"Dilema Anggaran Pemerintah Daerah: Antara Pembangunan dan Tuduhan Korupsi"

14
Dilema Anggaran Pemerintah Daerah: Antara Pembangunan dan Tuduhan Korupsi (Penyusun: Grace Shinta, Rahmi Intan Jeyhan, M. Dimas Tribowo-Universitas Indonesia) PENDAHULUAN Latar Belakang World Justice Project dalam Laporan Tentang Indonesia yang dirilis pada 19 Januari 2015 menempatkan Indonesia sebagai negara dengan ketiadaan korupsi peringkat ke 80 dari 99 negara secara global. 1 Dengan kata lain Indonesia menjadi negara dengan tingkat korupsi nomor 20 tertinggi di dari 99 negara tersebut. Sementara itu, Transparency International Indonesia merilis dalam Corruption Perception Index 2014, Indonesia menempati posisi 117 dari 175 negara di dunia dengan skor 34 dari skala 0-100 (0 berarti sangat korup dan 100 berarti sangat bersih). 2 Peringkat tersebut berubah pada tahun 2015 menjadi 107 pada tahun 2015. Hal tersebut menujukkan peningakatan namun dalam tataran yang tidak signifikan. Terlepas dari beragamnya angka peringkat korupsi Indonesia, suatu kesimpulan yang tidak dapat dielakkan adalah bahwasanya semua angka tersebut menunjukkan tingginya tingkat korupsi di Indonesia. Korupsi telah menjadi perbincangan umum di Indonesia. Mulai dari argumen-argumen intelektual akademisi hingga pada meja-meja warung kopi, topik korupsi adalah hal yang tidak asing lagi. Hal tersebut menunjukkan bahwa kesadaran akan ancaman korupsi di negara telah tumbuh di tubuh masyarakat Indonesia. Selama tengah tahun pertama 2015, Indonesia Corruption Watch (ICW) memantau 308 kasus dengan 590 orang tersangka korupsi. Total potensi kerugian negara dari kasus-kasus ini mencapai 1,2 triliun rupiah dan potensi suap sebesar 457,3 miliar rupiah. 3 Angka tersebut jelas tidak menunjukkan hitungan yang kecil. 1 World Justic3 Project, “Laporan Tentang Indonesia”, https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=10&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwj8 3Ij9x8LKAhUDTY4KHYnqAf4QFghTMAk&url=http%3A%2F%2Fworldjusticeproject.org%2Fsites%2Fdefault%2Ffil es%2Findonesia_report_011314_bahasa.pdf&usg=AFQjCNG0FcVJxRdcUehRfGc6nsuhMcpM-Q, diakses pada 23 Januari 2016. 2 Wahyudi Thohary, dkk, Survey Persepsi Korupsi, (Jakarta: Transparency International Indonesia, 2015), hlm. 2. 3 Indonesia Corruption Watch, “Tren Pemberantasan Korupsi Semester 1 2015”, Anti-Korupsi 14-18 September 2015, hlm. 1.

description

 

Transcript of "Dilema Anggaran Pemerintah Daerah: Antara Pembangunan dan Tuduhan Korupsi"

Page 1: "Dilema Anggaran Pemerintah Daerah: Antara Pembangunan dan Tuduhan Korupsi"

Dilema Anggaran Pemerintah Daerah: Antara Pembangunan dan Tuduhan Korupsi

(Penyusun: Grace Shinta, Rahmi Intan Jeyhan, M. Dimas Tribowo-Universitas Indonesia)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

World Justice Project dalam Laporan Tentang Indonesia yang dirilis pada 19 Januari

2015 menempatkan Indonesia sebagai negara dengan ketiadaan korupsi peringkat ke 80 dari

99 negara secara global.1 Dengan kata lain Indonesia menjadi negara dengan tingkat korupsi

nomor 20 tertinggi di dari 99 negara tersebut. Sementara itu, Transparency International

Indonesia merilis dalam Corruption Perception Index 2014, Indonesia menempati posisi 117

dari 175 negara di dunia dengan skor 34 dari skala 0-100 (0 berarti sangat korup dan 100

berarti sangat bersih).2 Peringkat tersebut berubah pada tahun 2015 menjadi 107 pada tahun

2015. Hal tersebut menujukkan peningakatan namun dalam tataran yang tidak signifikan.

Terlepas dari beragamnya angka peringkat korupsi Indonesia, suatu kesimpulan yang tidak

dapat dielakkan adalah bahwasanya semua angka tersebut menunjukkan tingginya tingkat

korupsi di Indonesia.

Korupsi telah menjadi perbincangan umum di Indonesia. Mulai dari argumen-argumen

intelektual akademisi hingga pada meja-meja warung kopi, topik korupsi adalah hal yang

tidak asing lagi. Hal tersebut menunjukkan bahwa kesadaran akan ancaman korupsi di negara

telah tumbuh di tubuh masyarakat Indonesia. Selama tengah tahun pertama 2015, Indonesia

Corruption Watch (ICW) memantau 308 kasus dengan 590 orang tersangka korupsi. Total

potensi kerugian negara dari kasus-kasus ini mencapai 1,2 triliun rupiah dan potensi suap

sebesar 457,3 miliar rupiah.3 Angka tersebut jelas tidak menunjukkan hitungan yang kecil.

