Dimensi Nyeri

35
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dibahas beberapa aspek yang terkait dengan penelitian ini. 1. KONSEP NYERI 1.1 Defenisi nyeri Nyeri merupakan pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan yang dihubungkan dengan kerusakan jaringan yang telah atau akan terjadi yang digambarkan dengan kata-kata kerusakan jaringan (Torrance, 1997). Tamsuri (2007) mendefenisikan nyeri sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya. Secara umum, nyeri dapat didefinisikan sebagai suatu rasa yang tidak nyaman baik ringan maupun berat (Priharjo, 1993). Nyeri merupakan tanda peringatan bahwa terjadi kerusakan jaringan yang bersifat subjektif (Potter & Perry, 2005). Nyeri juga merupakan mekanisme fisiologis yang bertujuan untuk melindungi diri. Perilaku seseorang akan berubah, apabila seseorang merasakan nyeri. Misalnya, seseorang yang kakinya terkilir menghindari aktivitas mengangkat barang yang memberi beban penuh pada kakinya untuk mencegah cedera lebih lanjut (Muttaqin, 2008).

description

kedokteran

Transcript of Dimensi Nyeri

Page 1: Dimensi Nyeri

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini akan dibahas beberapa aspek yang terkait dengan

penelitian ini.

1. KONSEP NYERI

1.1 Defenisi nyeri

Nyeri merupakan pengalaman sensoris dan emosional yang tidak

menyenangkan yang dihubungkan dengan kerusakan jaringan yang telah

atau akan terjadi yang digambarkan dengan kata-kata kerusakan jaringan

(Torrance, 1997). Tamsuri (2007) mendefenisikan nyeri sebagai suatu

keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila

seseorang pernah mengalaminya. Secara umum, nyeri dapat didefinisikan

sebagai suatu rasa yang tidak nyaman baik ringan maupun berat (Priharjo,

1993).

Nyeri merupakan tanda peringatan bahwa terjadi kerusakan

jaringan yang bersifat subjektif (Potter & Perry, 2005). Nyeri juga

merupakan mekanisme fisiologis yang bertujuan untuk melindungi diri.

Perilaku seseorang akan berubah, apabila seseorang merasakan nyeri.

Misalnya, seseorang yang kakinya terkilir menghindari aktivitas

mengangkat barang yang memberi beban penuh pada kakinya untuk

mencegah cedera lebih lanjut (Muttaqin, 2008).

Page 2: Dimensi Nyeri

1.2 Klasifikasi Nyeri

Menurut Brunner & Suddarth (2001), ada dua kategori dari nyeri

secara umum diketahui yaitu nyeri akut dan nyeri kronis.

1.2.1 Nyeri akut

Nyeri akut terjadi setelah cedera akut, penyakit, atau

intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas

yang bervariasi (ringan sampai berat) dan berlangsung dalam waktu

yang singkat (Potter & Perry, 2005). Jika kerusakan tidak lama

terjadi dan tidak ada penyakit sistematik, nyeri akut biasanya

menurun sejalan dengan terjadinya proses penyembuhan; nyeri ini

umumnya terjadi kurang dari enam bulan (Brunner & Suddarth,

2001). Dua tipe sindroma nyeri akut yang utama adalah nyeri

somatis dan nyeri viscera (Rospond, 2008).

a. Nyeri Somatis

Nyeri somatis permukaan/superfisial adalah akibat stimulasi

nosiseptor di dalam kulit atau jaringan subkutan dan mukosa yang

mendasari (Price & Wilson, 2005). Hal ini ditandai dengan adanya

sensasi/rasa berdenyut, panas atau tertusuk, dan mungkin berkaitan

dengan rasa nyeri yang disebabkan oleh stimulus yang secara

normal tidak mengakibatkan nyeri (misalnya allodinia), dan

hiperalgesia. Jenis nyeri ini biasanya konstan dan jelas lokasinya

(Rospond, 2008).

Nyeri superfisial biasanya terjadi sebagai respon terhadap

luka terpotong, luka gores dan luka bakar superfisial (Price &

Page 3: Dimensi Nyeri

Wilson, 2002). Nyeri somatis dalam diakibatkan oleh jejas pada

struktur dinding tubuh (misalnya, otot rangka/skelet). Nyeri

pascabedah memiliki komponen nyeri somatis dalam karena

trauma dan jejas pada otot rangka (Rospond, 2008).

b. Nyeri viscera

Nyeri viscera disebabkan oleh jejas pada organ dengan saraf

simpatis (Rospond, 2008). Nyeri ini dapat disebabkan oleh distensi

abnormal atau kontraksi pada dinding otot polos, tarikan cepat

kapsul yang menyelimuti suatu organ (misalnya hati), iskemi otot

skelet, iritasi serosa atau mukosa, pembengkakan atau pemelintiran

jaringan yang berlekatan dengan organ-organ ke ruang peritoneal,

dan nekrosis jaringan (Price & Wilson, 2005).

Nyeri viscera seringkali muncul pada awal awitan (onset)

atau pada stadium dini suatu penyakit. Sensasi nyeri yang berasal

dari organ dalam sering dipersepsikan sebagai nyeri yang berasal

dari bagian tubuh yang lebih supersifial/permukaan, biasanya

daerah-daerah yang dipersarafi oleh saraf spinal yang sama; lokasi

nyeri di bagian superfisial atau bagian dalam yang berjauhan

dengan sumber patologi yang sebenarnya biasa disebut sebagai

referred pain (nyeri alih) (Brunner & Suddarth, 2001). Infark

miokard akut dan pankreatitis akut merupakan salah satu contoh

dari nyeri viscera (Rospond, 2008).

Page 4: Dimensi Nyeri

1.2.2 Nyeri Kronis

Nyeri kronis adalah nyeri konstan atau intermitten yang

menetap sepanjang suatu periode waktu. Nyeri ini berlangsung di

luar waktu penyembuhan yang diperkirakan dan sering tidak dapat

dikaitkan dengan penyebab atau cedera spesifik. Nyeri kronis dapat

tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dengan tepat dan sering

sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan

respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya

(Potter & Perry, 2005).

Nyeri kronis tidak mempunyai tanda-tanda dan gejala

klinis, sehingga patofisiologi yang mendasarinya biasanya tidak

terdeteksi pada pemeriksaan fisik atau radiologis. Nyeri kronis

dapat muncul dari lokasi viscera, jaringan miofasial, atau

penyebab-penyebab neurologis, dan biasanya dibedakan menjadi

nyeri maligna (kanker atau keganasan) dan nyeri non-maligna

(jinak) (Rospond, 2008).

a. Nyeri kanker

Nyeri kronis maligna merupakan kombinasi dari beberapa

komponen nyeri akut, intermiten dan kronis. Nyeri kanker dapat

muncul pada tempat/situs primer kanker sebagai akibat ekspansi

tumor, penekanan/kompresi saraf, atau infiltrasi oleh tumor,

obstruksi maligna, atau infeksi pada ulkus maligna (Rospond,

2008). Nyeri juga dapat muncul pada tempat metastase yang jauh.

