DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

91
DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+ Oleh : Ganjar Saefurahman C64103081 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Transcript of DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

Page 1: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI

KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+

Oleh :

Ganjar Saefurahman C64103081

PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Page 2: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul : DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+ adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini. Bogor, 14 Mei 2008 Ganjar Saefurahman C64103081

Page 3: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

RINGKASAN GANJAR SAEFURAHMAN. Distribusi, Kerapatan dan Perubahan Luas Vegetasi Mangrove Gugus Pulau Pari Kepulauan Seribu Menggunakan Citra FORMOSAT 2 dan Landsat 7/ETM+. Dibimbing Oleh JONSON LUMBAN GAOL dan YUDI WAHYUDI

Pertambahan penduduk yang tinggi di wilayah pesisir dan pulau kecil mengakibatkan kebutuhan akan pemukiman, lahan perikanan dan pariwisata semakin meningkat sehingga ekosistem pesisir khususnya mangrove mengalami degradasi. Demikian pula dengan kondisi ekosistem mangrove Kepulauan Seribu. Penelitian ini berlokasi di gugus Pulau Pari Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Tujuan dari penelitian ini adalah mengamati distribusi, kerapatan dan perubahan luas ekosistem mangrove di gugus Pulau Pari Kepulauan Seribu dengan teknologi penginderaan jauh menggunakan citra satelit FORMOSAT 2 dan Landsat 7/ETM+.

Metode yang digunakan adalah indeks vegetasi Normalized Difference Vegetation Index (NDVI). Data lapangan yang digunakan adalah kerapatan dan Indeks Nilai Penting (INP) mangrove. Dari hasil klasifikasi citra diketahui bahwa sebaran mangrove di gugus Pulau Pari banyak terdapat di Pulau Burung, Pulau Tengah dan Pulau Kongsi seluas 37.504 m2 sementara sebaran mangrove di Pulau Pari seluas 35.584 m2. Luas ekosistem mangrove di gugus Pulau Pari diperkirakan berkurang seluas 101.920 m2 atau 31,46 % dari luas semula selama tujuh tahun dari Tahun 1999 sampai 2006.

Berdasarkan analisis hubungan nilai kerapatan mangrove dan NDVI citra Landsat 7/ETM+ dan FORMOSAT 2 pada tujuh stasiun pengamatan diperoleh persamaan regresi linear, untuk Landsat 7/ETM+, y = -0,0195x + 1,4149 dan FORMOSAT 2, y = 0,0211x + 1,0458. Hal ini menunjukkan bahwa kedua nilai tersebut memiliki hubungan yang linear atau berbanding lurus. Untuk NDVI Landsat 7/ETM+, koefisien determinasi sebesar 75,05 % menunjukkan bahwa hubungan kerapatan mangrove dan NDVI dapat dijelaskan sebesar 75,05 %. Koefisien korelasi sebesar 0,8663 berarti bahwa kerapatan mangrove dan NDVI memiliki hubungan yang erat. NDVI FORMOSAT 2, koefisien determinasi sebesar 82,04 % menunjukkan bahwa hubungan kerapatan mangrove dan NDVI dapat dijelaskan sebesar 82,04 %. Koefisien korelasi sebesar 0,9058 berarti bahwa kerapatan mangrove dan NDVI juga memiliki hubungan yang erat.

Mangrove jenis Rhizophora khususnya Rhizophora mucronata adalah jenis mangrove yang banyak tumbuh di Pulau Pari dan merupakan jenis dengan kerapatan tertinggi di antara jenis-jenis yang lain. Selain itu, jenis Rhizophora dengan Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi merupakan mangrove yang memiliki peranan penting di ekosistem mangrove Pulau Pari.

Page 4: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI

KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

Ganjar Saefurahman C64103081

PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

Page 5: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

Judul : DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+

Nama : Ganjar Saefurahman NRP : C64103081

Disetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Si. Ir. Yudi Wahyudi, DEA.

NIP. 131 953 479 NIP. 680 003 505

Mengetahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc.

NIP. 131 578 799

Tanggal Lulus: 17 Juni 2008

Page 6: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas semua karunia yang diberikan pada

penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Distribusi,

Kerapatan, dan Perubahan Luas Vegetasi Mangrove Gugus Pulau Pari Kepulauan

Seribu menggunakan Citra FORMOSAT 2 dan Landsat 7/ETM+.

Skripsi ini merupakan tugas akhir yang dibuat sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar sarjana. Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Si dan Bapak Ir. Yudi Wahyudi,

DEA selaku Dosen Pembimbing skripsi atas segala bimbingannya.

2. Ibu Risti Endriani Arhatin, S.Pi, M.Si sebagai penguji tamu dan Ibu Dr. Ir.

Sri Pujiyati, M.Si sebagai komisi pendidikan pada ujian akhir.

3. Kedua Orang tua-ku, Kakak dan Adik untuk kasih sayang dan doanya.

4. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi atas kesempatan penelitian.

5. Tim survei BPPT, tim sponge ITK, Pak Turi, Pak Tobing, Heri dan rekan-

rekan di Pulau Pari yang membantu dalam survei lapang.

6. Keluarga besar ITK dan FPIK IPB : dosen, staf TU, laboratorium biologi

laut, oseanografi, akustik dan instrumentasi, inderaja dan SIG, warga ITK,

dan sahabat seperjuangan ITK 40 untuk kebersamaan selama masa kuliah.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat baik bagi penulis

sendiri maupun pihak-pihak lain yang membutuhkan.

Bogor, 16 Januari 2008

Ganjar Saefurahman.

Page 7: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ......................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... x DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xii 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang ..................................................................................... 1 1.2 Tujuan ................................................................................................. 2

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mangrove 2.1.1 Definisi mangrove ...................................................................... 3 2.1.2 Distribusi dan zonasi mangrove ................................................. 4 2.1.3 Faktor-faktor pembatas ekosistem mangrove ............................ 5 2.1.4 Adaptasi vegetasi mangrove ...................................................... 7 2.1.5 Fungsi ekosistem mangrove ....................................................... 9

2.2 Penginderaan Jauh 2.2.1 Definisi penginderaan jauh ........................................................ 10 2.2.2 Penginderaan jauh untuk mangrove ........................................... 14 2.2.3 Karakteristik satelit FORMOSAT 2 dan Landsat 7/ETM+ ....... 18

2.3 Keadaan umum lokasi penelitian ........................................................ 20 3. METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan waktu ................................................................................ 22 3.2 Alat dan bahan .................................................................................... 22 3.3 Metode penelitian

3.3.1 Pengolahan data penginderaan jauh ........................................... 23 3.3.2 Pengambilan dan analisis data lapang ........................................ 31

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengolahan citra .................................................................................. 35 4.2 Pemulihan citra

4.2.1 Koreksi geometrik ...................................................................... 37 4.2.2 Koreksi radiometrik ................................................................... 37

4.3 Distribusi vegetasi mangrove .............................................................. 39 4.4 Hubungan antara kerapatan mangrove dan NDVI .............................. 41 4.5 Penutupan lahan hasil klasifikasi ........................................................ 48 4.6 Ketelitian hasil klasifikasi ................................................................... 56 4.7 Kondisi vegetasi mangrove ................................................................. 57

5. KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan ......................................................................................... 60 5.2 Saran ................................................................................................... 61

Page 8: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 62 LAMPIRAN ................................................................................................... 65

RIWAYAT HIDUP ....................................................................................... 79

Page 9: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Karakteristik satelit FORMOSAT 2 (Chen, 2005) ................................... 18

2. Karakteristik satelit Landsat 7/ETM+ (http://imaging.geocomm.com/ features/sensor/landsat7) ........................................................................... 20 3. Klasifikasi kerapatan mangrove berdasarkan NDVI (Kadi, 1996) ........... 28

4. Bentuk matriks kesalahan (confussion matrix) (Arhatin, 2007) ............... 28

5. Uji F regresi linear sederhana (Walpole, 1992) ........................................ 30 6. Nilai digital citra FORMOSAT 2 band 1 sebelum dan sesudah koreksi radiometrik ................................................................................................ 38

7. Nilai digital citra Landsat 7/ETM+ band 1 sebelum dan sesudah koreksi radiometrik ................................................................................................ 39

8. Luas wilayah Kelurahan Pulau Pari dan peruntukannya (Budiyanto, 2002) ..................................................................................... 40 9. Kerapatan mangrove (Ind/m2), nilai NDVI FORMOSAT 2 dan kelas vegetasi mangrove tiap stasiun ................................................................. 42

10. Kerapatan mangrove (Ind/m2), nilai NDVI Landsat 7/ETM+ dan kelas vegetasi mangrove tiap stasiun ................................................................. 44

11. Luas penutupan lahan gugus Pulau Pari tahun 1999 dan 2006 ................. 48

12. Luas tutupan mangrove menurut kerapatan gugus P. Pari tahun 2006 ........................................................................................................... 49

13. Luas tutupan mangrove menurut kerapatan gugus P. Pari tahun 1999 ........................................................................................................... 49

14. Perubahan luas tutupan mangrove gugus P. Pari tahun 1999 dan 2006 ........................................................................................................... 53

15. Posisi stasiun pengamatan dan jenis mangrove setiap stasiun .................. 57

16. Nilai kerapatan jenis dan INP mangrove setiap stasiun ............................ 58

Page 10: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Tipe zonasi mangrove dari laut ke darat (Bengen, 1999) ......................... 5

2. Tipe-tipe akar mangrove (a) akar papan (b) akar cakar ayam (c) akar tunjang (d) akar lutut (Bengen, 1999) .......................................... 8

3. Spektrum gelombang elektromagnetik (http://www.srrb.noaa.gov/ highlights/sunrise/spectrum.gif) ................................................................ 11 4. Panjang gelombang efektif yang dapat digunakan pada penginderaan jauh (jendela atmosfer) (CCRS, 2005) ...................................................... 12

5. Interaksi antara tenaga elektromagnetik dan atmosfer (Paine, 1992) ....... 13

6. Reflektansi objek tanah, vegetasi, dan air untuk setiap panjang gelombang (Lillesand dan Kiefer, 1990) .................................................. 13

7. Karakteristik pantulan komponen vegetasi (Lo, 1996) ............................. 15

8. Satelit FORMOSAT 2 (http://yearbook.stpi.org.tw/english/94/ yearBook/image/FC-2.jpg) ....................................................................... 19

9. Satelit Landsat 7/ETM+ (http://imaging.geocomm.com/features/ sensor/landsat7) ......................................................................................... 19

10. Peta lokasi penelitian Pulau Pari (Peta digital rupa bumi Balai TNKPS 2006) ............................................................................................ 22

11. Contoh citra sebelum (a) dan sesudah (b) koreksi geometrik (citra FORMOSAT 2 tahun 2006) ............................................................. 25

12. Contoh histogram sebelum (a) dan sesudah (b) koreksi radiometrik ....... 26

13. Contoh citra komposit 321 (a) dan citra komposit 342 (b) ....................... 26

14. Diagram alir pengolahan citra FORMOSAT 2 dan Landsat 7/ETM+ ...... 34

15. Citra pseudo layer FORMOSAT 2 scene 1 (a) dan scene 2 (b) ................ 35

16. Citra FORMOSAT 2 gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu tahun 2006 ........................................................................................................... 36

17. Citra Landsat 7/ETM+ gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu tahun 1999 ........................................................................................................... 36

Page 11: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

18. Citra FORMOSAT 2 gugus Pulau Pari tahun 2006 hasil rektifikasi dengan Peta LPI Mauk tahun 1999 Bakosurtanal Skala 1 : 50.000 .......... 37

19. Histogram band 1 FORMOSAT 2 sebelum (a) dan sesudah (b) koreksi radiometrik ................................................................................................ 38

20. Histogram band 1 Landsat 7/ETM+ sebelum (a) dan sesudah (b) koreksi radiometrik ................................................................................................ 39

21. Citra FORMOSAT 2 gugus Pulau Pari hasil transformasi NDVI ............ 41

22. Citra Landsat 7/ETM+ gugus Pulau Pari hasil transformasi NDVI ......... 41

23. Histogram citra FORMOSAT 2 (a) dan Landsat 7/ETM+ (b) hasil transformasi NDVI .................................................................................... 42 24. Grafik regresi linear kerapatan mangrove dengan nilai NDVI FORMOSAT 2 .......................................................................................... 43

25. Grafik regresi linear kerapatan mangrove dengan nilai NDVI Landsat 7/ETM+ ....................................................................................... 45

26. Peta sebaran mangrove gugus Pulau Pari tahun 2006 hasil klasifikasi citra FORMOSAT 2 .................................................................................. 46

27. Peta sebaran mangrove gugus Pulau Pari tahun 1999 hasil klasifikasi citra Landsat 7/ETM+ ............................................................................... 47

28. Peta sebaran mangrove gugus Pulau Pari tahun 2006 menurut kerapatan ................................................................................................... 50

29. Peta sebaran mangrove gugus Pulau Pari tahun 1999 menurut kerapatan ................................................................................................... 51

30. Perubahan kerapatan ekosistem mangrove di sebelah barat Pulau Pari pada tahun 1999 (a) dan tahun 2006 (b) ................................................... 52

Page 12: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Formula yang digunakan pada pengolahan citra ....................................... 66

2. Peta LPI Mauk tahun 1999 Skala 1:50.000 dari Bakosurtanal (lembar LPI 1210-02) ............................................................................... 67

3. RMS koreksi geometrik citra FORMOSAT 2 .......................................... 67

4. Jumlah rumah menurut jenis bangunan di Kelurahan Pulau Pari (Budiyanto, 2002) ..................................................................................... 68

5. Fasilitas pendidikan Kelurahan Pulau Pari (Budiyanto, 2002) ................. 68

6. Jumlah murid berdasarkan jenis pendidikan (Budiyanto, 2002) .............. 69

7. Pulau-pulau berpenduduk di Kelurahan Pulau Pari (Budiyanto, 2002) .... 69

8. Komposisi penduduk Kelurahan Pulau Pari berdasarkan umur (Budiyanto, 2002) ..................................................................................... 69

9. Distribusi penduduk berdasarkan jenis kelamin (Budiyanto, 2002) ......... 69

10. Sarana perekonomian Kelurahan Pulau Pari (Budiyanto, 2002) .............. 70

11. Jumlah armada nelayan di Kelurahan Pulau Pari (Budiyanto, 2002) ....... 70

12. Jumlah alat tangkap ikan di Kelurahan Pulau Pari (Budiyanto, 2002) ..... 70

13. Jumlah penduduk menurut mata pencaharian (Budiyanto, 2002) ............ 70

14. Kategori tingkat partisipasi penduduk dalam pengelolaan mangrove di Kelurahan Pulau Pari (Budiyanto, 2002) .............................................. 71

15. Tingkat pengetahuan masyarakat Kelurahan Pulau Pari mengenai ekosistem mangrove (Budiyanto, 2002) ................................................... 71

16. Confussion matrix klasifikasi citra FORMOSAT 2 .................................. 72

17. Data spesies dan keliling batang mangrove setiap stasiun ........................ 73

18. Perhitungan Indeks nilai penting mangrove setiap stasiun ....................... 74

19. Foto-foto ekosistem mangrove dan aktivitas penduduk di Pulau Pari ...... 77

Page 13: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Ekosistem pesisir dan pulau kecil terdiri dari ekosistem mangrove, lamun

dan terumbu karang. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pendukung

utama bagi kehidupan di wilayah pesisir. Nontji (1987) menyatakan hutan

mangrove sebagai tipe hutan khas yang terdapat di sepanjang pantai atau muara

sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Secara ekologis, hutan

mangrove berfungsi sebagai daerah pemijahan, mencari makan, dan asuhan

berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lainnya. Secara ekonomis, kayu hutan

mangrove dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, hutan mangrove sebagai lahan

tambak dan lokasi pariwisata.