1 World Justic3 Project, “Laporan Tentang Indonesia”,

https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=10&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwj83Ij9x8LKAhUDTY4KHYnqAf4QFghTMAk&url=http%3A%2F%2Fworldjusticeproject.org%2Fsites%2Fdefault%2Ffiles%2Findonesia_report_011314_bahasa.pdf&usg=AFQjCNG0FcVJxRdcUehRfGc6nsuhMcpM-Q, diakses pada 23 Januari 2016.

2 Wahyudi Thohary, dkk, Survey Persepsi Korupsi, (Jakarta: Transparency International Indonesia, 2015),

hlm. 2. 3 Indonesia Corruption Watch, “Tren Pemberantasan Korupsi Semester 1 2015”, Anti-Korupsi 14-18

September 2015, hlm. 1.

Page 2: "Dilema Anggaran Pemerintah Daerah: Antara Pembangunan dan Tuduhan Korupsi"

Dilihat dari latar belakang aktor korupsi, pejabat atau pegawai di lingkungan Kementerian

dan Pemerintah Daerah menjadi pelaku yang paling banyak ditetapkan sebagai tersangka

(212 orang).4 Hal yang dapat disoroti dalam hal ini adalah tingginya tingkat korupsi yang

dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Djohermansyah Johan (Direktur Jenderal Otonomi

Daerah Kementerian Dalam Negeri) menyebutkan hingga September 2014 terdapat 290

kepala daerah yang terkena kasus korupsi 290. Sementara itu untuk anggota DPRD angka

tersebut mencapai 3600 orang.5 Sebagai contoh, sebut saja beberapa kepala daerah yang

tersandung kasus korupsi seperti Annas Maamun (mantan Gubernur Riau), Ratu Atut

Chosiyah (mantan Gubernur Banten), Romi Herton (mantan Wali Kota Palembang).6

Pasca penanaman otonomi daerah di Indonesia dengan lebih masif, perubahan pada

konstruksi keuangan negara menjadi suatu konsekuensi logis. Aspek keuangan yang

diejawantahkan dalam anggaran, terutama Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah

(APBD), menjadi hal yang tidak luput dari pembahasan otonomi daerah. Mengingat

tingginya angka korupsi yang dilakukan di daerah baik oleh kepala daerah maupun anggota

DPRD, maka APBD tidak dapat dielakkan APBD menjadi objek utama dalam korupsi di

daerah itu sendiri.

Anggaran belanja pemerintah dikelompokkan atas anggaran belanja rutin dan anggaran

belanja pembangunan.7 Pembangunan menjadi aspek penting dalam menyejahterakan

masyarakat dalam hal ini masyarakat daerah itu sendiri. APBD dialokasikan sesuai dengan

pembangunan yang didasarkan kepada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah

(RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) serta Rencana

Pembangunan Tahunan Daerah atau Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD)

Telah terdapat peraturan perundang-undangan terkait keuangan negara, pemerintah

daerah, anggaran daerah, hingga pemberantasan korupsi. Pun telah terdapat berbagai lembaga

yang bergerak dalam mengupayakan kebermanfaatan anggaran pemerintah daerah untuk

pembangunan maupun yang bergerak dalam pemberantasan korupsi itu sendiri. Namun,

kenyataannya anggaran pemerintah daerah yang seyogyanya dimanfaatkan sebesar-besarnya

4 Ibid.

5Ihsanuddin, “KPK: Anggota DPRD yang Terjerat Korupsi 3.600 Orang”,

ttp://nasional.kompas.com/read/2014/09/25/22533641/KPK.Anggota.DPRD.yang.Terjerat.Korupsi.3600.Orang, diakses pada 23 Januari 2015.

6Nov, “Ini 10 Kepala Daerah yang Tersandung Korupsi di 2014”,

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54afebb14ae5a/ini-10-kepala-daerah-yang-tersandung-korupsi-di-2014, diakses pada 23 Januari 2015.

7 Indonesia, UU No. 17 Tahun 2003, Undang-Undang tentang Keuangan Negara, LN No. 47. TLN No. 4287.

Page 3: "Dilema Anggaran Pemerintah Daerah: Antara Pembangunan dan Tuduhan Korupsi"

untuk pembangunan demi kesejaheraan rakyat, tidak luput dari objek korupsi. Dilema yang

tersisa tersebut menjadikan adanya suatu urgensi untuk mengaji ulang kebijakan terkait

anggaran pemerintah daerah di Indonesia. Adapun dalam pembahasan ini, akan dilakukan

eksentifikasi terhadap konteks judul penulisan yaitu Dilema Anggaran Pemerintah Daerah:

Antara Pembangunan dan Tuduhan Korupsi, dimana Pemerintah Daerah tersebut dibahas

lebih lanjut sebagai Pemerintahan Daerah sesuai dengan konsepsi Undang-Undang nomor 23

Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-

Undang nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang nomor 23 tahun

2014 (UU Pemda).

Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanan landasan yuridis sistem anggaran pemerintahan daerah dan kaitannya

dengan korupsi?

2. Bagaimanan implementasi sistem anggaran pemerintahan daerah dan kaitannya

dengan korupsi?

PEMBAHASAN

Anggaran Pemerintahan Daerah, Pembangunan, serta Korupsi: Tinjauan Umum

D’ Audiifret dalam bukunya Systeme Financier de la France menyebutkan bahwa

administrasi keuangan mempunyai pengaruh yang begitu besar pada nasib suatu bangsa,

sehingga kebijaksanaan yang ditempuh untuk menjuruskan kegiatan itu dapat menyebabkan

kemakmuran atau kelemahan, kejayaan atau kejatuhan bangsa itu.8 Keuangan dalam suatu

negara memegang peranan penting dalam pembangunan, dalam konstruksi yang lebih kecil

keuangan dalam suatu konstruksi kedaerahan, memegang peranan penting pula dalam

pembangunan daerah itu sendiri.

Salah satu pengelompokan unsur sistem keuangan pemerintah daerah adalah unsur

berkala dan unsur hukum. Unsur berkala mencakup unsur-unsur yang menjadi bagian dari

8 J. Wajong, Administrasi Keuangan Daerah, (Jakarta: Ichtiar, 1962), hlm. 5

Page 4: "Dilema Anggaran Pemerintah Daerah: Antara Pembangunan dan Tuduhan Korupsi"

kegaiatan-kegiatan berkala dalam setahun, yakni: menyusun program dan anggaran; urusan

uang keluar dan uang masuk; mencatat dan melaporkan transaksi keuangan. Unsur hukum

mencakup unsur-unsur pengaturan dan pemantauan kegiatan berkala, yakni: undang-undang

dan peraturan keuangan; transaksi dan pemeriksaan keuangan dari dalam.9 Sistem keuangan

dalam pemerintahan daerah itu sendiri diejawantahkan pada anggaran dalam lingkup

pemerintahan daerah.

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai anggaran itu sendiri, perlu

dikontekstualisasikan kembali pembahasan sesuai judul dimana pemerintah daerah dalam hal

ini diekstentifikasi menjadi pemerintahan daerah. Hal tersebut merujuk pada ketentuan Pasal

1 angka 2 UU Pemda yang menyebutkan:

Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah

daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas

pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara

Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Sementara itu, Pasal 1 angka 3 UU Pemda menentukan bahwa:

Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan

Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan

daerah otonom.

Mengingat konstruksi anggaran daerah tidaklah dapat dibatasi hanya terhadap kepala

daerah sebagaimana maksud dari pemerintah daerah menurut ketentuan diatas, maka

kosntruksi yang dimaksudkan dalam penulisan ini adalah anggaran di daerah pada umumnya.

Atau dengan kata lain dimaksudkan sebagai anggaran dengan keikutsertaan peran kepala

daerah maupun DPRD.

Sebagaimana yang telah disampaikan pada bagian sebelumnya, sistem keuangan daerah

diejawantahkan dalam suatu penganggaran. Anggaran diartikan sebagai alat akuntabilitas,

manajemen, dan kebijakan ekonomi.10

Dalam tataran otonomi daerah, anggaran tersebut

diwujudkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pasal 1 angka 32 UU

9 Brian Binder, “Pengelolaan Keuangan Pemerintah Daerah”, dalam Nick Devas, dkk, Keuangan

Pemerintah Daerah di Indonesia, (Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia, 1999), hlm. 280. 10

_Direktorat Jendral Pajak, Dasar-Dasar Penyusunan APBN di Indonesia, (Jakarta: Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2013), hlm. 10.

Page 5: "Dilema Anggaran Pemerintah Daerah: Antara Pembangunan dan Tuduhan Korupsi"

Pemda mengartikan APBD sebagai rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan

dengan Perda. Sementara itu, korupsi dimaknai sesuai dengan maksud Bab II Undang-

Undang nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana

yang diubah dengan Undang-Undang nomor 21 tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 (UU Pemberantasan Korupsi)

APBD digunakan untuk pembangunan daerah demi kemakmuran masyarakat baik di

daerah itu sendiri maupun dalam kaitannya dengan implikasi masyarakat yang lebih luas.

Pasca otonomi daerah, salah satu upaya yang dilakukan sebagai langkah reformasi keuangan

daerah adalah mengubah sistem penganggaran. Perubahan proses penganggaran terkait

dengan perubahan proses penyusunan anggaran yang sebelumnya bersifat sentralistis dan top

down diubah menjadi sistem anggaran partisipatif (bottom up/participative budget). Dengan

otonomi luas dan nyata pemerintah daerah diberi kewenangan penuh untuk menentukan

program pembangunan sesuai dengan kebutuhan daerah.11

Salah satu tujuan pengelolaan keuangan pemerintah daerah adalah untuk mencapai

hasil guna (effectiveness) dan daya guna (efficiency). Dalam hal tersebut tata cara mengurus

keuangan daerah harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan program dapat

direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan pemerintah daerah dengan biaya

serendah-rendahnya dan dalam waktu secepat-cepatnya.12

APBD dalam memajukan

pembangunan diupayakan memenuhi hasil guna dan daya guna tersebut. Pengalokasian

APBD untuk pembangunan tersebut sesuai dengan pembangunan yang didasarkan kepada

RPJPD, RPJMD, serta RKPD sebagaimana yang diapaprkan sebelumnya.

