Segitiga Millar (Brower dan Zar, 1977).
31
2. Parameter Biologi
Sampling meiofauna dilakukan dengan menggunakan tabung suntik ukuran 50
mL yang dibenamkan ke dalam substrat. Pada saat menekan tabung suntik ke dalam
sedimen, karet pistonnya diusahakan sedekat mungkin dengan permukaan substrat
guna mencegah pengadukan sampel akibat tekanan tabung suntik.
Sampel sedimen di dalam tabung suntik dipotong melintang sepanjang tabung
suntik menjadi 5 segmen dengan ketebalan 2 cm. Pemotongan ini untuk mengetahui
distribusi vertikal meiofauna. Selanjutnya, setiap segmen tersebut dimasukkan ke
dalam botol sampel yang berisi formalin yang telah dicampur dengan pewarna rose
Bengal dan air. Kemudian botol sampel diberi label berdasarkan lokasi sampling,
stasiun sampling, titik sampling, ulangan sampling, dan lapisan sampel.
Identifikasi sampel dilakukan di COREMAP LIPI, untuk mengetahui taksa
dan jumlah meiofauna yang ditemukan. Tahapan untuk mengidentifikasi meiofauna
adalah sebagai berikut :
a. Sampel dimasukkan ke dalam gelas ukur 2 liter yang berisi air tawar lalu
diaduk memutar.
b. Setelah butiran pasir kasar mengendap maka air dan material yang masih
tersuspensi kemudian disaring dengan mata saring 32 µm.
c. Sampel yang tersaring dipindah ke dalam cawan petri.
d. Cawan petri diletakkan di bawah mikroskop perbesaran rendah untuk
dilakukan penyortiran.
32
e. Sampel meiofauna yang dijumpai dipindahkan ke dalam object glass dengan
munggunakan O ring needle untuk kemudian dilakukan identifikasi dan
penghitungan.
f. Identifikasi dilakukan menggunakan mikroskop identifikasi dengan
perbesaran 40x.
g. Buku identifikasi yang digunakan adalah Introduction to the study of
meiofauna (Higgins dan Thiel, 1988) dan Meiobenthology the microscopic
fauna in aquatic sediments (Giere, 1975).
h. Setelah dihitung sampel dimasukkan ke dalam botol sampel yang diisi larutan
gliserol, dan diberi label untuk digunakan penelitian lebih lanjut.
D. Analisis Data
1. Keanekaragaman (H’)
Keanekaragaman jenis digunakan untuk mengetahui keanekaragaman hayati
biota yang akan diteliti. Bila nilai indeks semakin tinggi, berarti komunitas biota
perairan itu makin beragam dan tidak hanya didominasi oleh satu atau dua taksa saja
(Romimohtarto dan Juwana, 2001).
Keanekaragaman jenis ditentukan dengan Indeks Shannon–Wiener yang
persamaannya adalah sebagai berikut (Krebs, 1972) :
H’ = - Ʃ pi ln pi
Keterangan :
H’ = Indeks Shannon – Wiener
33
pi = ni / N
ni = Jumlah individu pada taksa ke-i
N = Jumlah individu seluruh taksa
S = Jumlah taksa
Dimana Jika :
H’<1, maka komunitas dalam kondisi tidak stabil.
1<H’<3, maka komunitas dalam kondisi moderat.
H’>3, maka komunitas dalam kondisi baik.
2. Uji Hutchinson
Uji ini digunakan untuk membandingkan indeks keanekaragaman dari satu
komunitas (H1) dengan indeks keanekaragaman dari komunitas yang lain (H2) atau
(H3
Dimana derajat bebas (db) dihitung dengan tahapan persamaan sebagai
berikut :
𝑠𝑠𝑘𝑘 =𝑘𝑘𝑘𝑘𝑁𝑁
). Uji ini menggunakan “uji t” dengan peluang 95 % (α = 0,05). Rumus–rumus uji
Hutchinson yang digunakan berdasarkan Magurran (1988), adalah sebagai berikut:
𝐻𝐻′ =𝐻𝐻′1 − 𝐻𝐻′2
�𝑉𝑉𝑎𝑎𝐵𝐵𝐻𝐻′1 + 𝑉𝑉𝑎𝑎𝐵𝐵𝐻𝐻′2
H’ = - Ʃ pi ln pi
𝑉𝑉𝑎𝑎𝐵𝐵𝐻𝐻′ =∑𝑠𝑠𝑘𝑘(ln𝑠𝑠𝑘𝑘)2 − (∑𝑠𝑠𝑘𝑘 ln𝑠𝑠𝑘𝑘)2
𝑁𝑁−𝑆𝑆 − 12𝑁𝑁2
34
𝑑𝑑𝑝𝑝 =(𝑉𝑉𝑎𝑎𝐵𝐵 𝐻𝐻′
1 + 𝑉𝑉𝑎𝑎𝐵𝐵 𝐻𝐻′2)2
(𝑉𝑉𝑎𝑎𝐵𝐵 𝐻𝐻′1)2
𝑁𝑁1+ (𝑉𝑉𝑎𝑎𝐵𝐵 𝐻𝐻′
2)2
𝑁𝑁2
Keterangan :
N = Jumlah total individu seluruh taksa pada plot sampling
ni = Jumlah taksa ke-i
S = Jumlah taksa
H’ = Penduga keragaman populasi
Hipotesis :
1. thit > t0,05 (db), maka, H1 ≠ H2
2. t
, tolak Ho, ada perbedaan
hit < t0,05 (db), maka H1 = H2
, terima Ho, tidak ada perbedaan
3. Kemerataan (E)
Kemerataan digunakan untuk mengetahui pola penyebaran individu tiap taksa,
apakah merata atau tidak. Rumus Indeks Kemerataan ditentukan dengan Indeks
Evenness dengan persamaan sebagai berikut (Krebs, 1972) :
𝐸𝐸 =𝐻𝐻′
𝐻𝐻′𝑠𝑠𝑎𝑎𝑚𝑚
Keterangan :
E = Indeks kemerataan Evenness
H’ = Indeks keanekaragaman Shanon & Wiener
H maks = Keragaman maksimum (ln S)
S = Banyaknya taksa
35
Bila nilai indeks kemerataan tinggi, ini menandakan bahwa kandungan setiap
taksa tidak mengalami perbedaan. Nilai indeks kemerataan berkisar antara 0 sampai
1. Indeks kemerataan mendekati 0 berarti penyebaran jumlah individu tiap taksa tidak
sama dan dalam ekosistem tersebut ada kecenderungan terjadi dominansi jenis. Bila
indeks kemerataan mendekati nilai 1 menunjukkan bahwa ekosistem tersebut dalam
kondisi yang relatif mantap yaitu jumlah individu tiap taksa relatif sama (Brower dan
Zar, 1977).
4. Dominansi (D)
Ada tidaknya dominansi dari suatu taksa tertentu ditentukan dengan indeks
Simpson, persamaannya adalah sebagai berikut (Fachrul, 2007) :
D = Ʃ (pi)
Keterangan :
2
D = Indeks dominansi
Pi = ni/N
ni = Jumlah individu dari taksa ke-i
N = Jumlah keseluruhan dari individu
Nilai indeks dominansi berkisar antara 0 hingga 1. Jika indeks dominansi
mendekati 0 berarti hampir tidak ada taksa yang mendominansi dan biasanya diikuti
dengan indeks kemerataan yang besar. Apabila indeks dominansi mendekati 1 berarti
ada salah satu taksa yang mendominansi dan diikuti dengan nilai kemerataan yang
semakin kecil (Odum, 1971).
36
5. Indeks Kesamaan Taksa (IS)
Indeks Kesamaan taksa merupakan suatu koefisien untuk mengetahui
kesamaan taksa meiofauna di dua daerah yang berbeda dilakukan dengan
menggunakan perhitungan indeks kesamaan jenis Sorensen (Fachrul, 2007), dengan
rumus :
𝐼𝐼𝑆𝑆 =2𝐶𝐶
𝐴𝐴 + 𝐵𝐵× 100%
Keterangan :
IS = Indeks kesamaan taksa Sorensen
A = Jumlah taksa di daerah 1
B = Jumlah taksa di daerah 2
C = Jumlah taksa yang sama di kedua daerah 1 dan 2
Penilaian indeks kesamaan dalam penelitian ini ditentukan dengan :
Jika IS < 50% maka dinyatakan berbeda
Jika IS > 50% maka dinyatakan sama
6. Uji F
Untuk mengetahui apakah ada perbedaan kelimpahan distribusi meiofauna
antar kedalaman (vertikal), antar titik sampling (horizontal), dan antar lokasi
sampling diuji dengan uji F. Pada uji ini, termasuk untuk distribusi horizontalnya
menggunakan jumlah variabel yang sama, sehingga masing-masing lokasi teridri dari
3 titik. Di Pantai Wori variabel yang digunakan adalah titik 1 (dekat garis pantai),
titik 2 (tengah), dan titik 3 (dekat tubir); sementara itu di Teluk Kuta, variabel yang
37
digunakan adalah pada titik pengamatan 1, titik 3, dan titik 5, Hal ini dengan asumsi
bahwa titik 1 merupakan daerah yang dekat dengan garis pantai, titik 3 daerah tengah,
dan titik 5 daerah yang dekat tubir.
Penggunaan analisis uji F dilandasi atas dasar terdapatnya perlakuan-
perlakuan yang umumnya mempunyai kepentingan yang sama (Gaspersz, 1995).
Apabila diketahui adanya variabel yang memiliki perbedaan signifikan maka
digunakan uji lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT). Analisis ini dilakukan
menggunakan program “Statistic Programme for Scientific and Social science”
(SPSS) versi 16 for Windows
Dengan hipotesis :
H0
H
= 0 : Rata-rata populasi adalah identik.
1
≠ 0 : Rata-rata populasi adalah tidak identik.
38
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Faktor Lingkungan
Parameter lingkungan baik langsung ataupun tidak langsung dapat
mempengaruhi kehidupan organisme perairan termasuk meiofauna. Parameter
lingkungan yang diamati selama selama penelitian diantaranya suhu, pH, dan
salinitas.
Tabel 1. Data parameter lingkungan di dua lokasi pengamatan.
Lokasi Suhu (ºC) pH Salinitas (0/00)
Pantai Wori 29 – 32 7,90 – 8,47 28 – 30
Teluk Kuta 28 8,65 – 8,93 30 – 34
1. Suhu
Berdasarkan pengukuran suhu di Pantai Wori dan Teluk Kuta suhu bervariasi
antara 29-32°C (Tabel 1). Kisaran suhu tersebut merupakan kisaran suhu normal
untuk perairan daerah tropis seperti Indonesia. Suhu alami air laut berkisar antara 30-
33°C (Romimohtarto dan Juwana, 2001). Suhu di permukaan relatif sama dengan
suhu di dasar perairan, hal ini disebabkan lokasi sampling berada di perairan dangkal.
Perubahan suhu dapat menyebabkan perubahan kelimpahan meiofauna. Suhu
yang optimum untuk perkembangan meiofauna adalah 20-30ºC (Heip dkk, 1985).
Melihat dari kisaran suhu tersebut maka bisa dikatakan bahwa Teluk Kuta memiliki
39
suhu perairan yang masih dapat mendukung kelangsungan hidup meiofauna.
Sementara itu Pantai Wori justru memiliki kisaran suhu yang sedikit lebih tinggi dari
batas optimum kehidupan meiofauna. Suhu air merupakan salah satu faktor yang
dapat mempengaruhi aktivitas serta memacu atau menghambat perkembangbiakan
organisme perairan. Pada umumnya peningkatan suhu air sampai skala tertentu akan
mempercepat perkembangbiakan organisme perairan. Peningkatan suhu juga dapat
mengakibatkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme perairan.
Hewan yang hidup di zona pasang surut dan sering mengalami kekeringan umumnya
mempunyai daya tahan yang besar terhadap perubahan suhu (Nontji, 2002).
Suhu perairan dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), waktu dalam hari,
sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman badan air (Effendi,
2003). Adanya perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan
biologi perairan.