Pertumbuhan penduduk yang tinggi di wilayah pesisir dan pulau kecil

mengakibatkan kebutuhan akan pemukiman, lahan perikanan dan pariwisata

semakin meningkat sehingga ekosistem pesisir khususnya mangrove mengalami

degradasi. Demikian pula kondisi ekosistem mangrove di gugus Pulau Pari

Kepulauan Seribu. Pemetaan mangrove perlu dilakukan untuk mendukung

kegiatan monitoring, inventarisasi dan konservasi mangrove di Kepulauan Seribu.

Satelit penginderaan jauh dalam bidang kehutanan telah dikembangkan

lebih dari 25 tahun. Teknologi ini secara efektif dimulai dengan peluncuran

ERTS-1 pada tahun 1972 yang kemudian disebut Landsat 1. Penginderaan jauh

(remote sensing) diperlukan dalam pengumpulan data dan analisis spasial yang

berkesinambungan mengenai kondisi pesisir secara efektif dan efisien.

Penginderaan jauh merupakan teknologi yang cepat dan efisisen untuk

pengelolaan ekosistem mangrove yang banyak terdapat di pesisir, kebanyakan

Page 14: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

daerah sulit dijangkau, pengukuran lapangan sulit dilakukan dan biaya yang

mahal (Held et al., 2003 in Vaiphasa, 2006). Hal ini didukung oleh banyaknya

aplikasi penginderaan jauh untuk studi mangrove yang berhasil dilakukan

khususnya untuk inventarisasi sumberdaya dan deteksi perubahan mangrove

(Vaiphasa, 2006). Beberapa penelitian penginderaan jauh untuk vegetasi

mangrove sebelumnya antara lain Kadi (1996), Hartono (1994), Zuhair (1998),

Widyastuti (2000), Harsanugraha et al. (2000), dan Arhatin (2007).

Citra Landsat 7/ETM+ tahun 1999 dan FORMOSAT 2 tahun 2006

dengan kanal (band) merah dan infra merah dekat dapat digunakan untuk

memetakan mangrove serta analisis kerapatan mangrove berdasarkan indeks

vegetasi NDVI. Citra dari dua tahun yang berbeda tersebut dapat digunakan untuk

memperkirakan perubahan luas ekosistem mangrove di gugus Pulau Pari

Kepulauan Seribu. Citra FORMOSAT 2 resolusi spasial tinggi (8 meter)

diharapkan mampu memetakan mangrove di Kepulauan Seribu. Penelitian ini

merupakan bagian dari program Satellite Application on Knowledge-based

Economy (SAKE) 2006 yang dikelola oleh Asia-Pasific Economic Cooperation

(APEC) dalam pemanfaatan FORMOSAT 2 untuk kajian pesisir dan pulau kecil.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk memetakan distribusi, kerapatan dan

menghitung perubahan luas vegetasi mangrove di gugus Pulau Pari Kepulauan

Seribu serta mengetahui hubungan antara kerapatan mangrove dan NDVI dengan

teknologi penginderaan jauh menggunakan citra satelit FORMOSAT 2 dan

Landsat 7/ETM+.

Page 15: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mangrove

2.1.1 Definisi mangrove

Kata mangrove berasal dari kombinasi antara istilah dalam Bahasa

Portugis mangue dan Bahasa Inggris grove (Macnae, 1974). Menurut bahasa

Inggris, kata mangrove digunakan untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di

daerah pasang surut atau setiap individu jenis tumbuhan yang berasosiasi

dengannya, sedangkan dalam bahasa Portugis istilah mangrove digunakan untuk

setiap individu spesies tumbuhan yang hidup di laut dan kata mangal untuk

menyatakan komunitas tumbuhan yang terdiri dari jenis-jenis mangrove (Macnae,

1968 in FAO, 1982).

Hutan mangrove merupakan komunitas pantai tropis yang didominasi oleh

beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang di daerah

pasang surut baik pantai berlumpur atau berpasir (Bengen, 1999). Saenger et al.

(1983) in Aksornkoae (1993) mendefinisikan mangrove sebagai karaktersitik

formasi tanaman littoral tropis dan sub tropis di sekitar garis pantai yang

terlindung. Nybakken (1992) menggunakan sebutan bakau untuk suatu komunitas

vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas

atau semak-semak dengan kemampuan untuk tumbuh di perairan asin. Mangrove

juga didefinisikan sebagai ekosistem hutan yang memiliki toleransi terhadap

kadar garam pada daerah intertidal di sepanjang garis pantai (Hamilton dan

Snedaker, 1984 in Aksornkoae, 1993).

Beberapa istilah lain dari hutan mangrove (www.mangrovecentre.or.id) :

Tidal Forest : Hutan pasang surut

Page 16: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

Hutan payau : Dilihat dari campuran airnya (asin dan tawar) atau dalam

bahasa melayu disebut hutan payau.

Hutan bakau : Bukan istilah yang tepat karena bakau adalah salah satu

jenis mangrove, tapi istilah ini sudah berkembang secara

umum di masyarakat.

2.1.2 Distribusi dan zonasi mangrove

Nontji (1987) menyatakan bahwa ekosistem mangrove di Indonesia

memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi. Tercatat 89 jenis, yaitu 35 jenis

berupa pohon, selebihnya berupa 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 29 jenis epifit dan 2

jenis parasit. Beberapa jenis yang umum dijumpai di wilayah pesisir Indonesia

adalah Bakau (Rhizophora), Api-api (Avicennia), Pedada (Sonneratia), Tanjang

(Bruguiera), Nyirih (Xylocarpus), Tengar (Ceriops), dan Buta-buta (Exoecaria)

(Kawaroe, 2000).

Menurut Bengen (1999), salah satu zonasi hutan mangrove, yaitu :

a. Daerah yang paling dekat dengan laut dengan substrat agak berpasir, sering

ditumbuhi oleh Avicennia spp. Di zona ini biasa berasosiasi jenis Sonneratia

spp. yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik.

b. Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora

spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp.

c. Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp.

d. Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa

ditumbuhi oleh Nypa fruticans dan beberapa spesies palem lainnya.

Salah satu tipe zonasi mangrove dapat dilihat pada Gambar 1.

Page 17: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

Gambar 1. Tipe zonasi mangrove dari laut ke darat (Bengen, 1999)

Sementara zonasi vegetasi mangrove menurut pasang surut meliputi (Noor

et al., 1999 in Wahyudi, 2005) :

a. Areal yang selalu digenangi walaupun pada saat pasang rendah, umumnya

didominasi oleh Avicennia sp. atau Sonneratia sp.

b. Areal yang digenangi oleh pasang sedang, didominasi jenis Rhizophora sp.

c. Areal yang digenangi hanya saat pasang tinggi. Areal ini lebih ke daratan,

umumnya didominasi oleh Bruguiera sp dan Xylocarpus sp.

d. Areal yang digenangi hanya pada saat pasang tertinggi (hanya beberapa hari

dalam sebulan), umumnya didominasi oleh Bruguiera sp. dan Lumnitzera

littorea.

2.1.3 Fakor-faktor pembatas ekosistem mangrove

Champman (1975) in Aksornkoae (1993) menyatakan banyak faktor yang

mempengaruhi zonasi ekosistem mangrove antara lain :

a. Faktor fisika kimia tanah

Sirkulasi dan arus pasang di sekitar estuaria dan area pantai adalah sumber

utama dari sedimentasi yang pada akhirnya menjadi daratan lumpur (Phillips,

1903 in Aksornkoae, 1993). Watson (1928) in Aksornkoae (1993) menyebutkan

Page 18: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

bahwa vegetasi mangrove tidak dapat hidup dengan baik sepanjang area pantai

yang kering dan tidak mengandung lumpur atau sedimen. Genus Rhizophora

terutama R. mucronata umumnya tumbuh dengan baik pada daerah berlumpur

datar. Namun, R. apiculata lebih menyukai lumpur lembut dan R. stylosa tumbuh

baik di sepanjang pantai terumbu karang dan pantai berpasir (Ding How, 1958 in

Aksornkoae, 1993).

Tolimson (1957) in Aksornkoae (1993) menyatakan bahwa pH tanah di

hutan Rhizophora relatif rendah. Sementara Hesse (1961) in Aksornkoae (1993)

menyebutkan bahwa tanah di bawah Rhizophora dan Avicennia memiliki kisaran

nilai antara 6,6 sampai 6,2 ketika jenuh, tetapi di saat kering dan kondisi aerob pH

menurun hingga 4,6 dan 5,7.

b. Salinitas air tanah

De Hann (1931) in Aksornkoae (1993) melaporkan bahwa salinitas air

tanah dan aktivitas pasang mempengaruhi distribusi spesies mangrove, sehingga

hutan mangrove dapat diklasifikasikan menjadi dua area, yaitu : area yang

digenangi oleh air payau atau air asin dengan salinitas 10-30 ppt dan area yang

digenangi oleh air tawar atau air payau dengan salinitas 0-10 ppt. Macnae (1968)

in Aksornkoae (1993) mempelajari toleransi dari spesies mangrove seperti

Avicennia marina yang mampu mentoleransi kadar garam rendah, tinggi bahkan

kadar garam yang berfluktuasi.

c. Drainase dan arus pasang surut

Stunis (1958) in Aksornkoae (1993) mendapatkan jika arus pasang surut

tertahan dan tidak ada drainase, maka Rhizophora akan mati atau terhambat

pertumbuhannya kemudian area akan diambil alih oleh Lumnitzera. Sementara

Page 19: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

Chapman dan Ronaldson (1958) in Aksornkoae (1993) menemukan bahwa tinggi

dari Avicennia marina dikontrol oleh drainase di area tumbuhnya dan tinggi dari

tiap-tiap spesies bervariasi seiring dengan perbedaan sistem drainase.

d. Frekuensi genangan

Frekuensi genangan adalah satu faktor utama yang mempengaruhi zonasi

mangrove (Aksornkoae, 1993).

Menurut Kusmana (1995), faktor yang menyebabkan rusaknya ekosistem

mangrove terdiri dari tiga jenis gangguan, yaitu :

a. Gangguan fisik mekanis :

1. Abrasi pantai atau pinggir sungai.

2. Sedimentasi dengan laju yang tidak terkendali.

3. Banjir yang menyebabkan melimpahnya air tawar.

4. Gempa bumi dan tsunami.

b. Gangguan kimia, yaitu pencemaran air, tanah dan udara serta hujan asam

c. Gangguan biologi :

1. Reklamasi mangrove untuk pemukiman, industri, pertanian, tambak,

sarana angkutan dan pengguna hasil hutan.

2. Penebangan pohon yang tidak memperhatikan kelestarian hutan.

3. Tindakan manusia yang merusak.

2.1.4 Adaptasi vegetasi mangrove

Beberapa adaptasi mangrove antara lain (Bengen, 1999) :

a. Adaptasi terhadap kadar oksigen rendah

Pohon mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas. Avicennia spp.,

Xylocarpus spp. dan Sonneratia spp. memiliki tipe akar cakar ayam dengan

Page 20: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

pneumatofora untuk mengambil oksigen dari udara. Rhizophora spp. memiliki

tipe akar penyangga atau tongkat dengan lentisel (Gambar 2).

Gambar 2. Tipe-tipe akar mangrove (a) akar papan (b) akar cakar ayam (c) akar tunjang (d) akar lutut (Bengen, 1999)

b. Adaptasi terhadap kadar garam tinggi

Mangrove memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk

menyimpan garam. Daun mangrove yang tebal, kuat dan banyak mengandung air

berfungsi mengatur keseimbangan garam. Daun mangrove juga dilengkapi

struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan.

c. Adaptasi terhadap tanah yang kurang stabil dan pasang surut

Mangrove mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan

membentuk jaringan horizontal yang lebar. Selain memperkokoh pohon, akar

tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen.

Hutchings dan Saenger (1987) menjelaskan tiga cara mangrove

beradaptasi, yaitu :

Page 21: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

a. Salt Extrusion / Salt Secretion. Mangrove menyerap air bersalinitas tinggi

kemudian mengeksresikan garam-garaman melalui sistem yang terdapat

dalam salt gland di daun.

b. Salt Eclusion. Akar mangrove mencegah garam-garaman masuk dengan cara

menyaring garam-garaman tersebut.

c. Salt Accumulation. Mangrove mengakumulasi garam-garaman (Na dan Cl) di

daun, kulit kayu dan akar. Daun penyimpan garam biasanya akan gugur

setelah akumulasi garam melewati batas. Kelebihan garam dapat menghambat

pertumbuhan dan pembentukan buah mangrove.

2.1.5 Fungsi ekosistem mangrove

Secara umum, fungsi hutan mangrove antara lain (Bengen, 1999) :

a. Sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung dari abrasi, penahan

intrusi air laut ke darat, penahan lumpur dan perangkap sedimen.

b. Penghasil sejumlah besar detritus (hara) dari daun dan pohon mangrove.

c. Daerah asuhan (nursery grounds), tempat mencari makan (feeding ground),

dan daerah pemijahan (spawning grounds) berbagai jenis ikan, udang dan

biota laut lainnya.

d. Penghasil kayu konstruksi, kayu bakar, bahan baku arang dan kertas.

e. Pemasok larva (nener) ikan, udang dan biota laut lainnya.

f. Sebagai tempat pariwisata.

Kedudukan mangrove sebagai ekosistem antara darat dan laut menjadikan

hutan mangrove memiliki fungsi ekologis. Fungsi ekologis ditinjau dari aspek

fisika antara lain, (1) mangrove mempunyai kemampuan meredam gelombang,

Page 22: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

menahan lumpur, dan melindungi pantai dari erosi, gelombang pasang dan angin

taufan; (2) mangrove yang tumbuh di daerah estuaria atau rawa dapat berfungsi

mengurangi bencana banjir.

Ditinjau dari aspek kimia, mangrove berfungsi (1) sebagai penyerap bahan

pencemar, khususnya bahan-bahan organik; (2) sebagai sumber energi bagi

lingkungan perairan sekitarnya. Ketersediaan berbagai jenis makanan pada

ekosistem mangrove menjadikan ekosistem ini sebagai sumber energi bagi

berbagai jenis biota yang berasosiasi di dalamnya; (3) sebagai pensuplai bahan

organik, daun mangrove yang gugur mengalami proses penguraian oleh

mikroorganisme menjadi partikel-partikel detritus yang menjadi sumber makanan

bagi berbagai jenis filter feeder. Ditinjau dari aspek biologis, mangrove sangat

penting dalam menjaga kestabilan produktivitas dan ketersediaan sumberdaya

hayati di wilayah pesisir (TNC dan P4L, 2003 in Arhatin, 2007).

Hamilton dan Snedaker (1994) in Yani (2002) mencatat sekitar 58 produk

langsung dan tidak langsung dari mangrove berupa kayu bakar, bahan bangunan,

alat dan teknik penangkapan ikan, pupuk, bahan baku kertas, bahan makanan,

obat-obatan, minuman, peralatan rumah tangga, bahan baku tekstil dan kulit,

madu, lilin, dan tempat rekreasi.

2.2 Penginderaan jauh

2.2.1 Definisi penginderaan jauh

Penginderaan jauh (remote sensing) adalah ilmu dan seni untuk

memperoleh informasi (acquisition) tentang obyek, daerah atau fenomena melalui

analisis data yang diperoleh dengan tanpa adanya kontak langsung dengan obyek,

Page 23: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1990). Lo (1996)

mendefinisikan inderaja sebagai suatu teknik untuk mengumpulkan informasi

mengenai objek dan lingkungannya dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik. Paine

(1992) mendefinisikan inderaja sebagai identifikasi dan pengkajian obyek pada

daerah jauh dengan menggunakan energi elektromagnetik yang dipantulkan atau

dipancarkan obyek. Beberapa nilai kisaran spektrum panjang gelombang

elektromagnetik terdapat pada Gambar 3.