Selain itu, terapi kanker dengan tindakan bedah, kemoterapi, dan

Page 5: Dimensi Nyeri

radiasi juga dapat menimbulkan mukositis, gastroenteritis, iritasi

kulit, dan nyeri lain yang berakitan (Brunner & Suddarth, 2005).

b. Nyeri non-kanker

Nyeri kronis non-kanker dapat dibedakan menjadi 2 subtipe

utama: nyeri neuropati dan nyeri muskuloskeletal. Nyeri neuropati

dapat bersifat idiopatik atau dapat juga muncul dari lokasi tertentu

atau umum pada jejas saraf. Awitannya dapat terjadi seketika

setelah jejas atau setelah jeda waktu tertentu (Rospond, 2008).

Nyeri neuropati dapat bersifat konstan dan menetap. Selain

nyeri yang terus menerus, juga dapat terjadi nyeri yang tumpang

tindih, hilang-muncul (intermitten), nyeri seperti syok, yang

seringkali dicirikan dengan sensasi nyeri yang tajam, seperti

tersengat listrik/elektrik, mengejutkan, seperti disobek/robek, atau

kejang Contoh sindroma nyeri neuropati kronis adalah neuralgia

pascaherpes, neuropati diabetik, neuralgia trigeminal, nyeri

pascastroke, dan nyeri phantom (yaitu rasa nyeri pada bagian tubuh

yang telah diamputasi) (Rospond, 2008).

Nyeri muskuloskeletal muncul dari jaringan otot, tulang,

persendian atau jaringan ikat. Nyeri ini dapat diakibatkan oleh jejas

idiopatik atau iatrogenik. Sindroma nyeri muskuloskeletal kronik

yang umum adalah nyeri yang berkaitan dengan penyakit inflamasi

otot misalnya polimyositis (penyakit jaringan ikat yang ditandai

dengan edema, inflamasi, dan degenerasi otot) dan dermatitis dan

Page 6: Dimensi Nyeri

juga nyeri yang berkaitan dengan penyakit persendian misalnya

arthritis (Rospond, 2008).

1.3 Fisiologi nyeri

Berdasarkan mekanismenya, nyeri melibatkan persepsi dan respon

terhadap nyeri tersebut. Mekanisme timbulnya nyeri melibatkan empat

proses (Luckmann & Sorensen’s, 1987), yaitu sebagai berikut.

1.3.1 Transduksi (transduction)

Transduksi adalah proses dari stimuli nyeri dikonversi ke

bentuk yang dapat diakses oleh otak (Turk & Flor, 1999 dalam

Harahap, 2007). Proses tranduksi dimulai ketika nosiseptor yaitu

reseptor yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri teraktivasi.

Aktivasi reseptor ini merupakan bentuk respon terhadap stimulus

yang datang seperti kerusakan jaringan. Stimuli ini dapat berupa

stimuli fisik (tekanan, suhu (panas), atau kimia (substansi nyeri)

(Muttaqin, 2008).

1.3.2 Transmisi (transmission)

Transmisi adalah serangkaian kejadian-kejadian neural yang

membawa impuls listrik melalui sistem saraf ke otak. Proses

transmisi merupakan proses penyaluran impuls sensori menyusul

proses transduksi (Luckmann & Sorensen’s, 1987). Proses

transmisi melibatkan saraf aferen yang terbentuk dari serat saraf

berdiameter kecil ke sedang serta yang berdiameter besar (Davis,

2003 dalam Harahap, 2007). Saraf aferen akan berakson pada

Page 7: Dimensi Nyeri

dorsal horn di spinalis. Selanjutnya transmisi ini dilanjutkan

melalui sistem contralateral spinalthalamic melalui ventral lateral

dari thalamus menuju korteks serebal (Muttaqin, 2008).

1.3.3 Modulasi (modulation)

Proses modulasi mengacu kepada aktivitas neural dalam

upaya mengontrol jalur transmisi nosiseptor tersebut (Turk & Flor,

1999 dalam Harahap, 2007). Proses modulasi adalah proses di

mana terjadi interaksi antara sistem analgesik endogen yang

dihasilkan oleh tubuh pada saat nyeri masuk ke kornu posterior

medulla spinalis (Luckmann & Sorensen’s, 1987).

Proses modulasi melibatkan sistem neural yang kompleks.

Ketika impuls nyeri sampai di pusat saraf, transmisi impuls nyeri

ini akan dikontrol oleh sistem saraf pusat dan mentransmisikan

impuls nyeri ini ke bagian lain dari sistem saraf seperti bagian

korteks. Selanjutnya impuls ini akan ditransmisikan melalui saraf-

saraf descend ke tulang belakang untuk memodulasi efektor

(Luckmann & Sorensen’s, 1987).

1.3.4 Persepsi (perception)

Persepsi merupakan titik kesadaran seseorang terhadap

nyeri (Potter & Perry, 2005). Proses persepsi ini tidak hanya

berkaitan dengan proses fisiologis atau proses anatomis saja, akan

tetapi juga meliputi pengenalan (cognition) dan ingatan (memory)

(Davis, 2003 dalam Harahap, 2007). Oleh karena itu, faktor

psikologis, emosional dan behavioral (perilaku) juga muncul

Page 8: Dimensi Nyeri

sebagai respon dalam mempersepsikan pangalaman nyeri tersebut.

Proses ini jugalah yang menjadikan nyeri tersebut suatu fenomena

yang multidimensional (Luckmann & Sorensen’s, 1987).

1.4 Teori Nyeri

Ada beberapa teori yang menggambarkan bagaimana nosiseptor

dapat menghasilkan rangsangan nyeri, di antaranya sebagai berikut.

1.4.1 Teori Spesivitas (Specivicity Theory)

Teori ini diperkenalkan oleh Descrates pada abad ke-17

(Luckmann & Soronsen, 1987). Teori ini menjelaskan bahwa nyeri

berjalan dari reseptor-reseptor nyeri yang spesifik melalui jalur

neuroanatomik tertentu ke pusat nyeri di otak dan hubungan antara

stimulus dan respon nyeri yang bersifat langsung dan invariabel.

Prinsip teori ini adalah: (1) reseptor somatosensorik adalah reseptor

yang mengalami spesialisasi untuk berespon secara optimal

terhadap satu atau lebih tipe stimulus tertentu, dan (2) tujuan

perjalanan neuron aferen primer dan ascendens merupakan faktor

kritis dalam membedakan sifat stimulus di perifer (Price & Wilson,

2005).

1.4.2 Teori Pola

Teori ini diperkenalkan pada tahun 1989 oleh Goldscheider.

