DILEMA HAK PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DAN PENGAWASAN …

17
234 DILEMA HAK PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DAN PENGAWASAN SIBER: TANTANGAN DI MASA DEPAN Anggi Anggraeni Kusumoningtyas & Puspitasari Kajian Ketahanan Nasional Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia Email: [email protected] & [email protected] Naskah diterima: 13/6/2020, direvisi: 22/6/2020, disetujui: 26/6/2020 Abstract This research focuses on the debate over cyber surveillance in the framework of national security and its resistance to the right to protection of personal data which then raises the dilemma. The purpose of this study is to analyze how cyber-surveillance is used by countries as a system/prevention tool to deal with various threats to national security. Finally, community resistance to this phenomenon and its implications is examined, especially about the privacy of personal data as part of human rights which is a principle that is held in high regard in a democratic country such as Indonesia. To get comprehensive results, this research uses a qualitative approach with a case study method, the data of which are collected through literature and document studies. The results of the research and discussion in this study are following the issues that are the focus of the study so that the following matters are found: First, the landscape of cyber-surveillance changes around the world after 9/11, where concerns about the privacy of personal data and civil liberties are overcome by concerns about security. For counterterrorism reasons, securitization using cyber technology was introduced and legitimized, while the population was disciplined to accept this system as a “price for security”. Second, the emphasis is on the important role played by independent data protection agencies in ensuring the effective implementation of laws designed to protect identifiable information. Key words: cyber surveillance, personal data protection rights, national security, democracy. Abstrak Penelitian ini berfokus pada perdebatan pengawasan siber dalam kerangka keamanan nasional dan resistensinya terhadap hak perlindungan data pribadi yang kemudian memunculkan dilema. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimana pengawasan siber digunakan oleh negara-negara sebagai sistem/perangkat pencegahan untuk menghadapi berbagai ancaman terhadap keamanan nasional. Akhirnya, resistensi masyarakat terhadap fenomena ini dan implikasinya diperiksa, terutama menyangkut privasi atas data pribadi sebagai bagian dari hak asasi manusia yang merupakan prinsip yang dijunjung tinggi dalam negara demokrasi seperti Indonesia. Untuk mendapatkan hasil yang komprehensif, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus, yang datanya dikumpulkan melalui studi pustaka dan dokumen. Hasil penelitian dan pembahasan dalam penelitian ini sesuai dengan permasalahan yang dijadikan fokus penelitian sehingga didapati hal-hal sebagai berikut: Pertama, lanskap pengawasan siber berubah di seluruh dunia pasca 9/11, di mana kekhawatiran tentang privasi atas data pribadi dan kebebasan sipil dikalahkan oleh kekhawatiran tentang keamanan. Dengan alasan kontraterorisme, sekuritisasi dengan menggunakan teknologi siber diperkenalkan dan semakin dilegitimasi, sementara populasi didisiplinkan untuk secara sukarela menerima sistem ini sebagai “harga untuk keamanan”. Kedua, penekanan pada peran penting yang dimainkan oleh lembaga perlindungan data independen dalam memastikan implementasi undang-undang yang efektif yang dirancang untuk melindungi informasi yang dapat diidentifikasi secara pribadi. Kata kunci: pengawasan siber, hak perlindungan data pribadi, keamanan nasional, demokrasi.

Transcript of DILEMA HAK PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DAN PENGAWASAN …

Page 1: DILEMA HAK PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DAN PENGAWASAN …

234

DILEMA HAK PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DAN PENGAWASAN SIBER: TANTANGAN DI MASA DEPAN

Anggi Anggraeni Kusumoningtyas & PuspitasariKajian Ketahanan Nasional

Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas IndonesiaEmail: [email protected] & [email protected]

Naskah diterima: 13/6/2020, direvisi: 22/6/2020, disetujui: 26/6/2020

Abstract

This research focuses on the debate over cyber surveillance in the framework of national security and its

resistance to the right to protection of personal data which then raises the dilemma. The purpose of this study

is to analyze how cyber-surveillance is used by countries as a system/prevention tool to deal with various

threats to national security. Finally, community resistance to this phenomenon and its implications is examined,

especially about the privacy of personal data as part of human rights which is a principle that is held in

high regard in a democratic country such as Indonesia. To get comprehensive results, this research uses a

qualitative approach with a case study method, the data of which are collected through literature and document

studies. The results of the research and discussion in this study are following the issues that are the focus of

the study so that the following matters are found: First, the landscape of cyber-surveillance changes around

the world after 9/11, where concerns about the privacy of personal data and civil liberties are overcome by

concerns about security. For counterterrorism reasons, securitization using cyber technology was introduced

and legitimized, while the population was disciplined to accept this system as a “price for security”. Second,

the emphasis is on the important role played by independent data protection agencies in ensuring the effective

implementation of laws designed to protect identifiable information.

Key words: cyber surveillance, personal data protection rights, national security, democracy.

Abstrak

Penelitian ini berfokus pada perdebatan pengawasan siber dalam kerangka keamanan nasional dan

resistensinya terhadap hak perlindungan data pribadi yang kemudian memunculkan dilema. Tujuan dari

penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimana pengawasan siber digunakan oleh negara-negara

sebagai sistem/perangkat pencegahan untuk menghadapi berbagai ancaman terhadap keamanan nasional.

Akhirnya, resistensi masyarakat terhadap fenomena ini dan implikasinya diperiksa, terutama menyangkut

privasi atas data pribadi sebagai bagian dari hak asasi manusia yang merupakan prinsip yang dijunjung

tinggi dalam negara demokrasi seperti Indonesia. Untuk mendapatkan hasil yang komprehensif, penelitian ini

menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus, yang datanya dikumpulkan melalui studi

pustaka dan dokumen. Hasil penelitian dan pembahasan dalam penelitian ini sesuai dengan permasalahan

yang dijadikan fokus penelitian sehingga didapati hal-hal sebagai berikut: Pertama, lanskap pengawasan

siber berubah di seluruh dunia pasca 9/11, di mana kekhawatiran tentang privasi atas data pribadi

dan kebebasan sipil dikalahkan oleh kekhawatiran tentang keamanan. Dengan alasan kontraterorisme,

sekuritisasi dengan menggunakan teknologi siber diperkenalkan dan semakin dilegitimasi, sementara

populasi didisiplinkan untuk secara sukarela menerima sistem ini sebagai “harga untuk keamanan”.

Kedua, penekanan pada peran penting yang dimainkan oleh lembaga perlindungan data independen dalam

memastikan implementasi undang-undang yang efektif yang dirancang untuk melindungi informasi yang

dapat diidentifikasi secara pribadi.

Kata kunci: pengawasan siber, hak perlindungan data pribadi, keamanan nasional, demokrasi.

Page 2: DILEMA HAK PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DAN PENGAWASAN …

235

Dilema Hak Perlindungan Data Pribadi dan Pengawasan Siber... (Anggi Anggraeni Kusumoningtyas & Puspitasari)

A. Pendahuluan

Pengawasan dengan menggunakan teknologi

siber, yang kemudian penulis sebut sebagai

pengawasan siber atau yang lebih populer dengan

nama cyber surveillance, kini menjadi studi yang

kian menarik untuk dibahas dan diperdebatkan.

Fenomena pandemi Covid-19 adalah salah satu

“pintu masuk” perdebatan implementasi praktik

pengawasan siber dalam skala yang lebih massif

dan semakin terlegitimasi. Yuval Noah Harari (2020),

dalam tulisannya yang berjudul “The World After

Coronavirus” menjelaskan bagaimana dalam masa

krisis seperti sekarang, dunia dihadapkan dengan

dua pilihan penting secara khusus. Pertama, antara

pengawasan dan pemberdayaan sipil. Kedua, antara

isolasi nasionalisme dan solidaritas global.

Demi menghentikan epidemi, seluruh penduduk

harus patuh pada panduan tertentu. Adapun salah

satu metode untuk mencapai hal tersebut adalah

pemerintah harus memantau setiap orang, dan

menghukum siapa saja yang melanggar ketentuan

yang ditetapkan. Saat ini, teknologi memungkinkan

pemantauan terhadap semua orang setiap saat.1

Pemerintah hari ini dapat mengandalkan sensor di

mana-mana dan algoritma yang kuat daripada agen

manusia untuk mengawasi setiap pergerakan warga

negaranya. Dan dalam beberapa tahun belakangan,

pemerintah dan korporasi telah menggunakan

teknologi siber untuk melacak dan memantau

banyak orang. Apabila tidak berhati-hati, epidemi

akan menjadi sebuah babak baru dalam sejarah

pengawasan umat manusia.2

Salah satu persoalan yang warga negara hadapi

adalah tidak ada satu pun dari warga negara tersebut

yang mengetahui bagaimana dan kapan diawasi, dan

apa yang akan terjadi pada tahun-tahun selanjutnya.

Pengawasan siber ibarat dua sisi mata uang, di satu

sisi membawa keuntungan, di sisi lain keburukan.

Pengawasan siber tidak hanya sebagai alat dalam

menghadapi berbagai ancaman kejahatan siber,

namun juga dapat membantu memantau penyebaran

epidemi virus. Kegiatan pengawasan siber dalam

rangka pemantauan penyebaran epidemi virus ini

merupakan tindakan sementara di masa keadaan

darurat dan akan selesai setelah keadaan darurat

selesai. Akan tetapi, tindakan sementara memiliki

kebiasaan buruk melampaui kondisi darurat,

mengingat selalu akan ada kondisi darurat baru

kelak.3

Pengawasan Siber menjadi perhatian global

yang berkembang, mengikuti kasus pengungkapan

Snowden4, kontroversi terbaru tentang Cambridge

Analytica (CA), kampanye Donald J. Trump,

lalu semakin menemukan legitimasinya dengan

momentum pandemi covid-19. Pemerintah di seluruh

dunia telah menyadari pentingnya ruang siber

untuk menjaga keamanan siber dan mengamankan

ruang siber mengingat sifat ganda dari dunia siber.5

Terutama pasca serangan teror 11 September 2001

(9/11), telah ada penekanan kuat pada pengamanan

dan pemanfaatan kemampuan ruang siber untuk

mencegah serangan siber di masa depan.6 Siber yang

memiliki potensi untuk menghasilkan pengetahuan,

pada gilirannya juga digunakan oleh pemerintah

untuk mengendalikan dan mengambil tindakan

pencegahan terhadap berbagai resiko kejahatan.