Gambar 3. Spektrum gelombang elektromagnetik (http://www.srrb.noaa.gov/ highlights/sunrise/spectrum.gif)

Menurut Butler et al. (1988), terdapat empat komponen fisik yang terlibat

dalam sistem penginderaan jauh. Keempat komponen fisik tersebut, yaitu :

a. Matahari sebagai sumber energi yang berupa radiasi elektromagnetik.

b. Atmosfer sebagai media perantara dari energi elektromagnetik.

c. Objek yang akan diteliti.

d. Sensor yang mendeteksi radiasi elektromagnetik dari suatu objek dan

merubahnya menjadi bentuk signal yang selanjutnya dapat diproses dan

direkam.

Page 24: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

Meskipun spektrum elektromagnetik merupakan spektrum yang sangat

luas, tapi hanya sebagian kecil saja yang dapat digunakan dalam penginderaan

jauh. Atmosfer hanya dapat dilalui atau ditembus oleh sebagian kecil spektrum

elektromagnetik. Bagian-bagian spektrum elektromagnetik yang dapat melalui

atmosfer dan mencapai permukaan bumi disebut jendela atmosfer (Sutanto, 1986)

terdapat pada Gambar 4.

Gambar 4. Panjang gelombang efektif yang dapat digunakan pada penginderaan jauh (jendela atmosfer) (CCRS, 2005).

Sebelum radiasi elektromagnetik dari objek terdeteksi oleh sensor, terlebih

dahulu radiasi elektromagnetik berinteraksi dengan atmosfer. Bentuk interaksi

yang terjadi biasanya berupa pantulan, hamburan dan penyerapan (Gambar 5).

Hamburan adalah pantulan ke arah serba beda yang disebabkan oleh benda yang

memiliki permukaan kasar dan bentuk tak menentu (Sutanto, 1986). Penyerapan

merupakan fenomena berkurangnya radiasi elektromagnetik karena diserap oleh

partikel-partikel yang terdapat dalam atmosfer seperti uap air, CO2 dan O3.

Page 25: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

Gambar 5. Interaksi antara tenaga elektromagnetik dan atmosfer (Paine, 1992).

Setelah melewati atmosfer, radiasi elektromagnetik akan mengenai objek

di permukaan bumi. Saat itu, radiasi elektromagnetik kembali mengalami

interaksi berupa pantulan, serapan dan transmisi sehingga nilai reflektansi dari

objek yang berbeda menjadi tidak sama. Nilai reflektansi tergantung dari panjang

gelombang yang digunakan dan objek yang akan dideteksi (Gambar 6). Setiap

objek memiliki karakteristik tersendiri (karakteristik spektral) dalam menyerap

dan memantulkan energi yang diterima oleh objek tersebut (Sutanto, 1986).

Gambar 6. Reflektansi objek tanah, vegetasi, dan air untuk setiap panjang gelombang (Lillesand dan Kiefer, 1990)

Page 26: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

2.2.2 Penginderaan jauh untuk mangrove

Saat ini teknologi penginderaan jauh sudah banyak digunakan untuk

memantau dan memetakan mangrove di Indonesia. Beberapa penelitian yang

sudah dilakukan antara lain Kadi (1996) memantau mangrove di pesisir Utara

Bekasi, Jawa Barat; Hartono (1994) memetakan mangrove di Cimanuk, Jawa

Barat; Widyastuti (2000) memantau mangrove di Cilacap; Harsanugraha et al.

(2000) di Bali; Zuhair (1998) di Samarinda dan Arhatin (2007) di Berau

Kalimantan Timur.

Landsat TM dan SPOT XS merupakan satelit yang banyak digunakan

untuk memantau mangrove. Citra kedua satelit ini telah digunakan sejak 1980

(Green, 1998 in Widyastuti, 2000). Menurut Wouthuyzen dan Sapulete (1994) in

Supriyadi (2000) tingkat ketelitian citra satelit Landsat 1 MSS dan Landsat 5 TM

dalam pemetaan sumberdaya mangrove, padang lamun dan terumbu karang dapat

mencapai 88 %.

Aplikasi penginderaan jauh multispektral mangrove meliputi perkiraan

jumlah, kerapatan, dan distribusi vegetasi. Perkiraan ini didasarkan pada

reflektansi kanopi vegetasi. Nilai reflektansi dari suatu objek akan berbeda dengan

nilai reflektansi objek lain. Objek vegetasi pada panjang gelombang infra merah

dekat memiliki nilai reflektasi tinggi, sedangkan pada panjang gelombang merah,

objek vegetasi memiliki nilai reflektansi rendah (Gambar 7). Kombinasi dari

kedua kanal ini akan menghasilkan data yang memiliki nilai sensitif terhadap

kehijauan vegetasi (Lillesand dan Kiefer, 1990). Selain itu, penginderaan jauh

untuk vegetasi mangrove dapat dilakukan dengan dasar bahwa mangrove hanya

tumbuh di daerah pesisir.

Page 27: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

Gambar 7. Karakteristik pantulan komponen vegetasi (Lo, 1996)

Karakteristik pantulan pada panjang gelombang sinar tampak sampai infra

merah dekat menjadi prinsip dasar untuk mendeteksi adanya vegetasi. Dari prinsip

di atas, diperoleh suatu indeks yang digunakan untuk memantau vegetasi yang

biasa dikenal sebagai indeks vegetasi. Indeks vegetasi dapat diterapkan pula pada

vegetasi di kawasan pesisir, yaitu vegetasi mangrove.

Indeks vegetasi adalah pengukuran secara kuantitatif dalam mengukur

biomassa maupun kesehatan vegetasi, dilakukan dengan membentuk kombinasi

beberapa spektral kanal, dengan menggunakan operasi penambahan, pembagian,

perkalian antara kanal yang satu dengan yang lain untuk mendapatkan suatu nilai

yang bisa mencerminkan kelimpahan atau kesehatan vegetasi. Nilai indeks

vegetasi yang tinggi memberikan gambaran bahwa di areal yang diamati terdapat

vegetasi dengan tingkat kehijauan yang tinggi seperti areal hutan rapat dan lebat.

Sebaliknya nilai indeks vegetasi yang rendah merupakan indikator bahwa lahan

yang dipantau mempunyai tingkat kehijauan rendah, lahan dengan vegetasi jarang

atau bukan objek vegetasi (Arhatin, 2007).

Page 28: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

Tucker (1979) in Budi (2000) menyatakan rasio pantulan merah dan infra

merah atau indeks vegetasi berhubungan positif dengan leaf area index (LAI).

Leaf area index (LAI) adalah luas total satu sisi atau setengah dari total semua sisi

luas daun hijau per satuan unit luas permukaan tanah. LAI merupakan parameter

biologi yang penting karena dapat menjelaskan luas daun yang berinteraksi

dengan radiasi sinar matahari dan memberikan pantulan dalam penginderaan jauh

(Jensen, 2000 in Hidayah, 2006).

Indeks vegetasi merupakan persentase pemantulan radiasi matahari oleh

permukaan daun yang berkorelasi dengan konsentrasi klorofil. Besarnya

konsentrasi klorofil yang dikandung oleh suatu permukaan vegetasi, khususnya

daun menunjukkan tingkat kehijauan vegetasi tersebut. Howard (1996)

menyatakan bahwa rasio antara pantulan spektral vegetasi pada kanal merah dan

infra merah dekat atau indeks vegetasi juga berguna dalam studi liputan vegetasi

dan kondisi vegetasi dengan mengurangi pengaruh dari variasi intensitas

penyinaran matahari.

Beberapa formula indeks vegetasi untuk memantau mangrove antara lain :

a. Ratio Vegetation Index (RVI) = REDNIR (Tucker, 1979 in Arhatin, 2007)

b. Transformed RVI (TRVI) = REDNIR (Rouse et al. 1974 in Hariyadi, 1999)

c. Difference Vegetation Index (DVI) = 2.4 NIR - RED (Richardson dan Wiegand, 1977 in Arhatin, 2007)

d. Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) = REDNIRREDNIR

+−

(Rouse et al., 1974 in Hidayah, 2006)

Page 29: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

e. Transformed NDVI (TNDVI) = REDNIRREDNIR

+− + 0,5

(Richardson dan Wiegand, 1977 in Arhatin, 2007)

Keterangan :

RED = nilai digital pada citra kanal merah

NIR = nilai digital pada citra kanal infra merah dekat

NDVI merupakan algoritma indeks vegetasi yang paling sering digunakan.

Prinsip dari formula ini adalah radiasi dari visible red diserap oleh chlorophyll

hijau daun sehingga akan direflektansikan rendah, sedangkan radiasi dari sinar

near infrared akan kuat direflektansikan oleh struktur daun spongy mesophyll.

Indeks ini mempunyai kisaran nilai dari -1,0 sampai 1,0 (Arhatin, 2007). Awan,

air dan objek non vegetasi mempunyai nilai NDVI kurang dari nol. Jika nilai

indeks lebih tinggi berarti penutupan vegetasi tersebut lebih sehat (Lillesand dan

Kiefer, 1990).

NDVI dapat digunakan untuk mengukur kondisi relatif vegetasi. Hal ini

memungkinkan untuk menghitung dan memprediksi biomassa, leaf area index

(LAI) dan photosynthetically active radiation (PAR) yang diserap oleh vegetasi

(Sader et al., 1989 in Arhatin, 2007). NDVI juga dapat digunakan sebagai

indikator biomassa relatif dan tingkat kehijauan daun (Chen dan Brutsaert, 1998

in Arhatin, 2007). Selain itu, NDVI juga memungkinkan dalam menghitung dan

memprediksi produktivitas primer, spesies dominan dan pengaruh pemangsaan

(Oesterheld et al. 1998; Peters et al. 1997 in Arhatin, 2007).

Page 30: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

2.2.3 Karakteristik Satelit FORMOSAT 2 dan Landsat 7/ETM+

FORMOSAT 2 merupakan satelit resolusi tinggi milik Taiwan yang

diluncurkan pada 20 Mei 2004. Satelit ini dioperasikan oleh National Space

Organization of Taiwan. Satelit berorbit sun-synchronous ini memiliki resolusi

spasial 8 meter untuk kanal multispektral (biru, hijau, merah dan infra merah

dekat) serta resolusi 2 meter untuk kanal pankromatik dengan luas cakupan 24 x

24 km2. Satelit ini memiliki resolusi temporal satu hari dan merekam data pada

pukul 09.30 waktu setempat setiap harinya (www.nspo.org). Karakteristik dan

konfigurasi satelit FORMOSAT 2 dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 8.

Tabel 1. Karakteristik satelit FORMOSAT 2 (Chen, 2005) Jenis Spesifikasi

Tipe Sun-Synchronous Ketinggian 891 km Inklinasi 99,1º

Orbit

Periode 14 kali per hari Spacecraft Rotasi satelit 45° terhadap orbit

Mode operasi Push Broom Scanning Panjang fokus 2896 mm

Sensor

Fov 1,5º Pankromatik Multispektral Resolusi 2 m 8 m

450 - 900 nm Biru : 450 - 520 nm Hijau : 520 - 600 nm Merah : 630 - 690 nm

Band Spektral

NIR : 760 - 900 nm Jumlah piksel 12000 3000 Lebar cakupan 24 km 24 km

Citra

Kedalaman transmisi 8 bits 8 bits

Page 31: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

Gambar 8. Satelit FORMOSAT 2 (http://yearbook.stpi.org.tw/english/94/ yearBook/image/FC-2.jpg)

Satelit Landsat 7/ETM+ diluncurkan pada tanggal 15 April 1999. Satelit

ini memiliki luas cakupan 185 x 185 km2, resolusi temporal 16 hari, berada pada

ketinggian 705 km, orbit sun-synchronous yang memotong garis khatulistiwa ke

arah selatan setiap pukul 10.00 waktu setempat dengan sudut inklinasi 30°. Satelit

ini memiliki resolusi spasial 30 meter untuk kanal multispektral dan 15 meter

untuk kanal pankromatik. Karakteristik dan konfigurasi Landsat 7/ETM+ dapat

dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 9. Kedua satelit ini memiliki resolusi spektral

yang sama untuk band 1, 2, 3, dan 4, sehingga fungsi dari tiap kanal (band) pada

satelit FORMOSAT 2 dan Landsat 7/ETM+ adalah sama.

Gambar 9. Satelit Landsat 7/ETM+ (http://imaging.geocomm.com/features/ sensor/landsat7)

Page 32: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

Tabel 2. Karakteristik kanal satelit Landsat 7/ETM+ (http://imaging. geocomm.com/features/sensor/landsat7)

Kanal Panjang gelombang (µm) Keterangan

1 0,45-0,52

Kanal Biru. Penetrasi maksimum pada air berguna untuk batimetri perairan dangkal, membedakan antara tanah, vegetasi, dan tipe-tipe pohon.

2 0,52-0,60 Kanal Hijau. Bermanfaat untuk perkiraan kegiatan tanam.

3 0,63-0,69 Kanal Merah. Membedakan jenis tumbuhan (vegetasi) melalui pemetaan klorofil.

4 0,76-0,90 Kanal Infra merah dekat. Berguna untuk menentukan kandungan biomassa dan pemetaan garis pantai.

5 1,55-1,75

Kanal Infra merah tengah I. Menunjukkan kandungan kelembaban tanah dan vegetasi. Penetrasi awan tipis. Baik untuk kekontrasan antar tipe vegetasi.

6 10,40-12,40

Kanal Infra merah thermal. Citra malam hari berguna untuk pemetaan thermal dan perkiraan kelembaban tanah.

7 2,08-2,35

Kanal Infra merah tengah II. Merupakan absorpsi kanal yang disebabkan ion hidroksil dalam mineral.

8 0,50-0,90 Kanal Pankromatik. Memiliki resolusi yang tinggi dan kemampuan deteksi yang tinggi.

2.3 Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Kepulauan Seribu merupakan kawasan yang terletak 45 km di utara

Jakarta. Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu dibagi menjadi dua wilayah,

yakni Kepulauan Seribu Utara dan Kepulauan Seribu Selatan. Kabupaten ini

merupakan salah satu dari 5 kota dan 1 kabupaten di Provinsi DKI Jakarta. Ibu

kota Kabupaten yaitu P. Pramuka. Kepulauan Seribu secara geografis terletak

pada 5°24´-5°45´ LS dan 106°25´-106°40´ BT. Kepulauan ini mempunyai luas

Page 33: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

wilayah 1.180,8 ha atau 11,8 km2, terdiri 105 pulau dengan jumlah penduduk

sekitar 15.600 jiwa. Suhu udara rata-rata 26,5°-30ºC. Curah hujan antara 100-400

mm di musim Barat dan 50-100 di musim Timur (Budiyanto, 2002). Kepulauan

Seribu mempunyai nilai konservasi yang tinggi karena keanekaragaman jenis dan

ekosistemnya yang unik dan khas. Kondisi sumberdaya alam Kepulauan Seribu

menyimpan potensi, terutama di sektor perikanan dan sektor pariwisata.

Gugus Pulau Pari adalah bagian dari Kelurahan Pulau Pari yang terdiri

dari beberapa pulau antara lain Pulau Pari, Pulau Tengah, Pulau Kongsi, Pulau

Burung, dan Pulau Tikus. Pengelolaan Pulau ini berada di bawah LIPI dan

merupakan pulau untuk kegiatan konservasi dan penelitian. Mata pencaharian

utama penduduk setempat yaitu budidaya rumput laut. Parameter fisika dan kimia

yang terukur saat penelitian berlangsung antara lain suhu yang terukur pada Utara

dan Selatan perairan ini sebesar 29°C, salinitas di Utara sebesar 32 psu sedangkan

di Selatan 30 psu, pH di utara dan selatan adalah 8, kecepatan arus di utara

sebesar 0,14 m/s dan di selatan 0,11 m/s (Sari, 2007).