Teori pola menjelaskan bahwa nyeri disebabkan oleh berbagai

reseptor sensori yang dirangsang oleh pola tertentu. Nyeri

merupakan akibat stimulus yang menghasilkan pola tertentu dari

Page 9: Dimensi Nyeri

impuls saraf. Pada sejumlah kausalgia, nyeri pantom, dan

neuralgia, teori pola ini bertujuan bahwa rangsangan yang kuat

mengakibatkan berkembangnya gaung terus menerus pada spinal

cord sehingga saraf transmisi nyeri bersifat hipersensitif dimana

rangsangan dengan intensitas rendah dapat menghasilkan transmisi

nyeri (Lewis, 1983).

1.4.3 Teori Gerbang Kendali Nyeri (Gate Control)

Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Melzack & Wall

pada tahun 1965. Menurut teori ini, pada cornu dorsalis medulla

spinalis terdapat mekanisme neural, yang berfungsi sebagai

gerbang, yang dapat mengatur rangsang dari saraf perifer ke SSP.

Secara anatomis, gerbang tersebut terletak di substansi gelatinosa

(Luckmann & Sorensen’s, 1987).

Hantaran rangsang saraf dari serabut aferen perifer, ke sel

transmisi medula spinalis, diatur oleh mekanisme “Gate Control”

di cornu dorsalis. Mekanisme ini dipengaruhi oleh jumlah relatif

serabut saraf besar dan serabut kecil. Teori ini mengatakan bahwa

impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya

menutup pertahanan tersebut merupakan dasar terapi

menghilangkan nyeri (Melzack, 1973 dalam Potter & Perry, 2005).

Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan

serabut kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan.

Lintasan impuls perasaan nyeri terdiri atas serangkaian neuron.

Dari tepi sampai di dalam susunan saraf pusat rangkaian neuron

Page 10: Dimensi Nyeri

dibedakan menjadi neuron pertama, kedua, dan ketiga (Luckmann

& Soronsen’s, 1987).

Neuron pertama ialah neuron yang membentuk ganglion

spinal. Neuron tersebut berbentuk pseudounipolar. Jalur perifernya

membentuk alat perasaan (serabut bebas) dan serabut srensorik

perifer. Impuls perasaan nyeri dan suhu disalurkan oleh serabut

sensorik perifer berdiameter halus (golongan A) atau yang tidak

berselubung mielin (golongan C) (Muttaqin, 2008).

Neuron kedua lintasan tersebut dibentuk oleh sel-sel yang

menyusun nukleus proprius kornu dorsalis itu. Jaras ini mulai di

nukleus propius kornu dorsalis, lalu menyilang garis tengah

melalui komisura alba untuk tiba di funikulus ventrolateralis dan

kemudian membelok ke rostral dan menggabungkan diri dengan

serabut spinotalamikus lainnya yang mengakhiri perjalanannya di

nukleus ventro-postero-lateralis (VPL) sisi kolateral (Sidharta,

1985 dalam Muttaqin, 2008).

1.5 Multidimensional nyeri

Nyeri adalah fenomena yang multidimensional. Ahles dan

koleganya (1983 dalam Harahap, 2007) mengkategorikan lima dimensi

nyeri ini mulanya diperuntukkan untuk nyeri pada kasus kanker. Kelima

dimensi ini meliputi dimensi fisiologis, sensori, afektif, kognitif, dan

behaviour (perilaku). McGuire (1987 dalam Harahap, 2007),

menambahkan dimensi sosial-kultural sebagai dimensi tambahan dalam

Page 11: Dimensi Nyeri

multidimensional dari fenomena nyeri. Keenam dimensi ini saling

berhubungan, berinteraksi serta dinamis.

1.5.1 Dimensi Fisiologi

Dimensi fisiologi terdiri dari penyebab organik dari nyeri

tersebut seperti kanker yang telah bermetastase ke tulang, obstruksi

lumina, saraf perifer, tekanan kanker membesar, adanya iskemia,

distensi, inflamasi, dan infeksi atau nekrosis jaringan (Baradero dan

kolega, 2007). Berdasarkan dimensi fisiologis, terdapat dua

karakteristik yang melekat dalam pengalaman nyeri, yaitu: durasi

dan pola nyeri. Durasi nyeri mengacu kepada apakah nyeri yang

dialami tersebut akut atau kronik sedangkan pola nyeri dapat

diidentifikasi sebagai nyeri singkat, sekejap, atau transient, ritmik,

periodik, atau juga nyeri berlanjut, menetap atau konstan (Priharjo,

1993).

Sumber nyeri pada kasus kanker sangat luas. Tumor dapat

menimbulkan nyeri somatik, visceral, dan bahkan nyeri neuropatik

dengan kualitas nyeri yang berbeda-beda serta mengenai area

anatomi tubuh yang berbeda juga (Brunner & Suddarth, 2001).

Penanganan kanker juga berkontribusi dalam rangsang nyeri yang

dialami oleh pasien kanker seperti prosedur diagnostik dan standar

modalitas terapi seperti pembedahan, radioterapi dan kemoterapi.

Standar terapi ini menimbulkan nyeri akut atau juga nyeri kronik

(Rospond, 2008).

Page 12: Dimensi Nyeri

1.5.2 Dimensi afektif

Dimensi afektif dari nyeri mempengaruhi respon individu

terhadap nyeri yang dirasakannya. Menurut McGuire dan Sheilder

(1993 dalam Cleeland, 2009), dimensi afektif dari nyeri identik

dengan sifat personal tertentu dari individu. Pasien-pasien yang

mudah sekali memahami kondisi depresi atau gangguan psikologis

lainnya akan lebih mudah mengalami nyeri yang sangat

dibandingkan dengan pasien lainnya (Ruslan, 2008).

1.5.3 Dimensi sosio-kultural

Dimensi sosiokultural nyeri terdiri dari berbagai variasi dari

faktor demografi, adat-istiadat, agama, dan faktor-faktor lain yang

berhubungan yang dapat mempengaruhi persepsi nyeri dan respon

seseorang terhadap nyerinya (IASP, 2002). Kultur atau budaya

memiliki peranan yang kuat untuk menentukan faktor sikap

individu dalam mempersepsikan dan merespon nyerinya.

Sikap individu ini juga berkaitan dengan faktor usia, jenis

kelamin, dan ras. Im dan koleganya (2008) melakukan penelitian

tentang pengalaman nyeri pasien kanker pada orang Afrika-

Amerika. Mereka mengatakan bahwa pengaruh budaya terhadap

peranan wanita kuat dalam budaya orang Afrika-Amerika

cenderung menyebabkan wanita penderita kanker kurang

diperhatikan ketika mengeluh tentang nyeri dan mencari

pertolongan untuk mengatasi nyeri yang dialami. Beberapa

responden merasakan bahwa kanker sebagai suatu noda/cacat dan

Page 13: Dimensi Nyeri

mengeluh tentang nyeri yang dialami bukanlah sesuatu hal yang

harus didiskusikan secara terbuka.