Pengetahuan dan pengawasan adalah dua produk

siber yang memunculkan dilema. Budaya libertarian

yang mendominasi siber saat ini berpendapat bahwa

intervensi negara ke dalam tindakan pribadi hanya

diperlukan untuk mencegah timbulnya bahaya.7

1. Noah Harari, Yuval. 2000. Yuval Noah Harari: The World After Coronavirus. Diunduh di https://www.ft.com/con-tent/19d90308-6858-11ea-a3c9-1fe6fedcca75, diakses pada 7 Juni 2020 pukul 12.22 WIB.2. Ibid.3. Ibid.4. Edward Snowden adalah seorang pengungkap fakta yang telah bekerja dengan National Security Agency AS (NSA).5. Renard, Thomas. “The Rise of Cyber-Diplomacy: The EU, It’s Strategic Partners and Cyber-Security.” ESPO working paper. Eurostrategic Partnerships and Transnational Threats. European Strategic Partnerships Observatory, 2014. http://strategicpartnerships.eu/2014/06/the-rise-of-cyber-diplomacy/, diakses pada 1 Februari 2020 pukul 12.00 WIB, hlm. 7.6. Radu, Roxana. “Power Technology and Powerful Technologies: Global Governmentality and Security in the Cyber-space.” In Cyberspace and International Relations, edited by Jan-Frederik Kremer and Benedikt Müller, 3–20. Berlin, Heidelberg: Springer Berlin Heidelberg, 2014, diakses pada 1 Maret 2020 pukul 12.00 WIB, hlm. 13.7. Boyle, James. “Foucault in Cyberspace: Surveillance, Sovereignty, and Hardwired Censors.” University of Cincinnati Law Review 66 (January 1, 1997): 177–205, hlm. 1.

Page 3: DILEMA HAK PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DAN PENGAWASAN …

236

Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 17 No. 2 - Juni 2020 : 234-250

Pemerintah dapat memiliki alasan yang sah untuk

menggunakan pengawasan siber dalam rangka

menjaga keamanan nasional. Namun di sisi lain,

pengawasan siber dapat mengganggu hak privasi

atas data pribadi dan kebebasan berekspresi jika

tidak dilakukan sesuai dengan kriteria yang ketat.

Kekhawatiran ini sejalan dengan apa yang terjadi

di Indonesia. Pemerintah dalam Naskah Akademik

(NA) Rancangan Undang-Undang Keamanan dan

Ketahanan Siber menyebutkan demikian:

“Belum adanya ketentuan-ketentuan yang secara khusus mengatur mengenai keamanan siber, menimbulkan kerentanan dan gangguan pula terhadap Hak Asasi Manusia. Pada penjabaran tentang beberapa kasus dan berbagai kebutuhan masyarakat dalam ruang siber, menggambarkan hubungan yang saling ketergantungan antara Hak Asasi Manusia dengan Keamanan Siber. Untuk itu, perlunya pengaturan terhadap Keamanan Siber untuk mewujudkan dua hal penting dalam usaha melindungi Hak Asasi Manusia pada ruang siber yaitu menciptakan ruang siber yang aman bagi semua penggunanya, dan juga membuat lingkungan yang aman untuk Hak Asasi Manusia pada ranah siber. Kedua hal yang relatif baru ini antara Keamanan Siber dan Hak Asasi Manusia, sangat terkait dan saling terikat yang tidak bisa diabaikan salah satunya (Naskah Akademik RUU Keamanan dan Ketahanan Siber, 2019: 23-24).”

Berbagai fenomena berkaitan dengan

pemanfaatan dan penyalahgunaan teknologi siber

yang menimbulkan kekhawatiran di masa depan telah

terjadi di berbagai belahan dunia. Pada pertengahan

Maret 2018, perusahaan konsultan data Cambridge

Analytica (CA) terekspos dalam transaksi ekstra

yudisial dengan kampanye Trump, di mana perusahaan

memanen lebih dari 50 juta profil Facebook tanpa

persetujuan dan justifikasi hukum. Menurut para

kritikus, langkah itu tidak hanya ilegal, tetapi juga

mempengaruhi hasil pemilihan AS secara signifikan.

Pada 5 Juni 2013, The Guardian8, menerbitkan

serangkaian pemberitahuan tentang pengawasan

massal tanpa pandang bulu oleh National Security

Agency AS (NSA) dan Government Communications

Headquarters (GCHQ). Edward Snowden, seorang

pengungkap fakta yang telah bekerja dengan NSA,

memberikan bukti nyata dari program pengawasan

komunikasi global yang memantau aktivitas intenet

dan telepon dari ratusan juta orang di seluruh dunia.9

Ke dua contoh peristiwa tersebut telah menunjukkan

hubungan kekuasaan yang sangat besar dalam

neksus industri pengawasan-teknologi, mengirimkan

tanda peringatan di seluruh dunia siber dalam hal

keamanan data pribadi, berbagi data, perlindungan

data, dan lokalisasi data.

Inti dari perdebatan pengawasan siber adalah

persetujuan dan pengetahuan dari pihak yang datanya

sedang disurvei, manfaat keamanan, informasi, serta

intelijen yang diperoleh dari pengawasan tersebut.

Hak atas perlindungan data pribadi di sisi lain,

memiliki definisi yang lebih langsung: kebebasan

dari intrusi yang tidak sah.10 Teknologi koneksi

yang berubah dengan cepat menciptakan sistem

di mana informasi pribadi siber dan data resmi

sekarang memiliki beberapa titik intersepsi dan dapat

disebarluaskan ke berbagai platform siber dengan

kecepatan tidak terbatas.

Tidak ada tempat bagi pengawasan siber

massal di negara demokrasi. Demikian kurang lebih

positioning budaya libertarian yang mendominasi

siber saat ini, seperti yang dikatakan oleh Boyle (1997)

bahwa intervensi negara ke dalam tindakan pribadi

hanya diperlukan untuk mencegah timbulnya bahaya.

RUU KKS pada Pasal 47 dan Pasal 48 mendeteksi

dan mengidentifikasi ancaman siber pada lalu lintas

data internet di Indonesia. Lalu lintas data internet

ini mencakup aktivitas dan komunikasi yang kita

lakukan melalui internet. Tanpa diikuti dengan

mekanisme pengawasan dan perlindungan hak asasi

8. The Guardian adalah surat kabar Inggris yang dimiliki kelompok Guardian Media Group.9. Amnesty International. Two Years After Snowden Governments Resist Calls to End Mass Surveillance. Amnesty International, June 5, 2015. https://www.amnesty.org/en/press-releases/2015/06/two-years-after-snowden/ , hlm 3, diakses pada 1 Februari 2020 pukul 22.56 WIB, lihat juga Amnesty International. “Two Years After Snowden: Protecting Human Rights in an Age of Mass Surveillance.” London: Amnesty International, June 4, 2015. https://www.amnesty.org/en/documents/act30/1795/2015/en/.10. Sabrina De Capitani Di Vimercati et.al., ”Data Privacy: Definitions and Techniques”, International Jpurnal of Un-certainty, Fuzziness and Knowledge-Based Systems 20, No. 6, (December 1, 2012): 793-817, https://doi.org/10.1142/S0218488512400247, hlm. 793.

Page 4: DILEMA HAK PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DAN PENGAWASAN …

237

Dilema Hak Perlindungan Data Pribadi dan Pengawasan Siber... (Anggi Anggraeni Kusumoningtyas & Puspitasari)

manusia yang kuat (khususnya mengingat belum

disahkannya RUU Perlindungan Data Pribadi di

Indonesia), praktik pemantauan “proaktif” lalu lintas

data internet semacam ini berpotensi menimbulkan

praktik pengawasan siber massal terhadap warga

negara Indonesia.

Dengan demikian, tulisan ini memfokuskan

pada perdebatan pengawasan siber dan resistensinya

terhadap hak atas perlindungan data pribadi

sebagai bagian dari hak asasi manusia. Dengan

dasar pertimbangan sebagaimana diuraikan dalam

permasalahan di atas, pokok permasalahan yang

diteliti dalam penelitian ini adalah: Pertama, bagaimana

regulasi pengawasan siber dijalankan di berbagai

negara termasuk Indonesia? kedua bagaimana

resistensi masyarakat akan hak perlindungan data

pribadi terhadap praktik pengawasan siber?

A.1. Metode Penelitian

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan

penelitian, peneliti menggunakan pendekatan

penelitian kualitatif agar sesuai dengan tujuan dan

kebutuhan penelitian dalam tulisan ini. Penelitian

kualitatif menurut Neuman dalam bukunya yang

berjudul Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approachers 7th Edition (2014), berusaha

untuk menginterpretasikan data dengan cara memberi

arti dan analisis terhadap hasil data yang telah

diperoleh selama penelitian berlangsung. Berdasarkan

jenis penelitian, Neuman menggolongkan penelitian

yang dilakukan sebagai penelitian desktriptif, yaitu

penelitian yang fokus pada pertanyaan who dan how.

Menurut Creswell, kualitatif sebagai sebuah

pendekatan digunakan untuk mengeksplorasi suatu

permasalahan atau isu agar pemahaman mengenai

permasalahan tersebut menjadi lebih mendalam dan

lengkap, untuk mengetahui makna yang tersembunyi,

memahami interaksi sosial, mengembangkan teori,

memastikan kebenaran data dan meneliti sejarah

perkembangan.11 Data dan fakta atas suatu

permasalahan yang didapat kemudian diproses

secara induktif sehingga didapat suatu generalisasi

dan gambaran atas permasalahan tersebut.12 Dalam

penelitian kualitatif, peneliti adalah instrumen kunci.

Oleh karena itu, peneliti harus memiliki bekal teori

dan wawasan yang luas sehingga bisa bertanya,

menganalisis, dan mengkonstruksi obyek yang diteliti

menjadi lebih jelas.

Penelitian tentang Dilema Hak Perlindungan

Data Pribadi dan Pengawasan Siber: Tantangan di

Masa Depan relevan dengan menggunakan penelitian

kualitatif karena memenuhi karakteristik penelitian

kualitatif. Adapun metode penelitian yang digunakan

dalam penelitian ini merupakan metode studi kasus.

Studi kasus dalam penelitian kualitatif ini berupaya

untuk memahami fenomena yang terjadi dalam subyek

penelitian yang diangkat. Peneliti menggambarkan

pengawasan siber dan hak perlindungan data pribadi

di berbagai negara terlebih dahulu, sebelum pada

akhirnya fokus pada pengawasan siber di Indonesia

sebagai studi kasus. Adapun metode pengumpulan

yang digunakan dalam penelitian kualitatif, yaitu

studi pustaka dan dokumen.