Kondisi ekosistem mangrove di Pulau Pari cukup memprihatinkan. Hutan

mangrove di Kepulauan Seribu tersisa 1,8 % atau 100 sampai 150 hektar dari total

luas lahan 4.027 hektar. Salah satu spesies lokal yang tergantung pada mangrove

adalah penyu sisik (Erethmocyla imbricata). Penanaman mangrove sudah

dilakukan di Kepulauan Seribu sejak 1973, tetapi selalu gagal. Melalui program

Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Nasional atau Gerhan tahun 2005/2006

yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan ditanam mangrove dengan sistem

rumpun berjarak. Sekitar 1,81 juta mangrove ditanam di 15 pulau di Kepulauan

Seribu dengan tingkat keberhasilan 70 % sampai 80 % (www.kompas.com, 2007).

Page 34: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

3. METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan waktu

Penelitian ini berlokasi di gugus Pulau Pari Kabupaten Administratif

Kepulauan Seribu, DKI Jakarta (Gambar 10). Pengolahan citra dilakukan di P3

TISDA BPPT bulan April sampai September 2007. Survei lapang dilakukan

tanggal 10 Mei, 30 dan 31 Agustus 2007.

Gambar 10. Peta lokasi penelitian Pulau Pari (Peta digital rupa bumi Bakosurtanal Balai TNKPS 2006)

3.2 Alat dan bahan

a. Alat dan bahan pada pengolahan citra satelit

• Alat : Seperangkat PC dengan perangkat lunak ER Mapper 7.0,

ArcView 3.3 dan Ms. Excel 2003

Page 35: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

• Bahan :

1. Citra satelit FORMOSAT 2 rekaman tahun 2006 format *.tif

2. Citra Satelit Landsat 7/ETM+ rekaman tahun 1999 format *.ers

3. Peta LPI Pulau Pari tahun 1999 Skala 1:50.000 dari Bakosurtanal (lembar

LPI 1210-02)

4. Data lapang (Data in situ)

b. Alat dan bahan pada pengambilan data lapang (ground check) antara lain :

GPS 60 Garmin ketelitian 3 m, rol meter dan meteran ketelitian 1 cm, alat tulis,

buku identifikasi mangrove serta data sheet.

3.3 Metode penelitian

Penelitian ini terdiri dari pengolahan dan analisis data penginderaan jauh

dan didukung oleh data hasil survei lapang.

3.3.1 Pengolahan data penginderaan jauh

Pengolahan citra satelit FORMOSAT 2 dan Landsat 7/ETM+ dilakukan

dengan perangkat lunak ER Mapper 7.0 dan ArcView 3.3 baik secara digital

maupun visual, terdiri dari :

a. Konversi format data

Pengolahan data digital berupa citra satelit dimulai dengan proses transfer

data dari media penyimpanan seperti CDROM. Citra satelit diperoleh dari P3

TISDA BPPT. Data citra dalam format *.tif di-import ke dalam perangkat lunak

pengolah citra yaitu ER Mapper 7.0 kemudian citra tersebut dikonversi ke dalam

format *.ers.

Page 36: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

b. Mosaic citra

Citra FORMOSAT 2 Kepulauan Seribu terdiri dari 2 scene dengan

perpotongan tepat berada di tengah gugus Pulau Pari. Proses mosaic dilakukan

untuk menyatukan kedua scene tersebut.

c. Pemotongan citra (cropping)

Pemotongan citra atau cropping dilakukan karena citra awal yang didapat

memiliki cakupan area yang terlalu luas. Proses ini bertujuan agar pengolahan

data menjadi lebih mudah, efektif dan efisien karena cakupan area citra baru

menjadi lebih kecil.

d. Pemulihan citra

Proses pemulihan citra terdiri dari koreksi geometrik dan koreksi

radiometrik. Hal ini dilakukan agar citra yang akan diolah sesuai dengan keadaan

sebenarnya.

1. Koreksi geometrik

Koreksi geometrik bertujuan untuk memperbaiki kesalahan posisi atau

letak objek yang terekam pada citra disebabkan adanya distorsi geometrik

(Gambar 11) seperti kesalahan instrumen berupa sistem optik, mekanisme

penyiaman, distorsi panoramik berupa sudut pandang sensor terhadap bumi, rotasi

bumi, dan ketidakstabilan wahana.

Proses koreksi geometrik terdiri dari dua tahap, yaitu transformasi

koordinat dan resampling. Transformasi koordinat dilakukan dengan

menggunakan titik kontrol bumi (Ground Control Points/GCPs) sehingga

koordinat objek pada citra sama dengan koordinat sebenarnya di bumi. Titik

kontrol bumi adalah suatu kenampakan geografis yang unik dan stabil sifat

Page 37: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

geometrik dan radiometriknya serta lokasinya dapat diketahui dengan tepat seperti

persimpangan jalan, sudut dari suatu bangunan atau tambak.

(a) (b)

Gambar 11. Contoh citra sebelum (a) dan sesudah (b) koreksi geometrik (citra FORMOSAT 2 tahun 2006)

2. Koreksi radiometrik

Koreksi radiometrik dilakukan untuk memperbaiki nilai-nilai piksel yang

tidak sesuai dengan nilai pantulan atau pancaran spektral objek yang sebenarnya.

Koreksi radiometrik dilakukan dengan metode penyesuaian histogram (histogram

adjusment), yaitu dengan mengurangi nilai kanal terdistorsi ke arah kiri sehingga

nilai minimumnya menjadi nol (Gambar 12).

Asumsi pada metode penyesuaian histogram bahwa nilai minimum pada

suatu liputan adalah nol. Jika tidak dimulai dari nol, maka penambahan tersebut

disebut sebagai offset-nya. Berdasarkan asumsi tersebut, maka nilai minimum

pada data sebelum terkoreksi dijadikan sebagai pengurang, sehingga akan

diperoleh rentang nilai minimum dan maksimum setelah citra mengalami koreksi

radiometrik (Arhatin, 2007).

Page 38: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

(a) (b)

Gambar 12. Contoh histogram sebelum (a) dan sesudah (b) koreksi radiometrik

e. Penajaman citra

Penajaman citra bertujuan untuk memperjelas kenampakan objek pada

citra sehingga semakin informatif. Penajaman citra dapat memperbaiki

kenampakan citra dan membedakan objek yang ada pada citra agar informasi

lebih mudah diinterpretasi.

Salah satu teknik penajaman citra untuk kerapatan dan distribusi vegetasi

adalah False Color Composite (FCC). Citra komposit warna False Color

Composite (FCC) dibuat dengan mengkombinasikan tiga kanal, yaitu kanal

dengan urutan filter merah (red/R), filter hijau (green/G) dan filter biru (blue/B).

Dari citra komposit, vegetasi (hijau tua) dapat dilihat dengan jelas (Gambar 13).

(a) (b)

Gambar 13. Contoh citra komposit 321 (a) dan citra komposit 342 (b) (citra FORMOSAT 2 tahun 2006)

Page 39: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

f. Klasifikasi pada citra

Setelah citra komposit dibuat, proses klasifikasi dilakukan untuk

mengelompokkan objek atau kenampakan yang homogen yaitu dengan

menempatkan piksel-piksel ke dalam suatu kelas menurut kesamaan nilai digital

dari tiap piksel.

Proses klasifikasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu klasifikasi

terbimbing (supervised classification) dan klasifikasi tak terbimbing

(unsupervised classification). Pada penelitian ini digunakan klasifikasi tak

terbimbing dengan dukungan data lapangan. Klasifikasi ini didasarkan pada

kesamaan nilai digital tiap piksel. Semua nilai piksel yang sama akan

dikelompokkan secara otomatis ke dalam beberapa kelas yang diinginkan.

Selanjutnya dilakukan pengkelasan ulang (reclass) berdasarkan peta dan

data lapangan agar diperoleh informasi yang lebih detail mengenai lokasi

mangrove di daerah penelitian.

g. Analisis indeks vegetasi

Salah satu analisis indeks vegetasi adalah dengan metode Normalized

Difference Vegetation Index (NDVI) yang bertujuan untuk menentukan tingkat

kerapatan kanopi mangrove. Analisis ini menggunakan metode rasio

ternormalisasi (normalized ratio) dengan kanal NIR (Near Infrared) dan RED

pada FORMOSAT 2 dan Landsat 7/ETM+. Nilai indeks vegetasi (NDVI) dapat

diformulasikan sebagai berikut (Rouse et al., 1974 in Hidayah, 2006) :

NDVI = REDNIRREDNIR

+− ....................... (1)

Page 40: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

Nilai kerapatan mangrove dapat ditentukan berdasarkan nilai indeks

vegetasi (NDVI) dengan beberapa klasifikasi seperti pada Tabel 3. Formula yang

digunakan pada pengolahan citra terdapat pada Lampiran 1.

Tabel 3. Klasifikasi kerapatan vegetasi berdasarkan nilai NDVI (Kadi, 1996) Nilai NDVI Kerapatan vegetasi

< 0,0001 Tidak bervegetasi

0,0001 – 0,1 Vegetasi sangat jarang

0,1 – 0,2 Vegetasi jarang

0,2 – 0,3 Vegetasi sedang

0,3 – 0,4 Vegetasi lebat

> 0,4 Vegetasi sangat lebat

h. Ketelitian klasifikasi

Ketelitian klasifikasi dianalisis dengan perhitungan matriks kekeliruan

(confussion matrix) seperti pada Tabel 4. Variabel A, B, C, dan seterusnya yaitu

merupakan kelas yang didapatkan dari proses klasifikasi.

Tabel 4. Bentuk matriks kesalahan (confussion matrix) Reference Data

Hasil Klasifikasi A B C

Total baris

X+k

User’s

accuracy

A Xii … … X+k Xkk / X+k

B … … … … …

C … … Xkk … …

Total Kolom Xk+ … … N …

Producer’s acc Xkk / Xk+ … … … …

Uji ketelitian yang dihitung adalah overall accuracy, producer’s accuracy,

user’s accuracy dan kappa accuracy. Overall accuracy adalah persentase dari

Page 41: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

piksel-piksel yang terkelaskan dengan tepat, producer’s accuracy adalah peluang

rata-rata (%) suatu piksel yang menunjukkan sebaran dari masing-masing kelas

yang telah diklasifikasi di lapangan, dan user’s accuracy adalah peluang rata-rata

(%) suatu piksel secara aktual yang mewakili kelas-kelas tersebut (Arhatin, 2007).

Secara matematis, ukuran akurasi tersebut diformulasikan sebagai berikut :

Producer’s accuracy = +k

kk

XX

x 100% ..................... (2)

User’s accuracy = k

kk

XX

+

x 100% ............................ (3)

Overall accuracy = NX kk∑ x 100% ...................... (4)

Kappa accuracy = ∑

∑∑

++

++

r

kkk

r

kkk

r

kkk

XXN

XXXN

2 ............ (5)

i. Penggabungan klasifikasi lahan dan indeks vegetasi

Citra penutupan lahan hasil klasifikasi tak terbimbing dapat di-overlay

dengan citra hasil analisis indeks vegetasi (NDVI) untuk memperlihatkan

distribusi mangrove menurut kerapatannya. ArcView 3.3 dapat menampilkan

distribusi mangrove di gugus Pulau Pari menurut kerapatannya dapat ditampilkan

dalam bentuk peta tematik.

j. Hubungan antara kerapatan mangrove dan NDVI

Regresi linear sederhana dan uji anova digunakan untuk melihat hubungan

antara kerapatan mangrove dan NDVI pada tujuh stasiun pengamatan di gugus

Pulau Pari. Jika diberikan data contoh ((xi, yi); i = 1, 2, ..., n), maka nilai dugaan

Page 42: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

kuadrat terkecil bagi parameter dalam garis regresi, y = a + bx, dapat diperoleh

dari rumus (Walpole, 1992) :

b =

∑ ∑

∑∑∑

= =

===

⎟⎠

⎞⎜⎝

⎛−

⎟⎠

⎞⎜⎝

⎛⎟⎠

⎞⎜⎝

⎛−

n

i

n

iii

n

ii

n

ii

n

iii

xxn

yxyxn

1

2

1

2

111 .............................. (6)

a = y - b x ............................................................. (7)

Variabel x merupakan kerapatan individu mangrove per meter persegi dan

variabel y merupakan nilai NDVI pada citra. Uji F regresi linear sederhana

terdapat pada Tabel 5.

Tabel 5. Uji F regresi linear sederhana (Walpole, 1992)

Sumber Keragaman

Jumlah Kuadrat

Derajat Bebas

Kuadrat Tengah

F Hitung

Nilai tengah Kolom Galat

JKK JKG

k-1 k(n-1)

12

−=

kJKKsx

)1(2

−=

nkJKGs y

2

2

y

x

ss

Total JKT nk-1

Dimana : F tabel = Fα [k-1, k(n-1)]

JKG = ........................................ (8) ∑=

−−n

iii bxay

1

2)(

)1(1

2

1

2

2

⎟⎠

⎞⎜⎝

⎛−

=∑ ∑= =

nn

xxns

n

i

n

iii

x ........ (9) )1(

1

2

1

2

2

⎟⎠

⎞⎜⎝

⎛−

=∑ ∑= =

nn

yyns

n

i

n

iii

y ......... (10)

Uji hipotesis :

H0 = x tidak mempengaruhi y

H1 = x mempengaruhi y

Page 43: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

Jika F hitung > F tabel maka tolak H0 dan terima H1, sebaliknya jika F hitung <

F tabel maka tolak H1 dan terima H0. Analisis regresi linear antara kerapatan

mangrove dan nilai NDVI serta uji anova baik pada citra FORMOSAT 2 dan

Landsat 7/ETM+ dilakukan dengan software Ms. Excel 2003.

k. Perhitungan perubahan luasan lahan

Penghitungan perubahan luas ekosistem mangrove dilakukan dengan

membandingkan hasil klasifikasi mangrove dari citra FORMOSAT 2 dan hasil

klasifikasi mangrove dari citra Landsat 7/ETM+. Setelah diperoleh luasan

mangrove dari kedua citra, maka selisih atau perubahan luas ekosistem mangrove

dapat dihitung.

3.3.2 Pengambilan dan analisis data lapang

Pengambilan data lapang (ground check) dilakukan sebagai satu kegiatan

yang penting dalam interpretasi citra satelit. Kegiatan ini memberikan penjelasan

mengenai kondisi ekosistem sebenarnya di lapangan. Kegiatan ground check

meliputi berbagai kegiatan seperti pengambilan data vegetasi mangrove dan

pengukuran posisi dengan Global Positioning System (GPS).

a. Penentuan stasiun

Jumlah stasiun pengambilan data sebanyak tujuh, enam stasiun di Pulau

Pari dan satu stasiun di Pulau Tengah. Stasiun ditentukan secara merata, mewakili

dan dapat dijangkau.

b. Metode pengambilan data

Metode yang digunakan untuk memperoleh data kerapatan vegetasi

mangrove adalah metode transek kuadrat dengan ukuran 10 x 10 m. Pada

Page 44: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

penelitian ini petak contoh dibuat bujur sangkar. Transek 10 x 10 m digunakan

untuk menghitung jumlah tegakan mangrove tingkat pohon dengan tinggi > 1 m

dan diameter batang > 4 cm. Pengambilan data dilakukan dengan mencatat setiap

spesies (nama ilmiah dan lokal), keliling lingkar batang dan jumlah vegetasi

mangrove yang terdapat di dalam plot pengamatan.

c. Analisis data lapang

Data lapang yang dihitung : Di, RDi, Fi, RFi, Ci, RCi dan INP (Bengen, 1999).

