Tugas distosia bahu

25
BAB I PENDAHULUAN Insidensi distosia bahu amat bervariasi tergantung kriteria diagnosis yang digunakan. Sebagai contoh, Gross dan rekan (1987) berhasil mengidentifikasi 0,9 persen dari hampir 11.000 persalinan pervaginam yang dikategorikan sebagai mengalami distosia bahu di Toronto General Hospital. Meski demikian, distosia bahu sejati—yang baru didiagnosis ketika diperlukan manuver lain selain traksi ke bawah dan episiotomi untuk melahirkan bahu—hanya ditemukan pada 24 kelahiran (0,2 persen). Trauma nyata pada janin ditemukan hanya pada distosia bahu yang memerlukan manuver untuk melahirkan. Laporan-laporan terkini, yang membatasi diagnosis distosia bahu pada pelahiran yang memerlukan manuver, menyatakan insidensi yang bervariasi antara 0,6 sampai 1,4 persen (American College of Obstetricians and Gynecologists, 2000; Baskett and Allen, 1995; McFarland et al, 1995; Nocon et al, 1993). Berkisar dari 1 per 1000 bayi dengan berat badan kurang dari 3,500g, sampai 16 per 1000 bayi yang lahir di atas 4000 g. Di samping banyak studi untuk mengidentifikasi faktor predisposisi distosia bahu, lebih dari 50% kasus terjadi tanpa adanya faktor resiko. Distosia bahu dapat menjadi salah satu dari keadaan darurat yang paling menakutkan di kamar bersalin. Walaupun banyak faktor telah dihubungkan dengan distosia bahu, kebanyakan kasus terjadi dengan tidak ada peringatan. Kasus ini diangkat sebagai salah satu kejadian distosia bahu yang tidak diperkirakan sebelumnya dan bagaimana penanganan yang dilakukan dalam mengatasi masalah tersebut baik dalam hal maneuver yang dipilih dalam mengatasinya dan tindakan- tindakan yang dilakukan setelah bayi lahir, dalam hal ini termasuk

Transcript of Tugas distosia bahu

Page 1: Tugas distosia bahu

BAB I

PENDAHULUAN

Insidensi distosia bahu amat bervariasi tergantung kriteria diagnosis yang digunakan. Sebagai

contoh, Gross dan rekan (1987) berhasil mengidentifikasi 0,9 persen dari hampir 11.000 persalinan

pervaginam yang dikategorikan sebagai mengalami distosia bahu di Toronto General Hospital. Meski

demikian, distosia bahu sejati—yang baru didiagnosis ketika diperlukan manuver lain selain traksi ke

bawah dan episiotomi untuk melahirkan bahu—hanya ditemukan pada 24 kelahiran (0,2 persen). Trauma

nyata pada janin ditemukan hanya pada distosia bahu yang memerlukan manuver untuk melahirkan.

Laporan-laporan terkini, yang membatasi diagnosis distosia bahu pada pelahiran yang memerlukan

manuver, menyatakan insidensi yang bervariasi antara 0,6 sampai 1,4 persen (American College of

Obstetricians and Gynecologists, 2000; Baskett and Allen, 1995; McFarland et al, 1995; Nocon et al,

1993). Berkisar dari 1 per 1000 bayi dengan berat badan kurang dari 3,500g, sampai 16 per 1000 bayi

yang lahir di atas 4000 g.

Di samping banyak studi untuk mengidentifikasi faktor predisposisi distosia bahu, lebih dari

50% kasus terjadi tanpa adanya faktor resiko. Distosia bahu dapat menjadi salah satu dari keadaan

darurat yang paling menakutkan di kamar bersalin. Walaupun banyak faktor telah dihubungkan dengan

distosia bahu, kebanyakan kasus terjadi dengan tidak ada peringatan. Kasus ini diangkat sebagai salah

satu kejadian distosia bahu yang tidak diperkirakan sebelumnya dan bagaimana penanganan yang

dilakukan dalam mengatasi masalah tersebut baik dalam hal maneuver yang dipilih dalam mengatasinya

dan tindakan-tindakan yang dilakukan setelah bayi lahir, dalam hal ini termasuk resusitasi neonatus.

Semoga dengan dibawakannya kasus ini dapat menjadi pelajaran bagi kita akan kasus tersebut.

Page 2: Tugas distosia bahu

BAB II

Ilustrasi Kasus

Ny. M, 29 tahun, datang ke kamar bersalin RS Fatmawati pada tanggal 12 Oktober 2006 pukul

05.00 WIB dirujuk bidan dengan keterangan tekanan darah tinggi. Pasien mengaku hamil 9 bulan dengan

hari pertama haid terakhir (HPHT) 1 Januari 2006 dan taksiran partus (TP) 8 Okrober 2006, sesuai

dengan hamil 41 minggu. Selama ini pasien memeriksakan kehamilannya di bidan secara teratur. Pada

pasien tidak ada keluhan demam, batuk pilek dan keputihan. Buang air besar dan buang air kecil pasien

juga tidak ada keluhan. Riwayat tekanan darah tinggi selama kehamilan dan pada kehamilan sebelumnya

tidak ada, pasien mengeluh mules-mules, gerakan janin dirasakan normal dan keluar air-air sejak 3 jam

yang lalu. Riwayat penyakit dahulu dan keluarga tidak ada yang bermakna. Pasien adalah seorang ibu

rumah tangga, kehamilan ini merupakan kehamilan yang ketiga.