B. Pembahasan

1. Sekuritisasi Pengawasan Siber

Sejarah pengawasan kini terkait erat dengan

teknologi siber. Dengan konvergensi teknologi

informasi dan telekomunikasi, jaringan komunikasi

terdistribusi seperti internet telah memperluas

secara signifikan kemungkinan untuk memantau,

mengumpulkan dan mengklasifikasikan data

pribadi. Teknologi yang sama yang memberikan

lebih banyak peluang untuk menyiarkan, mengakses,

dan mendistribusikan informasi telah menjadi

instrumen pengawasan dan kontrol yang potensial.

Memungkinkan anonimitas dalam hubungan sosial

dan komunikasi, teknologi siber telah terbukti pula

menjadi instrumen identifikasi yang efisien. Sejalan

dengan ini, ruang siber ditandai oleh perluasan

tepi visibilitas dari apa yang kita pahami sebagai

keintiman.

Bagi para realis, pengawasan siber adalah

cara pengumpulan intelijen yang digunakan oleh

negara-negara untuk memiliki keunggulan informasi

atas musuh di dunia di mana survival adalah

11. Creswell, John W. 2015. Penelitian Kualitatif dan Desain Riset: Memilih di antara Lima Pendekatan, terj. Ahmad Lintang Lazuardi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 63-64.12. Ibid., hlm. 6.

Page 5: DILEMA HAK PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DAN PENGAWASAN …

238

Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 17 No. 2 - Juni 2020 : 234-250

tujuan utama.13 Tetapi seperti yang dijelaskan Ayse

Ceyhan, pengawasan juga berfungsi sebagai ‘sistem/

perangkat keamanan’: suatu bentuk pemerintahan

liberal yang digunakan oleh negara atau lembaga/

organisasi kuat untuk mencari efisiensi maksimum

dengan mengamati, mengklasifikasikan dan memilah

individu-individu untuk mengatasi ketidakpastian.14

Kelanjutan dari manajemen ketidakpastian seperti

itu melalui pengawasan, juga terlihat pasca peristiwa

9/11, yakni ketika pemantauan dan identifikasi

teknologi telah mulai memainkan peran sentral dalam

domain publik, terutama di masyarakat Barat dan

banyak negara Asia Selatan karena risiko terorisme

transnasional.15 Christian Fuchs memberikan definisi

yang tepat untuk pengawasan dalam masyarakat

kontemporer, yakni: “pengumpulan data tentang

individu atau kelompok yang digunakan sehingga

kontrol dan disiplin perilaku dapat dilakukan dengan

ancaman menjadi sasaran kekerasan”.16 Dengan

alasan kontraterorisme, teknologi pengintaian

diperkenalkan dan semakin dilegitimasi, sementara

populasi didisiplinkan untuk secara sukarela

menerima sistem ini sebagai “harga untuk

keamanan”.17 Kesediaan ini terlihat ketika teknologi

pengawasan siber tidak diragukan lagi diterima

sebagai sarana untuk keselamatan dan keamanan.

Teknologi pengawasan siber dapat dilihat

perkembangannya sejak akhir abad ke-20, dengan

munculnya kebijakan-kebijakan neoliberal, di

mana hubungan antara agen-agen negara dan

perusahaan-perusahaan komersial telah menjadi

lebih dalam dan kompleks. Hal ini sangat penting

untuk memahami pengawasan siber, tidak hanya

karena perusahaan memasok pengetahuan dan

peralatan untuk pengawasan dan pelacakan, tetapi

juga karena saat ini, data yang diinginkan untuk

digunakan dalam kepolisian dan intelijen, berasal

dari pertukaran online biasa, pencarian dan interaksi,

serta panggilan telepon. Hal tersebut berarti bentuk

pertukaran data rutin yang memungkinkan informasi

mengalir antara ranah publik dan privat, bersama

dengan banyak kemitraan publik-swasta yang telah

berkembang sejak 1980-an dan 1990-an, sekarang

dinormalisasi dan biasa.18

Sekuritisasi yang cepat dari banyak aspek

pemerintahan dan kehidupan sehari-hari atas

nama anti-terorisme sekarang dipandang sebagai

hal biasa. Pengungkapan Snowden pada Juni

201319 menunjukkan bahwa jaringan pengawasan

keamanan global sedang dalam posisi teratas.

Instansi pemerintah menggunakan banyak data

telepon pribadi dan internet, dan semakin sulit

untuk membedakan antara pengawasan internal

dan eksternal. Dengan demikian, fondasi utama dari

keterlibatan demokratis-kepercayaan, berdasarkan

warga negara yang berpengetahuan sedang terkikis

dari dalam. Pengungkapan Snowden menunjukkan

bagaimana pergeseran menuju praktik big data

pengawasan siber terjadi dengan National Security

Agency (NSA) di Amerika Serikat. Tetapi pergeseran

itu terjadi secara bersamaan di Kanada dan di

tempat lain di negara yang disebut Five Eyes.20 Di

Kanada, Communications Security Establishment

(CSE) pada tahun 2012 mengadopsi metode analitik

13. Jensen, Carl J., David H. McElreath, dan Melissa Graves. 2013. Introduction to Intelligence Studies. Boca Raton: CRC Press.14. Ceyhan, Ayse. 2012. “Surveillance as Biopower.” Dalam Routledge Handbook of Surveillance Studies, disunting oleh Kirstie Ball, Kevin D. Haggerty, dan David Lyon, 38–45. New York: Routledge, hlm. 38.15. Lakshman, Narayan. “Pakistan Has Built a Massive Surveillance State: Report.” The Hindu. July 25, 2015. http://www.thehindu.com/news/international/south-asia/pakistan-has-built-a-massive-surveillance-state-report/arti-cle7462002.ece, diakses pada 14 Februari 2020 pukul 10.30 WIB.16. Fuchs, Christian. “New Media, Web 2.0 and Surveillance.” Sociology Compass 5, No. 2 (2011): 134–47, hlm. 136.17. Lyon, David. 2013. The Electronic Eye: The Rise of Surveillance Society – Computers and Social Control in Context. John Wiley & Sons, hlm. 675.18. Ball, Kirstie and Laureen Snider, eds. 2013. The Surveillance-Industrial Complex: A Political Economy of Surveillance. Abingdon, UK: Routledge.19. Edward Snowden, seorang pengungkap fakta yang telah bekerja dengan National Security Agency AS (NSA), mem-berikan bukti nyata dari program pengawasan komunikasi global yang memantau aktivitas intenet dan telepon dari ratusan juta orang di seluruh dunia20. Five Eyes (FVEY) adalah sebuah aliansi intelijensi anglofon yang terdiri dari Australia, Kanada, Selandia Baru, Britania Raya dan Amerika Serikat. Negara-negara tersebut adalah para anggota dari Perjanjian UKUSA multilateral, sebuah perjanjian untuk kerjasama gabungan dalam intelijensi sinyal.

Page 6: DILEMA HAK PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DAN PENGAWASAN …

239

Dilema Hak Perlindungan Data Pribadi dan Pengawasan Siber... (Anggi Anggraeni Kusumoningtyas & Puspitasari)

baru yang dijelaskan dalam istilah “revolusi ilmiah”.

Peralihan ini dibuat dari pendekatan berbasis data,

yang sangat bergantung pada daya komputasi dan

analitik algoritmis. Komunikasi harus dipantau dan

dianalisis untuk menemukan pola yang menghasilkan

kecerdasan yang dapat ditindaklanjuti.21

Frank Furedi telah menggambarkan obsesi

tersembunyi dengan risiko dan keamanan sebagai

menciptakan “budaya ketakutan”, yang disebarkan

oleh wacana politik dan digunakan untuk menormalkan

praktik pengawasan.22 Juga dikemukakan bahwa

wacana dan sistem pengawasan siber ini membantu

meningkatkan kekuatan negara.23 Peneliti lain

juga berpendapat bahwa orang-orang tertarik dan

bersukarela untuk menerima dan berpartisipasi

dalam pengawasan mereka sendiri karena kesenangan

yang ditawarkan dengan mengkonsumsi teknologi

yang menyelesaikan pengawasan seperti siber dan

perangkat pendukungnya, daripada dipaksa untuk

patuh disertai oleh ancaman yang otoriter.24 Selain itu,

hubungan antara perusahaan swasta yang memiliki

kepentingan komersial dan pribadi dalam pengawasan

dan badan-badan negara yang ingin mengendalikan

risiko terorisme, juga terlihat pasca-11/9; dengan

demikian menggambar ulang hubungan kekuasaan di

neksus negara-perusahaan.25 Menurut penelitian yang

dilakukan oleh AT&T Labs dan Worcester Polytechnic

Institute, pada akhir 2009, teknologi pengawasan

pengguna ditemukan di 80 persen dari 1.000 situs

internet paling populer, dibandingkan dengan 40

persen situs ini pada 2005.26 Tujuan pemantauan

semacam itu berbeda-beda karena bersinggungan

dengan strategi publisitas, manajemen, keamanan

dan politik. Semua pengawasan menyiratkan tidak

hanya pengamatan individu dan populasi, tetapi juga

produksi pengetahuan yang memungkinkan perilaku

setiap individu diatur. Di lingkungan dunia siber,

pengetahuan ini dihasilkan terutama oleh analisis

massa data pribadi yang sangat besar yang beredar.

Penambangan data adalah salah satu alat yang disukai

untuk melakukan ini. Penambangan data adalah

teknik statistik yang melibatkan pemrosesan otomatis

volume data yang besar untuk mengekstraksi pola dan

menghasilkan pengetahuan. Prosedur ini kemudian

oleh Gandy (2002) dikenal sebagai Knowledge

Discovery in Databases.27 Penambangan aliran data ini

menghasilkan klasifikasi yang merupakan taksonomi

pengguna siber dan mengekstraksi pola yang terkait

dengan kebiasaan, preferensi, dan perilaku setiap

individu. Proyeksi perilaku, identitas, dan kepribadian

dapat menentukan masa kini ke masa depan yang

diantisipasi setidaknya dalam dua cara utama. Di satu

sisi, profil dapat memunculkan prosedur penyortiran

sosial yang memperkuat mekanisme diskriminasi

atau ketidaksetaraan sosial.28 Di sisi lain, potensi

berbagai dinamika keinginan dan tindakan yang

beredar di website dapat terbatas pada taksonomi

yang mendukung rangkaian konsumsi atau logika

pencegahan dan keamanan.

Problematisasi dari pengawasan siber yang

jarang terlihat ini sangat menentukan apakah dimensi

publik, politik dan kolektifnya akan diperkuat.

