DIKTAT KULIAH TOKSIKOLOGI LINGKUNGAN PARIWISATA · Karakteristik pemaparan membentuk spektrum efek...
Transcript of DIKTAT KULIAH TOKSIKOLOGI LINGKUNGAN PARIWISATA · Karakteristik pemaparan membentuk spektrum efek...
1
d
DIKTAT KULIAHTOKSIKOLOGI LINGKUNGAN
PARIWISATA
Sang Gede PurnamaI Gede Herry Purnama
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKATFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITA UDAYANA
2017
2
DAFTAR ISI
1. Pendahuluan1.1 Pengertian lingkungan …………………………………………………………… 41.2 Pengertian ekosistem ………………………………………….………………… 51.3 Pengertian toksikologi ……………………………………………………………. 6
2. Factor yang mempengaruhi toksistas racun …………………………………………. 83. Toksikologi logam berat ……………………………..……………………………….214. Toksikologi Pestisida ……………………………………………………………….. 435. Toksikologi bahan tambahan makanan …………………………………….………..606. Keracunan akibat mikroorganisme pangan ………………………………...……… 807. Parasit pada makanan ……………………………………………..………………….948. Pencegahan bahaya pencemaran makanan…………………………………………. 111
3
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga karya tulis
ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa saya juga mengucapkan banyak terimakasih atas
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun
pikirannya.
Dan harapan saya semoga buku ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
para pembaca. Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi karya tulis
agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman saya, saya yakin masih banyak
kekurangan dalam karya tulis ini. Oleh karena itu saya sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan buku ini.
Hormat saya
Sang G. Purnama
4
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Makhluk hidup di dunia ini sangatlah tergantung kepada lingkungan demi kelangsungan
hidupnya. Pada umumnya, makhluk hidup terutama manusia sangat memanfaatkan sumber yang
berasal dari lingkungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hubungan saling ketergantungan
antara semua elemen yang ada dalam lingkungan sangat penting diketahui terutama oleh manusia
sebagai pengelola utama agar keberlangsungan hubungan dengan lingkungan dapat terus
dipertahankan untuk keberlanjutan sistem kehidupan di atas muka bumi.
Laju pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat membuat kebutuhan penduduk juga
meningkat pula, maka persoalan mengenai lingkungan mulai dirasakan dampaknya oleh manusia
secara meluas akibat berbagai aktivitas manusia terutama pencemaran lingkungan yang
berdampak pada ekosistem di dalamnya. Dalam Pasal 1 angka 14 dan angka 16 U.U.P.L.H No.32
Tahun 2009, Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup,
zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga
melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Daya dukung maupun daya
tampung di lingkungan pun akan terganggu.
Permasalahan lingkungan sering timbul karena berbagai macam kegiatan industri
mengakibatkan terjadinya pencemaran air, tanah, maupun udara. Hal ini karena adanya zat
berbahaya atau zat toksik yang masuk ke dalam sistem lingkungan. Jika lingkungan tercemar oleh
zat toksik maka akan berpengaruh terhadap ekosistem di dalamnya. Maka dibutuhkan
pemahaman secara dasar mengenai arti lingkungan, ekosistem, maupun toksikologi dalam
menangani pencemaran lingkungan yang telah terjadi belakangan ini.
5
2.1 Pengertian Lingkungan
Lingkungan adalah kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup keadaan sumber daya
alam seperti tanah, air, energi surya, mineral, serta flora dan fauna yang tumbuh di atas tanah
maupun di dalam lautan, dengan kelembagaan yang meliputi ciptaan manusia seperti keputusan
bagaimana menggunakan lingkungan fisik tersebut. Lingkungan juga dapat diartikan menjadi
segala sesuatu yang ada di sekitar manusia dan mempengaruhi perkembangan kehidupan
manusia.
Lingkungan terdiri dari komponen abiotik dan biotik. Komponen abiotik adalah segala
yang tidak bernyawa seperti tanah, udara, air, iklim, kelembaban, cahaya, bunyi. Sedangkan
komponen biotik adalah segala sesuatu yang bernyawa seperti tumbuhan, hewan, manusia dan
mikro-organisme (virus dan bakteri).
Lingkungan, di Indonesia sering juga disebut "lingkungan hidup". Misalnya dalam
Undang-Undang no. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, definisi Lingkungan
Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk
manusia, dan perilakunya, yang memengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain.A.F.A Pengertian lingkungan hidup bisa dikatakan sebagai
segala sesuatu yang ada di sekitar manusia atau makhluk hidup yang memiliki hubungan timbal
balik dan kompleks serta saling mempengaruhi antara satu komponen dengan komponen lainnya.
Pada suatu lingkungan terdapat dua komponen penting pembentukannya sehingga
menciptakan suatu ekosistem yakni komponen biotik dan komponen abiotik. Komponen biotik
pada lingkungan hidup mencakup seluruh makluk hidup di dalamnya, yakni hewan, manusia,
tumbuhan, jamur dan benda hidup lainnya. sedangkan komponen abiotik adalah benda-benda
mati yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup makhluk hidup di sebuah lingkungan yakni
mencakup tanah, air, api, batu, udara, dan lain sebaiganya.
Pengertian lingkungan hidup yang lebih mendalam menurut No 23 tahun 2007 adalah
kesatuan ruang dengan semua benda atau kesatuan makhluk hidup termasuk di dalamnya ada
manusia dan segala tingkah lakunya demi melangsungkan perikehidupan dan kesejahteraan
manusia maupun mahkluk hidup lainnya yang ada di sekitarnya.
6
2.2 Pengertian Ekosistem
Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk dikarenakan hubungan timbal balik
yang tidak dapat terpisahkan antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem dapat juga
dikatakan sebagai suatu tatanan kesatuan secara utuh serta menyeluruh antara unsur lingkungan
hidup yang saling memengaruhi.
Ekosistem merupakan penggabungan dari unit biosistem yang melibatkan hubungan
interaksi timbal balik antara organisme serta lingkungan fisik sehingga aliran energi menuju
struktur biotik tertentu sehingga terjadi siklus materi antara organisme dan anorganisme.
Matahari adalah sumber dari semua energi yang ada dalam ekosistem.
Ekosistem juga dapat didefinisikan sebagai suatu satuan lingkungan yang melibatkan
unsur-unsur biotik (jenis-jenis makhluk) dan faktor-faktor fisik (iklim, air, dan tanah) serta kimia
(keasaman dan salinitas) yang saling berinteraksi satu sama lainnya. Gatra yang dapat digunakan
sebagai ciri keseutuhan ekosistem adalah energetika (taraf trofi atau makanan, produsen,
konsumen, dan redusen), pendauran hara (peran pelaksana taraf trofi), dan produktivitas (hasil
keseluruhan sistem). Jika dilihat komponen biotanya, jenis yang dapat hidup dalam ekosistem
ditentukan oleh hubungannya dengan jenis lain yang tinggal dalam ekosistem tersebut. Selain itu
keberadaannya ditentukan juga oleh keseluruhan jenis dan faktorfaktor fisik serta kimia yang
menyusun ekosistem tersebut.
Berbagai konsep ekosistem pada dasarnya sudah mulai dirintis oleh beberapa pakar
ekologi. Pada tahun 1877, Karl Mobius (Jerman) menggunakan istilah biocoenosis. Kemudian
pada tahun 1887, S.A.Forbes (Amerika) menggunakan istilah mikrokosmos. Di Rusia pada
mulanya lebih banyak digunakan istilah biocoenosis, ataupun geobiocoenosis. Istilah ekosistem
mula-mula diperkenalkan oleh seorang pakar ekologi dari Inggris, A.G.Tansley, pada tahun 1935.
Pada akhirnya istilah ekosistem lebih banyak digunakan dan dapat diterima secara luas sampai
sekarang.
Dalam suatu ekosistem, organisme dalam komunitas berkembang secara bersama-sama
dengan lingkungan fisik. Organisme tersebut akan beradaptasi dengan lingkungan fisik dan
sebaliknya organisme juga dapat memengaruhi lingkungan fisik yang digunakan untuk keperluan
7
hidup. Kehadiran suatu spesies dalam suatu ekosistem ditentukan oleh tingkat ketersediaan
sumber daya dan kondisi faktor kimiawi serta fisis yang harus berada pada kisaran yang masih
dapat ditoleransi oleh spesies itu sendiri, itulah yang disebut hukum toleransi.
2.3 Pengertian Toksikologi
Toksikologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang efek merugikan berbagai bahan
kimia dan fisik pada semua sistem kehidupan. Dalam istilah kedokteran, toksikologi didefinisikan
sebagai efek merugikan pada manusia akibat paparan bermacam obat dan unsur kimia lain serta
penjelasan keamanan atau bahaya yang berkaitan dengan penggunaan obat dan bahan kimia
tersebut. Toksikologi sendiri berhubungan dengan farmakologi, karena perbedaan fundamental
hanya terletak pada penggunaan dosis yang besar dalam eksperimen toksikologi. Setiap zat kimia
pada dasarnya adalah racun, dan terjadinya keracunan ditentukan oleh dosis dan cara pemberian.
Salah satu pernyataan Paracelsus menyebutkan “semua substansi adalah racun; tiada yang bukan
racun. Dosis yang tepat membedakan racun dari obat”. Pada tahun 1564 Paracelsus telah
meletakkan dasar penilaian toksikologis dengan mengatakan, bahwa dosis menentukan apakah
suatu zat kimia adalah racun (dosis sola facit venenum). Pernyataan Paracelcus tersebut sampai
saat ini masih relevan. Sekarang dikenal banyak faktor yang menyebabkan keracunan, namun
dosis tetap merupakan faktor utama yang paling penting.
Secara sederhana dan ringkas, toksikologi dapat didefinisikan sebagai kajian tentang
hakikat dan mekanisme efek berbahaya (efek toksik) berbagai bahan kimia terhadap makhluk
hidup dan sistem biologik lainnya. Ia dapat juga membahas penilaian kuantitatif tentang berat dan
kekerapan efek tersebut sehubungan dengan terpejannya (exposed) makhluk tadi.
Efek toksik atau efek yang tidak diinginkan dalam sistem biologis tidak akan dihasilkan
oleh bahan kimia kecuali bahan kimia tersebut atau produk biotransformasinya mencapai tempat
yang sesuai di dalam tubuh pada konsentrasi dan lama waktu yang cukup untuk menghasilkan
manifestasi toksik. Faktor utama yang mempengaruhi toksisitas yang berhubungan dengan situasi
pemaparan (pemajanan) terhadap bahan kimia tertentu adalah jalur masuk ke dalam tubuh, jangka
waktu dan frekuensi pemaparan.
8
Pemaparan bahan-bahan kimia terhadap binatang percobaan biasanya dibagi dalam empat
kategori: akut, subakut, subkronik, dan kronik. Untuk manusia pemaparan akut biasanya terjadi
karena suatu kecelakaan atau disengaja, dan pemaparan kronik dialami oleh para pekerja terutama
di lingkungan industri-industri kimia.
Interaksi bahan kimia dapat terjadi melalui sejumlah mekanisme dan efek dari dua atau
lebih bahan kimia yang diberikan secara bersamaan akan menghasilkan suatu respons yang
mungkin bersifat aditif, sinergis, potensiasi, dan antagonistik. Karakteristik pemaparan
membentuk spektrum efek secara bersamaan membentuk hubungan korelasi yang dikenal dengan
hubungan dosis-respons.
Apabila zat kimia dikatakan beracun (toksik), maka kebanyakan diartikan sebagai zat yang
berpotensial memberikan efek berbahaya terhadap mekanisme biologi tertentu pada suatu
organisme. Sifat toksik dari suatu senyawa ditentukan oleh: dosis, konsentrasi racun di reseptor
“tempat kerja”, sifat zat tersebut, kondisi bioorganisme atau sistem bioorganisme, paparan
terhadap organisme dan bentuk efek yang ditimbulkan. Sehingga apabila menggunakan istilah
toksik atau toksisitas, maka perlu untuk mengidentifikasi mekanisme biologi di mana efek
berbahaya itu timbul. Sedangkan toksisitas merupakan sifat relatif dari suatu zat kimia, dalam
kemampuannya menimbulkan efek berbahaya atau penyimpangan mekanisme biologi pada suatu
organisme.
Toksisitas merupakan istilah relatif yang biasa dipergunakan dalam
memperbandingkan satu zat kimia dengan lainnya. Adalah biasa untuk mengatakan bahwa
satu zat kimia lebih toksik daripada zat kimia lain. Perbandingan sangat kurang informatif,
kecuali jika pernyataan tersebut melibatkan informasi tentang mekanisme biologi yang sedang
dipermasalahkan dan juga dalam kondisi bagaimana zat kimia tersebut berbahaya. Oleh sebab
itu, pendekatan toksikologi seharusnya dari sudut telaah tentang berbagai efek zat kimia atas
berbagai sistem biologi, dengan penekanan pada mekanisme efek berbahaya zat kimia itu dan
berbagai kondisi di mana efek berbahaya itu terjadi.
9
BAB 2.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TOKSISITAS RACUN DALAM
TUBUH
Toksikologi merupakan ilmu antar bidang, yang ruang lingkup pokok kajiannya
digolongkan menjadi toksikologi lingkungan, ekonomi, dan kehakiman ( forensik ). Untuk
memahami permasalahan toksikologi, diperlukan pengetahuan tentang pemahaman terhadap asas
umum toksikologi, aneka kondisi atau faktor- faktor yang mempengaruhi ketoksikan racun,
mekanisme wujud sifat efek toksik racun, tolok ukur toksikologi, dan asa umum uji toksikologi.
Pada dasarnya keracunan suatu senyawa diawali oleh masuknya senyawa tersebut ke dalam
tubuh, yang kemudian terdistribusi sampai ke sel sasaran tertentu. Selanjutnya akibat interaksi
antara senyawa dengan sel sasaran,menyebabkan terjadinya gangguan fungsi, biokimia, perubahan
struktur sel akibat dari wujud efek toksik senyawa itu, misal teratogenik, mutagenik, karsinogenik,
penyimpangan metabolik, ketidaknormalan perilaku, dan lain sebagainya. Efek toksik suatu racun
terjadi akibat interaksi antar racun, dan tempat aksinya secara langsung atau tidak langsung.
Apabila zat kimia dikatakan beracun (toksik), maka kebanyakan diartikan sebagai zat yang
berpotensial memberikan efek berbahaya terhadap mekanisme biologi tertentu pada suatu
organisme. Sifat toksik dari suatu senyawa ditentukan oleh dosis, konsentrasi racun di tempat aksi,
sifat zat tersebut, kondisi bioorganisme atau sistem bioorganisme, paparan terhadap organisme dan
bentuk efek yang ditimbulkan. Sedangkan toksisitas dapat didefinisikan sebagai segala sesuatu
dari zat kiia atau obat pada organisme target yang dapat menimbulkan atau memiliki efek yang
berbahaya. (Ameria,2008). Oleh sebab itu, pendekatan toksikologi seharusnya dapat dilihat dari
berbagai efek zat kimia atas berbagai sistem biologi, dengan penekanan pada mekanisme efek
berbahaya zat kimia tersebut dan berbagai kondisi di mana efek berbahaya itu terjadi.
Pada umumnya efek berbahaya / efek farmakologik timbul apabila terjadi interaksi antara
zat kimia (tokson atau zat aktif biologis) dengan reseptor. Terdapat dua aspek yang harus
10
diperhatikan dalam mempelajari interakasi antara zat kimia dengan organisme hidup, yaitu kerja
farmakon pada suatu organisme (aspek farmakodinamik / toksodinamik) dan pengaruh organisme
terhadap zat aktif (aspek farmakokinetik / toksokinetik) aspek ini akan lebih detail dibahas pada
sub bahasan kerja toksik. Alur utama bahan toksik dapat masuk ke dalam tubuh manusia adalah
melalui saluran pencernaan atau gastrointestinal (menelan/ingesti), paru-paru (inhalasi), kulit
(topical), dan jalur parental lainnya (selain usus/intestinal). Bahan toksik umumnya menyebabkan
efek yang paling besar dan menghasilkan respons yang palingcepat bila diberikan melaluijalur
intravena (Endrinaldi, 2009).
Racun adalah suatu zat yang berasal dari alam maupun buatan yang bekerja pada tubuh
baik secara kimiawi dan biologis yang dalam dosis toksik dapat menyebabkan suatu penyakit
dalam tubuh serta dapat menyebabkan kematian. Berdasarkan menakisme kerjanya dalam tubuh
manusia, racun dibagi menjadi yang bekerja lokal, sistemik, dan lokal sekaligus sistemik. Racun
yang bekerja lokal dapat bersifat korosif, irritant, atau anestetik. Racun yang bekerja sistemik
biasanya mempunyai afinitas terhadap salah satu sistem, contohnya barbiturat, alkohol, digitalis,
asam oksalat, dan karbon monoksida. Adapun racun yang bekerja lokal maupun sistemuk misalnya
arsen, asam karbol, dan garam. Racun kimia adalah zat tertentu yang memiliki efek merugikan
pada jaringan manusia, organ, atau proses biologi. Sedangkan toksisitas merujuk pada sifat-
sifat zat kimia yang menggambarkan efek sampingyang mungkin dialami manusia akibat kontak
kulit atau mengkonsumsinya.
Efek dari toksik pada manusia dapatdiklasifikasikan sebagai efek
akut dan efek kronis. Jika ada respon yang cepat dan serius dengan dosis tinggi tapi berumur
pendek dari racun kiia maka disebut efek akut. Racun akut akan mengganggu proses fisiologis
yang menyebabkan berbagai gejala gangguan, dan bahkan menyebabkan kematian jika
gangguan tersebut cukup parah. Efek kronis cenderung menghasilkan racun dengan
dosis rendah selama periode yang relatif lama Toksisitas akut relatif mudah untuk
mengukur. Efek racun pada toksisitas akut cukup tinggi pada tingkat fungsi tubuh,
bersifat jelas dan cukup konsisten di
individu dan spesies. Untuk bahan kimia yang berbeda, tingkat ini sangat bervariasi. Di beberapa
tingkat hampir semuanya beracun, dan perbedaan antara beracun dan non beracun adalah
11
masalah derajat. Adapun faktor- faktor yang mempengaruhi tingkat keracunan toksik
terhadap tubuh yaitu Faktor Biotik dan Faktor Abiotik.
2.1 Cara Kerja Dan Efek Toksik
Suatu kerja toksik pada umumnya merupakan hasil dari sederetan proses fisika, biokimia,
dan biologik yang sangat rumit dan komplek. Proses ini umumnya dikelompokkan ke dalam tiga
fase yaitu: fase eksposisi toksokinetik dan fase toksodinamik. Dalam menelaah interaksi
xenobiotika/tokson dengan organisme hidup terdapat dua aspek yang perlu diperhatikan, yaitu:
kerja xenobiotika pada organisme dan pengaruh organisme terhadap xenobiotika. Yang dimaksud
dengan kerja tokson pada organisme adalah sebagai suatu senyawa kimia yang aktif secara
biologik pada organisme tersebut (aspek toksodinamik). Sedangkan reaksi organisme terhadap
xenobiotika/tokson umumnya dikenal dengan fase toksokinetik (Wirasuta, 2007).
1. Fase eksposisi merupakan kontak suatu organisme dengan xenobiotika, pada umumnya,
kecuali radioaktif, hanya dapat terjadi efek toksik/farmakologi setelah xenobiotika
terabsorpsi. Umumnya hanya tokson yang berada dalam bentuk terlarut, terdispersi
molekular dapat terabsorpsi menuju sistem sistemik. Dalam konstek pembahasan efek
obat, fase ini umumnya dikenal dengan fase farmaseutika. Fase farmaseutika meliputi
hancurnya bentuk sediaan obat, kemudian zat aktif melarut, terdispersi molekular di tempat
kontaknya. Sehingga zat aktif berada dalam keadaan siap terabsorpsi menuju sistem
sistemik. Fase ini sangat ditentukan oleh faktor-faktor farmseutika dari sediaan farmasi.
2. Fase toksikinetik disebut juga dengan fase farmakokinetik. Setelah xenobiotika berada
dalam ketersediaan farmasetika, pada mana keadaan xenobiotika siap untuk diabsorpsi
menuju aliran darah atau pembuluh limfe, maka xenobiotika tersebut akan bersama aliran
darah atau limfe didistribusikan ke seluruh tubuh dan ke tempat kerja toksik (reseptor).
Pada saat yang bersamaan sebagian molekul xenobitika akan termetabolisme, atau
tereksresi bersama urin melalui ginjal, melalui empedu menuju saluran cerna, atau sistem
eksresi lainnya.
3. Fase toksodinamik adalah interaksi antara tokson dengan reseptor (tempat kerja toksik) dan
juga proses-proses yang terkait dimana pada akhirnya muncul efek toksik/farmakologik.
Interaksi tokson-reseptor umumnya merupakan interaksi yang bolak-balik (reversibel). Hal
12
ini mengakibatkan perubahan fungsional, yang lazim hilang, bila xenobiotika tereliminasi
dari tempat kerjanya (reseptor).
13
2.2 Faktor – Faktor Biotik Yang Mempengaruhi Toksisitas Racun Dalam Tubuh
Jenis Kelamin :
Pada umumnya racun pestisida atau racun lainnya lebih tahan kepada jenis kelamin wanita
daripada yang berjenis kelamin laki – laki. Hal ini dikarenakan yang berjenis kelamin wanita
biasanya memiliki lemak yang lebih banyak dari pada yang berjenis kelamin laki – laki , sehingga
bahan – bahan racun dapat terikat dalam lemak.
Umur :
Kaum lanjut usia dan anak – anak biasanya lebih peka terhadap racun daripada usia orang – orang
dewasa. Jadi biasanya pada saat sakit anak – anak diberi dosis obat yang lebih rendah ari usia
dewasa. Selain itu masalah yang paling bahaya yatu tentang Cd seperti menghirup debu halus
cadmium yang dapat menyebabkan peneumonitis, pembengkakakn paru – paru (pulmonary
edema) dan kematian (Hayes,2007).
Berat badan dan ukuran :
Semakin tinggi dosis obat atau racun dan semakin besar atau berat hewan merupakan prinsip dari
farmakologi. Untuk ukuran kg per berat badan bisanya diukur menggunakan ukuran dosis seperti
LD50. Dari hasil penelitian yang dilakukan pada serangga , menujukkan bahwa semakin besar
ukuran badan atau semakin berat badan dari serangga maka semakin tinggi dosis yang digunakan,
hal ini dimaksudkan bahwa dosis yang dibutuhkan akan semakin tinggi apabila tinggi berat badan
hewan semakin berat. Semakin beracun bahan kimia tersebut, makan semakin rendah LD50 makan
paparan terhadap manusia pun semakin parah. Pada seseorang yang mengalami penyakit
Alzheimer akan meningkat pada unsur tembaga bebas (Brewer,2010)
Makanan :
Cacing Trichinella spp. dan Tanea spp. yang menyebabkan penyakit – peyakit seperti
Trichinelosis dan Taeniasis. Cacing - cacing tersebut dapat hidup dalam daging babi, dikenal
dengan sebtan cacing babi, sedangkan cacing yang hidup dalam daging sapi adalah Taenia spp.
dikenal dengan sebutan cacing sapi. Seseorang akan menjadi kurus dan tidak sehat apabila
mengkonsumsi makanan yang tidak sehat dan tidak bergizi, sehingga dapat terkenan serangan
pathogen penyakit atau zat racun.
14
Kesehatan :
Potensialitas racun yang dimakan dapat ditentukan oleh kesehatan seseorang juga. Bisanya orang
yang sehat lebih tahan terhadap racun dibandingkan dengan orang yang tidak sehat (lemah).
Kekurangan vitamin A, dapat dihubungkan dengan kerancunan arensik, sehingga dapat
mengakibatkan buta malam (night blindes).
Faktor intrinsik makhluk hidup
Kardiovaskuler merupakan suatu sistem yang kompleks melibatkan beberapa organ utama yaitu
jantung, pembuluh darah, ginjal, maupun sistem saraf pusat dan otonom.. Selain faktor keadaan
fisiologis diatas, terdapat beberapa uraian tentang keadaan fisiologis yang belum tercakup dalam
uraian tersebut meliputi :
a. Kapasitas Fungsional Cadangan
Pada dasarnya untuk melakukan berbagai fungsi, aneka ragam organ tubuh memiliki kapasitas
cadangan untuk melakukan keseluruhan fungsinya. Untuk mengukur fungsi organ tersebut
biasanya melibatkan satu atau lebih bentuk uji terhadap kerusakan pada organ hidup yang
disebabkan oleh zat kimia. Karena telah dinyatakan bahwa sebagian besar organ dapat dirusak
sebelum kapasitas cadangannya berkurang cukup banyak untuk mendorong terjadinya gangguan
fungsionalnya, maka mungkin sekali terjadi bahwa uji fungsi yang dilakukan tidak akan
memperlihatkan kerusakan karena zat kimia yang sedikit. Sepanjang organ tersebut masih
mempertahankan kapasitas (kelebihan) cadangan untuk melakukan keseluruhan fungsinya, maka
organ melangsungkan fungsinya pada tingkat maksimal.
Pada berbagai daerah diseluruh organ itu, kadar akhir terkait zat kimia besarnya berbeda –
beda. Untuk tidak bermateri, untuk meningkat, atau menghambat perpindahan zat kimia yang
dimaksud melewati organ, hal ini tergantung atas kemampuan membrannya.
Jika pada satu kesempatan organ tersebut dicerca dengan kadar toksis minimal suatu zat
kimia asing, maka diharapkan untuk tidak akan memperlihatkan keseluruhan toksisitasnya, selama
jangka waktu yang panjang akan menimbulkan suatu akibat cercaan yang berkesinambungan oleh
kadar zat kimia yang sama.
Misalnya dengan cara pemedahan atau secara kimia 50 % hati anjing dapat dirusak. Paling
tidak dalam memenuhi persyaratan minimalnya, anjing dapat bertahan hidup karena sisa hati yang
15
tidak terusak oleh zat kimia dapat melakukan fungsi normal. Karena organ memiliki kapasitas
fungsi cadangan yang hanya digunakan dalam kondisi mendesak maka keadaan tersebut dapat
terjadi. Keadaan ini dapat merugikan jika dipandang dari segi toksikologi. Menapa demikian?
Ketoksikan racun dapat ditutupi karena adanya fungsional cadangan. Sebagai contoh Seseorang
terpapar dengan Aflatoksin B1 yang mencemari makanan, maka kemungkinan wujud efek toksik
aflatoksik yaitu nekrosis sel hati, yang pada awalnya tidak nampak dan tidak terdeteksi. Hal ini
dikarenakan berfungsinya hati secara normal sebagai kapasitas fungsional cadangan menyebabkan
berbagai gejala klinis tidak Nampak. Efek toksik aflaktoksin tersebut akan nampak apabila
kerusakan sudah meluas dan menyebabkan kapasitas fungsional cadangan hati tidak dapat
menopang fungsi normal hati kembali. Sehingga jelas bahwa kapasitas cadangan akan menutupi
ketoksikan suatu racun.
b. Penyimpanan Racun Dalam Diri Makhluk Hidup
Bila zat kimia masuk kedalam sistem sirkulasi, maka zat itu harus dieliminasi dari sistem
sirkulasi itu sebelum makhluk hidup bebas dari zat kimia. Apabila zat kimia tersebut ada sebagai
gas pada suhu tubuh dalam bentuk larutan, maka zat tersebut akan muncul didalam udara yang
dihembuskan pada pernafasan makhluk hidup, dan bila merupakan suatu senyawa yang tak
menguap, maka mungkin melalui sistem kencing, keringat, ataupun ludah yang melibatkan
ekskresi oleh ginjal.
Zat kimia yang di metabolisme dan dideposit didalam lemak mengalami rentang kehidupan
yang pendek dalam darah dan jaringan tak berlemak. Hal ini terjadi karena zat kimia yang berada
didalam darah dengan segera mengalami perubahan menjadi bentuk takanestesia dan sisanya
dideposit didalam lemak. Kemudian agar darah tetap secara esensial bebas dari kadar efektifnya
maka zat kimia segera diubah menjadi bentuk obat tak aktif pada saat obat menyebar dari lemak
kedalam darah
Pada umumnya pemejaan tunggal suatu organisme eksperimental dengan zat kimia tertentu
menghasilkan pengambilan zat kimia tersebut oleh organisme dan selanjutnya terjadi eliminasi
dari organisme itu. Mekanisme, pengikatan, dan penyimpanan yang tersedia bagi zat kimia
tersebut didalam organisme akan mempengaruhi laju eliminasi oleh zat kimia tersebut.
Di dalam tubuh terdapat gudang penyimpanan senyawa yang masuk kedalam tubuh misalnya
protein, lemak, dan tulang. Bagi racun yang bersifat sangatlipofil dan tidak atau sulit
16
termetabolisme, cenderung ditimbun dalam jaringan yang kaya akan lemak, sehingga racun akan
sulit dikeluarkan dari tubuh. Selain itu karena mobilisasi racun dari gudang penyimpanan ke
sirkulasi darah, memungkinkan terjadinya pelepasan racun dan meyebar ke tempat aksi tertentu.
Efek toksik yang tidak diharapkan akan terjadi apabila kadar racun di tempat aksi melebihi harga
KTMnya. Keadaan ini dapat terjadi bila gudang penyimpanan telah terpenuhi oleh racun,
mengingat makanan dikonsumsi setiap hari sehingga memungkinkan terjadinya akumulasi racun
dalam gudang penyimpanan. Contoh klasiknya ialah penumpukan insektisida DDT dan senyawa
pelunak dietilftalat. Kecuali lemak, tempat pengikatan tak khas atau gudang penyimpanan lainya
adalah tulang, enzim, dan protein. Tempat deposisi, adsorpsi dan reaksi zat kimia ini, membatasi
kemampuan tubuh untuk mengekskresikan racun dari tubuh. Oleh karena itu penyimpanan racun
di dalam tubuh dapat mengurangi atau meningkatkan ketoksikan racun.
Faktor Genetika
Enzim, reseptor, atau protein dapat berupa tempat aksi racun. Tempat aksi racun dapat berupa
enzim, reseptor, atau protein. Menurut ciri khas model genetika masing-masing anggota populasi
makhluk hidup Enzim dan protein nirenzim ada di dalam tubuh, maka apabila kekurangan jumlah
atau ketidaksempurnaan molekul enzim dapat menyebabkan cacat genetika dalam anggota suatu
jenis makhluk hidup. Ketoksikan racun dapa berdampak negatif atau positif akibat adanya cacat
genetika ini. Misalnya racun di dalam tubuh oleh enzim dimetabolisme menjadimetabolit yang
kurang toksik daripada zat kimia induknya. Bila suatu makhluk hidup mengalami cacat genetika,
ketidak-sempurnaan molekul enzim yang terlibat dalam metabolisme racun menyebabkan
terbentuknya metabolit tak toksik jauh lebih sedikit daripada yang terbentuk pada individu normal.