Anak pertama dan kedua lahir spontan di bidan dengan berat lahir masing-masing 2100 gram dan

3800 gram, usia 9 tahun dan 4 tahun, tidak ada penyulit dalam kehamilan dan kelahiran sebelumnya.

Pasien menikah satu kali pada bulan Juni 1994. Pasien belum pernah menggunakan kontrasepsi

sebelumnya. Siklus haid sebelum hamil teratur dengan siklus 30 hari, lama menstruasi 5 hari, 3 kali ganti

pembalut perhari dan tidak ada keluhan nyeri haid sebelumnya. Pasien haid pertama kali di usia 14 tahun.

Melalui hasil pemeriksaan fisik pasien pada saat datang didapatkan keadaan umum baik, kesadaran

kompos mentis, tekanan darah 180/110 mmHg, frekuensi nadi 92 kali permenit, suhu 36,9 C dan

frekuensi nafas 20 kali permenit dengan status generalis lain dalam batas normal dengan edema pada

extrimitas.

Pada pemeriksaan status obstetrikus didapatkan tinggi fundus uteri (TFU) 39 cm, presentasi

kepala, taksiran berat janin (TBJ) 3700 gram, his 3x/10 menit lamanya 40 detik dengan kekuatan sedang

relaksasi baik, dan denyut jantung janin (DJJ) 140 dpm. Hasil inspeksi vulva dan uretra tenang. Pada

pemeriksaan dalam diperoleh porsio tipis, pembukaan 7 cm dengan kepala di Hodge II, UUK kiri lintang

dan selaput ketuban negatif. Hasil pelvimetri klinis kesan panggul luas dengan imbang feto-pelvik baik

Pemeriksaan ultrasonography (USG) di kamar bersalin tampak janin presentasi kepala tunggal hidup

intra uterin dengan diameter biparietal (DBP) 9,6 cm, abdominal circumference (AC) 34,5 cm, femur

length (FL) 7,5 cm, head circumference (HC) 34,2 cm dengan taksiran berat janin (TBJ) 3650 gram,

plasenta di fundus dan index cairan amnion (ICA) 8. Kesan hamil aterm janin presentasi kepala tunggal

hidup (JPKTH).Pemeriksaan laboratorium ditemukan hemoglobin 11,8 g/dl, hematokrit 34%, leukosit

Page 3: Tugas distosia bahu

18.200/ul, trombosit 261.000/ul, MCV 91 fl, MCH 32 pg, dan MCHC 35 g/dl, gula darah sewaktu 76

mg/dl Hasil urinalisis didapatkan protein positif dua. Hasil cardiotokography (CTG) janin reaktif

dengan frekuensi dasar 146, variabilitas 5 -20 dengan akselerasi dan tanpa deselerasi.Berdasarkan data

yang ada ditegakkan diagnosis G3P2 hamil 41 minggu, janin presentasi kepala tunggal hidup dengan

ketuban pecah 3 jam, air ketuban berkurang, PK I aktif dengan Pre-eklampsia berat. Setelah dilakukan

analisis terhadap masalah tersebut diputuskan untuk dilakukan persalina pervaginam dengan observasu

ketat terhadap his, denyut jantung janin, tanda vital ibu dan tanda-tanda infeksi intra-partum maupun

kompresi tali pusat selama persalinan, serta observasi terhadap tanda-tanda perburukan PEB.

Pasien mendapatkan terapi antibiotik intravena kedacillin 3x1 g, dan tatalaksana PEB. Dalam 2

jam observasi pasien mengeluh ingin meneran, tanpa adanya keluhan yang mengarah kepada perburukan

PEB, gerak janin saat itu masih dirasakan normal oleh pasien. Tekanan darah 180/100 mmHg, frekuensi

nadi 104 x/mnt, suhu afebris dan frekuensi nafas 24 x/mnt dan status generalis lain dalam batas normal.

Pada status obstetrikus didapatkan his 3x dalam 10 menit durasi 50 detik sedang relaksasi baik dengan djj

130 dpm, pemeriksaan dalam sesuai dengan PK II, kepala di Hodge III+ dan ubun-ubun kiri lintang,

moulage dan kaput tidak ada. Ditegakkan masalah PK II dengan PEB tekanan darah fluktuatif dan

direncanakan untuk mempercepat persalinan dengan ekstraksi vakum. Dengan ekstraksi vakum lahir

kepala bayi dalam 5 menit, cup vakum dilepaskan dan jalan nafas bayi dibersihkan, dengan pegangan

biparietal dicoba dilahirkan seluruh bagian janin, namun sulit, kesan terjadi distosia bahu, dilakukan

manuver McRobert bahu masih belum lahir, dilakukan woods cockscrew manuver.