1. Kerapatan jenis (Di) dan Kerapatan relatif jenis (RDi)

Kerapatan jenis (Di)

Di = Ani ............................................ (11)

Kerapatan relatif jenis (RDi)

RDi = ∑nni x 100 ............................ (12)

2. Frekuensi jenis (Fi) dan Frekuensi relatif jenis (RFi)

Frekuensi jenis (Fi)

Fi = ∑ p

pi .......................................... (13)

Frekuensi relatif jenis (RFi)

RFi = ∑F

Fi x 100 ............................ (14)

3. Penutupan jenis (Ci) dan penutupan relatif jenis (RCi)

Penutupan jenis (Ci)

Ci = ABA∑ ...................................... (15)

Page 45: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

Penutupan relatif jenis (RCi)

RCi = ∑CCi x 100 ........................... (16)

4. Indeks Nilai Penting (INP)

INP = RDi + RFi + RCi ................... (17)

Keterangan :

ni = Jumlah total tegakan dari jenis ke-i

A = Luas area plot pengamatan

RDi = Kelimpahan relatif jenis ke-i

∑ n = Jumlah total tegakan seluruh jenis

pi = Jumlah total pengamatan tempat ditemukannya jenis ke-i

∑ p = Jumlah total plot pengamatan

∑ F = Jumlah frekuensi untuk seluruh jenis

Rfi = Frekuensi relatif jenis ke-i

BA = cB2 / 4 π (cm²); π (konstanta) = 3,1416

cB = Lingkar batang pohon dari jenis ke-i

∑ C = Luas total area penutupan untuk seluruh jenis

RCi = Penutupan relatif jenis ke-i

Nilai penting suatu jenis mangrove untuk tingkat pohon dan anakan

berkisar antara nol sampai 300. Indeks nilai penting (INP) menjelaskan pengaruh

atau peranan suatu jenis vegetasi mangrove dalam suatu komunitas mangrove

yang diamati. Semakin tinggi indeks nilai penting suatu jenis, maka semakin

tinggi pula peranan jenis mangrove tersebut dalam ekosistem. Diagram alir

penelitian dapat dilihat pada Gambar 14.

Page 46: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

Citra Komposit RGB 342 Analisis Indeks Vegetasi (NDVI)

Unsupervised Classification

Uji Ketelitian Klasifikasi

Teliti

Klasifikasi Mangrove Lanjutan

Mosaic Kepulauan Seribu

Tidak

Koreksi Geometrik

Citra FORMOSAT 2 / Landsat 7/ETM+

Cropping Pulau Pari

Peta LPI Pulau Pari

Citra Terklasifikasi Kerapatan FORMOSAT 2 / Landsat 7ETM+

Koreksi Radiometrik

Reclass NDVI

Ya

Perubahan Luas Lahan Mangrove (m2)

Gambar 14. Diagram alir pengolahan citra FORMOSAT 2 dan Landsat 7/ETM+

Page 47: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengolahan citra

Data citra FORMOSAT 2 Kepulauan Seribu rekaman tahun 2006 dan

Landsat 7/ETM+ tahun 1999 dikonversi ke dalam ekstensi *.ers. Citra

FORMOSAT 2 terdiri dari 2 scene, yaitu Kepulauan Seribu bagian atas dan

bawah sehingga perlu dilakukan proses mosaic (Gambar 15). Selanjutnya

dilakukan cropping untuk kedua citra tersebut di lokasi penelitian, yaitu gugus

Pulau Pari dan diperoleh hasil seperti pada Gambar 16 dan 17.

(a). FS2_500175000_02_0001_MS

(b). FS2_500175000_02_0002_MS

Gambar 15. Citra pseudo layer FORMOSAT 2 scene 1 (a) dan scene 2 (b)

= Lokasi Pulau Pari

Page 48: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

Gambar 16. Citra FORMOSAT 2 gugus P. Pari, Kepulauan Seribu tahun 2006

Gambar 17. Citra Landsat 7/ETM+ gugus P. Pari, Kepulauan Seribu tahun 1999

Page 49: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

4.2 Pemulihan citra

4.2.1 Koreksi geometrik

Koreksi geometrik dilakukan dengan acuan Peta Lingkungan Pantai

Indonesia (LPI) Mauk tahun 1999 dari Bakosurtanal Skala 1 : 50.000, lembar LPI

1210-02 (Lampiran 2). Proyeksi yang digunakan yaitu SUTM 48 dengan

DATUM WGS 84 (Gambar 18). Ground Control Points yang digunakan

berjumlah 20. Kisaran nilai Root Mean Square (RMS) antara 0,04 sampai 0,4868

dengan rata-rata RMSe 0,237 dan total RMSe sebesar 4,73. Nilai RMS terdapat

pada Lampiran 3.

Gambar 18. Citra FORMOSAT 2 gugus Pulau Pari tahun 2006 hasil rektifikasi dengan Peta LPI Mauk tahun 1999 Bakosurtanal Skala 1 : 50.000

4.2.2 Koreksi radiometrik

Koreksi radiometrik dilakukan pada citra FORMOSAT 2 dan Landsat

7/ETM+ dengan metode penyesuaian histogram (histogram adjusment), yaitu

Page 50: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

dengan mengurangi nilai kanal terdistorsi ke arah kiri sehingga nilai minimumnya

menjadi nol. Nilai digital dan histogram band 1 citra FORMOSAT 2 dan Landsat

7/ETM+ sebelum dan sesudah koreksi radiometrik terdapat pada Tabel 6 dan 7

serta Gambar 19 dan 20.

Tabel 6. Nilai digital citra FORMOSAT 2 band 1 sebelum dan sesudah koreksi radiometrik

Kanal Nilai Digital Awal Nilai Digital Terkoreksi

1 41 - 120 0 - 79

2 73 - 140 0 - 67

3 131 - 176 0 - 45

4 23 - 122 0 - 99

(a) (b)

Gambar 19. Histogram band 1 FORMOSAT 2 sebelum (a) dan sesudah (b)

koreksi radiometrik

Tabel 6 dan Gambar 19 menunjukkan bahwa nilai histogram band 1 pada

citra satelit FORMOSAT 2 mengalami pergeseran sebesar 41 ke arah kiri. Nilai

histogram band 1 pada citra satelit Landsat 7/ETM+ mengalami pergeseran

sebesar 91 ke arah kiri setelah dilakukan koreksi geometrik (Tabel 7 dan Gambar

20).

Page 51: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

Tabel 7. Nilai digital citra band 1 Landsat 7/ETM+ sebelum dan sesudah koreksi radiometrik

Kanal Nilai Digital Awal Nilai Digital Terkoreksi

1 91 - 166 0 - 75

2 54 - 157 0 - 103

3 36 - 167 0 - 131

4 20 - 126 0 - 106

(a) (b)

Gambar 20. Histogram band 1 Landsat 7/ETM+ sebelum (a) dan sesudah (b) koreksi radiometrik

4.3 Distribusi vegetasi mangrove

Proses klasifikasi tak terbimbing dilakukan baik pada citra FORMOSAT 2

tahun 2006 dan Landsat 7/ETM+ tahun 1999. Citra diklasifikasikan menjadi 68

kelas untuk Landsat 7/ETM+ dan 33 kelas untuk FORMOSAT 2 berdasarkan

kesamaan nilai digital tiap piksel. Hasil klasifikasi tersebut kemudian dikelaskan

kembali (reclass) menjadi 3 kelas, yaitu darat, laut dan mangrove seperti pada

Gambar 26 dan 27.

Hasil klasifikasi citra Landsat 7/ETM+ tahun 1999 dan FORMOSAT 2

tahun 2006 menunjukkan bahwa sebaran mangrove di gugus Pulau Pari terdapat

di Pulau Burung, Pulau Tengah dan Pulau Kongsi seluas 37.504 m2, sedangkan

Page 52: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

sebaran mangrove di Pulau Pari seluas 35.584 m2. Gugus Pulau Pari merupakan

bagian dari Kelurahan Pulau Pari. Kelurahan Pulau Pari memiliki 10 pulau dengan

peruntukan yang berbeda (Tabel 8).

Tabel 8. Luas wilayah Kelurahan Pulau Pari dan peruntukannya (Budiyanto,2002)

No. Nama Pulau Luas Pulau (Ha) Peruntukan 1. Karang Gudus 0,76 Pariwisata 2. Biawak 0,24 Penghijauan 3. Tengah 2 Rekreasi / Penghijauan 4. Kongsi 1,63 Rekreasi / Pariwisata 5. Pari 41,32 Perumahan 6. Burung 3,26 Rekreasi / Pariwisata 7. Tikus 1,2 Penghijauan Laut 8. Lancang Besar 15,13 Perumahan 9. Lancang Kecil 11,03 Rekreasi / Pariwisata 10. Bokor 18 Cagar Alam Total 94,57 Ha

Sumber : Laporan Kelurahan Pulau Pari tahun 2001

Tedapat dua pulau di Kelurahan Pulau Pari yang digunakan sebagai

kawasan pemukiman yaitu Pulau Pari dan Pulau Lancang Besar, sedangkan pulau-

pulau lain digunakan untuk kawasan pariwisata, rekreasi, penghijauan dan cagar

alam. Padatnya pemukiman di Pulau Pari menyebabkan kondisi ekosistem

mangrove terganggu.

Sebaran mangrove di Pulau Pari banyak terdapat di pesisir utara. Lokasi

pemukiman dan aktivitas nelayan seperti dermaga di pesisir selatan dan perikanan

seperti budidaya rumput laut, keramba apung ikan kerapu dan rajungan

menyebabkan ekosistem mangrove di pesisir selatan tidak terjaga dengan baik.

Ekosistem mangrove di Pulau Burung, Pulau Tengah dan Pulau Kongsi yang lebat

disebabkan sedikitnya aktivitas penduduk di ketiga pulau tersebut.

Page 53: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

4.4 Hubungan antara kerapatan mangrove dan NDVI

Dengan menggunakan transformasi NDVI baik pada citra FORMOSAT 2

dan Landsat 7/ETM+ dapat diketahui tingkat kerapatan dari vegetasi mangrove

yang terdapat di gugus Pulau Pari. Nilai NDVI berkaitan erat dengan kerapatan

vegetasi sehingga dapat digunakan untuk mengklasifikasikan vegetasi mangrove

berdasarkan kerapatannya. Citra FORMOSAT 2 dan Landsat 7/ETM+ hasil

transformasi NDVI terdapat pada Gambar 21 dan 22.

Gambar 21. Citra FORMOSAT 2 gugus Pulau Pari hasil transformasi NDVI

Gambar 22. Citra Landsat 7/ETM+ gugus Pulau Pari hasil transformasi NDVI

Nilai NDVI pada citra FORMOSAT 2 memiliki kisaran antara -1 sampai 1

sementara nilai NDVI pada citra Landsat 7/ETM+ memiliki kisaran antara -1

sampai 0,6999 seperti terlihat pada histogram (Gambar 23). Nilai -1 sampai nol

mewakili NDVI untuk objek laut dan awan sedangkan nilai di atas nol sampai 1

mewakili NDVI untuk darat dan vegetasi.

Page 54: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

(a) (b)

Gambar 23. Histogram citra FORMOSAT 2 (a) dan Landsat 7/ETM+ (b) hasil transformasi NDVI

Nilai kerapatan mangrove (Ind/m2) hasil survei lapang dan nilai NDVI dari

citra FORMOSAT 2 dan Landsat 7/ETM+ di tujuh stasiun pengamatan dapat

dilihat pada Tabel 9 dan 10. Analisis regresi linear kedua nilai tersebut untuk

kedua citra menunjukkan hubungan linear. Grafik hubungan kerapatan mangrove

dan NDVI terdapat pada Gambar 24 dan 25.

Tabel 9. Kerapatan mangrove (Ind/m2), nilai NDVI FORMOSAT 2 dan kelas vegetasi mangrove tiap stasiun

Stasiun Kerapatan (Ind/m2) Nilai NDVI

FORMOSAT 2 Kelas NDVI

1 0,2267 0,2787 Mangrove Sedang

2 0,1733 0,1765 Mangrove Jarang

3 0,13 0,1852 Mangrove Jarang

4 0,1433 0,1428 Mangrove Jarang

5 0,0867 0,1385 Mangrove Sangat Jarang

6 0,09 0,112 Mangrove Sangat Jarang

7 0,1 0,1077 Mangrove Jarang

Page 55: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

Persamaan yang dihasilkan yaitu : y = 0,0211x + 1,0458

Dimana : x = nilai kerapatan mangrove

y = nilai NDVI FORMOSAT 2

Persamaan regresi di atas menunjukkan bahwa nilai koefisien regresi

bernilai positif. Hal ini berarti nilai kerapatan mangrove dan NDVI FORMOSAT

2 di tujuh stasiun berbanding lurus atau semakin meningkat nilai kerapatan

mangrove maka semakin meningkat pula nilai NDVI dan demikian sebaliknya.

0

0.05

0.1

0.15

0.2

0.25

0.3

0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25

Kerapatan (ind/m2)

NDV

I

Gambar 24. Grafik regresi linear kerapatan mangrove dengan nilai NDVI FORMOSAT 2

Nilai R2 dari hubungan kerapatan mangrove dan NDVI FORMOSAT 2

adalah 82,04 %. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan kerapatan mangrove dan

NDVI FORMOSAT 2 dapat dijelaskan sebesar 82,04 %. Nilai r sebesar 0,9058

menjelaskan bahwa hubungan antara kerapatan mangrove dan NDVI

FORMOSAT 2 adalah erat.

Page 56: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

Hasil analisis uji anova menunjukkan bahwa transformasi NDVI

FORMOSAT 2 untuk persamaan regresi linear yang diuji memiliki F hitung sebesar

22,8467 dan F tabel sebesar 0,004971. Nilai F hitung > F tabel sehingga tolak H0 dan

terima H1. Hal ini berarti bahwa peubah penjelas kerapatan mangrove memiliki

kontribusi yang nyata terhadap peubah respon, yaitu nilai NDVI.

Tabel 10. Kerapatan mangrove (Ind/m2), nilai NDVI Landsat 7/ETM+ dan kelas vegetasi mangrove tiap stasiun

Stasiun Kerapatan (Ind/m2) Nilai NDVI

Landsat 7/ETM+ Kelas NDVI

1 0,2267 0,3333 Mangrove Rapat

2 0,1733 0,1752 Mangrove Jarang

3 0,13 0,1648 Mangrove Jarang

4 0,1433 0,1896 Mangrove Jarang

5 0,0867 0,1034 Mangrove Jarang

6 0,09 0,1714 Mangrove Jarang

7 0,1 0,0701 Mangrove Sangat Jarang

Persamaan yang dihasilkan yaitu : y = -0,0195x + 1,4149

Dimana : x = nilai kerapatan mangrove

y = nilai NDVI Landsat 7/ETM+

Persamaan regresi di atas menunjukkan bahwa nilai koefisien regresi

bernilai positif. Hal ini berarti nilai kerapatan mangrove dan NDVI Landsat

7/ETM+ di tujuh stasiun berbanding lurus atau semakin meningkat nilai kerapatan

mangrove maka semakin meningkat pula nilai NDVI dan demikian sebaliknya.

Page 57: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

Hasil analisis uji anova menunjukkan bahwa transformasi NDVI Landsat

7/ETM+ untuk persamaan regresi linear yang diuji memiliki F hitung sebesar

15,0375 dan F tabel sebesar 0,0117. Nilai F hitung > F tabel sehingga tolak H0 dan

terima H1. Hal ini berarti bahwa peubah penjelas kerapatan mangrove juga

memiliki kontribusi yang nyata terhadap peubah respon, yaitu nilai NDVI.

