Distosia Bahu

50
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejadian distosia bahu semakin menjadi ketakutan sendiri bagi dokter, perawat, bidan, dan tenaga medis lainnya karena seringkali merupakan peristiwa kegawatan obstetri yang tidak bisa diprediksi dan dicegah. Distosia bahu didefinisikan sebagai kelahiran yang membutuhkan manuver obstetri tambahan untuk mengeluarkan bahu setelah traksi bawah gagal. Distosia bahu terjadi ketika terdapat impaksi bahu bayi anterior jarang terjadi, posterior dengan simfisis atau promontorium sakralis ibu. Biasanya distosia bahu didahului dengan tanda klasik “turtle sign” yaitu setelah kepala bayi dikeluarkan, akan terjadi retraksi kuat kembali ke perineum ibu. Spong mendefinisikan distosia bahu sebagai persalinan kepala-badan yang lama, yaitu lebih dari 60 detik) dan atau mengharuskan manuver obstetri tambahan. Lama persalinan 60 detik dijadikan batas interval karena waktu tersebut terletak antara dua standar deviasi di atas nilai rerata persalinan normal pada penelitiannya. Walaupun terdapat rekomendasi 1

description

distosia bahu presus

Transcript of Distosia Bahu

Page 1: Distosia Bahu

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kejadian distosia bahu semakin menjadi ketakutan sendiri bagi dokter,

perawat, bidan, dan tenaga medis lainnya karena seringkali merupakan

peristiwa kegawatan obstetri yang tidak bisa diprediksi dan dicegah. Distosia

bahu didefinisikan sebagai kelahiran yang membutuhkan manuver obstetri

tambahan untuk mengeluarkan bahu setelah traksi bawah gagal. Distosia bahu

terjadi ketika terdapat impaksi bahu bayi anterior jarang terjadi, posterior

dengan simfisis atau promontorium sakralis ibu. Biasanya distosia bahu

didahului dengan tanda klasik “turtle sign” yaitu setelah kepala bayi

dikeluarkan, akan terjadi retraksi kuat kembali ke perineum ibu. Spong

mendefinisikan distosia bahu sebagai persalinan kepala-badan yang lama, yaitu

lebih dari 60 detik) dan atau mengharuskan manuver obstetri tambahan. Lama

persalinan 60 detik dijadikan batas interval karena waktu tersebut terletak

antara dua standar deviasi di atas nilai rerata persalinan normal pada

penelitiannya. Walaupun terdapat rekomendasi tersebut, distosia bahu tetap

belum memiliki definisi yang jelas.

Perbedaan laporan kasus sebagian disebabkan oleh variasi definisi

distosia bahu, populasi pasien yang dipelajari, dan bentuk kasus over-diagnosed

atau under-diagnosed. Insidensi yang dilaporkan adalah 0,6% sampai 3%

kelahiran pervaginam dengan presentasi vertex, walaupun distosia bahu dapat

dikelola dengan tepat tetapi tetap dapat meningkatkan angka mortalitas dan

morbiditas perinatal. Kegagalan bahu untuk lahir dengan spontan dapat

menjadikan ibu hamil dan bayi memiliki risiko cidera persalinan permanen.

Cidera pleksus brakhialis adalah komplikasi distosia bahu yang paling sering

terjadi, yaitu pada 4-16% persalinan. Kejadian ini tergantung dari pengalaman

operator persalinan. Kebanyakan kasus diatasi tanpa adanya kecacatan

1

Page 2: Distosia Bahu

permanen, yaitu kurang dari 10% yang terjadi disfungsi pleksus brakhialis.

Cidera pleksus brakhialis neonatus adalah kasus tuntutan pengadilan paling

sering berkaitan dengan distosia bahu di Inggris, sedangkan distosia bahu

masuk menjadi empat besar kasus pengadilan, dan diperkirakan menghabiskan

11% klaim kasus obstetri.

Walaupun tidak semua cidera pleksus brakhialis disebabkan karena

traksi berlebih dan dihubungkan dengan kejadian distosia bahu, manajemen

risiko yang baik membutuhkan setiap tahapan harus dilakukan untuk mengatasi

segala kemungkinan, pencegahan, dan penatalaksanaan distosia bahu dengan

standar yang baik. Sejak dimulainya NHS Litigation Authority pada tahun 1995

terdapat sekitar 555 klaim yang berhubungan dengan distosia bahu, dengan

perkiraan biaya £ 189.400.000.

B. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meninjau literatur tentang permasalahan

distosia bahu yang terdiri dari identitifikasi faktor risiko untuk deteksi awal

persalinan beresiko tinggi dan penatalaksanaan yang sistematis dari kedaruratan

obsetri untuk menghindari permasalahan kesehatan setelah melahirkan, medico-

legal, dan komplikasi yang minimal.

2

Page 3: Distosia Bahu

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Distosia bahu termasuk dalam kedaruratan obsetri, sehingga dibutuhkan

tindakan segera, ketrampilan dan kemampuan teknik persalinan yang tepat

untuk menghidari morbiditas dan mortalitas perinatal. Hal ini terjadi ketika

bahu depan terjepit oleh simpisis pubis atau bahu belakang terjepit oleh sacral

promontorium sehingga terjadi kegagalan dalam pengeluaran bahu.

(arulkumaran, 2003). Persalinan kepala umumnya diikuti oleh persalinan bahu

dalam waktu 24 detik, sedangkan jika persalinan bahu lebih dari 60 detik

dianggap sebagai distosia bahu (Manuaba, 2007).

2. Insidensi

Insidensi distosia bahu dilaporkan meningkat dalam beberapa dekade

terakhir ini. Kejadian dengan distosia bahu terjadi 1:200 kelahiran (arulkumaran

et al., 2003). Hal itu menyebabkan morbiditas dan mortalitas perinatal yang

tinggi dan yang sering dihubungkan dengan komplikasi meskipun sudah

dikelola dengan tepat. Akibat dari itu Royal Collage of Obstetricians and

Gynaecologists (RCOG) and The Royal Collage of Midwives (RCM) bersama-

sama merekomendasi untuk melakukan pelatihan terhadap manajemen

persalinan dengan distosia bahu (RCOG, 2005)

3. Komplikasi distosia bahu

Persalinan distosia bahu mempunyai komplikasi yang cukup serius

(tabel 2.1). Dalam menghadapi kemungkinan distosia bahu, sulit diduga

sebelumnya oleh karena :

3

Page 4: Distosia Bahu

a. Tidak terdapat gejala yang mendahului. Persalinan kepala dapat

berlangsung normal, tetapi persalinan bahunya menghadapi kesulitan yang

sangat membahayakan

b. Ketepatan perkiraan berat janin intra uterin dengan menggunakan USG

sulit dipastikan

c. Sectio caesarea yang dilakukan hanya dengan dugaan janin makrosomia

janin saja sulit dibenarkan. Namun, jika berat janin diduga sekitar 5000

gram, ibu hamil dengan diabetes mellitus, atau dugaan berat janin 4500

gram pada ibu hamil dengan diabetes mellitus, seksio sesarea dapat

dibenarkan. (Manuaba, 2007)

Tabel 2.1. Komplikasi pada Maternal dan Perinatal

Komplikasi Maternal Komplikasi Perinatal

Trias komplikasi :

Trauma jalan lahir

Perdarahan postpartum

Infeksi

Trauma persendian:

Leher: dislokasi, fraktur tulang

leher

Bahu : dislokasi persendian

bahu, fraktur tulang humerus

trauma pleksus brakialis :

Erb paralisis, yaitu C5-C7

dengan ciri :

- Humerus abduksi, rotasi

internal

- Siku ekstensi

Paralisis klumpke atau ikut

serta C8 dan TI

- Siku fleksi

- Tangan terlempang dan jadi

mencengkram

Sindrom horner

4

Page 5: Distosia Bahu

- Jika saraf simfatikus ikut

serta

4. Manifestasi Klinis

Tanda klinis terjadinya distosia bahu meliputi:

1. Tubuh bayi tidak muncul setelah ibu meneran dengan baik dan traksi yang

cukup untuk melahirkan tubuh setelah kepala bayi lahir

2. Turtle sign adalah ketika kepala bayi tiba-tiba tertarik kembali ke perineum

ibu setelah keluar dari vagina. Pipi bayi menonjol keluar, seperti seokor kura-

kura yang menarik kepala kembali ke cangkangnya. Penarikan kepala bayi ini

dikarenakan bahu depan bayi terperangkap di tulang pubis ibu, sehingga

menghambat lahirnya tubuh bayi.

Gambar 2.1. Turtle Sign

5. Diagnosis

1. Kepala janin telah lahir namun masih erat berada di vulva

2. Tidak terjadi gerakan/ restitusi spontan

3. Dagu tertarik dan menekan perineum

4. Adanya tanda khas yang disebut sebagai Turtle Sign, yaitu penarikan

kembali kepala terhadap perineum sehingga tampak masuk kembali ke

dalam vagina.

5

Page 6: Distosia Bahu

5. Penarikan kepala tidak berhasil melahirkan bahu yang terperangkap di

belakang symphisis. (RCOG, 2012)

6. Penatalaksanaan

Karena distosia bahu tidak dapat diramalkan, pelaku praktek obstetrik

harus mengetahui betul prinsip-prinsip penatalaksanaan penyulit yang

terkadang dapat sangat melumpuhkan ini. Pengurangan interval waktu antara

pelahiran kepala sampai pelahiran badan amat penting untuk bertahan hidup.

Usaha untuk melakukan traksi ringan pada awal pelahiran, yang dibantu dengan

gaya dorong ibu, amat dianjurkan. Traksi yang terlalu keras pada kepala atau

leher, atau rotasi tubuh berlebihan, dapat menyebabkan cedera serius pada bayi

(Cunningham, 2006).

Beberapa ahli menyarankan untuk melakukan episiotomi luas dan

idealnya diberikan analgesi yang adekuat. Tahap selanjutnya adalah

membersihkan mulut dan hidung bayi. Setelah menyelesaikan tahap-tahap ini,

dapat diterapkan berbagai teknik untuk membebaskan bahu depan dari

posisinya yang terjepit di bawah simfisis pubis ibu (RCOG, 2012; Cunningham,

2006; Rayburn, William F,. Carey, J Christopher, 2001):

1. Penekanan suprapubik sedang dilakukan oleh seorang asisten sementara

dilakukan traksi ke bawah terhadap kepala bayi.

Gambar 2.2. Manuver Massanti

6

Page 7: Distosia Bahu

2. Manuver McRoberts yang ditemukan oleh Gonik dan rekan (1983) dan

dinamai sesuai nama William A. McRoberts, Jr., yang mempopulerkan

penggunaannya di University of Texas di Houston. Manuver ini terdiri atas

mengangkat tungkai dari pijakan kaki pada kursi obstetris dan

memfleksikannya sejauh mungkin ke abdomen. Gherman dan rekan (2000)

menganalisa manuver McRoberts dengan pelvimetri radiologik. Mereka

mendapati bahwa prosedur yang menyebabkan pelurusan relatif sakrum

terhadap vertebra lumbal, bersama dengan rotasi simfisis pubis ke arah

kepala ibu yang menyertainya serta pengurangan sudut kemiringan

panggul. Meski manuver ini tidak memperbesar ukuran panggul, rotasi

panggul ke arah kepala cenderung membebaskan bahu depan yang terjepit.

Gonik dan rekan (1989) menguji posisi McRoberts secara obyektif pada

model di laboratorium dan menemukan bahwa manuver ini mampu

mengurangi tekanan ekstraksi pada bahu janin.

Gambar 2.3. Manuver McRoberts

7

Page 8: Distosia Bahu

3. Woods (1943) melaporkan bahwa, dengan memutar bahu belakang secara

progresif sebesar 180 derajat dengan gerakan seperti membuka tutup botol,

bahu depan yang terjepit dapat dibebaskan. Tindakan ini sering disebut

sebagai manuver corkscrew Woods.

Gambar 2.4. Corkscrew-Woods Manuver

4. Pelahiran bahu belakang meliputi penyusuran lengan belakang janin secara

hati-hati hingga mencapai dada, yang diikuti dengan pelahiran lengan

tersebut. Cingulum pektorale kemudian diputar ke arah salah satu diameter

oblik panggul yang diikuti pelahiran bahu depan. Tindakan ini disebut

sebagai maneuver Jacquimer.

Gambar 2.5. Manuver Jacquimer

8

Page 9: Distosia Bahu

5. Rubin (1964) merekomendasikan dua manuver. Pertama, kedua bahu janin

diayun dari satu sisi ke sisi lain dengan memberikan tekanan pada

abdomen. Bila hal ini tidak berhasil, tangan yang berada di panggul meraih

bahu yang paling mudah diakses, yang kemudian didorong ke permukaan

anterior bahu. Hal ini biasanya akan menyebabkan abduksi kedua bahu,

yang kemudian akan menghasilkan diameter antar-bahu dan pergeseran

bahu depan dari belakang simfisis pubis.

Gambar 2.6. Manuver Rubin

6. Hibbard (1982) menganjurkan untuk menekan dagu dan leher janin ke arah

rektum ibu, dan seorang asisten menekan kuat fundus saat bahu depan

dibebaskan. Penekanan kuat pada fundus yang dilakukan pada saat yang

salah akan mengakibatkan semakin terjepitnya bahu depan. Gross dan

rekan (1987) melaporkan bahwa penekanan fundus tanpa disertai manuver

9

Page 10: Distosia Bahu

lain akan "menyebabkan angka komplikasi sebesar 77 persen dan erat

dihubungkan dengan kerusakan ortopedik dan neurologik (janin)."

7. Sandberg (1985) melaporkan penggunaan manuver Zavanelli untuk

mengembalikan kepala ke dalam rongga panggul dan kemudian melahirkan

secara sesar. Bagian pertama dari manuver ini adalah mengembalikan

kepala ke posisi oksiput anterior atau oksiput posterior bila kepala janin

telah berputar dari posisi tersebut. Langkah kedua adalah memfleksikan

kepala dan secara perlahan mendorongnya masuk kembali ke vagina, yang

diikuti dengan pelahiran secara sesar. Terbutaline (250 m g, subkutan)

diberikan untuk menghasilkan relaksasi uterus. Sandberg (1999) kemudian

meninjau 103 laporan kasus yang menerapkan manuver Zavanelli.

Manuver ini berhasil pada 91 persen kasus presentasi kepala dan pada

semua kasus terjepitnya kepala pada presentasi bokong. Cedera pada janin

biasa terjadi pada keadaan-keadaan sulit yang menerapkan manuver

Zavanelli; terdapat delapan kasus kematian neonatal, enam kasus lahir

mati, dan 10 neonatus menderita kerusakan otak. Ruptur uteri juga pernah

dilaporkan.