Siklus atau garis edar anggaran daerah setiap tahun anggaran meliputi penyusunan,

pembahasan, penetapan RAPBD, pengesahan pejabat yang berwenang, pelaksanaan APBD,

pengawasan serta pemeriksaan atas pelaksanaan APBD.13

Maka korupsi di daerah terhadap

APBD dapat terjadi dalam tahap-tahap yang terdapat dalam siklus tersebut. Indikasi korupsi

tersebut dapat terjadi karena beberapa sebab utama, yaitu: lemahnya sistem akuntabilitas

dalam penganggaran, representasi politik yang buruk, kurangnya profesionaisme dari

11

Mahmudi, Manajemen Keuangan Daerah, 2010, (Jakarta: Erlangga), hlm. 4 12

Brian Binder, Op.Cit. 13

D.J. Mamesah, Sistem Administrasi Keuangan Daerah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm. 77.

Page 6: "Dilema Anggaran Pemerintah Daerah: Antara Pembangunan dan Tuduhan Korupsi"

birokrasi di daerah, dan lemahnya kontrol masyarakat yang disebabkan kapasitas dan

sempitnya ruang partisipasi publik di dalam mengontrol anggaran.14

Kurangnya kontrol publik menyebabkan proyek-proyek pembangunan dikorupsi

dalam banyak bentuk. Seperti penggelembungan anggaran (mark up), penyusutan kualifikasi

(bestek), atau penyalahgunaan prosedur tender. Hal itu bisa dilihat dengan banyaknya pos-

pos belanja yang tidak sesuai kebutuhan, tidak tepat sasaran, atau dimanipulasi dengan

munculnya berbagai pos-pos siluman yang sebenarnya tidak dibelanjakan untuk proyek tapi

anggaran tersebut tetap dieksekusi.15

Celah korupsi yang terjadi terhadap APBD tersebut

dapat berada dalam tataran yuridis maupun implementatif.

Kajian Yuridis Permasalahan Korupsi Anggaran Pemerintahan Daerah

Ditinjau dari perspektif yuridis-normatif, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003

mengenai Keuangan Negara pada pasal ke 19 ayat (2) telah mengamanatkan bahwa

penyusunan RAPBD dimulai dari tahapan primer yakni penyusunan Rencana Satuan Kerja

Perangkat Daerah wjaib dilakukan dengan berbasis pada prestasi kerja. Sebagai sebuah

anggaran berbasis kinerja, (ABK) ,penyusunan dan perencanaan APBD sepatutnya mengacu

pada indikator-indikator yang terkandung dalam konsep ABK. Anggaran berbasis kinerja

mensyaratkan adanya ukuran kinerja yang jelas dan dapat diverifikasi, baik terhadap

outcome, output, maupun kewajaran dana yang dikeluarkan oleh output yang dicapai.16

Menurut Mardiasmo, performance budgeting pada sistem penyusunan dan pengelolaan

anggaran daerah mencerminkan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik dan semata-mata

berorientasi pada kepentingan publik.17

Sehingga dalam kacamata status quo pengaturan

normatif, orientasi dan peruntukkan APBD secara konseptual telah selaras dengan cita-cita

pembangunan.

Peraturan Pemerintah Nomor Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah

telah memformulasikan penerapan performance budgeting dalam penyusunan APBD,

14

Adib Achmadi (ed.), Panduan Pengawasan Keuangan Daerah: Wawasan dan Instrumen Monitoring Tata Kelola Keuangan Daerah, (Jakarta: Masyarakat Transparansi Indonesia, 2005), hlm. 2.

15 Ibid.

16 Nugroho Adi Utomo, Putu Oka Ngakan, dan Ahmad Dermawan, Anggaran Berbasis Kinerja:

Tantangannya Menuju Tata Kelola Hutan yang Baik dalam Forest and Governance Programmed Government Brief Vol.37 (Jakarta:Center for International Forestry Research, 2007), hlm. 5.

17 Mardiasmo, hlm. 132.

Page 7: "Dilema Anggaran Pemerintah Daerah: Antara Pembangunan dan Tuduhan Korupsi"

sebagaimana tercantum dalam Pasal 39 ayat (2) bahwa penyusunan Rencana Kerja dan

Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah dilakukan dengan memperhatikan lima indikator

utama yakni capaian kerja, indikator kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga,

dan standar pelayanan minimal. Dalam alur penyusunan RAPBD, RKA-SKPD disusun

sebagai dasar pembentukan RAPBD, untuk kemudian masuk ke dalam tahap pembahasan

RAPBD. Peran RKA-SKPD amat signikan mengingat subtansinya yang memuat rencana

pendapatan serta belanja untuk masing-masing program dan kegiatan menurut fungsi.