Akibatnya makhluk hidup tersebut akan lebih rentan terhadap ketoksikan racun. Dalam hal ini,
cacat genetika memberikan dampat negatif. Sebaliknya apabila metabolit racun yangterbentuk
bersifat toksik, maka makhluk hidup tersebut justru akan terhindar dariketoksikan racun. Karena
jumlah metabolit toksik yang terbentuk jauh lebihsedikit daripada individu normal. Dalam hal ini,
cacat genetika berdampak positif. Cacat genetika pada sistem pemetabolisme xenobiotika atau
tempat aksitertentu, memungkinkan timbulnya dampak negatif bagi individu terhadapketoksikan
racun. Hal ini dapat terjadi karena penumpukan xenobiotika ataupun perubahan kerentanan tempat
aksi racun.
17
Jadi akibat dari cacat genetika dapat berdampak negative atau positif bagi individu
terhadap ketoksikan racun : Dikatakan berdampak positif bila cacat genetika menyebabkan
individu resisten terhadap ketoksikan suatu racun. Sebaliknya dikatakan berdampak negatif bila
cacat genetika menyebabkan individu lebih rentan terhadap ketoksikan racun tertentu.
2.3 Faktor Abiotik Yang Mempengaruhi Toksisitas Racun Dalam Tubuh
Adapun beberapa faktor yang dapat mempengaruhi toksisitas racun dalam tubuh adalah sebagai
berikut (Dantje, 2015).
1. Suhu
Secara umum, kecepatan reaksi kimia menjadi dua kali lipat dengan meningkatnya suhu
sebesar 100C meskipun dalam kenyataannya peningkatan suhu tersebut tidak hanya dua kali
lipat, tetapi ada yang tiga bahkan empat kali lipat. Dilaporkan juga bahwa memasak buncis
merah dengan suhu 800C akan meningkatkan toksisitas racun lektin lima kali lebih tinggi dari
kacang segar. Bakteri dapat dikelompokkan dalam empat kategori menurut suhu
pertumbuhannya, yaitu bakteri psikrofil yang hidup pada suhu rendah (0-200C), seperti
Flavobacterium sp., psikrotrof pada suhu 20-400C seperti Listeria sp., mesofil pada suhu 40-
600C seperti Escherichia sp. dan termofil yang hidup pada suhu 60-800C seperti Thermus sp.
Manakala suatu jenis bakteri hidup pada suhu yang berbeda dengan suhu normal untuk
pertumbuhannya, maka sifat racunnya akan menjadi tawar ataupun hilang sama sekali.
2. Kelembaban
Mikotoksin yang berasal dari makanan yang dapat mengganggu kesehatan manusia di negara-
negara sedang berkembang beriklim tropis adalah fumonisins dan aflatoxins tetapi kurang di
negara-negara yang tidak beriklim tropis. Hal ini disebabkan oleh karena jamur-jamur
Aspergillus sp dan jamur-jamur lainnya berkembang dengan baik di daerah yang memiliki
kelembaban dan suhu tinggi. Pada umumnya jamur akan berkembang dengan baik pada
kelembaban yang tinggi tetapi sulit berkembang bila kelembaban rendah atau kering.
3. Curah Hujan
Curah hujan akan mempengaruhi toksisitas racun terutama pestisida bila diaplikasikan untuk
pengendalian hama dan penyakit pada tanaman pertanian. Bila sesudah penyemprotan terjadi
hujan, maka deposit pestisida akan diencerkan oleh adanya tambahan air sehingga konsentrasi
18
racun berkurang atau racun tersebut tercuci dan jatuh ke tanah. Air hujan dapat engencerkan
senyawa-senyawa racun dalam tanah.
4. Cahaya
Kebanyakan hewan biasanya aktif pada waktu siang tetapi tidak aktif pada waktu malam
(nocturnal). Contohnya ular Malaya, Bungarus candidus adalah yang paling mematikan dalam
spesies ini. Ular ini bersifat sangat agresif bila dalam gelap untuk menghasilkan racun yang
sangat mematikan bagi saraf.
5. Angin
Sama halnya dengan air hujan, maka angin akan mempengaruhi racun pestisida bila
diaplikasikan dalam cuaca berangin. Butiran-butiran atau cairan pestisida yang disemprotkan
ke tanaman akan diterbangkan oleh angin dan secara langsung mengencerkan konsentrasi atau
dosis pestisida.
6. Faktor-faktor Kimia/Fisika
Di lingkungan kita terdapat berbagai macam bahan kimia yang tanpa kita sadari secara
langsung atau tidak langsung akan memberi pengaruh terhadap tubuh kita. Dari banyaknya
bahan kimia yang ada, kandungan senyawa kimia yang satu dengan yang lain dapat dibedakan
dengan melihat sifat kimia-fisika dan struktur kimianya. Contohnya metanol dan etanol.
Kedua senyawa ini sama turunan dari alkohol dan memiliki sifat fisika dan kimia hampir sama
salah satunya yaitu cairan tidak berwarna dah mudah menguap, tetapi efek toksik yang
dihasilkan antara keduanya lebih toksik metanol. Struktur kimia dari metanol CH3OH dan
etanol C2H5OH. Adapun beberapa faktor kimia/fisika yang dapat mempengaruhi toksik
antara lain :
a. Oksigen
Semua hewan dan tumbuhan bertumbuh dan berkembang dalam kondisi aerob dimana
terdapat kadar oksigen yang cukup. Tanpa oksigen mereka akan mati. Namun terdapat
mikroorganisme seperti bakteri Clostridium botulinum yang hanya dapat hidup dan
menghasilkan racun botulism dalam kondisi anaerob atau tanpa oksigen. Meskipun
bakteri inimungkin dapat hidup dalam kondisi oksigen yang sangat minim, tetapi
hanya dapat menghasilkan racun dalam kondisi yang benar-benar tanpa oksigen.
b. Ionisasi
19
Di dalam tubuh terdapat aneka ragam membran biologi yang merupakan penghalang
bagi translokasi zat beracun yang memiliki sifat fisika-kimia yang khas. Senyawa yang
tak polar (misalnya etanol), ternyata mampu melintas semua membran biologi dengan
cepat. Ketidakpolaran suatu senyawa, salah satunya ditentukan oleh tingkat
ionisasinya di dalam larutan. Karena itu, tingkat ionisasi racun dalam larutan
merupakan salah satu penentu kemampuannya melintas membran dan translokasinya
dalam tubuh. Sebagian besar toksik berupa asam atau basa organik lemah. Karena itu,
hanya bentuk tak-terionkan saja yang mudah larut di dalam lipid sehingga
translokasinya di dalam tubuh akan lebih mudah (Eddy, 2008).
c. pH
Kebanyakan racun berfungsi dalam kondisi pH normal yaitu 6-7,5. Namun terdapat
patogen mokroorganisme yang aktif dan menghasilkan racun pada kondisi asam, yaitu
pada pH dibawah 4,5 atau sebaliknya pH di atas 7,5 dalam kondisi basa. Namun
bakteri Salmonela sp. yang sangat beracun pada manusia biasanya tumbuh pada suhu
optimum 370C tetapi dapat juga tumbuh sampai pada suhu 540C serta dapat tumbuh
dalam makanan pada suhu 2-40C dengan pH optimum 6,5 sampai dengan 7,5.
d. Formulasi racun
Faktor yang penting terutama untuk jenis pestisida yang digunakan dalam
pengendalian hama atau vektor penyakit adalah formulasi racun tersebut. Pestisida
biasanya diformulasi dalam bentuk debu, granular atau pelet, tepung, tepung embus,
pekatan emulsi, cairan yang dapat mengalir, perekat, aerosol, fumigan, campuran
pestisida dengan pupuk, dan lain sebagainya. Bentuk debu dan gas sering jauh lebih
membahayakan bagi kesehatan manusia daripada bentuk-bentuk lainnya. Debu dan
gas kadmium contohnya. Akan sangat membahayakan kesehatan manusia yaitu dapat
mengakibatkan peneumonia dan pembengkakan paru-paru. Demikian halnya dengan
debu kromium yang dapat mengakibatkan kanker bagi para pekerja dalam pabrik-
pabrik yang menggunakan kromium. Lain halnya dengan pestisida bentuk cair yang
harus lewat mulut atau kulit untuk dapat mengakibatkan gangguan kesehatan. Tungau
debu rumah, Dermatophagoides sp. dapat mengakibatkan alergi atau dermatitis pada
manusia. Rumah-rumah yang berdebu dan yang kurang dibersihkan akan
20
mengumpulkan debu dan menjadi sarang bagi pertumbuhan dan perkembangan tungau
debu rumah.
Faktor kimia merupakan interaksi bahan kimia didalam tubuh dan menimbulkan efek. Efek
yang terjadi dapat dibedakan dalam :
a. Efek aditif yakni pengaruh yang saling memperkuat akibat kombinasi dari dua zat
kimia atau lebih.
b. Efek sinergi yaitu suatu keadaan dimana pengaruh gabungan dari dua zat kimia jauh
lebih besar dari jumlah masing-masing efek bahan kimia.
c. Potensiasi yaitu apabila suatu zat yg seharusnya tidak memiliki efek toksik akan tetapi
apabila zat ini ditambahkan pada zat kimia lain maka akan mengakibatkan zat kimia
lain tersebut menjadi lebih toksik.
d. Efek antagonis yakni apabila dua zat kimia yg diberikan bersamaan, maka zat kimia
yg satu akan melawan efek zat kimia yg lain.
7. Kondisi Pemejanan
Kondisi pemejanan meliputi jenis pemejanan, jalur pemejanan (intravaskular atau
ekstravaskular), dan takaran atau dosis pemejanan (Eddy, 2008).
1) Jenis pemejanan menurut waktu dibagi menjadi 4, yaitu:
a. Akut : pemaparan bahan kimia selama kurang dari 24 jam. Contohnya, kecelakaan
kerja/keracunan mendadak
b. Sub akut : pemaparan berulang terhadap suatu bahan kimia untuk jangka waktu 1
bulan atau kurang. Misalnya, proses kerja dengan bahan kimia kurang dari 1 bulan.
c. Subkronik : pemaparan berulang terhadap suatu bahan kimia untuk jangka waktu 3
bulan. Misalnya, proses kerja dengan bahan kimia selama 1 tahun/lebih
d. Kronik : pemaparan berulang terhadap bahan kimia untuk jangka waktu lebih dari 3
bulan. Misalnya, bekerja untuk jangka waktu lama dengan bahan kimia.
2) Jalur pemejanan
Pada dasarnya zat beracun dapat masuk ke dalam tubuh melalui jalur intravaskular (misal:
intravena, intrakardial, intraarteri) atau ekstravaskular (misal: oral, inhalasi,
intramuskular, subkutan, intraperitoneal, rektal). Selanjutnya untuk dapat sampai ke
sirkulasi sistemik, zat beracun selanjutnya mengalami disposisi ke cairan atau jaringan
21
tubuh. Disposisi mencakup dua peristiwa, yakni distribusi dan eliminasi. Adanya
peristiwa distribusi, memungkinkan zat beracun ( dalam bentuk utuh) mencapai sesuatu
sel atau jaringan sasaran ( reseptor atau tempat aksi ). Di sel sasaran ini, secara langsung
atau tak langsung, zat beracun tadi melakukan interaksi, yang akibatnya berupa timbulnya
sesuatu efek toksik yang tak di inginkan. Pada sisi lain, zat beracun mengalami eliminasi,
yakni langsung diekskresikan ke luar tubuh atau mengalami metabolisme terlebih dahulu
sebelum di ekskresikan. Meskipun demikian, hasil metabolisme sesuatu zat beracun, tidak
selalu bersifat tak aktif (tidak toksik ). Adakalanya, metabolit toksik ini, mungkin
mengalami redistribusi, sehingga dapat mencapai sel tertentu, dan menimbulkan efek
toksik. Bila demikian, yang bertanggung jawab terhadap timbulnya efek toksik zat
beracun, adalah zat kimia utuhnya atau bentuk metabolitnya. Dan peristiwa ini terjadi
melalui serangkaian proses : absorpsi, distribusi, dan eliminasi. Ketiga proses inilah yang
menentukan keberadaan zat beracun di dalam sel sasaran. Dengan demikian, ketiga proses
ini pulalah yang menentukan toksisitas sesuatu zat beracun (Eddy, 2008).
3) Dosis pemejanan
Timbulnya keracunan dapat disebabkan oleh dosis atau pemberian yang salah. Pengujian
LD50 dilakukan untuk menentukan efek toksik suatu senyawa yang akan terjadi dalam
waktu yang singkat setelah pemejanan dengan takaran tertentu. Pada pengujian toksisitas
akut LD50 akan didapatkan gejala ketoksikan yang dapat menyebabkan kematian hewan
percobaan. Mutschler dalam Supriyono 2007, kisaran nilai LD50 diperlukan untuk
mengetahui tingkat toksisitas suatu zat. Semakin besar kisaran LD50 semakin besar pula
kisaran toksisitasnya. Suatu toksikan akan mengalami proses librasi yaitu penghancuran
sediaan di saluran pencernaan. Toksikan kemudian akan diabsorbsi oleh darah dan limfe
serta didistribusikan ke seluruh tubuh. Toksikan akan mengalami proses toksikodinamik
didalam sel. Toksikodinamik adalah proses reaksi antara toksikan dan reseptor.
Biotransformasi terjadi setelah terjadinya reaksi toksikan dengan reseptor.
Biotransformasi akan menghasilkan zat baru. Zat baru yang dihasilkan dapat bersifat
lebih toksik atau kurang toksik dari sebelumnya. Zat baru yang kurang toksik dari
sebelumnya mengakibatkan terjadinya detoksikasi sedangkan zat baru yang lebih toksik
dapat menimbulkan gangguan fungsi sel.
22
DAFTAR PUSTAKA
Wirasuta, I Made Agus Gelgel, Niruri, Rasmaya. 2006. Toksikologi Umum. Universitas Udayana.
Bali.
T. Sembel, Dantje. 2015. Toksikologi Lingkungan. CV. Andi Offset. Yogjakarta
Sulistyowati, Eddy. 2008. Diktat Toksikologi. Jurusan Pendidikan Kimia FMIPA. Universitas
Negeri Yogjakarta
Supriyono. 2007. Pengujian Lethal Dosis (LD50) Ekstrak Etanol Biji Buah Duku (Lansium
Domesticum Corr) Pada Mencit (Mus Musculus). Fakultas Kedokteran Hewan. Institut
Pertanian Bogor
DWI AMIRIA, Fita. Uji toksisitas akut bahan obat herbal" X" ditinjau dari nilai LD50 serta fungsi
hati dan ginjal pada mencit putih. 2008. Diakes melalui
https://www.scribd.com/doc/227484088/Makalah-Toksikologi (pada tanggal 15 februari
2017)
YAYAN, Sunarya; SETIABUDI, Agus. Mudah dan Aktif Belajar Kimia. 2007. Diakses melalui
https://books.google.co.id/books?id=ioPm74HPrWcC&pg=PA191&dq=toksisitasracun
+adalah&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjSgrX12JPSAhVLkZQKHXRPAWoQ6AEIIjA
B#v=onepage&q=toksisitasracun%20adalah&f=false (pada tanggal 16 Februari 2017)
SITUMORANG, Manihar. 2012. Kimia Lingkungan. Universitas Negeri Medan.
ANGGRAENI, Nur Ika Setyowati. Pengaruh Lama Paparan Asap Knalpot Dengan Kadar CO1800 Ppm Terhadap Gambaran Histopatologi Jantung Pada Tikus Wistar. 2009. PhDThesis. Medical Faculty.
Endrinaldi. 2009. Logam-Logam Berat Pencemar Lingkungan Dan Efek Terhadap Manusia.Jurnal Kesehatan Masyarakat, September 2009 - Maret 2010, Vol. 4, No. 1
23
BAB 3.
“TOKSIKOLOGI LOGAM BERAT CADMIUM (Cd), MERKURI (Hg),TIMBAL (Pb), KROMIUM (Cr), DAN ARSEN (As)”
Toksisitas adalah kemampuan suatu bahan atau senyawa kimia untuk menimbulkan
kerusakan pada saat mengenai bagian dalam atau permukaan tubuh yang peka. Logam berat
merupakan senyawa kimia yang dapat menimbulkan toksisitas dalam penggunaannya secara
berlebihan. Logam berat memiliki unsur-unsur kimia dengan bobot jenis lebih besar dari 5
gr/cm3, terletak di sudut kanan bawah sistem periodik, mempunyai afinitas yang tinggi terhadap
unsur S dan biasanya bernomor atom 22 sampai 92 dari perioda 4 sampai 7. Logam berat dapat
dibagi dalam dua jenis, jenis pertama adalah logam berat esensial, di mana keberadaannya dalam
jumlah tertentu sangat dibutuhkan oleh organisme hidup, namun dalam jumlah yang berlebihan
dapat menimbulkan efek racun. Contoh logam berat ini adalah Zn, Cu, Fe, Co, Mn dan lain
sebagainya. Sedangkan jenis kedua adalah logam berat tidak esensial atau beracun, di mana
keberadaannya dalam tubuh masih belum diketahui manfaatnya atau bahkan dapat bersifat racun,
seperti Hg, Cd, Pb, Cr dan lain-lain.
Penggunaan logam berat beracun banyak ditemukan diberbagai bidang, misalnya dibidang
industri, kesehatan, pertanian, pertambangan, dan lainnya. Namun dalam penggunaannya masih
banyak yang tidak mengikuti peraturan nilai ambang batas yang telah ditentukan. Contohnya
dalam penggunaan pestisida yang mengandung cadmium dan arsen yang dapat merusak unsur
tanah sehingga terjadinya pencemaran tanah dan merusak rantai makanan. Selain itu penggunaan
logam merkuri juga menimbulkan permasalahan dalam kandungan kosmetik, yang dapat
menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan bagi pengguna kosmetik tersebut.
Menghadapi permasalahan diatas, maka timbulah kekhawatiran mengenai dampak dari
logam berat terhadap kesehatan maupun lingkungan. Maka dari itu pada laporan ini akan kami
paparkan mengenai permasalahan dan dampak yang ditimbulkan dari logam berat tersebut,
khususnya pada logam timbal(Pb), Merkuri (Hg), Arsen(As), Cadmium (Cd), dan Kromium(Cr).
24
2.1 Cadmium (Cd)
2.1.1. Pengertian Cadmium
Logam Kadmium (Cd) merupakan logam yang bernomor atom 48 dan massa atom
112,41. Logam ini termasuk dalam logam transisi pada periode V dalam tabel periodik.
Logam Cd dikenal sebagai unsur chalcophile, jadi cenderung ditemukan dalam deposit
sulfide.
Kadmium merupakan logam berwarna putih perak, lunak, mengkilap, tidak larut
dalam basa, mudah bereaksi, serta menghasilkan Kadmium Oksida bila dipanaskan.
Kadmium (Cd) umumnya terdapat dalam kombinasi dengan klor (Cd Klorida) atau
belerang (Cd Sulfit). Kadmium membentuk Cd2+ yang bersifat tidak stabil.
Tabel 1.Kandungan Cd Dalam beberapa Jenis Air Buangan
2.1.2. Permasalahan
Kadmium banyak digunakan sebagai zat warna dan juga digunakan dalam industri
bakteri nikel kadmium. Sumber pencemaran kadmium antara lain dari peningkatan
kadmium melalui penggunaan pupuk fosfat, buangan industri yang menggunakan
bahan bakar batu bara dan minyak. Dari kegiatan industri-industri inilah maka
menghasilkan limbah buangan yang banyak. Limbah buangan Kadmium (Cd) di
kawasan industri sebesar 0,5 mg/l dengan demikian konsentrasi ini telah melampaui
baku mutu limbah cair kadmium (Cd) 0,01 mg/l.
2.1.3. Bentuk yang ada di Lingkungan
25
Dalam strata lingkungan, logam kadmium (Cd) dan senyawanya ditemukan dalam
banyak lapisan. Secara sederhana dapat diketahui bahwa kandungan logam Cd akan
dapat dijumpai di daerah penimbunan sampah dan aliran air hujan, selain dalam air
buangan.
Berdasarkan sifat-sifat fisiknya, kadmium (Cd) merupakan logam yang lunak dapat
dibentuk, berwarna putih seperti putih perak. Logam ini akan kehilangan kilapnya bila
berada dalam udara yang basah atau lembab serta cepat akan mengalami kerusakan
bila dikenai uap amoniak (NH3) dan sulfur hidroksida (SO2). Pada kegiatan
pertambangan biasanya kadmium ditemukan dalam bijih mineral diantaranya adalah
sulfida green ockite (xanthochroite), karbonat otative, dan oksida kadmium. Mineral-
mineral ini terbentuk berasosiasi dengan bijih sfalerit dan oksidanya, atau diperoleh
dari debu sisa pengolahan lumpur elektrolit. Sumber-sumber pencemar industri:
Industri Pengolahan Bijih Logam
Industri Pestisida
Industri Pertambangan
Industri Pelapisan Logam
Proses Penghilangan Cat (Paint Stripping)
2.1.4. Manfaat Logam
Kadmium merupakan komponen campuran logam yang memiliki titik lebur
terendah.Unsur ini dugunakan dalam campuran logam poros dengan kofisen gesek yang
rendah dan tahan lama. Logam ini juga banyak digunakan dalam aplikasi sepuhan listrik
(electroplating). Kadmium digunakan juga dalam pembuatan solder, batere Ni-Cd, dan
sebagai penjaga reaksi nuklir fisi. Senyawa kadmium digunakan dalam fosfor tabung TV
hitam-putih dan fosfor hijau dalam TV berwarna. Sulfat merupakan garamnya yang
paling banyak ditemukan dan sulfidanya memiliki pigmen kuning. Kadmium dan solusi
senyawa-senyawanya sangat beracun. Manfaat lainnya seperti:
1. Cadmium (Cd) digunakan sebagai bahan stabilitasi sebagai bahan pewarna dalam
industri plastik dan pada elektroplating.
2. Allay Cd digunakan sebagai pemandu peluru-peluru kendali. Substansi dari alloy
Cd digunakan sebagai bahan solder.
26
3. Logam Cd dan senyawa Kadmium Nitrat sangat berguna dalam pengembangan
reaktor nuklir, berfungsi sebagai bahan untuk mengontrol kecepatan pemecahan
inti atom dalam rantai reaksi (reaksi berantai).
4. Senyawa CdS dan CdSeS banyak digunakan sebagai zat warna.
5. Senyawa Cd-sulfat (CdSO4) digunakan dalam industri baterai yang berfungsi
untuk pembuatan sel Weston karena mempunyai potensial stabil yaitu sebesar
1,0186 volt.
6. Senyawa Kadmium Bromida (CdBr2) dan kadmium ionida (CdI2) secara tebatas
digunakan dalam dunia fotografi.
7. Senyawa dietil Kadmium digunakan dalam proses pembuatan tetraetil-Pb.
8. Senyawa Cd-strearat banyak digunakan dalam perindustrian manufaktur polyvinil
clorida (PVC) sebagai bahan yang berfungsi untuk stabilizer.
9. Selain itu, kadmium banyak digunakan dalam industri-industri ringan seperti pada
proses pengolahan roti, pengolahan ikan, pengolahan ikan, industri tekstil dan
lain-lain.
10. Kadmium telah digunakan secara meluas pada berbagai industri antara lain
pelapisan logam, peleburan logam, pewarnaan, baterai, minyak pelumas, bahan
bakar. Bahan bakar dan minyak pelumas mengandung Cd sampai 0,5 ppm,
batubara mengandung Cd sampai 2 ppm, pupuk superpospat juga mengandung Cd
bahkan ada yang sampai 170 ppm.
2.1.5. Dampak yang Ditimbulkan
Keracunan kadmium pada manusia
Kadmium (Cd) menjadi populer sebagai logam berat yang berbahaya setelah
timbulnya pencemaran sungai di wilayah Kumamoto Jepang yang menyebabkan
keracunan pada manusia. Pencemaran kadmium pada air minum di Jepang
menyebabkan penyakit “itai-itai”. Gejalanya ditandai dengan ketidak-normalan
tulang dan beberapa organ tubuh menjadi mati. Keracunan kronis yang disebabkan
oleh Cd adalah kerusakan sistem fisiologis tubuh seperti pada pernapasan, sirkulasi
darah, penciuman, serta merusak kelenjar reproduksi, ginjal, jantung dan kerapuhan
tulang.
27
Jika berakumulasi dalam jangka waktu yang lama, cadmium dapat
menghambat kerja paru-paru, bahkan mengakibatkan kanker paru-paru, mual, muntah,
diare, kram, anemia, dermatitis, pertumbuhan lambat, kerusakan ginjal dan hati, dan
gangguan kardiovaskuler.Kadmium dapat pula merusak tulang (osteomalacia,
osteoporosis) dan meningkatkan tekanan darah.Gejala umum keracunan cadmium
adalah sakit di dada, nafas sesak (pendek), batuk-batuk, dan lemah.
Keracunan kronis terjadi bila memakan Cadmium (Cd) dalam waktu yang lama.
Gejala akan terjadi setelah selang waktu beberapa lama dan kronis seperti:
1. Keracunan pada nefron ginjal yang dikenal dengan nefrotoksisitas, yaitu gejala
proteinuria atau protein yang terdapat dalam urin, juga suatu keadaan sakit dimana
terdapat kandungan glukosa dalam air seni yang dapat berakibat kencing manis
atau diabetes yang dikenal dengan glikosuria, dan aminoasidiuria atau kandungan
asam amino dalam urine disertai dengan penurunan laju filtrasi (penyaringan)
glumerolus ginjal.
2. Cadmium (Cd) kronis juga menyebabkan gangguan kardiovaskuler yaitu
kegagalan sirkulasi yang ditandai dengan penurunan tekanan darah maupun
tekanan darah yang meningkat (hipertensi). Hal tersebut terjadi karena tingginya
aktifitas jaringan ginjal terhadap cadmium. Gejala hipertensi ini tidak selalu
dijumpai pada kasus keracunan Cadmium (Cd) krosik.
3. Cadmium dapat menyebabkan keadaan melunaknya tulang yang umumnya
diakibatkan kurangnya vitamin B yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan
daya keseimbangan kandungan kalsium dan fosfat dalam ginjal yang dikenal
dengan namaosteomalasea atau penyakitItai-iatai. Kekurangan kalsium dapat
menyebabkan osteoporosis sehingga orang tidak dapat berdiri dengan tegak tetapi
membungkuk.
Dampak Bagi Lingkungan
Logam cadmium juga membawa sifat racun yang dapat sangat merugikan semua
organisme hidup termasuk manusia. Dalam badan perairan, kelarutan cd dalam
konsentrasi tertentu dapat membunuh biota perairan. Biota-biota yang tergolong
crustacean akan mengalami kematian dalam waktu 24-504 jam bila dalam badan air
dimana rentang konsentrasi Cd dalam perairan adalah 0,005-0,15ppm. Untuk biota yang
28
tergolong insect akan mengalami kematian 24-672 jam dimana rentang konsentrasi Cd
adalah 0,0028-4,6 ppm. Sedangkan untuk perairan tawar, seperti ikan emas akan
mengalami kematian dalam waktu 96 jam dengan rentang konsentrasi Cd dalam
perairan yaitu 1,092-1,104 ppm.
2.2 Logam Berat Merkuri (Hg)
2.2.1 Pengertian Merkuri
Merkuri (air raksa, Hg) adalah salah satu jenis logam yang banyak ditemukan di
alam dan tersebar dalam batu - batuan, biji tambang, tanah, air dan udara sebagai
senyawa anorganik dan organik. Logam merkuri (Hg) adalah salah satu trace element
yang mempunyai sifat cair pada temperatur ruang dengan spesifik gravity dan daya
hantar listrik yang tinggi. Karena sifat-sifat tersebut, merkuri banyak digunakan baik
dalam kegiatan perindustrian maupun laboratorium.
2.2.2 Permasalahan pada Logam Merkuri
Logam merkuri yang mempunyai berbagai bentuk dapat dimanfaatkan di berbagai
bidang. Namun, bila dalam pemanfaatnnya tidak terkontrol akan menimbulkan
beberapa masalah seperti berikut;
1. Pemanfaatan merkuri terjadi pada tenaga kesehatan gigi yakni kegiatan
tumpatan gigi yang menggunakan amalgam. Pemanfaatan ini merupakan salah
satu keterpajanan manusia oleh logam merkuri. Untuk bahan tumpatan gigi
biasanya mengandung amalgam Hg Metal 50%. Amalgam dental adalah
campuran suatu bubuk aloi dengan Hg yang jika telah mengeras membentuk
masa solid dengan kekuatan yang tinggi (Sintawati, F.X. 2008).
2. Buangan industri dan penggunaan senyawaa merkuri di bidang pertanian
mengakibatkan kadar merkuri yang tinggi pada perairan (Industrial wastes).
Terdapatnya merkuri di perairan dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu
Kegiatan perindustrian seperti pabrik cat, kertas, peralatan listrik,
chlorine dan coustic soda
29
Alam itu sendiri melalui proses pelapukan batuan dan peletusan gunung
berapi (Budiono, 2003 dalam Trianti Putranto,2011).
Penggunaan merkuri sebagai bahan campuran pada komestik krim pemutih wajah.
Untuk tampil putih dan cantik menjadi keinginan dari setiap kaum wanita. Hal ini
dimanfaatkan oleh para produsen untuk memproduksi produk yang menjanjikan
dengan menambahkan bahan merkuri. Hal ini akan banyak menyebabkan
kekahwatiran pada kaum wanita terhadap kandungan merkuri yang tentunya beresiko
bagi mereka.
2.2.3 Bentuk Logam Merkuri
Merkuri (Hg) dapat ditemukan dalam berbagai senyawa kimia dan termasuk
senyawa organik seperti metil dan etil merkuri. Senyawa merkuri dapat dibedakan
menjadi tiga bentuk senyawa diantaranya:
1. Senyawa Merkuri Anorganik
Merkuri anorganik adalah logam murni yang berbentuk cair pada suhu kamar
25ᵒC, sehingga mudah menguap. Merkuri anorganik berbentuk Hg++
(Mercuric) dan Hg+(Mercurous). Terdapat beberapa bentuk merkuri
anorganik, diantaranya:
Merkuri klorida (HgCl2) termasuk bentuk Hg inorganik yang sangat
toksik, kaustik dan digunakan sebagai desinfektan
Mercurous chloride (HgCl) yang digunakan untuk teething powder dan
laksansia (calomel)
Mercurous fulminate yang bersifat mudah terbakar.
2. Senyawa Merkuri (Hg) Organik
Contoh senyawa merkuri organik adalah senyawa alkil-merkuri, sekitar
80% dari peristiwa keracunann merkuri bersumber dari senyawa-senyawa alkil-
merkuri. Senyawa alkil merkuri yang sering digunakan di negara berkembang
seperti metil merkuri khlorida (CH3HgCL) dan etil khlorida(C2H5HgCL).
Selain itu terdapat juga bentuk merkuri anorganik lainnya, seperti:
Metil merkuri dan etil merkuri yang keduanya termasuk bentuk alkil
rantai pendek dijumpai sebagai kontaminan logam di lingkungan.
Metil-merkuri adalah bentuk merkuri organik yang umum terdapat di
30
lingkungan perairan. Misalnya memakan ikan yang tercemar zat tsb.
dapat menyebabkan gangguan neurologis dan kongenital.
Merkuri dalam bentuk alkil dan aryl rantai panjang dijumpai sebagai
antiseptik dan fungisida.
