disolusi obat.doc

30
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dalam disiplin ilmu farmasi didukung oleh berbagai ilmu pengetahuan. Salah satunya yaitu ilmu farmasi fisika, dimana farmasi fisika merupakan ilmu yang mempelajari hubungan antara farmasi dan fisika. Proses disolusi dari suatu zat kimia atau bagaimana proses obat berdisolusi dalam tubuh manusia merupakan contoh hubungan antara farmasi dan fisika. Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarutan suatu zat aktif sangat penting artinya karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh. Pengetahuan mengenai kecepatan disolusi sangat diperlukan untuk membantunya memilih medium pelarut yang paling baik untuk obat atau kombinasi obat, membantu mengatasi kesulitan-kesulitan tertentu yang timbul pada waktu pembuatan larutan farmasetis (di bidang farmasi), dan lebih jauh lagi, dapat bertindak sebagai standar atau uji kemurnian (Astuti, 2008). Penentuan kecepatan disolusi suatu zat perlu dilakukan karena kecepatan disolusi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi absorbsi obat di dalam 1

description

Farmasi fisika

Transcript of disolusi obat.doc

Page 1: disolusi obat.doc

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Dalam disiplin ilmu farmasi didukung oleh berbagai ilmu pengetahuan.

Salah satunya yaitu ilmu farmasi fisika, dimana farmasi fisika merupakan ilmu

yang mempelajari hubungan antara farmasi dan fisika. Proses disolusi dari suatu

zat kimia atau bagaimana proses obat berdisolusi dalam tubuh manusia

merupakan contoh hubungan antara farmasi dan fisika.

Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk

sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarutan suatu zat aktif sangat penting

artinya karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat

tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh.

Pengetahuan mengenai kecepatan disolusi sangat diperlukan untuk

membantunya memilih medium pelarut yang paling baik untuk obat atau

kombinasi obat, membantu mengatasi kesulitan-kesulitan tertentu yang timbul

pada waktu pembuatan larutan farmasetis (di bidang farmasi), dan lebih jauh lagi,

dapat bertindak sebagai standar atau uji kemurnian (Astuti, 2008).

Penentuan kecepatan disolusi suatu zat perlu dilakukan karena kecepatan

disolusi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi absorbsi obat di dalam

tubuh. Melihat pentingnya pengetahuan tentang disolusi, khususnya dalam

pembuatan sediaan maka diadakanlah percobaan ini. Dengan melakukan

praktikum ini kita dapat mengetahui dan memahami cara penentuan konstanta

kecepatan disolusi dari suatu obat.

Pada percobaan ini, akan dilakukan penentuan kecepatan disolusi dari tablet

amoksisilin dengan menggunakan alat disolusi, dimana medium pelarutnya adalah

air suling, karena air merupakan komponen paling besar yang berada di dalam

tubuh manusia, jadi tablet tersebut seakan-akan berdisolusi di dalam tubuh.

I.2 Maksud dan Tujuan Percobaan

I.2.1 Maksud Percobaan

Mengetahui dan memahami cara penentuan konstanta kecepatan disolusi

dari suatu obat.

1

Page 2: disolusi obat.doc

I.2.2 Tujuan percobaan

Menentukan kecepatan disolusi dari tablet amoksisilin dengan

menggunakan alat disolusi.

I.3 Prinsip Percobaan

Penentuan konstanta kecepatan disolusi dari tablet amoksisilin berdasarkan

kadar amoksisilin yang terdisolusi dalam media air suling dengan menggunakan

alat disolusi dan menentukan kadarnya menggunakan titrasi alkalimetri

menggunakan NaOH 0,1250 N baku dan penambahan indikator fenolftalein pada

menit ke 0, 5, 10, 15, 20, dan 45 berdasarkan perubahan warna dari tak berwarna

menjadi merah.

2

Page 3: disolusi obat.doc

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Teori Umum

Disolusi didefinisikan sebagai suatu proses melarutnya zat kimia atau

senyawa obat dari sediaan padat ke dalam suatu medium tertentu. Uji disolusi

berguna untuk mengertahui seberapa banyak obat yang melarut dalam medium

asam atau basa (lambung dan usus halus) (Ansel, 1989).

Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk

sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat penting

artinya bagi ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat

tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh. Sediaan

obat yang harus diuji disolusinya adalah bentuk padat atau semi padat, seperti

kapsul, tablet atau salep (Effendi, 2003).

Disolusi adalah suatu proses melarutnya suatu obat. Biofarmasetika dan

desain sediaan modern sebagian berdasarkan prinsip disolusi dan teori difusi. Laju

disolusi bahwa apabila suatu tablet atau sediaan lainnya dimasukkan ke dalam

beker yang berisi air atau dimasukkan ke dalam saluran cerna (saluran

gastrointestin), obat tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk padatnya.

Kalau tablet tersebut tidak dilapisi dengan polimer, matris padat juga akan

mengalami disintegrasi menjadi granul-granul yang kemudian mengalami

pemecahan menjadi partikel-partikel yang halus. Disintegrasi, deagregasi dan

disolusi bisa berlangsung secara serentak dengan melepasnya suatu obat dari

bentuk dimana obat diberikan (Muhammad, 2010).

Hal-hal yang dapat memperlaju disolusi formula (Yandi, 2007):

1. Telah dilakukannya modifikasi karakteristik zat aktif.

2. Preformulasi juga didukung oleh faktor teknologi dan formulasi sediaan tablet,

misalnya gaya kempa dan porositas masa tablet serta bahan tambahan tablet

yang digunakan

Mekanisme disolusi suatu obat khususnya tablet yaitu tablet yang ditelan

akan masuk ke dalam lambung dan akan pecah, mengalami disintegrasi menjadi

banyak granul kecil, yang terdiri dari zat aktif yang tercampur dengan antara lain

3

Page 4: disolusi obat.doc

zat pengisi dan pelekat. Setelah granul-granul ini pecah zat aktif terlepas dan jika

daya larutnya cukup besar, akan larut dalam cairan lambung atau usus, tergantung

pada tempat dimana saat itu obat berada. Hal ini ditentukan oleh waktu

pengosongan lambung, yang pada umumnya berkisar pada 2-3 jam setelah makan.

Baru setelah obat larut, proses resorbsi obat oleh usus dapat dimulai. Peristiwa ini

disebut sebagai pharmaceutical availability (Muhammad, 2010).

Sediaan obat yang diberikan secara oral di dalam saluran cerna harus

mengalami proses pelepasan dari sediaannya kemudian zat aktif akan melarut dan

selanjutnya diabsorpsi. Proses pelepasan zat aktif dari sediaannya dan proses

pelarutannya sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat kimia dan fisika zat tersebut serta

formulasi sediaannya. Salah satu sifat zat aktif yang penting untuk diperhatikan

adalah kelarutan karena pada umumnya zat baru diabsorpsi setelah terlarut dalam

cairan saluraan cerna. Oleh karena itu salah satu usaha untuk meningkatkan

ketersediaan hayati suatu sediaan adalah dengan menaikkan kelarutan zat aktifnya

(Astuti, 2007).

Kecepatan disolusi adalah suatu ukuran yang menyatakan banyaknya suatu

zat terlarut dalam pelarut tertentu setiap satuan waktu. Suatu hubungan yang

umum menggambarkan proses disolusi zat padat telah dikembangkan oleh Noyes

dan Whitney dalam bentuk persamaan berikut (Astuti, 2008):

=

Keterangan:

= kecepatan disolusi

D = koefisien difusi

S = luas permukaan zat

Cs = kelarutan zat padat

C = konsentrasi zat dalam larutan pada waktu

H = tebal lapisan difusi

4

Page 5: disolusi obat.doc

Dalam teori disolusi atau perpindahan massa, diasumsikan bahwa selama

proses disolusi berlangsung pada permukaan padatan terbentuk suatu lapisan

difusi air atau lapisan tipis cairan yang stagnan dengan ketebalan h. Bila

konsentrasi zat terlarut di dalam larutan (C) jauh lebih kecil daripada kelarutan zat

tersebut (Cs) sehingga dapat diabaikan, maka harga (Cs-C) dianggap sama dengan

Cs. Jadi, persamaan kecepatan disolusi dapat disederhanakan menjadi

dM/dt=Ds.Cs/h (Moechtar, 1990).

Faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat (Astuti,

2008):

1. Suhu

Meningginya suhu umumnya memperbesar kelarutan (Cs) suatu zat yang

Bersifat endotermik serta memperbesar harga koefisien difusi zat.

Menurut Einstein, koefisien difusi dapat dinyatakan melalui persamaan berikut

(Astuti,2008) :

=

Keterangan:

D : koefisien difusi

r : jari-jari molekul

k : konstanta Boltzman

ή : viskosita pelarut

T : suhu

2. Viskositas

Turunnya viskositas pelarut akan memperbesar kecepatan disolusi suatu zat

sesuai dengan persamaan Einstein. Meningginya suhu juga menurunkan

viskositas dan memperbesar kecepatan disolusi.

3. pH Pelarut

pH pelarut sangat berpengaruh terhadap kelarutan zat-zat yang bersifat asam

atau basa lemah.

4. Pengadukan

5

Page 6: disolusi obat.doc

Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi tebal lapisan difusi (h). Jika

pengadukan berlangsung cepat, maka tebal lapisan difusi akan cepat berkurang.

5. Ukuran Partikel

Jika partikel zat berukuran kecil maka luas permukaan efektif menjadi besar

sehingga kecepatan disolusi meningkat.

6. Polimorfisme

Kelarutan suatu zat dipengaruhi pula oleh adanya polimorfisme. Struktur

internal zat yang berlainan dapat memberikan tingkat kelarutan yang berbeda

juga. Kristal meta stabil umumnya lebih mudah larut daripada bentuk stabilnya.

7. Sifat Permukaan Zat

Pada umumnya zat-zat yang digunakan sebagai bahan obat bersifat hidrofob.

Dengan adanya surfaktan di dalam pelarut, tegangan permukaan antar partikel

zat dengan pelarut akan menurun sehingga zat mudah terbasahi dan kecepatan

disolusinya bertambah.

Laju disolusi obat secara in vitro dipengaruhi beberapa faktor

(Yandi, 2006), yaitu:

1. Sifat fisika kimia obat.

Sifat fisika kimia obat berpengaruh besar terhadap kinetika disolusi. Luas

permukaan efektif dapat diperbesar dengan memperkecil ukuran partikel. Laju

disolusi akan diperbesar karena kelarutan terjadi pada permukaan solut.

Kelarutan obat dalam air juga mempengaruhi laju disolusi. Obat berbentuk

garam, pada umumnya lebih mudah larut dari pada obat berbentuk asam

maupun basa bebas. Obat dapat membentuk suatu polimorfi yaitu terdapatnya

beberapa kinetika pelarutan yang berbeda meskipun memiliki struktur kimia

yang identik. Obat bentuk kristal secara umum lebih keras, kaku dan secara

termodinamik lebih stabil daripada bentuk amorf, kondisi ini menyebabkan

obat bentuk amorf lebih mudah terdisolusi daripada bentuk kristal.

2. Faktor alat dan kondisi lingkungan.

Adanya perbedaan alat yang digunakan dalam uji disolusi akan menyebabkan

perbedaan kecepatan pelarutan obat. Kecepatan pengadukan akan

mempengaruhi kecepatan pelarutan obat, semakin cepat pengadukan maka

6

Page 7: disolusi obat.doc

gerakan medium akan semakin cepat sehingga dapat menaikkan kecepatan

pelarutan. Selain itu temperatur, viskositas dan komposisi dari medium, serta

pengambilan sampel juga dapat mempengaruhi kecepatan pelarutan obat.

3. Faktor formulasi.

Berbagai macam bahan tambahan yang digunakan pada sediaan obat dapat

mempengaruhi kinetika pelarutan obat dengan mempengaruhi tegangan muka

antara medium tempat obat melarut dengan bahan obat, ataupun bereaksi

secara langsung dengan bahan obat. Penggunaan bahan tambahan yang bersifat

hidrofob seperti magnesium stearat, dapat menaikkan tegangan antar muka

obat dengan medium disolusi. Beberapa bahan tambahan lain dapat

membentuk kompleks dengan bahan obat, misalnya kalsium karbonat dan

kalsium sulfat yang membentuk kompleks tidak larut dengan tetrasiklin. Hal

ini menyebabkan jumlah obat terdisolusi menjadi lebih sedikit dan berpengaruh

pula terhadap jumlah obat yang diabsorpsi.