Pemain peran penting dari keseluruhan indikator yang dijadikan acuan dalam

penyusunan RKA-SKPD ialah analisis standar belanja. Analisis standar belanja berfungsi

sebagai pedoman yang digunakan untuk menganalisis kewajaran beban kerja atau biaya

setiap program/kegiatan dalam satu tahun anggaran.18

Pada kenyataanya, analisis standar

belanja belum diterapkan secara konsekuen dalam penyusunan RKA-SKPD di beberapa

daerah. Lazimnya, ASB diundang-undangkan dengan instrument Perda, namun pada

keberlakuannya standar belanja lebih sering bertumpu pada usulan oleh SKPD di ruang

lingkup provinsi19

, dan pengesahan ASB dalam instrument perda seringkali tidak melalui

mekanisme akademik serta komprehensif serta cenderung menimbulkan ragam persepsi

karena tidak adanya format yang baku.

Menurut pandangan penulis, solusi konkret yang ada sebagai langkah pembenahan

aspek yuridis-normatif mengenai APBD dapat dilakukan dengan positivisasi format analisis

standar belanja ke dalam bentuk peraturan pelaksanaan agar seluruh tingkatan wilayah daerah

terikat pada komitmen Analisis standar belanja merupakan langkah awal untuk memerangi

modus operandi korupsi seperti penggelembungan dana, duplikasi anggaran di berbagai

kegiatan atau program, program kerja fiktif/manipulasi dana fiktif, oleh karena analisis

standar belanja menetapkan secara baku kewajaran pembiayaan suatu program. Penguatan

dari segi yuridis dapat dilakukan melalui dua opsi kebijakan yakni pencatuman substansi

pasal baru dalam PP Pengelolaan Keuangan Daerah mengenai kewajiban pengesahan ASB

dalam instrumen Peraturan Daerah tingkat Provinsi/Kabupaten dan pembentukan Peraturan

Menteri Dalam Negeri yang mengatur format baku dan terperinci indikator Analisis Standar

Belanja yang harus dijadikan lampiran tertulis penyusunan RAPBD.

18

Yunita dan Hendra, Anggaran Berbasis Kinerja, (Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2010), hlm.152. 19

Admin Bidang Anggaran, “Belajar Analisis Standar Belanja Kepada Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta”,http://dpkd.sumbarprov.go.id/berita/read/495-belajar-analisis-standar-belanja-kepada-pemerintah-daerah-istimewa-yogyakarta.html, diakses pada 24 Januari 2016.

Page 8: "Dilema Anggaran Pemerintah Daerah: Antara Pembangunan dan Tuduhan Korupsi"

Pengaturan kedudukan keuangan DPRD melalui beberapa dinamika perubahan dari

waktu ke waktu. Pertama, , Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000 dicabut dan

dinyatakan tidak berlaku pada 9 Desember 2002. Secara konklusif, legal standing penggungat

yakni DPRD Sumatera Barat Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000 secara implisit

mempersempit ruang gerak hak menetukan anggaran DPRD dengan standarisasi porsi-porsi

penganggaran penghasilan tetap, tunjangan khusus, dan belanja DRPD lainnya.

Pembatalan PP Nomor 110 Tahun 2000 pada 9 Desember 2002 berimplikasi langsung

pada segi akuntabilitas dan proporsionalitas penyusunan APBD, oleh karena pembiayaan

belanja DRPD dan Sekretariat DPRD dianggarkan dalam satu pos tersendiri yakni Pos

“DPRD dan Sekretariat DPRD” merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari APBD dan

mekanisme pengusulan serta pembahasan diberlakukan sama dengan belanja perangkat

daerah lain. merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari APBD dan mekanisme pengusulan

serta pembahasan diberlakukan sama dengan belanja perangkat daerah lain Signifikansi

pengaturan kedudukan keuangan DRPD terlatak pada aspek fungsionalitas nya sebagai

pedang prevensi terhadap eskalasi tindak pidana korupsi terselubung dalam proses

penyusunan APBD. Oleh karena anggaran belanja DPRD merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dari APBD dan mekanisme pengusulan serta pembahasan diberlakukan sama

dengan belanja perangkat daerah lain dan sejatinya, prioritas anggaran Pendapatan Asli

Daerah sebagai sumber penerimaan daerah diperuntukkan bagi pembiayaan kegiatan operasi

dan pemeliharaan sarana dan prasarana masyarakat20

, bukan halnya kesejahteraan anggota

dewan semata.

Sebagai substitusi PP Nomor 110 Tahun 2000, Pemerintah mengundangkan PP

Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan yang kemudian

diperbahaui oleh PP Nomor 21 Tahun 2007. Namun, dari aspek yuridis, Penulis

berpandangan, ketiadaan pengaturan yang mengimperatifkan pertanggungjawaban

pengelolaan APBD oleh DPRD. Hal ini membuka celah luas terhadap keberlanjutan

penyelewenangan anggaran di pos belanja DPRD. Pelanggaran terhadap pengaturan

protokoler dan kedudukan keuangan ini terjadi dengan masih menjamurnya modus operansi

korupsi oleh DRPD dalam bentuk fenemona penggelembungan dana anggaran untuk

tunjangan dan fasilitas anggota dewan, penyaluran dana APBD bagi anggota melalui yayasan

20

Herman Budi Sasono, Manajemen Pelabuhan dan Realisasi Ekspor Impor, (Yogyakarta:ANDI, 2012), hlm.195

Page 9: "Dilema Anggaran Pemerintah Daerah: Antara Pembangunan dan Tuduhan Korupsi"

fiktif dan pemanipulasian anggaran untuk perjalanan dinas. 21

Kenyataan ini didukung pula

oleh fakta bahwa di beberapa daerah, presentase anggaran dewan terhadap keseluruhan dana

APBD mencapai 20 hingga 30%22

.