2. pH
Berdasarkan hasil pengukuran, pH di kedua lokasi cenderung bersifat basa.
Dimana pH pada Pantai Wori 7,90–8,47 sementara pH pada Teluk Kuta 8,65–8,93
(Tabel 1). Menurut EPA (1986), biota laut memiliki kisaran pH ideal 6,5 sampai 8,5.
Ini artinya nilai pH baik yang terdapat di Pantai Wori maupun Teluk Kuta bisa
dikatakan berada dalam keadaan yang masih dapat mendukung kelangsungan hidup
meiofauna di daerah tersebut. Nilai pH menunjukkan derajat keasaman atau kebasaan
suatu perairan. pH air laut cenderung berada dalam keseimbangan karena ekosistem
air laut mempunyai kapasitas penyangga yang mampu mempertahankan nilai pH.
40
Menurut Odum (1971), air laut merupakan sistem penyangga yang sangat luas
dengan pH relatif stabil sebesar 7 hingga 8,5. Derajat keasaman merupakan faktor
yang penting karena perubahan pH dapat mempengaruhi fungsi fisiologis khususnya
yang berhubungan dengan respirasi (Arfiati dkk, 1999). Toleransi organisme air
terhadap pH bervariasi, hal ini tergantung pada suhu air, oksigen terlarut, dan adanya
berbagai anion dan kation serta jenis dan stadium organisme (Ardi, 2002).
3. Salinitas
Kadar salinitas di Pantai Wori berkisar 28–30 0/00 sementara pada Teluk Kuta
memiliki kadar salinitas 32–34 0/00
Di perairan Wori terdapat sungai kecil yang mengalir ke pantai dan sampling
dilakukan pada saat air laut surut sehingga pengaruh air tawar yang masuk ke pantai
menyebabkan salinitas turun. Sementara itu, di Kuta tidak terdapat sungai yang
mengalir ke Teluk Kuta sehingga salinitas menjadi relatif lebih tinggi dibanding
Pantai Wori. Variasi salinitas pada masing-masing lokasi terjadi karena adanya gerak
pasang surut yang menyebabkan terjadinya pengadukan pada kolom air hingga terjadi
pertukaran air secara vertikal. Di permukaan, air cenderung mengalir keluar
(Tabel 1). Daerah pesisir seperti Pantai Wori dan
Teluk Kuta dimana daerah tersebut dapat terendam pada saat pasang tertinggi dan
muncul ke permukaan pada saat surut terendah, sangat memungkinkan memiliki
kadar salinitas yang tinggi sebagai akibat dari penguapan maupun suhu yang tinggi.
Menurut Giere (1975), salinitas di sedimen dapat meningkat tajam hingga mencapai
kondisi hipersalin sebagai akibat dari penguapan yang tinggi di musim panas ketika
air laut sedang surut dan panas yang cukup tinggi.
41
sedangkan air laut merayap masuk dari bawah. Akibatnya antara keduanya terjadi
percampuran. Menurut Nontji (2002), sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh
berbagai faktor seperti, pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran sungai.
4. Komposisi butiran (Grain Size) dan Total Organic Matter (TOM) sedimen
Jenis substrat sangat berkaitan dengan kandungan oksigen, sirkulasi air dan
ketersediaan nutrien dalam sedimen. Komposisi butiran sedimen di Pantai Wori
didominasi oleh pasir, oleh karena itu bisa dikatakan secara keseluruhan substrat di
Pantai Wori berpasir (Tabel 2). Komposisi pasir bisa terbentuk dari pecahan batuan
dan sisa-sisa biota yang telah mati. Meiofauna dapat hidup pada substrat berpasir
karena substrat berpasir memiliki rongga-rongga yang dapat dilalui oleh air yang
memiliki kandungan oksigen. Meiofauna membutuhkan kehadiran air di ruang antar
butiran pasir untuk dapat hidup. Sedimen berpasir memiliki kandungan oksigen
relatif lebih besar dibandingkan sedimen yang halus, karena pada sedimen berpasir
terdapat pori udara yang memungkinkan terjadinya pencampuran yang lebih intensif
dengan air di atasnya, tetapi kendalanya pada sedimen berpasir tidak terlalu banyak
terdapat bahan organik (Wood, 1987).
Tabel 2. Komposisi sedimen dan TOM di Pantai Wori, Sulawesi Utara dan Teluk Kuta, Lombok.
Lokasi Komposisi sedimen (%)
Kelas Tekstur TOM (%) Pasir Debu Liat
(8-0,25 mm) (0,125 mm) (<0,063 mm) Pantai Wori 88,61 3,55 7,84 Pasir 6,85 Teluk Kuta 85,75 3,99 10,25 Pasir berlempung 65,7
42
Di Teluk Kuta secara keseluruhan jenis sedimennya adalah pasir berlempung.
Nilai kandungan bahan organik juga relatif lebih besar jika dibandingkan dengan
Pantai Wori. Tingginya bahan organik di Teluk Kuta disebabkan karena banyaknya
sisa-sisa biota seperti hewan, serasah dari lamun dan alga yang telah mati kemudian
terendapkan. Pada sedimen yang halus, walaupun oksigen sangat terbatas tetapi
kandungan bahan organik tersedia dalam jumlah yang banyak (Wood, 1987).
Menurut Susetiono (1999), banyaknya partikel halus dan TOM di Teluk Kuta
menunjukkan bahwa lingkungan tersebut mempunyai tingkat turbulensi yang rendah.
Rendahnya turbulensi bisa dikarenakan daerah tersebut cenderung terlindungi atau
juga karena rapatnya tutupan lamun di daerah tersebut.
B. Keanekaragaman Taksa (H’), Kemerataan (E), dan Dominansi (D) Meiofauna
1. Keanekeragaman taksa, kemerataan, dan dominansi meiofauna secara vertikal di Pantai Wori dan Teluk Kuta
Di Pantai Wori keanekaragaman taksa tertinggi meiofauna dapat dijumpai
pada kedalaman sedimen 0-2 cm yaitu sebesar 1,63 dan semakin ke dalam indeks
keanekaragaman cenderung lebih bervariasi, meskipun kisaran variasi yang terjadi
tidak terlalu signifikan berbeda (Tabel 3). Keanekaragaman terendah terjadi pada
kedalaman 2-4 cm dengan indeks keanekaragamanannya yang hanya 1,32. Jika
mengacu kepada ketetapan Shannon-Wiener, maka dapat dikatakan bahwa di Pantai
Wori komunitas meiofauna pada setiap kedalaman berada dalam kondisi yang
43
moderat. Menurut Shannon-Wiener nilai keanekaragaman antara 1<H’<3
menggambarkan kondisi lingkungan yang moderat (Krebs, 1972).
Tabel 3. Nilai keanekaragaman taksa (H’), kemeratan (E), dan dominansi (D) berdasarkan kedalaman sedimen di Pantai Wori, Sulawesi Utara.
Kedalaman Sedimen H’ E D
0-2 cm 1,63 0,68 0,28 2-4 cm 1,32 0,60 0,40 4-6 cm 1,45 0,69 0,34 6-8 cm 1,39 0,67 0,38 8-10 cm 1,54 0,67 0,31
Pada Teluk Kuta keanekaragaman taksa meiofauna yang dijumpai semakin
dalam sedimen keanekaragaman taksanya semakin rendah (Tabel 4). Indeks
keanekaragaman taksa meiofauna di teluk Kuta berkisar dari 0,99–1,49 dan tergolong
moderat.
Tabel 4. Nilai keanekaragaman taksa (H’), kemeratan (E), dan dominansi (D) berdasarkan kedalaman sedimen di Teluk Kuta, Lombok NTB.
Kedalaman Sedimen H’ E D
0-2 cm 1,49 0,51 0,32 2-4 cm 1,17 0,53 0,46 4-6 cm 1,07 0,59 0,47 6-8 cm 0,99 0,43 0,57 8-10 cm 0,99 0,43 0,56
Melalui uji Hutchinson (Lampiran 5) dan (Lampiran 6) pada masing-masing
lokasi yang dibandingkan dapat dijelaskan bahwa pada setiap lapisan kedalaman
sedimen yang disampling tidak memiliki perbedaan komunitas meiofauna yang
bermakna (thit > t tabel0,05) baik itu di Pantai Wori maupun di Teluk Kuta. Hasil ini
44
mengartikan bahwa nilai indeks keanekaragaman pada setiap kedalaman sedimen
antara kedua lokasi adalah relatif sama, sehingga tingkat kestabilan komunitas
meiofauna relatif sama.
Di Pantai Wori, nilai dominansi pada setiap kedalaman relatif rendah, yaitu
berkisar antara 0,28-0,4. Sementara nilai kemerataan pada setiap lapisan ke dalam
berkisar antara 0,6-0,69. Hal ini berarti bahwa di setiap lapisan kedalaman di Pantai
Wori tidak ada taksa meiofauna yang dominan dan semua taksa meiofauna
mempunyai variasi jumlah individu setiap taksa relatif merata.
Kemerataan pada masing-masing lapisan kedalaman di Teluk Kuta relatif
rendah, yaitu berkisar antara 0,43-0,59. Kemerataan terendah terjadi pada kedalaman
6–10 cm. Sementara itu nilai dominansi berkisar antara 0,32-0,57, dimana dominansi
terendah terjadi pada kedalaman 0–2 cm. Hal ini mengindikasikan bahwa pada
kedalaman 0–2 cm tidak dijumpai adanya taksa yang mendominansi terhadap taksa
lainnya, dengan kata lain dapat diartikan bahwa struktur komunitas pada kedalaman
tersebut relatif stabil. Dominansi mulai terjadi pada kedalaman 6 cm hingga 10 cm.
Tetapi jika dicermati tingkat dominansinya yang hanya 0,57 (6-8 cm) dan 0,56 (8-10
cm), maka bisa dikatakan bahwa dominansi meiofauna yang terjadi pada kedua
lapisan substrat ini tidak begitu signifikan. Jika indeks dominansi semakin mendekati
1 berarti dilokasi tersebut terjadi dominansi biasanya diikuti dengan menurunnya
indeks kemerataan (Fachrul, 2007).
45
2. Keanekaragaman taksa, kemerataan, dan dominansi meiofauna secara horizontal di Pantai Wori dan Teluk Kuta
Bila ditinjau secara horizontal keanekaragaman meiofauna di Pantai Wori
semakin ke arah tubir semakin meningkat. Tingkat keanekaragaman di Pantai Wori
ini berkisar antara 1,35–1,62 (Tabel 5). Keanekaragaman terendah terdapat pada Titik
1 yang merupakan daerah pesisir yaitu 1,35 dan semakin ke tengah hingga mendekati
tubir (Titik 3) keanekaragamannya cenderung semakin meningkat, hingga akhirnya
keanekaragaman tertinggi terjadi pada Titik 3 yang merupakan daerah yang terdekat
dengan tubir dengan nilai keanekaragaman meiofauna sebesar 1,62.
Tabel 5. Nilai keanekaragaman taksa (H’), kemeratan (E), dan dominansi (D) berdasarkan sebaran horizontal meiofauna di Pantai Wori, Sulawesi Utara.
Titik Sampling H' E D
1 1,35 0,59 0,38 2 1,49 0,63 0,34 3 1,62 0,68 0,29
Keanekaragaman meiofauna di Teluk Kuta berdasarkan sebaran horizontalnya
cenderung lebih bervariasi meskipun tergolong lebih rendah jika dibandingkan
dengan Pantai Wori. Keanekaragaman terendah terdapat pada Titik 2 yaitu 1,14
sedangkan keanekaragaman tertinggi terdapat pada Titik 5 yang merupakan daerah
terdekat dengan tubir. Titik 5 memiliki indeks keanekaragaman hingga 1,42 (Tabel
6). Jika mengacu kepada indeks Shannon-Weaner, maka bisa dikatakan
keanekaragaman meiofauna secara horizontal baik di Pantai Wori maupun Teluk
46
Kuta cenderung moderat. Menurut Shannon-Wiener nilai keanekaragaman antara
1<H’<3 menggambarkan kondisi lingkungan yang moderat (Krebs, 1972).