Gambar 2.7. Manuver Zavanelli

10

Page 11: Distosia Bahu

8. Fraktur klavikula yang dilakukan secara sengaja dengan cara menekan

klavikula anterior terhadap ramus pubis dapat dilakukan untuk

membebaskan bahu yang terjepit. Namun, pada praktiknya, sulit

mematahkan klavikula secara sengaja pada bayi besar. Fraktur klavikula

biasanya akan sembuh dengan cepat, dan tidak seserius cedera nervus

brakhialis, asfiksia atau kematian.

9. Kleidotomi, yaitu memotong klavikula dengan gunting atau benda tajam

lain, dan biasanya dilakukan pada janin mati (Schramm, 1983).

10. Simfisiotomi tampaknya juga dapat diterapkan dengan sukses, seperti

dijelaskan oleh Hartfield (1986). Goodwin dan rekan (1997) melaporkan

tiga kasus yang mengerjakan simfisiotomi setelah manuver Zavanelli gagal

— ketiga bayi mati dan terdapat morbiditas ibu yang signifikan akibat

cedera traktus urinarius.

Beberapa literatur meengungkapkan beberapa cara dalam mengatasi

distosia bahu yaitu Manajemen ALARMER dan 4 P.

1. Manajemen ALARMER

a. Ask for help (Minta bantuan)

b. Lift/hyperflex Legs

Hiperfleksi kedua kaki (Manuver McRobert), distosia bahu pada

umumnya akan teratasi dengan manuver ini pada 70% kasus.

c. Anterior shoulder disimpaction (disimpaksi bahu depan)

Penekanan suprapubik (Manuver Mazzanti) dan pendekatan pervaginam

dengan adduksi bahu depan dengan tekanan untuk mempermudah aspek

bahu belakang (yaitu dengan mendorong ke arah dada) sehingga akan

menghasilkan diameter terkecil (Manuver Rubin)

d. Rotation of the posterior shoulder (Pemutaran bahu belakang)

Manuver ini dilakukan dengan memutar 1800 bahu belakang sehingga

menjadi bahu depan (Manuver Woodscrew)

e. Manual removal posterior arm (mengeluarkan bahu belakang secara

manual/ Manuver Jacquemier)

11

Page 12: Distosia Bahu

f. Episiotomi

g. Roll over onto ‘all fours’ (knee-chest position/ Manuver Gaskin)

2. Hindari empat “P”

a. Panic (Panik)

b. Pulling (Menarik)

c. Pushing (Mendorong)

d. Pivot

Jika cara tersebut sudah dilakukan dan distosia bahu tetap belum teratasi

maka dapat dilakukan:

1. Manuver Zavanelli

2. Kleidotomi

3. Simfisiotomi

7. Perkiraan dan pencegahan

Terjadi evolusi pemikiran yang cukup besar di bidang obstetrik

mengenai kemampuan untuk mencegah distosia bahu selama dua dekade

terakhir. Selama tahun 1970an, saat praktek seksio sesarea meningkat dengan

cepat, diharapkan sejumlah faktor risiko pada kehamilan dapat digunakan untuk

mengidentifikasi wanita yang membutuhkan seksio sesarea untuk mengatasi

distosia bahunya. Namun, selama tahun 1980an, tampak jelas bahwa angka

persalinan sesar cenderung berlebihan. Juga menjadi jelas bahwa

memperkirakan untuk kemudian mencegah distosia bahu tidaklah mudah.

Meski tampaknya beberapa faktor risiko jelas berhubungan dengan distosia

bahu, tidak mungkin dilakukan identifikasi aktual terhadap contoh-contoh

individual sebelum faktanya dibuktikan (Cuningham, 2006).

12

Page 13: Distosia Bahu

BAB III

ANALISA KASUS

Identitas Pasien :

Nama : Ny. S

Umur : 35 tahun

Agama : Islam

Alamat : Jln. Kebon jeruk timur

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Pendidikan : SMA

Tanggal masuk RS : 4 Agustus 2013 pkl. 18.27 WIB

No. Rekam Medik : 141.46.16

Anamnesis

Keluhan Utama

Mulas – mulas sejak 12 jam sebelum masuk Rumah Sakit

Riwayat Kehamilan Sekarang

Pasien G2P1A0 mengaku hamil 9 bulan, HPHT pasien lupa. Pasien melakukan

ANC 1 kali dibidan, USG (+) dikatakan bayi tunggal dan kepala. Pasien mengeluh

mulas - mulas sejak 12 jam masuk rumah sakit dan bertambah sering, Pasien

kemudian datang ke bidan. Keluar air-air sejak 9 jam masuk rumah sakit, keluar

lendir darah sejak 1 hari masuk rumah sakit. Gerak janin aktif (+). Pasien

menyangkal adanya pusing, mual muntah, demam, nyeri ulu hati maupun pandangan

kabur. Riwayat keputihan (-). Riwayat gigi berlubang (-).

Riwayat Penyakit Dahulu

Hipertensi, DM, penyakit paru, penyakit jantung, alergi obat dan makanan disangkal

13

Page 14: Distosia Bahu

Riwayat Penyakit Keluarga

Hipertensi, DM, penyakit paru, penyakit jantung, alergi obat dan makanan disangkal

Riwayat Menstruasi

Menarche usia 13 tahun, siklus teratur tiap bulan, lama menstruasi 7 hari, ganti

pembalut 2-3x/hari, nyeri haid (-).

Riwayat Pernikahan

Menikah 1x lamanya pernikahan 13 tahun.

Riwayat Obstetri

G2P1A0 :

1. Perempuan, 12 thn, 3600 gram, lahir spontan di bidan

2. Hamil saat ini.

Pemeriksaan Fisik

Status Generalis

Keadaan Umum : Baik, Compos Mentis

Tanda vital : TD 120/80 mmHg, Nadi 83 x/menit, Suhu 36,7oC,

Pernapasan 20x/menit

Mata : konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik

Jantung : BJ I-II normal, Murmur (-), Gallop (-)

Paru : BN veskuler, Rh -/-, Wh -/-

Abdomen : buncit sesuai usia kehamilan

Ekstremitas : akral hangat, perfusi perifer cukup, edema -/-

Status Obstetrik

Inspeksi :

Membuncit, arah memanjang.

Palpasi:

LI : TFU 37 cm, TBJ 3720 gram, teraba 1(satu) bagian besar janin, tidak keras,

tidak melenting, yang merupakan bokong janin

14

Page 15: Distosia Bahu

LII : Kiri : teraba bagian- bagian kecil janin; Kanan : teraba 1(satu) bagian keras

seperti papan yang merupkan punggung janin

LIII : Teraba 1(satu) bagian besar, bulat, keras, melenting, yang merupakan

kepala janin

LIV : Kepala janin sudah masuk PAP

Auskultasi :

DJJ 148 dpm, teratur, kwalitas kuat

Kesan : TFU 30 cm, letak janin memanjang, punggung berada di sisi kanan,

bagian terbawah kepala, sudah memasuki pintu atas panggul, TBJ

3.720 gr, gerak janin (+), DJJ 148 dpm

Inpeksi : vulva - uretra tenang

Io : portio livid, ostium terbuka, Fluor (-), Fluksus (+)

VT : Pembukaan lengkap, ketuban (-), kepala HII-III

Pemeriksaan penunjang

A. Laboratorium

( 4 Agustus 2013)

Darah Lengkap

• Eritrosit 33 juta/UL; Hb 11.8 g/dl; Ht 40%; Leukosit 9.970 ribu/ul; Trombosit

270.000/mm3;

Hemostasis

• Masa perdarahan 2 menit. Masa pembekuan 7 menit.