Nilai R2 dari hubungan kerapatan mangrove dan NDVI Landsat 7/ETM+

adalah 75,05 %. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan kerapatan mangrove dan

NDVI Landsat 7/ETM+ dapat dijelaskan sebesar 75,05 %. Nilai r sebesar 0,8663

menjelaskan bahwa hubungan antara kerapatan mangrove dan NDVI Landsat

7/ETM+ adalah erat.

0

0.05

0.1

0.15

0.2

0.25

0.3

0.35

0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25

Kerapatan (ind/m2)

NDV

I

Gambar 25. Grafik regresi linear kerapatan mangrove dengan nilai NDVI

Landsat 7/ETM+

Page 58: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

Gambar 26. Peta sebaran mangrove gugus Pulau Pari tahun 2006 hasil klasifikasi citra FORMOSAT 2

Page 59: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

Gambar 27. Peta sebaran mangrove gugus Pulau Pari tahun 1999 hasil klasifikasi citra Landsat 7/ETM+

Page 60: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

4.5 Penutupan lahan hasil klasifikasi

Hasil klasifikasi lanjutan citra FORMOSAT 2 tahun 2006 dan citra

Landsat 7/ETM+ tahun 1999 dapat digunakan untuk menghitung luas penutupan

lahan gugus Pulau Pari untuk kelas darat dan pemukiman serta vegetasi mangrove

seperti pada Tabel 11.

Tabel 11. Luas penutupan lahan gugus Pulau Pari tahun 1999 dan 2006 Tahun 1999

(Citra Landsat 7/ETM+)

Tahun 2006

(Citra FORMOSAT 2) Kelas

Jumlah Piksel Luas (m2) Jumlah Piksel Luas (m2)

Darat dan pemukiman 552 496.800 10.427 667.328

Vegetasi mangrove 360 324.000 3.470 222.080

Laut 21.096 18.986.400 295.591 18.917.824

Total 22.008 19.807.200 309.488 19.807.232

Menurut hasil klasifikasi citra Landsat 7/ETM+ tahun 1999, luas darat dan

pemukiman di gugus Pulau Pari tahun 1999 adalah 496.800 m2 dan luas vegetasi

mangrove sebesar 324.000 m2. Sementara menurut hasil klasifikasi citra

FORMOSAT 2 tahun 2006, luas darat dan pemukiman Pulau Pari diperkirakan

sebesar 667.328 m2 dan luas vegetasi mangrove sebesar 222.080 m2. Diperkirakan

luas darat dan pemukiman Pulau Pari yang bertambah akibat konversi mangrove

sebesar 170.528 m2 atau 34,32 % dari luas semula. Ekosistem mangrove yang

berkurang akibat konversi diperkirakan sebesar 101.920 m2 atau 31,46 % dari luas

semula.

Hasil overlay hasil klasifikasi tak terbimbing dan citra transformasi NDVI

baik pada citra FORMOSAT 2 tahun 2006 dan Landsat 7/ETM+ tahun 1999 dapat

digunakan untuk menghitung luas tutupan mangrove gugus Pulau Pari menurut

Page 61: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

kerapatannya (Tabel 12 dan 13) serta dapat ditampilkan dalam bentuk peta

(Gambar 28 dan 39). Perubahan kerapatan ekosistem mangrove di sebelah Barat

Pulau Pari pada tahun 1999 dan 2006 terdapat pada Gambar 30.

Tabel 12. Luas tutupan mangrove menurut kerapatan gugus P. Pari tahun 2006 Kelas Jumlah Piksel Luas (m2)

Mangrove Sangat Jarang 458 29.312

Mangrove Jarang 503 32.192

Mangrove Sedang 675 43.200

Mangrove Rapat 889 56.896

Mangrove Sangat Rapat 945 60.480

Darat dan pemukiman 10.427 667.328

Tabel 13. Luas tutupan mangrove menurut kerapatan gugus P. Pari tahun 1999 Kelas Jumlah Piksel Luas (m2)

Mangrove Sangat Jarang 192 172.800

Mangrove Jarang 49 44.100

Mangrove Sedang 37 33.300

Mangrove Rapat 27 24.300

Mangrove Sangat Rapat 55 49.500

Darat dan pemukiman 552 496.800

Menurut hasil klasifikasi citra FORMOSAT 2, ekosistem mangrove gugus

Pulau Pari tahun 2006 dapat dikelompokkan menjadi lima kelas berdasarkan nilai

NDVI, yaitu mangrove sangat jarang, jarang, sedang, rapat dan sangat rapat.

Mangrove kelas sangat rapat merupakan kelas terluas, yaitu 60.480 m2 dan

mangrove sangat jarang merupakan ekosistem mangrove dengan luas terkecil

sebesar 29.312 m2.

Page 62: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

Gambar 28. Peta sebaran mangrove gugus Pulau Pari tahun 2006 menurut kerapatan

Page 63: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

Gambar 29. Peta sebaran mangrove gugus Pulau Pari tahun 1999 menurut kerapatan

Page 64: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

Gambar 30. Perubahan kerapatan ekosistem mangrove di sebelah barat Pulau Pari pada Tahun 1999 (a) dan Tahun 2006 (b)

(a) (b)

Keterangan :

Page 65: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

Menurut hasil klasifikasi citra Landsat 7/ETM+ tahun 1999, ekosistem

mangrove di gugus Pulau Pari tahun 1999 dapat dikelompokkan menjadi lima

kelas berdasarkan nilai NDVI, yaitu mangrove sangat jarang, jarang, sedang, rapat

dan sangat rapat. Kelas terluas, yaitu mangrove sangat jarang memiliki luas

172.800 m2 sementara mangrove kelas rapat merupakan ekosistem mangrove

dengan luas terkecil sebesar 24.300 m2.

Perbandingan hasil klasifikasi citra FORMOSAT 2 dan citra Landsat

7/ETM+ dapat menunjukkan perubahan luas ekosistem mangrove gugus Pulau

Pari selama tujuh tahun dari tahun 1999 sampai tahun 2006 pada Tabel 14.

Tabel 14. Perubahan luas tutupan mangrove gugus P. Pari tahun 1999 dan 2006 Luas Mangrove (m2)

Kelas Tahun 1999 Tahun 2006

Perubahan Luas

(m2)

Mangrove Sangat Jarang 172.800 29.312 - 143.488

Mangrove Jarang 44.100 32.192 - 11.908

Mangrove Sedang 33.300 43.200 + 9.900

Mangrove Rapat 24.300 56.896 + 32.596

Mangrove Sangat Rapat 49.500 60.480 + 10.980

Total Mangrove 324.000 222.080 - 101.920

Keterangan : - Berkurang + Bertambah

Tabel 14 menunjukkan bahwa ekosistem mangrove di gugus Pulau Pari

Tahun 1999 dan 2006 dapat dikelompokkan menjadi mangrove sangat jarang,

jarang, sedang, rapat dan sangat rapat berdasarkan nilai NDVI.

Pada tahun 2006 mangrove kelas sedang mengalami pertambahan luas

sebesar 9.900 m2, rapat sebesar 32.596 m2 dan kelas sangat rapat sebesar 10.980

m2. Walaupun kondisi ekosistem mangrove tahun 2006 lebih baik dari tahun 1999

Page 66: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

jika dilihat dari kerapatannya, tetapi total luas ekosistem mangrove gugus Pulau

Pari jauh berkurang. Luas ekosistem mangrove gugus Pulau Pari selama tujuh

tahun dari tahun 1999 ke tahun 2006 diperkirakan berkurang sebesar 101.920 m2

atau 31,46 % dari luas semula. Berdasarkan hasil wawancara dengan penduduk

setempat, hal ini disebabkan oleh kondisi Pulau Pari yang mengalami banyak

perubahan khususnya konversi ekosistem mangrove menjadi lokasi pemukiman.

Struktur perumahan penduduk dan lingkungan di Kelurahan Pulau Pari

dikatakan belum tertata dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kriteria

seperti keteraturan susunan rumah, tertatanya jalan umum yang menghubungkan

blok rumah, jaringan pembuangan limbah rumah tangga yang baik, tersedianya

septic tank dan fasilitas pembuangan akhir dari sampah rumah tangga (Budiyanto,

2002). Di Kelurahan Pulau Pari, kondisi bangunan rumah sebagian besar adalah

bangunan sekunder. Jumlah bangunan semi permanen sebanyak 49 unit,

permanen 111 unit, dan sekunder 205 unit. Rumah-rumah tersebut umumnya

beratap genteng dan beberapa yang beratap asbes (Lampiran 4).

Sebelum tahun 1900-an, Pulau Pari adalah pulau tak berpenghuni dan

belum memiliki nama. Berkuasanya Belanda memaksa warga sekitar Tangerang

menetap di sana untuk menghindari kerja paksa. Tahun 1960-an, dengan swadaya

masyarakat dan bantuan dari pemerintah setempat, dibangun gedung Sekolah

Dasar (SD). Pengetahuan masyarakat mengalami perkembangan. Dari hanya

mengandalkan penghasilan dari nelayan, mereka mencoba mengeksploitasi

perairan sekitar dengan melakukan budidaya. Rumput laut Bali menjadi pilihan

sebagai komoditi untuk dibudidayakan. Kemudian, pemerintah membangun pusat

penelitian yang dikelola oleh LIPI (www.pulauseribu.net, 2007). Beberapa

Page 67: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

fasilitas pendidikan, sarana perekonomian, armada dan alat tangkap nelayan di

Kelurahan Pulau Pari terdapat pada Lampiran 5 sampai 9.

Jumlah penduduk di Kelurahan Pulau Pari tahun 2001 adalah 1.872. Pulau

Lancang Besar sebanyak 1259 jiwa terdiri dari 905 dewasa dan 354 anak-anak,

sedangkan Pulau Pari sebanyak 613 jiwa terdiri dari 421 dewasa dan 192 anak-

anak (Lampiran 10, 11, dan 12). Komposisi penduduk terbesar di Kelurahan Pulau

Pari adalah usia muda atau produktif dengan umur 0-44 sebesar 80,45 %. Tingkat

kepadatan penduduk di Kelurahan Pulau pari tahun 2001 sebesar 19,79 jiwa/Ha

dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 935 dan perempuan sebanyak 937

(Budiyanto, 2002).

Profesi penduduk Kelurahan Pulau Pari sebagian besar adalah nelayan

(83,81 %), sedangkan profesi sebagai pegawai negeri memiliki jumlah 25 jiwa

atau 5,12 %. Profesi sebagai karyawan swasta adalah terrendah yaitu 3 jiwa atau

0,61 % (Lampiran 13). Hal ini karena ruang gerak masyarakat yang terbatas

akibat dikelilingi oleh laut dan jarak cukup jauh dari Jakarta.

Kondisi tersebut membuat sebagian ekosistem mangrove mengalami

konversi menjadi tempat tinggal dan bangunan lain seperti dermaga dan tempat

perendaman rumput laut. Selain itu, aktivitas penduduk Pulau Pari untuk

memenuhi kebutuhan hidup semakin meningkat dari tahun ke tahun. Kebutuhan

penduduk akan kayu untuk rumah, kayu bakar dan kegiatan perikanan seperti

patok keramba apung serta budidaya rumput laut membuat vegetasi mangrove di

pulau ini semakin berkurang. Menurut Budiyanto (2002), secara umum tingkat

partisipasi masyarakat dalam pengelolaan mangrove di Kelurahan Pulau Pari

masih sangat rendah yaitu 73,33 % dari penduduk tetap dan 70 % dari penduduk

Page 68: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

pendatang (Lampiran 14). Namun, secara umum Secara umum penduduk di

Kelurahan Pulau Pari mengetahui bahwa ekosistem mangrove memiliki peranan

penting untuk pelestarian alam (Lampiran 15).

4.6 Ketelitian hasil klasifikasi

Klasifikasi yang digunakan, yaitu klasifikasi sebelum dan sesudah survei

lapang. Ketelitian hasil klasifikasi sesudah survei lapang diperoleh dari matriks

kesalahan (confussion matrix) (Lampiran 16). Beberapa parameter keakuratan :

overall accuracy, producer’s accuracy, user’s accuracy dan kappa accuracy.

Nilai producer’s accuracy berkisar antara 30,486 % - 99,888 %. Nilai

terrendah pada kelas mangrove sangat rapat dan tertinggi pada kelas laut.

Producer’s accuracy adalah peluang (%) suatu piksel akan diklasifikasikan

dengan tepat. Kelas mangrove sangat rapat memiliki producer’s accuracy 30,486

%, artinya peluang suatu piksel mangrove sangat rapat dapat terkelaskan dengan

tepat sebesar 30,486 %.

Nilai user’s accuracy berkisar antara 3,712 % - 99,960 %. Nilai terrendah

pada kelas mangrove sangat jarang dan tertinggi pada kelas laut. User’s accuracy

adalah peluang (%) rata-rata suatu piksel dari citra yang telah terklasifikasi secara

aktual mewakili kelas di lapangan. Kelas mangrove sangat jarang memiliki user’s

accuracy 3,712 %, artinya setiap suatu lokasi dikelaskan mangrove sangat jarang

maka hanya 3,712 % yang terwakili di lapangan.

Overall accuracy adalah nilai peluang (%) dari piksel yang terkelaskan

dengan sempurna. Kappa accuracy adalah ketepatan yang dihasilkan oleh

klasifikasi secara acak. Nilai overall accuracy dari klasifikasi Citra FORMOSAT

Page 69: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

2 adalah 99,728 % dengan kappa accuracy sebesar 0,867. Hal ini menunjukkan

bahwa jumlah total piksel terkelaskan dengan tepat adalah 99,728 % dan proses

klasifikasi yang dilakukan memiliki ketepatan 86,70 % dari klasifikasi acak.

4.7 Kondisi vegetasi mangrove

Berdasarkan survei lapang di Pulau Pari ditemukan beberapa spesies

mangrove, yaitu : Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, Avicennia alba,

Sonneratia alba, Hibiscus tiliaceus dan Bruguiera gymnorrhiza. Posisi stasiun

pengamatan dan jenis mangrove yang ditemukan terdapat pada Tabel 15. Data

spesies mangrove dan keliling batang di setiap stasiun terdapat pada Lampiran 17.

Keliling batang yang terukur berkisar antara 13 sampai 81 cm.

Tabel 15. Posisi stasiun pengamatan dan jenis mangrove setiap stasiun No. Posisi Stasiun Lokasi Jenis Mangrove

1. 5°51’39.8”LS 106°36’47.7”BT Utara Pulau Pari

Rhizophora mucronata, Avicennia alba, Hibiscus tiliaceus, Rhizophora stylosa

2. 5°51’43.0”LS 106°36’44.3”BT Utara Pulau Pari Rhizophora stylosa, Rhizophora

mucronata, Hibiscus tiliaceus

3. 5°51’45.9”LS 106°36’40.3”BT Utara Pulau Pari

Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, Hibiscus tiliaceus

4. 5°51’48.6”LS 106°36’44.3”BT Selatan Pulau pari Rhizophora mucronata,

Bruguiera gymnorrhiza

5. 5°51’30.7”LS 106°36’52.9”BT Utara Pulau Pari

Sonneratia alba, Rhizophora mucronata, Hibiscus tiliaceus, Rhizophora stylosa

6. 5°51’24.2”LS 106°36’00.6”BT Utara Pulau Pari

Rhizophora mucronata, Hibiscus tiliaceus, Rhizophora stylosa

7. 5°51’26.2”LS 106°36’20.3”BT Timur Pulau Tengah

Rhizophora stylosa, Avicennia alba, Rhizophora mucronata, Hibiscus tiliaceus

8. 5°51’35.4”LS 106°36’25.7”BT Utara Pulau Pari Lokasi Budidaya rumput laut

Page 70: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

Indeks nilai penting (INP) merupakan jumlah dari kerapatan relatif jenis

(RDi), frekuensi relatif jenis (RFi) dan penutupan relatif jenis (RCi). Nilai penting

suatu jenis berkisar antara nol dan 300. Nilai penting ini memberikan gambaran

mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis mangrove dalam suatu komunitas

mangrove. Hasil perhitungan INP pada 6 stasiun di Pulau Pari dan 1 stasiun di

Pulau Tengah menunjukkan bahwa jenis Rhizophora memiliki INP terbesar di tiap

stasiun khususnya Rhizophora mucronata. Nilai kerapatan jenis dan INP

mangrove setiap stasiun terdapat pada Tabel 16. Contoh perhitungan indeks nilai

penting mangrove di Stasiun 1 terdapat pada Lampiran 18.