Penentuan kecepatan disolusi suatu zat dapat dilakukan melalui metode:

1. Metode Suspensi

Serbuk zat padat ditambahkan ke dalam pelarut tanpa pengontrolan eksak

terhadap luas permukaan partikelnya. Sampel diambil pada waktu-waktu

tertentu dan jumlah zat yang larut ditentukan dengan cara yang sesuai.

2. Metode Permukaan Konstan

Zat ditempatkan dalam suatu wadah yang diketahui luasnya sehingga variable

perbedaan luas permukaan efektif dapat diabaikan. Umumnya zat diubah

menjadi tablet terlebih dahulu, kemudian ditentukan seperti pada metode

suspensi. Penentuan dengan metode suspensi dapat dilakukan dengan

menggunakan alat uji disolusi tipe dayung seperti yang tercantum pada USP.

Sedangkan untuk metode permukaan tetap, dapat digunakan alat seperti

diusulkan oleh Simonelli. (Alfred, 2008).

Titrasi asam basa:

7

Page 8: disolusi obat.doc

Titrasi asam-basa sering disebut juga dengan titrasi netralisasi. Dalam titrasi ini,

kita dapat menggunakan larutan standar asam dan larutan standar basa. Pada

prinsipnya, reaksi yang terjadi adalah reaksi netralisasi yaitu :

Reaksi netralisasi terjadi antara ion hidrogen sebagai asam dengan ion hidroksida

sebagai basa dan membentuk air yang bersifat netral. Berdasarkan konsep lain

reaksi netralisasi dapat juga dikatakan sebagai reaksi antara donor proton (asam)

dengan penerima proton (basa). Dalam menganalisis sampel yang bersiaft basa,

maka kita dapat menggunakan larutan standar asam, metode ini dikenal dengan

istilah asidimetri. Sebaliknya jika kita menentukan sampel yang bersifat asam,

kita akan menggunkan lartan standar basa dan dikenal dengan istilah alkalimetri.

Dalam melakukan titrasi netralisasi kita perlu secara cermat mengamati perubahan

pH, khususnya pada saat akan mencapai titik akhir titrasi, hal ini dilakukan untuk

mengurangi kesalahan dimana akan terjadi perubahan warna dari indikator lihat

Gambar 2.1

Gambar 2.1 Titrasi alkalimetri dengan larutan standar basa NaOH

Analit bersifat asam pH mula-mula rendah, penambahan basa

menyebabkan pH naik secara perlahan dan bertambah cepat ketika akan mencapai

titik ekuivalen (pH=7). Penambahan selanjutnya menyebakan larutan kelebihan

basa sehingga pH terus meningkat. Dari Gambar 15.16, juga diperoleh informasi

8

Page 9: disolusi obat.doc

indikator yang tepat untuk digunakan dalam titrasi ini dengan kisaran pH pH 7 –

10 (Tabel 2.1).

Tabel 2.1 Indikator dan perubahan warnanya pada pH tertentu

Pamanfaatan teknik ini cukup luas, untuk alkalimetri telah dipergunakan

untuk menentukan kadar asam sitrat. Titrasi dilakukan dengan melarutkan sampel

sekitar 300 mg kedalam 100 ml air. Titrasi dengan menggunakan larutan NaOH

0.1 N dengan menggunakan indikator phenolftalein. Titik akhir titrasi diketahui

dari larutan tidak berwarna berubah menjadi merah muda. Selain itu alkalimetri

juga dipergunakan untuk menganalisis asam salisilat, proses titrasi dilakukan

dengan cara melarutkan 250 mg sampel kedalam 15 ml etanol 95% dan

tambahkan 20 ml air. Titrasi dengan NaOH 0.1 N menggunakan indikator

phenolftalein, hingga larutan berubah menjadi merah muda. Teknik asidimetri

juga telah dimanfaatkan secara meluas misalnya dalam pengujian boraks yang

seringa dipergunakan oleh para penjual bakso. Proses analisis dilakukan dengan

melaruitkan sampel seberat 500 mg kedalam 50 mL air dan ditambahkan beberapa

tetes indikator metal orange, selanjutnya dititrasi dengan HCl 0.1 N. (Day, 2002).