Kimia Klinik : GDS 90 gr/dL; Albumin 3.7 g/dL; SGOT/SGPT 24/30 U/L; Ur/Cr

10/0.6 mg/dl.

Urin

•Warna Kuning jernih; BJ 1025; PH 6,0; Protein positif (-) 75 mg/dl; Glukosa

(-); Keton (-); Bilirubin (-); Sel epitel (+); Leukosit 2-4/LPB; Eritrosit

8-10/LPB; Bakteri (-).

15

Page 16: Distosia Bahu

B. CTG

Frekuensi dasar 140 dpm; variabilitas 5-20 dpm; akselerasi (+); deselerasi (-);

Gerak janin (+); His 4x/10’/40”

Kesan: Reasuring

Diagnosis

Distosia PK II pada G2P1 Hamil aterm, Janin Tunggal Hidup Presentasi Kepala

Penatalaksanaan

Rencana Diagnostik

- Observasi Tanda vital, His, DJJ / jam

- Cek DPL, UL, GDS, BT/CT, Ur/Cr

- USG & CTG

Rencana Terapi

- CTG Reasuring Per vaginam

- CTG Non Reasuring SC Cito

16

Page 17: Distosia Bahu

BAB IV

PEMBAHASAN

Banyak faktor resiko distosia bahu yang sudah ditemukan (tabel 3.1),

distosia bahu merupakan suatu kejadian yang tidak dapat diduga dan tidak dapat

dicegah sebelumnya sebab belum ada metode yang akurat untuk menentukan kondisi

bayi seperti apa yang akan mengalami distosia bahu (Rekomendasi Grade B). Teori

makrosomia sering dihubungkan dengan kejadian distosia bahu dimana keadaan janin

lebih besar dari ukuran normal sesuai umur kehamilan (lebih besar 90 persen dari

ukuran bayi normal sesuai umur kehamilan) atau berat badan bayi yang lebih dari

batas tertentu, biasanya 4000 gram atau 4500 gram. Suatu studi terbaru menyatakan

bahwa makrosomia (berat badan janin lebih dari 3500) merupakan satu-satunya

faktor predisposisi yang reliable jika dibandingkan dengan diabetes dan anatomi jalan

lahir. Secara keseluruhan, kejadian distosia bahu berdasarkan berat janin terjadi

sebanyak 0,6 sampai 1,4 persen dari kelahiran dimana berat badan bayi 2500 gram

hingga 4000 gram, naik menjadi 5 sampai 9 persen pada kelahiran bayi seberat 4000

gram hingga 4500 gram pada ibu tanpa riwayat diabetes. Semetara itu, ada sebagian

peneliti mengajukan serangkaian pemeriksaan Ultra Sound untuk memprediksi

makrosomia dan sebagai peringatan dini terjadinya distosia bahu (lingkar perut >

350mm, Newborn Shoulder width dan perkiraan berat 3D U-S), berdasarkan pada

level A Evidence ACOG “tidak tepat mendiagnosis janin makrosomia” namun

ACOG mendukung penggunaan kisaran berat 4500 gram sebagai indikator

makrosomia sebab, pada berat badan janin 4500 aka terjadi peningkatan yang tajam

akan resiko persalinan, baik kepada bayi maupun terhadap ibu. Penggunaan ultra

sound 3D sebagai prediksi terjadinya makrosomia dibatasi oleh kekurang akuratan

hasil USG 3D pada berat janin besar, lebih jauh lagi pada trimester terakhir, akurasi

USG 3D hanya mencapai 60% untuk makrosomia (berat badan janin lebih dari

4,5Kg).

17

Page 18: Distosia Bahu

Distosia bahu lebih sering terjadi pada bayi yang lahir dari ibu dengan

riwayat diabetes. Diabetes melitus menaikan resiko terjadinya distosia bahu sebesar 6

kali dari populasi normal dan adanya riwayat diabetes pada ibu akan menaikan resiko

terjadinya distosia bahu. McFarland dan rekannya melaporkan bayi makrosomia yang

lahir dari ibu dengan riwayat diabetes memiliki karakteristik seperti bahu yang lebih

lebar, peningkatan lingkar yang ekstrim, penurunan rasio kepala-bahu, berat badan

yang tinggi dan pemanjangan ekstrimitas atas jika dibandingkan bayi dari ibu tanpa

riwayat diabetes dengan umur kehamilan yang sama dan berat badan lahir yang sama.

Apapun hal yang mengakibatkan meningkatnya risiko terjadinya distosia bahu,

penanganan diabetes yang intensif akan menurunkan risiko terjadinya makrosomia

dan distosia bahu.

Obesitas pada wanita juga dihubungkan dengan makrosomia dan wanita

dengan obesitas merupakan salah satu faktor resiko terjadinya distosia bahu.

Kehamilan serotinus juga meningkatkan risiko terjadinya makrosomia dan distosia

bahu. Ibu lanjut usia sangat berkaitan erat dengan insidensi kelainan dalam dunia

medis seperti obesitas dan diabetes. Rata-rata, wanita dengan multiparitas berumur

lebih tua dan memiliki bobot badan yang lebih dibandingkan dengan ibu primigravida

karena itu mereka memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk melahirkan bayi

dengan bobot badan yang berat dan menderita diabetes. Selain itu, ibu dengan

multiparitas lebih mungkin mengalami partus presipitatus (kala II < 15 menit) yang

mengakibatkan meningkatnya risiko terjadinya distosia bahu.

Banyak penelitian berbeda menyebutkan riwayat distosia bahu merupakan

salah satu variabel yang menjadi predisposisi terjadinya kekambuhan pada kehamilan

selanjutnya. Studi terbaru menyatakan, hampir 12% persalinan dengan riwayat

distosia bahu akan mengakibatkan kejadian distosia bahu pada persalinan berikutnya

dengan tingkat risiko 1 dari 8 persalinan (OR 8.25;95% Cl). Overland dan Co.

melaporkan, dibandingkan risiko 7,3% pada persalinan dengan riwayat distosia bahu,

berat badan bayi yang besar merupakan faktor resiko terbesar terjadinya distosia bahu

pada persalinan. Persalinan normal maupun dengan sectio caesarea dapat dilakukan

pada ibu dengan riwayat distosia bahu, keputusan harus dilakukan oleh ibu dan

18

Page 19: Distosia Bahu

suaminya. Bagaimanapun, insidensi distosia bahu sepertinya akan tetap menjadi

misteri sebab dokter maupun pasien tidak mau menjadi objek penelitian walaupun

memiliki riwayat persalinan yang kompleks atau riwayat cedera pada persalinan.

Dapat diambil kesimpulan bahwa tidak diketahui secara pasti apakah

hubungan antara distosia bahu dengan berat bayi, kehamilan serotinus, ibu dengan

usia tua, jenis kelamin bayi, aumentasi dengan oksitosin, multipara dan epidural

anestesi dapat terjadi karena salah satu faktor tersebut ataukah merupakan akumulasi

dari faktor tersebut. Dalam setiap kasus, faktor-faktor risiko dapat diidentifikasi tapi

nilai prediksinya tidak cukup tinggi untuk memprediksi terjadinya distosia bahu oleh

karena itu distosia bahu tidak dapat diprediksi secara universal.