3. Merkuri Elemental (Hg):
Bentuk merkuri metal banyak terdapat dalam peralatan tenaga medis
seperti, gelas termometer, tensimeter air raksa, amalgam gigi, alat elektrik, batu
batere dan cat. Juga digunakan sebagai katalisator dalam produksi soda kaustik
dan desinfektan serta untuk produksi klorin dari sodium klorida. Air raksa
ditemukan dalam bentuk elemen merkuri (Hg0), merkuri monovalent (HgI),
dan bivalen (HgII). Menurut Waldock (1994) di dalam Lasut (2001), senyawa
- senyawa ini sangat beracun dan diperkirakan 4-31 kali lebih beracun dari
bentuk merkuri anorganik.
Tabel 2. Kegunaan dan Bentuk Merkuri dalam Pabrik
Penggunaan Bentuk
Alat listrik Logam
Klor Alkali Logam
Cat Organik
Istrumen Logam
Peralatan Kedokteran Gigi Logam, Organik
Pertanian Logam, Organik, Anorganik
Penggunaan di Labotarium Logam
Katalis Organik, Anorganik
Farmasi Logam, Organik, Anorganik
2.2.4 Manfaat Logam Merkuri
Manfaat Di Bidang Kedokteran
31
Pemanfaatan logam merkuri pada saat ini sudah hampir mencakup aspek
kehidupan manusia dan lingkungan. Selama kurun waktu beberapa tahun, merkuri
telah banyak digunakan dalam bidang kedokteran. Bidang kedokteran telah
menggunakan merkuri sejak abad ke-15 di mana merkuri (Hg) digunakan untuk
pengobatan penyakit kelamin(sifilis). Kalomel (HgCl) digunakan sebagai
pembersih luka sampai diketahui bahwa tersebut beracun sehingga tidak digunakan
lagi. Komponen merkuri organik digunakan untuk obat diuretika sampai bertahun-
tahun dan juga digunakan sebagai bahan untuk komestik.
Manfaat di Bidang Pertanian
Bidang pertanian menggunakan merkuri untuk membunuh jamur sehingga baik
digunakan untuk pengawet produk hasil pertanian. Merkuri organik juga digunakan
untuk pembasmi hama pada tanaman seperti buah, apel, kentang, dan juga
digunakan sebagai pembasmi hama padi.
Manfaat Di Bidang Industri
Penggunaan merkuri di bidang industri banyak terdapat pada pabrik alat-alat
listrik yang menggunakan lampu-lampu merkuri untuk penerangan jalan raya. Ini
disebabkan biaya pemasangan dan operasi yang murah dan arus listriknya dapat
dialiri dengan voltase yang tinggi. Merkuri juga digunakan pada pembuatan baterai,
karena baterai dengan bahan yang mangandung merkuri dapat tahan lama dan tahan
terhadap kelembapan yang tinggi.
Perusahaan air minum memanfaatkan klorin (Cl2) untuk penjernihan air dan
pembasmi kuman (proses klorinasi). Juga di dalam pembuatan kaustik soda yang
diproduksi dengan jalan elektrolosis dari larutan garam NaCl, menggunakan
merkuri dalam bentuk amalgam dicampur dengan logam natrium dan digunakan
sebagai katoda yang banyak digunakan dalam pembuatan baterai basah maupun
kering. Penggunaan merkuri berbentuk larutan konduksi dan kemampuannya
mengikat logam natrium sebagai amalgam dan membebaskan klor. Merkuri juga
digunakan dalam campuran cat yang digunakan untuk mengecat pada daerah yang
mempunyai kelembapan tinggi sehingga dapat mencegah tumbuhnya jamur.
Manfaat Mekuri di Pertambangan
32
Merkuri (Hg) digunakan secara luas untuk mengekstrak emas dari bijihnya, baik
sebelum maupun sesudah proses sianidasi digunakan. Ketika merkuri dicampur
dengan bijih tersebut, merkuri akan membentuk amalgam emas atau perak. Untuk
mendapakna emas atau perak, amalgam tersbut harus dibakar untuk menguapkan
merkurinya. Para penambang mas tradisional menggunakan merkuri untuk
menangkap dan memisahkan butir-butir emas dan butir-butir batuan.
Manfaat Merkuri pada komestik
Untuk upaya mempercantik diri banyak kaum wanita yang menggunakan krim
pemutih wajah. Produk kosmetik bermerkuri umumnya menjanjikan wajah putih
dalam tempo singkat, sehingga banyak kaum wanita yang tertarik untuk
menggunakan komsteik yang mmengandung merkuri. Khusunya wanita di
Indonesia, masih banyak beranggapan bahwa putih dan mulus merupakan simbol
kecantikan. Hal ini dimanfaatkan oleh produsen kosmetik untuk menjual krim
pemutih wajah dengan kandungan bahan berbahaya, seperti merkuri.
2.2.5 Dampak yang ditimbulkan Logam Merkuri
Dampak yang ditimbulkan dari penggunaan merkuri diantaranya:
Di Bidang Kesehatan
Bahaya racun merkuri pada alat kesehatan terjadi pada saat peralatan tersebut
pecah atau tercecer dan cairan atau uap dari merkuri menyebar ke lingkungan. Uap
merkuri yang murni merupakan permasalahan toksikologi yang unik, karena
elemen merkuri ini mempunyai dua sifat toksisitas yag sangat berbahaya pada
manusia dianataranya:
1. Elemen Merkuri dapat menembus membran sel karena ia mempunyai sifat
mudah sekali larut dalam lipida, sehingga mudah sekali menembus barrier
darah otak yang akhirnya terakumulasi di dalam otak.
2. Elemen merkuri sangat mudah sekali teroksidadi untuk membentuk merkuri
oksida (HgO)/ ion merkuri(Hg2+).
Toksisitas kronik dari kedua bentuk merkuri ini akan berpengaruh pada jenis
organ yang berbeda yaitu saraf, otak, dan ginjal. Toksisitasnya akibat masuknya
uap merkuri melalui saraf saluran pernapasan(inhalasi), bisa menyerang sistem
saraf pusat, sedangkan toksisitas kronik yang ditimbulkannya dapat menyerang
33
ginjal. Elemen merkuri dan komponen alkil merkuri yang masuk ke dalam otak
akan menyenbabkan terjadinya perubahan protein dan sistem enzim, sehingga
sinoptik dan transmisi neuromuskuler diblok. Ginjal merupakan organ target dari
toksisitas merkuri anorganik, namunsemua bentuk senyawa merkuri ternyata
terkonsentrasi dalam ginjal pada derajat tertentu. Selain itu komponen anorganik
merkuri dapat menyebabkan pengaruh toksik yang dominan. Obat diuretika yang
mengandung merkuri dapat menghambat terjadinya respon sodium dalam tubulus
proksimal ginjal dalam dosis nontoksis, sehingga menyebabkan banyak urin yang
dikeluarkan.
Dampak Merkuri (Hg) di Pertambangan
Dampak penggunaan merkuri di bidang pertambangan dirasakan oleh negara
Jepang pada tahun 1950’an yang terkenal dengaan Minamata Desease. Kasus ini
terjadi karena penduduk memakan ikan yang berasal dari laut sekitar teluk
Minamata yang mengandung merkuri yang berasal dari industri plastik. Gejala yang
dirasakan adalah terjadinya kelainan mental dan cacat.
Dampak Penggunaan Merkuri di Bidang Pertanian
Di bidang pertanian, merkuri digunakan sebagai pestisida untuk membunuh
jamur, agar produk hasil pertanian bisa lebih awet. Namun penggunaan merkuri
sebagai pestisida berdampak pada kejadian pada periode 1960-an dan 1970-an,
beberapa kasus dilaporkan wabah toksisitas metil mmerkuri banyak dilaporkan,
kasus terbesar terjadi di Irak dengan lebih 6.500 orang keracunan metil merkuri,
wabah ini terjadi karena masyarakat mengonsumsi roti produksi rumah tangga
dengan bahan baku gandung yang diawetkan dengan fungisida yang mengandung
metil merkuri.
Dampak Penggunaan Merkuri pada komestik
Pemakain komestik yang mengandung merkuri bisa mengakibatkan:
1. Dapat memperlambat pertumbuhan janin mengakibatkan keguguran, kematian
janin dan mandul.
2. Flek hitam pada kulit akan memucat seakan pudar dan bila pemakainnya
dihentikan, flek itu akan timbul dan melebar.
34
3. Efek rebound, yaitu kulit akan menjadi gelap/kusam saat pemakaianya
kosmetik dihentikan
4. Bagi wajah yang tadinya bersih lambat laun akan timbul flek yang sangat parah,
berubah keabu-abuan selanjutnya kehitaman
5. Dapat mengakibatkan kanker kulit
6. Pada pemakaian awal dapat menyebabkan iritasi pada kulit dan kemerahan
iritasi pada kulit dan kemerahan bila terkena sinar matahari
7. Tidak timbul jerawat sama sekali, hal ini disebabkan lapisan kulit epidermis
telah rusak, kulit sudah tidak mengandung protein dan melanin. Hal ini bersifat
sementara, jika kondisi kulit sudah rusak bisa timbul benjolan-benjolan
bernanah
8. Pori-pori tampak mengecil dan halus, hal ini sebenarnya disebkan karena
lapisan kulit terluar wajah telah tipis dan tergerus oleh logam dan merkuri.
9. Merkuri yang terkandung dalam komestik akan diserap melalui kulit dan akan
dialirkan melalui darah keseluruh tubuh dan merkuri akan mengendap di dalam
ginjal yang berakibat terjadinya gagal ginjal yang sangat parah.
Akan terjadi gangguan sistem saraf, seperti tremor (gemetar), insomnia (tidak
bisa tidur), pikun, gangguan penglihatan, ataxia (gerakaan tangan tak normal),
gangguan emosi, depresi dll.
2.3 Logam Berat Timbal (Pb)
2.3.1. Pengertian Logam Timbal
Timbal (Pb) merupakan salah satu jenis logam berat yang sering juga disebut
dengan istilah timah hitam. Timbal memiliki titik lebur yang rendah, mudah dibentuk,
memiliki sifat kimia yang aktif sehingga biasa digunakan untuk melapisi logam agar
tidak timbul perkaratan.Timbal adalah logam yang lunak berwarna abu-abu kebiruan
mengkilat dan memiliki bilangan oksidasi +2 (Sunarya, 2007).
2.3.2. Permasalahan pada Logam Timbal
Pencemaran limbah logam berat mengandung timbal (Pb) merupakan masalah
terhadap kondisi lingkungan saat ini. Logam berat banyak ditemukan hampir pada
semua jenis limbah industri. Semakin banyaknya industri akan menyebabkan
peningkatan pencemaran terhadap sumber air yang berasal dari limbah industri yang
35
dibuang ke perairan tanpa pengolahan terlebih dahulu. Air limbah yang mengandung
senyawa Pb yang mencemari badan air dengan konsentrasi tinggi dapat mengakibatkan
kematian pada biota air. Konsentrasi Pb yang mencapai 188 mg/l dapat membunuh
ikan di perairan, bila biota air hidup di badan air yang mengandung senyawa Pb pada
konsentrasi 2,75-49 mg/l dan terpapar selama 245 jam akan menyebabkan kematian
pada Crustacea sedangkan pada konsentrasi Pb yang terlarut sebesar 3,5-64 mg/l yang
terpapar selama 168-336 jam akan menyebabkan kematian Insekta.
2.3.3. Bentuk pada Lingkungan
Emisi Pb ke udara dapat berupa gas atau partikel sebagai hasil samping pembakaran
yang kurang sempurna dalam mesin kendaraan bermotor. Semakin kurang sempurna
proses pembakaran dalam mesin kendaraan bermotor, maka semakin banyak jumlah
Pb yang akan di emisikan ke udara.menyerap timbal melalui udara, debu, air dan
makanan. Tetraethyl lead (TEL), yang merupakan bahan logam timah hitam (timbal)
yang ditambahkan ke dalam bahan bakar berkualitas rendah untuk menurunkan nilai
oktan.
2.3.4. Manfaat Logam Timbal
Logam Pb banyak digunakan sebagai bahan pengemas, saluran air, alat-alat rumah
tangga dan hiasan. Dalam bentuk oksida timbal digunakan sebagai pigmen/zat warna
dalam industri kosmetik dan glace serta indusri keramik yang sebagian diantaranya
digunakan dalam peralatan rumah tangga
2.3.5. Dampak yang Ditimbulkan
Logam Pb banyak digunakan sebagai bahan pengemas, saluran air, alat-alat rumah
tangga dan hiasan. Dalam bentuk oksida timbal digunakan sebagai pigmen/zat warna
dalam industri kosmetik dan glace serta indusri keramik yang sebagian diantaranya
digunakan dalam peralatan rumah tangga.
a. Dampak yang ditimbulkan
Gangguan neurologi.
36
Gangguan neurologi (susunan syaraf) akibat tercemar oleh Pb dapat berupa
encephalopathy, ataxia, stupor dan coma. Pada anak-anak dapat menimbulkan
kejang tubuh dan neuropathy perifer.
Gangguan terhadap fungsi ginjal
Logam berat Pb dapat menyebabkan tidak berfungsinya tubulus renal,
nephropati irreversible, sclerosis va skuler, sel tubulusatropi, fibrosis dan
sclerosis glumerolus. Akibatnya dapat menimbulkan aminoaciduria dan
glukosuria, dan jika paparannya terus berlanjut dapat terjadi nefritis kronis.
Gangguan terhadap sistem reproduksi
Logam berat Pb dapat menyebabk an gangguan pada sistem reproduksi
berupa keguguran, kesakitan dan kematian janin. Logam berat Pb mempunyai
efek racun terhadap gamet dan dapat menyebabkan cacat kromosom. Anak -
anak sangat peka terhadap paparan Pb di udara. Paparan Pb dengan kadar yang
ren dah yang berlangsung cukup lama dapat menurunkan IQ .
Gangguan terhadap sistem hemopoitik
Keracunan Pb dapat dapat menyebabkan terjadinya anemia akibat
penurunan sintesis globin walaupun tak tampak adanya penurunan kadar zat
besi dalam serum. Anemia ringan yang terjadidisertai dengan sedikit
peningkatan kadar ALA ( Amino Levulinic Acid) urine.
Gangguan terhadap sistem syaraf .
Efek pencemaran Pb terhadap kerja otak lebih sensitif pada anak-anak
dibandingkan pada orang dewasa. Paparan menahun dengan Pb dapat
menyebabkan lead encephalopathy. Gambaran klinis yang timbul adalah rasa
malas, gampang tersinggung, sakit kepala, tremor, halusinasi, gampang lupa,
sukar konsentrasi dan menurunnya kecerdasan.
2.4 Logam Berat Kromium (Cr)
2.4.1. Pengertian Logam Kromium
Kromium (Cr) dalam table periodik merupakan unsur dengan nomor atom 24 dan
nomor massa 51,996. Atom tersebut terletak pada periode 4, golongan IVB. Logam
37
kromium berwarna putih, kristal keras dan sangat tahan korosi, melebur pada suhu
10930 sehingga sering digunakan sebagai lapisan, pelindung atau logam paduan.
2.4.2. Permasalahan Pada Logam Kromium
Kromium bersifat karsinogenik dan dapat menyebabkan iritasi pada kulit manusia
(Slamet, 2005), pada limbah industri pelapisan logam, khususnya pelapisan krom,
menghasilkan limbah dengan konsentrsi rata-rata 75.900mg/L dalam bentuk CrO42-.
Dengan demikian konsentrasinya telah melampaui baku mutu limbah cair.
2.4.3. Bentuk Logam pada Lingkungan
Dalam badan perairan, kromium dapat masuk melalui dua cara, yaitu secara
alamiah dan non alamiah. Masuknya kromium secara alamiah dapat disebabkan oleh
beberapa faktor fisika, seperti erosi yang terjadi pada batuan mineral. Masuknya
kromium yang terjadi secara non alamiah lebih merupakan dampak atau efek dari
aktivitas yang dilakukan manusia. Sumber-sumber kromium yang berkaitan dengan
aktifitas manusia dapat berupa limbah atau buangan industri sampai buangan rumah
tangga. Umumnya sumber Cr (VI) dihasilkan dari proses industri, industri yang
memproduksi kromat, produksi stainlees-steel, chrome plating, serta industri leather
tanning dan yang lain bisa berasal dari emisi peralatan yang menggunakan katalisator
atau bahan Cr, pecahan puing asbes, debu semen, tembakau rokok yang mengandung
Cr sebesar 0,24-14,6 mg/kg, serta berbagai bahan pangan yang tercemar Cr.
Kromium adalah elemen yang secara alamiah ditemukan dalam konsentrasi yang
rendah di batuan, hewan, tanaman, tanah, debu vulkanik dan juga gas. Kromium
terdapat di alam dalam beberapa bentuk senyawa yang berbeda. Bentuk yang paling
umum adalah kromium (0), kromium (III) dan kromium (VI). Kromium (VI) dan
kromium (0) umumnya dihasilkan dari proses industri.
Kromium (III) terdapat di alam secara alamiah dan merupakan salah satu unsur
nutrisi yang penting bagi manusia. Kromium (VI) dan kromium (0) umumnya
dihasilkan dari proses industri. Kromium adalah logam baja berwarna abu-abu,
ditambang dalam bentuk biji kromit, tidak berbau dan mengkilat. Kromium stabil pada
tekanan dan temperature normal. Kromium dalam konsentrasi tertentu bersifat racun
bagi manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan.
38
Kromium juda dapat di hasilkan dari proses isolasi dilabolatorium, karena kromium
begitu mudah tersedia secara komersial. Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa
sumber yang paling berguna dari komersial kromium adalah bijih kromit, FeCr2O4.
Oksidasi bijih ini melalui udara dalam cairan alkali memberikan natrium kromat,
Na2CrO4 di mana kromium dalam oksidasi 6 negara. Ini dikonversi menjadi Cr (III)
oksida, Cr2O3 dengan ekstraksi ke dalam air, curah hujan, dan reduksi dengan karbon.
Oksida kemudian dikurangi lagi dengan aluminium atau silikon untuk membentuk
logam kromium.
2.4.4. Manfaat Logam Kromium
Berikut merupakan beberapa manfaat logam Kromium:
a. Digunakan untuk mengeraskan baja, untuk pembuatan stainless steel, dan untuk
membentuk paduan
b. Digunakan dalam plating untuk menghasilkan permukaan yang indah dan keras,
serta untuk mencegah korosi.
c. Digunakan untuk memberi warna hijau pada kaca zamrud
d. Digunakan sebagai katalis. seperti K2Cr2O7 merupakan agen oksidasi dan
digunakan dalam analisis kuantitatif dan juga dalam penyamakan kulit
e. Merupakan suatu pigmen, khususnya krom kuning
f. Digunakan dalam industri tekstil sebagai mordants
g. Industri yang tahan panas menggunakan kromit untuk membentuk batu bata dan
bentuk, karena memiliki titik lebur yang tinggi, sedang ekspansi termal, dan stabil
struktur kristal
h. Dibidang biologi kromium memiliki peran penting dalam metabolisme glukosa
i. Digunakan untuk aplikasi medis, seperti Cr-51 yang digunakan untuk mengukur
volume darah dan kelangsungan hidup sel darah merah.
j. Digunakan sebagai pigmen merah untuk cat minyak, khususnya senyawa PrCrO4
k. Digunakan dalam pembuatan batu permata yang berwarna. Warna yang kerap
digunakan adalah warna merah, yang diperoleh dari kristal aluminium oksida yang
kedalamnya dimasukkan kromium.
39
l. Bahan baku dalam pembuatan kembang api. Hal ini diperoleh dari Hasil
pembakaran amonium dikromat, (NH4)2Cr2O7, yang berisi pellet dari raksa
tiosianat (HgCNS).
m. Penggunaan utama kromium adalah sebagai paduan logam seperti pada stainless
steel, chrome plating, dan keramik logam.
n. Chrome plating pernah digunakan untuk memberikan lapisan keperakan seperti
cermin pada baja.
o. Kromium digunakan dalam metalurgi sebagai anti korosi dan pemberi kesan
mengkilap.
p. Selain itu, logam ini juga digunakan pada pewarna dan cat, untuk memproduksi
batu rubi sintetis, dan sebagai katalis dalam pencelupan dan penyamakan kulit.
2.4.5. Dampak yang Ditimbulkan
Krom valensi 3 merupakan mikronutrien bagi makhluk hidup, tetapi bersifat toksik
dalam dosis tinggi. Cr (III) dibutuhkan untuk metabolisme hormon insulin dan
pengaturan kadar glukosa darah. Defisiensi Cr (III) bisa menyebabkan hiperglisemia,
glukosoria, meningkatnya cadangan lemak tubuh, menurunnya berat badan tubuh,
munculnya penyakit kardiovaskuler, menurunnya umlah sperma dan menyebabkan
infertilitas. The National Academy of Sciences menetapkan kebutuhan intake Cr (III)
untuk orang dewasa sebesar 50-200 µg/hari (Widowati, 2008). Toksisitas Cr
ditentukan oleh bilangan oksida Cr, paparan Cr (VI) bersifat karsinogenik, dan bisa
menyebabkan kanker paru. Cr (III) memilki potensi yang sama dengan Cr (VI) dalam
menimbulkan kanker dikarenakan oleh intake Cr (III) yang secara aktif akan
dimetabolisme dan berkaitan dengan asam nukleat inti sel. Ikatan Cr (III) akan
memengaruhi genetis sehingga menyebabkan mutagenesis (Widowati, 2008). Krom
valensi 6 (Cr+6) juga mempunyai beberapa efek toksik terhadap manusia, antara lain:
a. Efek toksik terhadap alat pencernaan
b. Efek toksik terhadap alat pernapasan
c. Efek toksik terhadap kulit dan mata
d. Efek toksik melalui plasenta
Ada beberapa jenis kromium yang berbeda dalam efek pada organisme. Kromium
memasuki udara, air dan tanah di krom (III) dan kromium (VI) bentuk melalui proses-
40
proses alam dan aktivitas manusia.Kegiatan utama manusia yang meningkatkan
konsentrasi kromium (III) yang meracuni kulit dan manufaktur tekstil. Kegiatan utama
manusia yang meningkatkan kromium (VI) konsentrasi kimia, kulit dan manufaktur
tekstil, elektro lukisan dan kromium (VI) aplikasi dalam industri. Aplikasi ini terutama
akan meningkatkan konsentrasi kromium dalam air. Melalui kromium pembakaran
batubara juga akan berakhir di udara dan melalui pembuangan limbah kromium akan
berakhir di tanah. Sebagian besar kromium di udara pada akhirnya akan menetap dan
berakhir di perairanatau tanah.
Kromium dalam tanah sangat melekat pada partikel tanah dan sebagai hasilnya
tidakakan bergerak menuju tanah. Kromium dalam air akan menyerap pada endapan
dan menjadi takbergerak.Hanya sebagian kecil dari kromium yang berakhir di air pada
akhirnya akan larut.Kromium (III) merupakan unsur penting untuk organisme yang
dapat mengganggu metabolisme gula dan menyebabkan kondisi hati, ketika dosis
harian terlalu rendah.Kromium (VI) adalah terutama racun bagi organisme.Dapat
mengubah bahan genetik danmenyebabkan kanker. Tanaman mengandung sistem
yang mengatur kromium-uptake harus cukup rendah tidak menimbulkan bahaya.
Tetapi ketika jumlah kromium dalam tanah meningkat, hal ini masih dapatmengarah
pada konsentrasi yang lebih tinggi dalam tanaman. Peningkatan keasaman tanah juga
dapat mempengaruhi pengambilan kromium oleh tanaman. Tanaman biasanya hanya
menyerap kromium (III). Ini mungkin merupakan jenis penting kromium, tetapi ketika
konsentrasi melebihinilai tertentu, efek negatif masih dapat terjadi. Kromium tidak
diketahui terakumulasi dalam tubuh ikan, tetapi konsentrasi tinggikromium, karena
pembuangan produk-produk logam di permukaan air, dapat merusak insangikan yang
berenang didekat titik pembuangan. Pada hewan, kromium dapat menyebabkan
masalah pernapasan, kemampuan yang lebih rendah untuk melawan penyakit, cacat
lahir, infertilitas dan pembentukan tumor.
2.5 Logam Berat Arsen (As)
2.5.1 Pengertian Arsen
Arsen (As) adalah salah satu logam toksik yang seringdiklasifikasikan sebagai
logam, Tetapi lebih bersifat nonlogam. Tidak seperti logam lain yang membentuk
kation, Arsen (As) dialam berbentuk anion, seperti H2AsO4 (Ismunandar, 2004). Arsen
41
(As) tidak rusak oleh lingkungan, hanya berpindah menuju air atau tanah yang dibawa
olehdebu, hujan, atau awan. Beberapa senyawa Arsen (As) tidak bisa larut diperairan
dan akhirnya akan mengendap di sedimen. Senyawa arsen padaawalnya digunakan
sebagai pestisida dan hibrisida, sebelum senyawa organic ditemukan, dan sebagai
pengawet kayu (Copper ChromatedArsenic (CCA).
2.5.2 Permasalahan yang Ditimbulkan
Akibat merugikan dari arsen bagi kesehatan manusia adalah apabila terkandung
>100 ppb dalam air minum; dengan gejala keracunan kronis berupa iritasi usus,
kerusakan syaraf dan sel, kelainan kulit atau mela-noma serta kanker usus. Ini terjadi
di negara-negara yang memproduksi emas dan logam dasar di antaranya Afrika
selatan, Zimbabwe, India, Thailand, Cina, Filipina, dan Meksiko.
2.5.3 Bentuk logam Arsen
Bentuk senyawa arsen yang paling beracun ialah gas arsin (AsH3) yang terbentuk
bila asam berekasi dengan arsenat yang mengandung logam lain. Logam terdapat di
batuan (tanah) dan sedimen, air, dan udara Selain dapat ditemukan di udara, air
maupun makanan, arsen juga dapat ditemukan di industry seperti industri pestisida,
proses pengecoran logam maupun pusat tenaga geothermal. Elemen yang mengandung
arsen dalam jumlah sedikit atau komponen arsen organik (biasanya ditemukan pada
produk laut seperti ikan laut) biasanya tidak beracun (tidak toksik).
2.5.4 Manfaat Logam Arsen
Arsen juga pernah digunakan sebagai obat untuk berbagai infeksi parasit, seperti
protozoa, cacing, amoeba,spirocheta dan tripanosoma, tetapi kemudian tidak lagi
digunakan karenaditemukannya obat lain yang lebih aman. Arsen digunakan dalam
pembuatan perunggu dan kembang api. Senyawanya yang paling penting adalah arsen
putih, sulfide, paris hijau, dan arsen timbal; tiga yang terakhir telah digunakan sebagai
insektisida dan racun di bidang pertanian. Arsen juga mulai banyak digunakan sebagai
bahan laser untuk mengkonvensi listrik ke cahaya koheren secara langsung. Arsen
putih(As2O3) biasanya digunakan untuk membasmi rumput liar; sementara senyawa
arsenik tertentudimanfaatkan dalam peleburan gelas, pengawet kayu dan kulit, bahan
pencelup, pigmen, obat-obatan, petasan/ kembang api, dan bahan kimia.
42
2.5.5 Dampak yang Ditimbulkan
Arsenik memang dikenal karsinogen atau dapat menyebabkan kanker. Orang yang
terlalu banyak terkena zat arsen dari konsumsi air minum disebut arsenikosis. Korban
dari arsenikosis ini tidak akan berdampak dalam waktu dekat, namun dampaknya baru
terlihat setelah dalam jangka waktu yang lama (long-term). Berbagai dampak
diantaranya pigmentasi kulit, gangren, dan keratosis, itu pun baru terlihat minimal 5
tahun terkena arsenik yang terakumulasi. Karena keracunan arsen ini tidak langsung
dapat dilihat, maka tindakan yang paling mungkin adalah tindakan pencegahan (Paul,
2004). Contohnya kasus pencemaran arsen di Bangladesh. Warga di Bangladesh
menggunakan air sumur yang tercemar arsenik sebagai sumber air minum utama.
Diperkirakan 35 sampai 57 juta penduduk di negara ini menjadi korban dalam kasus
pencemaran. Penduduk negara ini menderita penyakit yang sangat merugikan, mulai
dari melanosis hingga kanker kulit dan gangren. Dalam beberapa laporan
mengungkapkan bahwa air sumur yang tercemar sudah membunuh 3000 jiwa serta
membuat 125000 korban terkena kanker kulit. Persebaran paparan arsenik berawal di
dataran tengah yang merupakan pusat negara bangladesh menyebar ke utara dan
selatan yang datarannya lebih rendah melalui lapisan bawah tanah (Paul, 2004).
43
DAFTAR PUSTAKA
Apriliani, Laurence, D., dkk. (2014). Makalah Logam Kimia Berat Kromium. Fakultas
Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Pekan Baru. Retrieved from
https://www.academia.edu/9187316/Makalah_Kimia_Logam_Berat_Kromium_DOSEN_P
EMBIMBING_GANIS_FIA_SARTIKA_UNIVERSITAS_RIAU_FAKULTAS_MATEM
ATIKA_DAN_ILMU_PENGETAHUAN_ALAM
Alfian, Zul. 2006. Antara Manfaat dan Efek Penggunaannya Bagi Kesehatan Manusia dan
Lingkungan. Universitas Sumatra Utara. Retrieved from library.usu.ac.id/download/e-
book/zul%20alfian.pdf. diakses pada tanggal 21 Februari 2017.
Afrizal, M., Andy Firmansyah, M., dkk. (2012). Penyakit Tidak Menular Akibat Logam Berat
Arsen. Jurusan Kesehatan Lingkungan. Retrieved from
https://www.scribd.com/doc/112524807/Makalah-PAPLC-Logam-Berat-Arsen
Caroline, J., Arron Moa, G. (2015). Fitoremediasi Logam Timbal (Pb) Menggunakan Tanaman
Melati Air (Echinodorus Palaefolius) Pada Limbah Industri Peleburan Tembaga Dan
Kuningan. Seminar Nasional Sains dan Teknologi Terapan III 2015, 733-744
Fauziah. (2011). Efektivitas Penyerapan Logam, Kromium (Cr VI) Dan Kadmium (Cd) Oleh
Scenedsmus Dimorphus. Fakultas Sains Dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Retrieved from
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4125/1/FAUZIAH-FST.pdf
Gusnita, Dessy. (2012). Pencemaran Logam Berat Timbal (PB) di Udara dan Upaya
Penghapusan Bensin Bertimbal. Berita Dirgantara,13 (3). 95-101
Hadi, MC. (2013). Bahaya Merkuri Di Klingkungan Kita. Jurnal Skala Husada. 10 (2), 175-
183.
Istrani, F., S. Pandebesie, E. (2014). Studi Dampak Arsen (As) Dan Kadmium (Cd) Terhadap
Penurunan Kualitas Lingkungan. Jurnal Teknik Pomits. 3 (1), 53-58
44
Ikbal, M. (2017). Makalah Pembahasan Kadmium. Retrieved from
http://www.academia.edu/8633982/MAKALAH_PEMBAHASAN_KADMIUM_Cd_
Istarani, F., Pandebesie, Ellina S. (2014). Studi Dampak Arsen (As) dan Kadmium (Cd)
terhadap Penurunan Kualitas Lingkungan. Jurnal Teknik Pomits. 3 (1), 53-58
Lasut, Markus T. 2001. Penurunan Kualitas Lingkungan Akibat Aktifitas Tambang.Fakultas
Perikanan & Ilmu Kelautan, Universitas Sam Ratulangi.