Tabel 16. Nilai kerapatan jenis dan INP mangrove setiap stasiun

Stasiun Spesies Kerapatan Jenis (Ind/100 m2) INP

Rhizophora mucronata 15 156,99 Avicennia alba 1 32,98 Hibiscus tiliaceus 1 43,41 1

Rhizophora stylosa 5 66,61 Rhizophora stylosa 10 150,58 Rhizophora mucronata 3 74,15 2 Hibiscus tiliaceus 4 75,27 Rhizophora mucronata 4 97,50 Rhizophora stylosa 7 165,93 3 Hibiscus tiliaceus 1 36,56 Rhizophora mucronata 14 267,73 4 Bruguiera gymnorrhiza 1 31,27 Sonneratia alba 3 70,83 Rhizophora mucronata 1 51,73 Hibiscus tiliaceus 1 85,87 5

Rhizophora stylosa 4 91,56 Rhizophora mucronata 3 108,94 Hibiscus tiliaceus 1 50,07 6 Rhizophora stylosa 5 140,99 Rhizophora stylosa 6 130,32 Avicennia alba 2 94,85 Rhizophora mucronata 1 35,49 7

Hibiscus tiliaceus 1 39,33

Page 71: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

INP tertinggi di Stasiun 1 yaitu Rhizophora mucronata sebesar 156,99;

Stasiun 2 yaitu Rhizophora stylosa sebesar 150,58; Stasiun 3 yaitu Rhizophora

stylosa sebesar 165,93; Stasiun 4 yaitu Rhizophora mucronata sebesar 267,73;

Stasiun 5 yaitu Rhizophora stylosa sebesar 91,56; Stasiun 6 yaitu Rhizophora

stylosa sebesar 140,99 dan Stasiun 7 yaitu Rhizophora stylosa sebesar 130,32.

Jenis Rhizophora mucronata dan Rhizophora stylosa memegang peranan

penting dan paling mempengaruhi ekosistem mangrove di Pulau Pari. Kondisi

pesisir dan substrat Pulau Pari cocok untuk berkembangnya jenis mangrove ini.

Menurut Ding How, 1958; Aksornkoae, 1993 Rhizophora stylosa tumbuh dengan

baik di pantai bersubstrat pasir.

Rhizophora juga menjadi jenis utama yang dibudidayakan oleh Taman

Nasional Kepulauan Seribu untuk memenuhi kebutuhan konservasi mangrove di

Kepulauan Seribu karena tingkat keberhasilan tanam yang lebih baik jika

dibandingkan dengan jenis lain. Usaha budidaya mangrove untuk konservasi

Kepulauan Seribu saat ini sedang dilakukan dan berpusat di Pulau Pramuka.

Kegiatan ini juga menjadi salah satu mata pencaharian tambahan bagi penduduk

Kepulauan Seribu. Foto-foto mengenai kondisi ekosistem mangrove dan aktivitas

penduduk di Pulau Pari terdapat pada Lampiran 19.

Kerapatan jenis vegetasi mangrove di Pulau Pari berkisar antara 1 sampai

15 Ind/100 m2. Jenis Rhizophora memiliki kerapatan jenis tertinggi di seluruh

stasiun. Kerapatan jenis tertinggi yaitu Rhizophora mucronata di Stasiun 1

sebesar 15 Ind/100 m2. Sementara mangrove jenis lain memiliki kerapatan

dibawah 10 Ind/100 m2. Mangrove jenis Rhizophora mendominasi tutupan lahan

ekosistem mangrove di pesisir Pulau Pari.

Page 72: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

5. KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil klasifikasi citra Landsat 7/ETM+ tahun 1999 dan citra

FORMOSAT 2 tahun 2006, sebaran mangrove di gugus Pulau Pari terdapat di

Pulau Burung, Pulau Tengah dan Pulau Kongsi memiliki luas 37.504 m2,

sedangkan sebaran mangrove di Pulau Pari seluas 35.584 m2. Pada tahun 2006,

luas ekosistem mangrove kelas sangat jarang dan jarang berkurang, sedangkan

luas ekosistem mangrove kelas sedang, rapat, dan sangat rapat bertambah. Mulai

tahun 1999 sampai dengan tahun 2006, luas ekosistem mangrove di gugus Pulau

Pari diperkirakan berkurang seluas 101.920 m2 atau 31,46 % dari luas semula.

Hubungan antara kerapatan mangrove dengan NDVI pada tujuh stasiun

pengamatan di gugus Pulau Pari adalah linear, baik dari citra FORMOSAT 2

maupun Landsat 7/ETM+. Berdasarkan nilai koefisien korelasi diperoleh bahwa

kerapatan mangrove dan NDVI FORMOSAT 2 dan Landsat 7/ETM+ memiliki

hubungan yang erat.

Mangrove jenis Rhizophora khususnya Rhizophora mucronata dan

Rhizophora stylosa adalah jenis mangrove yang banyak tumbuh di Pulau Pari dan

merupakan jenis dengan kerapatan tertinggi di antara jenis-jenis yang lain. Selain

itu, jenis Rhizophora dengan indeks nilai penting (INP) tertinggi merupakan

mangrove yang memiliki peranan penting di ekosistem mangrove Pulau Pari.

Page 73: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

5.2 Saran

Mengkaji ekosistem mangrove dengan luas yang relatif kecil seperti di

Kepulauan Seribu sebaiknya digunakan citra dengan resolusi spasial yang lebih

tinggi dari citra FORMOSAT 2 dan Landsat 7/ETM+ seperti QuickBird sehingga

hasil yang diperoleh lebih akurat.

Mengetahui kisaran nilai indeks vegetasi yang tepat pada klasifikasi

kerapatan mangrove sebaiknya dilakukan survei di beberapa lokasi yang mewakili

setiap kerapatan dan jenis mangrove berbeda.

Page 74: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

DAFTAR PUSTAKA

Aksornkoae, S. 1993. Ecology and Management Mangrove. IUCN. Bangkok. Thailand.

Arhatin, R.E. 2007. Pengkajian Algoritma Indeks Vegetasi dan Metode

Klasifikasi Mangrove dari Data Satelit Landsat-5 TM dan Landsat-7 ETM+ : Studi Kasus di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Bengen, D.G. 1999. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem

Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Budi, C. 2000. Model Penduga Biomassa dan Indeks Luas Daun Menggunakan

Data Landsat Thematic Mapper (TM) dan SPOT Multispektral (XS) di Hutan Mangrove : Studi Kasus Segara Anakan, Cilacap. [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Budiyanto. 2002. Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Pulau Kecil Berpenghuni : Studi Kasus Pulau Lancang Besar, Kelurahan Pulau Pari, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Butler, M.J.A, M.C. Mouchot, V. Berale. 1988. The Application of Remote

Sensing Technology to Marine Fisheries : An Introductory Manual. FAO Fisheries Tech Paper No.295. FAO. Rome.

Canada Centre for Remote Sensing (CCRS). 2005. Fundamentals of Remote

Sensing : Remote Sensing Tutorial. Natural Resources Canada. Canada. Chen, L.C. 2005. Rigorous Georeferencing for Formosat-2 Satellite Images by

Least Squares Collocation. Center for Space and Remote Sensing Research National Central University, Taiwan.

FAO. 1982. Management and Utilization of Mangroves in Asia and The Pacific.

FAO Environment Paper. Rome. Hariyadi. 1999. Pembentukan Algoritma Penduga Kerapatan Vegetasi Mangrove

Menggunakan Data Landsat Thematic Mapper : Studi Kasus di Kawasan Segara Anakan, Jawa Tengah. [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Harsanugraha W.K, Tejasukmana B.S, Budhiman S. 2000. Analisis Potensi

Mangrove dan Tambak di Pulau Bali Menggunakan Data Landsat-TM. Majalah LAPAN edisi Penginderaan Jauh No.1. Jakarta : LAPAN.

Page 75: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

Hartono. 1994. The Use of SPOT Image for Mangrove Inventory in Cimanuk Delta, West Java, Indonesia. Indonesian Jurnal of Geography 26:11-26

Hidayah, M. Leaf Area Index (LAI) and Carbon Stock Estimation of Acacia

mangium. Wild Using Remote Sensing Technology. [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Howard, J.A. 1996. Penginderaan Jauh untuk Sumberdaya Hutan : Teori dan

Aplikasi. Diterjemahkan oleh Hartono, Dulbahri, Suharyadi, Danoedoro P, Jatmiko R.H. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

http://imaging.geocomm.com/features/sensor/landsat7 [19 Desember 2006] http://www.kompas.com/ver1/Iptek/0707/06/190431.htm [6 Juli 2007] http://www.mangrovecentre.or.id/Profile/ttgmangrove.htm [19 Desember 2006] http://www.nspo.org.tw/2005e/ [10 April 2008] http://www.pulauseribu.net/modules/news/article.php [4 Desember 2007] http://www.srrb.noaa.gov/highlights/sunrise/spectrum.gif [19 Desember 2006] http://yearbook.stpi.org.tw/english/94/yearBook/image/FC-2.jpg [19 Desember

2006] Hutchings, P. dan P. Saenger. 1987. Ecology of Mangrove. Australia : University

of Queensland Press. Kadi, D.M. 1996. Penggunaan Data Penginderaan Jauh Landsat TM untuk

Mengetahui Perubahan Kerapatan Vegetasi Mangrove : Studi Kasus di Wilayah Pesisir Utara Bekasi, Jawa Barat. [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Kawaroe, M. 2000. Kontribusi Ekosistem Mangrove Terhadap Struktur

Komunitas Ikan di Pantai Utara Kabupaten Subang Jawa Barat. [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Kusmana. 1995. Teknik Rehabilitasi Kerusakan Ekosistem Mangrove. Makalah

Pelatihan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Bogor. Lillesand, T.M. dan R.W. Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra.

Diterjemahkan oleh Dulbahri. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Lo, C.P. 1996. Penginderaan Jauh Terapan. Penerbit Universitas Indonesia.

Jakarta.

Page 76: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

Macnae, W. 1974. Mangrove Forest and Fisheries. FAO/UNDP. Indian Ocean Programme. Rome.

Nontji. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan

oleh H.M. Eidman, Koesbiono, Dietrich G. Bengen, Malikusworo Hutomo, Sukristijono S. PT Gramedia. Jakarta.

Paine, D.P. 1992. Fotografi Udara dan Penafsiran Citra untuk Pengolahan

Sumberdaya. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Sari, D.W. 2007. Densitas dan Ukuran Gamet Spons Aaptos aaptos Alami dan

Hasil Transplantasi di Gugusan Pulau Pari Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Supriyadi, I.H. 2000. Perencanaan Pengelolaan Sumberdaya Mangrove di

Wilayah Pesisir Kecamatan Seram Barat Kabupaten Maluku Tengah. [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Sutanto. 1986. Penginderaan Jauh Jilid I. Gadjah Mada University Press.

Yogyakarta. Vaiphasa, C. 2006. Remote Sensing Techniques for Mangrove Mapping.

International Institute for Geo-information Science & Earth Observation, Enschede. ITC. The Netherlands.

Wahyudi, A.M. 2005. Distribusi Ekosistem Mangrove Berdasarkan Indeks Nilai

Penting di Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi. [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Walpole, R.E. 1992. Pengantar Statistika Edisi ke-3. Diterjemahkan oleh

Bambang Sumantri. PT Gramedia. Jakarta. Widyastuti, A. 2000. Back Propagation Neural Network Classification Method

Case : Mangrove Forest Mapping in Segara Anakan Cilacap, Central Java. [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Yani, E.I. 2002. Pendekatan Ekologi-Ekonomi dalam Pengelolaan Hutan

Mangrove di Pulau Bengkalis Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau. [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Zuhair. 1998. Monitoring of Mangrove Deforestation Using Optical and Radar

Data : A Case Study From Samarinda, East Kalimantan, Indonesia [thesis]. The Netherlands : Forest Science Division, International Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences (ITC).

Page 77: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

L A M P I R A N

Page 78: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

Lampiran 1. Formula yang digunakan pada pengolahan citra

NDVI : (i1 - i2) / (i1 + i2) i1 = Band 4, i2 = Band 3 Reclass NDVI : if i1>= -1 and i1< 0.1 then 1 else if i1>= 0.1 and i1< 0.2 then 2 else if i1>= 0.2 and i1< 0.3 then 3 else if i1>= 0.3 and i1< 0.4 then 4 else if i1>= 0.4 then 5 else null Overlay klasifikasi mangrove dan reclass NDVI : if i1 = 1 and i2 = 1 then 7 else if i1 = 1 and i2 = 2 then 7 else if i1 = 1 and i2 = 3 then 7 else if i1 = 1 and i2 = 4 then 7 else if i1 = 1 and i2 = 5 then 7 else if i1 = 2 and i2 = 1 then 6 else if i1 = 2 and i2 = 2 then 6 else if i1 = 2 and i2 = 3 then 6 else if i1 = 2 and i2 = 4 then 6 else if i1 = 2 and i2 = 5 then 6 else if i1 = 3 and i2 = 1 then 1 else if i1 = 3 and i2 = 2 then 2 else if i1 = 3 and i2 = 3 then 3 else if i1 = 3 and i2 = 4 then 4 else if i1 = 3 and i2 = 5 then 5 else null i1 = klasifikasi mangrove; i2 = reclass NDVI Keterangan i1 :

1. Laut 2. Darat 3. Mangrove

Keterangan i2 :

1. Mangrove sangat jarang 2. Mangrove jarang 3. Mangrove sedang 4. Mangrove rapat 5. Mangrove sangat rapat 6. Darat 7. Laut

Page 79: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

Lampiran 2. Peta LPI Mauk tahun 1999 Skala 1:50.000 dari Bakosurtanal (lembar LPI 1210-02)

Lampiran 3. RMS koreksi geometrik citra FORMOSAT 2 # # GCPs for dataset : D:\Ganjar\Ganjar\POZ200609070102\pari_neh.ers # # Total number of GCPs: 20 # Number turned on : 20 # Warp order : 1 # GCP CORRECTED map projection details: # Map Projection : SUTM48 # Datum : WGS84 # Rotation : 0.000 # # RMS error report: # Warp Type - Polynomial # -----ACTUAL----- ---PREDICTED--- # Point Cell-X Cell-Y Cell-X Cell-Y RMS # "1" 342.675 503.411 342.929 503.346 0.2616 # "2" 371.622 514.192 371.492 514.303 0.1706