Tabel 6. Nilai keanekaragaman taksa (H’), kemeratan (E), dan dominansi (D) berdasakan sebaran horizontal meiofauna di Teluk Kuta, Lombok NTB.
Titik Sampling H' E D 1 1,16 0,48 0,48 2 1,14 0,41 0,53 3 1,26 0,53 0,39 4 1,26 0,55 0,37 5 1,42 0,62 0,32
Melalui uji Hutchinson (Lampiran 7) dan (Lampiran 8), antar titik
pengamatan dikedua lokasi dapat ditarik kesimpulan bahwa antar titik pengamatan
cenderung tidak memiliki perbedaan komunitas (thit > t tabel0,05
Kemerataan meiofauna di Pantai Wori semakin meningkat dengan semakin
dekatnya ke arah tubir. Kemerataan meiofauna terendah terdapat pada Titik 1, yaitu
0,59, sementara kemerataan tertinggi terjadi pada Titik 3, yaitu 0,68 (Tabel 5).
Semakin ke arah tubir ekosistem tersebut cenderung dalam kondisi yang semakin
relatif mantap dengan jumlah individu tiap jenis relatif sama (Brower dan Zar, 1977).
Hal sebaliknya justru terjadi bila ditinjau dari tingkat dominansinya, dimana
dominansi justru lebih tinggi pada Titik 1 dan semakin kearah tubir (Titik 3) tingkat
dominansi semakin mengalami penurunan. Menurut Fachrul (2007), bila indeks
). Dengan kata lain
kestabilan komunitas meiofauna di antara titik pengamatan baik di Pantai Wori
maupun Teluk Kuta relatif tidak begitu berbeda.
47
dominansi mendekati 0 berarti hampir tidak ada jenis yang mendominansi dan
biasanya diikuti dengan indeks kemerataan yang besar.
Secara horizontal Teluk Kuta memiliki tingkat kemerataan dan dominansi
meiofauna yang lebih bervariasi. Titik 1 dan Titik 2 merupakan daerah yang
penyebaran meiofaunanya kurang merata. Hal ini tergambar dari tingkat
kemerataannya yang relatif rendah, dimana pada Titik 1 kemerataannya hanya 0,48
dan Titik 2 hanya 0,41 (Tabel 6). Bahkan rendahnya kemerataan meiofauna pada
Titik 2 ini mengakibatkan terjadinya dominansi pada titik ini, sekaligus menjadikan
Titik 2 ini sebagai daerah yang memiliki tingkat dominansi yang tertinggi di Teluk
Kuta. Dimana pada Titik 2 ini tingkat dominansinya 0,53. Mulai dari Titik 3 hingga
ke arah tubir (Titik 5) kondisi lingkungannya semakin mantap dan stabil. Hal ini
tergambar dengan semakin meningkatnya kemerataan meiofauna mulai dari Titik 3
hingga Titik 5. Titik 5 merupakan daerah dengan tingkat kemerataan tertinggi di
Teluk Kuta dengan nilai kemerataan 0,62 dan sekaligus mengindikasikan pada Titik 5
ini cenderung tidak terjadi dominansi jenis.
3. Keanekaragaman taksa, kemerataan, dan dominansi meiofauna di Pantai Wori dan Teluk Kuta
Secara umum keanekaragaman jenis meiofauna di Pantai Wori yaitu 1,53
relatif lebih tinggi dibandingkan dengan di Teluk Kuta yang hanya 1,29 (Tabel 7).
Tetapi jika mengacu kepada indeks Shannon-Weaner, kedua lokasi masih dapat
dikatakan memiliki stabilitas komunitas meiofauna yang moderat. Pantai Wori secara
umum memiliki substrat yang lebih didominasi oleh pasir sehingga keanekaragaman
48
meiofauna di Pantai Wori cenderung lebih tinggi dibanding Teluk Kuta yang
substratnya lebih halus. Menurut Giere (1975), sedimen yang halus seperti lumpur
keanekaragamannya rendah tetapi memiliki kelimpahan yang tinggi.
Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan keanekaragaman meiofauna di
kedua lokasi penelitian, maka dianalisis menggunakan uji Hutchinson. Setelah
melalui uji Hutchinson dapat ditarik kesimpulan bahwa di kedua lokasi penelitian
tidak terdapat perbedaan keanekaragaman meiofauna yang bermakna (thit > t tabel0,05
Tabel 7. Nilai keanekaragaman taksa (H’), kemerataan (E), dan dominansi (D) di dua
)
(Lampiran 9). Hal ini menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis meiofauna (H’)
antar kedua lokasi pengamatan adalah relatif sama.
lokasi pengamatan.
Lokasi H’ E D Pantai Wori 1,53 0,32 0,60 Teluk Kuta 1,29 0,41 0,44
Tingkat dominansi di Teluk Kuta hanya 0,44 sedangkan untuk Pantai Wori
0,60. Jika indeks dominansi mendekati nilai 0 berarti hampir tidak ada jenis yang
mendominasi jenis yang lainnya (Fachrul, 2007). Rendahnya dominansi di kedua
lokasi mengindikasikan bahwa kedua lokasi memiliki struktur komunitas yang stabil.
Kestabilan struktur komunitas ini tentunya karena ditunjang dengan kondisi
lingkungan yang masih baik dan alami.
Tingkat kemerataan di Pantai Wori mencapai 0,32 sementara Teluk Kuta
memiliki tingkat kemerataan 0,41. Ini mengartikan bahwa keberadaan meiofauna di
49
kedua lokasi relatif tidak merata. Bila indeks kemerataan mendekati nilai 1
menunjukkan bahwa ekosistem tersebut dalam kondisi dengan jumlah individu tiap
jenis relatif sama (Brower dan Zar, 1977). Dari data tersebut bisa disimpulkan bahwa
kemerataan meiofauna di Teluk Kuta lebih tinggi dibandingkan dengan Pantai Wori.
C. Sebaran Kelimpahan Meiofauna
1. Kelimpahan vertikal meiofauna di Pantai Wori dan Teluk Kuta
Hasil analisis pola distribusi vertikal meiofauna berdasarkan kedalaman
substrat di Pantai Wori, terlihat bahwa kelimpahan meiofauna tertinggi terjadi pada
kedalaman substrat 0-2 cm. Dimana pada kedalaman tersebut dijumpai adanya
meiofauna sebanyak 266 ind/10 cm2
Pada kedalaman substrat 0-2 cm umumnya meiofauna yang mempunyai
kelimpahan tertinggi adalah Nematoda sebanyak 116,2 ind/10 cm
dengan 11 taksa (Tabel 8). Melimpahnya taksa
meiofauna pada kedalaman 0-2 cm ini, karena pada kedalaman tersebut masih
memungkinkan terjadinya aerasi diantara butiran sedimen sehingga kadar oksigen
dan materi organik yang merupakan bahan makanan bagi meiofauna dapat tersedia
cukup baik. Meiofauna cenderung menempati lapisan sedimen atas atau pada lapisan
sedimen di bawah permukaan yang beroksigen (Heip dkk, 1985). Sementara menurut
Nybakken (1992), Kebanyakan meiofauna hidup pada batas antara sedimen-air
(sediment–water interface), dan yang lainnya di dalam sedimen membenamkan diri
di antara butiran-butiran sedimen melalui penekanan sebagian sedimen untuk
membuat lubang atau ruang dalam proses perpindahannya.
2. Nematoda juga
50
terus mendominasi dengan semakin meningkatnya kedalaman, meskipun jumlahnya
semakin menurun seiring semakin dalamnya sedimen. Melimpahnya Nematoda ini
karena memiliki bentuk morfologi tubuh yang langsing memanjang sehingga sangat
ideal untuk melakukan penetrasi ke dalam sedimen. Selain itu Nematoda merupakan
taksa yang memiliki kemampuan untuk bertahan hidup pada kondisi oksigen yang
minim. Meiofauna yang memiliki bentuk tubuh yang langsing dapat melekatkan diri
pada ruang yang sempit pada butiran sedimen. Adaptasi ini agar meiofauna dapat
tetap tinggal dalam ruang sedimen yang sempit, sehingga terbebas dari pengaruh
suspensi (Nybakken, 1992).
Pada kedalaman 2 hingga 10 cm, kepadatan meiofauna perlahan sudah mulai
mengalami penurunan meskipun tidak terlalu signifikan dan bervariasi. Puncaknya
terjadi pada kedalaman 8-10 cm, dimana pada kedalaman ini jumlah individu yang
ditemukan hanya 67,2 ind/10 cm2 (Tabel 8). Masih tingginya Nematoda dan
Harpacticoida pada kedalaman ini mengindikasikan bahwa kedua taksa tersebut
memiliki kemampuan hidup yang tinggi. Disamping itu, Pantai Wori memiliki tipe
sedimen berpasir yang dapat memudahkan Nematoda untuk melakukan penetrasi
hingga beberapa centimeter ke dalam sedimen. Menurut Funch dkk (2002),
Nematoda dapat hidup pada beberapa centimeter di pantai yang berpasir. Hal ini
karena Nematoda tidak memerlukan oksigen dalam jumlah yang banyak, dan secara
umum Nematoda mendominasi jumlah dari total meiofauna yang ada, kemudian
biasanya diikuti oleh kelimpahan Harpacticoida (Heip dkk, 1985). Pernyataan ini
51
sesuai dengan Mohd (1994), menyatakan bahwa dalam setiap sampling meiofauna
jumlah Nematoda dan Harpacticoida selalu mendominasi.
Tabel 8. Kelimpahan vertikal meiofauna di Pantai Wori, Sulawesi Utara.
Taksa Kedalaman (ind/10 cm2) 0-2 cm 2-4 cm 4-6 cm 6-8 cm 8-10 cm
Acari 8,4 0,7 0 0 0,7 Amphipoda 0,7 0 0 0 0 Cilliata 0 0 1,4 0 0 Foraminifera 2,8 2,1 0 2,1 1,4 Gnathostomulida 0 0 0 0 0,7 Harpacticoida 60,9 28,7 11,9 14 16,1 Nematoda 116,2 93,1 30,8 58,1 32,2 Oligochaeta 9,1 5,6 2,1 4,9 2,1 Ostracoda 7 2,8 1,4 2,8 2,1 Polychaeta 42 12,6 4,9 9,1 8,4 Sarcomastigophora 8,4 4,2 1,4 3,5 2,1 Tanaidacea 2,8 0 0 0 0 Turbellaria 7,7 6,3 4,2 4,2 1,4 Jumlah Individu (N) 266 156,1 58,1 98,7 67,2 Jumlah Taksa (S) 11 9 8 8 10
Teluk Kuta cenderung memiliki kelimpahan meiofauna yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan Pantai Wori. Seperti halnya di Pantai Wori, distribusi
meiofauna tertinggi di Teluk Kuta juga terjadi di kedalaman sedimen 0-2 cm, dimana
pada kedalaman ini dijumpai meiofauna sebanyak 495,6 ind/10 cm2 dan didominasi
oleh Nematoda sebayak 218,4 ind/10 cm2 (Tabel 9). Pada dasarnya struktur
komunitas meiofauna pada sedimen sangat dipegaruhi oleh karakteristik sedimennya
(Hicks dan Coull, 1983; Heip dkk, 1985). Adanya variasi distribusi meiofauna pada
setiap kedalaman sedimen di Teluk Kuta, dikarenakan Teluk Kuta memiliki
52
komposisi substrat pasir berlempung yang mengandung banyak materi organik.
Lokasi Teluk Kuta yang ditutupi oleh vegetasi lamun memberikan daya dukung
tersendiri pada kesetabilan substrat. Karena dengan adanya vegetasi lamun kondisi
substrat dapat lebih stabil tanpa adanya pengaruh turbulensi yang besar oleh arus,
dengan demikian materi-materi organik dapat terendapkan dengan baik, yang
nantinya sangat dibutuhkan oleh meiofauna.
Copepoda merupakan satu-satunya taksa meiofauna yang mempunyai
kemampuan berenang yang tinggi dibanding meiofauna yang lain dan selalu
terkumpul pada bagian atas sedimen (Armonies, 1990 dan Palmer, 1988).