Lahir berturut-turut bahu depan,belakang Dengan tarikan pada ketiak, dilahirkan badan, bokong,

kaki dalam waktu 7-8 menit. Lahir bayi laki-laki, BL 3900 g, PB 51 cm, AS 1/3/5, kaput (+). Bayi tidak

menangis, djj < 100 dpm, pucat, lethargi, air ketuban hijau kesan bayi tidak bugar, dicoba untuk

melakukan intubasi namun tidak dapat dilakukan karena alat tidak ada, dilakukan resusitasi neonatus dgn

VTP, pemberian Meylon 6 cc dan Adrenalin 1 cc, selanjutnya perawatan oleh teman sejawat dokter anak.

Lima belas menit setelah bayi lahir, lahir plasenta lengkap 500 gram dengan panjang tali pusat 48 cm dan

ukuran 17 cm x 16 cm x 3 cm. Pada eksplorasi selanjutnya didapatkan luka episiotomi sesuai ruptur

perineum grade II. Perdarahan kala III-IV 250 cc.Pasien sempat dirawat 2 hari di ruangan dan kemudian

pulang dalam keadaan baik dengan hasil TTGO normal. Bayi meninggal dalam 3 hari perawatan di

NICU. Selama perawatan di NICU, bayi tidak pernah dijenguk oleh keluarganya dan obat-obatan tidak

ada yang menebusnya sehingga selama perawatan di NICU bayi tidak mendapatkan pengobatan apapun.

Page 4: Tugas distosia bahu

BAB III

Kepustakaan dan Pembahasan

Terdapat sejumlah bukti bahwa insidensi distosia bahu meningkat sejak tahun 1960 sampai 1980

(Hopwood, 1982). Hal ini tampaknya disebabkan oleh peningkatan berat lahir. Modanlou dan rekan

(1982) menyatakan bahwa neonatus yang mengalami distosia bahu memiliki disproporsi bahu-kepala

dan dada-kepala yang secara nyata lebih besar dibanding dengan bayi lain yang sama-sama makrosomik

yang dilahirkan tanpa distosia. Tampaknya kecenderungan peningkatan insidensi distosia bahu

sebagian disebabkan oleh meningkatnya perhatian terhadap dokumentasinya yang tepat (Nocon dan

rekan, 1993).

Definisi :

- Impaksi bahu depan di atas symphysis

- Ketidak-Mampuan untuk melahirkan bahu dengan metoda umum

Setelah kepala lahir, terjadi impaksi bahu depan pada symphysis pubis dalam diameter AP, sedemikian

rupa sehingga sisa badan tidak dapat dilahirkan dengan metode umum. Mungkin terjadi ketiadaan rongga

antara Kepala bayi terhadap panggul maternal umumnya dikanal sebagai " tanda kura-kura". Dalam hal

ini resusitasi tidak mungkin dilakukan. Distosia bahu terutama disebabkan oleh deformitas panggul,

kegagalan bahu untuk melipat kedalam panggul (mis. pada makrosomia) disebabkan oleh fase aktif dan

persalinan kala II yang pendek pada multipara, sehingga penurunan kepala yang terlalu cepat akan

menyebabkan bahu tidak melipat pada saat melalui jalan lahir atau kepala telah melalui pintu tengah

panggul setelah mengalami pemanjangan kala II sebelum bahu berhasil melipat masuk ke dalam panggul.

Penggunaan manuver untuk menetapkan adanya distosia bahu telah menuai kritik (Beall et al,

1998; Spong et al, 1995). Pada pelahiran yang diperkirakan akan terjadi distosia bahu, satu atau lebih

manuver mungkin digunakan sebagai profilaksis, tapi diagnosis distosia bahu tidak tercatat. Pada kasus

lain, satu atau lebih manuver digunakan dan menghasilkan penyelesaian distosia bahu dengan cepat dan

hasil akhir yang baik, dan diagnosisnya tidak jelas. Spong dan rekan (1995) mencoba mendefinisikan

distosia bahu secara lebih obyektif dengan menyaksikan 250 pelahiran yang dipilih secara acak dan

menghitung interval waktu sejak pelahiran kepala, bahu, sampai pelahiran lengkap seluruh anggota

badan.

Page 5: Tugas distosia bahu

Insidensi yang didefinisikan sebagai penggunaan manuver obstetrik lebih tinggi daripada yang

dilaporkan sebelumnya (11 persen); namun, hanya setengah dari kasus ini yang terdeteksi oleh dokter.

Rerata waktu pelahiran kepala-sampai-tubuh pada kelahiran normal adalah 24 detik, dibanding 79 detik

pada kasus-kasus distosia bahu. Mereka mengajukan bahwa waktu pelahiran kepala-sampai-tubuh yang

lebih dari 60 detik dianggap sebagai distosia bahu.