II.2 Uraian Bahan

1. Air suling (FI IV, 1995).

Nama resmi : Aqua destilata

Sinonim : Air suling

9

Page 10: disolusi obat.doc

Rumus molekul/Berat molekul : H2O/18,02

Rumus Struktur :

Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak

berbau, tidak mempunyai rasa.

Kegunaan : Sebagai pelarut

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup.

2. NaOH (FI IV, 1995).

Nama resmi : Natrii hydroxydum

Sinonim : Natrium Hidroksida

Rumus molekul/Berat Molekul : NaOH/40,00

Pemerian : Bentuk batang, butiran, massa hablur

atau keping, kering, keras, rapuh dan

menunjukkan susunan hablur; putih,

mudah meleleh basah. Sangat alkalis

dan korosif. Segera menyerap

karbondioksida.

Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air dan

dalam etanol (95%) P.

Khasiat dan Kegunaan : Sebagai zat tambahan

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.

3. Fenolftalein (FI IV, 1995).

Nama resmi : Phenolphthaleinum

Sinonim : Fenolftalein

Rumus molekul/Berat Molekul : C20H14O4/318,33

Rumus Struktur :

10

Page 11: disolusi obat.doc

Pemerian : Serbuk hablur, putih atau putih

kekuningan lemah; tidak berbau; stabil

di udara.

Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air; larut

dalam etanol; agak sukar larut dalam

eter.

Kegunaan : Sebagai indikator

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik

4. Amoksisilin (FI IV, 1995).

Nama resmi : Amoxicillinum

Sinonim : Amoksisilin

Rumus molekul : C16H19N3O5S.3H2O

Rumus Struktur :

OH-

Pemerian : Serbuk hablur, putih; praktis tidak

berbau

Kelarutan : Sukar larut dalam air dan methanol

tidak larut dalam benzena, dalam

karbon tetraklorida dan kloroform.

Khasiat : Infeksi saluran pernafasan, saluran

vagental,  saluran cerna, infeksi kulit

dan jaringan lunak.

Kegunaan : Sebagai zat aktif.

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, pada suhu

kamar terkendali.

11

Page 12: disolusi obat.doc

BAB III

METODE KERJA

III.1 Alat dan Bahan Percobaan

III.1.1 Alat Percobaan

1. Alat disolusi

2. Buret

3. Erlenmeyer

4. Gelas beker

5. Gelas ukur

6. Pipet voulme

7. Termometer

III.1.2 Bahan Percobaan

1. Aquadest.

2. NaOH 0,1 N

3. Indikator fenolftaelin

4. Tablet amoksisilin

III.2 Cara Kerja

1. Disiapkan alat dan bahan.

2. Diisi bejana dan alat disolusi dengan 900 ml air suling.

3. Diatur termostat pada temperatur 37°C dan dimasukkan 2 g amoksisilin,

lalu dijalankan motor penggerak dengan kecepatan 100 rpm.

4. Diambil sebanyak 20 ml air dalam bejana selang waktu 5, 10, 30, 45

menit setelah pengocokan. Setiap selesai dambil sampel segera diganti

dengan 20 ml air.

5. Ditentukan kadar amoksisilin yang larut pada masing-masing sampel

dengan metode spektrofotometri atau titrasi asam basa menggunakan

NaOH 0,05 N dan fenolftalein, kemudian dilakukan

percobaan yang sama pada temperatur 40°C.