Harpacticoida umumnya dominan pada permukaan flora laut seperti rumput laut dan
beberapa lamun (Susetiono, 1999). Pantai Wori dan Teluk Kuta cenderung memiliki
vegetasi yang cukup baik. Pada ekosistem lamun tentunya banyak daun-daun lamun
yang membusuk dan kemudian mengendap di permukaan sedimen. Harpacticoida
cenderung hidup di bagian dekat permukaan sedimen, dan beberapa jenis
Harpacticoida memanfaatkan daun lamun dan alga sebagai tempat tinggal dan sumber
bahan makanannya. Oleh karenanya di kedua lokasi penelitian tersebut Harpacticoida
cenderung terdistribusi baik pada kedalaman sedimen 0-2 cm dan semakin ke dalam
jumlahnya semakin menurun. Menurunnya jumlah Harpacticoida mulai dari
kedalaman 2-10 cm mengindikasikan bahwa pada tingkat kedalaman tersebut
kandungan kadar oksigen sudah mulai rendah. Harpacticoida tidak dapat hidup pada
tingkat oksigen yang rendah (Hicks dan Coull, 1983).
53
Tabel 9. Kelimpahan vertikal meiofauna di Teluk Kuta, Lombok NTB.
Taksa Kedalaman (ind/10 cm2) 0-2 cm 2-4 cm 4-6 cm 6-8 cm 8-10 cm
Amphipoda 7,7 0,7 0 0 0,7 Cilliata 1,4 1,4 0 0,7 0,7 Cladocera 2,1 0 0 0 0 Cumacea 2,8 0 0 0 0 Foraminifera 3,5 0 0 0,7 0,7 Gastrotricha 0,7 0 0 0 0 Gnathostomulida 0,7 0 0 3,5 0 Halacaroidea 0,7 0 0 0 0 Harpacticoida 163,1 27,3 23,8 25,2 23,8 Isopoda 0,7 0 0 0 0 Nematoda 218,4 135,8 107,8 155,4 163,1 Nemertina 0,7 0 0 0 0 Oligochaeta 11,9 7 8,4 8,4 4,2 Ostracoda 7,7 0,7 0 0,7 0,7 Polychaeta 53,9 21 18,9 9,8 9,8 Sarcomastigophora 2,8 2,1 0,7 1,4 9,8 Tanaidacea 0,7 0 0 0 0 Thermosbaenacea 0,7 0 0 0 0 Turbellaria 15,4 11,2 4,2 4,2 7 Jumlah Individu (N) 495,6 207,2 163,8 210 220,5 Jumlah Taksa (S) 19 9 6 10 10
Di kedua lokasi penelitian, seperti halnya Nematoda dan Harpacticoida
keberadaan Polychaeta juga bisa dikatakan cukup tinggi. Kelimpahan tertinggi terjadi
pada kedalaman sedimen 0-2 cm, dimana pada kedalaman ini di Pantai Wori
ditemukan Polychaeta sebanyak 42 ind/10 cm2, dan di Teluk Kuta ditemukan
sebanyak 53,9 ind/10 cm2. Tetapi seperti taksa lainnya jumlah Polychaeta juga
semakin menurun dengan semakin dalamnya substrat. Dari data tersebut bisa
dijelaskan bahwa ternyata Polychaeta memiliki kemampuan beradaptasi yang baik
54
dan toleransi yang tinggi terhadap kondisi suatu lingkungan. Adaptasi perilaku
Polychaeta akan berlangsung apabila terjadi kenaikan suhu dan salinitas. Adaptasi
tersebut dapat berupa aktivitas membuat lubang dalam lumpur dan membenamkan
diri di bawah permukaan sedimen (Alcantara dan Weiss, 1999). Semakin dalamnya
sedimen biasanya semakin menurun kadar oksigen. Oleh karenanya dengan tetap
tingginya kelimpahan Polychaeta, maka bisa disimpulkan bahwa Polyhaeta memiliki
kemampuan toleransi yang tinggi. Seperti dijelaskan oleh Junardi (2001), bahwa
Polychaeta memiliki toleransi yang tinggi terhadap bahan organik tertentu dan
penurunan konsentrasi oksigen.
2. Kelimpahan horizontal meiofauna di Pantai Wori dan Teluk Kuta
Distribusi meiofauna di Pantai Wori terbilang cukup baik. Berdasarkan
distribusi horizontalnya, mulai dari pinggir hingga ke arah tubir kelimpahan
meiofauna di Pantai Wori cenderung semakin tinggi. Dari 3 titik pengamatan yang
dilakukan di Pantai Wori, Titik 3 merupakan daerah yang memiliki kelimpahan
meiofauna yang tertinggi, dimana pada Titik 3 ini kelimpahan meiofauna mencapai
256,9 ind/10 cm2 dan terdiri dari 11 taksa (Tabel 10). Meskipun Titik 3 ini
merupakan daerah yang memiliki substrat yang berpasir dengan kandungan bahan
organik yang terendah di Pantai Wori, tetapi Titik 3 ini merupakan daerah yang dekat
sekali dengan tubir dan cenderung relatif selalu terendam air meski dalam kondisi
surut sekalipun. Oleh karenanya meiofauna pada Titik 3 ini cenderung dapat
terdistribusi dengan baik. Titik 1 merupakan daerah yang memiliki kelimpahan
meiofauna terendah di Pantai Wori, dimana hanya 170,1 ind/10 cm2 yang terdiri dari
55
10 taksa. Rendahnya kelimpahan meiofauna di Titik 1 ini dikarenakan pada lokasi ini
lebih mudah terpapar ketika surut sehingga tingkat kelembabannya cenderung lebih
rendah. Oleh karenanya kelimpahan meiofauna di titik ini cenderung lebih rendah.
Tabel 10. Kelimpahan horizontal meiofauna di Pantai Wori, Sulawesi Utara.
Taksa Pantai Wori (ind/10 cm2) Titik 1 Titik 2 Titik 3
Acari 1,4 3,5 4,9 Amphipoda 0,7 0 0 Cilliata 0 0 1,4 Foraminifera 4,2 0,7 3,5 Gnathostomulida 0 0,7 0 Harpacticoida 35 35 61,6 Nematoda 95,9 116,9 117,6 Oligochaeta 4,9 7,7 11,2 Ostracoda 3,5 4,9 7,7 Polychaeta 18,9 31,5 26,6 Sarcomastigophora 0,7 8,4 10,5 Tanaidacea 0 2,1 0,7 Turbellaria 4,9 7,7 11,2 Jumlah Individu (N) 170,1 219,1 256,9 Jumlah Taksa (S) 10 11 11
Jika ditinjau dari distribusi horizontalnya, Teluk Kuta memiliki kelimpahan
meiofauna yang lebih tinggi dan lebih bervariasi di bandingkan dengan Pantai Wori.
Kelimpahan meiofauna terendah ditemui pada Titik 5 sebanyak 218,4 ind/10 cm2
dengan 10 taksa (Tabel 11). Rendahnya kelimpahan meiofauna di Titik 5 dikarenakan
pada lokasi ini memiliki substrat yang lebih berpasir dengan kandungan bahan
organik yang rendah sehingga keberadaan meiofauna juga menjadi lebih rendah. Hal
ini karena meiofauna sangat membutuhkan suplai nutrien dari bahan organik.
56
Tabel 11. Kelimpahan horizontal meiofauna di Teluk Kuta, Lombok NTB.
Taksa Teluk Kuta (ind/10 cm2) Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 4 Titik 5
Amphipoda 2,1 0,7 1,4 2,8 2,1 Cilliata 1,4 1,4 0 0 1,4 Cladocera 0 2,1 0 0 0 Cumacea 0 0,7 1,4 0 0,7 Foraminifera 2,1 0,7 1,4 0,7 0 Gastrotricha 0 0,7 0 0 0 Gnathostomulida 0 0,7 0 3,5 0 Halacaroidea 0 0 0,7 0 0 Harpacticoida 51,8 25,2 58,1 77,7 50,4 Isopoda 0 0,7 0 0 0 Nematoda 191,1 205,1 124,6 151,2 108,5 Nemertina 0 0 0 0 0,7 Oligochaeta 3,5 11,9 7 4,2 13,3 Ostracoda 4,2 2,1 0,7 0,7 2,1 Polychaeta 17,5 14 17,5 35 29,4 Sarcomastigophora 5,6 4,2 1,4 5,6 0 Tanaidacea 0 0,7 0 0 0 Thermosbaenacea 0,7 0 0 0 0 Turbellaria 8,4 14 7 2,8 9,8 Jumlah Individu (N) 288,4 284,9 221,2 284,2 218,4 Jumlah Taksa (S) 11 16 11 10 10
Pada Titik 2, Titik 3 dan Titik 4 kelimpahan meiofauna bervariatif. Dari
kelima titik pengamatan, Titik 2 merupakan daerah dengan tingkat taksa tertinggi
dengan 16 taksa. Adapun taksa-taksa yang hanya dijumpai di Titik 2 antara lain
Cladocera, Gastrotricha, Isopoda, dan Tranaidacea. Keempat taksa ini meskipun
hanya dijumpai di Titik 2 tetapi jumlahnya cenderung sangat sedikit. Hal ini karena
keempat taksa tersebut memiliki kemampuan hidup yang rendah.
57
Titik 1 merupakan daerah yang memiliki kelimpahan meiofauna yang
tertinggi sebanyak 288,4 ind/10 cm2
3. Kelimpahan meiofauna di Pantai Wori dan Teluk Kuta
dan terdiri dari 11 taksa. Secara umum tingginya
kelimpahan meiofauna di Teluk Kuta lebih dikarenakan bentuk karakteristik
lokasinya yang berupa teluk yang membuat arus menjadi lebih tenang. Selain itu
Teluk Kuta juga memiliki ekosistem lamun yang begitu subur dan tersebar merata di
sepanjang teluk sehingga bahan organik yang dihasilkan menjadi lebih tinggi.
Secara umum total kelimpahan meiofauna di Pantai Wori ditemukan sebanyak
646,1 ind/10 cm2 (Gambar 3). Nematoda merupakan taksa dengan jumlah individu
yang tertinggi dengan 330,4 ind/10 cm2. Sementara taksa yang terendah adalah
Amphipoda dan Gnathostomulida dengan hanya 0,7 ind/10 cm2
Total keseluruhan Pantai Wori terdiri dari 13 taksa meiofauna (Tabel 12).
Rendahnya jumlah taksa meiofauna di Pantai Wori disebabkan oleh rendahnya
kandungan bahan organik yang terdapat di lokasi sampling (Tabel 3). Sehingga
meiofauna yang semestinya membutuhkan bahan organik sebagai suplai makanan,
terganggu kelangsungan hidupnya.
.
Secara umum Teluk Kuta memiliki Kelimpahan meiofauna yang jauh lebih
tinggi dibandingkan Pantai Wori. Dari 19 taksa yang ditemukan, total kelimpahan
meiofauna di Teluk Kuta 1297,1 ind/10 cm2 (Gambar 3). Nematoda merupakan taksa
yang memiliki kelimpahan tertinggi dengan 780,5 ind/10 cm2 (Tabel 12). Sementara
itu Gastrotricha, Halacaroidea, Isopoda, Nemertina, Tanaidacea, dan
Thermosbaenacea merupakan taksa meiofauna yang memiliki kelimpahan terendah di
58
Teluk Kuta dengan jumlah individunya yang hanya 0,7 ind/10 cm2
. Rendahnya
keenam taksa tersebut semakin mengindikasikan bahwa keenam taksa tersebut
memiliki kemampuan hidup yang sangat rendah. Secara umum tingginya kelimpahan
taksa meiofauna di Teluk Kuta dikarenakan Teluk Kuta memiliki padang lamun yang
sangat subur sehingga kandungan bahan organik yang terdapat di Teluk Kuta cukup
tinggi.
Gambar 3. Grafik kelimpahan meiofauna di kedua lokasi penelitian.