Sintawati,F.X. (2008). Pajanan Merkuri Pada Tenaga Kesehatan Gigi. Jurnal Ekologi
Kesehatan. 7(2),786-794
Sudarmaji, J.Mukono, Corie I.P. (2006). Toksikologi Logam Berat B3 dan Dampaknya
Terhadap Kesehatan. Jurnal Kesehatan Lingkungan, 2 (2). 129-142
Triadi Putranto, T. (2011). Pencemaran logam berat merkuri (Hg) pada air tanah. TEKNIK.
32(1), 0852-1697.
Zulkifli Herman, D., (2006). Tinjauan terhadap Tailling Mengandung Unsur Pencemar Arsen
(As), Merkuri (Hg), Timbal (Pb), dan Kadmium (Cd) Dari Sisa Pengolahan Bijih Logam.
Jurnal Geologi Indonesia. 1(1), 31-36
45
BAB 4.
TOKSIKOLOGI PESTISIDA
Toksikologi adalah ilmu yang menetapkan batas aman dari bahan kimia (Casarett dan
Doulls dalam Rachmawati, 2013). Selain itu toksikologi juga mempelajari kerusakan atau cedera
pada organisme yang diakibatkan oleh materi suatu substansi, mempelajari racun, tidak saja
efeknya, tetapi juga mekanisme terjadinya efek tersebut pada organisme dan mempelajari kerja
kimia yang merugikan terhadap organisme. Toksikologi lingkungan adalah ilmu yang mempelajari
racun kimia dan fisik yang dihasilkan dari suatu kegiatan dan menimbulkan pencemaran
lingkungan (Cassaret dalam Rachmawati, 2013). Salah satu bahan toksik yang berbahaya bagi
lingkungan jika tidak dikelola dengan baik adalah pestisida.
Pestisida berasal dari kata pest yang berarti hama dan cida yang berarti pembunuh, jadi
pestisida berati pembunuh hama. Pestisida merupakan zat, senyawa kimia (zat pengatur tumbuh
dan perangsang tumbuh), organisme renik, virus dan zat lain-lain yang digunakan untuk
melakukan perlindungan tanaman atau bagian tanaman (Pedum Kajian Pestisida dalam Yuantari,
2013). Penggunaan pestisida yang bijaksana banyak menguntungkan manusia, seperti
meningkatnya produksi tanaman dan ternak karena menurunnya gangguan hama dan penyakit
pada tanaman (OPT), terjaminnya kesinambungan pasokan makanan dan pakan karena hasil panen
meningkat, serta meningkatnya kesehatan, kualitas dan harapan hidup manusia akibat tersedianya
bahan makanan bermutu (Cooper dan Dobson dalam Supriadi, 2013). Namun, harus diakui bahwa
dampak negatif penggunaan pestisida tidak dapat dihindarkan.
Penggunaan pestisida dapat mengontaminasi pengguna secara langsung sehingga
mengakibatkan keracunan. Dalam hal ini, keracunan bisa dikelompokkan menjadi 3 kelompok,
yaitu keracunan akut ringan, keracunan akut berat, dan kronis. Keracunan akut ringan
menimbulkan pusing, sakit kepala, iritasi kulit ringan, badan terasa sakit dan diare. Keracunan akut
berat menimbulkan gejala mual, menggigil, kejang perut, sulit bernapas keluar air liur, pupil mata
mengecil dan denyut nadi meningkat. Selanjutnya, keracunan yang sangat berat dapat
mengakibatkan pingsan, kejangkejang, bahkan bisa mengakibatkan kematian. (Quijano dalam
Yuantari 2013). Keracunan kronis lebih sulit dideteksi karena tidak segera terasa dan tidak
46
menimbulkan gejala serta tanda yang spesifik. Namun, Keracunan kronis dalam jangka waktu
yang lama bisa menimbulkan gangguan kesehatan.
Beberapa gangguan kesehatan yang sering dihubungkan dengan penggunaan pestisida
diantaranya iritasi mata dan kulit, kanker, keguguran, cacat pada bayi, serta gangguan saraf, hati,
ginjal dan pernapasan. Berdasarkan studi litelatur bahwa dampak dari paparan pestisida dapat
menyebabkan Multiple myeloma, sarkoma, kanker prostat dan pankreas, kanker rahim, pankreas
serta Hodgkin. (Alavanja, et al dalam Yuantari 2013). Pemakaian pestisida mempunyai risiko
meningkatnya penyakit diabetis millitus gestasional pada istri pemakai pestisida ditrisemester
pertama (Saldana dalam Yuantari 2013).
Manusia dapat terpajan pestisida secara langsung dan tidak langsung. Pajanan pestisida
secara langsung dapat terjadi pada saat pengaturan di lahan pertanian, akibat pekerjaan dan pada
waktu di rumah. Pajanan pestisida tidak langsung terjadi melalui air minum, udara, debu dan
makanan. Pajanan pestisida secara tidak langsung lebih sering terjadi dibandingkan paparan
langsung. Diperkirakan bahwa sebanyak 25 juta pekerja pertanian mengalami keracunan pestisida
setiap tahun di seluruh dunia yang tidak disengaja (Alavanja et al dalam Yuantari 2013). Pestisida
yang banyak digunakan biasanya merupakan bahan kimia toksikan yang unik, karena dalam
penggunaannya, pestisida ditambahkan atau dimasukkan secara sengaja ke dalam lingkungan
dengan tujuan untuk membunuh beberapa bentuk kehidupan. Idealnya pestisida hanya bekerja
secara spesifik pada organisme sasaran yang dikehendaki saja dan tidak pada organisme lain yang
bukan sasaran. Tetapi kenyataanya, kebanyakan bahan kimia yang digunakan sebagai pestisida
tidak selektif dan malah merupakan toksikan umum pada berbagai organisme (Keman dalam
Budianto, 2013).
Untuk itu, pemanfaatan pestisida harus dikelola dengan bijaksana dan penggunaan yang
tepat jenis, dosis, sasaran, cara, waktu aplikasi, dan harus menggunakan pestisida yang telah
terdaftar dan memperoleh izin Menteri Pertanian. Penggunaan pestisida ini tidak akan
menimbulkan masalah apabila sesuai dengan aturan yang diperbolehkan. Penggunaan pestisida
yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku dapat membahayakan kesehatan masyarakat dan
lingkungan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini sehubungan dengan sifatnya
yang toksik, serta kemampuan dispersinya yang tinggi yaitu mencapai 100% (Mangkoedihardja
dalam Panjaitan, 2015)
47
Penggunaan pestisida yang tidak bijaksana terhadap kesehatan dan lingkungan sudah
banyak dipublikasi sehingga berbagai upaya untuk memimalkan dampak negatifnya perlu
dilakukan. Penggunaan pestisida dengan bahan aktif yang sangat toksik dan sulit terdegradasi juga
menimbulkan berbagai dampak negatif pada lingkungan, seperti hilangnya keragaman hayati,
menurunnya populasi organisme yang berfungsi sebagai musuh alami hama, dan pencemaran
lingkungan (Isenring dalam Supriadi, 2013). Munculnya OPT yang resisten terhadap pestisida
sintetis sudah lama diketahui. Menurut Bellinger dalam Supriadi (2013), ada lebih dari 500 spesies
serangga dan tungau, 270 spesies gulma, 150 patogen tanaman, dan beberapa spesies tikus yang
tahan terhadap pestisida.
Pestisida yang digunakan oleh petani sudah sangat intensif, bahkan melebihi batas aman.
Petani sayuran sudah biasa menggunakan dua atau lebih jenis pestisida yang tidak diketahui
kompatibilitasnya (Supriadi, 2013). Selain dosisnya berlebihan, hama sasarannya tetap tidak
terkendali, sehingga perlakuan pestisida akan merusak lingkungan dan menimbulkan resistensi
hama. Oleh karena itu kelompok kami tertarik untuk mengetahui jenis, manfaat, bahya
penggunaan, dan kandungan toksin yang terkandung dalam pestisida sebagai upaya penggunaan
pestisida secara bijak.
2.1 JENIS PESTISIDA DAN MANFAATNYA
Pestisida adalah bahan atau zat kimia yang digunakan untuk membunuh hama, baik yang
berupa tumbuhan, serangga, maupun hewan lain di lingkungan kita. Berdasarkan jenis hama yang
akan diberantas, pestisida digolongkan menjadi insektisida, herbisida, nematisida, fungisida, dan
rodentisida.
1. Insektisida
Insektisida merupakan pestisida untuk memberantas serangga, seperti nyamuk, kecoak,
kutu busuk, rayap, semut, belalang, wereng, ulat, dan sebagainya. Contoh insektisida antara
lain diazinon, tiodan, basmion, basudin, propoksur, diklorovinil dimetil fosfat, timbel
arsenat, dan magnesium fluorosilikat.
2. Herbisida
Herbisida merupakan pestisida untuk mencegah dan mematikan gulma atau tumbuhan
pengganggu, seperti eceng gondok, rumput teki, dan alang-alang. Alang-alang dapat
48
dikatakan sebagai hama tanaman karena alang-alang menyerap semua zat makanan yang
ada dalam tanah.
Contoh herbisida antara lain gramoxone, totacol, pentakloro fenol, dan ammonium
sulfonat.
3. Nematisida
Nematisida adalah pestisida untuk memberantas hama cacing. Hama ini sering merusak
akar atau umbi tanaman. Contoh nematisida adalah oksamil dan natrium metam.
4. Fungisida
Fungisida adalah pestisida untuk memberantas jamur (fungi). Contoh fungisida adalah
timbel (I) oksida, carbendazim, tembaga oksiklorida, dan natrium dikromat.
5. Rodentisida
Rodentisida adalah pestisida untuk memberantas binatang pengerat, misalnya tikus.
Contoh rodentisida adalah warangan (senyawa arsen) dan thalium sulfat.
2.1.1 Pestisida Dapat Dibedakan Berdasarkan Kegunaan, Cara Kerja, Cara Masuknya
Ke Dalam Tubuh Serangga.
1) Berdasarkan Kegunaan dan Asal Katanya,
1. Akarisida
Akarisida atau yang sering kita kenal dengan mitisida berasal dari kata akari yang berarti
kutu atau tungau, mengandung senyawa kimia beracun yang digunakan untuk membunuh
kutu, tungau, atau laba-laba.
2. Algisida
Algisida berasal dari kata alga yang berarti ganggang, mengandung senyawa kimia yang
biasanya digunakan untuk membunuh ganggang.
3. Avisida
Avisida berasal dari kata avis yang berarti burung. Senyawa avisida biasanya digunakan
untuk membunuh atau mengenyahkan burung.
4. Bakterisida
49
Bakterisida berasal dari kata bacterium yang berarti jasat renik. Bakterisida mengandung
senyawa kimia beracun yang dapat digunakan untuk membunuh bakteri.
5. Fungisida
Fungisida berasal dari kata fungus yang berarti jamur yang mengandung senyawa kimia
beracun dan bisa digunakan ntuk membunuh atau mencegah jamur.
6. Herbisida
Herbisida berasal dari kata herba yang memiliki arti tumbuhan semusim. Herbisida
mengandung senyawa beracun yang dapat dimanfaatkan untuk membunuh tumbuhan
pengganggu yang sering disebut dengan gulma.
7. Isektisida
Insektisida berasal dari kata insectum yang memiliki arti hewan berkuku. Insektisida
merupakan suatu bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang dapat membunuh
segala jenis serangga.
8. Larvisida
Larvasida berasal dari kata lar yang berarti topeng atau hantu. Larvasida merupakan suatu
senyawa kimia yang biasanya digunakan untuk membunuh larva.
9. Moluskisida
Moluskisida berasal dari kata molluscus yang berarti tulang kerang lunak atau berkulit tipis.
Moluskisida merupakan senyawa kimia yang dapat digunakan untuk membunuh bekicot,
kerang atau hewan bertulang lunak lainnya.
10. Nematisida
Nematisida berasal dari kata nematode yang memiliki arti benang. Nematisida merupakan
racun yang dapat digunakan untuk mengendalikan hewan dengan jenis nematode seperti
cacing.
11. Ovisida
Ovisida berasal dari kata ovum yang berarti telur. Ovisida merupakan racun yang dapat
digunakan untuk membunuh telur.
12. Piscisida
50
Piscisida berasal dari kata piscis yang memiliki arti ikan. Piscisida merupakan bahan
senyawa kimia beracun yang digunakan untuk mengandalikan ikan mujair yang biasanya
menjadi hama di dalam tambak atau kolam.
13. Predisida
Predisida berasal dari kata praeda yang berarti predator. Predisida sendiri merupakan
senyawa kimia beracun yang biasanya digunakan untuk membuhun hewan predator atau
pemangsa seperti ular.
14. Rodentisida
Rodentisida berasal dari kata roden yang berarti hewan penggerat. Rodentisida merupakan
racun kimia yang dapat digunakan untuk membunuh hewan-hewan pengegerat seperti tikus
15. Silvisida
Silvisida berasal dari kata silva yang berarti hutan. Silvisida adalah bahan racun kimia yang
biasanya digunakan untuk membunuh pohon liar yang terdapat di hutan.
16. Termitisida
Termitisida berasal dari kata termes yang memiliki arti acing perusak kayu. Termitisida
merupakan senyawa kimia berbahaya yang biasanya digunakan untuk membunuh rayap.
17. Atraktans
Antraktans merupakan suatu senyawa kimia yang dapat digunakan untuk memikat
serangga.
18. Khemosterilan
Khemosterilan merupakan senyawa kimia yang digunakan untuk membuat serangga,
burung atau hewan pengerat lainnya menjadi mandul.
19. Defolian
Defolian adalah senyawa kimia yang digunakan sebagai peluruh daun.
20. Desikan
Desikan adalah senyawa kimia yang dapt digunakan untuk mempercepat pengeringan pada
tumbuhan.
21. Feromon
51
Sama halnya seperti atraktans, feromon juga merupakan senyawa yang dapat digunakan
untuk memikat serangga atau hewan vertebrata.
22. Repelan
Repelan merupakan senyawa kimia yang digunakan untuk mengenyahkan serangga, kutu,
tungau, anjing dan lainnya.
2) Menurut Cara Kerja Atau Gerakannya Pada Tanaman Setelah Digunakan, Insektisida
Secara Kasar Dapat Dibedakan Menjadi: a. Insektisida Sistemik
Insektisida sistemik diserap oleh organ-organ tanaman baik melalui akar, batang ataupun
daun. Kemudian insektisida sistemik tersebut akan mengikuti gerakan cairan tanaman dan
ditransportasikan ke tanaman-tanaman lainnya baik ke atas ataupun ke bawah, termasuk
juga ke tunas yang baru tumbuh. Contoh insektisida sismetik adalah Furatiokarb,
Fosfamidon, Isolan, Karbofuran, dan Monokrotofos. b. Insektisida Nonsistemik
Insektisida nonsistemik setelah digunakan pada tanaman maka tidak akan diserap oleh
jaringan tanaman, namun hanya menempel pada bagian luar tanaman saja. Sebagian besar
insektisida yang dijual dipasaran Indonesia adalah insektisida nonsistemik. Contohnya
adalah Dioksikarb, Diazinon, Diklorvos, Profenofos, dan Quinalfos. c. Insektisida
Sistemik Lokal
Insektisida sistemik lokal merupakan kelompok insektisida yan dapat diserap oleh tanaman
umumnya bagian daun, namun tidak dapat disalurkan ke bagian tanaman lainnya.
Insektisida yang berdaya kerja translaminar atau insektisida yang mempunyai daya
penetrasi ke dalam jaringan merupakan kategori dari insektisida sistemik lokal. Contohnya
adalah Dimetan, Furatiokarb, Pyrolan, dan Profenofos.
3) Menurut cara masuk insektisida ke dalam tubuh serangga sasaran dapat dibedakan
menjadi tiga kelompok sebagai berikut:
a. Racun lambung (Racun Perut, Stomach Poison)
Racun lambung merupakan insektisida yang dapat membunuh serangga yang menjadi
sasaran apabila insektisida tersebut masuk ke dalam organ pencernaan serangga dan
diserap oleh dinding saluran pencernaan. Kemudian insektisida tersebut akan dibawa oleh
cairan tubuh serangga menuju susunan saraf serangga. Insektisida yang sering disebut
sebagai racun perut adalah Bacillus thuringiensis.
52
b. Racun Kontak
Racun kontak adalah insektisida yang masuk ke dalam tubuh serangga lewat kulit.
Serangga hama dapat mati apabila bersinggungan langsung dengan insektisida tersebut.
Beberapa racun kontak juga dapat berperan sebagai racun perut. Beberapa insektisida yang
memiliki sifat yang kuat terhadap racun kontak antara lain Diklorfos dan Pirimifos metil.
c. Racun Pernafasan
Racun pernafasan adalah insektisida yang bekerja lewat saluran pernafasan. Serangga
hama akan mati apabila menghirup insektisida dalam jumlah yang cukup. Sebagian besar
racun pernafasan berupa gas, atau apabila wujud asalnya padat atau cair yang dapat berubah
atau menghasilkan gas apabila diaplikasikan sebagai fumigansi (gas) seperti Bromide dan
Alumunium fosfida. Terdapat juga insektisida berupa racun kontak ataupun racun perut
yang memiliki efek sebagai fumigansi seperti Diafentiuron.
2.2 BAHAYA PESTISIDA
a. Bahaya Pestisida Terhadap Tumbuhan
Pestisida mengahalangi proses pengikatan nitrogen yang dibutuhkan untuk pertumbuhan
tanaman. Insektisida golongan organoklorin seperti DDT, golongan organoklorin seperti
DDT, golongan organofosfat seperti metal parathion dan pentaklorofenol diketahui
mengganggu simbiosis antara tanaman legume dengan bakteri rhizobium. Dengan
berkurangnya hubungan simbiotik antara keduanya menyebabkan pengikatan nitrogen
menjadi terganggu sehingga mengurangi hasil tanaman pertanian. Pestisida dapat
membunuh lebah dan berakibat buruk terhadap proses penyerbukan tumbuhan,hilangnya
spesies tumbuhan yang bergantung pada lebah dalam penyerbukannya, dan keruntuhan
koloni lebah.
b. Bahaya Pestisida Terhadap Kehidupan Biota Akuatik
Ikan dan biota akuatik lainnya dapat mengalami efek buruk dari perairan yang
terkontaminasi pestisida. Aliran permukaan yang membawa pestisida ke sungai membawa
dampak yang mematikan bagi kehidupan di perairan, dan dapat membunuh ikan dalam
jumlah besar. Penerapan herbisida di perairan dapat membunuh ikan ketika tanaman yang
mati membusuk dan proses pembusukan tersebut mengambil banyak oksigen didalam air,
sehingga membuat ikan kesulitan bernafas. Beberapa herbisida mengandung tembaga
53
sulfit yang beracun bagi ikan dan hewan air lainnya. Penerapan herbisida pada perairan
dapat mematikan tanaman air yang menjadi makanan dan penunjang habitat ikan sehingga
menyebabkan berkurangnya populasi ikan.
Pestisida dapat terakumulasi di perairan dalam jangka panjang dan mampu membunuh
zooplankton, sumber makanan utama ikan kecil. Beberapa ikan memakan serangga akibat
pestisida dapat menyebabkan ikan kesulitan mendapatkan makanan. Semakin cepat
pestisida terurai di lingkungan, dampak dan bahayanya semakin berkurang. Selain itu,
telah diketahui bahwa insektisida secara umum memiliki dampak yang lebih berbahaya
lagi biota akuatik dibandingkan herbisida dan fungisida.
c. Bahaya Pestisida Terhadap Burung
Pestisida DDT diketahui menyebabkan penipisan cangkang telur pada burung di amerika
utara dan eropa. Fungisida yang digunakan pada usaha budidaya kacang tanah diketahui
dapat membunuh cacing tanah,sehingga mengancam keberadaan burung dan mamalia
yang memangsa mereka. Beberapa pestisida tersedia dalam wujud butiran, sehingga
burung dan hewan lainnya dapat memakan butiran tersebut karena disangka sebagai
bijibijian. Herbisida ketika mengalami kontak dengan telur burung, akan mengakibatkan
pertumbuhan embrio yang abnormal dan mengurangi jumlah telur yang akan menetas.
Herbisida juga dapat mengurangi populasi burung karena banyak tumbuhan penunjang
habitat mereka yang mati.
d. Bahaya Pestisida Terhadap Kesehatan Manusia
Salah satu bahaya pestisida adalah menghambat perkembangan kognitif. Pada kehamilan
bisa beresiko terjadinya kelainan bawaan. Residu pestisida ini bisa terdapat dalam jenis
buah dan sayuran segar, sehingga kita memerlukan kehati-hatian dalam
mengkonsumsinya. Penggunaan pestisida bisa terjadi pada saat proses produksi di lahan
atau selama pasca panen.
Pestisida yang tidak sengaja termakan oleh Ibu hamil dapat menyebabkan bayi cacat lahir.
Cacat lahir seperti bibir sumbing, kaki pengkor, dan sindrom down bisa diakibatkan
paparan pestisida. Untuk memperkecil resiko, ibu hamil harus selektif dalam
mengkonsumsi makanan dan minuman. Pestisida organoklorin merupakan bahan kimia
yang masuk dalam kategori persisten organic pollutans (POPs) yang berbahaya bagi
kesehatan. Hal ini dapat membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan karena bahan
54
kimia ini dapat menyebabkan kanker, alergi dan merusak susunan saraf (baik sentral
ataupun peripheral serta dapat juga mengganggu sistem endokrin yang menyebabkan
kerusakan pada sistem reproduksi dan sistem kekebalan yang terjadi pada makhluk hidup,
termasuk janin.
e. Terjadinya keracunan dan kematian pada manusia, ternak dan hewan piaraan, satwa liar,
ikan dan biota air lainnya, biota tanah, tanaman, musuh alami, OPT bukan sasaran. f.
Terjadinya resistensi
g. Terjadinya pencemaran lingkungan hidup
h. Residu pestisida yang berdampak negative terhadap konsumen
i. Terhambatnya perdagangan hasil pertanian
j. Terjadinya keracunan pada pemakai/pekerja: petani, penjual pestisida, pekerja gudang
pestisida
k. Keracunan ternak dan hewan piaraan secara langsung atau tak langsung
l. Terjadinya keracunan pada ikan
m. Terjadinya keracunan satwa liar secara langsung atau tidak langsung.
n. Kerusakan tanaman
o. Kematian musuh alami hama
p. Kenaikan populasi jasad pengganggu
q. Resistensi jasad penganggu
r. Meninggalkan residu
2.3 TOKSIKOLOGI PESTISIDA
Toksisitas/ daya racun adalah sifat bawaan pestisida yang menggambarkan potensi
pestisida yang menggambarkan potensi untuk menimbulkan kematian langsung pada
hewan dan manusia.
Berdasarkan toksisitasnya dapat digolongkan sebagai berikut :
1. Sangat toksik, contoh : aldrin, endosulfan, dieldrin.
2. Toksik sederhana, contoh : Clordane, DDT, lindane, heptaklor.
55
3. Kurang toksik benzene hexacloride (BHC).
Bahan pencemar senyawa organoklorin jenis PCBs Polikhorobophenil (PCB) adalah
suatu senyawa organoklorin yang mempunyai sistem racun yang sama dengan peptisida
dan mempunyai sifat yang persisten atau sukar di pecah dialam. Seperti halnya peptisida
dan PCB, poliaromatik hidrokarbon merupakan polusi yang dapat memberikan efek yang
negative terhadap suatu perairan dengan kata lain akan mempengaruhi kualitas air suatu
perairan .
1) Kategori Toksisitas
Label pestisida memuat kata-kata symbol yang tertulis dengan huruf tebal dan besar
yang berfungsi sebagai infomasi
a. Kategori 1
Kata-kata kuncinya ialah “Berbahaya Racun” dengan gambar tulang
bersilang dimuat pada label bagi semua jenis pestisida yang sangat beracun.
Semua jenis pestisida yang tergolong dalam jenis ini mempunyai LD 50
yang aktif dengan kisaran antara 0-50 mg per kg berat badan.
b. Kategori II
Kata-kata kuncinya adalah “Awas Beracun” digunakan untuk senyawa
pestisida yang mempunyai kelas toksisitas pertengahan,dengan daya racun
LD 50 oral yang akut mempunyai kisaran antara 50-500 mg per kg berat
badan.
c. Kategori III
Kata-kata kuncinya adalah “Hati-Hati” yang termasuk dalam kategori ini
ialah semua pestisida yang daya racunnya rendah dengan LD 50 akut
melalui mulut berkisar antara 500-5000 mg per kg berat badan.
Keracunan DDT tidak saja disebabkan oleh daya toksisDDT itu sendiri
tetapi larutan yang dipakai seperti minyak tanah dapat menyebabkan lebih
beratnya tngkat keracunan. Tanda-tanda keracunan organoklorin :
keracunan pada dosis rendah, si penderita merasa pusing-pusing, mual,
sakit kepala, tidak dapat berkonsentrasi secara sempurna. Pada keracunan
56
dosis yang tinggi dapat kejang-kejang, muntah dan dapat terjadi hambatan
pernafasan.
2) Toksisitas Senyawa Pestisida.
Kesanggupan pestisida untuk membunuh sasarannya. Pestisida yang mempunyai daya
bunuh tinggi dalam penggunaan dengan kadar yang rendah menimbulkan gangguan lebih
sedikit bila dibandingkan dengan pestisida dengan daya bunuh rendah tetapi dengan kadar
tinggi. Toksisitas pestisida dapat diketahui dari LD 50 oral yaitu dosis yang diberikan
dalam makanan hewan-hewan percobaan yang menyebabkan 50% dari hewanhewan
tersebut mati. Toksisitas pestisida secara inhalasi juga dapat diketahui dari LC 50 yaitu
konsentrasi pestisida di udara yang mengakibatkan 50% hewan percobaan mati.
Makin rendah nilai LD 50/LC50 Maka makin toksis pestisida tersebut
a. Jangka waktu atau lamanya terpapar pestisida. Paparan yang berlangsung terus
menerus lebih berbahaya daripada paparan yang terputus-putus pada waktu yang
sama. Jadi pemaparan yang telah lewat perlu diperhatikan bila terjadi risiko
pemaparan baru. Karena itu penyemprot yang terpapar berulang kali dan
berlangsung lama dapat menimbulkan keracunan kronik.
b. Jalan masuk pestisida dalam tubuh. Keracunan akut atau kronik akibat kontak
dengan pestisida dapat melalui mulut, penyerapan melalui kulit dan saluran
pernafasan. Pada petani pengguna pestisida keracunan yang terjadi lebih banyak
terpapar melalui kulit dibandingkan dengan paparan melalui saluran pencernaan
dan pernafasan.
Klasifikasi Pestisida Berdasarkan Toksisitasnya
No.
Klasifikasi LD50 untuk tikus (mg/kg)
Oral Dermal
Padat Cair Padat Cair
57
1.
a. Sangat
Berbahaya
Sekali
b. Sangat
Berbahaya
<5
5-50
<20
20-200
<10
10-100
<40
40-400
2. berbahaya 50-500 200-2000 100-1000 400-4000
3. Cukup berbahaya >500 >2000 >1000 >4000
3) Toksisitas Terhadap Susunan Saraf
Organoklorin merangsang sistem saraf dan menyebabkan parestesia, peka terhadap
rangsangan , iritabilitas, terganggunya keseimbangan, tremor dan kejang-kejang.
Beberapa zat kimia ini menginduksi fasilitasi dan hipereksitasi pada taut sinaps dan
taut neuromuskuler yang mengakibatkan pelucutan berulang pada neuron pusat,
neuron sensorik, dan neuron motoric. Organofosfat dan karbamat menghambat
AChE. Biasanya neutransmitter ACh dilepaskan pada sinaps itu. sekali impuls
saraf disalurkan, ACh yang dilepas dihidrolisis oleh AChE menjadi asam asetat dan
kolin di tempat itu. Sewaktu terpajan OP dan karbamat, AChE dihambat sehingga
terjadi akumulasi ACh. ACh yang ditimbun dalam SSP akan menginduksi tremor,
inkoordinasi, kejang-kejang, dll. Dalam sistem saraf autonomy akumulasi ini akan
menyebabkan diare,urinasi tanpa sadar, bronkokontriksi,miosis,dll. Akumulasinya
pada taut neuromuskuler akan mengakibatkan kontraksi otot yang diikuti dengan
kelemahan, hilangnya reflex, dan paralisis. Penghambatan AChE yang diinduksi
oleh karbamat dapat pulih dengan mudah, sedangkan pajanan berikutnya terhadap
senyawa OP biasanya lebih sulit pulih.
4) Karsinogenisitas
Organofosfat umumnya tidak bersifat karsinogenik, kecuali senyawa yang
mengandung halogen, misalnya tetraklorinvos. Karbamat sendiri juga tidak bersifat
karsinogenik. Tetapi bila ada asam nitrit, karbaril terbukti dapat membentuk
58
nitrosokarbaril yang bersifat karsionogenik. Organoklorin yang diuji semuanya
telah terbukti menginduksi hepatoma pada mencit.
5) Teratogenisitas Dan Efek Pada Fungsi Reproduksi
Pada akhir tahun 1960-an, terdapat berbagai artikel yang terbit yang melaporkan
berbagai jenis efek teratogen dan efek reproduksi akibat karbaril pada anning.
Penelitian pada tikus yang diberi karbaril tidak membuktikan adanya efek pada
berbagai fungsi reproduksi dan tidak ada teratogen. Pestisida lain yang dilaporkan
mempunyai efek teratogen ialah fungisida ditiokarbamat.
6) Efek Buruk Lain
Efek khusus karbaril pada ginjal dilaporkan terjadi pada sekelompok sukarelawan
manusia yang diberi karbaril dengan dosis 0,12 mg/kg setiap hari selama 6 minggu.
Parakuat menyebabkan edema paru-paru, perdarahan, dan fibrosis setelah
penghirupan atau termakan, tetapi herbisida yang berkaitan erat, yaitu dikuat, tidak
menunjukkan efek tersebut. reaksi hipersensitivitas terhadap piretrum telah
dilaporkan. Bentuk yang paling umum adalah dermatitis kontak dan asma.
Organoklorin bersifat hepatotoksik, menginduksi pembesaran hati dan nekrosis
sentrolobuler. Zat ini juga merupakan penginduksi monooksigenase mikrosom,
sehingga dapat mempengaruhi toksisitas zat kimia lain. Beberapa organofosfat,
karbamat, organoklorin, fungisid ditiokarbamat, fan herbisid mengubah berbagai
fungsi imun. Contohnya malation, metilparation, karbaril, DDT, parakuat, dan
dikuat telah terbukti dapat menekan pembentukan antibody, menganggu fagositosis
leukosit, dan mengurangi pusat germinal pada limpa, timus dan kelenjar limfa.
7) Bioakumulasi dan Biomagnifikasi
Pestisida organoklorin umumnya lebih mampu bertahan di lingkungan dan
cenderung disimpan dalam timbunan lemak. Tetapi bioakumulasi lebih nyata pada
beberapa zat kimia disbanding dengan zat lainnya. Contohnya DDT jauh lebih lama
tersimpan dalam lemak tubuh disbanding metoksiklor. Kemampuannya bertahan
dalam lingkungan dapat menimbulkan masalah ekologis. DDT dan zat kimia yang
berkaitan dengan lingkungan meningkatkan metabolisme estrogen pada burung.