Komplikasi distosia bahu meliputi:

- Fetal/Neonatal

- Kematian

- Hypoxia/Asphyxia Dan Sequelae

- Perlukaan kelahiran

- Faktur klavikula-humerus

- kelumpuhan plexus brakhialis

- Maternal

- Perdarahan postpartum

- Atoni

- Laseasi jalan lahir

- Ruptur uteri

Asfiksia janin sekunder akibat kompesi tali pusat dapat mengakibatkan kerusakan syaraf permanen dan

bahkan kematian. Dalam menggunakan bayi monyet pH bayi turun 0.04/min ketika tali pusat secara total

dihambat. Jadi, jika terjadi sumbatan total tali pusat selam 7 menit, pH hanya akan turun 0.28. Dalam

distosia bahu, kecuali jika tali pusat telah dijepit dan dipotong maka sirkulasi ibu janin telah tiada

sehingga kemungkinan untuk terjadi hypoxia janin akan semakin berkurang . Rusaknya plexus brachialis

umumnya terjadi akibat traksi lateral kepala janin yang berlebihan. Kerusakan akar syaraf umumnya

terjadi setinggi C5 Dan C6 yang dapat berakibat lumpuh Erb-Duchenne.

Page 6: Tugas distosia bahu

KONSEKUENSI PADA IBU. Perdarahan pospartum , biasanya disebabkan oleh atonia uteri, tapi bisa

juga akibat laserasi vagina dan serviks, merupakan risiko utama kematian ibu (Benedetti dan Gabbe,

1978; Parks dan Ziel, 1978). Infeksi masa nifas setelah seksio sesarea tetap merupakan suatu masalah.

KONSEKUENSI PADA JANIN. Distosia bahu dapat dihubungkan dengan morbiditas dan bahkan

mortalitas janin yang signifikan. Gherman dan rekan (1998) meninjau 285 kasus distosia bahu dan 25

persennya dihubungkan dengan cedera pada janin. Kecacatan pleksus brakhialis sesaat adalah jenis cedera

yang paling sering, mencapai dua pertiga kasus; 38 persen mengalami fraktur klavikula, dan 17 persen

menderita fraktur humerus. Terdapat satu kasus kematian neonatal, dan empat bayi mengalami cedera

pleksus brakhialis persisten. Pada rangkaian penelitian ini, hampir separuh kasus distosia bahu

memerlukan manipulasi janin langsung, seperti manuver Woods, selain prosedur McRoberts, untuk

membebaskan bahu yang terjepit. Namun, dibanding penggunaan prosedur McRoberts sendiri,

manipulasi janin langsung tidak dihubungkan dengan peningkatan angka cedera janin.

CEDERA PLEKSUS BRAKHIALIS. Cedera pada pleksus brakhialis dapat terletak di bagian atas atau

bawah dari pleksus tersebut. Hal ini biasanya terjadi akibat traksi pleksus brakhialis ke bawah pada

pelahiran bahu depan. Erb palsy terjadi akibat cedera pada saraf spinalis C5-6 dan terkadang juga C7

Kelainan ini terdiri atas paralisis otot-otot bahu dan lengan atas yang mengakibatkan lengan atas

menggantung yang dapat mencapai siku. Keterlibatan saraf-saraf spinal bawah (C7-T1) selalu melibatkan

cedera pada saraf di atasnya dan menyebabkan kecacatan termasuk pada tangan, yang dapat

mengakibatkan deformitas clawhand. Hardy (1981) mempelajari prognosis pada 36 bayi dengan cedera

pleksus brakhialis. Yang menarik, distosia bahu ditemukan hanya pada 10 kasus, dan dua di antaranya

dilahirkan per abdominam. Hampir 80 persen dari anak-anak ini sembuh sempurna dalam waktu 13

bulan, dan di antara yang mengalami defek residual tidak ada yang menderita defisit sensorik maupun

motorik berat pada tangan. Jennett dan rekan (1992) serta Gherman dan rekan (1999) mengajukan bukti

bahwa cedera pleksus brakhialis dapat mendahului pelahiran itu sendiri dan dapat terjadi bahkan sebelum

persalinan.

FRAKTUR KLAVIKULA. Fraktur klavikula relatif sering terjadi dan telah didiagnosis pada 0,4

persen bayi yang dilahirkan per vaginam di Parkland Hospital (Roberts et al, 1995). Fraktur jenis ini,

meski terkadang dihubungkan dengan distosia bahu, sering terjadi tanpa kejadian klinis apapun

yang mencurigakan. Para peneliti menyimpulkan bahwa fraktur klavikula tersendiri tidak dapat dihindari

dan diramalkan serta tidak memiliki konsekuensi klinis apapun (Chez et al, 1994; Roberts et al, 1995).

Page 7: Tugas distosia bahu

PERKIRAAN DAN PENCEGAHAN DISTOSIA BAHU. Terjadi evolusi pemikiran yang cukup besar di

bidang obstetrik mengenai kemampuan untuk mencegah distosia bahu selama dua dekade terakhir.

Selama tahun 1970an, saat praktek seksio sesarea meningkat dengan cepat, diharapkan sejumlah faktor

risiko pada kehamilan dapat digunakan untuk mengidentifikasi wanita yang membutuhkan seksio sesarea

untuk mengatasi distosia bahunya. Namun, selama tahun 1980an, tampak jelas bahwa angka persalinan

sesar cenderung berlebihan. Juga menjadi jelas bahwa meramalkan—untuk kemudian mencegah—

distosia bahu tidaklah mudah. Meski tampaknya beberapa faktor risiko jelas berhubungan dengan

distosia bahu, tidak mungkin dilakukan identifikasi aktual terhadap contoh-contoh individual sebelum

faktanya dibuktikan.