Baik di Pantai Wori maupun Teluk Kuta Nematoda dan Harpacticoida
merupakan taksa yang paling melimpah dibandingkan dengan taksa lainnya (Tabel
12). Menurut Bouwman (1987), jenis meiofauna yang mampu beradaptasi di semua
habitat adalah Nematoda, hal ini dikarenakan bentuk tubuh yang dapat beradaptasi
dengan labirin interstitial dan kemampuan memanfaatkan semua tipe mikroorganisme
sebagai makanan. Selanjutnya menurut McNaughton dan Wolf (1990), Harpacticoida
646,1
1297,1
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Pantai Wori Teluk Kuta
59
terdapat hampir di semua lapisan perairan laut dan merupakan perenang yang aktif
yang dapat melakukan migrasi horizontal dan vertikal pada sedimen perairan. Jadi
Nematoda dan Harpactiocida memiliki tingkat adaptasi yang tinggi terhadap
lingkungan perairan.
Tabel 12. kelimpahan meiofauna di kedua lokasi penelitian.
Taksa Kelimpahan (ind/10 cm2) Pantai Wori Teluk Kuta
Acari 9,8 0 Amphipoda 0,7 9,1 Cilliata 1,4 4,2 Cladocera 0 2,1 Cumacea 0 2,8 Foraminifera 8,4 4,9 Gastrotricha 0 0,7 Gnathostomulida 0,7 4,2 Halacaroidea 0 0,7 Harpacticoida 131,6 263,2 Isopoda 0 0,7 Nematoda 330,4 780,5 Nemertina 0 0,7 Oligochaeta 23,8 39,9 Ostracoda 16,1 9,8 Polychaeta 77 113,4 Sarcomastigophora 19,6 16,8 Tanaidacea 2,8 0,7 Termosbaenacea 0 0,7 Turbellaria 23,8 42 Jumlah Individu (N) 646,1 1297,1 Jumlah Taksa (S) 13 19
Untuk mengetahui perbedaan jumlah individu meiofauna di pantai Wori dan
Teluk Kuta diuji menggunakan uji F dengan rancangan RAL Faktorial. Dari uji
60
tersebut ternyata diketahui tidak terjadinya perbedaan diantara kedua lokasi dengan
nilai signifikansi 0,404 (p > 0,05) (Lampiran 11). Begitu juga ketika dilakukan
analisis berdasarkan banyaknya taksa meiofauna, ternyata Pantai Wori maupun Teluk
Kuta tetap tidak ada perbedaan bermakna dengan nilai signikan 0,082 (p > 0,05)
(Lampiran 14) . Ini artinya secara keseluruhan antara Pantai Wori dan Teluk Kuta
tidak terjadi perbedaan yang bermakna, yang artinya kekayaan taksa meiofauna
antara Pantai Wori dan Teluk Kuta relatif sama.
Bila ditinjau dari segi kedalaman substratnya melalui uji F diketahui bahwa
terjadi perbedaan yang signifikan baik itu pada jumlah individu meiofauna maupun
jumlah taksanya terhadap setiap lapisan kedalaman sedimen dengan nilai siginifikan
0,00 (p < 0,05) (lampiran 11 dan lampiran 14). Sehingga perlunya dilakukan uji lanjut
Beda Nyata Terkecil (BNT) dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana perbedaan
diantara kedalaman sedimen tersebut terjadi.
Dari uji lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT) dapat diketahui bahwa ternyata
perbedaan yang signifikan terjadi hampir pada masing-masing lapisan kedalaman
sedimen (Lampiran 12 dan Lampiran 15). Jika dipandang dari segi jumlah
individunya, perbedaan meiofauna hampir terjadi di setiap lapisan kedalaman,
terutama perbedaan yang sangat signifikan terjadi jika dibandingkan dengan lapisan
permukaan (0-2 cm). Tetapi semakin ke dalam perbedaan individu meiofauna
tersebut relatif tidak terjadi (Lampiran 12). Secara keseluruhan pada kedalaman
sedimen 0-2 cm jumlah rataan individu meiofauna adalah yang tertinggi dibanding
dengan lapisan-lapisan selanjutnya yang lebih dalam. Di kedalaman sedimen 0-2 cm
61
ini jumlah rataan individu meiofauna tertinggi terdapat pada Pantai Wori Titik 2
dengan jumlah individu meiofauna sebanyak 107,1 ind/10 cm2 (Lampiran 10).
Sementara itu jumlah rataan individu meiofauna yang terendah masih terdapat di
Pantai Wori di kedalaman sediemen 4-6 cm Titik 1 dengan hanya diketahui individu
meiofauna sebanyak 14 ind/10 cm2
Hal yang sedikit berbeda terjadi jika dipandang dari segi jumlah taksa
meiofauna. Perbedaan yang signifikan terjadi hanya jika dibandingkan dengan lapisan
sedimen permukaan (0-2 cm). Berdasarkan dari rataan jumlah taksanya lapisan
sedimen permukaan memang merupakan lapisan yang memiliki rataan taksa
meiofauna yang terbanyak dibandingkan lapisan-lapisan lainnya yang lebih dalam.
Rata-rata taksa meiofauna tertinggi terdapat di Pantai Wori Titik 3 kedalaman
substrat 0-2 cm, dan juga Teluk Kuta Titik 2 kedalaman substrat 0-2 cm dengan
jumlah rata-rata taksa masing-masing 8,5/10 cm
.
2
(Lampiran 13). Hasil ini
menguatkan dugaan bahwa pada lapisan 0-2 cm cenderung merupakan lapisan yang
lebih disukai oleh meiofauna, karena pada lapisan permukaan akumulasi bahan
organik, distribusi oksigen, dan kandungan air dalam sedimen masih cenderung
tinggi. Distribusi vertikal meiofauna dalam sedimen sangat berhubungan erat dengan
distribusi vertikal oksigen, khlorofil a, kandungan air dalam sedimen, dan juga
akumulasi bahan organik dalam sedimen (Ansari dan Parelukar, 1993; Susetiono,
1995).
62
D. Indeks Kesamaan Taksa (IS)
1. Kesamaan taksa meiofauna berdasarkan distribusi vertikal meiofauna di Pantai Wori dan Teluk Kuta
Kesamaan taksa meiofauna di pantai Wori pada masing-masing kedalaman
substrat dapat dikatakan relatif sama dengan angka persentase lebih dari 50%.
Kesamaan taksa tertinggi terjadi pada kedalaman sedimen 2-4 cm dengan 8-10 cm
dimana besar persentase 94,74% (Tabel 13). Di kedua lapisan kedalaman ini
ditemukan sebanyak 9 taksa meiofauna yang sama yaitu Acari, Foraminifera,
Harpacticoida, Nematoda, Oligochaeta, Ostracoda, Polychaeta, Sarcomastigophora,
dan Turbellaria. Tingginya nilai kesamaan taksa di kedua lapisan kedalaman ini
mengindikasikan bahwa di kedua lapisan ke dalam tersebut memiliki tipe komunitas
yang hampir serupa atau dengan kata lain komunitas meiofauna relatif sama.
Sementara itu, meskipun pada kedalaman sedimen 0-2 cm dengan 4-6 cm merupakan
lokasi yang memiliki tingkat kesamaan taksa yang terendah dengan hanya 73,68%,
tetapi jika mengacu kepada ketetapan yang telah ada (IS > 50%) maka bisa dikatakan
bahwa pada kedua kedalaman tersebut juga memiliki tingkat kesamaan komunitas
yang tinggi.
Tabel 13. Kesamaan taksa meiofauna pada kedalaman sedimen yang berbeda di Pantai Wori, Sulawesi Utara.
0-2 cm 2-4 cm 4-6 cm 6-8 cm 8-10 cm 0-2 cm 2-4 cm 90 4-6 cm 73,68 82,35 6-8 cm 84,21 94,11 87,5 8-10 cm 85,71 94,74 77,77 88,89
63
Teluk Kuta memiliki kesamaan taksa meiofauna yang relatif lebih bervariasi
dibandingkan dengan Pantai Wori. Kesamaan taksa tertinggi terjadi antara kedalaman
sedimen 2-4 cm dengan 8-10 cm dimana tingkat persentase kesamaan komunitasnya
sebesar 94,74% (Tabel 14). Pada kedua lapisan kedalaman ini diketahui memiliki 9
taksa meiofauna yang sama yaitu, Amphipoda, Cilliata, Harpacticoida, Nematoda,
Oligochaeta, Ostracoda, Polychaeta, Sarcomastigophora, Turbellaria. Tingginya
kesamaan taksa di kedua lapisan kedalaman ini mengindikasikan bahwa di kedua
lapisan kedalaman tersebut cenderung memiliki tipe komunitas yang hampir serupa,
dimana ditopang dengan faktor-faktor lingkungan yang juga sama seperti tipe substrat
dan kandungan bahan organiknya.
Tabel 14. Kesamaan taksa meiofauna pada kedalaman sedimen yang berbeda di Teluk Kuta, Lombok NTB.
0-2 cm 2-4 cm 4-6 cm 6-8 cm 8-10 cm 0-2 cm 2-4 cm 64,29 4-6 cm 48,00 80,00 6-8 cm 68,97 84,21 75,00 8-10 cm 68,97 94,74 75,00 90,00
Kedalaman sedimen 0-2 cm dengan 4-6 cm merupakan lapisan yang memiliki
tingkat kesamaan taksa yang terendah di Teluk Kuta dengan hanya 48%. Berdasarkan
ketetapan indeks kesamaan Sorensen (IS < 50%) maka dapat dikatakan bahwa pada
kedua lapisan kedalaman ini memiliki tipe komunitas yang sangat berbeda (Fachrul,
2007).
64
2. Kesamaan taksa meiofauna berdasarkan distribusi horizontal meiofauna di Pantai Wori dan Teluk Kuta
Jika di Analisis secara horizontal, tingkat kesamaan taksa meiofauna di Pantai
Wori mulai dari pesisir hingga ke tubir tergolong cukup tinggi dengan kesamaan
taksa yang lebih dari 50%. Antara Titik 1 – Titik 2 serta Titik 1 – Titik 3 bahkan
memiliki tingkat kesamaan taksa yang sama yaitu 85,71% (Tabel 15). Acari,
Foraminifera, Harpacticoida, Nematoda, Oligochaeta, Ostracoda, Polychaeta,
Sarcomastigophora, dan Turbellaria merupakan taksa-taksa meiofauna yang sama
yang dapat dijumpai tidak hanya pada Titik 1 – Titik 2 tetapi juga di Titik 1 – Titik 3.
Kesamaan komunitas meiofauna tertinggi di Pantai Wori terjadi pada Titik 2 – Titik
3. Pada kedua titik pengamatan ini tingkat kesamaan komunitasnya mencapai
90,91%. Dimana bisa dijumpai adanya 10 taksa meiofauna yang sama yaitu Acari,
Foraminifera, Harpacticoida, Nematoda, Oligochaeta, Ostracoda, Polychaeta,
Sarcomastigophora, Tanaidacea, dan Turbellaria. Tingginya angka persentase
kesamaan taksa di Pantai Wori ini (IS > 50%) mengindikasikan bahwa, secara
horizontal mulai dari pesisir hingga tubir kesamaan komunitas meiofauna di Pantai
Wori bisa dikatakan homogen.
Tabel 15. Kesamaan taksa meiofauna di setiap titik pengambilan sampel di Pantai Wori, Sulawesi Utara.
Titik 1 Titik 2 Titik 3
Titik 1 Titik 2 85,71 Titik 3 85,71 90,91
65
Kesamaan taksa meiofauna di Teluk Kuta secara horizontal lebih bervariasi
dibandingkan dengan Pantai Wori meskipun secara keseluruhan bisa disimpulkan
kesamaan komunitas di Teluk Kuta dapat dikatakan cukup tinggi (IS > 50%).
Kesamaan taksa tertinggi terdapat antara Titik 1 – Titik 4 dan Titik 3 – Titik 4,
dimana keduanya memiliki persentase kesamaan taksa yang serupa yaitu 85,71%
(Tabel 16). Adapun taksa-taksa yang sama yang dapat ditemui diantaranya
Amphipoda, Foraminifera, Harpacticoida, Nematoda, Oligochaeta, Ostracoda,
Polychaeta, Sarcomastigophora, dan Turbellaria. Kesembilan taksa tersebut selain
dapat ditemui pada Titik 1 – Titik 4 tetapi juga pada Titik 3 – Titik 4.