Meskipun perdebatan tentang hal ini telah meningkat

dalam beberapa tahun terakhir, penelitian telah

menunjukkan bahwa pengguna internet memiliki

kesadaran yang relatif rendah terhadap jenis

pengawasan ini. Namun demikian, langkah-langkah

terus diambil oleh kelompok minoritas. Hal ini

termasuk pengembangan browser yang menghindari

jejak user di dunia siber yang dilacak (Tor atau

21. Thompson, Scott and David Lyon. Forthcoming 2019. “Pixies, pop-out intelligence and sand-box play: The New Analytic Model and National Security Surveillance in Canada.” In Security Intelligence and Surveillance in the Big Data Age: The Canadian Case, edited by David Lyon and David Murakami Wood. Vancouver, BC: UBC Press.22. Furedi, Frank. 2002. Culture of Fear: Risk-Taking and the Morality of Low Expectation Revised Edition. A&C Black.23. Lyon, David. 2013. The Electronic Eye: The Rise of Surveillance Society – Computers and Social Control in Context. John Wiley & Sons.24. Lyon, David. 1994. Electronic Eye: The Rise of Surveillance Society. 1 edition. Minneapolis: Univ Of Minnesota Press.25. Opcit.26. Angwin, J. 2010. “The Web’s New Gold Mine: Your Secrets,” The Wall Street Journal, 30 July 2010, diunduh di http://online.wsj.com/article/SB10001424052748703940904575395073512989404.html, diakses pada 9 Juni 2020 pukul 16.00 WIB.27. Gandy (2002) dalam Kristie Ball, Kevin Haggerty, dan David Lyon (Eds.). 2012. Routledge Handbook of Surveillance Studies. New York: Routledge, hlm. 348.28. Ibid.

Page 7: DILEMA HAK PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DAN PENGAWASAN …

240

Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 17 No. 2 - Juni 2020 : 234-250

Track-me-not) dan tindakan politik (pemerintah dan

nonpemerintah) yang bertujuan mengatur atau

memperdebatkan implikasi sosial, subyektif, ekonomi

dan politik dari pengawasan siber, data mining dan

profil. Dengan demikian, dinamika problematisasi

pengawasan siber berupa perdebatan antara hak

perlindungan data pribadi dengan pengawasan siber

yang kemudian memunculkan dilema perlu dilihat

dari segi etika, hukum, dan kebijakannya.

2. Dilema Hak Perlindungan Data Pribadi dan Pengawasan Siber

2.1 Etika dan Hukum Pengawasan Siber

2.1.1 Pendekatan Berbasis Hak

Kecanggihan teknologi pengawasan siber

kontemporer membuat semakin sulitnya bagi

masyarakat untuk meminta pertanggungjawaban

kepada mereka yang memiliki kekuatan untuk

melakukan pengawasan. Otoritas politik dan budaya

yang diberikan kepada piagam Deklarasi Universal

Hak Asasi Manusia (1948), yang menimbang strategi

pengawasan, bergantung pada pernyataan mendasar

bahwa individu tersebut bukan hanya warga negara

tetapi juga seseorang. Keamanan nasional, keadilan

terhadap penindasan dari sesama warga negara

dan pemeliharaan institusi publik yang diperlukan

adalah elemen inti dari konstelasi luas gagasan

“demokrasi”. Hal ini adalah landasan yang dibuat

dalam menghadapi praktik pengawasan yang

dianggap mengikis hak-hak sipil dan hak asasi

manusia. Dua hal yang berbeda, tetapi saling terkait,

umumnya diadopsi untuk mempertahankan hak-hak

kita sebagai orang dan warga negara: perlindungan

data pribadi dan privasi.

a. Perlindungan Data

Dalam bertukar data antara lembaga, organisasi,

dan lintas batas nasional dan eksternal, diperlukan

keseimbangan hak privasi, kepentingan ekonomi,

dan kesejahteraan individu.29 Jika data dilindungi

sedemikian rupa, maka hak asasi manusia untuk

privasi diseimbangkan dengan urgensi ekonomi.

Hak atas privasi mungkin dipastikan pada tingkat

konseptual dan legal, tetapi tidak banyak konsekuensi

bagi mereka yang memiliki sedikit alternatif selain

menyerahkan data mereka dalam keadaan ekonomi

yang kurang menguntungkan. Untuk kepentingan

inilah Gary T. Marx (1998) berbicara tentang “Etika

untuk Pengawasan Baru”.30 Marx berpendapat

bahwa prinsip-prinsip luas “praktik informasi

yang adil” (apa yang dikenal sebagai “perlindungan

data”) tidak memadai untuk teknologi pengawasan

baru yang muncul dengan cepat dan kapasitas

pemerintah dan organisasi komersial dalam memaksa

pengungkapan data pribadi untuk agregasi, analisis

dan distribusi selanjutnya. Untuk menyadarkan

praktisi pengawasan, Marx mempertimbangkan

tentang bagaimana bahaya, batasan pribadi, dan

hubungan kepercayaan dapat dialami oleh subyek.

Marx meminta mereka yang bertanggung jawab

untuk mengerahkan dan melakukan pengumpulan

data untuk merenungkan apakah mereka akan

bersedia menjadi “subjek di bawah kondisi di mana

mereka menerapkannya kepada orang lain”. Makna

simbolis dari metode ini dibawa ke permukaan sambil

menghubungkan tujuan spesifik dari praktik data

yang diberikan dengan aspirasi masyarakat yang

lebih luas.

b. Privasi

Jika perhatian terhadap data adalah satu aspek

dari evaluasi pengawasan berbasis hak, maka fokus

pada hak individu untuk hidup di luar pandangan

dan campur tangan dari intrusi yang tidak diinginkan

adalah yang lain. Privasi selalu merupakan hak,

tidak pernah mutlak benar. Negara memiliki hak,

bahkan kewajiban, untuk menempatkan keamanan

nasional, deteksi dan penuntutan kejahatan,

kesehatan masyarakat, dan keselamatan orang lain

dengan prioritas tinggi.31 Diutamakan hukum dapat

digunakan untuk menyempurnakan definisi kapan,

bagaimana, oleh siapa dan terhadap siapa privasi

mungkin tidak dihormati. Pelanggaran kepercayaan

atau kerahasiaan dapat dikenakan kompensasi

setelah fakta dalam konteks di mana pengawasan

dan pendistribusian data terkait telah terjadi secara

tidak sah.

29. Eric Stoddart dalam Kristie Ball, Kevin Haggerty, dan David Lyon (Eds.). 2012. Routledge Handbook of Surveillance Studies. New York: Routledge, hlm. 370.30. Gary T. Marx (1998) dalam Kristie Ball, Kevin Haggerty, dan David Lyon (Eds.). 2012. Routledge Handbook of Sur-veillance Studies. New York: Routledge.31. Opcit., hlm. 371.

Page 8: DILEMA HAK PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DAN PENGAWASAN …

241

Dilema Hak Perlindungan Data Pribadi dan Pengawasan Siber... (Anggi Anggraeni Kusumoningtyas & Puspitasari)

Kualifikasi kata sifat pengawasan dalam wacana

populer dan akademik, mudah dikenali sebagai

antara lain, “mengganggu”, “invasif”, “menindas”

atau “melanggar”.32 Penting agar reputasi sebagai

individu dapat dilindungi dari bahaya melalui

pengungkapan informasi yang terdistorsi karena

bersifat parsial. Hal ini bukan hanya pengalaman

berada di bawah pengawasan di tempat-tempat umum

atau semi-publik tetapi kemampuan teknologi untuk

mengumpulkan, menyimpan dan mengkategorikan

orang. Klasifikasi informasi sebagai “pribadi” atau

“publik” menjadi kurang bermanfaat. Pendekatan

Nissenbaum adalah mengajukan pertanyaan tentang

aliran informasi pribadi yang sesuai; untuk berdebat

agar data diatur oleh integritas kontekstualnya.33

Dengan cara ini, diskusi etis menyatu dengan norma-

norma yang dengannya kelompok orang tertentu

mengharapkan informasi mereka ditangani.

Pendekatan berbasis hak terhadap etika

pengawasan adalah yang paling mudah dikenali,

tetapi bermasalah bagi banyak analis. Meskipun

prinsip-prinsip abstrak hubungan antar manusia

harus sangat abstrak untuk memiliki arti-penting

di berbagai bidang kehidupan, keputusan mengenai

apa yang etis, apa yang dianggap “publik” dan apa

yang “pribadi” harus diakui sebagai sangat politis dan

tidak dianggap mandiri -jelas. Pendekatan alternatif

meliputi pendekatan yang menantang formulasi hak

dan domain tertentu di mana hak berlaku, tetapi yang

lain mengklaim menawarkan cara penyelidikan etis

yang sangat berbeda.34

2.1.2.Mengatur Pengawasan Siber: Pentingnya Prinsip

Menurut Charless D. Rabb, pengaturan telah

diberlakukan secara global di sejumlah besar

negara, untuk mengatur praktik informasi pribadi

demi kepentingan melindungi privasi dan hak

asasi manusia individu lainnya.35 Rezim-rezim ini

dimaksudkan untuk menerapkan beberapa prinsip

perlindungan data yang diterima secara umum

yang dapat dilihat sebagai penerapan norma etika

dan hak asasi manusia dalam kasus pemrosesan

informasi. Dalam menghadapi tekanan kuat di dunia

komersial dan pemerintahan untuk mengumpulkan,

menganalisis, dan berbagi data pribadi, kemanjuran

prinsip-prinsip ini dan lembaga pengatur yang

terkait dengan hal-hal tersebut jauh dari pasti.

Hubungan antara, misalnya keamanan nasional dan

perlindungan privasi dan hak asasi manusia, di sisi

lain tegang dan terus dinegosiasikan.

Ada tiga masalah umum namun terkait. Salah

satunya adalah pertanyaan apakah prinsip peraturan

yang dibentuk dalam hal basis data terkomputerisasi

dapat diterapkan pada keadaan global yang lebih

kompleks dari pengawasan siber saat ini.Sarana

pengawasan siber melibatkan kumpulan teknologi

serta analisis data yang intensif untuk membuat profil

orang dan tindakan penargetan, dan melibatkan arus

informasi di seluruh dunia. Alat-alat ini dirancang

dan digunakan melalui keputusan yang dihidupkan

oleh dorongan kuat di negara, arena internasional,

dan sektor swasta untuk mengetahui lebih banyak

tentang warga negara dan pelanggan mereka.