FAKTOR RISIKO. Sejumlah karakteristik pada ibu, janin dan intrapartum sering dihubungkan dengan

terjadinya distosia bahu (Baskett dan Allen, 1995; Nesbitt et al, 1998; Nocon et al, 1993). Beberapa faktor

risiko pada ibu, termasuk obesitas, multiparitas, dan diabetes, berpengaruh terhadap distosia bahu akibat

hubungannya dengan peningkatan berat lahir. Contohnya, Keller dan rekan (1991) mengidentifikasi

distosia bahu pada 7 persen dari kehamilan dengan penyulit diabetes gestasional. Serupa dengan hal

itu, hubungan antara kehamilan lewat waktu dengan distosia bahu tampaknya disebabkan karena banyak

janin terus tumbuh setelah usia 42 minggu .Penyulit intrapartum yang dihubungkan dengan distosia

bahu adalah pelahiran dengan forseps tengah (midforceps) serta persalinan kala satu dan kala dua yang

memanjang (Baskett dan Allen, 1995; Nocon et al, 1993). Namun, McFarland dan rekan (1995), dengan

menggunakan kelompok kontrol yang setara, menemukan bahwa kelainan pada persalinan kala satu dan

kala dua bukan merupakan petanda klinis yang berguna untuk meramalkan terjadinya distosia bahu.

Faktor Resiko

- Kehamilan Post-Term

- Maternal obesitas

- Makrosomia janin

- Riwayat distosia bahu sebelumnya

- Persalinan yang prolonged

- Kencing manis yang kurang terkontrol

Page 8: Tugas distosia bahu

Walaupun banyak orang berasumsi bahwa kencing manis adalah faktor resiko yang utama untuk

distosia bahu, hal ini hanya terjadi jika diabetes yang kurang terkontrol dan berhubungan dengan maternal

obesitas. Maternal obesitas Dan kehamilan Post-Term adalah faktor yang paling sering mengakibatkan

terjadinya suatu distosia bahu. Benang merah yang menghubungkan semua laporan penelitian mengenai

faktor risiko untuk distosia bahu adalah peningkatan berat lahir (Nesbitt et al, 1998). Tabel dibawah ini

menyajikan insidensi distosia bahu yang dihubungkan dengan pengelompokan berat lahir di Parkland

Hospital selama tahun 1994. Jelas terlihat bahwa distosia bahu lebih sering terjadi pada berat lahir yang

lebih besar; meski demikian, hampir separuh kelahiran dengan distosia bahu memiliki berat kurang dari

4000 g. Kenyataannya, Nocon dan rekan (1993) menemukan distosia bahu pada bayi dengan berat lahir

2260 g. Walaupun demikian, sejumlah penulis (O'Leary, 1992) menyarankan untuk mengidentifikasi

makrosomia dengan ultrasonografi dan untuk lebih bebas melakukan seksio sesarea pada distosia bahu.

Yang lain tidak setuju dengan konsep bahwa seksio sesarea diindikasikan untuk setiap janin yang

diketahui berukuran besar, bahkan pada janin yang diperkirakan beratnya lebih dari 4500 g. Rouse dan

Owen (1999) menyimpulkan bahwa kebijakan untuk melakukan seksio sesarea profilaktik untuk

bayi-bayi makrosomik akan menyebabkan dilakukannya lebih dari 1000 pelahiran sesar untuk

menghindari satu cedera pleksus brakhialis permanen. The American College of Obstetricians and

Gynecologists (2000) menyimpulkan bahwa keputusan untuk melakukan seksio sesarea pada semua

wanita yang diduga mengadung janin makrosomik adalah tidak tepat, kecuali terdapat kemungkinan berat

lahir bayi lebih dari 5000 g pada wanita non-diabetik dan lebih dari 4500 pada wanita yang menderita

diabetes.

RIWAYAT DISTOSIA BAHU SEBELUMNYA. Smith dan rekan (1994) mengidentifikasi kasus

distosia bahu rekuren pada 5 dari 42 wanita (12 persen). Tujuh dari para wanita ini melahirkan bayi yang

lebih berat dibandingkan sebelumnya, tapi hanya dua yang mengalami distosia bahu rekuren. Sebaliknya,

Baskett dan Allen (1995) mendapati risiko rekurensi distosia bahu yang lebih kecil (1 sampai 2 persen).

Page 9: Tugas distosia bahu

KESIMPULAN. The American College of Obstetricians and Gynecologists (1997, 2000) meninjau

penelitian-penelitian yang diklasifikasikan menurut metode evidence-based yang dikeluarkan oleh the

United States Preventive Services Task Force. Hasilnya menyimpulkan bahwa sebagian besar bukti-bukti

terbaru sejalan dengan pandangan bahwa:

1. Sebagian besar kasus distosia bahu tidak dapat diramalkan atau dicegah karena tidak ada metode yang

akurat untuk mengidentifikasi janin mana yang akan mengalami komplikasi ini.

2. Pengukuran ultrasonik untuk memperkirakan makrosomia memiliki akurasi yang terbatas.

3. Seksio sesarea elektif yang didasarkan atas kecurigaan adanya makrosomia bukan merupakan strategi

yang beralasan.