Dalam siklus bertelur dan bersarang pada burung tertentu, gangguan hormon ini
59
berpengaruh buruk pada reproduksi dan kelangsungan hidup anak burung itu.
Biomagnifikasi dapat terjadi akibat bioakumulasi dalam organisme itu saja atau
kemampuannya bertahan di lingkungan. Contohnya DDT bersifat lipofilik dan
karenanya terdapat pada cairan tubuh yang berlemak termasuk susu. Meskipun
asupan DDT per hari pada ibu 0.5 mg/kg, bayi yang disusuinya mungkin mendapat
asupan sebesar 11.2 mg/kg. pembesaran ini berasal dari fakta bahwa DDT
tersimpan dalam tubuh manusia pada tingkat asupan harian kronik 10-20 kali lipat
dan bayi itu pada dasarnya hanya mengkonsumsi susu saja. Biomagnifikasi bahkan
lebih jelas pada hewan karnivora. DDT dan metil merkuri dapat terakumulasi
melalui rangkaian plankton, ikan kecil, ikan besar dan burung yang mengakibatkan
pembesaran konsentrasi beberapa ratus kali.
8) Aspek Keselamatan Dalam Penggunaan Pestisida Pertanian
Penggunaan pestisida pertanian berpotensi menimbulkan dampak negative bagi
pengguna, konsumen, lingkungan serta dampak sosial ekonomi untuk itu harus
digunakan secara hati-hati dengan ditekankan pada penurunan populasi hama,
menghentikan serangan penyakit dan mengendalikan gulma. Penggunaan pestisida
pertanian sebaiknya memperhatikan tiga prinsip yaitu
a) Digunakan secara legal
Penggunaan pestisida tidak boleh bertentangan dengan peraturan atau
perundangan yang berlaku di Indonesia.
b) Digunakan secara benar
Penggunaan pestisida harus memperhatikan syarat-syarat teknis sesuai
dengan metode aplikasi yang digunakan. Pestisida yang digunakan mampu
menampilkan efikasi biologisnya (kemampuan pestisida untuk
mengendalikan OPT sasaran ) yang optimal.
c) Penggunaan secara bijak
Pengendalian pestisida harus sesuai dengan tujuan utamanya
mengendalikan OPT, maka penggunaannya harus optimal.
Disamping itu petani harus mengetahui pengetahuan dasar dalam
menggunakan pestisida
60
1. Pekerja memahami bahaya kesehatan akibat paparan pestisida
2. Melakukan praktek yang tepat
3. Penggunaan alat pelindungg diri dengan benar
4. Praktik tindakan kebersihan diri
5. Mengetahui gejala awal keracunan
6. Mampu melakukan pertolongan pertama bila keracunan 7.
Mempromosikan manajemen hama terpadu.
DAFTAR PUSTAKA
Budianto, Tri Aji. (2013). Pelatihan Pembuatan Pestisida Nabati dari Biji Bunga Pachyrrhyzus
Erosus Urban di Kabupaten Brebes Solusi Pestisida Alami dan Unggul Bagi Petani
Bawang. Universitas Negeri Semarang. Diunduh uap.unnes.ac.id 25 Februari 2017
Buku IPA FISIKA SMP (TAG)/KLS.VIII/Kurikulum 2013
Hernayanti. Bahaya Pestisida Terhadap Lingkungan. Fakultas Biologi Unsoed. Unsoed :
Purwokerto.
Panjaitan, Ernitha, Didik Indradewa dan Edhi Martono. (2015). Sebuah Dilema Pertanian
Organik Terkait Emisi Metan (A Dilemma on Organic Farming in Relation to Methane
Emission). Yogyakarta: Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada. Diunduh
http://jpe-ces.ugm.ac.id/ojs/index.php/JML/article/view/442/377 25 Februari 2017
Rachmawati, Aisyah. (2013). Toksikologi. Makalah Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas
Negeri Malang. Diunduh
https://www.academia.edu/6509942/MAKALAH_TOKSIKOLOGI 25 Februari 2017
Supriadi. (2013). Optimasi Pemanfaatan Beragam Jenis Pestisida untuk Mngendalikan Hama dan
Penyakit Tanaman. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Diunduh
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=185328&val=6414&title=OPTIMA
61
SI%20PEMANFAATAN%20BERAGAM%20JENIS%20PESTISIDA%20UNTUK%20
MENGENDALIKAN%20HAMA%20DAN%20PENYAKIT%20TANAMAN 19
Februari 2017
Yuantari, Catur MG. 2011. “Dampak Pestisida Organiklorin Terhadap Kesehatan Manusia Dan
Lingkungan Serta Penanggulangannya”. Kertas Kerja pada Prosiding Seminar Nasional
Peran Kesehatan Masyarakat Dalam Pencapaian MDG’s Di Indonesia, Semarang 12
April 2011.
Yuantari, MG Catur, Budi Widiarnako dan Henna Rya Sunoko. (2013). Tingkat Pengetahuan
Petani dalam Menggunakan Pestisida (Studi Kasus di Desa Curut Kecamatan
Penawangan Kabupaten Grobogan). Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Diunduh http://eprints.undip.ac.id/40659/1/022-
_MG_Catur_Yuantari.pdf 19 Februari 2017
62
BAB 5
TOKSIKOLOGI BAHAN TAMBAHAN MAKANAN
Makanan diperlukan oleh setiap makhluk hidup untuk kelangsungan hidupnya. Makanan
digunakan sebagai sumber energi, memperbaiki sel yang rusak, menjaga suhu tubuh, untuk
pertumbuhan dan pertahanan penyakit. Makanan yang sehat adalah makanan yang mengandung
gizi yang seimbang dan baik dikonsumsi oleh tubuh (Kementrian Kesehatan RI, 2014).
Kenyataannya, konsumen memilih makanan bukan berdasarkan kebutuhan tubuh, tetapi
berdasarkan warna, kelezatan, aroma, atau bentuknya. Supaya orang tertarik terhadap suatu
makanan, maka perlu ditambahkan bahan tambahan pangan kedalam makanan yang diolah. Bahan
tambahan makanan (BTM) atau bahan tambahan pangan (BTP) adalah bahan yang ditambahkan
ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan (Kemenkes RI, 2012). Sementara
itu menurut definisi lain Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah bahan atau campuran bahan yang
secara alami bukan merupakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi ditambahkan kedalam
pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan, antara lain bahan pewarna, pengawet,
penyedap rasa, anti gumpal, pemucat dan pengental (Praja, 2015)
Bahan Tambahan Pangan adalah bahan yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam
makanan dalam jumlah kecil sehingga dapat memperbaiki penampilan, cita rasa, tekstur, dan
memperpanjang daya simpan makanan. Oleh karena fungsinya hanya sebagai tambahan, maka
tentunya dalam penggunaannya ada batas ukurannya atau disebut batas ambang yang ditentukan
oleh Departemen Kesehatan yang harus ditaati oleh produsen makanan dan minuman dalam
kemasan, jika tidak maka akan membahayakan kesehatan kita.
Toksikologi bahan tambahan pangan merupakan ilmu yang mempelajari pengaruh buruk
zat tambahan makanan bagi manusia. Pada pengolahan makanan-makanan sering ditambahkan
bahan additif guna pengawetannya maupun kesegarannya dan kelezatannya. Dalam hal ini
toksikologi berperan penting dalam menjamin keamanan dari bahan yang ditambahkan (Mansyur,
2003). Oleh karena itu, penggunaan BTP diatur oleh pemerintah, baik melalui peraturan menteri
kesehatan maupun BPOM. Akan tetapi, banyak produsen nakal yang tidak mengindahkan
63
peraturan tersebut dan menggunakannya melebihi batas maksimum yang telah diperbolehkan.
Bahkan ada sebagian dari mereka dengan sengaja menggunkan BTP yang dilarang pengunaanya
dalam bahan makanan. Misalnya pewarna tekstil yang digunakan sebagai pewarna makanan.
Efeknya tentu saja tidak baik bagi kesehatan dan dapat menyebabkan kematian. Oleh karena itu,
laporan ini akan membahas jenis-jenis Bahan Tambahan Makanan (BTM), kegunaan dan
bahayanya.
1.1 Pengertian Bahan Tambahan Makanan (BTM)
Jenis-jenis makanan yang ada saat ini tidak hanya memperhatikan faktor gizi, tetapi juga
menyiasati supaya makanan tersebut dapat dikemas dengan mudah, praktis, dan diolah secara
modern. Untuk itulah, berbagai produsen makanan menambahkan bahan tambahan makanan untuk
mengawetkan atau menambah cita rasa makanan.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :
722/MENKES/PER/IX/88 Tentang Bahan Tambahan Makanan, Bahan Tambahan makanan
adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan
ingredien khas makanan, mempuyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja
ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi (termasuk organoleptik) pada
pembuatan, pengolahan, penyediaan, perlakuan, pewadahan, pembungkusan, penyimpanan atau
pengangkutan makanan untuk menghasilkan atau diharapkan menghasilkan (langsung atau tidak
langsung) suatu komponan yang mempengaruhi sifat khas makanan. Dalam Peraturan Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2013 tentang Batas
Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pengawet, disebutkan pula pengertian Bahan
Tambahan Pangan (BTP) yaitu bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi
sifat atau bentuk pangan. Pengertian lain Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah bahan atau
campuran bahan yang secara alami bukan merupakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi
ditambahkan kedalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan, antara lain bahan
pewarna, pengawet, penyedap rasa, anti gumpal, pemucat dan pengental (Praja, 2015).
2.2 Jenis-Jenis dan bahaya Bahan Tambahan Makanan (BTM)
64
Jenis-jenis Bahan Tambahan Makanan yang diizinkan digunakan dalam makanan menurut
Permenkes RI No. 722/Menkes/Per/IX/1988 diantaranya sebagai berikut:
1. Antioksidan (Antioxidant)
Pengertian antioksidan secara kimia yaitu senyawa pemberi elektron atau elektron dono,
sedangkan pengertian menurut biologi antioksidan adalah senyawa yang dapat menangkal
atau meredam dampak negatif dari oksidan. Antioksidan adalah suatu senyawa atau
komponen kimia yang dalam kadar atau jumlah tertentu mampu menghambat atau
memperlambat kerusakan akibat proses oksidasi (Seyuti dan Yenrina, 2015). Lemak menjadi
komponen yang mudah untuk mengalami oksidasi sehingga bahan tambahan makan
antioksidan merupakan senyawa yang ditambahkan ke dalam lemak atau makanan berlemak
untuk mencegah terjadinya proses oksidasi dapat memperpanjang kesegaran dan palabilitas
dari makanan tersebut (Seyuti dan Yenrina, 2015). Untuk dapat masuk ke dalam tubuh
antioksidan yang menjadi bahan tambahan makanan harus memenuhi beberapa syarat yaitu:
a. Tidak mempunyai efek fisiologis yang berbahaya
b. Tidak menyebabkan terbentuknya flavor, odor atau warna yang tidak disukai pada
lemak atau makanan.
c. Efektif pada konsentrasi rendah
d. Larut dalam lemak
e. Tahan terhadap proses pengolahan
f. Mudah diperoleh; dan
g. Ekonomis (Muchtadi, Palupi dan Astawan 1993 dalam Seyuti dan Yenrina, 2015).
Antioksidan menurut sumbernya dibagi menjadi dua yaitu antioksidan alami dan
antioksidan sintetik. Antioksidan alami antaralain; fenolik/flavonoid, vitamin E, vitamin C
dan beta-karoten. Antioksidan sintetik antaralain; BHA (Butylated Hydroxyanisole), BHT
(Butylated Hydroxytoluene), PG (Propil Galat), dan TBHQ (di-t-Butyl Hydroquinone), pada
antioksidan sintetik utama yang digunakan mempunyai batas penggunaan yaitu 0,02 % dari
kandungan lemak atau minyak. Terdapat daftar jenis-jenis antioksidan yang diizinkan untuk
digunakan dalam pangan yang terdaftar dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 033 Tahun 2012:
a. Ascorbic Acid (Asam askorbat dan garamnya (natrium askorbat, kalsium askorbat,
dan kalium askorbat))
65
b. Ascorbil palmitate (Askorbil palmiat)
c. Ascorbil stearate (Askorbil stearat)
d. Erythrobic Acid ((Asam eritrobat dan garamnya (natrium eritrobat))
e. Tertiary butyl hydroquinone (TBHQ) (Butil Hidrokinon Tersier)
f. Butylated hydroxyanisole (BHA) (Butil Hidroksianisol)
g. Butylated hydroxy Toluene (BHT) (Butil Hidroksitoluen)
h. Propyl gallate (Propil galat)
i. Tocopherol (tokoferolcampuran pekat, alfa tokoferol dan gama tokoferol), yang
telah diyakini keamanannya.
j. Dilauryl Thiodipropionate (Dilauril Tiodipropionat) k. Stannous Chloride (Timah
II Klorida)
Seperti bahan tambahan makanan lainnya, penggunaan bahan tambahan makan
antioksidan sintetik yaitu BHA (Butylated Hydroxyanisole) menganlami pro dan kontra.
BHA mulai digunakan sejak tahun 1947 sebagai bahan tambahan dalam produk makanan
yang mengandung minyak untuk mencegah makanan menjadi basi. National Institute of
Health Amerika Serikat melaporkan bahwa penggunaan BHA dalam makanan dapat
menjadi senyawa karsinogen berdasarkan efek karsinogeniknya pada hewan coba, selain itu
terdapat juga beberapa penelitian yang menunjukan BHA dapat menyebabkan reaksi alergi
dan pada dosis besar dapat berefek pada fungsi ginjal dan hati (Fitri, 2013). Dalam Fitri
tahun 2013 penelitian oleh Williams mengindikasikan bahwa BHA mempunyai efek pada
sistem membran, memblokir pertukaran antara hepatosit dengan sel epiteli. Untuk itu FAO
telah menetapkan bahwa Asupan Harian yang Diijinkan (Acceptable Daily Intake/ ADI)
untuk BHA adalah 0,05-0,2 mg/kg bb.
2. Antikempal (Anticaking Agent)
Pengertian anti kempal adalah bahan tambahan makanan yang dapat mencegah
mengempalnya makanan yang berupa serbuk, pengertian ini menurut peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 722/MENKES/PER/IX/1988 tentang bahan
tambahan makanan. Anti Kempal adalah senyawa anhidrat yang dapat mengikat air tanpa
menjadi basah dan biasanya ditambahkan ke dalam bahan pangan yang bersifat bubuk atau
partikulat seperti garam meja, campuran kering (dry mixes), dan lain-lain.
66
Penambahan senyawa anti kempal bertujuan untuk mencegah terjadinya penggumpalan
dan menjaga agar bahan tersebut tetap dapat dituang. Anti kempal dapat digunakan secara
tunggal atau campuran,yang dimaksud dengan menggunakan secara campuran yaitu
perhitungan hasil bagi masing-masing bahan tambahan pangan dengan Batas Maksimum
penggunaannya jika dijumlahkan tidak boleh lebih dari 1 (satu). Adapun jenis-jenis anti
kempal yang dapat digunakan dan sudah mendapatkan izin dari Badan Pengawas Obat dan
Makanan antara lain:
a. Kalsium karbonat (Calcium carbonate)
b. Trikalsium fosfat (Tricalcium orthophosphate)
c. Selulosa mikrokristalin (Microcrystalline cellulose)
d. Selulosa bubuk (Powdered cellulose)
e. Asam miristat, palmitat dan stearat dan garamnya (Myristic, palmitic & stearic
acids and their salts)
f. Garam-garam dari asam oleat dengan kalsium, kalium dan natrium (Ca, K, Na)
(Salts of oleic acid with calcium, potassium, and sodium (Ca, K, Na))
g. Natrium karbonat (Sodium carbonate)
h. Magnesium karbonat (Magnesium carbonate)
i. Magnesium oksida (Magnesium oxide)
j. Natrium besi (II) sianida (Sodium ferrocyanide)
k. Kalium besi (II) sianida (Potassium ferrocyanide)
l. Kalsium besi (II) sianida (Calcium ferrocyanide)
m. Silikon dioksida halus (Silicon dioxide, amorphous)
n. Kalsium silikat (Calcium silicate)
o. Natrium aluminosilikat (Sodium aluminosilicate)
p. Magnesium silikat (Magnesium silicate)
Dampak anti kempal bagi kesehatan pada tubuh kita bergantung dengan tingkat
penggunaannya, selain itu terdapat jenis zat pada golongan anti kempal berpotensi
membahayakan apabila dikonsumsi yaiu kandungan ferrrosianida. Ferrosianida seperti
halnya nitrat dan nitrit, adalah metahaemoglobonat yang berarti bahwa ferrosianida mampu
mengubah haemoglobin dalam sel darah merah dari ferro menjadi ferri, yang mana saat
darah dalam keadaan ferri, haemoglobib tidak manpu mentraspor oksigen.
67
3. Pengatur Keasaman (Acidity Regulator)
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No.722/Menkes/ Per/IX/1988 tentang Bahan
Tambahan Makanan, pengatur keasaman adalah bahan tambahan makan yang dapat
mengasamkan, menetralkan, dan mempertahankan derajat keasaman, seperti komposisi yang
ada pada minuman bersoda. Fungsi pengatur keasaman yang paling penting adalah sebagai
senyawa pendapar, asam dan garamnya sering pula ditambahkan sebagai campuran
pembentuk adonan (leavening system), sebagai antimikroba dan senyawa pengkelat. Adapun
jenis jenis pengatur keasaman yang dapat digunakan menurut Badan Pengawasan Obat dan
Makanan cukup banyak mencapai 35 jenis, kami menampilkan 15 diantaranya yaitu:
a. Kalsium karbonat (Calcium carbonate)
b. Asam asetat (Acetic acid)
c. Natrium asetat (Sodium acetate)
d. Kalsium asetat (Calcium acetate)
e. Asam laktat (Lactic acid)
f. Asam malat (Malic acid)
g. Asam fumarat (Fumaric acid)
h. Natrium laktat (Sodium lactate);
i. Kalium laktat (Potassium lactate)
j. Kalsium laktat (Calcium lactate)
k. L-amonium laktat (L-ammonium lactate)
l. Asam sitrat dan garamnya (Citric acid and its salts)
m. Asam tartrat dan kalium hidrogen tartrat (Tartaric acid and potassium hydrogen
tartrate)
n. Asam fosfat (Orthophosphoric acid)
o. Natrium hidrogen malat (Sodium hydrogen malate)
Terdapat jenis bahan pengatur keasaman yang bahan asamnya bersifat cukup korosif,
sehingga jika masuk ke mulut dapat menimbulkan rasa panas terbakar dan sakit yang
terhingga. Selain itu pengatur keasaman dapat bersifat racung dengan gejala:
68
a. Korosif pada selaput lender mulut, kerongkongan, disertai dengan sakit, dan sukar
menelan.
b. Sakit didaerah lambung.
c. Luka yang bergelembung. Gelembung yang terjadi pada kulit tersebut dapat pecah
dan terjadi peradangan
Asam tartrat mampu menimbulkan lesi / luka pada mulut, ulkus lambung, pencernaan
terlalu asam, dan gejala mirip dengan kondisi demam karena keracunan logam yaitu demam,
menggigil, berkeringat, mual, muntah, nyeri otot, dan kelemahan.
4. Pemanis Buatan (Artificial Sweeterner)
Pemanis Buatan adalah bahan tambahan yang dapat menyebabkan rasa manis pada
produk pangan yang tidak atau sedikit mempunyai nilai gizi atau kalori. Pemanis Buatan
hanya boleh ditambahkan ke dalam produk pangan dalam jumlah tertentu. Pemanis buatan
pada awalnya diproduksi komersial untuk memenuhi ketersediaan produk makanan dan
minuman bagi penderita Diabetes mellitus yang harus mengontrol kalori makanannya.
Pemanis buatan memiliki ADI (acceptable daily intake) yang ditentukan. Acceptable Daily
Intake artinya jumlah maksimum senyawa kimia yang bisa dikonsumsi setiap hari secara
terus menerus tanpa menimbulkan resiko dalam kesehatan. Acceptable Daily Intake pada
beberapa jenis pemanis buatan menurut FDA tahun 2006 yaitu:
a. sakarin 5 mg/kgBB/hari
b. siklamat 1 mg/kgBB/hari
c. aspartam 50 mg/kgBB/hari
d. acesulfamK 15 mg/kgBB/hari
e. neotam 2 mg/kgBB/hari
f. sucralose 5 mg/kgBB/hari (FDA, 2006)
Selain itu berdasarlan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan nomor 4
tahun 2014, Acceptable Daily Intake pada beberapa jenis pemanis buatan yaitu:
a. sakarin 0-5 mg/kgBB
b. siklamat 0- 11 mg/kgBB
c. aspartam 0-40 mg/kgBB
69
d. acesulfam-K 0-15 mg/kgBB
e. neotam 0-2 mg/kgBB
f. sucralose 0-15 mg/kgBB (BPOM, 2014).
Terdapat penelitian yang telah dilakukan melalui hewan percobaan, misalnya di Institut
Kanker Nasional di Amerika bahwa efek langsung bahan pemanis buatan adalah menjadi
penyebab kanker, untu iti dalam penggunaannya harus hati-hati, tidak berlebihan artinya
dalam dosis yang tinggi akan tetap menyebabkan timbulnya gejala-gejala tertentu. Selain itu
pemans buatan dapat mengakibatkan kanker, pemanis buatan juga dapat menyebabkan
radang saluran nafas, migrain, dan gigi keropos jika penggunaannya melebihi batas yang
ditentukan.
5. Pemutih dan Pematang Telur (Flour Treatment Agent)
Di dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No.722/Menkes/Per/IX/1988 tentang Bahan
Tambahan Pangan, pengertian dari pemutih dan pematang tepung adalah bahan tambahan
makanan yang dapat mempercepat proses pemutihan dan atau pematang tepung sehingga
dapat memperbaiki mutu pemanggangan. Bahan pemutih ini bersifat oksidator. Ikatan
rangkap dalam karotenoid yaitu xantofil, akan dioksidasi, kemudian degradasi pigmen
karotenoid akan menghasilkan senyawa yang tak berwarna. Selain itu bahan pemucat ini
mengoksidasi gugus sulfhidril dalam gluten menjadi ikatan disulfida, dengan adanya ikatan
S-S ini terbentuk polimer protein yang panjang, lurus, dan membentuk lapisan-lapisan tipis
yang saling melekat. Lapisan-lapisan tersebut dapat menahan gelembung udara, karena
itulah roti akan mengembang. Untuk jenis-jenis pemutih dan pematang tepung yang dapat
digunakan menurut BPOM diantaranya:
a. L-Amonium laktat (L-Ammonium lactate)
b. Natrium stearoil-2-laktilat (Sodium stearoyl-2-lactylate)
c. Amonium klorida (Ammonium chloride)
d. Kalsium sulfat (Calcium sulphate)
e. Kalsium oksida (Calcium oxide)
f. α-Amilase (karbohidrase) dari Bacillus licheniformis (alpha-Amylase from
Bacillus licheniformis (carbohydrase))
70
g. α-Amilase dari Aspergillus oryzae, var (alpha-Amylase from Aspergillus oryzae,
var.)
h. α-Amilase dari Bacillus stearothermophilus (alpha-Amylase from Bacillus
stearothermophilus)
i. α-Amilase dari Bacillus stearothermophilus yang dinyatakan dalam Bacillus
subtilis (alpha-Amylase from Bacillus stearothermophilus expressed in Bacillus
subtilis)
j. α-Amilase dari Bacillus subtilis (alpha-Amylase from Bacillus subtilis)
k. α-Amilase dari Bacillus megaterium yang dinyatakan dalam Bacillus subtilis
(alpha-Amylase from Bacillus megaterium expressed in Bacillus subtilis)
l. Protease dari Aspergillus oryzae, var. (Protease from Aspergillus oryzae, var.,); m.
Papain (Papain)
m. Bromelain (Bromelain).
Penggunaan karboksimetil selulosa dapat menyebabkan gangguan pada usus, dan
bersifat karsinogenik. Saponin mengakibatkan efek pada masa kehamilan, dan gangguan
darah. Karagen bisa memicu luka pada hati, efek pada sistem imun, karsinogenik, dan
menyebabkan bisul pada perut. Penggunaan Epikklorohidrin secara berlebihan dapat
menyebabkan kerusakan ginjal, karsinogenik, dan bahkan efek perubahan pada kromosom.
Polieksietilen stearat dapat menyebabkan efek pada usus lambung dan urin, seperti batu pada
tumor, dan kandung kemih. Sedangkan penggunaan natrium alginat dapat menyebabkan
reaksi alergi dan penyerapan pada mineral esensial.
6. Pengemulsi, Pemantap, dan Pengental (Emulsifier, Stabilizer, Thickener)
Emulsi adalah suatu sistem, terdiri dari dua fase cairan yang tidak saling melarut, di
mana salah satu cairan terdispersi dalam bentuk globula-globula di dalam cairan lainnya.
Cairan yang terpecah menjadi globula-globula dinamakan fase terdispersi, sedangkan cairan
yang mengelilingi globula-globula dinamakan fase kontinyu atau medium dispersi
Pengemulsi, pemantap dan pengental dalam pangan berfungsi untuk memantapkan emulsi
dari lemak dan air sehingga produk tetap stabil, tidak meleleh, tidak terpisah antara bagian
lemak dan air serta mempunyai tekstur yang kompak. Berdasarkan BPOM RI tahun 2013
pengemulsi (Emulsifier) adalah bahan tambahan pangan untuk membantu terbentuknya
71
campuran yang homogen dari dua atau lebih fase yang tidak tercampur seperti minyak dan
air. Fungsi pengemulsi pangan dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan utama yaitu:
a. Untuk mengurangi tegangan permukaan pada permukaan minyak dan air, yang
mendorong pembentukan emulsi dan pembentukan kesetimbangan fase antara
minyak, air dan pengemulsi pada permukaan yang memantapkan antara emulsi.
b. Untuk sedikit mengubah sifat-sifat tekstur, awetan dan sifat-sifat reologi produk
pangan, dengan pembentukan senyawa kompleks dengan komponen-komponen
pati dan protein.
c. Untuk memperbaiki tekstur produk pangan yang bahan utamanya lemak dengan
mengendalikan keadaan polimorf lemak
Jenis-jenis pengemulsi yang mendapat izin dari BPOM RI cukup banyak, yaitu terdapat
80 jenis pengemulsi, beberapa diantaranya yaitu:
a. Kalsium karbonat (Calcium carbonate)
b. Lesitin (Lecithins)
c. Natrium laktat (Sodium lactate)
d. Kalsium laktat (Calcium lactate)
e. Natrium dihidrogen sitrat (Sodium dihydrogen citrate)
f. monohidrogen sitrat (Disodium monohydrogen citrate)
g. Trinatrium sitrat (Trisodium citrate)
h. Kalium dihidrogen sitrat (Potassium dihydrogen citrate)
i. Trikalium sitrat (Tripotassium citrate)
j. Mononatrium fosfat (Monosodium orthophosphate)
k. Dinatrium fosfat (Disodium orthophosphate)
l. Trinatrium fosfat (Trisodium orthophosphate)
m. Monokalium fosfat (Monopotassium orthophosphate)
n. Dikalium fosfat (Dipotassium orthophosphate)
o. Trikalium fosfat (Tripotassium orthophosphate)
p. Asam alginat (Alginic acid)
q. Natrium alginat (Sodium alginate)
r. Kalium alginat (Potassium alginate)
s. Kalsium alginat (Calcium alginate)
72
t. Propilen glikol alginat (Propylene glycol alginate)
Efek kesehatan yang ditimbulkan dari penggunaan emulsi yaitu berdampal keracunan
tertentu pada anak-anak, khususnya anak-anak yang tidak tahan terhadap laktosa, akan tetapi
pada orang dewasa tidak ditemukan sifat racun apabila dikonsumsi.
7. Pengawet (Preservative)
Pengawet adalah bahan tambahan pangan yang dapat mencegah atau menghambat
fermentasi, pengasaman atau peruaian lain pada pangan yang disebabkan oleh pertumbuhan
mikroba. Bahan pengawet umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan yang
mempunyai sifat mudah rusak. Bahan ini dapat menghambat atau memperlambat prosesa
fermentasi, pengasaman atau peruraian yang disebabkan oleh mikroba (Saparinto &
Hidayati, 2006). Penggunaan pengawet dalam pangan harus tepat baik jenis maupun
dosisnya. Suatu bahan pengawet mungkin efektif untuk mengawetkan pangan tertentu, tetapi
tidak efektif untuk mengawetkan pangan lainnya karena pangan mempunyai sifat yang
berbeda-beda sehingga mikroba perusak yang akan dihambat pertumbuhannya jiga berbeda.
Zat pengawet terdiri dari zat pengawet organik dan anorganik dalam bentuk asam dan
garamnya. Zat pengawet organik lebih banyak dipakai daripada anorganik karena bahan ini
lebih mudah dibuat. Zat kimia yang sering dipakai sebagai bahan pengawet ialah asam
sorbat, asam propionat, asam benzoat, asam asetat, dan epoksida. Zat pengawet anorganik
yang masih sering dipakai adalah sulfit, nitrat, dan nitrit.
Berikut nama-nama pengawet yang diperbolehkan untuk ditambahkan kedalam pangan
menurut Peraturan Kepala BPOM No. 36 Tahun 2013 tentang Batas Maksimum Penggunaan
Bahan Tambahan Pangan Pengawet.
73
*ADI (Acceptable Daily Intake) atau Asupan Harian yang Dapat Diterima adalah
jumlah maksimum bahan tambahan pangan dalam miligram per kilogram berat badan
NO NAMA PENGAWETBatasan ADI per kg
Bobot Badan
Batasan PERMENKES RI per kg
MakananINS
1
Asam sorbat dan
garamnya:
Asam sorbat
Natrium sorbat
Kalium sorbat
Kalsium sorbat
0 – 25 mg/kg 200-1000 mg/kg
(tergantung jenis makanan)
200
201
202
203
2
Asam benzoat dan
garamnya:
Asam benzoat
Natrium benzoat
Kalium benzoat
Kalsium benzoat
0 – 5 mg/kg200-1000 mg/kg
(tergantung jenis makanan)
210
211
212
213
3Etil para-
hidroksibenzoat0 - 10 mg/kg 0-1000 mg/kg (jelly, selai) 214
4Metil para-
hidroksibenzoat0 - 10 mg/kg
250-1000mg/kg
(tergangung jenis makanan)218
5
Sulfit :
Belerang dioksida
Natrium sulfit
Natrium bisulfit
Natrium metabisulfit
Kalium metabisulfit
Kalium sulfit
Kalsium bisulfit
Kalium bisulfit
0 – 0,7 mg/kg30 - 300 mg/kg
(tergantung jenis makanan)
220
221
222
223
224
225
227
228
6 Nisin 0 - 33000 unit/kg11250 setara dengan 12.5
mg/kg234
7
Nitrit :
Kalium nitrit
Natrium nitrit
0 – 0,06 mg/kg20 – 30 mg/kg
(tergantung jenis makanan)249
250
8
Nitrat :
Natrium nitrat
Kalium nitrat
0 – 3,7 mg/kg 0 – 50 mg/kg 251
252
9
Asam propionat dan
garamnya :
Asam propionat
Natrium propionate
Kalsium propionate
Kalium propionate
Tidak dinyatakan (not
limited)
1000 - 2500 mg/kg
(tergantung jenis makanan)
280
281
282
283
10 Lisozim hidrokloridaTidak dinyatakan (not
specified)0 – 500 mg/kg 1105
74
yang dapat dikonsumsi setiap hari selama hidup tanpa menimbulkan efek merugikan
terhadap kesehatan.