Tabel 3.1. Faktor Risiko Distosia Bahu

Faktor Antepartum (Ibu-Janin) Faktor Intrapartum

Makrosomia Kala 1 Lama

IMT Maternal > 30 kg/m2 Kala 2 Lama

Tubuh pendek Persalinan dengan alat (forcep atau vacuum)

Riwayat distosia bahu Penggunaan oksitosin

Anatomi pelvis abnormal Tindakan fundal pressure

Serotinus Anestesi epidural

Usia ibu tua

Jenis kelamin janin laki-laki

Induksi persalinan

Komplikasi pada Bayi dan pada Ibu

Kegagalan melahirkan bahu secara spontan dapat mengakibatkan cacat

permanen baik pada ibu maupun pada janin dengan resiko tinggi (tabel 3.2). angka

kecacatan ibu dan bayi berbanding lurus dengan banyaknya manuver yang dilakukan

untuk melahirkan bayi dengan distosia bahu. Komplikasi tersering yang terjadi adalah

perdarahan dan laserasi derajat IV perineum. Komplikasi lain yang pernah terjadi

adalah laserasi vagina dan serviks beserta atonia uteri. Harus diperhatikan bahwa

19

Page 20: Distosia Bahu

manuver heroik seperti Zavanelli manuver dan simpisiotomi sering mengakibatkan

kecacatan pada ibu.

Cedera pleksus brachialis (BPI : Erb-Duschenne’s : cedera pada saraf tepi

C5-C6; klumpke pulsy : cedera pada saraf tepi C8-T1) adalah satu dari sekian banyak

komplikasi distosia bahu yang terpenting dan berbahaya. Banyak kasus distosia bahu

dapat diselesaikan tanpa terjadinya cedera pleksus brachialis dan kurang lebih 10%

kasus distosia bahu menyebabkan kecacatan permanen pleksus brachialis. Angka

kejadian yang ditemukan dari berbagai penelitian bervariasi antara 4-40%. Berbeda

dengan penelitian lain, Suneet P Chauhan & Co membandingkan antara SD dengan

BPI dan SD tanpa BPI menunjukan hasil diantara objek penelitian yang pernah

ataupun tidak pernah mengalami fraktur yang berulang terdapat nilai yang signifikan

terhadap terjadinya BPI jika dilakukan 3 atau lebih manuver dalam penatalaksanaan

distosia bahu. Dapat ditarik kesimpulan bahwa penatalaksanaan distosia bahu sangat

berhubungan dengan terjadinya cedera pleksus brachialis. Penggunaan 3 manuver

akan menaikkan risiko terjadinya cedera pleksus brachialis jika dibandingkan dengan

penggunaan 2 manuver atau kurang.

Walaupun distosia bahu dan penggunaan manuver dalam penatalaksanaan

distosia bahu sering duhubungkan dengan kelemahan otot di atas, BPI juga dapat

terjadi pada persalinan pervaginam. Mekanisme yang mungkin terjadi pada cedera

akibat persalinan intrauterin adalah akibat tekanan endogeneous propulsive dari

uterus ketika bayi berada pada OUE, kegagalan bahu untuk berputar, kelainan

tekanan intrauterin akibat kelainan pada uterus (fibroid, septum intrauterin, uterus

bikornuate). Semua kondisi ini dapat menyebabkan BPI. Selain itu, tekanan

berlebihan saat traksi juga dapat menyebabkan PBI. Cedera tidak hanya disebabkan

oleh karena traksi namun juga bisa diakibatkan oleh karena tenaga pendorong ibu.

Data lebih lanjut menunjukan bahwa sebagian kecil kejadian BPI tidak berhubungan

dengan distosia bahu dimana 4% dari kejadian BPI terjadi selepas persalinan per-

abdominam. Penggunaan elektromielografi sesaat setelah persalinan (24-48 jam

sesudah persalinan) dapat membantu mengetahui kapan terjadi BPI. Hasil

elektromielografi dari denervasi otot normalnya membutuhkan 10 sampai 14 hari

20

Page 21: Distosia Bahu

untuk berkembang. Jika ditemukan dalam periode neonatal dini, sangat disarankan

untuk dilakukan persalinan secepatnya.

Pada akhirnya kecacatan akibat distosia bahu seperti fraktur klavikula dan

humerus dapat sembuh tanpa cacat. Beberapa komplikasi lain yang fatal dari distosia

bahu dapat menyebabkan hipoksia-iskemik enselofati dan bahkan kematian.

Tabel 3.2. Komplikasi distosia bahu

Ibu Janin

Perdarahan post partum Brachial Plexus Palsy

Laserasi derajat III – IV Fetal Death

Diatesis simfisis dengan atau tanpa

neuropati femoralis transient

Hipoksia janin, dengan atau tanpa

kerusakan neurologis permanen

Fistula rekto-vagina Fraktur humerus dan klavikula

Ruptur uteri

Pencegahan Antepartum

Distosia bahu merupakan kejadian yang tidak dapat diduga dan tidak dapat

dicegah (Evidence Level III, RCOG). Pada pasien dengan riwayat distosia bahu harus

diperkirakan berat badan janin, usia, kehamilan, intoksikasi glukosa ibu dan tingkat

keparahan cedera neonatal pada persalinan sebelumnya harus dievaluasi lebih lanjut

dan resiko serta manfaat dari sectio cesaria (rekomendasi level C, ACOG).

Studi tentang induksi kehamilan (IOL) dibagi menjadi tiga kategori: IOL

untuk pasien makrosomia nondiabetes, IOL untuk makrosomia pada pasien diabetes,

dan IOL untuk pencegahan makrosomia pada penderita diabetes.

Tidak ada bukti yang mendukung induksi persalinan pada wanita tanpa

diabetes pada keadaan dimana janin dianggap makrosomia (Rekomendasi Grade A,

RCOG). RCOG juga menegaskan bahwa operasi cesar elektif tidak dianjurkan jika

bertujuan untuk mengurangi angka kecacatan kelahiran pada kehamilan yang diduga

makrosomia pada ibu tanpa riwayat diabetes. Sebuah studi yang dilakukan

berdasarkan decision analysis model memperkirakan sekitar 2.345 sectio caesaria

21

Page 22: Distosia Bahu

akan menghabiskan biaya 4.9 juta dollar hanya untuk mencegah BPI non-permanen

akibat distosia bahu jika semua janin yang diperkirakan berberat 4000 gram atau

lebih dilahirkan per-abdominam. Walaupun diagnosa bayi makrosomia tidak tepat,

pertimbangan untuk dilakukan sectio caesarea diperbolehkan untuk mencegah

distosia bahu pada suspect janin makrosomia dengan estimasi berat janin 5000 gram

atau lebih pada wanita hamil tanpa riwayat diabetes atau pada estimasi berat janin

4500 gram pada ibu hamil dengan riwayat diabetes (Rekomendasi Level C, ACOG).

Induksi persalinan tidak meningkatkan hasil akhir persalinan pada ibu tanpa

riwayat diabetes sebagai indikasi tunggal dari suspect makrosemia dan tidak efektif

dalam mengurangi angka kejadian distosia bahu dan mempercepat durante sectio

cesarea.