4. Seksio sesarea elektif dapat dibenarkan pada wanita non-diabetik dengan perkiraan berat lahir janin

lebih dari 5000 g atau wanita diabetik yang berat lahir janinnya diperkirakan akan melebihi 4500 g.

Pada kasus ini distosia bahu tidak diperkirakan sebelumnya karna taksiran berat janin pasien per USG

3650 gram (walaupun dengan kemungkinan kesalahan taksiran berat janin 20%, namun pasien pernah

melahirkan bayi 3800 gram sebelumnya tanpa adanya kesulitan dalam persalinan. Ternyata bayi lahir

dengan berat badan 3900 gram dan terjadi distosia bahu. Hal ini mungkin terjadi akibat lebar bahu pada

bayi tersebut mungkin jauh lebih lebar dibandingkan lebar bahu pada kelahiran sebelumnya walaupun

perbedaan berat lahir hanya 100 gram.

PENATALAKSANAAN. Karena distosia bahu tidak dapat diramalkan, pelaku praktek obstetrik harus

mengetahui betul prinsip-prinsip penatalaksanaan penyulit yang terkadang dapat sangat melumpuhkan

ini. Pengurangan interval waktu antara pelahiran kepala sampai pelahiran badan amat penting untuk

bertahan hidup. Usaha untuk melakukan traksi ringan pada awal pelahiran, yang dibantu dengan gaya

dorong ibu, amat dianjurkan. Traksi yang terlalu keras pada kepala atau leher, atau rotasi tubuh

berlebihan, dapat menyebabkan cedera serius pada bayi.Beberapa ahli menyarankan untuk melakukan

episiotomi luas dan idealnya diberikan analgesi yang adekuat. Tahap selanjutnya adalah membersihkan

mulut dan hidung bayi. Setelah menyelesaikan tahap-tahap ini, dapat diterapkan berbagai teknik untuk

membebaskan bahu depan dari posisinya yang terjepit di bawah simfisis pubis ibu:

Page 10: Tugas distosia bahu

1. Penekanan suprapubik sedang dilakukan oleh seorang asisten sementara dilakukan traksi ke bawah

terhadap kepala bayi.

2. Manuver McRoberts yang ditemukan oleh Gonik dan rekan (1983) dan dinamai sesuai nama William

A. McRoberts, Jr., yang mempopulerkan penggunaannya di University of Texas di Houston. Manuver ini

terdiri atas mengangkat tungkai dari pijakan kaki pada kursi obstetris dan memfleksikannya sejauh

mungkin ke abdomen. Gherman dan rekan (2000) menganalisa manuver McRoberts dengan pelvimetri

radiologik. Mereka mendapati bahwa prosedur yang menyebabkan pelurusan relatif sakrum terhadap

vertebra lumbal, bersama dengan rotasi simfisis pubis ke arah kepala ibu yang menyertainya serta

pengurangan sudut kemiringan panggul. Meski manuver ini tidak memperbesar ukuran panggul, rotasi

panggul ke arah kepala cenderung membebaskan bahu depan yang terjepit. Gonik dan rekan (1989)

menguji posisi McRoberts secara obyektif pada model di laboratorium dan menemukan bahwa

manuver ini mampu mengurangi tekanan ekstraksi pada bahu janin.

Page 11: Tugas distosia bahu

3. Woods (1943) melaporkan bahwa, dengan memutar bahu belakang secara progresif sebesar 180 derajat

dengan gerakan seperti membuka tutup botol, bahu depan yang terjepit dapat dibebaskan. Tindakan ini

sering disebut sebagai manuver corkscrew Woods.

4. Pelahiran bahu belakang meliputi penyusuran lengan belakang janin secara hati-hati hingga mencapai

dada, yang diikuti dengan pelahiran lengan tersebut. Cingulum pektorale kemudian diputar ke arah

salah satu diameter oblik panggul yang diikuti pelahiran bahu depan.

5. Rubin (1964) merekomendasikan dua manuver. Pertama, kedua bahu janin diayun dari satu sisi ke sisi

lain dengan memberikan tekanan pada abdomen. Bila hal ini tidak berhasil, tangan yang berada di

panggul meraih bahu yang paling mudah diakses, yang kemudian didorong ke permukaan anterior bahu.

Hal ini biasanya akan menyebabkan abduksi kedua bahu, yang kemudian akan menghasilkan diameter

antar-bahu dan pergeseran bahu depan dari belakang simfisis pubis.

Page 12: Tugas distosia bahu

dfvsvsd6. Hibbard (1982) menganjurkan untuk menekan dagu dan leher janin ke arah rektum ibu, dan

seorang asisten menekan kuat fundus saat bahu depan dibebaskan. Penekanan kuat pada fundus yang

dilakukan pada saat yang salah akan mengakibatkan semakin terjepitnya bahu depan. Gross dan rekan

(1987) melaporkan bahwa penekanan fundus tanpa disertai manuver lain akan "menyebabkan angka

komplikasi sebesar 77 persen dan erat dihubungkan dengan kerusakan ortopedik dan neurologik (janin)."