1.5.4 Dimensi sensori

Dimensi sensori pada nyeri berhubungan dengan lokasi

dimana nyeri itu timbul dan bagaimana rasanya (Potter & Perry,

2005). Ahles dan koleganya (1983 dalam Harahap, 2007)

menyatakan bahwa terdapat tiga komponen spesifik dalam dimensi

sensori, yaitu lokasi, intensitas, dan kualitas nyeri.

Lokasi nyeri memberikan petunjuk penyebab nyeri bila

ditinjau dari segi aspek sensori. Lokasi nyeri itu sendiri dapat

dilaporkan oleh pasien pada dua atau lebih lokasi. Kondisi dimana

dirasakannya nyeri pada beberapa lokasi yang berbeda

mengimplikasikan keterlibatan dimensi sensori. Semakin banyak

lokasi nyeri yang dirasakan oleh pasien, maka akan semakin sulit

bagi pasien untuk melokalisasi area nyerinya (McGuire & Sheidler,

1993 dalam Potter & Perry, 2005).

Intensitas nyeri adalah sejumlah nyeri yang dirasakan oleh

individu dan seringkali digambarkan dengan kata-kata seperti

ringan, sedang, dan berat. Intensitas nyeri juga dapat dilaporkan

dengan angka yang menggambarkan skor dari nyeri yang

dirasakan, sedangkan kualitas nyeri adalah berkaitan dengan

bagaimana nyeri itu sebenarnya dirasakan individu. Nyeri yang

dialami klien seringkali tidak dapat dijelaskan (Priharjo, 1993).

1.5.5 Dimensi Kognitif

Page 14: Dimensi Nyeri

Dimensi kognitif dari nyeri menyangkut pengaruh nyeri

yang dirasakan oleh individu terhadap proses pikirnya atau

pandangan individu terhadap dirinya sendiri (Chong, 1999).

Respon pikiran individu terhadap nyeri yang dirasakan dapat

diasosiasikan dengan kemampuan koping individu menghadapi

nyerinya (Ruslan, 2008).

Pengetahuan adalah aspek yang penting dalam dimensi

kognitif. Pengetahuan tentang nyeri dan penanganannya dapat

mempengaruhi respon seseorang terhadap nyeri. Nyeri itu sendiri

dapat dimodifikasi oleh bagaimana seseorang berpikir tentang

nyeri yang dirasakannya, apa saja pengharapannya atas nyerinya,

dan apa makna nyeri tersebut dalam kehidupannya (Chong, 1999).

1.5.6 Dimensi perilaku (behavioral)

Perilaku nyeri adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh

seseorang dan setiap perubahan kebiasaan ketika ia mengalami

nyeri yang dapat diobservasi (Wall & Jones, 1991). Tampilan

perilaku nyeri yang diperlihatkan seseorang dapat berupa guarcing,

bracing, grimacing, keluhan verbal, dan perilaku mengkonsumsi

obat.

Fordyce (1976 dalam Harahap, 2007) mengajukan bahwa

perilaku nyeri dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau dapat

juga direinforce oleh perhatian, dukungan sosial, atau menghindari

kegiatan yang dapat merangsang nyeri (seperti bekerja di kantor,

pekerjaan rumah tangga). Nyeri, jika diikuti oleh faktor

Page 15: Dimensi Nyeri

pendukung, maka nyeri akan bertahan lebih lama dari waktu

penyembuhan normalnya.

1.6 Penanganan nyeri

Strategi penatalaksanaan nyeri mencakup baik pendekatan

farmakologis dan nonfarmakologis (Brunner & Suddart, 2001).

Pendekatan ini diseleksi berdasarkan pada kebutuhan dan tujuan pasien

secara individu.

1.6.1 Farmakologis

Beberapa agen farmakologis digunakan untuk menangani

nyeri. Metode yang paling umum digunakan untuk mengatasi nyeri

adalah analgesik. (Brunner & Suddarth, 2001). Ada tiga jenis

analgesik, yakni: non-narkotik dan obat antiinflamasi nonsteroid

(NSAID), analgesik narkotik atau opiat, dan obat tambahan

(adjuvant) atau koanalgesik (Potter & Perry, 2005).

NSAID non-narkotik umumnya menghilangkan nyeri

ringan dan nyeri sedang, seperti nyeri yang terkait dengan arthritis

rheumatoid, prosedur, pengobatan gigi, dan prosedur bedah minor,

episiotomi, dan masalah pada punggung bagian bawah (Brunner &

Suddarth, 2001). Satu pengecualian, yaitu Ketorolac (Toradol),

merupakan agen analgesik pertama yang dapat diinjeksikan yang

kemanjurannya dapat dibandingkan dengan morphin (Muttaqin,

2008).

Page 16: Dimensi Nyeri

Mekanisme kerja NSAID belum diketahui secara pasti,

namun demikian NSAID diyakini bekerja menghambat sintesis

prostaglandin dan menghambat respons selular selama inflamasi.

Kebanyakan NSAID bekerja pada reseptor saraf perifer untuk

mengurangi transmisi dan resepsi stimulus nyeri. Tidak seperti

opiat, NSAID tidak menyebabkan sedasi atau depresi pernafasan,

juga tidak mengganggu fungsi berkemih atau defekasi (Muttaqin,

2008).

Analgesik opiat atau narkotik umumnya diresepkan untuk

nyeri yang sedang sampai berat, nyeri pascaoperasi dan nyeri

maligna. Ini bekerja pada sistem saraf pusat untuk menghasilkan

kombinasi efek yang mendepresi dan menstimulasi. Adjuvan,

seperti sedatif, anticemas, dan relaksan otot meningkatkan

kontrol nyeri atau menghilangkan gejala lain yang terkait dengan

nyeri, seperti depresi dan mual (Brunner & Suddarth, 2001).

1.6.2 Nonfarmakologis

Ada sejumlah terapi nonfarmakologis yang mengurangi

resepsi dan persepsi nyeri dan dapat digunakan pada keadaan

perawatan akut dan perawatan tersier sama seperti di rumah dan

pada keadaan perawatan restorasi. Dengan cara yang sama, terapi-

terapi ini digunakan dalam kombinasi dengan tindakan

farmakologis (Potter & Perry, 2005).

a. Sentuhan terapeutik

Page 17: Dimensi Nyeri

Teknik ini dikembangkan oleh Kunz dan Krieger di mana

sentuhan teraupetik ini sebagian berasal dari praktik kuno

“meletakkan tangan” (Mackey, 1995 dalam Potter & Perry, 2005).

Teori ini mengatakan bahwa individu yang sehat mempunyai

keseimbangan energi (ekulibrium) antara tubuh dengan

lingkungan luar. Orang sakit berarti ada ketidakseimbangan

energi, dengan memberikan sentuhan pada klien, diharapkan ada

transfer energi ke klien.