Pertanyaan lain muncul karena individu bukan

subjek pengawasan siber yang berdiri sendiri. Oleh

karena itu, pertanyaannya adalah bagaimana kita

harus berpikir tentang konsekuensi intrusi privasi

tidak hanya untuk individu, tetapi juga untuk

kelompok, kategori, dan struktur umum masyarakat

dan pemerintahan, seperti Solove (2008), Regan

(1995) dan yang lain berpendapat juga dipengaruhi

oleh intrusi pada privasi, dan yang akan mendapat

manfaat dari perlindungannya.36 Pertanyaan terakhir

terkait dengan ini, tetapi berkaitan dengan efek

pengawasan di luar konsekuensinya untuk privasi,

karena pengawasan dapat menyebabkan diskriminasi

dan keputusan yang merugikan diambil terhadap

individu dan kelompok dengan cara yang melintasi

nilai-nilai penting keadilan, perlakuan yang sama,

dan aturan hukum, di luar segala pelanggaran privasi

itu sendiri.

32. Ibid.33. Nissenbaum dalam Kristie Ball, Kevin Haggerty, dan David Lyon (Eds.). 2012. Routledge Handbook of Surveillance Studies. New York: Routledge.34. Eric Stoddart dalam ibid., hlm. 372.35. Charles D. Rabb dalam ibid., hlm. 377.36. Lihat Solove (2008) dan Regan (1995) dalam Kristie Ball, Kevin Haggerty, dan David Lyon (Eds.). 2012. Routledge Handbook of Surveillance Studies. New York: Routledge.

Page 9: DILEMA HAK PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DAN PENGAWASAN …

242

Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 17 No. 2 - Juni 2020 : 234-250

Perbedaan antara tingkat pemrosesan

informasi individu dan kolektif tercermin pada

tingkat perlindungan dan wacana, seperti antara

perlindungan data individu dan keterbatasan

pengawasan kelompok. Perlindungan data secara

klasik menyangkut gangguan pada privasi data

pribadi seseorang. Karena itu undang-undang dan

sistem yang telah dikembangkan untuk perlindungan

dan pemulihan beroperasi dalam orbit prinsip-prinsip,

asumsi, dan aturan hak asasi manusia individu.

Solove (2008) menganggap bahwa privasi paling

baik dilihat sebagai istilah umum yang mencakup

berbagai situasi di mana berbagai jenis minat

terpengaruh.37 Menurut Nissenbaum, pendekatan

ini mengakui bahwa beberapa jenis informasi pribadi

hanya menjadi “pribadi” karena keadaan di mana

mereka dikumpulkan atau dikomunikasikan, dan

bahwa konteksnya penting untuk memahami apakah

nilai-nilai privasi dilibatkan. Meskipun demikian,

ketidakpastian dan ketidaksepakatan tentang definisi

dan makna tidak melemahkan upaya praktis untuk

melindungi privasi, dan privasi bukan satu-satunya

nilai atau hak manusia yang telah didefinisikan dalam

berbagai cara yang sering kabur.

2.1.3 Privasi Tradisional dan Perlindungan Data

Sistem regulasi untuk privasi informasi

telah dibangun di atas prinsip tradisional. Hal

ini memunculkan aturan dan pedoman untuk

pengumpulan dan pemrosesan data pribadi secara

adil, dengan mengasumsikan bahwa “data pribadi”

adalah konsep yang cukup jelas. Meskipun negara-

negara mungkin berbeda dalam hal penomoran

dan pengkalimatan prinsip-prinsip tersebut, dalam

berbagai interpretasi nasional ada persyaratan bahwa

data harus:38

• secara adil dan sah dikumpulkan untuk tujuan

yang sah;

• akurat, relevan, dan terkini; tidak berlebihan

dalam hubungannya dengan tujuannya;

• tidak disimpan lebih lama dari yang dibutuhkan

untuk tujuan tersebut;

• dikumpulkan dengan sepengetahuan dan

persetujuan dari individu atau dengan cara lain

di bawah wewenang hukum;

• tidak dikomunikasikan kepada pihak ketiga

kecuali dalam kondisi tertentu yang mungkin

termasuk persetujuan;

• dijaga dalam kondisi aman;

• dapat diakses oleh individu untuk amandemen

atau tantangan.

Selain itu, organisasi harus transparan tentang

apa yang mereka lakukan, dan bertanggung jawab

atas tindakannya. Prinsip-prinsip ini telah menjadi

lebih kuat ditekankan dalam beberapa tahun terakhir,

membangun hubungan yang lebih dekat dengan

dimensi “keterbukaan” kebijakan informasi.39

Namun demikian, dengan panduan yang lebih

spesifik yang ditawarkan oleh badan pengatur,

konsultan, dan asosiasi industri, prinsip-prinsip ini

sangat sulit diterapkan secara konsisten di dalam

dan lintas yurisdiksi.40 Hal ini terutama terjadi ketika

pemrosesan informasi melibatkan penegakan hukum

dan tujuan keamanan nasional, yang biasanya ada

pengecualian, dan di mana arus informasi melintasi

batas-batas nasional dan berada di bawah rezim

peraturan yang berbeda. Ketergantungan pada

prinsip-prinsip memberikan fleksibilitas di tengah-

tengah perubahan teknologi yang cepat dan ancaman

yang berkembang terhadap privasi, dan bertujuan

untuk mencapai hasil yang dapat dicapai daripada

penegakan aturan preskriptif yang ketat.

2.2 Mengatur Teknologi Pengawasan Siber: Pengaturan Kelembagaan

Setelah memahami berbagai etika dan hukum

pengawasan siber, penting kemudian untuk

memahami pengaturan kelembagaannya dalam

rangka mengatur teknologi pengawasan siber. David

Flaherty melakukan studi komparatif terperinci

tentang adopsi dan implementasi undang-undang

privasi dan perlindungan data di lima negara,

Republik Federal Jerman, Swedia, Prancis, Kanada,

dan Amerika Serikat. Penelitian mendalamnya

37. Lihat Solove (2008) dalam ibid.38. Kristie Ball, Kevin Haggerty, dan David Lyon (Eds.). 2012. Routledge Handbook of Surveillance Studies. New York: Routledge, hlm. 378.39. Ibid.40. bid., hlm. 379.

Page 10: DILEMA HAK PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DAN PENGAWASAN …

243

Dilema Hak Perlindungan Data Pribadi dan Pengawasan Siber... (Anggi Anggraeni Kusumoningtyas & Puspitasari)

tentang politik dan masalah hukum masing-masing

negara didasarkan pada wawancara dengan peserta

utama dan pada laporan dan dokumen pemerintah.

Analisisnya diakhiri dengan penekanan pada peran

penting yang dimainkan oleh lembaga perlindungan

data independen dalam memastikan implementasi

undang-undang yang efektif yang dirancang untuk

melindungi informasi yang dapat diidentifikasi secara

pribadi. Seperti yang Flaherty nyatakan “tidak cukup

hanya meloloskan undang-undang perlindungan

data”.41

Colin Bennett menganalisis proses kebijakan

yang menghasilkan undang-undang privasi atau

perlindungan data di Swedia, Amerika Serikat,

Jerman Barat, dan Inggris untuk menentukan apakah

konvergensi atau divergensi kebijakan adalah hasil

dari determinisme teknologi, emulasi, jaringan elit,

harmonisasi, atau penetrasi. Bennett menyimpulkan

bahwa tekanan untuk konvergensi kebijakan di

bidang ini cenderung meningkat ketika teknologi

itu sendiri menjadi lebih transnasional, ketika rasa

tidak aman tentang pengaruhnya semakin besar,

dan ketika rezim internasional mempromosikan

harmonisasi di antara undang-undang.42

Meskipun perhatian kebijakan awal adalah

pada masalah pengawasan yang diangkat oleh

teknologi informasi baru, teknologi informasi ini juga

mempengaruhi inovasi dan aplikasi teknologi baru

dalam komunikasi dan pengamatan. Kemampuan

komunikasi digital dan nirkabel memungkinkan

transmisi yang lebih cepat, kapasitas yang jauh lebih

besar, dan jangkauan yang lebih luas dengan biaya

yang jauh berkurang. Semua perubahan teknologi

ini meningkatkan kemudahan aktivitas pengawasan

fisik dan gerakan, komunikasi lisan dan tertulis,

dan transaksi komersial dan sosial. Karena praktik

pengawasan siber digunakan dalam konteks yang

semakin banyak, kebutuhan untuk mengatur

penggunaannya konsisten dengan norma sosial dan

undang-undang yang ada menjadi masalah kebijakan

yang mendesak. Kemampuan pengawasan siber ini

melampaui praktik informasi yang adil dan regulasi

sistem informasi yang terkomputerisasi, dan secara

lebih luas melibatkan perluasan kekuatan organisasi

modern dan kontrol sosial.

Lanskap pengawasan siber dan perlindungan

data pribadi serta wacana berubah secara dramatis

di seluruh dunia pasca 9/11. Kekhawatiran tentang

privasi dan kebebasan sipil dikalahkan oleh

kekhawatiran tentang keamanan dan mengidentifikasi

kemungkinan teroris. Jajak pendapat Pew Research

and Gallup di Amerika Serikat dilakukan segera

setelah 9/11 mengindikasikan dukungan untuk

mengorbankan kebebasan sipil, pengawasan siber

yang lebih luas, dan kartu identitas nasional.

Empat puluh lima hari setelah serangan, Kongres

Amerika Serikat, dengan hampir tidak ada oposisi,

meloloskan Undang-Undang PATRIOT USA tahun

2001 (Menyatukan dan Memperkuat Amerika

dengan Menyediakan Alat yang Tepat Diperlukan

untuk Mencegah dan Menghambat Terorisme).

Negara-negara lain melewati langkah yang sama.

Undang-undang Kanada C-36 berisi langkah-langkah

untuk meningkatkan kemampuan pemerintah untuk

mencegah dan mendeteksi aktivitas teroris. Bagian

cepat dan karakter penjangkauan yang berlebihan

dari inisiatif ini memicu kekhawatirandi kalangan

aktivis hak asasi manusia yang melihat tindakan

ini bertentangan dengan kebebasan sipil dan

perlindungan privasi, tanpa pengawasan yudikatif

atau legislatif yang memadai

Ledakan data yang telah menempatkan privasi

dan keamanan menjadi sorotan akan dipercepat.