7. Sandberg (1985) melaporkan penggunaan manuver Zavanelli untuk mengembalikan kepala ke

dalam rongga panggul dan kemudian melahirkan secara sesar. Bagian pertama dari manuver ini adalah

mengembalikan kepala ke posisi oksiput anterior atau oksiput posterior bila kepala janin telah berputar

dari posisi tersebut. Langkah kedua adalah memfleksikan kepala dan secara perlahan mendorongnya

masuk kembali ke vagina, yang diikuti dengan pelahiran secara sesar. Terbutaline (250 µ g, subkutan)

diberikan untuk menghasilkan relaksasi uterus. Sandberg (1999) kemudian meninjau 103 laporan kasus

yang menerapkan manuver Zavanelli. Manuver ini berhasil pada 91 persen kasus presentasi kepala dan

pada semua kasus terjepitnya kepala pada presentasi bokong. Cedera pada janin biasa terjadi pada

keadaan-keadaan sulit yang menerapkan manuver Zavanelli; terdapat delapan kasus kematian

neonatal, enam kasus lahir mati, dan 10 neonatus menderita kerusakan otak. Ruptur uteri juga pernah

dilaporkan.

8. Fraktur klavikula yang dilakukan secara sengaja dengan cara menekan klavikula anterior terhadap

ramus pubis dapat dilakukan untuk membebaskan bahu yang terjepit. Namun, pada praktiknya, sulit

mematahkan klavikula secara sengaja pada bayi besar. Fraktur klavikula biasanya akan sembuh dengan

cepat, dan tidak seserius cedera nervus brakhialis, asfiksia atau kematian.

9. Kleidotomi, yaitu memotong klavikula dengan gunting atau benda tajam lain, dan biasanya dilakukan

pada janin mati (Schramm, 1983).

10.Simfisiotomi tampaknya juga dapat diterapkan dengan sukses, seperti dijelaskan oleh Hartfield (1986).

Goodwin dan rekan (1997) melaporkan tiga kasus yang mengerjakan simfisiotomi setelah manuver

Zavanelli gagal—ketiga bayi mati dan terdapat morbiditas ibu yang signifikan akibat cedera traktus

urinarius.

Page 13: Tugas distosia bahu

Manajemen ALARMER :

A Ask for help (Minta bantuan)

L Lift/hyperflex Legs

- Hyperflexi kedua kaki ( McRobert's Manoeuver)

- Distosia Bahu umumnya dapat tertanggulangi sampai dengan 70% kasus oleh manoeuver ini.

A Anterior shoulder disimpaction (disimpaksi bahu depan)

- Pendekatan secara abdominal à penekanan suprapubic terhadap bahu depan (Mazzanti Manuver)

- Pendekatan pervaginal à Adduction bahu depan dengan tekanan untuk mempermudah aspek bahu

belakang( yaitu. bahu didorong ke arah dada) dimana hal Ini menghasilkan diameter tekecil ( Rubin

Manuver)

R Rotation of the posterior shoulder (Pemutaran bahu belakang)

- Seperti sekrup manoeuver. Bahu belakang diputar 180° menjadi bahu depan.

M Manual removal posterior arm (mengeluarkan bahu belakang secara manual)

E Episiotomy

R R oll over onto ‘all fours’(knee-chest position)

Hindari :

- Panik

- Menarik

- Mendorong

- Pivot (mengalungasi kepala secara paksa menggunakan coxy sebagai fulcrum )

Page 14: Tugas distosia bahu

Jika cara-cara tersebut diatas telah dicoba berulang kali namun tidak berhasil, ada cara-cara lain yang

diusulkan, yaitu:

1. Patahkan tulang klavikula atau humerus

2. Symphysiotomy

3. Zavenelli manoeuver ( cephalic rep[lacement)- membalikkan gerakan

perputaran dalam persalinan. Putar kepala ke OA, fleksikan, dorong keatas, putar menjadi lintang,

disengage dan lakukan suatu seksio sesarea

Yang harus dikerjakan setelah distosia bahu terjadi :

1. Selalu ingat akan adanya resiko perlukaan jalan lahir ibu dan perdarahan postpartum. Penanganan aktif

kala tiga. Meriksa dan memperbaiki laserasi jalan lahir.

2. Lakukan resusitasi bayi yang sesuai dan benar. Mencari adanya trauma pada bayi.

3. Setiap kejadian distosia bahu harus didokumentasikan dan manoeuvers apa yang digunakan untuk

mengatasinya harus diuraikan sepenuhnya.

4. Informed consent kepada pasien dan keluarga.

Hernandez dan Wendel (1990) menyarankan perlunya pelatihan distosia bahu untuk mengatur

penatalaksanaan darurat bahu yang terjepit dengan lebih baik. Pelatihan itu merupakan seperangkat

manuver yang dilakukan secara sekuensial seperti yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pelahiran per

vaginam. The American College of Obstetricians and Gynecologists (1991) merekomendasikan

langkah-langkah berikut ini—urut-urutannya bergantung pada pengalaman dan pilihan pribadi masing-

masing operator:

1. Panggil bantuan—mobilisasi asisten, anestesiolog, dan dokter anak. Pada saat ini dilakukan upaya

untuk melakukan traksi ringan. Kosongkan kandung kemih bila penuh.