Rekomendasi Level B, ACOG mengatakan “ïnduksi persalinan elektif atau

sectio cesaria elektif tidak sesuai pada semua wanita yang dicurigai mempunyai bayi

makrosemia”. Hal ini disebabkan akibat ketidaksesuaian antara hasil ultra sound

sebagai prediktor dari makrosomia. Herbst & Co dalam studi analisis efektivitas dana

pada management janin dengan estimasi berat 4500 gram menganjurkan pemantauan

kehamilan yang baik sebagai penanganan paling murah bagi ibu hamil tanpa riwayat

diabetes. Pada ibu dengan riwayat diabetes, kontrol kadar glukosa yang adekuat harus

dilakukan dan dijaga agar kadar glukosa ibu hamil dan sesudah melahirkan tidak

mengalami peningkatan yang signifikan jika dibandingkan dengan kadar glukosa

sebelum kehamilan untuk mengurangi resiko abortus spontan, malformasi janin,

makrosomia, kematian intrauterine dan kecacatan pada bayi (Rekomendasi Level B,

ACOG). Abortus mungkin menjadi pertanda adanya vaskulopati, nefropati, kadar

glukosa yang tidak terkontrol atau stillbirth pada sebagian pasien. Berbanding

terbalik dengan ibu dengan kadar glukosa tidak terkontrol, ibu dengan kadar glukosa

terkontrol dapat mempertahankan kehamilan hingga saat umur kehamilan yang cukup

(aterm) selama Ante Natal Care yang baik dilakukan. Bagaimanapun, persalinan

sebelum kehamian aterm tidak direkomendasikan” dan sectio cesaria bisa menjadi

langkah yang tepat untuk menghindari cedera pada bayi dimana perkiraan berat janin

lebih dari 4500 gram pada wanita dengan riwayat diabetes (Rekomendasi Level B).

22

Page 23: Distosia Bahu

Penanganan Intrapartum

Penanganan distosia bahu yang tepat membutuhkan pengenalan dini yang

tepat. Penggunaan kekuatan yang berlebihan tidak boleh dilakukan pada kepala janin

atau leher serta penekanan pada fundus harus dihindari sebab tindakan ini tidak

memiliki manfaat dalam membebaskan impaksi, bahkan memiliki risiko untuk

mencederai ibu dan janin.

Petugas kesehatan secara rutin harus melakukan observasi terhadap : (Bukti

Level IV, RCOG)

- Kesulitan yang mungkin terjadi pada persalinan terutama kepala dan dagu.

- Kepala terjepit diantara vulva atau mungkin terjadinya re-traksi (turtle sign)

- Kegagalan dalam pengeluaran kepala bayi

- Kegagalan menarik bahu ke bawah pada kala II

Jika hal tersebut terjadi, hal utama yang harus diperhatikan adalah

menghindari atau mengurangi resiko terjadinya hipoksia. Distosia bahu berpotensial

menimbulkan kegawatan akibat kompresi tali plasenta antara badan janin dan pelvis

ibu. Stressor pada janin akibat hipoksia dapat terjadi akibat kompresi leher dengan

kongesti vena central, kompresi plasenta, penurunan tekanan intervili yang

disebabkan oleh kenaikan tekanan intrauterine yang lama dan brakikardi janin yang

kedua. Banyak penelitian dilakukan untuk mencari hubungan antara distosia bahu,

cedera pleksus brachialis dan cedera otak pada bayi dengan derajat asam-basa arteri

umbilikalis, rasio kepala janin dan pelvis dengan keseimbangan asam basa janin,

rasio kepala janin dan pelvis dengan rendahnya APGAR skor. Laporan CESDI yang

ke-5 mengidentifikasikan bahwa 47% dari kelahiran dengan distosia bahu akan

menyebabkan kematian pada bayi 5 menit setelah kepala bayi dilahirkan. Karena itu,

sangat penting untuk menangani masalah secara efisien dan secepatnya namun tetap

secara berhati-hati untuk menghindari terjadinya asidosis hipoksia juga menghindari

terjadinya trauma yang tidak perlu (Evidence Level III, RCOG). Untuk alasan inilah

distosia bahu harus ditangani dengan sistematis. Standart klinis yang digunakan

sebagai panduan dalam penanganan distosia bahu adalah HELPERR mnemonic dari

Advanced Life Support in Obstetrics.

23

Page 24: Distosia Bahu

H : call for help (mencari pertolongan)

E : Evaluate episiotomy (melakukan evaluasi akan perlunya episiotomi)

L : Legs (the McRoberts’manouvere)

P : Suprapubic pressure (tekanan suprapubik)

E : Enter Manouvres (internal rotation)

R : Remove the posterior arm (memindahkan lengan bagian posterior)

R : Roll the patient (all-fours position)

Penanganan distosia bahu akan memberikan hasil yang baik jika sudah

diantisipasi dengen persiapan yang baik sebelumnya (Evidence Level IV, RCOG).

Pemimpin persalinan dapat mencurigai adanya kemungkinan distosia bahu dan harus

memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga pasien tentang sulitnya persalinan

dan resiko yang mungkin terjadi. Kandung kemih pasien harus dikosongkan dan

ruang persalinan harus cukup luas sebagai tempat jika dibutuhkan personil dan

peralatan tambahan. Beberapa tenaga medis dipersiapkan sebagai tenaga bantuan jika

terjadi distosia bahu. Studi Cochrane menunjukan bahwa tidak ada temuan yang jelas

untuk mendukung penggunaan profilaksis untuk mencegah terjadinya distosia bahu

(karena tidak tebukti dapat mengubah keadaan panggul ibu atau memberikan tekanan

eksternal ke panggul ibu sebelum kelahiran dapat membantu bahu bayi dapat

melewati jalan lahir). Selain itu, jika dibandingkan penggunaan manuver McRoberts

pada posisi litotomi dengan tempat tidur “broken down” sehingga bokong ibu dapat

menempel pada tempat tidur sebelum didiagosis distosia bahu untuk mengurangi

traksi kepala janin pada persalinan normal untuk wanita multipara. Oleh karena itu

penggunaan tempat tidur “break down” tidak direkomendasikan untuk mencegah

distosia bahu (Evidence Level Ib, RCOG).

Pendekatan sestematis dalam penanganan distosia bahu seperti HELPERR

mnemonic bertujuan untuk memberikan hasil salah satu dari :

1. Meningkatkan fungsional dari tulang panggul secara merata dari lordosis lumbal

dan rotasi kepala pada simfisis (melalui manuver McRoberts’)

2. Mengurangi diameter bisacromial (luasnya bahu) janin melalui penekanan

suprapubik (yaitu tekanan intrernal pada bagian posterior bahu)

24

Page 25: Distosia Bahu

3. Mengubah hubungan diameter bisacromial dalam tulang panggul melalui rotasi

manuver internal.

Penilaian klinis harus selalu memantau kemajuan dari prosedur yang

digunakan. Dalam semua kasus, penekanan pada fundus tidak boleh digunakan dalam

penanganan distosia bahu sebab dapat memperburuk impaksi yang terjadi dengan

resiko kecacatan pada bayi dan ibu. (Rekomendasi Grade C, RCOG)

H : meminta pertolongan ahli harus dilakukan setelah didiagnosis distosia bahu,

seorang dokter ahli kandungan, bidan yang sudah berpengalaman, tim

resusitasi pediatrik dan dokter ahli anestesi. Ibu diminta untuk tidak

mengejan sebab dapat menyebabkan impaksi bahu yang lebih berat dan

dapat menyebabkan masalah yang lebih besar. Ibu diminta untuk tetap

tertidur dengan panggul menyentuh meja bersalin.