Penggunaan pengawet diatas diizinkan ditambahkan dengan jumlah tidak melebihi batas
maksimum dan sesuai dengan kategori pangan. Pada peraturan Permenkes tersebut juga
disebutkan 9 jenis bahan tambahan yang dilarang digunakan dalam makanan diantaranya
Asam Borat (Boric Acid) dan Formalin yang sering disalahgunakan.
Penyalahgunaan boraks dan formalin menjadi salah satu masalah yang mengancam
kesehatan konsumen makanan. Boraks merupakan kristal lunak yang mengandung unsur
boron, berwarna putih dan mudah larut dalam air. Umumnya boraks digunakan di industri
kertas, kayu, keramik sebagai pengawet karena memiliki efek bakteristatik dan antifungi.
Namun, dalam penggunaannya kedalam bahan pangan dilarang oleh undang-undang karena
memiliki dampak kepada kesehatan konsumen. Boraks akan diserap melalui saluran
pencernaan kurang lebih 50% dari jumlah yang terabsorbsi tersebut akan dikeluarkan oleh
tubuh melalui urin selama 12 jam dan sisanya dikeluarkan dari tubuh diatas 5 – 7 hari. Maka
itu efek toksik boraks bersifat kumulatif selama penggunaan berulang-ulang. Pengaruh
boraks pada kesehatan konsumen boraks dapat mengakibatkan muntah, diare, bercak
kemerahan pada kulit dan selaput lendir, demam, gangguan pada fungsi hati, gangguan
pencernaan, radang kulit, anemia, kejang, kerusakan ginjal dan kanker karena memiliki sifat
karsinogenik.
Formalin atau formaldehida merupakan bahan pengawet yang biasa digunakan sebagai
desinfektan, cairan pembalsem, pengawet jaringan, pembasmi serangga dan pengawet
mayat. Formalin memiliki sifat mudah larut dalam air, mudah menguap, bersifat kumulatif,
dan karsinogenik. Dampak formalin pada kesehatan dibagi menjadi akut yaitu efek pada
kesehatan manusia langsung terlihat seperti iritasi, alergi, kemerahan, mata berair, mual,
muntah, rasa terbakar, sakit perut dan pusing. Kronik yaitu efek pada kesehatan manusia
terlihat setelah terkena dalam jangka waktu lama dan berulang seperti iritasi kemungkinan
parah, mata berair, gangguan pada pencernaan, hati, ginjal, pankreas, sistem saraf pusat,
menstruasi, dan pada hewan percobaan dapat menyebabkan kanker sedangkan pada manusia
diduga bersifat karsinogen (menyebabkan kanker). Pengujian kualitatif kandungan formalin
dengan menggunakan larutan Fehling A dan Fehling B.
75
8. Pengeras (Firming Agent)
Pengeras (Firming agent) adalah bahan tambahan pangan untuk memperkeras atau
mempertahankan jaringan buah dan sayuran, atau berinteraksi dengan bahan pembentuk gel
untuk memperkuat gel. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.722/Menkes/Per/IX/
1988 tentang Bahan Tambahan makanan, BTP pengeras adalah bahan tambahan makanan
yang dapat memperkeras atau mencegah melunaknya makanan. BTP pengeras atau firming
agent dapat diaplikasikan pada proses pembuatan acar ketimun, sayuran, buah dalam kaleng,
daging dan ikan dalam kaleng serta jem dan jeli sehingga diharapkan tekstur makanan
tersebut masih tetap terjaga lebih renyah (crispy) dan tidak menjadi lunak selama proses.
Jenis BTP Pengeras yang diizinkan digunakan dalam pangan terdiri atas:
a. Kalsium laktat
Dosis maksimum pemakaian kalsium laktat adalah sebesar 200 mg/kg. Kalsium
laktat banyak digunakan sebagai bahan baku pada berbagai industri serta
pengadaannya didatangkan dari luar negeri (kalsium laktat) secara garis besarnya
adalah sebagai berikut :
1) Industri farmasi : sebagai obat – obatan.
2) Industri makanan : sebagai pembangkit (baking powder) pada roti atau makanan
dan untuk keperluan minuman.
3) Peternakan : sebagai campuran makanan ternak petelor.
Adapun batas penggunaan kalsium laktat antara lain : untuk irisan tomat kalengan
800 mg/kg, tomat kalengan 450 mg/kg dan apel dan sayuran kalengan 260 mg/kg.
(Riskajaya, 2003)
b. Kalium klorida
Sebagian besar kalium klorida dihasilkan digunakan untuk pembuatan pupuk,
karena pertumbuhan banyak tanaman dibatasi oleh asupan kalium mereka. Sebagai
bahan baku zat kimia ini digunakan untuk pembuatan kalium hidroksida, dan logam
kalium. Hal ini juga digunakan dalam pengobatan, aplikasi ilmiah, pengolahan
makanan, dan sebagai pengganti natrium-gratis untuk garam meja (natrium
klorida). Efek samping bisa termasuk ketidaknyamanan pencernaan termasuk mual
76
dan muntah, diare dan pendarahan pada saluran pencernaan. Overdosis
menyebabkan hiperkalemia yang dapat menyebabkan paresthesia, blok konduksi
jantung, atrial, aritmia, dan sclerosis. Efek mematikan overdosis kalium klorida
telah mengakibatkan penggunaannya dalam suntik mati.
c. Kalsium klorida
Kalsium klorida telah terdaftar sebagai zat aditif dalam makanan. Rata-rata
konsumsi kalsium klorida sebagai bahan tambahan pangan adalah sekitar 160-345
mg/hari untuk individu. Kalsium klorida juga digunakan zat pengawet dalam
sayuran kalengan, dalam pemrosesan dadih kacang kedelai menjadi tahu dan dalam
memproduksi pengganti kaviar dari jus sayuran atau buah. Dalam pembuatan
minuman bir, kalsium klorida digunakan untuk memperbaiki kekurangan mineral
dalam air pembuatan bir. Ini mempengaruhi rasa dan reaksi kimia selama proses
pembuatan bir, dan juga dapat mempengaruhi fungsi ragi selama fermentasi.
Kalsium klorida kadang-kadang ditambahkan ke dalam susu olahan untuk
mengembalikan keseimbangan kalsium yang hilang selama pemrosesan dan untuk
menjaga keseimbangan protein dalam kasein pada pembuatan keju. Kalsium
klorida dapat disuntikkan sebagai terapi intravena untuk pengobatan hipokalsemia,
yaitu penyakit berkurangnya kadar kalsium dalam tubuh. Penggunaannya sama
seperti kalsium glukonat yaitu untuk apel dan sayuran kalengan dosis
penggunaannya 260 mg/kg.
d. Kalsium sulfat
Kalsium sulfat digunakan untuk irisan tomat kalengan dengan ukuran yang
diijinkan 800 mg/kg, tomat kalengan 450 mg/kg, dan apel dan sayuran kalengan
260 mg/kg.
e. Kalsium glukonat (Calcium gluconate)
Kalsium glukonat digunakan untuk mengeraskan buah-buahan dan sayuran dalam
kaleng dengan ukuran yang diijinkan 800 mg/kg, tomat kalengan 450 mg/kg, buah
kalengan 350 mg/kg, acar ketimun dalam botol (250 mg/kg), dan jam dan jelly 250
mg/kg.
Bahan Tambahan Pangan Pengeras yang berbahaya:
a. Calplus FG dengan Dosis 260mg/kg untuk adonan bakso.
77
b. Polis Alum Crystal yang digunakan untuk bahan pengeras bakso.
c. Aluminium sulfat
Aluminium sulfat, suatu senyawa kimia anorganik dengan rumus Al2(SO4)3.
Senyawa ini larut dalam air dan terutama digunakan sebagai bahan flokulasi dalam
pemurnian air minum dan kilang pengolahan air limbah, dan juga dalam pembuatan
kertas. Dalam pemurnian air, Aluminium sulfat menyebabkan kotoran menggumpal
yang dapat disingkirkan sebagai partikel yang mengendap di dasar wadah/tangki
atau lebih mudah disaring (koagulasi atau flokulasi).
d. Aluminium Kalium Sulfat
Aluminium kalium sulfat biasanya ditemukan dalam ragi, dimana terdapat
perselisihan pendapat atas penggunaannya karena kekhawatiran mengenai
keamanan menambahkan aluminium untuk makanan.
e. Aluminium Natrium Sulfat
f. Natrium sulfat banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri, antara lain
di industri pulp dan kertas, deterjen, pembuatan flat glass, tekstil, keramik, farmasi,
zat pewarna dan sebagai reagent di laboratorium kimia.
g. Monokalsium Fosfat
Salah satu jenis kalsium fosfat, yang dikenal sebagai hidroksiapatit, adalah mineral
utama tubuh Anda yang digunakan untuk membangun dan menguatkan tulang dan
gigi. Bentuk lain dari kalsium fosfat digunakan dalam produk makanan seperti
garam meja, dipanggang dan bumbu, di mana mereka membantu mencegah kondisi
adonan lengket, dan bertindak sebagai agen ragi. Kalsium fosfat juga ditambahkan
ke makanan untuk meningkatkan kandungan kalsium mereka dan digunakan untuk
membuat suplemen kalsium.
9. Pewarna (Colour)
Pewarna adalah bahan tambahan makanan yang dapat memperbaiki atau memberi warna
pada makanan. Berdasarkan sumbernya dikenal dua jenis zat
pewarna yang termasuk dalam golongan bahan tambahan pangan, yaitu pewarna alami dan
pewarna sintetis. Tanaman dan hewan memiliki warna menarik yang dapat digunakan
sebagai pewarna alami pada makanan. Beberapa pewarna alami yang berasal dari kunyit,
78
paprika, dan bit digunakan sebagai pewarna pada bahan pangan yang aman dikonsumsi.
Pewarna dari hewan diperoleh dari warna merah yang ada pada daging.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.033 Tahun 2012 tentang
Bahan Tambahan Pangan, daftar pewarna alami yang diperbolehkan adalah kurkumin,
riboflavin, karmin dan ekstrak cochineal, klorofil, karamel, karbon tanaman, beta-karoten,
ekstrak anato, karotenoid, merah bit, antosianin, dan titanium dioksida.
Pewarna sintesis yang diperbolehkan, namun dibatasi penggunaannya, antara lain
tartrazin, kuning kuinolin, kuning FCF, karmoisin, ponceau, eritrosin, merah allura,
indigotin, biru berlian FCF, hijau FCF, dan cokelat HT. Pewarna makanan sintesis tersebut
diperoleh secara kimia dengan mencampur dua atau lebih zat menjadi satu zat baru.
Pemerintah sudah memberikan daftar pewarna yang boleh digunakan dalam makanan.
Tetapi kenyataannya masih ada saja pewarna bukan untuk makanan yang dicampur dalam
penganan, dua di antaranya yang sering ditemukan di Indonesia adalah rhodamin B dan
metanil yellow.
Rhodamin B merupakan pewarna sintetis berbentuk serbuk kristal, berwarna hijau atau
ungu kemerahan, dan tidak berbau. Jika dicampur dalam penganan, rhodamin B akan
berubah warna menjadi merah terang. Rhodamin B biasanya digunakan untuk mewarnai
tekstil, kertas, kain, produk pembersih mulut, dan sabun. Makanan atau minuman yang
mengandung rhodamin B biasanya berwarna merah cerah mengilap dan lebih mencolok,
warna terkadang tidak rata, ada gumpalan warna, dan terasa lebih pahit bila dikonsumsi.
Rhodamin B sering dicampur dalam kerupuk, terasi, cabe merah giling, agar-agar, kembang
gula, sosis, sirop, dan lain-lain. Pewarna dengan nama lain D and C Red no 19. Food Red
15, ADC Rhodamine B, Aizen Rhodamine, dan Brilliant Pink ini termasuk bahan karsinogen
(penyebab kanker) yang kuat. Jika dikonsumsi dalam jangka panjang, rhodamin B dapat
terakumulasi di dalam tubuh, menyebabkan gejala pembesaran hati dan ginjal, kerusakan
hati, atau bahkan kanker hati.
Metanil yellow adalah pewarna sintetik berbentuk serbuk, berwarna kuning
kecokelatan, larut dalam air dan alkohol. Umumnya digunakan untuk pewarna tekstil, kertas,
tinta, plastik, kulit, cat, dan sebagainya. Penganan yang menggunakan metanil yellow
79
biasanya berwarna kuning mencolok dan berpendar serta terdapat titik warna (warna tidak
rata). Pewarna ini bisa dijumpai pada kerupuk, mie, tahu, gorengan, dan penganan berwarna
kuning lainnya. Bila dikonsumsi, metanil yellow dapat menyebabkan iritasi saluran cerna,
mual, muntah, sakit.
80
Daftar Pustaka
Anonim. Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya Pada Makanan Serta Dampak Yang Ditimbulkan.
http://elib.unikom.ac.id/download.php?id=141535
Anonim. Bahan Tambahan Pangan.
http://www.pipimm.or.id/admin/file/bukuputih/buku%20putih%20bab%20IV.pdf
BPOM RI. 2013. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor
7 Tahun 2013 Tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Perlakuan
Tepung.
BPOM RI. 2013. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor
8 Tahun 2013 Tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pengatur
Keasaman.
BPOM RI. 2013. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor
10 Tahun 2013 Tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Antikempal.
BPOM RI. 2013. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor
20 Tahun 2013 Tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pengemulsi
http://jdih.pom.go.id/showpdf.php?u=TETmW0fJzJopXyIlM2%2B3AcPza%2B%2Bhxyhe3
CoR%2BOv2IGw%3D
BPOM RI. 2013. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor
36 Tahun 2013 tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pengawet
BPOM RI. 2014. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan nomor 4 tahun 2014
Fitri, Nyoman. 2013. Butylated hydroxyanisole sebagai Bahan Aditif Antioksidan pada Makanan dilihat
dari Perspektif Kesehatan. Jurnal Kefarmasian Indonesia. Vol.4.1.2014:41-50. Diakses
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=324019&val=4889&title=Butylated%20
hydroxyanisole%20sebagai%20Bahan%20Aditif%20Antioksidan%20pada%20Makanan%20
dilihat%20dari%20Perspektif%20Kesehatan [20:45]
Kemenkes RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 722/MENKES/PER/IX/88
Tentang Bahan Tambahan Makanan
Kemenkes RI. 2012. Peraturan Menteri Kesehatan RI No 033 Tahun 2012
Kemenkes RI. 2014. Pedoman Gizi Seimbang
Mansyur. 2003. TOKSIKOLOGI SEJARAH DAN JANGKAUANNYA, s.l.: USU digital library.
Praja, D. I.. 2015. Zat Adiktif Makanan, Manfaat dan Bahayanya. Yogyakarta: Garudhawaca.
Riskajaya, S. E. 2003. Prarencana Pabrik Pabrik Kalsium Laktat Dari Corn Sugar Dengan
Proses Fermentasi, s.l.: Widya Mandala Catholic University Surabaya.
81
Saparinto, C. & Hidayati, D.. 2006. Bahan Tambahan Makanan. s.l.:Kanisius.
Sayuti, Kesuma. Yenrina, Rina. (2015). Antioksidan Alami dan Sintetik. Andalas University Press;
Padang. Diakses
http://repository.unand.ac.id/23714/1/Kesuma%20Sayuti_Antioksidan%20Alami%20dan%2
0Sintetik%20OK.pdf [20:57]
82
BAB 6.
KERACUNAN AKIBAT MIKROORGANISME PANGAN
Pangan merupakan kebutuhan esensial bagi setiap manusia untuk pertumbuhan maupun
mempertahankan hidup. Bahan makanan, selain merupakan sumber gizi bagi manusia, juga
merupakan sumber makanan bagi mikroorganisme. Pertumbuhan mikroorganisme dalam
bahan pangan dapat menyebabkan perubahan yang menguntungkan seperti perbaikan bahan
pangan secara gizi, daya cerna ataupun daya simpannya. Selain itu pertumbuham
mikroorganisme dalam bahan pangan juga dapat mengakibatkan perubahan fisik atau kimia
yang tidak diinginkan, sehingga bahan pangan tersebut tidak layak dikomsumsi.
Keracunan pangan atau foodborne disease (penyakit bawaan makanan), terutama yang
disebabkan oleh bakteri patogen masih menjadi masalah yang serius di berbagai negara.
Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang dengan wilayah sangat luas berbentuk
kepuluan memiliki keterbatasan dalam pengawasan dan pengendalian suatu produk seperti
makanan dalam upaya melindungi kesehatan dan keselamatan konsumen. Hal ini dibuktikan
dengan sering terjadinya kasus racunan makanan di tengah masyarakat, baik yang dilaporkan
maupun tidak dilaporkan.
Potensi risiko keamanan pangan dapat dijumpai setiap saat pada semua mata rantai
pangan, tidak terkecuali di Desa. Pada tahun 2013, data kejadian luar biasa (KLB) keracunan
pangan yang dihimpun Badan POM RI menunjukkan ada 48 kejadian keracunan pangan di
masyarakat. Adapun urutan jenis pangan yang diduga menyebabkan keracunan pangan adalah
48% masakan rumah tangga. 17% pangan jasa boga, 17% pangan jajanan, 15% panganolahan
dan 4% tidak diketahui penyebabnya (Laptah BPOM RI, 2013).
Badan kesehatan dunia (WHO, 1998) memperkirakan bahwa rasio antara kejadian
keracunan pangan yang dilaporkan dengan kejadian yang sesungguhnya di masyarakat adalah
1:10 untuk negara maju dan 1:25 untuk negara berkembang. Jika merujuk pada asumsi WHO
di atas dan jika didukung sistem pelaporan yang tepat, maka kejadian keracunan pangan di
Indonesia per tahunnya mencapai ribuan kejadian. Kemungkinan yang terjadi sesungguhnya
di Indonesia pada tahun 2012 adalah sekitar lima puluh ribuan orang mengalami keracunan
83
pangan dan orang yang meninggal dunia diantaranya mencapai kurang lebih 500 orang.
(BPOM RI.2013).
Berkenaan dengan hal tersebut, setiap restoran dan rumah makan seharusnya melakukan
pemeriksaan laboratorium secara berkala untuk memastikan bahwa makanan dan minuan yang
dijual aman untuk dikonsumsi sebagaimana telah ditetapkan dalam Kepmenkes
No:1098/Menkes/SK/VII/2003 (Depkes RI, 2003) dan Peraturan Pemerintah RI 2 No. 28
Tahun 2004 tentang keamanan, mutu dan gizi pangan. Pada pasal 9 PP No. 28 Tahun 2004
dijelaskan bahwa cara produksi pangan siap saji yang baik harus memperhatikan aspek
keamanan pangan dengan cara mencegah tercemarnya pangan siap saji oleh cemaran biologis
yang mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan (Presiden RI, 2004). Namun
pada kenyataannya hanya sedikit dari mereka yang mematuhi aturan-aturan tersebut dan
biasanya hanya dilaksanakan oleh penjual makanan yang dikelola dengan baik (Sunarno,dkk,
2008).
Bukti di lapangan menunjukkan bahwa bakteri patogen sering ditemukan pada makanan
dan minuman yang dijual di pasar, diantaranya Salmonella group E, Staphylococcus aureus,
Pseudomonas sp, E. coli, dan Bacillus. Tingkat kontaminasi bervariasi hingga mencapai 24–
48 % (Pracoyo, 2006). Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa bakteri patogen lebih sering
ditemukan pada makanan atau minuman dengan bahan yang tidak dimasak dan beberapa jenis
bakteri berkaitan erat dengan jenis makanan atau bahan makanan yang digunakan (Burnett,
2001; Nissen, 2002). Sementara itu untuk makanan atau minuman yang telah dimasak,
kontaminasi dapat berasal dari penjamah makanan, peralatan makan, sumber air bersih yang
digunakan, dan kondisi lingkungan. Kontaminasi bakteri patogen pada makanan dan minuman
dapat menyebabkan berbagai macam penyakit diantaranya typhoid, diare, keracunan makanan
dan lain sebagainya (Siagian, 2002; Coleman, 2004). Penyakit-penyakit ini akan lebih mudah
menjangkiti orang yang mengalami penurunan daya tahan tubuh karena faktor dari dalam
maupun dari luar.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk menganilisis keracunan akibat
mikroorganisme ditinjau dari jenis-jenis bakteri pathogen, gejala yang ditimbulkan serta cara
pencegahannya.
84
2.1 Jenis Bakteri Patogen dan Gejala Keracunan
Bakteri dapat menyebabkan keracunan pangan melalui dua mekanisme, yaitu intoksikasi dan
infeksi
2.1.1 Intoksikasi
Keracunan pangan yang disebebkan oleh produk toksik bakteri patogen. Bakteri
tumbuh pada pangan dan memproduksi toksin.
a. Bacillus cereus
Bacillus cereus merupakan bakteri yang berbentuk batang, tergolong bakteri Gram-
positif, bersifat aerobik, dan dapat membentuk endospora. Keracunan akan timbul jika
seseorang menelan bakteri atau bentuk sporanya, kemudian bakteri bereproduksi dan
menghasilkan toksin di dalam usus, atau seseorang mengkonsumsi pangan yang telah
mengandung toksin tersebut. Ada dua tipe toksin yang dihasilkan oleh Bacillus cereus, yaitu
toksin yang menyebabkan diare dan toksin yang menyebabkan muntah (emesis). Pangan
yang dapat tercemar oleh Bacillus cereusini adalah serealia, makanan kering, produk-produk
susu,daging dan produk-produk daging,herbs, rempah-rempah, sayur-sayur
Gejala Keracunan:
Bila seseorang mengalami keracunan yang disebabkan oleh toksin penyebab diare,
maka gejala yang timbul berhubungan dengan saluran pencernaan bagian bawah berupa
mual, nyeri perut seperti kram, diare berair, yang terjadi 8-16 jam setelah mengkonsumsi
pangan.
Bila seseorang mengalami keracunan yang disebabkan oleh toksin penyebab muntah,
gejala yang timbul akan bersifat lebih parah dan akut serta berhubungan dengan saluran
pencernaan bagian atas, berupa mual dan muntah yang dimulai 1-6 jam setelah
mengkonsumsi pangan yang tercemar.
b. Clostridium botulinum
Clostridium botulinum merupakan bakteri Gram-positif yang dapat membentuk spora
tahan panas, bersifat anaerobik, dan tidak tahan asam tinggi. Toksin yang dihasilkan
dinamakan botulinum, bersifat meracuni saraf (neurotoksik) yang dapat menyebabkan
85
paralisis. Toksin botulinum bersifat termolabil. Pemanasan pangan sampai suhu 800 C
selama 30 menit cukup untuk merusak toksin. Sedangkan spora bersifat resisten terhadap
suhu pemanasan normal dan dapat bertahan hidup dalam pengeringan dan pembekuan.
Pangan yang dapat tercemar oleh Clostridium botulinum ini adalahcustard, puding dan
makanan-makanan yang mengandung telur.
Gejala keracunan:
Gejala botulism berupa mual, muntah, pening, sakit kepala, pandangan berganda,
tenggorokan dan hidung terasa kering, nyeri perut, letih, lemah otot, paralisis, dan pada
beberapa kasus dapat menimbulkan kematian. Gejala dapat timbul 12-36 jam setelah toksin
tertelan. Masa sakit dapat berlangsung selama 2 jam sampai 14 hari.
c. Staphilococcus aureus
Staphilococcus aureus merupakan bakteri berbentuk kokus/bulat, tergolong dalam
bakteri Gram-positif, bersifat aerobik fakultatif, dan tidak membentuk spora. Toksin yang
dihasilkan bakteri ini bersifat tahan panas sehingga tidak mudah rusak pada suhu memasak
normal. Bakteri dapat mati, tetapi toksin akan tetap tertinggal. Toksin dapat rusak secara
bertahap saat pendidihan minimal selama 30 menit. Pangan yang dapat tercemar bakteri ini
adalah produk pangan yang kaya protein, misalnya daging, ikan, susu, dan daging unggas;
produk pangan matang yang ditujukan dikonsumsi dalam keadaan dingin, seperti salad,
puding, dan sandwich; produk pangan yang terpapar pada suhu hangat selama beberapa jam;
pangan yang disimpan pada lemari pendingin yang terlalu penuh atau yang suhunya kurang
rendah; serta pangan yang tidak habis dikonsumsi dan disimpan pada suhu ruang. Sakit yang
diakibatkan oleh bakteri Staphilococcus aureus dinamakan Staphylococcal food poisoning.
Gejala keracunan:
Gejala keracunan dapat terjadi dalam jangka waktu 4-6 jam, berupa mual, muntah
(lebih dari 24 jam), diare, hilangnya nafsu makan, kram perut hebat, distensi abdominal,
demam ringan. Pada beberapa kasus yang berat dapat timbul sakit kepala, kram otot, dan
perubahan tekanan darah
2.1.2 Infeksi
86
a. Salmonella
Salmonella merupakan bakteri Gram-negatif, bersifat anaerob fakultatif, motil, dan
tidak menghasilkan spora. Salmonella bisa terdapat pada bahan pangan mentah, seperti telur
dan daging ayam mentah serta akan bereproduksi bila proses pamasakan tidak sempurna.
Sakit yang diakibatkan oleh bakteri Salmonella dinamakan salmonellosis. Cara penularan
yang utama adalah dengan menelan bakteri dalam pangan yang berasal dari pangan hewani
yang terinfeksi. Pangan juga dapat terkontaminasi oleh penjamah yang terinfeksi, binatang
peliharaan dan hama, atau melalui kontaminasi silang akibat higiene yang buruk. Penularan
dari satu orang ke orang lain juga dapat terjadi selama infeksi.
Gejala keracunan:
Pada kebanyakan orang yang terinfeksi Salmonella, gejala yang terjadi adalah diare,
kram perut, dan demam yang timbul 8-72 jam setelah mengkonsumsi pangan yang tercemar.
Gejala lainnya adalah menggigil, sakit kepala, mual, dan muntah. Gejala dapat berlangsung
selama lebih dari 7 hari. Banyak orang dapat pulih tanpa pengobatan, tetapi infeksi
Salmonella ini juga dapat membahayakan jiwa terutama pada anak-anak, orang lanjut usia,
serta orang yang mengalami gangguan sistem kekebalan tubuh.
b. Clostridium perfringens
Clostridium perfringens merupakan bekteri Gram-positif yang dapat membentuk
endospora serta bersifat anaerobik. Bakteri ini terdapat di tanah, usus manusia dan hewan,
daging mentah, unggas, dan bahan pangan kering. Clostridium perfringens dapat
menghasilkan 5 enterotoksin yang tidak dihasilkan pada makanan sebelum dikonsumsi,
tetapi dihasilkan oleh bakteri di dalam usus. Pangan yang dapat tercemar oleh Clostridium
perfringens ini adalah daging ternak dan daging unggas, makanan kering, herbs, rempah-
rempah,sayur-sayur. Sakit yang diakibatkan oleh bakteri Clostridium perfringens dinamakan
keracunan makanan clostridial dan sindrom pigbel.
Gejala keracunan:
Gejala keracunan dapat terjadi sekitar 8-24 jam setelah mengkonsumsi pangan yang
tercemar bentuk vegetatif bakteri dalam jumlah besar. Didalam usus, sel-sel vegetatif bakteri
87
akan menghasilkan enterotoksin yang tahan panas dan dapat menyebabkan sakit. Gejala yang
timbul berupa nyeri perut, diare, mual, dan jarang disertai muntah. Gejala dapat berlanjut
selama 12-48 jam, tetapi pada kasus yang lebih berat dapat berlangsung selama 1-2 minggu
(terutama pada anak anak dan orang lanjut usia)
c. Escherichia coli
Escherichia coli merupakan mikroflora normal pada usus kebanyakan hewan berdarah
panas. Bakteri ini tergolong bakteri Gram-negatif, berbentuk batang, tidak membentuk spora,
kebanyakan bersifat motil (dapat bergerak) menggunakan flagela, ada yang mempunyai
kapsul, dapat menghasilkan gas dari glukosa, dan dapat memfermentasi laktosa. Kebanyakan
strain tidak bersifat membahayakan, tetapi ada pula yang bersifat patogen terhadap manusia,
seperti Enterohaemorragic Escherichia coli (EHEC). Escherichia coli O157:H7 merupakan
tipe EHEC yang terpenting dan berbahaya terkait dengan kesehatan masyarakat. E. coli dapat
masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui konsumsi pangan yang tercemar, misalnya
daging mentah, daging yang dimasak setengah matang, susu mentah, dan cemaran fekal pada
air dan pangan.
Gejala keracunan:
Gejala penyakit yang disebabkan oleh EHEC adalah kram perut, diare (pada beberapa
kasus dapat timbul diare berdarah), demam, mual, dan muntah. Masa inkubasi berkisar 3-8
hari, sedangkan pada kasus sedang berkisar antara 3-4 hari.
d.Vibrio parahaemolyticus
Vibrio merupakan bakteri akuatik yang dapat ditemukan di sungai, muara sungai,
kolam, dan laut. Salah satu jenis bakteri dari marga Vibrio yang hidup dilaut dan merupakan
pathogen yang berbahaya bagi kesehatan manusia adalah Vibrio parahaemolyticus. Bakteri
Vibrio parahaemolyticus merupakan bakteri gram negatif, halofilik, bersifat motil atau
bergerak, berbentuk bengkok atau koma, menghasilkan energi untuk pertumbuhan dengan
oksidasi, fakultatif anaerob dan mempunyai flagellum kutub tunggal dan tidak dapat
membentuk spora. Vibrio parahaemolyticus ini adalah jenis bakteri yang hidupnya di laut,
memiliki daya tahan terhadap salinitas cukup tinggi. Oleh sebab itu bakteri patogen ini dapat
mencemari pangan hasillaut (Liston dalam Retno, 2008). Pangan yang dapat tercemar oleh
88
bakteri Vibrio parahaemolyticus ini adalah ikan segar dan ikan olahan, udang, kerang dan
makanan laut lainnya.
Gejala keracunan:
Gejala penyakit yang disebabkan oleh bakteri Vibrio parahaemolyticus adalah Sakit
perut bagian bawah, diare berdarah dan berlendir, pusing, muntah-muntah, demam ringan,
menggigil, sakit kepala, recoveri dalam 2-5 hari.
e. Campylobacter jejuni
Campylobacter jejuni adalah spesies bakteria berbentuk lengkung, batang, non-spora,
Gram-negatif dan bersifat motil. Bakteri ini bersifat zoonosis dan menyebabkan penyakit
yang disebut dengan campylobacteriosis. Gastroenteritis pada manusia di dunia salah
satunya juga disebabkan oleh bakteri Campylobacter jejuni. Keracunan makanan yang
disebabkan oleh spesies Campylobacter dapat menimbulkan penyakit, tetapi sangat jarang
mengakibatkan kematian. Campylobacteriosis pada peternakan unggas dapat disebut avian
vibrionic hepatitis atau avian infectious hepatitis. Penyakit ini terdapat di seluruh dunia.