Tabel 16. Kesamaan taksa meiofauna di setiap titik pengambilan sampel di Teluk Kuta, Lombok NTB.
Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 4 Titik 5
Titik 1 Titik 2 74,07 Titik 3 81,82 74,07 Titik 4 85,71 76,92 85,71 Titik 5 76,19 69,23 76,19 70
Kesamaan taksa terendah di Teluk Kuta terjadi antara Titik 2 – Titik 5. Kedua
Titik pengamatan ini memiliki persentase kesamaan jenis 69,23% dengan hanya
diketahui 9 taksa meiofauna yang sama yaitu Amphipoda, Cilliata, Cumacea,
Harpacticoida, Nematoda, Oligochaeta, Ostracoda, Polychaeta, dan Turbellaria.
Meskipun persentase kesamaan jenis pada Titik 2 – Titik 5 ini tergolong rendah
dengan hanya 69,23% tetapi bila mengacu kepada ketetapan yang telah ada (IS >
66
50%) maka masih bisa dikatakan antara Titik 2 dengan Titik 5 kesamaan
komunitasnya cenderung homogen.
3. Kesamaan taksa meiofauna di Pantai Wori dan Teluk Kuta
Secara keseluruhan kesamaan taksa meiofauna di kedua lokasi penelitian
adalah 75%, dimana jika mengacu ketetapan yang telah ada maka bisa dikatakan
bahwa tipe komunitas di kedua lokasi relatif sama. Dari 13 taksa meiofauna yang
dijumpai di Pantai Wori, 12 taksa diantaranya juga dijumpai di Teluk Kuta. Taksa-
taksa tersebut yaitu Amphipoda, Cilliata, Foraminifera, Gnathostomulida,
Harpacticoida, Nematoda, Oligochaeta, Ostracoda, Polychaeta, Sarcomastigophora,
Tanaidacea, dan Turbellaria. Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa
perbedaan tipe komunitaslah yang pada akhirnya menentukan terjadinya perbedaan
kelimpahan meiofauna di kedua lokasi penelitian tersebut.
67
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Pantai Wori, Sulawesi Utara dan
Teluk Kuta, Lombok, maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Kondisi lingkungan di kedua lokasi baik suhu, salinitas, maupun pH hampir
sama, tetapi di Teluk Kuta tipe substrat lebih halus dengan kandungan bahan
organik yang lebih tinggi dibandingkan dengan Pantai Wori.
2. Di Teluk Kuta ditemukan 19 taksa meiofauna, lebih banyak dibandingkan
Pantai Wori yang hanya ditemukan 13 taksa meiofauna.
3. Keanekaragaman meiofauna secara vertikal di kedua lokasi relatif lebih tinggi
pada kedalaman sedimen 0-2 cm.
4. Pada setiap lapisan sedimen di Pantai Wori tidak ada taksa meiofauna yang
dominan dan semua taksa meiofauna mempunyai variasi jumlah taksa yang
relatif merata, sementara Teluk Kuta semakin dalam sedimen semakin
terjadinya dominansi.
5. Secara horizontal baik di Pantai Wori maupun Teluk Kuta, kemerataan
meiofauna semakin tinggi dengan semakin mendekati ke arah tubir.
6. Kelimpahan meiofauna secara vertikal baik berdasarkan jumlah individu
maupun jumlah taksa lebih tinggi pada lapisan substrat 0-2 cm, tetapi secara
68
horizontal maupun secara umum antar di kedua lokasi kelimpahan meiofauna
relatif tidak berbeda.
7. Kesamaan komunitas meiofauna pantai Wori maupun Teluk Kuta baik secara
vertikal maupun horizontal dapat dikatakan relatif mirip.
B. Saran
Saran yang diajukan dari penelitian pola kelimpahan meiofauna di sedimen ini
adalah :
1. Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut, terutama tentang meiofauna yang dapat
memberikan informasi mengenai berbagai aspek ekologi dan biologi dari
meiofauna yang hidup pada sedimen. Hal ini dapat dijadikan sebagai salah satu
bentuk upaya dalam menjaga kelestarian ekosistem perairan dan biota yang hidup
di dalamnya.
2. Sebaiknya perlu dilakukan pengukuran data parameter lingkungan pada substrat
dasar perairan secara vertikal agar dapat tergambar jelas korelasi dan pengaruhnya
terhadap keberadaan meiofauna secara vertikal.
69
DAFTAR PUSTAKA
Alcantara PH, Weiss VS. Ecological aspects of the Polychaete population associated
with the red mangrove Rhizophora mangle at Laguna de Terminos, Southern part of the Gulf of Mexico. Journal Ophelia. 1991: 5: 451-462.
American Public Health Association (APHA). Standard methods for the examination
of water and waste water. AWWA (American Water Works Association) and WPCF (Water Pollution Control Federation). Washington DC. Ed 17. 1989.
Ansari ZA dan Parelukar AH. Distribution, abundance, and ecology of the meiofauna
in a tropical estuary along the west coast on India. Journal Hydrobiologia. 1993; 262: 115-126.
Ardi.Pemanfaatan makrozoobentos sebagai indikator kualitas perairan pesisir. Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 2002. Arfiati D, Lelono T.D dan Raharjo I.P. Laporan penelitian komposisi dan distribusi
komunitas Gastropoda dan Pelecypoda di Pantai Wisata Balekambang, Kabupaten Malang. Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya. Malang. 1999.
Armonies W. Short-term changes of meiofaunal abundance in intertidal sediment.
Journal Helgolander Meeresunters. 1990: 44 : 375-386. Aryuthaka C. Meiofaunal community in Khung Kraben Bay, Chanthaburi, East
Thailand. Journal Thai Mar. Fish. Res. Bull 1992; 2: 45–47. Bowman LA. Meiofauna. Biological surveys of estuaries and coasts. Cambridge
University Press. Cambridge. 1987. Brower J.E dan Zar J.H. Field and laboratory methods for general ecology, WM. J.
Brown Company Publishing, Dubuque, Iowa. 1977. Dewi KS, Kapid R. Ostracoda : Objek alternatif untuk studi mikropaleontologi.
Institut Teknologi Bandung. Bandung. 2004. Effendi H. Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumber daya dan lingkungan perairan.
Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 2003. EPA. Quality criteria for water. Environment Protection Agency (EPA).
Washington.1986.
70
Fachrul MF. Metode sampling bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta. 2007. Funch P, Ntels EK, Nielsen, dkk. Marine meiofauna. 2002. Gerlach SA. On the importance of meiofauna for benthos communities. Journal
Oecologia. 1971; 6: 176–190. Gaspersz V. Teknik analisis dalam penelitian percobaan. Jilid 1. Tarsito. Bandung.
1995 Giere O. Meiobenthology the microscopic fauna in aquatic sediments. Springer-
Verlag. New York. 1975. Gourbault N, Mornant JR. Micro-Meiofaunal community structure and nematode
diversity in a Lagoonal Ecosystem (Fangataufa, Estern Tuamotu Archipelago). Journal Marine Ecology. 1990;11 (2): 173–189.
Heip CM, Vincx, Vranken G. The ecology of marine nematodes. Oceanography.
Journal Marine biology. 1985; 23: 399-489. Hicks GRF, Coull. The ecology of marine meiobenthic harpacticoid copepods.
Oceanography. Journal Marine biologi. 1983; 48: 67-175. Higgins RP, Thiel H. Introduction to the study of meiofauna. Smithsonian Institution
Press. Washington DC. 1988. Http : www.googleearth, Pantai Wori, 2007. Http : www.googleearth.com, Teluk Kuta. 2007. Jorgensen SE. Lake management. Pergamon Press. Oxford. 1980. Junardi. Keanekaragaman, pola penyebaran, dan cirri-ciri substrat Polychaeta (filum:
Annelida) di perairan Pantai Timur Lampung. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. 2001.
Krebs C.J. The experimental analysis of distribution and abundance. McGraw Hill
Book Company, New York. 1972. Lind OT. Hand book of common methods in limnology. Sec Ed. Mosby Company.
London. 1979.
71
Losovskaya GV. Small detritovorous Polychaeta in benthic communities of the Northwestern Black Sea. Journal Hidrobiol. 1992; 28 : 75-82.
Magurran, A. Ecological diversity and its measurement. Princeton University Press.
New Jersey. 1988. Masyamsir. Perubahan struktur dan kelimpahan zooplankton dan zoobenthos
sehubungan dengan peningkatan bahan organik di beberapa lokasi Situ Ciburuy Kabupaten Bandung. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. 1996.
McNaughton SJ dan Wolf LL. Ekologi Umum. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta. 1990. Meadows PS, Reichelta AC, Waterworth JS dkk.Microbial and meiofaunal
abundance, redox potential, pH and shear strength profiles in deep sea Pacific sediments. Journal of the Geological Society 1994; 152 : 377–390.
Meisch C. Crustacea : Ostracoda. Spectrum akademischer Verlag Heidelberg. Berlin.
2000. Mohd LS. Biology og dominant meiofaunal taxa; nematoda and harpacticoida. In :
workshop on applied ecology and taxonomy of meiobenthos Universitas Pertanian Supp. Not. Malaysia. 1994; 2: 1–6.
Montogna PA, Bauer JP, Hardin D dkk. Vertikal distribution of microbial and
meiofaunal populations in sediment of a natural coastal hydrocarbon seep. Journal of Marine Research 1989; 47 : 657–680.
Nontji A. Laut nusantara. Djambatan. Jakarta. 2002. Nybakken JW. Biologi laut. Suatu pendekatan ekologis. PT Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta. 1992. Odum E.P. Fundamental of ecology. W.E Saunders, Philidelphia. 1971. Palmer. Dispersal of marine meiofauna : a review and conceptual model explaining
passive transport and active emergence with implications for recruitment. Journal Mar ecol. Prog. 1988: 48: 81-91.
Pescod MB. Investigation of national effluent and stream standards for tropical
countries. AIT. Bangkok. 1973.
72
Romimohtarto K, Juwana S. Biologi laut ilmu pengetahuan tentang biota laut. Penerbit Djambatan. Jakarta. 2001.
Rositasari R. Foraminifera. Jurnal Oseana. 1989; 14: 27-36. Saeni MS. Kimia lingkungan. Ditjen Dikti. PAU Ilmu Hayat. IPB. Bogor. 1989. Sidharta BR. Pengantar Mikrobiologi Kelautan. Universitas Atmajaya. Yagyakarta.
2000. Sidqi M. Analisis kualitas lingkungan perairan berdasarkan komunitas meiobentos
dan kualitas sedimen di pantai dan area pertambakan daerah pesisir Sriwulan, Kabupaten Demak. Tesis. Program Studi Iilmu Lingkungan. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 2002.
Siswandono SU. Laporan penelitian evaluasi potensi sumber daya pesisir Lombok.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI. Jakarta. 1993. Soeriaatmadja RE. Ilmu lingkungan. Institut Teknologi Bandung. Bandung. 1981. Susetiono. Meiofaunal community structure in the Kotania Bay, Seram Island
Indonesia perairan Maluku dan sekitarnya. 1995; 9: 13-24. Susetiono. Dinamika komunitas biologis pada ekosistem lamun di Pulau Lombok
Indonesia. LIPI. Jakarta. 1999. Susetiono. Fauna padang lamun. Tanjung Merah Selat Lembeh. Program COREMAP
II. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Jakarta. 2004. Susetiono. Lamun dan Fauna Teluk Kuta, Pulau Lombok. LIPI Press. Jakarta. 2007. Sutamihardja RTM. Pengelolaan kualitas dan pencemaran air. Seminar on Industrial
Water Pollution Control and Water Quality Management, 6–10 Januari 1992, at Hotel Wisata. Jakarta. 1992.