E : masalah utama pada distosia bahu adalah impaksi tulang jadi episiotomi

tidak dapat mejadi solusi tunggal pada distosia bahu. Untuk menunjang

keberhasilan manuver McRoberts’ dan penekanan suprapubik dalam

menanggulangi distosia bahu, Managing Obstetric Emergencies and Trauma

(MOET) Group menyarankan pendekatan selektif, episiotomi dilakukan

hanya untuk mempermudah melahirkan lengan bagian posterior atau putaran

dalam bahu. Episiotomi tidak harus dilakukan pada semua kasus distosia

bahu. (Recommendation Grade B, RCOG)

L : manuver McRoberts’adalah satu-satunya manuver intervensi yang efektif

dan harus dilakukan pertama kali dalam penanganan distosia bahu

(Recommendation Grade B, RCOG). Manuver ini dilakukan dengan

melakukan hiperfleksi paha ibu ke abdomen. Pada saat ini, jangan mengubah

dimensi awal dari panggul ibu. Gerakan ini memungkinkan sakrum menjadi

lebih lurus dengan vertebrae bagian lumbal sehingga memudahkan rotasi

kepala janin pada simphisis pubis sehingga bahu bayi dapat masuk ke dalam

pintu atas panggul. Gerakan ini menyebabkan dorongan pada bahu posterior

diatas promontorium sacral, menyebabkan bahu posterior terdorong masuk

25

Page 26: Distosia Bahu

ke dalam sakrum dan dan memutar simfisis sehingga berada di atas bahu

yang terimpaksi. Posisi ini menurunkan tekanan mengejan (kekuatan ibu)

dan tekanan dari luar (dorongan dari dokter penolong persalinan) dan

meningkatkan tekanan uterin dan amplitudo kontraksi. Kesuksesan manuver

McRoberts’ dalam menangani distosia bahu (sebagai tindakan tunggal atau

dikombinasikan dengan tekanan suprapubik) dilaporkan sebesar 42 sampai

90%. Manuver McRoberts dipilih sebagai penatalaksanaan utama dalam

penanganan distosia bahu sebab memiliki resiko rendah untuk menimbulkan

komplikasi lebih lanjut (Recommendation Level C, ACOG). Walaupun

begitu, para ahli kandungan masih merekomendasikan kewaspadaan

terhadap hiperflexi yang berlebihan dan agresif serta abduksi dari paha ibu

terhadap abdomen sebab hal ini sering dikaitkan dengan meningkatnya traksi

yang berakibat pada meningkatnya resiko BPI.

P : Tekanan suprapubik dilakukan bersama-sama dengan manuver McRoberts’

dapat menaikan angka kesuksesan penanganan distosia bahu

(Recommendation Grade C, RCOG). Tekanan suprapubik mengurangi

diameter bisacromal dan memutar bahu anterior kedalam diameter oblik

pelvis, bahu kemudian menjadi bebas untuk berpisah dibawah simphisis

pubis ketika traksi rutin berlangsung. Penekanan suprapubik (manuver Rubin

I) harus dilakukan ke bawah dan sedikit di lateral ibu sehingga bagian

posterior dari bahu anterior akan mendekat ke dada janin (Recommendation

Grade C, RCOG). pada awalnya, penekanan dapat dilakukan secara terus-

menerus namun jika persalinan masih tidak dapat dilakukan,

direkomendasikan untuk melakukan guncangan ringan untuk membebaskan

bahu dari belakang simphisis pubis namun tidak ada perbedaan signifikan

dari kedua gerakan ini.

Jika manuver simpel ini gagal, ada pilihan lain yang dapat dilakukan seperti

all-faour postion dan manipulasi internal, seperti kelahiran tangan bagian posterior

dan rotasi internal (Evidence Level III, RCOG) dalam kasus tertentu, pedoman klinis

26

Page 27: Distosia Bahu

dan pengalaman sangat membantu ahli kandungan dalam menentukan langkah yang

akan diambil.

Melanjutkan penjelasan HELPERR mnemonic dari ALSO menyarankan

langkah-langkah selanjutnya yaitu :

E : seperti sudah dikatakan sebelumnya, keputusan untuk melakukan episiotomi

atau procto-episiotomi harus dilakukan dengen mempertimbangkan keadaan

klinis seperti sempitnya dinding vagina pada primigravida untuk dilakukan

fourchette atau kebutuhan untuk melakukan manipulasi pada janin.

Kelahiran bahu bayi dapat dipermudah dengan rotasi kedalam diameter

oblique atau putaran 180 derajat dari sumbu janin (Evidence Level III,

RCOG). pada saat tertentu, perlu dilakukan dorongan ke atas pada janin agar

naik ke sedikit ke pelvis untuk dapat melakukan manuver ini.

Pada manuver Rubin II, tangan penolong persalinan dimasukan ke dalam

vagina dan dengan dua jari digitalis melakukan penekanan pada bagian posterior dari

bahu anterior agar mendekat ke arah dada janin. Hal ini menyebabkan bahu janin

bergerak ke arah diameter oblique. Gerakan ini akan mengadduksi bahu janin,

memutarnya ke depan sehingga semakin sesuai dengan diameter oblique. Jika

manuver Rubin II tidak berhasil, manuver Woods-Corkscrew dapat dilakukan.

Sementara kedua jari yang digunakan dalam manuver Rubin II tetap memberikan

tekanan, dokter ahli kandungan menggunakan tangan kedua untuk menggunakan 2

jari dan diletakan pada bagian anterior dari bahu posterior, melakukan dorongan ke

atas secara perlahan untuk memindahkan bahu posterior ke lingkaran oblique.

Gerakan ini menghasilkan banyak rotasi yang efektif dan dorongan ke arah bawah

harus tetap dilakukan selama dilakukan manuver ini. Jika manuver ini tetap gagal,

lakukan rotasi 180 derajat dan teruskan persalinan.

Jika manuver Rubin II dan Woods Corkscrew gagal, manuver woods

corkscrew reverse dapat dilakukan. Pada manuver ini, jari dokter ahli kandungan

yang menjadi penolong persalinan diletakan pada bagian belakang dari bahu posterior

janin lalu dilakukan putaran berlawanan dengan putaran pada manuver Rubin II atau

manuver Woods Corkscrew. Manuver ini menyebabkan adduksi dari bahu posterior

27

Page 28: Distosia Bahu

janin, bertujuan untuk melakukan putaran pada bahu agar menjauh dari posisi

impaksi dan mengarah pada jalur oblique dan siap untuk persalinan.

R : persalinan juga dapat dipermudah dengan cara melahirkan bahu posterior

(Evidence Level III,RCOG). manuver jacquimier secara efektif menurunkan

20% dari diameter bisacromial), memudahkan janin bergerak ke celah sacrum,

membebaskan impaksi pada bahu anterior dibawah simphisis pubis. Untuk

melakukan manuver ini, penekanan harus diakukan oleh penolong persalinan

pada fossa ante-kubiti untuk melenturkan lengan janin. Lengan janin secara

perlahan bergerak menjauh dari dada janin dan lahir mengikuti perineum.