Dari segi pengaturan mengenai pertanggungjawaban alokasi dana, Peratuan Menteri

Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2001 telah mengatur mengenai mekanisme

pertanggungjawaban beanja penunjang operasional pimpinan DPRD. Pasal 13 Permendagri

Nomor 21 Tahun 2007 ini mengkonsepsikan suatu penandatangan pakta integritas mengenai

penggunaan data oleh Pimpinan DPRD disertai laporan hasil pelaksanaan tugas. Penulis

masih mendapat kekurangan dari status quo pengaturan mekanisme pertanggungjawaban

yang sekarang oleh karena di Permendagri yang bersangkutan sifatnya fakultatif dan

deklaratoir, belum tercantum indikator yang tegas serta belum ada pencantuman bab sanksi

apabila yang bersangkutan melanggar atau tidak memenuhi indikator pertanggungjawaban.

Kajian Implementatif Permasalahan Korupsi Anggaran Pemerintahan Daerah

Meskipun telah 10 tahun otonomi daerah dilaksanakan namun pembangunan yang

merata dan optimal diseluruh daerah masih belum terwujud. Cita-cita mulia yang melandasi

pelaksanaan otonomi daerah kini bagaikan mimpi yang tak kunjung dapat diraih.

Problematika yang menyelimuti proses pembangunan di daerah setelah adanya otonomi

daerah terlihat semakin banyak bermunculan. Salah satu yang masalah paling berpengaruh

dalam menghambat terwujudnya cita-cita pembangunan daerah adalah adanya praktek

korupsi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berkuasa di daerah di mulai dari tahap

penyusunan anggaran hingga tahap implementasinya. Sudah bukan barang baru lagi ketika

kepala daerah ditangkap karena terbukti melakukan korupsi, begitu pula dengan anggota

DPRD baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/kota.

Menarik ketika kita melihat kasus yang pada medio 2015 sempat hangat diberitakan

terkait dugaan korupsi yang dilakukan dalam penyusunan APBD Provinsi DKI Jakarta. Kasus

ini menjadi sorotan media karena adanya tuduhan Gubernur DKI Jakarta terkait

penggelembungan anggaran di dalam APBD yang sedang dibahas, tuduhan ini lantas

21

Tri Sulistyaningsih, Citizen Power dan Fenomena Korupsi di Daerah, https://www.unodc.org/documents/southeastasiaandpacific//2011/06/talk-series/Presentation_Tri_Sulistyaningsih_-_UMM.pdf, diakses 21 Januari 2016 Pukul 20.48 WIB

22 Ahmad Helmy Fuady, et.al, Memahami Anggaran Publik. (Yogyakarta: Dea Press, 2002), hlm. 103.

Page 10: "Dilema Anggaran Pemerintah Daerah: Antara Pembangunan dan Tuduhan Korupsi"

dibantah oleh anggota DPRD DKI Jakarta yang kemudian balik menuding sang gubernur.

Dampak dari adanya kekisruhan dalam penyusunan APBD ini malah justru mengahambat

proses pembangunan, hal ini disebabkan karena panjangnya waktu yang dihabiskan untuk

menyelesaikan konflik ini dan pada ujungnya APBD DKI Jakarta tahun 2015 ditetapkan

sama jumlahnya dengan anggaran tahun sebelumnya sehingga dana yang dapat digunakan

untuk pembangunan stagnan.

Tuduhan penggelembungan dana di dalam APBD sebenarnya merupakan salah satu

modus korupsi yang sering dilakukan oleh pejabat-pejabat daerah. Menurut hasil kajian dari

Indonesia Corruption Watch23

, modus korupsi yang peling sering ditemukan yang melibatkan

anggota DPRD yaitu menggelembungkan batas alokasi penerimaan dewan atau yang lebih

dikenal dengan istilah mark-up, menggandakan (redundant) item penerimaan anggota dewan

melalui berbagai strategi, mengada-adakan pos penerimaan anggaran yang sebenarnya tidak

diatur dalam peraturan perundang-undangan (pos fiktif), dan terakhir adalah korupsi dalam

pelaksanaan program kegiatan dewan. Dari keempat modus tersebut yang terakhir adalah

modus yang palin konvensional yang biasa dilakukan oleh pejabat. Sementara modus pertama

hingga ketiga merupakan praktek korupsi yang merupakan kesepakatan antara dua pihak