Page 80: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

# "3" 583.231 509.606 583.109 509.919 0.3357 # "4" 568.233 555.425 568.063 555.413 0.1699 # "5" 623.019 441.268 623.000 441.140 0.1295 # "6" 600.298 412.017 600.398 412.078 0.1170 # "7" 693.471 444.048 693.534 443.918 0.1443 # "8" 626.808 471.741 626.844 471.757 0.0400 # "9" 725.006 526.990 725.132 527.216 0.2591 # "10" 800.837 431.132 800.507 431.095 0.3319 # "11" 869.328 453.741 869.662 453.386 0.4868 # "12" 898.620 403.723 898.667 403.662 0.0762 # "13" 870.303 399.964 870.265 399.879 0.0929 # "14" 1029.258 399.286 1029.088 399.357 0.1844 # "15" 792.937 388.260 793.047 388.623 0.3802 # "16" 268.039 467.058 267.874 466.785 0.3190 # "17" 628.733 464.848 628.998 465.196 0.4369 # "18" 770.586 489.285 770.506 488.831 0.4609 # "19" 797.705 407.630 797.497 407.639 0.2076 # "20" 828.996 425.213 829.093 425.293 0.1258 # # Average RMS error : 0.237 # Total RMS error : 4.730 # End of GCP details Lampiran 4. Jumlah rumah menurut jenis bangunan di Kelurahan Pulau Pari

(Budiyanto, 2002)

No. Jenis Bangunan Jumlah Persentase (%)

1. Permanen 111 30,41

2. Semi Permanen 49 13,42

3. Sekunder 205 56,17

Total 365 100

Sumber : Laporan Kelurahan Pulau Pari tahun 2001

Lampiran 5. Fasilitas pendidikan Kelurahan Pulau Pari (Budiyanto, 2002)

Jumlah No. Jenis Sekolah

Sekolah Gedung

Daya Tampung

1. Taman Kanak-kanak - -

2. SD 2 2 324

3. SMP 1 - 57

4 Madrasah Ibtidaiyah 2 - 259

Total 5 2 630

Sumber : Laporan Kelurahan Pulau Pari tahun 2001

Page 81: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

Lampiran 6. Jumlah murid berdasarkan jenis pendidikan (Budiyanto, 2002)

No. Jenis Pendidikan Jumlah Persentase (%) 1. SD Pulau pari 120 20,69 2. SD Pulau Lancang 204 35,17 3. Madrasah Ibtidaiyah

Pulau Pari 124 21,38

4. Madrasah Ibtidaiyah Pulau Lancang

75 12,93

5. SLTP 57 9,83 Total 580 100

Sumber : Laporan Kelurahan Pulau Pari tahun 2001

Lampiran 7. Pulau-pulau berpenduduk di Kelurahan Pulau Pari (Budiyanto, 2002)

Penduduk Jumlah No. Nama Pulau Dewasa Anak-anak

1. Lancang Besar 905 354 1259 2. Pari 421 192 613 Total 1326 546 1872

Sumber : Laporan Kelurahan Pulau Pari tahun 2001

Lampiran 8. Komposisi penduduk Kelurahan Pulau Pari berdasarkan umur (Budiyanto, 2002)

No. Umur Jumlah Persentase (%) 1. 0-14 605 32,32 2. 15-29 495 26,44 3. 30-44 406 21,69 4. 45-59 252 13,46 5. 60-74 103 5,5 6. >75 11 0,59 Total 1872 100

Sumber : Laporan Kelurahan Pulau Pari tahun 2001

Lampiran 9. Distribusi penduduk berdasarkan jenis kelamin (Budiyanto, 2002)

Penduduk No. Usia (Tahun) Laki-laki Perempuan

1. 0-14 303 302 2. 15-29 236 259 3. 30-44 207 199 4. 45-59 132 120 5. 60-74 50 53 6. >75 7 4 Total 935 937

Sumber : Laporan Kelurahan Pulau Pari tahun 2001

Page 82: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

Lampiran 10. Sarana perekonomian Kelurahan Pulau Pari (Budiyanto, 2002)

No. Jenis Jumlah Anggota Jumlah 1. Warung - 27 2. Toko - - 3. Koperasi

Koperasi Serba Usaha Pari Burung 20 1 Koperasi Serba Usaha Pasir Putih 25 1

Total 45 29 Sumber : Laporan Kelurahan Pulau Pari tahun 2001

Lampiran 11. Jumlah armada nelayan di Kelurahan Pulau Pari (Budiyanto, 2002)

No. Jenis Armada Jumlah Persentase (%) 1. Kapal Motor - - 2. Perahu Motor 84 46,15 3. Perahu Layar 96 52,75 4. Speed Boat 2 1,1 Jumlah 182 100

Sumber : Laporan Kelurahan Pulau Pari tahun 2001

Lampiran 12. Jumlah alat tangkap ikan di Kelurahan Pulau Pari (Budiyanto, 2002)

No. Jenis Alat Jumlah Persentase (%) 1. Muroami Mini - - 2. Jaring 17 11,8 3. Pancing 50 34,72 4. Jaring payang 6 4,17 5. Bubu 11 7,64 6. Bagan 60 41,67 Jumlah 144 100

Sumber : Laporan Kelurahan Pulau Pari tahun 2001

Lampiran 13. Jumlah penduduk menurut mata pencaharian (Budiyanto, 2002)

No. Mata Pencaharian Jumlah Persentase (%) 1. Pegawai Negeri 25 5,12 2. Pedagang 9 1,84 3. Nelayan 409 83,81 4. Buruh 24 4,92 5. Jasa 6 1,23 6. Karyawan Swasta 3 0,61 7. Lain-lain 12 2,46 Total 488 100

Sumber : Laporan Kelurahan Pulau Pari tahun 2001

Page 83: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

Lampiran 14. Kategori tingkat partisipasi penduduk dalam pengelolaan mangrove di Kelurahan Pulau Pari (Budiyanto, 2002)

No. Kategori Tingkat

Partisipasi

Penduduk Tetap (%) Penduduk Pendatang (%)

1. Rendah 73,33 70

2. Sedang - 13,33

3. Tinggi 26,67 16,67

Total 100 100

Lampiran 15. Tingkat pengetahuan masyarakat Kelurahan Pulau Pari mengenai ekosistem mangrove (Budiyanto, 2002)

Jenis Penduduk No. Tingkat Pengetahuan

Masyarakat Penduduk Tetap % Penduduk Pendatang %

1. Melindungi pesisir 43,33 53,33

2. Tempat ikan bertelur 3,33 36,67

3. Sarang nyamuk 6,67 -

4. Pelestarian alam 46,67 46,67

Page 84: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

Lampiran 16. Confussion matrix klasifikasi citra FORMOSAT 2 Reference Data

Classified Data

Mangrove Sangat Jarang

Mangrove Jarang

Mangrove Sedang

Mangrove Rapat

Mangrove Sangat Rapat

Darat Laut Total Baris User’s acc (%)

Mangrove Sangat Jarang

17 0 0 0 0 0 441 458 3,712

Mangrove Jarang 0 227 0 0 0 0 276 503 45,129

Mangrove Sedang 0 432 0 0 1 242 675 64

Mangrove Rapat 0 0 0 542 0 50 297 889 60,967

Mangrove Sangat Rapat

0 0 0 0 546 207 192 945 57,778

Darat 0 0 1 72 1.242 9.112 0 10.427 87,389

Laut 21 97 104 64 3 222 1.286.104 1.286.615 99,960

Total Kolom 38 324 537 678 1.791 9.592 1.287.552 1.300.512

Producer’s acc (%) 44,737 70,062 80,447 79,941 30,486 94,996 99,888

Overall acc (%) 99,728

kappa accuracy = 0,867

Page 85: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

Lampiran 17. Data spesies dan keliling batang mangrove setiap stasiun

Stasiun Plot Spesies Keliling Batang (cm)

1 Rhizophora mucronata 38;45;28;39;20,5;21;21;26;

17;19;30;29;17;16;22,5;20; 19;28;36;24;38

Rhizophora mucronata 21;16;22;14;36;16,5;20;30; 34;35;16;13,5;17

Rhizophora stylosa 15,5;28,5;43,5;13;14,5; 28;44,5;26

Avicennia alba 35,5

2

Hibiscus tiliaceus 61;69 Hibiscus tiliaceus 18;21 Rhizophora mucronata 26;17,5;42;13,5;14;37,5;

36;61;39;33,5 Rhizophora stylosa 29,5;30,5;29,5;43;16;20;

14;21,5

(1) 5°51’39.8”LS 106°36’47.7”BT

3

Avicennia alba 14;20;33 Rhizophora stylosa 52;33,5;44;18,5;19;67;43;

33,5;21,5;15 Rhizophora mucronata 30,5;20;17,5 1

Hibiscus tiliaceus 30;24 Rhizophora stylosa 35;21;16;36;40;25;65;20;

34;30;33 Rhizophora mucronata 81;24;14;16 2

Hibiscus tiliaceus 40;38,5;15;13;16 Rhizophora stylosa 23,5;19;40;17;15;30;15,5;27;

16;23 Rhizophora mucronata 15,5;43,5;34,5

(2) 5°51’43.0”LS 106°36’44.3”BT

3

Hibiscus tiliaceus 15,5;34;28;68,5 Rhizophora mucronata 50;44,5;35,5;44;43,5;44;31;

36,5;41 1 Rhizophora stylosa 36;34,5;43

2 Rhizophora stylosa 42,5;42;47,5;52,5;63,5;37,5; 59;52,5;16,5

Rhizophora mucronata 34;50;20,5;34,5 Rhizophora stylosa 42;36,5;51;43,5;37,5;35;39,5;

23,5;33,5;41,5

(3) 5°51’45.9”LS 106°36’40.3”BT

3

Hibiscus tiliaceus 22,5;51,5;26;51,5

Page 86: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

Stasiun Plot Spesies Keliling Batang (cm)

1 Rhizophora mucronata 29,5;18,5;28,5;20;14,5;23;

19;20;26;25;23;22,5;23,5; 19,5;23;32,5;23

2 Rhizophora mucronata 15;20;17;19,5;22;21;17,5; 18;18;27;17;13,5;28

Rhizophora mucronata 15,5;23;19,5;21,5;27,5; 31,5;24;23,5

(4) 5°51’48.6”LS 106°36’44.3”BT

3 Bruguiera gymnorrhiza 13;13

1 Sonneratia alba 22,5;30,5;15;30;15;24,5;18,5;19

Rhizophora mucronata 56;26,5;17 2 Hibiscus tiliaceus 95;51,5;41,5

(5) 5°51’30.7”LS 106°36’52.9”BT

3 Rhizophora stylosa 17;16;31,5;18;18;23;30;19; 22;23,5;15;17,5

Rhizophora mucronata 59;72;64;53;16,5;35;18;28; 24;13 1

Hibiscus tiliaceus 27

2 Rhizophora stylosa 37;34;25;23,5;42,5;29,5;42; 31

Rhizophora stylosa 41;35,5;24,5;23,5;55;13;13

(6) 5°51’24.2”LS 106°36’00.6”BT

3 Hibiscus tiliaceus 15,5

1 Rhizophora stylosa 35,5;40;36,5;28;27;39;35,5; 31;39,5

Avicennia alba 30;47,5;27;180;62;16 2 Rhizophora mucronata 70;40 Rhizophora stylosa 14;39;14,5;18;60;50;38,5;

27;27,5

(7) 5°51’26.2”LS 106°36’20.3”BT

3 Hibiscus tiliaceus 26,5;18;45;37

Lampiran 18. Perhitungan indeks nilai penting mangrove di Stasiun 1

Stasiun 1

Genus : Rhizophora mucronata

Jumlah Individu : 44

Jumlah Total Individu : 68

Luas Plot (A) : 300 m2

Di = (ni/A) = (44/300) = 0,1467 ind/m2

RDi = (ni/Σn) x 100 = (44/68) x 100 = 64,7059

Fi = pi / Σpi = 3/3 = 1

RFi = (Fi / ΣF ) x 100 = ((1/3) x 100 = 33,3333

Ci = ΣBA / A = 2832,9514 /100 = 28,3295

Page 87: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

RCi = (Ci / Σ C) x 100 = (28,3295/ 48,0571 ) x 100 = 58,9497

INP = RDi + RFi + RCi = 156,9889

Genus : Avicennia alba

Jumlah Individu : 4

Jumlah Total Individu : 68

Luas Plot (A) : 300 m2

Di = (ni/A) = (4/300) = 0,0133 ind/ m2

RDi = (ni/Σn) x 100 = (4/68) x 100 = 5,8824

Fi = pi / Σpi = 2/3 = 0,6667

RFi = (Fi / ΣF ) x 100 = 22,22

Ci = ΣBA / A = 234,375 /100 = 2,3438

RCi = (Ci / Σ C) x 100 = (2,3438/ 48,0571) x 100 = 4,8771

INP = RDi + RFi + RCi = 32,9795

Genus : Hibiscus tiliaceus

Jumlah Individu : 4

Jumlah Total Individu : 68

Luas Plot (A) : 300 m2

Di = (ni/A) = (4/300) = 0,0133 ind/ m2

RDi = (ni/Σn) x 100 = (4/68) x 100 = 5,8824

Fi = pi / Σpi = 2/3 = 0,6667

RFi = (Fi / ΣF ) x 100 = 22,22

Ci = ΣBA / A = 7,3585

RCi = (Ci / Σ C) x 100 = (7,3585/ 48,0571) x 100 = 15,3120

INP = RDi + RFi + RCi = 43,4144

Genus : Rhizophora stylosa

Jumlah Individu : 16

Jumlah Total Individu : 68

Luas Plot (A) : 300 m2

Di = (ni/A) = (16/300) = 0,0533 ind/ m2

Page 88: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

RDi = (ni/Σn) x 100 = (16/68) x 100 = 23,5294

Fi = pi / Σpi = 2/3 = 0,6667

RFi = (Fi / ΣF ) x 100 = 22,22

Ci = ΣBA / A = 10,025

RCi = (Ci / Σ C) x 100 = (10,025/ 48,0571) x 100 = 20,8606

INP = RDi + RFi + RCi = 66,61

Page 89: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

Lampiran 19. Foto-foto ekosistem mangrove dan aktivitas penduduk di Pulau Pari

1. Stasiun 1 2. Stasiun 2

3. Stasiun 3 4. Stasiun 4

5. Stasiun 5 6. Stasiun 6

Page 90: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

7. Dermaga kapal di pesisir Selatan Pulau Pari

8. Kegiatan budidaya rumput laut di Pulau Pari

9. Kegiatan budidaya mangrove (Rhizophora) di Pulau Pari

Page 91: DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS

RIWAYAT HIDUP

Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara pasangan

Drs. Ruhiyat Natasaputra dan Ida Halimatusaadah, BSc.

Penulis dilahirkan di Tangerang pada tanggal 16 Januari 1986.

Pada tahun 2003, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor

melalui jalur SPMB di Departemen Ilmu dan Teknologi

Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama menjalani masa

perkuliahan, penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, yaitu Himpunan

Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA) sebagai Dewan Formatur

(2004/2005), Wakil Ketua I (2005/2006), dan Dewan Penasehat (2006/2007) serta

BEM Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (2004/2005) sebagai pengurus.

Dalam bidang akademis, penulis aktif sebagai asisten pada mata kuliah

Ikhtiologi (2005/2007), mata kuliah Biologi Laut (2005/2006), dan mata kuliah

Oseanografi Kimia (2006/2007). Penulis terlibat dalam Program Kreativitas

Mahasiswa (PKM) DIKTI bidang Penerapan Teknologi (2006), bidang Penelitian

(2007), dan PIMNAS XIX (2006), mengikuti kegiatan magang COOP

DIKTI/KUKM (2007) serta pelatihan selam One Star SCUBA (2008). Penulis

juga menjadi anggota tim survei P3 TISDA BPPT untuk monitoring ekosistem

mangrove di Kepulauan Seribu dan Teluk Balikpapan (2007) serta mengikuti

MST Training Course IPB/DAAD (2008).

Untuk memperoleh gelar sarjana, penulis menyelesaikan tugas akhir

dengan judul Distribusi, Kerapatan, dan Perubahan Luas Ekosistem

Mangrove Gugus Pulau Pari Kepulauan Seribu Menggunakan Citra

FORMOSAT 2 dan Landsat 7/ETM+.