Suwignyo S, Widigdo B, Wardianto Y dkk. Avertebrata air Jilid 1 dan 2. Penebar
Swadaya. Jakarta. 2005. Suyatna I, Abdunnur, Syafril M. Model distribusi kelimpahan jenis dan tipologi
fungsional komunitas meiobentos terhadap kestabilan lingkungan perairan pesisir muara badak, Kabupaten Kutai. Lembaga Penelitian Universitas Mulawarman. Samarinda. 2000.
73
Wood MS. Subtidal ecology. Edward Arnold Pty. Australia. 1987. Wori, Minahasa Utara. http://id.wikipedia.org/wiki/Wori,_Minahasa_Utara. 2009; 6
Februari.
74
LAMPIRAN Lampiran 1. Data parameter lingkungan di Pantai Wori, Sulawesi Utara.
Titik Pengamatan Parameter Lingkungan
Suhu (ºC) pH Salinitas (0/00) 1 29 7,90 29 2 31 8,40 28 3 32 8,47 30
Lampiran 2. Data parameter lingkungan di Teluk Kuta, Lombok NTB.
Titik Pengamatan Parameter Lingkungan
Suhu (ºC) pH Salinitas (0/00) 1 28 8,65 33,75 2 28 8,78 33,25 3 28 8,93 34,25 4 28 8,90 32 5 28 8,90 30,50
75
Lampiran 3. Komposisi sedimen dan Total Organic Matter (TOM) di Pantai Wori, Sulawesi Utara.
Titik Persen sedimen (%)
Kelas Tekstur TOM Pasir Debu Lumpur
1 86.10 4.11 9.79 Pasir berlempung 7.89 2 88.84 3.40 7.76 Pasir berlempung 7.02 3 90.90 3.14 5.96 Pasir 5.64
Lampiran 4. Komposisi sedimen dan Total Organic Matter (TOM) di Teluk Kuta,
Lombok NTB.
Titik Persen sedimen (%)
Kelas Tekstur TOM Pasir Debu Lumpur
1 85.21 3.03 11.76 Pasir berlempung 62.62 2 90.12 4.24 5.64 Pasir 65.17 3 86.83 5.15 8.02 Pasir berlempung 67.58 4 74.10 4.33 21.57 Lempung liat berpasir 67.84 5 92.50 3.22 4.27 Pasir 65.29
76
Lampiran 5. Hasil perhitungan indeks keanekaragaman (H’) dan uji Hutchinson antar kedalaman sedimen di Pantai Wori, Sulawesi Utara.
• Indeks Keanekaragaman (H’) Shannon dan Wiener Kedalaman Substrat 0–2 cm
H’ = -∑ pi ln pi = 1,63
• Indeks Keanekaragaman (H’) Shannon dan Wiener Kedalaman Substrat 2–4 cm H’ = -∑ pi ln pi
= 1,32 • Indeks Keanekaragaman (H’) Shannon dan Wiener Kedalaman Substrat 4–6 cm
H’ = -∑ pi ln pi = 1,45 • Indeks Keanekaragaman (H’) Shannon dan Wiener Kedalaman Substrat 6–8 cm
H’ = -∑ pi ln pi = 1,39 • Indeks Keanekaragaman (H’) Shannon dan Wiener Kedalaman Substrat 8–10 cm
H’ = -∑ pi ln pi = 1,54
Uji Hutchinson
Kedalaman Substrat t Hitung db t Tabel (0-2 cm) - (2-4 cm) 0.06 129.83 1.66 (0-2 cm) - (4-6 cm) 0.03 46.94 1.68 (0-2 cm) - (6-8 cm) 0.04 98.29 1.67 (0-2 cm) - (8-10 cm) 0.01 39.19 1.7 (2-4 cm) - (4-6 cm) 0.02 45.36 1.68 (2-4 cm) - (6-8 cm) 0.01 82.11 1.67 (2-4 cm) - (8-10 cm) 0.03 39.01 1.7 (4-6 cm) - (6-8 cm) 0.009 40.6 1.68 (4-6 cm) - (8-10 cm) 0.01 39.89 1.7 (6-8 cm) - (8-10 cm) 0.02 36.66 1.7
77
t hitung < t tabel, db (α = 0,05) jadi kedalaman 0-2 cm ≠ kedalaman 2-4 cm berarti
terima H0
, tidak terdapat perbedaan.
t hitung < t tabel, db (α = 0,05) jadi kedalaman 0-2 cm ≠ kedalaman 4-6 cm berarti terima H0
, tidak terdapat perbedaan.
t hitung < t tabel, db (α = 0,05) jadi kedalaman 0-2 cm ≠ kedalaman 6-8 cm berarti terima H0
, tidak terdapat perbedaan.
t hitung < t tabel, db (α = 0,05) jadi kedalaman 0-2 cm ≠ kedalaman 8-10 cm berarti terima H0
, tidak terdapat perbedaan.
t hitung < t tabel, db (α = 0,05) jadi kedalaman 2-4 cm ≠ kedalaman 4-6 cm berarti terima H0
, tidak terdapat perbedaan.
t hitung < t tabel, db (α = 0,05) jadi kedalaman 2-4 cm ≠ kedalaman 6-8 cm berarti terima H0
, tidak terdapat perbedaan.
t hitung < t tabel, db (α = 0,05) jadi kedalaman 2-4 cm ≠ kedalaman 8-10 cm berarti terima H0
, tidak terdapat perbedaan.
t hitung < t tabel, db (α = 0,05) jadi kedalaman 4-6 cm ≠ kedalaman 6-8 cm berarti terima H0
, tidak terdapat perbedaan.
t hitung < t tabel, db (α = 0,05) jadi kedalaman 4-6 cm ≠ kedalaman 8-10 cm berarti terima H0
, tidak terdapat perbedaan.
t hitung < t tabel, db (α = 0,05) jadi kedalaman 6-8 cm ≠ kedalaman 8-10 cm berarti terima H0
, tidak terdapat perbedaan.
78
Lampiran 6. Hasil perhitungan indeks keanekaragaman (H’) dan uji Hutchinson antar kedalaman sedimen di Teluk Kuta, Lombok NTB.
• Indeks Keanekaragaman (H’) Shannon dan Wiener Kedalaman Substrat 0–2 cm
H’ = -∑ pi ln pi = 1,49
• Indeks Keanekaragaman (H’) Shannon dan Wiener Kedalaman Substrat 2–4 cm H’ = -∑ pi ln pi
= 1,17 • Indeks Keanekaragaman (H’) Shannon dan Wiener Kedalaman Substrat 4–6 cm
H’ = -∑ pi ln pi = 1,07 • Indeks Keanekaragaman (H’) Shannon dan Wiener Kedalaman Substrat 6–8 cm
H’ = -∑ pi ln pi = 0,99 • Indeks Keanekaragaman (H’) Shannon dan Wiener Kedalaman Substrat 8–10 cm
H’ = -∑ pi ln pi = 0,99
Uji Hutchinson
Kedalaman Substrat t Hitung db t Tabel (0-2 cm) - (2-4 cm) 0.03 137.19 1.66 (0-2 cm) - (4-6 cm) 0.04 116.05 1.67 (0-2 cm) - (6-8 cm) 0.05 141.11 1.66 (0-2 cm) - (8-10 cm) 0.05 142.95 1.66 (2-4 cm) - (4-6 cm) 0.02 64.86 1.67 (2-4 cm) - (6-8 cm) 0.02 80.88 1.67 (2-4 cm) - (8-10 cm) 0.02 83.92 1.67 (4-6 cm) - (6-8 cm) 0.01 59.72 1.68 (4-6 cm) - (8-10 cm) 0.01 62.95 1.67 (6-8 cm) - (8-10 cm) 0 85.96 1.67
79
t hitung < t tabel, db (α = 0,05) jadi kedalaman 0-2 cm ≠ kedalaman 2-4 cm berarti terima H0
, tidak terdapat perbedaan.
t hitung < t tabel, db (α = 0,05) jadi kedalaman 0-2 cm ≠ kedalaman 4-6 cm berarti terima H0
, tidak terdapat perbedaan.
t hitung < t tabel, db (α = 0,05) jadi kedalaman 0-2 cm ≠ kedalaman 6-8 cm berarti terima H0
, tidak terdapat perbedaan.
t hitung < t tabel, db (α = 0,05) jadi kedalaman 0-2 cm ≠ kedalaman 8-10 cm berarti terima H0
, tidak terdapat perbedaan.
t hitung < t tabel, db (α = 0,05) jadi kedalaman 2-4 cm ≠ kedalaman 4-6 cm berarti terima H0
, tidak terdapat perbedaan.
t hitung < t tabel, db (α = 0,05) jadi kedalaman 2-4 cm ≠ kedalaman 6-8 cm berarti terima H0
, tidak terdapat perbedaan.
t hitung < t tabel, db (α = 0,05) jadi kedalaman 2-4 cm ≠ kedalaman 8-10 cm berarti terima H0
, tidak terdapat perbedaan.
t hitung < t tabel, db (α = 0,05) jadi kedalaman 4-6 cm ≠ kedalaman 6-8 cm berarti terima H0
, tidak terdapat perbedaan.
t hitung < t tabel, db (α = 0,05) jadi kedalaman 4-6 cm ≠ kedalaman 8-10 cm berarti terima H0
, tidak terdapat perbedaan.
t hitung < t tabel, db (α = 0,05) jadi kedalaman 6-8 cm ≠ kedalaman 8-10 cm berarti terima H0
, tidak terdapat perbedaan.
80
Lampiran 7. Hasil perhitungan indeks keanekaragaman (H’) dan uji Hutchinson antar titik pengamatan di Pantai Wori, Sulawesi Utara
• Indeks Keanekaragaman (H’) Shannon dan Wiener di Titik 1
H’ = -∑ pi ln pi = 1,35
• Indeks Keanekaragaman (H’) Shannon dan Wiener di Titik 2
H’ = -∑ pi ln pi = 1,49 • Indeks Keanekaragaman (H’) Shannon dan Wiener di Titik 3
H’ = -∑ pi ln pi = 1,62
Uji Hutchinson
Titik Pengamtan t Hitung db t Tabel Titik 1 - Titik 2 0.02 76.02 1.67 Titik 1 - Titik 3 0.03 75.06 1.67 Titik 2 - Titik 3 0.02 91.47 1.67
t hitung < t tabel, db (α = 0,05) jadi Titik 1 ≠ Titik 2 berarti terima H0
, tidak terdapat perbedaan.
t hitung < t tabel, db (α = 0,05) jadi Titik 1 ≠ Titik 3 berarti terima H0
, tidak terdapat perbedaan.
t hitung < t tabel, db (α = 0,05) jadi Titik 2 ≠ Titik 3 berarti terima H0
, tidak terdapat perbedaan.