Meskipun organ yang terserang adalah alat pencernaan, tetapi pada masing-masing spesies
hewan penderita rupanya bakteri ini memiliki kesukaan lokasi sendiri-sendiri. Pangan yang
dapat tercemar oleh bakteri Campylobacter jejuni ini adalah daging ternak dan daging unggas
mentah, susu segar atau susu yang diolah tetapi pemanasannya kurang, air yang tidak diolah.
Campylobacter jejuni secara alami ada dalam saluran pencernaan ayam. Gejala klinis tidak
terlihat meskipun invasi bakteri ini terjadi pada organ internal ayam maka bakeri ini
diperlukan jumlah yang besar untuk menimbulkan penyakit pada ayam. Campylobacter
jejuni pada ayam tidak menyebabkan penyakit tetapi kejadian kontaminasi karkas ayam oleh
bakteri ini cukup tinggi yang mengakibatkan campylobacteriosis pada manusia.
Gejala Keracunan:
Gejala penyakit yang disebabkan oleh bakteri Campylobacter jejuni adalah sakit perut
bagian bawah, kram, diare, sakit kepala, demam, dan kadang-kadang diare berdarah. Masa
inkubasi berkisar2-3 hari dan bisa 7-10 hari.
f. Shigella sonnei
89
Shigella adalah binatang tidak bergerak, gram negatif, bersifat fakultatif anaerobik
yang dengan beberapa kekecualiaan tidak meragikan laktosa tetapi meragikan karbohidrat
yang lainnya, menghasilkan asam tetapi tidak menghasilkan gas. Habitat alamiah Shigella
terbatas pada saluran pencernaan manusia dan primata lainnya dimana sejumlah spesies
menimbulkan disentri basiler. Shigella berbentuk batang ramping, tidak berkapsul, tidak
bergerak, tidak membentuk spora, gram negatif. Shigella adalah fakultatif anaerob tetapi
paling baik tumbuh secara anaerobik. Shigella dapat menyebakan penyakit shigellosis yang
merupakan penyakit saluran pencernaan. Pangan yang dapat tercemar oleh bakteri Shigella
sonnei adalah makanan campuran dan basah, susu, kacang-kacangan, kentang, tuna, undang,
kalkun, salad, makaroni, cider apel.
Gejala keracunan:
Gejala penyakit yang disebabkan oleh bakteri Shigella sonnei adalah kram usus, panas
dingin, diare berair sering kali berdarah dan berlendir, sakit kepala, pusing, dehidrasi. Masa
inkubasiberkisar 1-7 hari, biasanya kurang dari 4 hari.
g. Yersinia enterocolitica
Yersinia enterocolitica merupakan bakteri golongan gram negatif, bentuknya bacillus
(batang yang sifatnya tidak memfermentasi laktosa, dengan urease positif dan oksidase
positif). Yersinia enterocolitica masuk ke dalam famili enterobacteriaceae. Bakteri ini
tumbuh baik secara motil di suhu 25ºC,dan non motil di suhu 37ºC. Yersinia enterocolitica
banyak ditemukan di saluran usus berbagai hewan di mana hewan tersebut dapat
menyebabkan penyakit dan ditularkan kepada manusia. Pangan yang dapat tercemar oleh
bakteri Yersinia enterocolitica adalah daging ternak dan unggas mentah,produk olahan
daging, susu dan produk susu dan sayur-sayuran. Penularan bakteri Yersinia enterocolitica
melalui rute orofekol karena mengkonsumsi makanan dan minuman yang terkontaminasi
oleh manusia atau binatang terinfeksi bakteri ini.
Gejala Keracunan
Gejala penyakit yang disebabkan oleh bakteri Yersinia pseudotuberculosi adalah sakit
perut bagian bawah, demam, menggigil, sakit kepala, malaise, diare, muntah-muntah,
pusing, pharingitis, leukocytosis. Masa inkubasiberkisar 24-36 jam atau lebih.
90
h. Listeria monocytogenous
Listeria monocytogenous merupakan bakteri gram posituf yang dapat tumbuh baik di
tempat aerob (dengan adanya oksigen) maupun anaerob (tanpa adanya oksigen). Bakteri ini
tidak membentuk spora, dan sangat kuat terhadap panas, asam dan garam serta tahan
terhadap pembekuan sehingga masih dapat berduplikasi di suhu dingin seperti lemari
pendingin (suhu 40C – 100C). Sumber lain menyebutkan bahwa bakteri Listeria
monocytogenes dapat tumbuh pada kisaran suhu -0,40C – 450C dengan suhu tumbuh optimal
370C. Pengaruh beku terhadap Listeria monocytogenes bergantung pada kondisi produk dan
kemasan. Hal ini juga dibuktikan bahwa Listeria monocytogenes dapat memiliki kemampuan
bertahan pada suhu -200C. Pangan yang dapat tercemar oleh bakteri Listeria monocytogenous
adalah makanan siap santap yang didinginkan seperti sosis, susu yang belum dipasteurisasi,
serta produk susu lainnya seperti susu dan keju, daging mentah atau yang dimasak setengah
matang, unggas, dan ikan-ikanan. Bakteri ini masuk ke dalam tubuh manusia melalui
makanan yang terkontaminasi oleh bakteri Listeria monocytogenes. Bakteri Listeria
monocytogenes menempel di permukaan makanan dan buah-buahan. Bakteri ini dapat masuk
kedalam daging buah / makanan jika buah / makanan tersebut berpori sehingga air dapat
memudahkan bakteri, terutama bila air tersebut sudah terkontaminasi bakteri Listeria
monocytogenes. Bakteri Listeria monocytogenes dapat menyebakan penyakit Listeriosis
yang merupakan penyakit yang sering diidap oleh binatang ternak seperti sapi, domba, babi,
namun terkadang ditemukan juga binatang unggas seperti ayam dan bebek.
Gejala Keracunan
Gejala penyakit yang disebabkan oleh bakteri Listeria monocytogenous adalah demam,
nyeri otot, terkadang gejala gastrointestinal seperti mual atau diare; gejala seperti sakit
kepala, leher kaku, linglung, hilang keseimbangan, hingga gemetar. Masa Inkubasi berkisar
3-21 hari (bahkan hingga 70 hari, pada kasus tertentu yang jarang terjadi).
2.2 Jenis Non Bakteri dan Gejalanya
2.2.1 Fungi
Fungi hidup sebagai parasit. Fungi berperan untuk mendekomposisi zat komplek. Dari
sekitar 100.000 spesies jamur, 100 diantaranya bersifat patogen (beracun). Fungi
91
menghasilkan mycotoxin, yang tahan pada suhu tinggi dan tidak dapat dihilangkan dengan
proses pemasakan. Mycotoxicoses adalah keracunan yang disebabkan karena memakan
inetabolit beracun yang diproduksi oleh jamur yang tumbuh di pangan. Racun yang
dikeluarkan jamur antara lain adalah aflatoxin, fusariai, ochratoxin.
a. Aflatoxin
Aflatoxin dihasilkan oleh mold Aspergillus sp. Aflatoxin yang berbahaya bagi manusia
adalah tipe B1, B2, G1 dan G2 (B = blue, G = green). Pangan yang terkontaminasi oleh
Aspergillus sp adalah kacang, jagung dan biji-bijian lain, tepung, bumbu. Kondisi optimum
bagi pertumbuhan Aspergillus sp adalah suhu 25-300C dan kelembaban 88 - 94%.
Gejala Keracunan
Gejala penyakit yang disebabkan oleh Mycotoxin Aflatoxin adalah keadaan Sirrosis
hati ini antara lain warna kulit berubah menjadi kuning atau bahkan menghitam, BAB hitam
kental seperti aspal.
b. Fumonisin
Fumonisin adalah myxotoxin yang dihasilkan oleh mold Fusarium sp. Batas ambang
maksimum untuk furmosin adalah 5-100 ppm. Pangan yang terkontaminasi oleh Fumonisin
adalah jagung dan serealia lainnya.
Gejala Keracunan:
Gejala penyakit yang disebabkan oleh Mycotoxin Fumonisin adalah penurunan asupan
makanan, gangguan pernapasan, serta kelainan pada organ hati dan ginjal.
c. Ochratoxin
Ochratoxin dihasilkan oleh Aspergillus ochraceus dan Penicilium verrucosum. Pangan
yang terkontaminasi oleh Aspergillus ochraceus dan Penicilium verrucosum daging babi,
daging unggas, tepung, kopi, dan anggur.
Gejala Keracunan:
Gejala penyakit yang disebabkan oleh Mycotoxin Ochratoxin adalah mual, demam,
pusing.
92
2.3 Gejala Keracunan Pangan dan Penatalaksanaannya
Gejala keracunan bergantung pada tipe pencemar dan jumlah yang tertelan. Gejala
keracunan pangan yang tercemar bakteri patogen biasanya dimulai 2-6 jam setelah
mengkonsumsi pangan yang tercemar. Namun, waktunya bisa lebih panjang (setelah beberapa
hari) atau lebih pendek, tergantung pada cemaran pada pangan. Gejala yang mungkin timbul
antara lain mual dan muntah; kram perut; diare (dapat disertai darah); demam dan menggigil;
rasa lemah dan lelah; serta sakit kepala. Untuk keracunan pangan yang umum, biasanya korban
akan pulih setelah beberapa hari. Namun demikian ada beberapa kasus keracunan pangan yang
cukup berbahaya. Korban keracunan yang mengalami muntah dan diare yang berlangsung
kurang dari 24 jam biasanya dapat dirawat di rumah saja. Hal penting yang harus diperhatikan
adalah mencegah terjadinya dehidrasi dengan minum pada korban untuk mengganti cairan
tubuh yang hilang karena muntah dan diare. Pada korban yang masih mengalami mual dan
muntah sebaiknya tidak diberikan makanan padat. Alkohol, minuman berkafein, dan minuman
yang mengandung gula juga sebaiknya dihindarkan. Untuk penanganan lebih lanjut, sebaiknya
segera bawa korban ke puskesmas atau rumah sakit terdekat. Korban keracunan yang
mengalami diare dan tidak dapat minum (misalnya karena mual dan muntah) akan memerlukan
cairan yang yang diberikan melalui intravena. Pada penanganan keracunan pangan jarang
diperlukan antibiotika. Pada beberapa kasus, pemberian antibiotika dapat memperburuk
keadaan. Jika korban keracunan pangan adalah bayi, anak kecil, orang lanjut usia, wanita
hamil, dan orang yang mengalami gangguan sistem pertahanan tubuh (imun) maka perlu segera
dibawa ke puskesmas atau rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pertolongan.
2.4 Pencegahan Keracunan Pangan
Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya keracunan pangan akibat bakteri patogen
adalah:
a. Mencuci tangan sebelum dan setelah menangani atau mengolah pangan dan saat
menggunakan toilet
b. Mencuci dan membersihkan peralatan masak serta perlengkapan makan sebelum dan
setelah digunakan.
93
c. Jangan menyiapkan atau menyajikan makanan jika ada luka atau infeksi kulit pada tangan
atau pergelangan.
d. Menjaga area dapur/tempat mengolah pangan dari serangga dan hewan lainnya.
e. Tidak meletakan pangan matang pada wadah yang sama dengan bahan pangan mentah
untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang.
f. Tidak mengkonsumsi pangan yang telah kadaluarsa atau pangan dalam kaleng yang
kalengnya telah rusak atau menggembung.
g. Tidak mengkonsumsi pangan yang telah berbau dan rasanya tidak enak.
h. Mengkonsumsi air yang telah dididihkan.
i. Memasak pangan sampai matang sempurna agar sebagian besar bakteri dapat terbunuh.
Proses pemanasan harus dilakukan sampai suhu di bagian pusat pangan mencapai suhu
aman (>700C) selama minimal 20 menit.
j. Menyimpan segera semua pangan yang cepat rusak dalam lemari pendingin (sebaiknya
suhu penyimpanan di bawah 50C) seperti susu pasteurisasi, keju, sosis, dan sari buah dalam
lemari pendingin.
k. Tidak membiarkan pangan matang pada suhu ruang lebih dari 2 jam, karena mikroba dapat
berkembang biak dengan cepat pada suhu ruang.
l. Menyimpan pangan yang tidak habis dimakan dalam lemari pendingin.
m. Membersihkan dan mencuci buah-buahan serta sayuran sebelum digunakan, terutama yang
dikonsumsi mentah.
94
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Riza Zainyddin. 2008. Cemaran Kapang pada Pakan dan Pengendaliannya. Balai Besar
Penelitian Veteriner: http://bbalitvet.litbang.pertanian.go.id/eng/attachments/143_9.pdf,
diakses pada 1 Maret 2017
Angeliya, Liza, Ruri Rumpaka Kurdiwa. 2013. Identifikasi Campylobacter jejuni dengan Metode
Polymerase Chain Reaction. Jurnal Sain Veteriner, Vol. 31, No. 2: pada 1 Maret 2017
Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia, Sentra Informasi Keracunan Nasional.
Dali, A Faiza. 2007. Kepadatan Yersinia Sp. yang Diisolasi dari Ikan Mas (Cyprinus Caprio, L).
Universitas Negeri Gorontalo:
Handoyo, Agus. 2014. Studi Kasus Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan di Desa Jembungan
Kecamatan Banyudono Boyolali. Universitas Muhammadiyah : Surakarta.
Ningsih, Riyan. 2014. Penyuluhan Hygiene Sanitasi Makanan Dan Minuman, Sertakualitas
Makanan Yang Dijajakan Pedagang di Lingkungan Sdnkota Samarinda.Diakses di
Http://Download.Portalgaruda.Org/Article.Php?Article=261792&Val=5652&Title=PENYU
LUHAN%20HYGIENE%20SANITASI%20MAKANAN%20DAN%20MINUMAN,%20S
ERTA%20KUALITAS%20MAKANAN%20YANG%20DIJAJAKAN%20PEDAGANG%
20DI%20LINGKUNGAN%20SDN%20KOTA%20samarindapadatanggal 1 Maret 2017.
Poloengan, Masniarai, etc. 2007. Patogenesis Campylibacter Terhadap Hewan dan Manusia.
Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan:
http://peternakan.litbang.pertanian.go.id/fullteks/lokakarya/lkpngan05-19.pdf, diakses pada 1
Maret 2017
Presiden RI. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Keamanan,
Mutu Dan Gizi Pangan.
Rien, Baiq H. Werdiningsih. 2010. Kondisi Sanitasi dan Keracunan Makanan Tradisional. 20(2),
131–138.
95
Siagian, Albiner. 2002. Mikroba Patogen pada Makanan dan Sumber Pencemarannya. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatra Utara:
http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-albiner3.pdf, diakses pada 1 Maret 2017
Syamsir, Elvira, 18 April, 2008, Kasus Vibrio parahaemolyticus di dalam seafood, Bandung:
http:/kesehatan.bandungkab.go.id/index.php?option=com_mtree&task=viewlink&link_id=2
0&Itemid=109, diakses pada 1 Maret 2017
Yunus, Salma P, dkk. 2015. Hubungan Personal Higiene dan Fasilitas Sanitasi dengan
Kontaminasi Escherichia Coli Pada Makanan di RumahMakan Padang Kota Manado Dan
Kota Bitung. Diakses di file:///C:/Users/HP%2014%20AMD/Downloads/7438-14622-1
SM%20(1).pdf padatanggal 1 Maret 2017.
Widowati, Retno. 2008. Keberadaan Bakteri Vibrio parahaemolyticus pada Udang yang Dijual di
Rumah Makan Kawasan Pantai Pangandaran. Vis Vitalis, vol. 01, No. 1:
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=59771&val=4487, diakses pada 1 Maret
2017
World Health Organization. 1998.
96
BAB 7
PARASIT PADA MAKANAN
Pada zaman sekarang, banyak sekali pilihan bahan makanan baik dari sumber hewani
maupun nabati yang dapat digunakan sebagai bahan makanan untuk menambah energi. Akibat dari
banyaknya pilihan makanan, muncul beberapa masalah terlebih penyakit. Salah satu penyakit yang
dapat disebabkan oleh makanan adalah penyakit akibat makanan (foodborne disease). Penyakit
bawaan makanan (foodborne disease), pada umumnya dapat bersifat toksik yaitu beracun maupun
infeksius yang artinya menyebabkan infeksi, biasanya disebabkan oleh agen penyakit yang masuk
ke dalam tubuh melalui konsumsi makanan yang terkontaminasi. Terkadang penyakit ini disebut
“keracunan makanan” (food poisoning) walaupun sebenarnya istilah ini kurang tepat. Menurut
WHO (2015), menyatakan bahwa setiap tahunnya, satu dari 10 orang merasakan sakit dan 33 juta
manusia kehilangan tahun hidup sehat (Healthy Life Years). Selain itu, penyakit bawaan makanan
juga dapat mematikan khususnya pada anak usia dibawah lima tahun. Penyakit bawaan makanan
(foodborne disease) adalah masalah global kesehatan masyarakat. Adapun perantara (agent) yang
membawa terjadinya penyakit akibat makanan (foodborne disease) adalah bakteri, virus, racun
(toksin), kimia, dan parasit. Parasit yang sering menyebabkan penyakit bawaan makanan
(foodborne disease) menurut WHO (2015) adalah Toxoplasma gondi, Taenia solium, Clonorchis
sinensis, dan Echinococcus tapeworms. Selain parasit yang telah disebutkan, terdapat parasit yang
juga dapat menjadi perantara penyakit akibat makanan seperti Trichinella. Penyakit akibat
makanan (foodborne disease) juga sering terjadi pada masyarakat menengah ke bawah dan
terkadang dapat menyebar dengan cepat di sepanjang rantai makanan dan lintas batas sehingga
butuh perhatian khusus untuk mengurangi dampak agen penyakit khususnya parasit dalam
kejadian penyakit akibat makanan (foodborne disease).
97
2.1. Ascaris lumbricoides
2.1.1. Siklus Hidup
Gambar 2.1. Siklus Hidup dan Morfologi Ascaris lumbricoides
Cacing dewasa berbentuk silinder, dengan anterior (ujung depan) meruncing.
Ascaris lumbricoides merupakan cacing parasit terbesar dari parasit nematoda umum
manusia dengan betina berukuran panjang 20-35 cm dan jantan berukuran panjang 15-
31 cm, dengan posterior akhir (bagian belakang) melengkung. Juga, tiga bibir well
developed merupakan ciri khas dari kelompok cacing ini. Infeksi pada manusia
diperoleh melalui konsumsi telur berembrio dari tanah yang terkontaminasi. Jika
tertelan, telur menetas di dalam lambung dan duodenum, di mana larva aktif menembus
dinding usus. Setelah menembus dinding usus, mereka kemudian dibawa ke jantung
kanan melalui portal hepatik sirkulasi. Kemudian pembentukan larva dilakukan di
dalam sirkulasi paru-paru, di mana mereka disaring oleh kapiler. Setelah sekitar 10 hari
di paru-paru, larva kemudian masuk ke alveoli, bermigrasi melalui bronkus sampai
mereka mencapai trakea dan faring, dan kemudian ditelan. Cacing kemudian menjadi
98
dewasa dan kawin di usus, dengan produksi akhirnya telur masuk ke dalam tinja.
Seluruhnya proses perkembangan dari konsumsi telur ke bagian telur dari betina dewasa
membutuhkan waktu 8 sampai 12 minggu. Selama rentang hidupnya, deposisi telur
dapat mencapai total 27.000.000 telur. Kedua telur, baik yang dibuah maupun tidak
dibuahi dikeluarkan begitu saja. Terkadang hanya cacing betina yang dapat pulih dari
usus. Telur yang dibuahi akan menjadi infektif dalam waktu 2 minggu jika mereka
berada di tempat yang lembab. Tanah hangat merupakan tempat terbaik telur cacing
dapat bertahan hidup, di mana mereka dapat tetap bertahan hidup selama berbulan-bulan
atau bahkan bertahun-tahun. Telur yang telah dibuahi biasanya berbentuk oval, tebal,
dilapisi oleh mantel, dan biasanya diwarnai empedu berwarna cokelat keemasan. Telur
ini memiliki ukuran panjang sampai dengan 75 µM dan lebar 50 µm. Apabila telur tidak
dibuahi, bentuk telur biasanya lebih oval, memiliki ukuran panjang 90 µm dan mungkin
memiliki lapisan mantel yang sangat minim. Seringkali kedua jenis telur ditemukan
dalam spesimen tinja yang sama dan biasanya hanya cacing betina yang terdapat dalam
usus.
Gambar 2.2. Morfologi Cacing Dewasa dan Telur Cacing
2.1.1. Patogenesis
Patogenesis disebabkan oleh infeksi Ascaris sering dikaitkan oleh kekebalan host,
99
efek migrasi larva, efek mekanik dari cacing dewasa, dan kekurangan gizi karena adanya
cacing dewasa. Gejala awal adanya pneumonitis jika jumlah larva cukup besar. Ketika
larva keluar dari jaringan paru-paru dan ke dalam alveoli, kemungkinan ada beberapa
kerusakan bronkial epitel. Dengan reinfeksi dan migrasi larva berikutnya, mungkin ada
reaksi jaringan intens, bahkan dengan sejumlah kecil larva. Reaksi jaringan di sekitar
larva di hati dan paru-paru dengan infiltrasi eosinofil, makrofag, dan sel-sel epitel. Hal
ini disebut Ascaris pneumonitis dan disertai oleh reaksi alergi yang terdiri dari dyspnea,
batuk kering atau berdahak, demam (39,9-40,0 ° C), eosinofilia sementara, dan terdapat
seperti virus pneumonia. Kehadiran cacing dewasa dalam usus biasanya tidak
menimbulkan kesulitan kecuali massa cacing dewasa yang sangat berat. Migrasi cacing
dapat mengakibatkan rangsangan seperti demam (biasanya lebih dari 38,9°C),
penggunaan anestesi umum, atau kondisi abnormal lainnya. Migrasi ini dapat
mengakibatkan penyumbatan usus. Selain itu, migrasi dapat masuk ke dalam saluran
empedu, saluran pankreas, atau ruang-ruang kecil lainnya atau masuk ke hati atau
rongga peritoneum. Mereka juga dapat bermigrasi keluar dari anus atau keluar mulut
atau hidung. Pada anak-anak, terutama mereka yang berusia di bawah lima tahun,
kemungkinan terdapat penurunan berat badan terkait beban cacing. Efek langsung dapat
terukur dengan cara peningkatan nitrogen tinja dan lemak tinja, serta gangguan
penyerapan karbohidrat yang akan kembali normal apabila cacing dewasa dimusnahkan.
Cacing bisa juga spontan menghilang meskipun tanpa terapi apapun.
2.1.3. Pencegahan
Pencegahan penyakit Ascariasis membutuhkan pendidikan, kebiasaan, dan kebudayaan
hidup bersih dan sehat yang baik. Hal ini dapat dilakukan dengan cara melakukan sistem
pengolahan tinja setahun sekali karena telur biasanya bersifat patogen dan paling sulit
untuk telur dan biasanya telur dapat bertahan 1-3 tahun. Infeksi juga dapat terjadi ketika
makanan yang hendak dikonsumsi ditangani tanpa menghapus atau membunuh telur
cacing di tangan, pakaian, rambut, sayuran mentah/buah, atau makanan yang dimasak
yang terinfeksi oleh penangan, kontainer, dll. Telur Ascaris dapat dikurangi dengan
pemakaian kompos, tetapi untuk benar-benar membunuh, dapat melakukan beberapa
100
hal berikut, seperti menggosok makanan dengan menggunakan alkohol, pemasakan
dengan suhu tinggi, dan pengomposan dengan panas (lebih dari 120 Fehr).
2.2. Trichinella
2.2.1. Siklus Hidup
Berikut merupakan siklus hidup dari Trichinella sp.
1. Beberapa jam setelah hewan mencerna daging yang mengandung larva Trichinella
spp., cacing kemudian dibebaskan dari otot mereka dan menghasilkan kista di perut
hewan selama proses pencernaan. Larva kemudian bermigrasi ke usus kecil dan
menembus mukosa usus yang berada di dalam sel-sel epitel.
2. Larva mengalami empat langkah peranggasan dalam kurun waktu 30 jam untuk
menjadi cacing dewasa yang belum matang, baik cacing jantan atau betina.
3. Cacing dewasa berjalan melalui sel-sel epitel di usus kecil dan kawin di dalam mukosa.
Cacing dewasa dapat hidup dan berkembang biak selama kurang lebih 10 hari sampai
beberapa minggu, tergantung pada host.
101
4. Telur berkembang dalam cacing betina, dan larva disimpan dalam dinding usus dalam
kurun waktu 4 sampai 7 hari setelah infeksi awal.
5. Larva dengan panjang 100 µm panjang dan diameter 6 µm, bermigrasi dari usus melalui
limfatik mukosa dan kelenjar getah bening regional menuju saluran toraks, dan
kemudian masuk ke sirkulasi vena. Cacing tersebut kemudian di distribusikan ke
seluruh tubuh oleh sirkulasi perifer.
6. Setelah mencapai otot rangka, yang biasanya paling sering terdapat pada diafragma,
lidah, dan masseter, larva menembus membran meliputi serat otot untuk memasuki sel-
sel otot, sedini 5 hari setelah infeksi. Mereka menginduksi perubahan dalam tuan rumah
sel untuk meningkatkan kelangsungan hidup mereka sendiri.
102
7. Dalam sel otot, larva coil dan, di sebagian besar spesies Trichinella, sel otot host
berubah menjadi seorang perawat sel untuk mengelilingi dan merangkum larva dengan
kolagen dan lapisan jaringan ikat. melingkar larva dan biasanya mengambil 3 minggu
atau lebih.
8. Dikemas larva menyerap nutrisi dari sarcoplasm otot host dan tumbuh menjadi infektif
di sekitar 4 sampai 8 minggu. Mereka tetap tidak aktif sampai mereka dimakan oleh
host lain. Dalam beberapa kasus, tuan rumah mungkin dinding dari larva, menyebabkan
kematian.
2.2.2. Diagnosis
Secara umum, diagnosis klinis awal Trichinellosis dapat dikatakan agak sulit
karena tanda-tanda atau gejala patognomonik kurang terlihat dan juga kemudian penyakit
ini dapat dikatakan sebagai penyakit kronis kronis sehingga tidak mudah untuk
didiagnosa. Selanjutnya, dokter praktik di negara non-endemi penyakit ini biasanya tidak
103
terbiasa dengan penyakit dan dengan demikian mungkin mengalami masalah dalam
mendiagnosis trichinellosis. Masalah ini dapat menjadi jelas ketika adanya keterlambatan
diagnostik. Dalam penelitian kohort menunjukkan bahwa diagnosis biasanya dibuat pada
tahap akhir penyakit. Hal ini menjadi perhatian bagi pasien, karena keterlambatan dalam
diagnosis dan pengobatan dapat mengakibatkan pembentukan larva di jaringan otot dan
pengembangan kapsul kolagen yang sangat lama dan mengakibatkan larva resisten
terhadap obat.
Diagnosis trichinellosis termasuk sulit untuk kasus terisolasi dan kursus klinis
atipikal. Karena itu, trichinellosis harus dibedakan dari berbagai penyakit lainnya yang
temuan klinis yang serupa mungkin terjadi. Diagnosis trichinellosis harus didasarkan
pada tiga Kriteria utama yaitu temuan klinis (pengakuan tanda-tanda dan gejala
trichinellosis), temuan laboratorium (nonspesifik parameter laboratorium (eosinofilia dan
otot enzim), deteksi antibodi, dan / atau deteksi larva dalam biopsi otot); dan
penyelidikan epidemiologi (identifikasi dari sumber dan asal studi infeksi dan wabah).
2.2.3. Pencegahan
Hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak dari penyakit akibat cacing ini, adalah
dengan menggunakan tiga pendekatan utama, yaitu:
a. Pendidikan konsumen mengenai risiko konsumsi daging mentah atau semiraw, produk
daging dalam negeri seperti babi, kuda, dan anjing dan sylvatic (Misalnya, babi hutan,
beruang, singa laut, puma, luak, rubah, serigala, armadillo, buaya, dan biawak). Hewan
yang bisa menjadi pembawa parasit Trichinella apabila pada saat pemeriksaan daging
tidak benar-benar diuji keberadaan larva Trichinella.
b. Perternakan babi (sumber yang paling penting dari infeksi Trichinella untuk manusia).
Hal ini perlu adanya kontrol ketat dari dokter hewan di daerah peternakan babi dengan
melihat penggunaan bahan pakan bersertifikat, keadaan industri yang baik, dan kandang
babi yang sehat.
c. Kontrol dari semua hewan yang rentan (baik domestik dan sylvatic) dengan metode
pembuatan pencernaan buatan standar pada saat disembelih atau setelah diburu. Semua
104
daging dari hewan yang kemungkinan berisi larva Trichinella tetapi tidak dapat diuji
dengan metode laboratorium yang sesuai, harus melakukan prosedur yang telah terbukti
dapat mematikan cacing Trichinella sebelum didistribusikan untuk konsumsi manusia.
Hal ini berlaku baik sumber daging yang berasal dari komersial (yang sudah terdapat
sertifikat yang baik) maupun non-komersial sumber daging.
Tiga metode telah terbukti efektif dalam menonaktifkan larva Trichinella dalam daging,
yaitu:
a. Memasak dengan suhu tidak kurang dari 71°C (159,8°F) selama minimal 1 menit
(dengan catatan daging harus berubah warna dari merah muda menjadi abu-abu, dan
serat otot yang mudah terpisah satu sama lain)
b. Pembekuan
c. Iradiasi
Sedangkan metode yang dianggap kurang aman dalam persiapan daging dan produk olahan
daging, adalah pemasakan dengan menggunakan microwave oven dan curing atau
pengeringan.
Pencegahan Trichinella Infeksi pada Manusia
Untuk persiapan yang tepat dari penggunaan bahan baku daging harus mengikuti pedoman
yang sama dikeluarkan oleh pemerintah untuk konsumen. Perhatian khusus harus diberikan
kepada kehadiran Trichinella beku-tahan spesies atau genotipe dalam daging. Pembekuan
dilakukan untuk menonaktifkan Trichinella larva dalam daging. Dengan ketiadaan suhu
yang tepat dan waktu kontrol dan pemantauan sistem, prosesor dan konsumen daging harus
memastikan bahwa luka atau potongan daging hingga 15 cm dengan ketebalan yang
membeku (Setidaknya 15 C (5°F)) selama tidak kurang dari 3 minggu, dan pemotongan dan
potongan daging hingga 50 cm dengan ketebalan harus membeku untuk tidak kurang dari 4
minggu. Persyaratan untuk pembekuan dibatasi untuk babi yang terinfeksi T. spiralis saja .
Memang, T. larva britovi dalam daging babi telah selamat sampai 3 minggu pada 20 ° C (4
° F) . Sejak larva T. spiralis di daging kuda beku di 18 ° C (0.4 ° F) dapat bertahan hingga 4
minggu , dan daging kuda sering dijadikan pelabuhan spesies Trichinella, pembekuan
merupakan risiko kesehatan masyarakat bahkan setelah berbulan-bulan atau tahun (sampai
105
5 tahun di daging beruang) pengobatan. Sementara beku-tahan spesies Trichinella memiliki
infektivitas rendah untuk babi, infeksi tersebut tidak dapat diabaikan dalam spesies host lain
di daerah di mana spesies parasit endemik (misalnya, utara lintang).