Sebagian besar draft terbaru undang-undang privasi

di atas bertujuan untuk memecahkan masalah yang

ditimbulkan oleh ledakan data ini.43 Pelanggaran

Equifax44 misalnya, yang telah menghasilkan undang-

undang yang ditujukan untuk pialang data (data

brokers). Sebagian besar undang-undang negara bagian

di Amerika Serikat juga telah menargetkan topik-

41. Ibid., hlm. 251. 42. Colin J. Bennett. 1992. Regulating Privacy: Data Protection and Public Policy in Europe and the United States. New York: Cornell University Press, hlm. 251.43. Kerry, Cameron F. 2018. Why protecting is a losing game today –and how to change the game. Diunduh dihttps://www.brookings.edu/research/why-protecting-privacy-is-a-losing-game-today-and-how-to-change-the-game/, diakses pada 1 Maret 2020 pukul 17.00 WIB.44. Perusahaan pelaporan kredit, Equifax Inc membayar hingga USD 700 juta untuk menyelesaikan klaim pelanggaran privasi data konsumen pada tahun 2017, serta membayar kembali konsumen yang dirugikan.

Page 11: DILEMA HAK PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DAN PENGAWASAN …

244

Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 17 No. 2 - Juni 2020 : 234-250

topik spesifik seperti penggunaan data dari produk-

produk berteknologi tinggi, akses ke akun media

sosial oleh para pengusaha, dan perlindungan privasi

dari drone dan pembaca plat nomor. Penyederhanaan

dan perluasan kontrol privasi Facebook baru-baru ini

juga sebagai reaksi atas peristiwa yang berfokus pada

peningkatan transparansi. Respon terhadap peran

Facebook dan Twitter dalam debat publik berfokus

pada pengungkapan iklan politik, apa yang harus

dilakukan tentang bot, atau batasan pelacakan online

untuk iklan.

Beberapa peneliti berpendapat bahwa negara

telah menjadi penerima manfaat utama dari metode

dan alat pengawasan siber dalam menjalankan

mekanisme pengawasannya. Amerika Serikat

dan Rusia misalnya, melakukan berbagai tingkat

pemantauan jaringan, analisis data massal,

pengumpulan, dan katalog waktu-nyata untuk

keperluan intelijen dan keamanan. Baik negara

demokrasi maupun otoriter sama-sama terlibat dalam

praktik pengawasan luas dan sering menggunakan

alat yang sebanding, meskipun dengan berbagai

tingkat perlindungan hukum dan legislatif. Berikut

adalah tabel yang menggambarkan kebijakan

beberapa negara atas perlindungan privasi atas data

pribadi:Tabel 1

Di mana Privasi Warga (dan Tidak) Dilindungi45

(Diolah dari freedomhouse.org)

No NegaraDi mana Privasi Warga (dan

Tidak) DilindungiPenjelasan

1. Uni Eropa

UE menerapkan Peraturan Per-lindungan Data Umum (GDPR) untuk memberi warga kontrol atas data pribadi mereka.

2. Brazil Brazil mengesah-kan undang-un-dang perlindun-gan data yang terinspirasi oleh GDPR, meskipun tidak memiliki beberapa langkah penegakan.

3. Rusia Rusia men-gamanatkan bah-wa perusahaan menyimpan data penggunanya di server lokal, di mana data dapat diakses oleh pe-merintah.

4. Cina Perusahaan-pe-rusahaan seperti Apple dan Ever-note telah me-matuhi peraturan lokalisasi data baru Cina.

5. India Kerangka kerja rancangan per-lindungan data 2018 India men-gamanatkan bah-wa data pribadi disimpan secara lokal.

6. Austra-lia

Sebuah rancangan undang-undang pengawasan di Australia dapat mengha ruskan perusahaan un-tuk membangun “back doors/pintu belakang” menja-di alat enkripsi.

7. Kuba Teknologi enkrip-si sangat dilarang di Kuba.

8. Maroko Maroko melarang layanan enkripsi kecuali yang diiz-inkan oleh militer.

9. Kolom-bia

Kolombia meng-haruskan penye-dia layanan untuk menyimpan data selama 5 tahun.

10. Italia Italia mengharus-kan operator tele-komunikasi untuk menyimpan data komunikasi hing-ga 6 tahun.

11. E t h i o -pia

Penyedia teleko-munikasi di Ethi-opia menyimpan konten dan meta-data selama mini-mal 1 tahun.

45. Freedom House, Freedom on the Net 2018: The Rise Digital Authoritarianism, https://freedomhouse.org/report/freedom-net/2018/rise-digital-authoritarianism, diakses pada 3 Januari 2020 pukul 11.28 WIB.

Page 12: DILEMA HAK PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DAN PENGAWASAN …

245

Dilema Hak Perlindungan Data Pribadi dan Pengawasan Siber... (Anggi Anggraeni Kusumoningtyas & Puspitasari)

46 Undang-undang Perlindungan Data Lulus atau Dalam Peninjauan

8 Persyaratan Pelokalan Data Lulus atau Sedang Ditinjau

25 Hukum Lemahnya Enkripsi Lulus atau Dalam Tinjauan

39 Persyaratan Penyimpanan Data Lulus

atau Sedang Ditinjau

Ketakutan akan hukum siber yang membatasi

kebebasan berekspresi juga telah menjadi kenyataan

di Indonesia. Kasus kriminalisasi pengguna media

sosial di bawah UU Informasi dan Transaksi Elektronik

(ITE) No. 19/2016 atas tuduhan tindakan pencemaran

nama baik, penistaan agama, panggilan pengadilan

dan pornografi mencapai ratusan.46 Kebijakan patroli

siber yang dilakukan secara periodik oleh Polri dengan

Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo)

dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) di grup

WhatsApp juga menuai pro dan kontra dari berbagai

pihak (Kompas, Detik, dan Tempo, 2019).47 Beberapa

pihak yang mendukung patroli siber mengatakan

bahwa patroli masuk ke grup WhatsApp tidak

mengganggu hak privasi seseorang karena negara

harus memikirkan keamanan nasional, sedangkan

yang kontra beragumen sebaliknya.

Belum ada regulasi menyeluruh yang memberikan

perpanjangan keamanan siber di Indonesia adalah

faktor utama terjadinya perdebatan dan dilema

pengawasan siber jika dihadapkan pada kepentingan

keamanan nasional dan privasi. Ranah ini hanya

dikendalikan melalui dua regulasi di bawah Kominfo,

yaitu UU ITE No. 11/2018 yang diamandemen menjadi

UU ITE No. 19/2016 dan Peraturan Pemerintah (PP)

No. 82/2012 tentang Sistem dan Transaksi Elektronik.

Masih ada masalah perlindungan data pribadi yang

disepelekan meskipun proses penyusunan Rancangan

Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU

PDP) sedang berjalan di Dewan Perwakilan Rakyat

(DPR), sejalan dengan RUU Keamanan dan Ketahanan

Siber (RUU KKS) pada tahun 2019 hingga kini. Draf

awal RUU PDP dipublikasikan pada tahun 2015 dan

kontennya memasukkan konsep-konsep dari General

Data ProtectionRegulation (GDPR) Uni Eropa.48 RUU

ini mengusulkan untuk mencakup definisi pengontrol

dan pengolah data, kategorisasi dan pemrosesan

data, serta penyelesaian sengketa. Draft ini juga

menempatkan sanksi administratif dan tuntutan

pidana untuk tindakan tertentu seperti pemalsuan

data. Sedang pada 2017, Presiden Indonesia, Joko

Widodo menginstruksikan pembentukan BSSN

berdasarkan Keputusan Presiden No. 53/2017.

Badan ini ditugaskan untuk fokus pada aspek

teknis keamanan siber Indonesia termasuk ekonomi

digital. Salah satu hasilnya adalah otoritas sertifikasi

elektronik untuk memastikan keamanan digital dan

transaksi elektronik. Dari sekian peraturan terkait

siber tersebut, belum ada definisi hukum tentang

keamanan siber, termasuk kejelasan tanggung jawab.

Akibatnya, ada kekhawatiran tumpang tindih seperti

regulasi konten internet di bawah UU ITE yang masih

diatur di bawah Kominfo.

Kegiatan pengawasan di sektor publik dan

swasta juga secara langsung dan tidak langsung

dipengaruhi oleh keputusan dan kebijakan

sejumlah badan internasional dan regional. Hal ini

bukan institusi privasi atau pengawasan semata,

tetapi institusi pengatur yang sering ditugaskan

untuk perdagangan atau hak asasi manusia, yang

telah terlibat dalam masalah pengawasan. Secara

internasional, Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi

dan Pembangunan atau Organisation for Economic

Cooperation and Development (OECD) pertama kali

46. Fitriani, Christian Pareira, dan Naufal Armia Arifin (eds.). 2019. Towards a Regional Cyber Security: Perspective and Challenges in Southeast Asia. Jakarta: CSIS, hlm. 36.47. Lihat Arnani, Mela. 2019. Polri Dikabarkan Akan Patroli Siber di Grup WhatsApp, Ini 6 Faktanya. Diunduh di https://nasional.kompas.com/read/2019/06/19/19104531/polri-dikabarkan-akan-patroli-siber-di-grup-whatsapp-ini-6-faktanya?page=all, diakses pada 1 Maret 2020 pukul 00.00 WIB, lihat Santoso, Audrey. 2019. Soal Patroli Siber di WhatsApp Group, Ini Penjelasan Polri. Diunduh di https://news.detik.com/berita/d-4590863/soal-patroli-siber-di-whatsapp-group-ini-penjelasan-polri, diakses pada 1 Maret 2020 pukul 07.00 WIB, dan lihat juga Yakti Widyastuti, Rr. Ariyani. 2019. Halau Hoax, Polisi Gelar Patroli Siber Hingga Grup WhatsApp. Diunduh di https://bisnis.tempo.co/read/1214686/halau-hoax-polisi-gelar-patroli-siber-hingga-ke-grup-whatsapp, diakses pada 1 Maret 2020 pukul 07.00 WIB.48. GDPR adalah sebuah peraturan tentang data privacy (perlindungan data) yang diterapkan bagi seluruh perusahaan di dunia yang menyimpan, mengolah atau memproses personal data penduduk dari 28 negara yang tergabung dalam EU (Uni Eropa).

Page 13: DILEMA HAK PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DAN PENGAWASAN …

246

Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 17 No. 2 - Juni 2020 : 234-250

mempertimbangkan masalah privasi pada akhir 1970-

an dengan sejumlah studi tentang informatika dan

pada 1980 mengeluarkan “Pedoman yang Mengatur

Perlindungan Privasi dan Arus Transborder Data

Pribadi”.49 OECD terus aktif dalam bidang privasi dan

pengawasan yang mengeluarkan pedoman keamanan

(1992 dan 2002), perdagangan elektronik (1999) dan

jaringan global (1998). Pada tahun 1990, PBB juga

mengeluarkan “Pedoman Mengenai File Data Pribadi

Terkomputerisasi” yang sebagian besar didasarkan

pada tradisi hak asasi manusia PBB.