(anggota dewan dengan kepala daerah). Kesepakatan tersebut dapat muncul karena adanya

kewenangan yang dimiliki untuk membentuk peraturan perundang-undangan di tingkat

daerah dan masih adanya celah (loophole) dalam peraturan perundang-undangan yang masih

tumpang tindih di daerah.24

Sedangkan berdasarkan rilis Bank Dunia dalam praktek korupsi APBD bukan hanya

anggota dewan saja yang menjadi pemain utama, namun juga pihak “eksekutif” seperti

panitia anggaran dan kepala daerah yang juga turut menyetujui RAPBD. Modus korupsi

pihak eksekutif yang ditemukan dalam kajian tersebut yaitu penggunaan sisa dana untuk

dipertanggungjawabkan (UUDP) untuk kepentingan pribadi atau untuk kepentinagn lain

namun tanpa bisa dipertanggungjawabkan, penyimpangan terhadap mekanisme pengeluaran

dan pemakaian dana kas daerah, pemindahbukuan dana kas daerah ke rekening pribadi kepala

23

Indonesia Corruption Watch, “Modus Korupsi Anggota Dewan,” http://www.antikorupsi.org/id/content/modus-korupsi-anggota-dewan, diakses pada 22 Januari 2015.

24Ibid.

Page 11: "Dilema Anggaran Pemerintah Daerah: Antara Pembangunan dan Tuduhan Korupsi"

daerah, manipulasi terhadap jumlah sisa APBD, dan terakhir manipulasi dalam proses

pengadaan.25

PENUTUP

Kesimpulan

Tingkat korupsi di Indonesia tinggi, salah satu aktor utamanya adalah penyelenggara

pemerintahan daerah dalam lingkup kepala daerah maupun aggota DPRD. Sistem keuangan

di daerah diejawantahkan dalam penganggaran terutama dalam bentuk APBD. Sebagai unsur

pembangunan yang begitu penting dan menyentuh lini kehidupan masyarakat secara

langsung, APBD memegang fungsi penting dalam menyejahterakan masyarakat. Adanya

substansi peraturan perundang-undangan maupun kelembagaan terkait nyatanya tidak mampu

menutup celah korupsi APBD di Indonesia. Permasalahan tersebut dapat dilihat dalam tataran

yuridis maupun implementatif.

Dalam lingkup peraturan perundang-undangan, telah terdapat sinkronisasi antara

undang-undang dan peraturan pelaksanaanya bahwa anggaran dan pendapatan belanja daerah

disusun dan direncanakan dengan menggunakan sistem anggaran berbasis kinerja yang

berorientasi pada kepentingan publik. Namun, terdapat kekosongan substansi secara yuridis

terkait dengan penyusunan dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN. Di tahap

pertanggungjawaban, terdapat kekurangan pada mekanisme ini oleh karena

pertanggungjawaban pelaksanaan APBD yang hanya dipangku oleh Pemerintah Daerah. Di

satu sisi, mekanisme pertanggungjawaban oleh pimpinan DPRD di dalam Permendagri,

dalam pandangan penulis, hanya bersifat fakultatif dan deklaratoir. Hal ini kontraproduktif

dengan kenyataan bahwa kedudukan keuangan DPRD memiliki pos anggaran yang tidak

jarang porsi nya amat besar di APBD serta pada implementasinya, cukup banyak kasus

korupsi APBD yang terbukti didalangi oleh anggota dewan.

Dalam praktek korupsi yang terkait dengan APBD pihak yang terlibat bisa berasal

dari anggota DPRD di tingkat provinsi ataupun kabupaten/kota maupun oleh kepala daerah.

Berbagai cara juga digunakan dalam melakukan korupsi antara lain seperti mark-up

anggaran, pos anggaran fiktif hingga dalam kegiatan kerja dewan.

25

Justice for the Poor Project Bank Dunia, Memerangi Korupsi di Indonesia yang Terdesentralisasi: Studi Kasus Penanganan Korupsi Pemerintahan Daerah, (Jakarta: Justice for the Poor Project, 2007), hlm. 18-19.

Page 12: "Dilema Anggaran Pemerintah Daerah: Antara Pembangunan dan Tuduhan Korupsi"

Saran

Mengingat dalam tahap tahap penyusunan APBD terdapat ketiadaan pengaturan,

Penulis mengusulkan suatu positivisasi format analisis standar belajar sebagai pedoman

penyusunan RKA-SKPD. Oleh karena analisis standar belanja sebaga penilai kewajaran

biaya dapat menangkal modus operandi korupsi seperti halnya penggelembungan serta

duplikasi dana dalam suatu program/kegiatan. Selain itu dibutuhkan pula pencantuman

indikator pertanggungjawaban dan sanksi penyerta yang tegas serta memaksa di permendagri

terkait.

Untuk memberantas praktek korupsi terhadap APBD dibutuhkan sebuah strategi yang

komprehensif agar penyelenggaraan pembangunan di ndaerah berjalan dengan optimal dan

dana APBD dapat digunakan untuk sebesar-besarnya menyejahterakan kehidupan rakyat.

Strategi yang komprehensif ini harus mencakup aspek preventif, detektif dan represif.