Sentuhan terapeutik meliputi penggunaan tangan untuk

secara sadar melakukan pertukaran energi. Terdapat 4 langkah

dasar untuk melakukan teknik ini, yaitu pemusatan, pengkajian,

terapi, dan evaluasi. Setiap tahap umumnya melaju dengan

langkah berikutnya dan proses secara keseluruhan berlangsung

sekitar 25 menit (Potter & Perry, 2005).

b. Imajinasi terbimbing (guided imagery)

Imajinasi terbimbing adalah menggunakan imajinasi

seseorang dalam suatu cara yang dirangsang secara khusus untuk

mencapai efek positif tertentu (Brunner & Suddarth, 2001). Hal

ini dapat dilakukan dengan meminta klien berimajinasi

membayangkan hal-hal yang menyenangkan, tindakan ini

memerlukan suasana dan ruangan yang tenang serta konsentrasi

dari klien. Apabila klien mengalami kegelisahan, tindakan harus

dihentikan. Tindakan ini dilakukan pada saat klien merasa

nyaman dan tidak sedang nyeri akut (Potter & Perry, 2005).

Page 18: Dimensi Nyeri

c. Distraksi

Distraksi, yang mencakup memfokuskan perhatian pasien

pada sesuatu selain pada nyeri, dapat menjadi suatu strategi yang

sangat berhasil dan mungkin merupakan mekanisme yang

bertanggung jawab terhadap teknik kognitif efektif lainnya (Arntz

dkk, 1991; Devine dkk, 1990 dalam Brunner & Suddarth, 2001).

Teknik ini efektif untuk nyeri ringan sampai sedang. Sistem

aktivasi retikular menghambat stimulus yang menyakitkan jika

seseorang menerima masukan sensori yang cukup dan berlebihan.

Stimulus yang menyenangkan menyebabkan pelepasan endorphin

(Jihan, 2009).

Distraksi dapat berkisar dari hanya pencegahan monoton

sampai menggunakan aktivitas fisik dan mental yang sangat

kompleks. Teknik distraksi lain yang bisa dilakukan antara lain,

distraksi visual (melihat TV atau pertandingan bola), distraksi

audio (mendengar musik), distraksi sentuhan (masase, memegang

mainan), distraksi intelektual (merangkai puzzle, main catur)

(Potter & Perry, 2005).

d. Stimulasi kutaneus

Penggunaan stimulasi kutaneus yang benar dapat

mengurangi persepsi nyeri dan membantu mengurangi

ketegangan otot. Meek (1993 dalam Potter & Perry, 2005)

mengatakan bahwa sentuhan dan masase merupakan teknik

integrasi sensori yang mempengaruhi aktivitas system saraf

Page 19: Dimensi Nyeri

otonom. Apabila individu mempersepsikan sentuhan sebagai

stimulus untuk rileks, kemudian akan muncul respon relaksasi.

Tindakan masase punggung dengan usapan perlahan pada klien

dengan nyeri kanker terbukti menurunkan intensitas nyeri

(Usman, 2005).

Selain itu, stimulasi kutaneus dapat digunakan dengan cara

pemberian kompres dingin, kompres hangat, balsam analgesik

dan stimulasi kontralateral (Muttaqin, 2008). Pemberian kompres

hangat dan dingin lokal bersifat terapeutik. Area pemberian

kompres panas dan dingin bisa menyebabkan respon sistemik dan

respon lokal (Istichomah, 2007).

Kompres panas adalah memberikan rasa hangat pada

daerah tertentu dengan menggunakan cairan atau alat yang

menimbulkan hangat pada bagian tubuh yang memerlukan.

Tindakan ini selain untuk melancarkan sirkulasi darah juga untuk

menghilangkan rasa sakit, merangsang peristaltik usus,

pengeluaran getah radang menjadi lancar, serta memberikan

ketenangan dan kesenangan pada klien. Pemberian kompres

dilakukan pada radang persendian, kekejangan otot, perut

kembung, dan kedinginan (Istichomah, 2007).

Kompres dingin adalah memberi rasa dingin pada daerah

setempat dengan menggunakan kain yang dicelupkan pada air

biasa atau air es sehingga memberi efek rasa dingin pada daerah

tersebut. Tujuan diberikan kompres dingin adalah menghilangkan

Page 20: Dimensi Nyeri

rasa nyeri akibat edema atau trauma, mencegah kongesti kepala,

memperlambat denyutan jantung, mempersempit pembuluh darah

dan mengurangi arus darah lokal. Tempat yang diberikan kompres

dingin tergantung lokasinya. Selama pemberian kompres, kulit

klien diperiksa setelah 5 menit pemberian, jika dapat ditoleransi

oleh kulit diberikan selama 20 menit (Potter & Perry, 2005).

2. PENGALAMAN NYERI

2.1 Konsep pengalaman nyeri

Nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak

menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial,

atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut (IASP, 1979

dalam Potter & Perry, 2005). Dari definisi tersebut, jelaslah terlihat

bahwa pengalaman nyeri melibatkan dimensi sensori, emosional dan juga

kognitif.

Pengalaman nyeri merupakan interaksi dari tiga sistem yang

berkaitan dengan stimulasi nosiseptif, yaitu sensori-diskriminatif,

motivasi-afektif, dan kognitif-evaluasi. Ketiga sistem ini berkontribusi

terhadap subjektivitas nyeri dan integralisasi faktor psikologis dalam

pengalaman nyeri (Melzack & Casey, 1968 dalam Cleeland, 2009).

Sistem sensori-diskriminatif di mana transmisi nyeri terjadi antara

thalamus dan korteks sensori. Seorang individu mempersepsikan lokasi,

keparahan, dan karakter nyeri. Faktor-faktor yang dapat menurunkan

tingkat kesadaran (misalnya, analgesik, anastesi, penyakit serebral)

Page 21: Dimensi Nyeri

menurunkan persepsi nyeri sementara faktor-faktor yang meningkatkan

kesadaran terhadap stimulus (misalnya, ansietas, gangguan tidur)

meningkatkan persepsi nyeri (Melzack & Casey, 1968 Potter & Pery,

2005).

Interaksi antara pembentukan sistem retikular dan sistem limbik

menghasilkan persepsi nyeri. Pembentukan retikular menghasilkan

respon pertahanan, menyebabkan individu menginterupsi atau

menghindari stimulus nyeri. Sistem limbik mengontrol respon emosi dan

kemampuan yaitu koping nyeri. Inilah yang disebut dengan sistem

motivasi-afektif (Potter & Perry, 2005).

Sementara, sistem kognitif-evaluatif, di mana pusat kortikal yang

lebih tinggi di otak mempengaruhi persepsi. Kebudayaan, pengalaman

dengan nyeri, dan emosi mempengaruhi evaluasi terhadap pengalaman

nyeri. Sistem ini membantu seseorang untuk menginterpretasi intensitas

dan kualitas nyeri sehingga dapat melakukan suatu tindakan (Arif, 2008).

2.2 Fase-fase pengalaman nyeri

Meinhart & McCaffery (1983 dalam Potter & Perry, 2005)

mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri yaitu sebagai berikut.