2. Lakukan episiotomi luas (mediolateral atau episioproktotomi) untuk memperluas ruangan di

posterior.

Page 15: Tugas distosia bahu

3. Penekanan suprapubik digunakan pada saat awal oleh banyak dokter karena alasan kemudahannya.

Hanya dibutuhkan satu asisten untuk melakukan penekanan suprapubik sementara traksi ke bawah

dilakukan pada kepala janin.

4. Manuver McRoberts memerlukan dua asisten. Tiap asisten memegangi satu tungkai dan

memfleksikannya paha ibu tajam ke arah abdomen.

Manuver-manuver ini biasanya dapat mengatasi sebagian besar kasus distosia bahu. Namun, bila manuver

ini gagal, langkah-langkah berikut dapat dicoba:

5. Manuver corkscrew Woods

6. Pelahiran lengan belakang dapat dicoba, tapi bila lengan belakang dalam posisi ekstensi sempurna, hal

ini biasanya sulit dilakukan.

7. Teknik-teknik lain sebaiknya hanya dilakukan pada kasus-kasus ketika manuver lain telah gagal.

Yang termasuk dalam teknik ini adalah fraktur klavikula atau humerus depan dengan sengaja dan

manuver Zavanelli.

Penanganan distosia bahu pada kasus ini sudah benar. Awalnya kepala bayi dilahirkan dengan

menggunakan vakum ekstraksi karna pasien juga menderita pre-eklampsia berat dengan tekanan darah

yang masih fluktuatif pada saat pasien memasuki kala II. Dalam 5 menit kepala bayi lahir tanpa adanya

kesulitan, dan bahu dapat dilahirkan dalam waktu 7-8 menit dengan menggunakan wood’s

cookscrew manuver. Tetapi pada kasus ini sempat terjadi turtle sign dimana kemungkinan tali pusat

terjepit selama terjadinya distosia bahu dan kemungkinan rongga dada bayi tidak dapat berkembang

selama distosia bahu karna ruangan yang terlalu sempit antara rongga dada bayi dengan panggul ibu.

Setelah bayi lahir sebenarnya kemungkinan bayi masih dapat terselamatkan dengan apgar score 1/3/5,

namun karna selama perawatan bayi di NICU keluarga pasien tidak ada yang pernah menjenguk dan

menebus obat-obatan yang telah diresepkan, jadi selama perawatan bayi, tidak ada obat-obatan yang

diberikan. Bayi meninggal pada hari ke 3 perawatan dengan penyebab kematian asfiksia berat.

Page 16: Tugas distosia bahu

BAB IV

Kesimpulan

1. Selalu antisipasi dan siap-siap akan kemungkinan terjadinya suatu distosia bahu karna sebagian

besar kasus terjadi tanpa diduga sebelumnya dan tanpa adanya suatu faktor resiko.

2. Selalu ingat akan tatalaksana distosia bahu (ALARMER)

3. Bila distosia bahu terjadi, jangan panik, jangan menarik, jangan mendorong dan jangan memutar

kepala bayi dengan menggunakan leher atau kepala bayi.

Page 17: Tugas distosia bahu

BAB V

Referensi

1. Sokol RJ, Blackwell SC, for the American College of Obstetricians and Gynecologists. Committee on

Practice Bulletins-Gynecology. ACOG practice bulletin no. 40: shoulder dystocia. November 2002

(replaces practice pattern no. 7, October 1997). Int J Gynaecol Obstet 2003;80:87-92.

2. Mocanu EV, Greene RA, Byrne BM, Turner MJ. Obstetric and neonatal outcomes of babies weighing

more than 4.5 kg: an analysis by parity. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol 2000;92:229-33.

3. Sandmire HF, DeMott RK. Erb's palsy: concepts of causation. Obstet Gynecol 2000;95(6 pt 1):941-2.

4. Lam MH, Wong GY, Lao TT. Reappraisal of neonatal clavicular fracture: relationship between infant

size and neonatal morbidity. Obstet Gynecol 2002;100:115-9.

5. Irion O, Boulvain M. Induction of labour for suspected fetal macrosomia. Cochrane Database Syst Rev

2003;(2):CD000938.

6. Boulvain M, Stan C, Irion O. Elective delivery in diabetic pregnant women. Cochrane Database Syst

Rev 2003;(2):CD001997.

7. Stallings SP, Edwards RK, Johnson JW. Correlation of head-to-body delivery intervals in shoulder

dystocia and umbilical artery acidosis. Am J Obstet Gynecol 2001;185:268-74.

8. Gobbo R, Baxley EG. Shoulder dystocia. In: ALSO: advanced life support in obstetrics provider course

syllabus. Leawood, Kan.: American Academy of Family Physicians, 2000.

9. Gherman RB, Tramont J, Muffley P, Goodwin TM. Analysis of McRoberts' maneuver by x-ray

pelvimetry. Obstet Gynecol 2000;95:43-7.

10. Nesbitte T, Lonsdorf DB. How to teach using mannequins (this example uses the shoulder dystocia

scenario). In: ALSO: advanced life support in obstetrics instructor course syllabus. Eeawood, Kan.:

American Academy of Family Physicians, 2002:67.