6. Dicatat hasil yang diperoleh.

12

Page 13: disolusi obat.doc

BAB IV

HASIL PENGAMATAN

IV.1 Data Pengamatan

NO WAKTU V1 V2

1. 5’ 0,6 0,4

2. 10’ 0,3 0,4

3. 30’ 0,2 0,6

4. 45’ 0,2 0,4

IV.2 Perhitungan

1. Kadar

% K =

t= 5’ %K1 =

= 0,615 %

% K2 =

= 0,410 %

%K rata-rata =

=

= 0,5125 %

t= 10’ %K1 =

= 0,307 %

% K2 =

= 0,410 %

13

Page 14: disolusi obat.doc

%K rata-rata =

=

= 0,3585 %

t= 30’ %K1 =

= 0,205 %

% K2 =

= 0,615 %

%K rata-rata =

=

= 0,41 %

t= 45’ %K1 =

= 0,205 %

% K2 =

= 0,410 %

%K rata-rata =

=

= 0,307 %

2. Bobot zat aktif

Wn1 = % K x 900 ml

- Wn1 = 0,5125 x 900 ml

= 461,25 mg

14

Page 15: disolusi obat.doc

- Wn2 = 0,3585 x 900 ml

= 322,65 mg

- Wn3 = 0,41 x 900 ml

= 369 mg

- Wn4 = 0,307 x 900 ml

= 276,3 mg

3. Persen kelarutan

t = 5’ % K =

=

= 92,25 %

t = 10’ % K =

=

= 64,53 %

t = 30’ % K =

=

= 73,8 %

t = 45’ % K =

=

= 55,26 %

4. Perhitungan

No Wa – Wn Log ( Wa-Wn )

1 38,75 1,58

2 177,35 2,24

15

Page 16: disolusi obat.doc

3 131 2,11

4 223,7 2,34

IV.3 Reaksi Kimia

+ NaOH

OH-

OH- + H2O

16

C CONH

H

CH3

N

NH2

COONa

S

CH3HO

H H

C CONH

H

CH3

N

NH2

COOH

S

CH3HO

H H

C CONH H

H

H H

N

COOH

H

NH2

CH3

CH3+ 3 H2O + NaOH

C CONH H

H

H H

N

COONa

H

NH2

CH3

CH3+ 4 H2O

Page 17: disolusi obat.doc

BAB V

PEMBAHASAN

Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk

sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarutan suatu zat aktif sangat penting

artinya karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat

tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh.

Suatu bahan obat yang diberikan dengan cara apapun dia harus memiliki

daya larut dalam air untuk kemanjuran terapeutiknya. Senyawa-senyawa yang

relatif tidak dapat dilarutkan mungkin memperlihatkan absorpsi yang tidak

sempurna, atau tidak menentu sehingga menghasilkan respon terapeutik yang

minimum. Daya larut yang ditingkatkan dari senyawa-senyawa ini mungkin

dicapai dengan menyiapkan lebih banyak turunan yang larut, seperti garam dan

ester dengan teknik seperti mikronisasi obat atau kompleksasi.

17

Page 18: disolusi obat.doc

Sifat-sifat kimia, fisika, bentuk obat dan juga fisiologis dari sistem

biologis mempengaruhi kecepatan absorbsi suatu obat dalm tubuh. Oleh karena

itu konsentrasi obat, bagaimana kelarutannya dalam air, ukuran molekulnya, pKa

dan ikatan proteinnya adalah faktor-faktor kimia dan fisika yang harus dipahami

untuk mendesain suatu sediaan. Hal ini meliputi faktor difusi dan disolusi obat.

Pada saat suatu sediaan obat masuk ke dalam tubuh, selanjutnya terjadi

proses absorbsi ke dalam sirkulasi darah dan akan didistribusikan ke seluruh

cairan dan jaringan tubuh. Apabila zat aktif pada sediaan obat tersebut memiliki

pelarut yang cepat, berarti efek yang ditimbulkan juga akan semakin cepat, begitu

juga sebaliknya.

Proses pelarutan tablet melalui proses disolusi yaitu melarutnya senyawa

aktif dari bentuk sediaannya (padat) ke dalam media pelarut. Setelah obat dalam

larutan, selanjutnya terjadi proses absorbsi ke dalam darah dan di bawa ke seluruh

cairan dan jaringan tubuh. Apabila zat aktif memiliki kecepatan pelarut yang

cepat, berarti efek yang ditimbulkan juga semakin cepat, begitu pula sebaliknya.

Pada percobaan ini ditentukan konstanta kecepatan disolusi suatu zat.

dimana zat yang akan diukur kecepatan atau laju disolusinya adalah tablet

amoksisilin yang dilarutkan ke dalam media disolusi, dimana medium disolusi

yang digunakan adalah air suling, kemudian ditentukan kadarnya dengan

menggunakan titrasi alkalimetri dimana titran yang digunakan adalah NaOH

dengan penambahan indikator fenolftalein.