Badan janin akan ikut lahir atau lengan yang sudah lahir dapat digunakan

untuk melakukan putaran pada badan janin untuk mempermudah proses

persalinan. Manuver ini hanya dapat dilakukan pada ibu yang besar (Evidence

Level III, RCOG), genggaman dan tarikan langsung pada lengan bayi dan

memberikan tekanan langsung pada pertengahan batang tulang humerus dapat

menyebabkan fraktur humeri namun dapat sembuh dengan sendirinya tanpa

kecacatan dalam waktu lama.

R : posisi ”all-fours” adalah posisi yang memanfaatkan gaya gravitasi dan

meningkatkan ruangan pada celah sacrum untuk memfasilitasi persalinan bahu

dan tangan posterior. Mengubah penopang menjadi tangan dan lutut akan

memberikan celah yang cukup untuk persalinan. Saat pasien sudah di reposisi,

dokter memberikan traksi ringan kebawah untuk melahirkan bahu posterior

dengan bantuan gravitasi. Posisi “all-fours” dapat digunakan pada semua

manipulasi persalina intravaginal untuk distosia bahu. Untuk wanita dengan

postur kecil tanpa anestesi epidural dan hanya ada satu penolong persalinan,

posisi äll-fours”adalah posisi yang paling tepat untuk persalinan (Evidence

Level III,RCOG)

Jika semua manuver yang dijelaskan dalam HELPERR mnemonic tidak

berhasil, beberapa teknik lain dipertimbangkan sebagai percobaan terakhir atau

manuver garis ke tiga, seperti :

28

Page 29: Distosia Bahu

1. Kleidotomi (mematahkan klavikula secara sengaja): memberikan tekanan ke atas

dengan 2 jadi pada bagian tengah klavikula janin menyebabkan penurunan lingkar

bisacromial namun secara signifikan meningkatkan resiko BPI dan cidera

pembuluh darah paru.

2. Manuver Zavanelli (penggantian kepala yang diikuti dengan secsio cesaria)

mungkin merupakan tindakan yang paling tepat untuk distosia pada kedua bahu

(Evidence Level III, RCOG) digunakan jika tidak ada manuver yang memberikan

hasil yang baik, tindakan ini sering dihubungkan dengan meningkatnya resiko

kecacatan dan kematian bayi serta kecacatan ibu.

3. Simpisiotomi (pemotongan kartilago fibrosa simfisis secara sengaja dengan

penggunaan lokal anestesi) sering mengakibatkan kecacatan pada ibu dan hasil

simfisiotomi akan melahirkan bayi yang tidak sehat (Evidence Level III, RCOG).

4. Histerotomi (sectio cesaria dalam pengaruh general anestesi) pemutaran bahu

janin trans-abdominal dengean persalinan pervaginam atau penggantian kepala

janin dan dilakukan persalinan perabdominal

5. General anestesi (pelemasan sistem muskulo-skeletal atau pelemasan uterine)

Penanganan post-partum

Sesudah persalinan, penolong persalinan harus mewaspadai perdarahan post

partum dan derajat 3 atau 4 dari laserasi perineum. Pada kasus BPI, terlepas dari

etiologinya, penatalaksanaan dari bayi harus dari berbagai aspek klinis meliputi

dokter spesialis anak, dokter spesialis neurologi anak, fisioterapis dan harus segera

dirujuk ke center trauma pleksus brachialis. Rencana penatalaksanaan harus

didiskusikan dengan baik pada orang tua bayi. Insiden distosia bahu cukup rendah

namun merupakan salah satu penyebab kegawatan medis, oleh karena itu sangat

penting untuk mendokumentasikan secara akurat kesulitan yag ditemui dan

kemungkinan adanya trauma pasca persalinan. Setelah semua komplikasi persalinan

tertangani dengan baik, analisis gas darah pada tali pusat harus dilakukan, inform

consent pada keluarga pasien harus dilakukan dan semua kejadian yang terjadi pada

29

Page 30: Distosia Bahu

proses persalinan harus didokumentasikan oleh setiap bagian yang terlibat dalam

persalinan. Orang tua biasanya akan mengalami trauma akibat persalinan dan mereka

berhak untuk mendapatkan keterangan yang lengkap dan akurat tentang persalinan

sesat setelah persalinan tentang manuver yang digunakan dan alasan dari tindakan

medis yang diambil. Laporan CESDI yang ke enam memberikan gambaran laporan

obstetrik yang adekuat dengan resiko mediko-legalnya.

Sangat penting untuk mencatat :

1. Waktu kelahiran kepala

2. arah kepala bayi setelah restitusi

3. manuver yang dilakukan, kapan dilakukan dan urutan dilakukan manuver

dalam persalinan

4. waktu kelahiran badan bayi

5. staf yang datang saat persalinan dan waktu staf tiba di tempat persalinan

6. kondisi bayi sesaat sesudah lahir (APGAR skor)

7. pengukuran kadar asam basa tali pusat

30

Page 31: Distosia Bahu

BAB V

KESIMPULAN

1. Distosia bahu termasuk dalam kedaruratan obsetri, sehingga dibutuhkan tindakan

segera.

2. Distosia bahu menyebabkan komplikasi serius pada ibu dan janin.

3. Faktor risiko distosia bahu dapat terjadi pada saat antepartum maupun

intrapartum.

4. Manajemen penanganan distosia bahu disebut ALARMER, yaitu:

a. Ask for help (Minta bantuan)

b. Lift/hyperflex Legs

c. Anterior shoulder disimpaction (disimpaksi bahu depan)

d. Rotation of the posterior shoulder (Pemutaran bahu belakang)

e. Manual removal posterior arm (mengeluarkan bahu belakang secara manual/

Manuver Jacquemier)

f. Episiotomi

g. Roll over onto ‘all fours’ (knee-chest position/ Manuver Gaskin)

31

Page 32: Distosia Bahu

DAFTAR PUSTAKA

1. Arulkumaran S, Symonds IM, Fowlie A eds (2003). Oxford Handbook of

Obstetrics and Gynaecology. Oxford: Oxford University Press: 388-9.

2. Cuningham, F Gary. 2006. Bab 19 Distosia: kelaianan presentasi, posisi, dan

perkembangan janin. Dalam: Obstetri William Edisi 21 Vol 1. Jakarta : EGC: 506-

10

3. Manuaba, Chandradinata. Manuaba, Fajar. dan Manuaba, I.B.G. 2007. Pengantar

Kuliah Obsetri. Jakarta:EGC.

4. Politi, S.,D’Emidio, L.,Cignini, P., et al. 2010. Shoulder dystocia: an Evidence-

Based approach. Journal of Prenatal Medicine 2010; 4 (3): 35-42. Diakses 8 Mei

2012 avaible from : UR L:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3279180/pdf

5. Rayburn, William F,. Carey, J Christopher, 2001. Bab 9 : Komplikasi-komplikasi

Intrapartum. Dalam: Obsetri dan Ginekologi. Jakarta : Widya Medika: 193-4

6. Hoffman, Matthew K., Bailit, Jennifer K., Branch, Ware., et al. 2011. A

Comparison of Obsetric Manuevers for the Acute Management of Sholder

Dystocia. American College of Obstricians and Gynecologist. Vol. 117, No. 6,

June 2011.

7. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. 2005. Shoulder

dystocia.Guideline No. 42. London: RCOG

8. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. 2012. Shoulder dystocia.

Green-top Guideline No. 42 2nd Edition. London: RCOG

9. Saifuddin, AB. 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan

Neonatal. Edisi Pertama. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo

10. Sarwono Prawirohardjo . 2005. Ilmu Kebidanan. Edisi Ketiga. Jakarta: Yayasan

Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

32