Strategi preventif diarahkan untuk mencegah terjadinya korupsi dengan jalan menghilangkan

peluang korupsi. Strategi yang bersifat detektif yaitu diarahkan kepada bagaimana agar

korupsi dapat diidentifikasi. Sedangkan strategi represif memberi penekanan pada proses

penanganan atau penyelesaian kasus korupsi sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku. Sehingga ketika kita dapat menutup celah ataupun peluang korupsi, melakukan

identifikasi tindakan korupsi dengan cermat serta melakukan penindakan terhadap pelaku

korupsi secara konsisten hal ini akan meminimalisir terjadinya praktek korupsi terhadap

APBD dan proses pembangunan di daerah yang merata dan optimal dapat terwujud.

Page 13: "Dilema Anggaran Pemerintah Daerah: Antara Pembangunan dan Tuduhan Korupsi"

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Adib. (ed.). Panduan Pengawasan Keuangan Daerah: Wawasan dan

Instrumen Monitoring Tata Kelola Keuangan Daerah. Jakarta: Masyarakat

Transparansi Indonesia. 2005.

Admin Bidang Anggaran. “Belajar Analisis Standar Belanja Kepada Pemerintah

Daerah Istimewa Yogyakarta”. http://dpkd.sumbarprov.go.id/berita/read/495-

belajar-analisis-standar-belanja-kepada-pemerintah-daerah-istimewa-

yogyakarta.html. Diakses 24 Januari 2016 Pukul 22.08

Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan. Upaya Pencegahan dan penanggulangan

Korupsi pada Pengelolaan APBN/APBD. Jakarta: Badan Pengawas Keuangan dan

Pembangunan. 2002.

Devas, Nick. dkk. Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia. 1999. Jakarta. Penerbit

Universitas Indonesia.

Direktorat Jendral Pajak. Dasar-Dasar Penyusunan APBN di Indonesia. Jakarta:

Kementerian Keuangan Republik Indonesia. 2013.

Fuady, Ahmad Helmy. et.al. Memahami Anggaran Publik. Yogyakarta: Dea Press. 2002.

Ihsanuddin. “KPK: Anggota DPRD yang Terjerat Korupsi 3.600 Orang”.

ttp://nasional.kompas.com/read/2014/09/25/22533641/KPK.Anggota.DPRD.yang.

Terjerat.Korupsi.3600.Orang. Diakses pada 23 Januari 2015.

Indonesia Corruption Watch. “Modus Korupsi Anggota Dewan.”

http://www.antikorupsi.org/id/content/modus-korupsi-anggota-dewan. Diakses

pada 22 Januari 2015.

Indonesia Corruption Watch. “Tren Pemberantasan Korupsi Semester 1 2015”. Anti-

Korupsi 14-18 September 2015.

Indonesia. UU No. 17 Tahun 2003. Undang-Undang tentang Keuangan Negara. LN No.

47. TLN No. 4287.

Justice for the Poor Project Bank Dunia. Memerangi Korupsi di Indonesia yang

Terdesentralisasi: Studi Kasus Penanganan Korupsi Pemerintahan Daerah.

Jakarta: Justice for the Poor Project. 2007.

Mahmudi. Manajemen Keuangan Daerah. Jakarta: Erlangga.2010.

Mamesah. D.J. Sistem Administrasi Keuangan Daerah. Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama. 1995.

Page 14: "Dilema Anggaran Pemerintah Daerah: Antara Pembangunan dan Tuduhan Korupsi"

Nov. “Ini 10 Kepala Daerah yang Tersandung Korupsi di 2014”.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54afebb14ae5a/ini-10-kepala-daerah-

yang-tersandung-korupsi-di-2014. diakses pada 23 Januari 2015.

Sasono, Herman Budi. Manajemen Pelabuhan dan Realisasi Ekspor Impor.

Yogyakarta:ANDI. 2012. Sulistyaningsih. Tri. Citizen Power dan Fenomena

Korupsi di Daerah.

https://www.unodc.org/documents/southeastasiaandpacific//2011/06/talk-

series/Presentation_Tri_Sulistyaningsih_-_UMM.pdf. Diakses 21 Januari 2016

Pukul 20.48 WIB

Thohary, Wahyudi dkk. Survey Persepsi Korupsi. Jakarta: Transparency International

Indonesia. 2015.

Utomo, Nugroho Adi. dkk. Anggaran Berbasis Kinerja: Tantangannya Menuju Tata

Kelola Hutan yang Baik dalam Forest and Governance Programmed Government

Brief Vol.37 Jakarta:Center for International Forestry Research. 2007.

Wajong. Administrasi Keuangan Daerah. Jakarta: Ichtiar. 1962.

World Justic3 Project. “Laporan Tentang Indonesia”.

https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=10&ca

d=rja&uact=8&ved=0ahUKEwj83Ij9x8LKAhUDTY4KHYnqAf4QFghTMAk&url

=http%3A%2F%2Fworldjusticeproject.org%2Fsites%2Fdefault%2Ffiles%2Find

onesia_report_011314_bahasa.pdf&usg=AFQjCNG0FcVJxRdcUehRfGc6nsuhM

cpM-Q. diakses pada 23 Januari 2016.

Yunita dan Hendra. Anggaran Berbasis Kinerja. Yogyakarta: UPP STIM YKPN. 2010.