Adapun langkah-langkah percobaan ini yaitu yang pertama disiapkan alat

dan bahan yang akan digunakan dalam percobaan, kemudian diisi bak disolusi

dengan 900 ml air suling. Digunakan air suling sebagai media disolusi karena air

merupakan komponen paling besar yang berada di dalam tubuh manusia, jadi obat

seakan-akan berdisolusi di dalam tubuh dan volume dari labu disolusi digunakan

900 ml yaitu untuk menyerupai volume cairan tubuh manusia. Hal ini

dianalogikan terhadap suatu gelembung udara, maka gelembung udara tersebut

akan masuk ke pori-pori dan bekerja sebagai barier pada interfase sehingga

mengganggu disolusi obat. Adapun suhu yang digunakan yaitu 37° C, dengan

18

Page 19: disolusi obat.doc

maksud agar sesuai dengan suhu fisiologis suhu tubuh manusia dengan maksud

agar sesuai dengan suhu fisiologis suhu tubuh manusia.

Dimasukkan 2 g amoksisilin lalu dijalankan motor penggerak dengan

kecepatan 100 rpm, digunakan kecepatan 100 rpm karena kecepatan 100 rpm

adalah kecepatan yang lazim digunakan dan diumpamakan sebagai kecepatan

gerak peristaltik lambung, setelah itu diambil 20 ml air dalam bejana setiap selang

waktu 5, 10, 30 dan 45 menit setelah pengocokkan menggunakan pipet volume.

Setiap selesai pengambilan sampel segera diganti dengan 20 ml air, agar volume

medium disolusi pada bejana tetap 900 ml, hal tersebut dilakukan untuk

mempertahankan kemampuan medium untuk melarutkan sejumlah obat yang

diharapkan.

Ditentukan kadarnya dengan menggunakan titrasi alkalimetri karena

sampel yang akan digunakan yaitu amoksisilin yang bersifat asam dimana titran

yang digunakan adalah NaOH 0,05 N yang bersifat basa yang dapat menetralisasi

amoksisilin yang bersifat asam, dan ditambahkan indikator fenolftalein yang

bertujuan untuk mengetahui apakah larutan yang diuji bersifat asam ataupun basa,

karena indikator adalah suatu senyawa organik kompleks dalam bentuk asam atau

basa yang mampu berada dalam keadaan dua macam bentuk warna yang berbeda

dan dapat saling berubah warna dari bentuk satu kebentuk yang lain. Dari titrasi

tersebut didapatkan volume titrasinya.

Dari hasil perhitungan diperoleh % kelarutan dari amoksisilin, yaitu pada t

= 5’ adalah 92,25 %; pada t = 10’ adalah 64,53 %; pada t = 30’ adalah 73,8 dan

pada t = 45’ adalah 55,26. Menurut FI III, pernyataan kelarutan zat dalam bagian

tertentu pelarut adalah kelarutan pada suhu 200 dan kecuali dinyatakan lain

menunjukan bahwa, 1 bagian bobot zat padat atau 1 bagian volume zat cair larut

didalam bagian volume tertentu pelarut. Pernyataan kelarutan yang tidak disertai

angka adalah kelarutan pada suhu kamar. Kecuali dinyatakan lain, zat jika

dilarutkan boleh menunjukan sedikit kotoran mekanik seperti bagian kertas saring,

serat dan butiran debu.

Faktor-faktor kesalahan yang mungkin mempengaruhi hasil yang

diperoleh antara lain :

19

Page 20: disolusi obat.doc

1. Suhu larutan disolusi yang tidak konstan.

2. Ketidaktepatan jumlah dari medium disolusi, setelah dipipet

beberapa ml.

3. Terjadi kesalahan pengukuran pada waktu pengambilan sampel

menggunakan pipet volume.

4. Kekeliruan praktikan dalam menentukan volume titrasi dan titik

akhir titrasi.

5. Kekeliruan prosedur penentuan kadar.

6. Indikator yang digunakan sudah rusak.

7. Suhu yang dipakai tidak tepat.

BAB VI

PENUTUP

VI.1 Kesimpulan

Dari hasil perhitungan diperoleh % kelarutan dari amoksisilin, yaitu pada

t = 5’ adalah 92,25 %; pada t = 10’ adalah 64,53 %; pada t = 30’ adalah 73,8 dan

pada t = 45’ adalah 55,26.

VI.2 Saran

Untuk praktikkan diharapkan berhati-hati dalam menggunakan alat-alat

yang digunakan pada percobaan ini.

20