Tindakan yang lebih mengikat telah diambil oleh

lembaga pengatur regional. Badan paling awal untuk

bertindak adalah Dewan Eropa, yang pada tahun

1981 mengeluarkan “Konvensi untuk Perlindungan

Individu sehubungan dengan Pemrosesan Otomatis

Data Pribadi”. Meskipun secara teknis hanya

mempengaruhi negara-negara anggota yang telah

menandatangani Konvensi, cakupannya lebih luas

karena berdampak pada mereka yang berdagang

dengan negara-negara anggota. Demikian pula

dengan Uni Eropa dan Komunitas Eropa “Petunjuk

tentang Perlindungan Individu Mengenai Pemrosesan

Data Pribadi dan tentang Gerakan Bebas Data”

tersebut [selanjutnya disebut sebagai Petunjuk UE/

UE Directive] pada tahun 1995.

UE Directive hanya mengikat negara-negara

anggota tetapi memiliki konsekuensi internasional

yang lebih luas. UE Directive mengharuskan negara-

negara anggota untuk membentuk “otoritas pengawas”

untuk menegakkan hukum nasional dan bagi semua

negara untuk memberikan “perlindungan yang

memadai”, tetapi juga memungkinkan pengecualian

bagi negara untuk menjaga keamanan nasional

dan publik, penegakan hukum dan kepentingan

ekonomi. UE Directive membentuk komite atau

pihak yang bekerja, yang membuat rekomendasi dan

membantu mengatur agenda untuk masalah privasi

dan pengawasan baru, seperti transfer catatan nama

penumpang udara di luar Uni Eropa. UE Directive juga

mensyaratkan bahwa negara-negara non-UE yang

datanya ditransmisikan menyediakan “perlindungan

yang memadai” untuk data itu. Hal ini mensyaratkan

UE untuk mengevaluasi perlindungan data dan/atau

kebijakan privasi informasi di negara lain.

Pada tahun 2005, Kerjasama Ekonomi Asia-

Pasifik (APEC) mengadopsi “Kerangka Privasi”

yang berbeda dari pendekatan UE Directive dan

lebih banyak didasarkan pada pentingnya masalah

ekonomi dan kepercayaan konsumen. Di bawah

Kerangka Kerja ini, sistem aturan privasi lintas-

batas adalah cara yang digunakan negara dan pelaku

ekonomi untuk menyatakan bahwa “aturan privasi”

perusahaan sesuai dengan Kerangka tersebut melalui

proses akreditasi oleh agen akuntabilitas, seperti

trustmark, dan kemungkinan penegakan lebih lanjut

oleh lembaga pemerintah. Selain itu, Pengaturan

Kerjasama Penegakan Privasi Lintas Batas telah

dibentuk, saat ini dikelola oleh Komisi Perdagangan

Federal AS, Komisaris Informasi Australia, dan

Komisaris Privasi Selandia Baru.

Ketika organisasi baik di sektor publik dan

swasta semakin memindahkan transaksi dan

layanan online, masalah privasi dan pengawasan

baru muncul di sejumlah sektor, yang menghasilkan

diskusi kebijakan dan tindakan di luar lembaga

pemerintah juga.50 Organisasi seperti World Wide

Web Consortium (W3C) dan Institute of Electrical and

Electronics Engineers (IEEE) berfungsi sebagai forum

untuk membahas masalah dan solusi kebijakan. W3C

membentuk kelompok kerja yang mengembangkan

prinsip-prinsip untuk Platform for Privacy Preferences

(P3P) pada tahun 1998; P3P memungkinkan situs

web untuk mengekspresikan praktik privasi mereka

dalam format standar yang kemudian dapat diambil

secara otomatis dan ditafsirkan. Tujuannya adalah

untuk memudahkan pengguna web dan juga

memungkinkan pengguna untuk mengintegrasikan

standar privasi ideal mereka ke dalam praktik

web mereka. Pada akhirnya, tidak ada satu model

kelembagaan yang cocok untuk praktik pengawasan

siber di semua negara. Pertanyaan tentang bagaimana

cara terbaik mengatur pengawasan siber sehingga

dapat digunakan dengan cara-cara yang disetujui

secara hukum, dapat diterima secara sosial dan

secara praktis efektif adalah salah satu yang dijawab

49. Kristie Ball, Kevin Haggerty, dan David Lyon (Eds.). 2012. Routledge Handbook of Surveillance Studies. New York: Routledge, hlm. 401.50. Ibid, hlm. 403.

Page 14: DILEMA HAK PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DAN PENGAWASAN …

247

Dilema Hak Perlindungan Data Pribadi dan Pengawasan Siber... (Anggi Anggraeni Kusumoningtyas & Puspitasari)

dengan sangat berbeda. Budaya politik dan sistem

pemerintahan adalah dua faktor terpenting dalam

menjelaskan variasi dan pilihan nasional.51

Saat ini fokus perdebatan regulasi mengenai

perlindungan data pribadi sebagai bagian dari hak

atas privasi dan pengawasan siber telah sedikit

bergeser dari hak individu, pemberitahuan dan pilihan

ke akuntabilitas, transparansi dan kepercayaan.

Pergeseran bahasa ini mencerminkan taraf tertentu

pengaturan sosial di mana masalah privasi dan

pengawasan terjadi, serta peran organisasi dan norma

interaksi sosial dalam setidaknya memfasilitasi, jika

tidak mengatur penggunaan praktik pengawasan

siber. Mengantisipasi inovasi teknologi dan potensi

penggunaannya dalam memantau data, kegiatan, dan

percakapan membutuhkan serangkaian keterampilan

dan keahlian yang kuat, termasuk keterampilan

hukum, teknologi, administrasi, dan budaya.

Berbagai pengaturan kelembagaan, dan kelompok

masyarakat sipil yang berinteraksi dengan badan

pengatur, menyediakan sejumlah titik akses untuk

informasi dan pendapat, baik di dalam satu negara

maupun lintas negara.

C. Penutup

Pengawasan siber seringkali menimbulkan dilema

jika dihadapkan pada hak perlindungan data pribadi.

Demokrasi dengan segala hak dan kebebasan yang

melekat di dalamnya, seringkali dibenturkan dengan

tujuan keamanan nasional. Keamanan nasional

dengan segala kepentingannya, mengharuskan

antisipasi terhadap segala risiko kejahatan yang akan

timbul di masa depan. Kekhawatiran tentang privasi

berupa berlindungan data pribadi dan kebebasan sipil

dikalahkan oleh kekhawatiran tentang keamanan

dan mengidentifikasi kemungkinan teroris.

Dalam konteks keamanan nasional, dilema ini

bisa dipahami dalam kaitannya dengan keamanan

dan terorisme. Dengan demikian, pengawasan siber

menjadi absah ketika diberi alasan kontraterorisme.

Untuk alasan kontraterorisme inilah, maka

masyarakat didisiplinkan untuk menerima sistem

pengawasan siber secara sukarela. Pada satu titik,

ketika sistem pengawasan ini diterima, demokrasi

berhadapan dengan ancaman pada konteks keadilan

karena praktik pengawasan siber dipandang mengikis

hak-hak sipil, terutama hak perlindungan data pribadi.

Keamanan nasional, keadilan terhadap penindasan

dari sesama warga negara dan pemeliharaan institusi

publik yang diperlukan adalah elemen inti dari

konstelasi luas gagasan “demokrasi”. Hal ini adalah

landasan yang dibuat dalam menghadapi praktik

pengawasan yang dianggap mengikis hak-hak sipil

dan hak asasi manusia. Dua hal yang berbeda,

tetapi saling terkait, umumnya diadopsi untuk

mempertahankan hak-hak kita sebagai orang dan

warga negara: perlindungan data pribadi dan privasi

pribadi.

Privasi selalu merupakan hak, tidak pernah

mutlak benar. Negara memiliki hak, bahkan

kewajiban, untuk menempatkan keamanan nasional,

deteksi dan penuntutan kejahatan, kesehatan

masyarakat, dan keselamatan orang lain dengan

prioritas tinggi. Diutamakan hukum dapat digunakan

untuk menyempurnakan definisi kapan, bagaimana,

oleh siapa dan terhadap siapa privasi mungkin tidak

dihormati. Pelanggaran kepercayaan atau kerahasiaan

dapat dikenakan kompensasi setelah fakta dalam

konteks di mana surveilans dan pendistribusian data

terkait telah terjadi secara tidak sah.

David Flaherty dalam studi komparatifnya tentang

adopsi dan implementasi undang-undang privasi dan

perlindungan data di lima negara — Republik Federal

Jerman, Swedia, Prancis, Kanada, dan Amerika

Serikat menemukan bahwa penekanan pada peran

penting yang dimainkan oleh lembaga perlindungan

data independen dalam memastikan implementasi

undang-undang yang efektif yang dirancang untuk

melindungi informasi yang dapat diidentifikasi secara

pribadi. Karena praktik pengawasan siber digunakan

dalam konteks yang semakin banyak, kebutuhan

untuk mengatur penggunaannya konsisten dengan

norma sosial dan undang-undang yang ada menjadi

masalah kebijakan yang mendesak.

Kemampuan pengawasan siber ini melampaui

praktik informasi yang adil dan regulasi sistem

informasi yang terkomputerisasi, dan secara lebih

luas melibatkan perluasan kekuatan organisasi

modern dan kontrol sosial. Pada akhirnya, tidak ada

satu model kelembagaan yang cocok untuk praktik

51. Ibid.

Page 15: DILEMA HAK PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DAN PENGAWASAN …

248

Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 17 No. 2 - Juni 2020 : 234-250

pengawasan siber di semua negara. Pertanyaan tentang

bagaimana cara terbaik mengatur pengawasan siber

sehingga dapat digunakan dengan cara-cara yang

disetujui secara hukum, dapat diterima secara sosial

dan secara praktis efektif adalah salah satu yang

dijawab dengan sangat berbeda. Budaya politik dan

sistem pemerintahan adalah dua faktor terpenting

dalam menjelaskan variasi dan pilihan nasional.