2.1.1 Fase antisipasi (anticipatory phases)

Fase antisipasi terjadi sebelum mempersepsikan nyeri.

Seorang individu mengetahui nyeri akan terjadi. Fase ini mungkin

bukan merupakan fase yang paling penting, karena fase ini bisa

mempengaruhi dua fase lain. Dalam situasi cedera traumatik atau

dalam prosedur nyeri yang tidak terlihat (Potter & Perry, 2005).

Page 22: Dimensi Nyeri

Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang

nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Dengan

instruksi dan dukungan yang adekuat, klien belajar untuk

memahami dan mengontrol ansietas sebelum nyeri terjadi. Pada

situasi klien merasa terlalu takut atau terlalu cemas, maka

antisipasi terhadap nyeri dapat meningkatkan antisipasi terhadap

nyeri dapat meningkatkan persepsi keparahan nyeri (Melzack,

1968 dalam Potter & Perry, 2005).

2.1.2 Fase sensasi (sensation phases)

Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. Kemunculan

dan kekuatan sensasi nyeri merupakan indikasi dari ekspresi nyeri

dan harus dibedakan dengan toleransi nyeri klien terhadap nyeri.

Toleransi nyeri merupakan kemauan klien untuk menahan lamanya

atau kuatnya nyeri tanpa bantuan nyeri (Reeder & Martin, 1997).

Toleransi bergantung pada sikap, motivasi, dan nilai yang diyakini

oleh seseorang (Potter & Perry, 2005).

Toleransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu

orang dengan orang lain. Orang yang mempunyai tingkat toleransi

tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus

kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah

akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien

dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan

nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap

Page 23: Dimensi Nyeri

nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum

nyeri datang (Muttaqin, 2008).

Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai cara,

mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Klien

mungkin memilih untuk tidak mengekspresikan nyeri apabila

mereka yakin bahwa ekspresi tersebut akan membuat orang lain

merasa tidak nyaman atau hal itu menjadi tanda bahwa mereka

kehilangan kontrol diri (Potter & Perry, 2005).

2.1.3 Fase akibat (aftermath phase)

Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada

fase ini klien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena

nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami

gejala sisa pasca nyeri. Nyeri merupakan suatu krisis. Setelah

mengalami nyeri, klien mungkin memperlihatkan gejala-gejala

fisik, seperti menggigil, mual, muntah, marah, atau depresi.

Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon

akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat.

Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk

meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang

(Melzack, 1968; Meinhart & McCaffery, 1983 dalam Potter &

Perry, 2005).

Melzack & Casey (1968 dalam Ceeland, 2009)

menyebutkan bahwa mekanisme neurofisiologi nyeri melibatkan

tiga sistem interaksi sistem sensori-diskriminatif, motivasi-afektif,

Page 24: Dimensi Nyeri

dan kognitif-evaluatif. Pendekatan dalam pengukuran nyeri yang

didasarkan pada tiga pola respon yang berbeda terhadap kata yang

digunakan pasien untuk mendeskripsikan nyeri yang mereka alami.

Tetapi dari penelitian yang telah dilakukan, pasien yang

diwawancarai sulit membedakan antara dimensi motivasi-afektif

dan kognitif-evaluatif (Ceeland, 1989; Ceeland, 1990).

Secara umum, peneliti menemukan dua dimensi dalam

melaporkan nyeri paling banyak mengalami perubahan dalam

mendiskripsikan nyeri yang dialami klien. Beecher (1959 dalam

Ceeland, 2009) menyebutnya dimensi “nyeri” dan “reaksi terhadap

nyeri”; Clark dan Yang (1983 dalam Ceeland, 2009) menyebutnya

“sensori-diskriminatif” dan “sikap (behaviour)”. Selanjutnya

Beecher, mereka menyebutnya dimensi “sensori” dan reaksi”

(Ceeland, 1989). Ada beberapa item yang dikembangkan dalam

melaporkan nyeri yang dialami oleh seseorang yang disebut

dimensi “sensori” nyeri (intensitas atau keparahan) dan dimensi

“reaktif” (gangguan dalam melakukan fungsi sehari-hari).

2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengalaman nyeri

Banyak faktor yang mempengaruhi pengalaman nyeri karena nyeri

merupakan sesuatu yang kompleks; di antaranya adalah sebagai berikut.

2.3.1 Usia

Salah satu variabel penting yang mempengaruhi nyeri,

khususnya pada anak-anak dan lansia adalah usia. Anak-anak kecil

Page 25: Dimensi Nyeri

yang belum dapat mengucapkan kata-kata akan mengalami

kesulitan untuk mengungkapkan secara verbal dan

mengekspresikan nyeri kepada orangtua dan petugas kesehatan.

Pada lansia yang mengalami nyeri, perlu dilakukan

pengkajian, diagnosis, dan penatalaksanaan secara agresif. Herr

dan Mobily (1991 dalam Muttaqin, 2008) mencatat bahwa klien

lansia tidak melaporkan nyeri karena klien lansia yakin bahwa

nyeri merupakan sesuatu yang harus mereka terima.

Lansia akan menyangkal bahwa mereka merasakan nyeri

karena mereka takut akan konsekuensi yang tidak diketahui seperti

akan dilakukan tindakan diagnostik. Klien lansia juga seringkali

menggunakan berbagai cara untuk mengalihkan perhatian dari

nyeri karena mereka yakin bahwa memperlihatkan respon terhadap

nyeri merupakan hal yang tidak dapat diterima (Potter & Perry,

2005).

2.3.2 Jenis kelamin

Secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara

bermakna dalam berespon terhadap nyeri. Beberapa kebudayaan

yang mempengaruhi jenis kelamin misalnya ada kebudayaan yang

menganggap seorang laki-laki harus lebih berani dan tidak boleh

menangis, sedangkan seorang anak perempuan boleh menangis

dalam situasi yang sama seperti pada bangsa Somalia (Arthurs,

2010).

Page 26: Dimensi Nyeri

2.3.3 Kebudayaan

Budaya mempengaruhi ekspresi dan persepsi terhadap nyeri

dan apakah individu menceritakan nyeri tersebut kepada orang lain

termasuk ke penyedia pelayanan. Keyakinan dan nilai-nilai budaya

mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri. Individu

mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh

kebudayaan mereka (Potter & Perry, 2005).

Beberapa kebudayaan yakin bahwa memperlihatkan nyeri

adalah sesuatu yang alamiah. Kebudayaan yang lain cenderung

untuk melatih perilaku tertutup (introvert). Clancy dan McVicar

(1992 dalam Potter & Perry, 2005) menyatakan bahwa sosialisasi

budaya menentukan perilaku psikologis seseorang. Dengan

demikian, hal ini dapat mempengaruhi pengeluaran fisiologis opiat

endogen dan terjadilah persepsi nyeri.