81
Lampiran 8. Hasil perhitungan indeks keanekaragaman (H’) dan uji Hutchinson antar titik pengamatan di Teluk Kuta, Lombok NTB
• Indeks Keanekaragaman (H’) Shannon dan Wiener di Titik 1
H’ = -∑ pi ln pi = 1,16
• Indeks Keanekaragaman (H’) Shannon dan Wiener di Titik 2
H’ = -∑ pi ln pi = 1,14 • Indeks Keanekaragaman (H’) Shannon dan Wiener di Titik 3
H’ = -∑ pi ln pi = 1,26 • Indeks Keanekaragaman (H’) Shannon dan Wiener di Titik 4
H’ = -∑ pi ln pi = 1,26 • Indeks Keanekaragaman (H’) Shannon dan Wiener di Titik 5
H’ = -∑ pi ln pi = 1,42
Uji Hutchinson
Titik Pengamtan t Hitung db t Tabel Titik 1 - Titik 2 0.002 90.78 1.67 Titik 1 - Titik 3 0.01 94.21 1.67 Titik 1 - Titik 4 0.01 113.49 1.67 Titik 1 - Titik 5 0.03 100.06 1.67 Titik 2 - Titik 3 0.01 94.78 1.67 Titik 2 - Titik 4 0.01 85.27 1.67 Titik 2 - Titik 5 0.03 87.01 1.67 Titik 3 - Titik 4 0 88.39 1.67 Titik 3 - Titik 5 0.02 85.48 1.67 Titik 4 - Titik 5 0.02 96.21 1.67
82
t hitung < t tabel, db (α = 0,05) jadi Titik 1 ≠ Titik 2 berarti terima H0
, tidak terdapat perbedaan.
t hitung < t tabel, db (α = 0,05) jadi Titik 1 ≠ Titik 3 berarti terima H0
, tidak terdapat perbedaan.
t hitung < t tabel, db (α = 0,05) jadi Titik 1 ≠ Titik 4 berarti terima H0
, tidak terdapat perbedaan.
t hitung < t tabel, db (α = 0,05) jadi Titik 1 ≠ Titik 5 berarti terima H0
, tidak terdapat perbedaan.
t hitung < t tabel, db (α = 0,05) jadi Titik 2 ≠ Titik 3 berarti terima H0
, tidak terdapat perbedaan.
t hitung < t tabel, db (α = 0,05) jadi Titik 2 ≠ Titik 4 berarti terima H0
t
, tidak terdapat perbedaan.
hitung < t tabel, db (α = 0,05) jadi Titik 2 ≠ Titik 5 berarti terima H0
, tidak terdapat perbedaan.
t hitung < t tabel, db (α = 0,05) jadi Titik 3 ≠ Titik 4 berarti terima H0
, tidak terdapat perbedaan.
t hitung < t tabel, db (α = 0,05) jadi Titik 3 ≠ Titik 5 berarti terima H0
, tidak terdapat perbedaan.
t hitung < t tabel, db (α = 0,05) jadi Titik 4 ≠ Titik 5 berarti terima H0
, tidak terdapat perbedaan.
83
Lampiran 9. Hasil perhitungan indeks keanekaragaman (H’) dan uji Hutchinson antar Lokasi penelitian.
• Indeks Keanekaragaman (H’) Shannon dan Wiener di Pantai Wori, Sulawesi
Utara H’ = -∑ pi ln pi = 1,53
• Indeks Keanekaragaman (H’) Shannon dan Wiener di Teluk Kuta, Lombok NTB
H’ = -∑ pi ln pi = 1,29
Uji Hutchinson
Lokasi t Hitung Db t Tabel Pantai Wori - Teluk Kuta 0.07 1782 1.65
t hitung < t tabel, df (α = 0,05) jadi Pantai Wori ≠ Teluk Kuta berarti terima H0
, tidak terdapat perbedaan.
84
Lampiran 10. Data jumlah individu meiofauna pada lokasi penelitian, titik horizontal, dan kedalaman sedimen yang berbeda-beda.
LOKASI HORIZONTAL KEDALAMAN ULANGAN Rata-rata I II
Pantai Wori
1
0-2 cm 36,4 117,6 77 2-4 cm 30,8 46,2 38,5 4-6 cm 15,4 12,6 14 6-8 cm 18,2 26,6 22,4 8-10 cm 7 29,4 18,2
2
0-2 cm 112 102,2 107,1 2-4 cm 37,8 43,4 40,6 4-6 cm 23,8 9,8 16,8 6-8 cm 23,8 37,8 30,8 8-10 cm 14 33,6 23,8
3
0-2 cm 138,6 25,2 81,9 2-4 cm 64,4 89,6 77 4-6 cm 30,8 23,8 27,3 6-8 cm 58,8 32,2 45,5 8-10 cm 16,8 33,6 25,2
Teluk Kuta
1
0-2 cm 91 81,2 86,1 2-4 cm 82,6 35 58,8 4-6 cm 19,6 33,6 26,6 6-8 cm 106,4 30,8 68,6 8-10 cm 44,8 51,8 48,3
2
0-2 cm 107,8 93,8 100,8 2-4 cm 46,2 21 33,6 4-6 cm 16,8 57,4 37,1 6-8 cm 7 46,2 26,6 8-10 cm 14 32,2 23,1
3
0-2 cm 135,8 68,6 102,2 2-4 cm 44,8 42 43,4 4-6 cm 15,4 43,4 29,4 6-8 cm 30,8 26,6 28,7 8-10 cm 7 22,4 14,7
85
Lampiran 11. Hasil uji F jumlah individu meiofauna diantara kedalaman sedimen, titik pengamatan dan lokasi pengamatan.
Source Type III Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
Corrected Model 48302.534(a) 29 1665.605 2.663 .005 Intercept 125876.721 1 125876.721 201.283 .000 LOKASI 447.174 1 447.174 .715 .404 TITIK 122.565 2 61.283 .098 .907 KDALAMAN 37208.183 4 9302.046 14.874 .000 ULANGAN 40.017 1 40.017 .064 .802 LOKASI * TITIK 2649.136 2 1324.568 2.118 .138 LOKASI * KDALAMAN 607.143 4 151.786 .243 .912 LOKASI * ULANGAN 236.017 1 236.017 .377 .544 TITIK * KDALAMAN 3042.181 8 380.273 .608 .764 TITIK * ULANGAN 1165.285 2 582.643 .932 .405 KDALAMAN * ULANGAN 2784.833 4 696.208 1.113 .369 Error 18761.185 30 625.373 Total 192940.440 60 Corrected Total 67063.719 59
86
Lampiran 12. Hasil uji Beda Nyata Terkecil (BNT) jumlah individu meiofauna terhadap kedalaman sedimen.
(I) Kedalaman (J) Kedalaman
Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound 0-2 cm 2-4 cm 43.8667(*) 10.20925 .000 23.0166 64.7167
4-6 cm 67.3167(*) 10.20925 .000 46.4666 88.1667 6-8 cm 55.4167(*) 10.20925 .000 34.5666 76.2667 8-10 cm 66.9667(*) 10.20925 .000 46.1166 87.8167
2-4 cm 0-2 cm -43.8667(*) 10.20925 .000 -64.7167 -23.0166 4-6 cm 23.4500(*) 10.20925 .029 2.5999 44.3001
6-8 cm 11.5500 10.20925 .267 -9.3001 32.4001 8-10 cm 23.1000(*) 10.20925 .031 2.2499 43.9501
4-6 cm 0-2 cm -67.3167(*) 10.20925 .000 -88.1667 -46.4666 2-4 cm -23.4500(*) 10.20925 .029 -44.3001 -2.5999
6-8 cm -11.9000 10.20925 .253 -32.7501 8.9501 8-10 cm -.3500 10.20925 .973 -21.2001 20.5001
6-8 cm 0-2 cm -55.4167(*) 10.20925 .000 -76.2667 -34.5666 2-4 cm -11.5500 10.20925 .267 -32.4001 9.3001
4-6 cm 11.9000 10.20925 .253 -8.9501 32.7501 8-10 cm 11.5500 10.20925 .267 -9.3001 32.4001
8-10 cm 0-2 cm -66.9667(*) 10.20925 .000 -87.8167 -46.1166 2-4 cm -23.1000(*) 10.20925 .031 -43.9501 -2.2499
4-6 cm .3500 10.20925 .973 -20.5001 21.2001 6-8 cm -11.5500 10.20925 .267 -32.4001 9.3001
Keterangan: Angka-angka yang diikuti tanda asterisk (*), berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95 %.
87
Lampiran 13. Data jumlah taksa meiofauna pada lokasi penelitian, titik horizontal, dan kedalaman sedimen yang berbeda-beda.
LOKASI HORIZONTAL KEDALAMAN ULANGAN Rata-rata I II
Pantai Wori
1
0-2 cm 5 10 7,5 2-4 cm 4 5 4,5 4-6 cm 3 4 3,5 6-8 cm 3 7 5 8-10 cm 2 5 3,5
2
0-2 cm 8 8 8 2-4 cm 6 6 6 4-6 cm 5 5 5 6-8 cm 6 6 6 8-10 cm 7 6 6,5
3
0-2 cm 10 7 8,5 2-4 cm 7 7 7 4-6 cm 5 7 6 6-8 cm 7 7 7 8-10 cm 4 7 5,5
Teluk Kuta
1
0-2 cm 10 6 8 2-4 cm 6 5 5,5 4-6 cm 3 3 3 6-8 cm 5 6 5,5 8-10 cm 5 8 6,5
2
0-2 cm 7 10 8,5 2-4 cm 5 4 4,5 4-6 cm 4 5 4,5 6-8 cm 2 5 3,5 8-10 cm 5 5 5
3
0-2 cm 8 8 8 2-4 cm 7 4 5,5 4-6 cm 4 5 4,5 6-8 cm 4 5 4,5 8-10 cm 2 4 3
88
Lampiran 14. Hasil uji F jumlah taksa meiofauna diantara kedalaman sedimen, titik pengamatan dan lokasi pengamatan.
Source Type III Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
Corrected Model 167.750(a) 29 5.784 3.104 .001 Intercept 1915.350 1 1915.350 1027.916 .000 LOKASI 6.017 1 6.017 3.229 .082 TITIK 5.200 2 2.600 1.395 .263 KDALAMAN 96.567 4 24.142 12.956 .000 ULANGAN 7.350 1 7.350 3.945 .056 LOKASI * TITIK 18.533 2 9.267 4.973 .014 LOKASI * KDALAMAN 4.567 4 1.142 .613 .657 LOKASI * ULANGAN 1.350 1 1.350 .725 .401 TITIK * KDALAMAN 14.133 8 1.767 .948 .493 TITIK * ULANGAN 2.800 2 1.400 .751 .480 KDALAMAN * ULANGAN 11.233 4 2.808 1.507 .225 Error 55.900 30 1.863 Total 2139.000 60 Corrected Total 223.650 59
89
Lampiran 15. Hasil uji Beda Nyata Terkecil (BNT) jumlah taksa meiofauna terhadap kedalaman sedimen.
(I) Kedalaman (J) Kedalaman
Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound 0-2 cm 2-4 cm 2.5833(*) .55728 .000 1.4452 3.7214
4-6 cm 3.6667(*) .55728 .000 2.5286 4.8048 6-8 cm 2.8333(*) .55728 .000 1.6952 3.9714 8-10 cm 3.0833(*) .55728 .000 1.9452 4.2214
2-4 cm 0-2 cm -2.5833(*) .55728 .000 -3.7214 -1.4452 4-6 cm 1.0833 .55728 .061 -.0548 2.2214
6-8 cm .2500 .55728 .657 -.8881 1.3881 8-10 cm .5000 .55728 .377 -.6381 1.6381
4-6 cm 0-2 cm -3.6667(*) .55728 .000 -4.8048 -2.5286 2-4 cm -1.0833 .55728 .061 -2.2214 .0548
6-8 cm -.8333 .55728 .145 -1.9714 .3048 8-10 cm -.5833 .55728 .304 -1.7214 .5548
6-8 cm 0-2 cm -2.8333(*) .55728 .000 -3.9714 -1.6952 2-4 cm -.2500 .55728 .657 -1.3881 .8881
4-6 cm .8333 .55728 .145 -.3048 1.9714 8-10 cm .2500 .55728 .657 -.8881 1.3881
8-10 cm 0-2 cm -3.0833(*) .55728 .000 -4.2214 -1.9452 2-4 cm -.5000 .55728 .377 -1.6381 .6381
4-6 cm .5833 .55728 .304 -.5548 1.7214 6-8 cm -.2500 .55728 .657 -1.3881 .8881
Keterangan: Angka-angka yang diikuti tanda asterisk (*), berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95 %.
90
Lampiran Gambar 1. Peta lokasi Pantai Wori, Sulawesi Utara (Foto : Google Earth, 2007).
91
Lampiran Gambar 2. Peta lokasi Teluk Kuta Lombok, NTB (Foto : Google Earth, 2007).
92
Lampiran Gambar 3. Beberapa taksa-taksa meiofauna yang ditemukan di Pantai Wori dan Teluk Kuta (Titoyo, 2006).
Amphipoda Harpactiocida
Nematoda Cumacea
Ostracoda Oligochaeta
93
Turbellaria Polychaeta
94
Lampiran Gambar 4. Alat-alat yang digunakan untuk penyortiran dan identifikasi meiofauna (Titoyo, 2006).
Mikroskop Stereo Mikroskop
Cawan, botol sampel, suntikan, O ring needle, pinset