Contoh-contoh yang baik di beberapa negara

Eropa telah berfokus terutama pada membuat

pengawasan siber transparan, sambil membangun

mekanisme perlindungan hybrid yang didirikan oleh

para ahli teknis yang mahir, di samping birokrat

atau anggota parlemen. Kegagalan transparansi

pengawasan siber sebagian besar berasal dari

keterbelakangan teknologi mekanisme perlindungan

dan pengawasan ini. Sebagai akibatnya, publik

merancang mekanisme sendiri untuk menghindari,

menutupi atau memantau bagaimana negara

mengelola dan memproses data siber intelijen dan

data warga.

Komunitas para cendekiawan dan praktisi

di bidang studi pengawasan mungkin perlu

mengembangkan bentuk-bentuk praktik baru

dan pertanyaan-pertanyaan baru untuk bertanya

tentang pengawasan agar dapat berinovasi dalam

instrumen, strategi, dan pengaturan kelembagaan.

Perubahan teknologi pengawasan siber menuju cara

yang lebih intensif, luas, terselubung dan di mana-

mana memainkan peran utama dalam mendorong

reformasi dalam regulasi. Tetapi tidak akan cukup

untuk berfokus pada teknologi sebagai penyebabnya

tanpa memperhitungkan keputusan yang dibuat

oleh individu atau atas nama organisasi yang

menggunakan teknologi untuk melanjutkan tujuan

pengawasan siber.

Daftar Pustaka

Buku

Ball, Kirstie and Laureen Snider, eds. 2013. The Surveillance-Industrial Complex: A Political Economy of Surveillance. Abingdon, UK: Routledge.

——— . 2010.Personal Data Protection in Malaysia. Malaysia: Sweet & Maxwell Asia.

Bennett, Colin J. 1992. Regulating Privacy: Data Protection and Public Policy in Europe and the United States. New York: Cornell University Press.

Boyle, James. “Foucault in Cyberspace: Surveillance, Sovereignty, and Hardwired Censors.” University of Cincinnati Law Review 66 (January 1, 1997): 177–205.

Ceyhan, Ayse. 2012. “Surveillance as Biopower.” Dalam Routledge Handbook of Surveillance Studies, disunting oleh Kirstie Ball, Kevin D. Haggerty, dan David Lyon, 38–45. New York: Routledge.

Creswell, John W. 2015. Penelitian Kualitatif dan Desain Riset: Memilih di antara Lima Pendekatan, terj. Ahmad Lintang Lazuardi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Fitriani, Christian Pareira, dan Naufal Armia Arifin (eds.). 2019. Towards a Regional Cyber Security: Perspective and Challenges in Southeast Asia. Jakarta: CSIS, hlm. 36.

Furedi, Frank. 2002. Culture of Fear: Risk-Taking and the Morality of Low Expectation Revised Edition. A&C Black.

Fuchs, Christian, Kees Boersma, Anders Albrechtslund, dan Marisol Sandoval, eds. 2011. Internet and Surveillance: The Challenges of Web 2.0 and Social Media. New York: Routledge, 2011.

Jensen, Carl J., David H. McElreath, dan Melissa Graves. 2013. Introduction to Intelligence Studies. Boca Raton: CRC Press.

Kristie Ball, Kevin Haggerty, dan David Lyon (Eds.). 2012. Routledge Handbook of Surveillance Studies. New York: Routledge.

Lyon, David. 1994. Electronic Eye: The Rise of Surveillance Society. 1 edition. Minneapolis: Univ Of Minnesota Press.

Lyon, David, ed. 2006. Theorizing Surveillance: The Panopticon and Beyond. Cullompton, Devon: Willan.

———. 2013. The Electronic Eye: The Rise of Surveillance Society – Computers and Social Control in Context. John Wiley & Sons.

Page 16: DILEMA HAK PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DAN PENGAWASAN …

249

Dilema Hak Perlindungan Data Pribadi dan Pengawasan Siber... (Anggi Anggraeni Kusumoningtyas & Puspitasari)

Jurnal

Amnesty International, Egypt’s plan for mass surveillance of social media an attack on internet privacy and freedom of expression, 4 June 2014, www.amnesty.org/en/articles/news/2014/06/egypt-s-attack-internet-privacy-tightens-noose-freedomexpression/and ‘You are being watched!’ Egypt’s mass Internet surveillance, Mada Masr,29 September 2014, www.amnesty.org/en/articles/news/2014/06/egypt-sattack-internet-privacy-tightens-noose-freedom-expression/, diakses pada 1 Maret 2020 pukul 23.37 WIB.

———, France: Halt rush towards surveillance state, 4 May 2015, www.amnesty.org/en/articles/news/2015/05/france-surveillance-state/ and Amnesty International, France: les députés approuvent la surveillance de masse, 5 May 2015, www.amnesty.fr/Nos-campagnes/Liberte-expression/Actualites/Franceles-deputes-approuvent-la-surveillance-de-masse-15061, diakses pada 1 Maret 2020 pukul 14.00 WIB.

———,Two Years After Snowden Governments Resist Calls to End Mass Surveillance. Amnesty International, June 5, 2015. https://www.amnesty.org/en/press-releases/2015/06/two-years-after-snowden/ , diakses pada 1 Februari 2020 pukul 22.56 WIB.

———. “Two Years After Snowden: Protecting Human Rights in an Age of Mass Surveillance.” London: Amnesty International, June 4, 2015. https://www.amnesty.org/en/documents/act30/1795/2015/en/.

———. “Survei l lance in the Digital Enclosure.” The Communication Review 10, no. 4 (December 5, 2007): 295–317. doi:10.1080/10714420701715365.

Angwin, J. (2010). “The Web’s New Gold Mine: Your Secrets,” The Wall Street Journal, 30 July 2010, diunduh di http://online.wsj.com/article/SB10001424052748703940904575395073512989404.html, diakses pada 9 Juni 2020 pukul 16.00 WIB.

Fuchs, Christian. “New Media, Web 2.0 and Surveillance.” Sociology Compass 5, No. 2 (2011): 134–47.

Haggerty, Kevin D. 2006. “Tear down the Walls: On Demolishing the Panopticon.” In Theorizing Surveilance: The Panopticon and beyond, edited by David Lyon, 23–45. Cullompton, Devon: Willan.

Haggerty, Kevin D., dan Richard V. Ericson. “The Surveillant Assemblage.” The British Journal of Sociology 51, No. 4 (December 1, 2000): 605–22.

Kerr, Orin S. “Internet Surveillance Law after the USA Patriot Act: The Big Brother That Isn’t.” SSRN Scholarly Paper. Rochester, NY: Social Science Research Network, July 19, 2002. http://papers.ssrn.com/abstract=317501, diakses pada 2 Maret 2020 pukul 01.00 WIB.

———. “Technology vs ‘Terrorism’: Circuits of City Surveillance since September 11th.” International Journal of Urban and Regional Research 27, no. 3 (September 2003): 666–78.

———. “Terrorism, Risk and International Security: The Perils of Asking ‘What If?’” Security Dialogue 39, no. 2–3 (April 1, 2008): 221–42. doi:10.1177/0967010608088776.

Radu, Roxana. “Power Technology and Powerful Technologies: Global Governmentality and Security in the Cyberspace.” In Cyberspace and International Relations, edited by Jan-Frederik Kremer and Benedikt Müller, 3–20. Berlin, Heidelberg: Springer Berlin Heidelberg, 2014, diakses pada 1 Maret 2020 pukul 12.00 WIB.

Renard, Thomas. “The Rise of Cyber-Diplomacy: The EU, It’s Strategic Partners and Cyber-Security.” ESPO working paper. Eurostrategic Partnerships and Transnational Threats. European Strategic Partnerships Observatory, 2014. http://strategicpartnerships.eu/2014/06/the-rise-of-cyber-diplomacy/, diakses pada 1 Februari 2020 pukul 12.00 WIB.

Sabrina De Capitani Di Vimercati et.al., ”Data Privacy: Definitions and Techniques”, International Jpurnal of Uncertainty, Fuzziness and Knowledge-Based Systems 20, No. 6, (December 1, 2012): 793-817, https://doi.org/10.1142/S0218488512400247.

Page 17: DILEMA HAK PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DAN PENGAWASAN …

250

Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 17 No. 2 - Juni 2020 : 234-250

Thompson, Scott and David Lyon. Forthcoming 2019. “Pixies, pop-out intelligence and sand-box play: The New Analytic Model and National Security Surveillance in Canada.” In Security Intelligence and Surveillance in the Big Data Age: The Canadian Case, edited by David Lyon and David Murakami Wood. Vancouver, BC: UBC Press.

Van Hoboken, Joris V. J., and Ira S. Rubinstein. “Privacy and Security in the Cloud: Some Realism about Technical Solutions to Transnational Surveillance in the Post-Snowden Era.” Maine Law Review 66 (2014 2013): 487–533.

Internet

Arnani, Mela. 2019. Polri Dikabarkan Akan Patroli Siber di Grup WhatsApp, Ini 6 Faktanya. Diunduh di https://nasional.kompas.com/read/2019/06/19/19104531/polri-dikabarkan-akan-patroli-siber-di-grup-whatsapp-ini-6-faktanya?page=all, diakses pada 1 Maret 2020 pukul 00.00 WIB.

Kerry, Cameron F. 2018. Why protecting is a losing game today –and how to change the game. Diunduh dihttps://www.brookings.edu/research/why-protecting-privacy-is-a-losing-game-today-and-how-to-change-the-game/, diakses pada 1 Maret 2020 pukul 17.00 WIB.

Noah Harari, Yuval. 2000. Yuval Noah Harari: The World After Coronavirus. Diunduh dihttps://www.ft.com/content/19d90308-6858-11ea-a3c9-1fe6fedcca75, diakses pada 7 Juni 2020 pukul 12.22 WIB.

Santoso, Audrey. 2019. Soal Patroli Siber di WhatsApp Group, Ini Penjelasan Polri. Diunduh di https://news.detik.com/berita/d-4590863/soal-patroli-siber-di-whatsapp-group-ini-penjelasan-polri, diakses pada 1 Maret 2020 pukul 07.00 WIB.

Yakti Widyastuti, Rr. Ariyani. 2019. Halau Hoax, Polisi Gelar Patroli Siber Hingga Grup WhatsApp. Diunduh di https://bisnis.tempo.co/read/1214686/halau-hoax-polisi-gelar-patroli-siber-hingga-ke-grup-whatsapp, diakses pada 1 Maret 2020 pukul 07.00 WIB.

Lakshman, Narayan. “Pakistan Has Built a Massive Surveillance State: Report.” The Hindu. July 25, 2015. http://www.thehindu.com/news/international/south-asia/pakistan-has-built-a-massive-surveillance-state-report/article7462002.ece, diakses pada 14 Februari 2020 pukul 10.30 WIB.