Duggleby (2003 dalam Yvonne, 2009) dalam penelitiannya

menemukan bahwa budaya orang Hispanik dan Latino yang

menggunakan bahasa Spanyol dapat ditemukan di Amerika

Selatan, Amerika Tengah, dan negara-negara kepulauan seperti

Kuba dan Puerto Riko berbeda termasuk karena memiliki

kebangsaan yang berbeda. Agama sangat mempengaruhi

pengalaman nyeri orang Hispanik. Pengalaman nyeri yang dialami

orang Hispanik cenderung menunjukan sikap tenang karena nyeri

yang timbul dianggap sebagai sesuatu yang harus diterima dan

ditahan.

Page 27: Dimensi Nyeri

Nyeri juga dipandang sebagai hukuman bagi yang

berkelakuan buruk dan tidak sopan. Dalam budaya orang Hispanik,

seseorang telah dikodratkan mengalami nyeri dan dia seharusnya

menerimanya untuk membuktikan bahwa dia memiliki kepribadian

yang kuat dan ketabahan dan dia juga tidak terlihat lemah.

Chen, dkk., (2003 dalam Yvonne, 2008) menemukan

bahwa dalam kebudayaan Cina, nyeri merupakan suatu hasil yang

dihalangi Qi. Untuk menghilangkan nyeri, maka penghalangnya

harus dipindahkan dan pasien harus kembali menyeimbangkan

keadaannya dengan lingkungan (alam). Pasien Cina lebih memilih

tidak mengeluh dengan nyeri yang dialami karena akan membantu

mengatur kembali dunia yang sebenarnya, daripada mereka

memandang nyeri sebagai ujian atau pengorbanan yang dibutuhkan

untuk menciptakan kembali keseimbangan dan keharmonisan

dalam hidupnya.

Nyeri dirasakan sebagai sensasi yang sangat kuat yang

berasal dari sebuah penghambat dalam kehidupan sebelumnya atau

orang lain, hewan, dan secara material. Jika pasien adalah seorang

Budha, dia masih merasa tenang karena ketika nyeri muncul hal ini

seperti membawa dirinya ke keadaan yang lebih baik. Bagi pasien

Cina, pengalaman nyeri mungkin memiliki peranan positif dalam

menunjukkan identitas budayanya (Yvonne, 2009).

Page 28: Dimensi Nyeri

2.3.4 Makna nyeri

Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri

mempengaruhi pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi

terhadap nyeri. Individu akan mempersepsikan nyeri dengan cara

yang berbeda-beda, apabila nyeri tersebut memberi kesan ancaman,

kehilangan, hukuman, dan tantangan. Derajat dan kualitas nyeri

yang dipersepsikan klien berhubungan dengan makna nyeri

(Priharjo, 1993).

2.3.5 Perhatian

Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada

nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang

meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan

upaya pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan respon yang

menurun (Gil, 1990 dalam Potter & Perry, 2005).

2.3.6 Ansietas

Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi

nyeri juga dapat menimbulkan suatu perasaan ansietas. Individu

yang sehat secara emosional, biasanya lebih mampu mentoleransi

nyeri sedang hingga berat daripada individu yang memiliki status

emosional yang kurang stabil (Muttaqin, 2008).

2.3.7 Keletihan

Keletihan juga meningkatkan persepsi nyeri. Rasa

kelelahan menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan

menurunkan kemampuan koping. Hal ini dapat menjadi masalah

Page 29: Dimensi Nyeri

umum pada setiap individu yang menderita penyakit dalam jangka

lama. Persepsi nyeri akan terasa lebih berat lagi, apabila keletihan

disertai dengan kesulitan tidur (Muttaqin, 2008).

2.3.8 Pengalaman sebelumnya

Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri. Pengalaman

nyeri sebelumnya tidak selalu berarti bahwa individu tersebut akan

menerima nyeri dengan lebih mudah pada masa yang akan datang.

Apabila individu sejak lama mengalami serangkaian episode nyeri

tidak pernah sembuh atau menderita nyeri yang berat, maka

ansietas dan rasa takut dapat muncul (Brunner & Suddarth, 2001).

2.3.9 Gaya koping

Gaya koping mempengaruhi kemampuan individu untuk

mengatasi nyeri. Individu, yang memiliki lokus kendali internal

mempersepsikan diri mereka sebagai individu yang dapat

mengendalikan lingkungan mereka dan hasil akhir suatu peristiwa,

seperti nyeri (Gill, 1990 dalam Potter & Perry, 2005). Sebaliknya,

individu yang memiliki lokus kendali eksternal, mempersepsikan

faktor-faktor lain di dalam lingkungan mereka. Individu yang

memiliki lokus kendali internal melaporkan mengalami nyeri yang

tidak terlalu berat daripada individu yang memiliki lokus kendali

eksternal (Schultheis, 1987 dalam Potter & Perry, 2005).

2.3.10 Dukungan keluarga dan sosial

Kehadiran orang-orang terdekat klien dan bagaimana sikap

mereka kepada klien juga merupakan faktor yang mempengaruhi

Page 30: Dimensi Nyeri

respon nyeri. Ada banyak hal yang mempengaruhi intensitas nyeri

yang dialami oleh penderita kanker, salah satunya pengaruh

dukungan pasangan hidup. Pasangan hidup mengambil peranan

yang besar dalam penguatan pasien akan nyeri yang dialami

(Muttaqin, 2008).

Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung

kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh

dukungan, bantuan, atau perlindungan. Walaupun nyeri tetap

dirasakan, kehadiran orang yang dicintai akan meminimalkan

kesepian dan ketakutan (Niven, 2000).

2.4 Pengukuran pengalaman nyeri

Pengalaman nyeri diukur dengan menggunakan Brief Pain

Inventory (BPI). Sebuah panel konsensus merekomendasikan bahwa ada

2 bagian yang diukur oleh BPI yaitu intensitas nyeri atau keparahan dan

pengaruh nyeri dalam melakukan fungsi (gangguan) termasuk hasil

pemeriksaan klinis semua nyeri kronis (IMMPACT, Turk dan koleganya,

2003 dalam Cleeland, 2009). Persetujuan umum IMMPACT

mengidentifikasi terkhusus item gangguan (interference) pada BPI,

dengan skala 0-10, salah satu dari dua skala yang direkomendasikan

dalam melakukan pengkajian nyeri terkait dengan gangguan dalam

melakukan fungsi.

BPI mengkaji keparahan (intensitas) nyeri yang dialami oleh

pasien yaitu: nyeri paling buruk, nyeri paling ringan, nyeri sedang (rata-

Page 31: Dimensi Nyeri

rata) dan nyeri sekarang. BPI juga mengukur sejauh mana nyeri

mengganggu fungsi dalam melakukan tujuh kegitan sehari-hari termasuk

bagaimana hubungan dengan orang lain, menikmati hidup, suasana hati,

tidur, kemampuan berjalan, aktivitas sehari-hari, dan bekerja. Untuk

menilai intensitas nyeri dan gangguan (interference) terhadap fungsi

sehari-hari adalah dengan menggunakan skala numerik dengan skala 0-

10 (Cleeland, 2009).

BPI juga menanyakan lokasi nyeri, jenis pengobatan atau obat

yang dikonsumsi dan persentasi keyakinan pasien terhadap pengobatan

atau obat yang dikonsumsi bisa mengurangi nyeri yang dialami

(Cleeland, 2009).

3. PENGALAMAN NYERI PADA PASIEN NYERI KRONIS

Pengalaman nyeri kronis merupakan suatu interaksi yang kompleks dan

dinamis dari berbagai faktor termasuk secara biologis, sosial, psikologis,

lingkungan (seperti lingkungan sosial terdekat pasien dan keluarga). Hal ini

menghasilkan hubungan yang non-linear antara nyeri kronis yang disebabkan oleh

kanker dan akibatnya.

Pengalaman nyeri kronis merupakan sebuah sistem yang meliputi

pengukuran nyeri (intensitas atau keparahan nyeri) dan interaksi beberapa proses

yang berhubungan dengan nyeri kronis (depresi, tingkat kecemasan, tidur, dan

stress) (Shipton, 2008). Intensitas nyeri merupakan gambaran tentang seberapa

parah nyeri dirasakan oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif

dan individual (Priharjo, 1993).

Page 32: Dimensi Nyeri

Nyeri kronik merupakan penyebab utama ketidakmampuan fisik dan

psikologis baik ketika berhubungan dengan orang lain, menikmati hidup, suasana

hati, tidur, kemampuan berjalan, aktivitas sehari-hari, dan bekerja (Cleeland,

2009). Berikut ini akan dijelaskan pengaruh nyeri kronis terhadap kehidupan

individu dalam melakukan fungsi (tugas) sehari-hari.

2.4.1 Hubungan dengan orang lain

Klien yang mengalami nyeri kronik seringkali mengalami periode

remisi (gejala hilang sebagian atau keseluruhan) dan eksaserbasi

(keparahan meningkat) (Muttaqin, 2008). Sifat nyeri kronik, yang tidak

dapat diprediksi ini, membuat klien frustasi dan seringkali mengarah pada

depresi psikologis (Disorbio & Bruns, 2005). Flor, dkk. (1993 dalam Potter

& Perry, 2005) melaporkan bahwa klien yang mengalami nyeri kronik

mengungkapkan lebih pernyataan diri negatif terkait nyeri dan memiliki

keyakinan lebih bahwa mereka tidak berdaya daripada klien sehat. Hal ini

dapat mengganggu individu hubungan personal dengan orang lain bahkan

sering terjadi isolasi sosial dari keluarga dan teman-teman (Disorbio &

Bruns, 2005).

2.4.2 Menikmati hidup

Individu yang mengalami nyeri kronis seringkali tidak

memperlihatkan gejala yang berlebihan dan tidak beradaptasi terhadap

nyeri, tetapi tampaknya lebih menderita seiring dengan perjalanan waktu

(Muttaqin, 2008). Nyeri melelahkan dan menuntut energi dari individu

yang mengalaminya. Hal ini juga mempengaruhi kemampuan individu

untuk mempertahankan perawatan dirinya. Pasien yang mengalami nyeri

Page 33: Dimensi Nyeri

kronis juga sering mengalami gejala anoreksia dan penurunan berat badan

(Mahon, 1994 dalam Potter & Perry, 2005).

2.4.3 Sikap (suasana hati)

Faktor-faktor psikologis memainkan peranan yang signifikan

terhadap nyeri kronik dan dalam masa transisi nyeri akut menjadi nyeri

kronik, dan bukti neurosains serta bukti klinis memperlihatkan hubungan

yang erat antara nyeri dan status mood (Ruslan, 2008). Nyeri yang menetap

tersebut mempengaruhi komponen emosional pasien serta seringkali

disertai dengan depresi dan/atau kecemasan, kemarahan dan merasa putus

asa (Muttaqin, 2008).

Kehidupan individu yang mengalami nyeri kronis dapat merupakan

kehidupan yang tragis. Nyeri kronis biasanya lebih kompleks dan lebih sulit

untuk ditangani, diobati atau dikontrol. Klien dengan nyeri kronis harus

menjalani serangkaian pengobatan (misalnya pembedahan) dimana

pengobatan ini seringkali mengakibatkan nyeri yang dialami klien

bertambah buruk (Disorbio & Bruns, 2005).

Individu seringkali berkonsultasi dengan tenaga kesehatan dan

dengan demikian mereka mengumpulkan berbagai obat-obatan dan terapi.

Namun, dengan mengkonsumsi beberapa obat, individu dapat mengalami

efek samping obat yang tidak diharapkan. Klien merasa putus asa dalam

usaha mengatasi nyeri dapat menjadi mangsa perdukunan (misalnya

penggunaan obat gosok khusus, diet, atau peralatan penghilang nyeri).

Alternatif lain adalah penggunaan alkohol (Muttaqin, 2008).

Page 34: Dimensi Nyeri

2.4.4 Tidur

Tidur dan istrahat sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien nyeri

kronis. Sekitar 50 % pasien nyeri kronis mengalami gangguan tidur yang

simultan (Shipton, 2008). Setiap penyakit yang mengakibatkan nyeri,

ketidaknyamanan fisik (mis. kesulitan bernafas), atau masalah suasana hati,

seperti kecemasan atau depresi, dapat menyebabkan masalah tidur.

Seseorang dengan perubahan seperti itu mempunyai masalah kesulitan

tertidur atau tetap tertidur. Gangguan tidur yang sering dialami adalah

insomnia (Potter & Perry, 2005).

2.4.5 Kemampuan berjalan

Salah satu pengaruh nyeri kronis yang berat adalah keterbatasan

mobilisasi. Tidak bisa bergerak dengan nyaman karena dibatasi oleh nyeri

secara langsung sehingga tidak leluasa. Hal ini mempengaruhi individu

untuk melakukan aktivitas sederhana seperti berkurang kemampuan untuk

berjalan karena nyeri sangat melelahkan dan menuntut energi yang banyak

(Quek, 2008).

2.4.6 Aktivitas sehari-hari

Nyeri kronis yang terjadi sepanjang waktu yang lama sering

mengakibatkan ketidakmampuan untuk melanjutkan aktivitas sebelum

nyeri terjadi. Ketidakmampuan ini dapat berkisar dari membatasi

keikutsertaan dalam aktivitas fisik sampai tidak mampu memenuhi

kebutuhan pribadi, seperti berpakaian atau makan (Brunner & Suddarth,

2001).

Page 35: Dimensi Nyeri

2.4.7 Bekerja

Nyeri yang sifatnya tidak menyenangkan dan mengganggu

kehidupan secara baik secara fisik dan psikologis bisa mengakibatkan

individu kehilangan pekerjaan (Potter & Perry, 2005).