Iradiasi untuk menonaktifkan Trichinella larva dalam daging. Penyinaran terbukti
meningkatkan menonaktifkan Trichinella (0,3 kGy) ini adalah metode yang dapat diterima
untuk rendering daging yang aman untuk di konsumsi manusia di negara-negara di mana
iradiasi makanan diperbolehkan.
Iradiasi direkomendasikan hanya untuk makanan kemasan yang disegel. Pengasapan untuk
menonaktifkan Trichinella larva dalam daging. Proses pengasapan dan tidak dianjurkan
untuk menonaktifkan larva Trichinella dalam daging babi, kuda, atau daging olahan.
Meskipun Studi validasi individu telah menunjukkan bahwa berbagai kombinasi garam,
temperatur, dan waktu pengeringan akan menonaktifkan larva Trichinella, menyembuhkan
dan pengasapan adalah metode yang sulit untuk andal memantau dan kontrol. Curing harus
digunakan hanya setelah studi validasi ekstensif sukses pada penggunaan kontrol proses
yang ketat dan protokoler.
Taenia spp. panjang, tersegmentasi, cacing pita parasit (keluarga taeniidae, subclass
Cestoda). Parasit ini memiliki siklus hidup langsung, siklus antara definitif dan hospes
perantara. Spesies Taenia berikut zoonosis, dengan manusia yang sebagai host definitif, host
menengah, atau keduanya. spesies non-zoonosis dari Taenia juga ada.
Taeniasis
Cacing pita dewasa hidup di usus host definitif. Infeksi ini disebut taeniasis. Manusia adalah
host definitif untuk Taenia solium (daging babi cacing pita) dan T. saginata (daging sapi
cacing pita). Manusia juga host definitif untuk T. asiatica, cacing pita baru diakui ditemukan
di Asia. Saat ini tidak pasti apakah T. asiatica adalah subspesies T. saginata (T. saginata
asiatica) atau terpisah jenis. Hewan adalah host definitif untuk T. crassiceps, T. Ovis, T.
taeniaeformis, T. hydatigena, T. multiceps, T. serialis dan T. brauni. Taenia larva ditemukan
di otot, sistem saraf pusat (SSP), dan jaringan lain dari host intermediate. Larva yang lebih
mungkin menyebabkan penyakit dari pada cacing pita dewasa. Ada dua bentuk infeksi larva,
cysticercosis dan coenurosis.
106
Sistiserkosis
Infeksi dengan bentuk larva dari Taenia solium, T. saginata, T. crassiceps T. Ovis, T.
taeniaeformis atau T. hydatigena disebut cysticercosis. Larva ini organisme disebut
cysticerci (tunggal: sistiserkus). Pada suatu waktu, larva dan cacing pita dewasa yang
dianggap spesies yang berbeda. Untuk alasan ini, larva kadang-kadang disebut dengan nama
yang berbeda: Tahap larva T. solium kadang-kadang disebut sistiserkus cellulosae. Tahap
larva T. saginata kadang-kadang disebut bovis sistiserkus. Tahap larva T. crassiceps kadang-
kadang disebut longicollis sistiserkus. Manusia dapat host intermediate untuk T. solium, T.
crassiceps, T. Ovis, T. taeniaeformis dan T. hydatigena. T. solium sering ditemukan di
manusia; empat spesies lain yang sangat langka. T. solium adalah spesies Taenia hanya
untuk yang manusia baik definitif dan hospes perantara. Hewan dapat host intermediate
selama lima spesies ini serta untuk T. saginata dan T. asiatica.
Coenurosis
Infeksi dengan bentuk larva T. multiceps, T. serialis dan T. brauni disebut coenurosis. Tahap
larva disebut coenurus (jamak: coenuri). Tahap larva dari T. multiceps kadang-kadang
disebut Coenurus Cerebral. Tahap larva T. serialis kadang-kadang disebut Coenurus serialis.
Tahap larva T. brauni kadang-kadang disebut Coenurus brauni. Manusia dapat menjadi tuan
rumah perantara untuk T. multiceps, T. serialis dan T. brauni. Hewan juga bisa host
intermediate selama tiga spesies ini.
2.3. Taeniasis
2.3.1. Siklus Hidup Taeniasis
Host definitif untuk Taenia spp. biasanya karnivora. Sebuah host definitif dapat
terinfeksi Taeniasis ketika mengonsumsi jaringan dari host perantara yang mengandung
larva. Larva melekat pada usus kecil dan berkembang menjadi cacing pita dewasa.
Waktu yang diperlukan T. saginata menjadi dewasa setelah 10 sampai 12 minggu
sedangkan T. solium dapat menjadi dewasa setelah 5 sampai 12 minggu. Cacing dewasa
terdiri dari scolex, yang melekat pada usus, diikuti oleh proglottids leher dan belum
dewasa, matang dan gravid (Segmen). Proglottids gravid yang mengandung telur,
107
melepaskan diri dari cacing dan menumpahkan ke dalam tinja. Proglottids dari beberapa
spesies juga bergerak melalui sfingter anal dengan bantuan lingkungan yang
mengakibatkan telur menjadi infektif. Pada manusia, taeniasis disebabkan oleh
makanan yang berasal dari daging babi (T. solium dan T. asiatica) atau daging sapi (T.
saginata) yang tidak dimasak dengan baik. T. solium dewasa memiliki panjang sekitar
2-7 m panjang dan dapat hidup sampai 25 tahun. Meski hingga 25 cacing pita telah
dicatat di satu orang, biasanya hanya ada satu. Telur yang umumnya menumpahkan
dalam proglottid, yang tetap di bolus tinja dan hancur di lingkungan. Telur-telur dapat
disebarkan oleh hujan dan angin dan dapat mencemari vegetasi dan air. T. telur solium
dapat bertahan di lingkungan selama beberapa minggu atau bulan. Dewasa T. saginata
bisa panjang 4-25 meter, meskipun kebanyakan 5 meter atau kurang. Mereka dapat
hidup selama 5 sampai 20 tahun atau lebih. The proglottids gravid dari T. saginata
biasanya lebih motil dibandingkan T. solium. Mereka pindah dari kotoran dan
mematuhi rumput. T. saginata telur bisa bertahan hidup selama beberapa minggu atau
bulan di air dan di rumput. Dalam dataran tinggi Kenya, T. saginata telur telah
dilaporkan ke bertahan sampai satu tahun. Pada hewan, taeniasis disebabkan oleh T.
crassiceps, T. Ovis, T. taeniaeformis, T. hydatigena, T. multiceps, T. Serialis dan T.
brauni dan diperoleh dengan makan jaringan dari berbagai host intermediate termasuk
ruminansia, kelinci dan hewan pengerat.
Host intermediate - Sistiserkosis dan Coenurosis
Host intermediate biasanya herbivora, tetapi larva juga sesekali ada pada anjing dan
kucing. Sebuah hospes perantara menjadi terinfeksi ketika menelan telur (atau
proglottids yang mengandung telur), yang ditumpahkan di tinja host definitif. Telur
dapat dilakukan pada fomites, dan dapat disebarkan oleh serangga coprophagous dan
burung. Hewan Herbivora dapat memperoleh telur di padang rumput, vegetasi, atau air
yang terkontaminasi. Pada manusia, biasanya tertelan telur cacing pita pada buah-
buahan dan sayuran atau memperoleh mereka langsung dari tanah. Manusia juga dapat
terinfeksi oleh air yang terkontaminasi. Manusia yang membawa T. solium dewasa pada
usus dapat menginfeksi diri dan telur tertumpah dalam kotoran mereka sendiri yang
mengakibatkan cysticercosis. Autoinfeksi dengan reverse peristaltik dari telur atau
108
proglottids mungkin terinfeksi dalam usus tetapi belum terbukti kebenarannya. Anak-
anak yang bermain di kotoran khususnya tanah dapat terkontaminasi dengan larva T.
multiceps, T. serialis atau T. Brauni dan langsung menyerang ke konjungtiva atau kulit.
Penetasan telur biasanya terjadi apabila telur telah terpapar oleh sekresi lambung dan
diikuti oleh sekresi usus. Telur menetas dalam usus, menembus dinding usus, dan
menyerap di dalam darah di seluruh jaringan. Dalam jaringan, larva (juga disebut
metacestodes) kemudian berkembang biak menjadi cysticerci atau coenuri.
Sistiserkosis
Bentuk larva dari Taenia solium, T. saginata, T. crassiceps, T. Ovis, T. taeniaeformis
atau T. hydatigena adalah sistiserkus. Cysticerci adalah vesikel berisi cairan yang
mengandung protoscolex tunggal terbalik. Dalam jaringan selain mata, ventrikel
verebral atau ruang subarachnoid dari otak, kista ini dikelilingi oleh kapsul fibrosa
jaringan cysticerci yang biasanya lonjong dan berdiameter kurang lebih sekitar 1 cm,
tetapi T. solium cysticerci dapat tumbuh sekitar 10-15 cm di berbagai bidang seperti
ruang subarachnoid dari otak. Sebuah host dapat memiliki satu untuk ratusan kista.
Bentuk ini dapat berkembang biak, yang disebut racemose cysticercosis, adalah sesekali
terlihat. larva ini, yang terjadi terutama di dasar otak, terdiri dari massa seperti anggur
mengandung beberapa kandung kemih terhubung dari berbagai ukuran. Itu protoscolex,
jika ada, biasanya mati. Tidak pasti apakah cysticercosis racemose adalah T. solium
sistiserkus menyimpang, yang sistiserkus dari spesies lain, atau coenurus steril.
Cysticerci biasanya tidak merangsang inflamasi Tanggapan saat mereka masih hidup,
atau setelah mereka meninggal dan menjadi kalsifikasi. Namun, sementara mereka
merosot mereka bisa menjadi meradang. Pada sapi, T. saginata cysticerci mulai mati
dalam beberapa minggu, dan setelah 9 bulan cacing mati sedangkan spesies lain dapat
bertahan hidup selama bertahun-tahun. Cysticerci dalam berbagai tahap kelayakan
dapat terjadi secara bersamaan dalam sebuah host. Cysticerci dapat ditemukan hampir
di mana saja, tetapi masing-masing spesies memiliki kecenderungan untuk jaringan
tertentu. Pada babi, T. solium cysticerci ditemukan terutama di tulang atau jantung otot,
hati, jantung dan otak. Pada manusia, spesies ini paling sering ditemukan dalam jaringan
109
subkutan, skeletal otot, mata dan otak. Penyakit serius hampir selalu disebabkan oleh
cysticerci di CNS (neurocysticercosis) atau jantung.
T. saginata pada sapi dan T. Ovis pada domba ditemukan terutama di otot.
T. asiatica dan T. taeniaeformis cysticerci adalah biasanya ditemukan dalam
hati, sementara T. hydatigena adalah juga ditemukan di dalam rongga perut.
T. crassiceps larva biasanya ditemukan di jaringan subkutan, dan peritoneal atau
pleura rongga. replikasi aseksual T. Crassiceps larva terjadi pada tikus host
intermediate.
Coenurosis
Bentuk larva T. multiceps, T. serialis dan T. brauni disebut coenurus. Sebuah coenurus
adalah vesikel yang berisi beberapa protoscolices terbalik, melekat pada membran internal
kista. kista putri dapat dilihat dalam beberapa coenuri, baik mengambang bebas atau
melekat oleh tangkai. Kehadiran kista putri bervariasi dengan jaringan coenuri di mata dan
jaringan subkutan biasanya unilocular, tapi coenuri di CNS sering multilokular. Setiap
protoscolex dapat tumbuh menjadi cacing pita jika dicerna oleh tuan rumah definitif.
T. multiceps coenuri biasanya 2-6 cm di diameter dan mengandung beberapa untuk
lebih dari seratus protoscolices. Pada manusia, larva ini biasanya ditemukan dalam otak
(neurocoenurosis), mata atau jaringan subkutan. infeksi SSP lebih umum di daerah
beriklim, dan okular atau infeksi subkutan lebih umum di tropis. Pada hewan, T.
multiceps coenuri adalah biasanya ditemukan di CNS.
T. serialis coenuri biasanya ditemukan di jaringan subkutan, otot dan retroperitoneally.
Pada manusia, beberapa larva memiliki juga telah ditemukan di otak.
Larva T. brauni cenderung ditemukan di jaringan subkutan dan mata.
2.3.3 Tanda klinis
Taeniasis
Tanda-tanda klinis, kecuali untuk bagian dari proglottids, yaitu jarang di host
definitif. Gejala, jika ada, yang biasanya terbatas pada unthriftiness, malaise, lekas marah,
110
penurunan nafsu makan dan diare ringan atau kolik. Intususepsi, kekurusan dan kejang
telah dilaporkan tetapi sangat jarang.
Sistiserkosis dan coenurosis
Gejala-gejala cysticercosis dan coenurosis yang disebabkan terutama oleh
peradangan yang terkait dengan merosot larva, atau dengan efek mekanik parasit. Jenis dan
tingkat keparahan dari tanda-tanda klinis tergantung pada jumlah dan lokasi dari larva. T.
multiceps coenurosis dapat menyebabkan neurologis tanda-tanda di ruminansia.
coenurosis akut paling sering dilihat di domba muda. Tanda-tanda klinis biasanya terbatas
demam sementara, kelesuan dan neurologis ringan tanda-tanda seperti sebagai kepala
miring sedikit. penyakit yang lebih berat, termasuk akut meningoencephalitis, kejang dan
kematian dapat terjadi dengan sejumlah besar parasit. Gejala dari T.multiceps coenuri
muncul lebih lambat, yang paling umum di 16-18 bulan domba tua, dan berbeda dengan
lokasi parasit di otak atau sumsum tulang belakang. Mereka mungkin termasuk kelainan
perilaku, berputar-putar, ataksia, hypermetria, kebutaan, penyimpangan kepala,
kelumpuhan, kejang, hipereksitabilitas atau tanda-tanda neurologis lainnya, serta sujud dan
kekurusan. Tanda-tanda pada hewan yang terinfeksi oleh spesies Taenia lainnya. T. solium
cysticercosis adalah jarang menyebabkan encephalomyelitis parasit pada anjing., Coenuri
terutama T. serialis, dilaporkan sesekali di CNS kucing. Gejala sangat bervariasi, dan
tergantung pada lokasi dan jumlah larva. Multifokal tanda-tanda termasuk ataksia, jatuh
dengan episode ekstensor kekakuan, lesu, agresi mendadak, gangguan penglihatan, dan
depresi dapat dilihat jika herniates otak. Tanda-tanda klinis jarang terjadi pada babi yang
terinfeksi T.solium dan sapi yang terinfeksi dengan T. saginata. T. solium dapat kadang-
kadang menyebabkan hipersensitivitas dari moncong, kelumpuhan lidah, kejang, demam
dan kekakuan otot pada babi. Sejumlah besar T.Saginata dapat mengakibatkan demam,
kelemahan, anoreksia, dan kekakuan otot pada sapi. Kematian telah dilaporkan sebagai
hasil dari myocarditis selama infeksi eksperimental. spesies Taenia lain kadang-kadang
dapat menyebabkan perut distensi, lesu, penurunan berat badan atau tanda-tanda lain yang
berhubungan dengan infeksi perut atau hati, terutama di host seperti sebagai kelinci.
111
Pencegahan
Cysticercosis dan coenurosis pada ternak dapat menurun dengan mencegah atau
mengobati taeniasis di tuan rumah definitif. Anjing yang berhubungan dengan ternak,
khususnya domba, seharusnya tidak diperbolehkan untuk makan bangkai hewan dengan
coenurosis, dan harus dewormed teratur. Lain anjing seharusnya tidak diperbolehkan dekat
binatang. Untuk mencegah Infeksi dengan T. solium, T. saginata atau T. asiatica, hewan
seharusnya tidak terkena kotoran manusia. Taeniasis pada kucing dan anjing bisa
berkurang dengan tidak memungkinkan anjing untuk hewan pengerat berburu atau host
intermediate lainnya, dan tidak makan bangkai mentah atau setengah matang. Tidak ada
vaksin yang tersedia saat ini. Vaksin A T. Ovis diproduksi di masa lalu tapi vaksin cacing
pita memiliki, di umum, tidak layak secara ekonomis.
DAFTAR PUSTAKA
BrusBruschi, F., Pathology, E., & Pisa, U. (n.d.). Review Article Trichinellosis in developing
countries : is it neglected ?chi, F., Pathology, E., & Pisa, U. (n.d.). Review Article
Trichinellosis in developing countries : is it neglected ?
Gottstein, B., Pozio, E., & No, K. (2009). Epidemiology , Diagnosis , Treatment , and Control of
Trichinellosis, 22(1), 127–145. https://doi.org/10.1128/CMR.00026-08
Hossain, A. (2014). Ascaris lumbricoides, (March 2009), 1–19.
Mitreva, M., & Jasmer, D. P. (2006). Biology and genome of Trichinella Table of Contents, 1–21.
https://doi.org/10.1895/wormbook.1.124.1
National Wildlife Health Center. (n.d.). Trichinosis Circular 1388.
112
Pozio, E. (2007). World distribution of Trichinella spp . infections in animals and humans, 149,3–21. https://doi.org/10.1016/j.vetpar.2007.07.002
The Center for Food Industry and Public Health. (2005). Taenia Infections, 1–8.
WHO Estimate of Burden Disease. (2015). Infographics of Waterborne Disease.
Widiastuti, D., & Astuti, N. T. (2009). Trichinella spiralis, Cacing yang Menginfeksi Otot, 5(1),24–25.
World Health Organization. (n.d.). Penyakit bawaan makanan : suatu permasalahan kesehatan danekonomi global, 1–53.
World Health Organization. (2015). Key foodborne diseases and hazards, 2015.
Ascaris lumbricoides. (n.d.). 2012, 1–7.
113
BAB 8
PENCEGAHAN BAHAYA PENCEMARAN LINGKUNGAN
Pencemaran lingkungan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas
hidup makhluk hidup disekitarnya sehingga masalah pencemaran lingkungan ini menjadi
salah satu hal yang krusial. Pencemaran lingkungan sering kali dikaitkan dengan
keberadaan industri. Hal ini tidak lepas dari kegiatan industri yang mengunakan bahan-
bahan kimia yang berbahaya terutama limbah industri jika dibuang langsung ke lingkungan
sekitar tanpa melalui proses pengolahan lebih lanjut sehingga bahan-bahan tersebut dapat
diurai oleh mikroorganisme di lingkungan pembuangannya.
Pencemaran air yaitu masuknya mahluk hidup, zat, energi atau komponen lain ke
dalam air atau udara. Pencemaran juga bisa berarti berbuahnya tatanan (komposisi) air atau
udara oleh kegiatan manusia dan proses alam, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat
tertentu yang menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Untuk
mencegah terjadinya pencemaran terhadap lingkungan oleh berbagai aktivitas lingkungan
industry dan aktivitas lingkungan manusia, maka diperlukan pengendalian terhadap
pencemaran lingkungan dengan menetapkan baku mutu. Menurut Kristanto (2002:71)
pencemaran air adalah penyimpangan sifat-sifat air dari keadaan normal.
Saat ini banyak sekali kita temui sungai-sungai di sekitar kita sudah tercemar.
Pencemaran sungai terjadi karena pergeseran paradigma dan kebudayaan masyarakat.
Nilai-nilai perlindungan alam yang eksis dalam berbagai bentuk seperti pantangan dan
pamali tidak lagi dipandang oleh masyarakat. Air dapat menjadi sumber malapetaka
apabila tidak dijaga, baik dari segi manfaatnya maupun pengamanannya. Misalnya dengan
tercemarnya air oleh zat-zat kimia selain mematikan kehidupan yang ada disekitarnya juga
merusak lingkungan, dan apabila dari segi pengamanan. tidak dilakukan pengawasan dapat
mengakibatkan banjir, tanah longsor dan sebagainya.
114
2.1 Definisi Pencemaran Lingkungan
Lingkungan biasanya diartikan sebagai sesuatu yang ada di sekeliling kehidupan atau
organisme. Lingkungan adalah kumpulan dari segala sesuatu yang membentuk kondisi dan
akan mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung baik kepada kehidupan dalam
bentuk individual maupun kuminitas pada tempat tertentu.
Pencemaran adalah perubahan yang tak dikehendaki dari lingkungan yang sebagian besar
akibat dari kegiatan manusia (Darmono, 1995). Perubahan ekosistem atau habitat dapat berupa
perubahan fisik, kimia, atau perilaku biologis yang akan mengganggu kehidupan manusia,
spesies, biota bermanfaat, proses- proses industri, kondisi kehidupan, dan aset kultural. Selain
itu perubahan ekosistem akibat kegiatan manusia yang merusak atau menghamburkan secara
sia-sia sumberdaya yang ada di alam (Palar,1994).
Pencemaran lingkungan hidup menurut undang-undang No.23 tahun 1997, yaitu masuknya
atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan
hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitas lingkungan menurun sampai tingkat tertentu
yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya
(Anonim, 1997). Sumber pencemaran adalah setiap kegiatan yang membuang bahan pencemar.
Bahan pencemar tersebut dapat berbentuk padat, cair, gas atau partikel tersuspensi dalam kadar
tertentu ke dalam lingkungan, baik melalui udara, air maupun daratan pada akhirnya akan
sampai pada manusia. Daur pencemaran lingkungan akan memudahkan di dalam melakukan
penelitian dan pengambilan contoh lingkungan serta analisis contoh lingkungan (Wardhana,
2001).
2.2 Sumber Terjadinya Pencemaran Lingkungan
Uraian sebelumnya kita ketahui bahwa bahan kimia yang tersebar dalam lingkungan fisik
ini ada yang bermanfaat dan sangat diperlukan kehadirannya dalam jumlah sebanyak mungkin,
115
ada yang berguna dalam kadar tertentu ada pula yang betul-betul bersifat sebagai racun dan
berbahaya bagi kehidupan manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Bahan-bahan kimia
yang kehadirannya dalam lingkungan hidup dapat menyebabkan terganggunya kesejahteraan
hidup manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan disebut bahan pencemar. Sebagai sumber
utama terjadinya pencemar adalah :
Proses-proses alam, antara lain pembusukan secara biologis, aktivitas gunung
berapi, terbakarnya semak-semak, dan halilintar.
Pembuatan/aktivitas manusia, seperti:
a) Hasil pembakaran bahan bakar yang terjadi pada industri dan kendaraan
bermotor.
b) Pengolahan dan penyulingan bijih tambang mineral dan batubara.
c) Proses-proses dalam pabrik
d) Sisa-sisa buangan dari aktivitas-aktivitas tersebut di atas
Pencemaran lingkungan ini sudah terjadi sejak jaman dahulu kala, sejak adanya manusia,
tetapi baru abad 20 pencemaran yang diakibatkan karena manusia ini menjadi pokok bahasan
pada semua kalangan masyarakat dan perlu mendapat penanganan dan pengawasan secara
serius. Faktor-faktor penyebab terjadinya pencemaran lingkungan sebagai hasil sampingan
perbuatan manusia meliputi;
Faktor Industrialisasi.
Faktor Urbanisasi.
Faktor Kepadatan Penduduk.
Faktor Cara Hidup.
Faktor Perkembangan Ekonomi.
Faktor-faktor di atas saling mempengaruhi secara kompleks. Apabila salah satu faktor
terjadi, maka faktor lainnya dapat terjadi, dengan demikian terjadinya pencemaran lingkungan
tidak dapat dihindari.
Aktivitas manusia dan hasil samping yang ditimbulkan :
Rumah tangga : pembuangan kotoran limbah ke suangi, pencemaran udara, dll
Transportasi : pencemaran udara akibat polusi, asap kendaraan, suara kecelakaan,
116
Industry dan Pabrik : pencemaran udara akibat tanah sampah atau sisa-sisa
makanan serta pencemaran panas dari pabrik, dll
Pertambangan : sampah atau sisa-sisa hasil limbah pertambangan yang di buang
sehingga tanah, air dan udara dapat tercemar oleh sisa-sisa pembuangan limbah.
Pertanian : pencemaran air, pencemaran lingkungan akibat pembuangan kotoran,
kebutuhan air yang terbatas karena sudah tercemar limbah jamban.
2.3 Jenis-Jenis Pencemaran Lingkungan
Berdasarkan medium fisik lingkungan tempat tersebarnya bahan kimia ini, maka
pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh bahan kimia dapat dibagi menjadi tiga jenis
pencemaran, yaitu:
1. Pencemaran Tanah
Tanah merupakan 5empat hidup berbagai jenis tumbuhan dan makhluk
hidup lainnya termasuk manusia. Kualitas tanah dapat berkurang karena proses
erosi oleh air yang mengalir sehingga kesuburannya akan berkurang. Selain itu
menurunnya kualitas tanah juga dapat disebabkan oleh limbah padat yang
mencemari tanah.
Pencemaran tanah adalah keadaan di mana bahan kimia buatan manusia
masuk dan merubah lingkungan tanah alami (Veegha, 2008). Darmono (2001)
menyatakan bahwa ada dua sumber utama kontaminasi tanah yaitu kebocoran
bahan kimia organik dan penyimpanan bahan kimia dalam bunker yang disimpan
dalam tanah, dan penampungan limbah industri yang ditampung dalam suatu kolam
besar yang terletak di atas atau di dekat sumber air tanah.
Pencemaran tanah biasanya terjadi karena: kebocoran limbah cair atau
bahan kimia industri atau fasilitas komersial; penggunaan pestisida; masuknya air
permukaan tanah tercemar ke dalam lapisan sub-permukaan; kecelakaan
kendaraaan pengangkut minyak, zat kimia, atau limbah; air limbah dari tempat
penimbunan sampah serta limbah industri yang langsung dibuang ke tanah secara
tidak memenuhi syarat (illegal dumping). Ketika suatu zat berbahaya/beracun telah
mencemari permukaan tanah, maka ia dapat menguap, tersapu air hujan dan atau
masuk ke dalam tanah. Pencemaran yang masuk ke dalam tanah kemudian terendap
117
sebagai zat kimia beracun di tanah. Zat beracun di tanah tersebut dapat berdampak
langsung kepada manusia ketika bersentuhan atau dapat mencemari air tanah dan
udara di atasnya (Veegha, 2008).
Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik
industri maupun domestik (rumah tangga, yang lebih dikenal sebagai sampah),
yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki
lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomis. Bila ditinjau secara kimiawi,
limbah ini terdiri dari bahan kimia organik dan anorganik. Dengan konsentrasi dan
kuantitas tertentu, kehadiran limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan
terutama bagi kesehatan manusia, sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap
limbah. Tingkat bahaya keracunan yang ditimbulkan oleh limbah tergantung pada
jenis dan karakteristik limbah (Wikipedia, 2009).
Limbah industri yang bisa menyebabkan pencemaran tanah berasal dari:
pabrik, manufaktur, industri kecil, industri perumahan, bisa berupa limbah padat
dan cair. Limbah yang telah mencemari lingkungan akan membawa dampak yang
merugikan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Kerugian secara
langsung, apabila pecemaran tersebut secara langsung dan cepat dapat dirasakan
akibatnya oleh manusia. Kerugian secara tidak langsung, apabila pencemaran
tersebut mengakibatkan lingkungan menjadi rusak sehingga daya dukung
lingkungan terhadap kelangsungan hidup manusia menjadi menurun.
2. Pencemaran Udara
Udara dikatakan tercemar jika udara tersebut mengandung unsur-unsur
yang mengotori udara. Bentuk pencemar udara bermcam-macam ada yang
berbentuk gas, ada yang berbentuk partikel cair atau padat.
Pencemaran udara berbentuk gas dengan jumlah yang melebihi batas
toleransi lingkungan dan masuk ke lingkungan udara dapat mengganggu kehidupan
makhluk hidup. Pencemar udara berbentuk gas adalah karbon monoksida, senaywa
belerang, senyawa nitrogen, dan chloroflouocarbon.
Pencemar udara berbentuk partikel cair atau padat. Partikel berbentuk cair
berupa titik-titik air atau kabut. Kabut dapat menyebabkan sesak nafas saat terhirup
kedalam paru-paru. Partikel dalam bentuk padat dapat berupa debu atau abu
118
vulkanik. Selain itu juga dapat berasal dari makhluk hidup msalnya bakteri, spora,
virus, serbuk sari, atau serangga-serangga yang telah mati.
Pencemaran udara merupakan kondisi terjadinya perubahan (pengurangan
atau penambahan komposisi udara) dibandingkan keadaan normal dalam waktu,
tempat dan konsentrasi tertentu sedemikian rupa sehingga membahayakan
kehidupan dan kesehatan masyarakat.
Pengertian pencemaran udara berdasarkan Undang-Undang Nomor 23
tahun 1997 pasal 1 ayat 12 mengenai Pencemaran Lingkungan yaitu pencemaran
yang disebabkan oleh aktivitas manusia seperti pencemaran yang berasal dari
pabrik, kendaraan bermotor, pembakaran sampah, sisa pertanian, dan peristiwa
alam seperti kebakaran hutan, letusan gunung api yang mengeluarkan debu, gas,
dan awan panas.
Menurut Peraturan Pemerintah RI nomor 41 tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara, pencemaran udara adalah masuknya atau
dimasukkannya zat, energi, dari komponen lain ke dalam udara ambien oleh
kegiatan manusia, sehingga mutu udara turun sampai ke tingkat tertentu yang
menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya.
Sedangkan berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 1407
tahun 2002 tentang Pedoman Pengendalian Dampak Pencemaran Udara,
pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau
komponen lain ke dalam udara oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara turun
sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan atau mempengaruhi kesehatan
manusia.
Selain itu, pencemaran udara dapat pula diartikan adanya bahan-bahan atau
zat asing di dalam udara yang menyebabkan terjadinya perubahan komposisi udara
dari susunan atau keadaan normalnya. Kehadiran bahan atau zat asing tersebut di
dalam udara dalam jumlah dan jangka waktu tertentu akan dapat menimbulkan
gangguan pada kehidupan manusia, hewan, maupun tumbuhan (Wardhana, 2004).
Menurut Harssema dalam Mulia (2005), pencemaran udara diawali oleh
adanya emisi. Emisi merupakan jumlah polutan atau pencemar yang dikeluarkan
ke udara dalam satuan waktu. Emisi dapat disebabkan oleh proses alam maupun
119
kegiatan manusia. Emisi akibat proses alam disebut biogenic emissions, contohnya
yaitu dekomposisi bahan organic oleh bakteri pengurai yang menghasilkan gas
metan (CH4). Emisi yang disebabkan kegiatan manusia disebut anthropogenic
emissions. Contoh anthropogenic emissions yaitu hasil pembakaran bahan bakar
fosil, pemakaian zat kimia yang disemprotkan ke udara, dan sebagainya.
Nugroho (2005) menyebutkan sumber pencemaran udara dengan istilah
faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terjadi secara alamiah.
Sedangkan faktor eksternal merupakan pencemaran udara yang diakibatkan ulah
manusia.
3. Pencemaran Air
Didalam tata kehidupan manusia, air banyak memegang peranan penting
antara lain untuk minum, memasak, mencuci, dan mandi. Disamping itu juga air
sangat diperlukan untuk mengairi sawah, lading, industry, dan masih banyak lagi.
Beberapa jenis tumbuhan seperti alga, paku air, dan seceng gondok, akan tumbuh
subur menutupi perairan sehingga cahaya matahari tidak menembus dasar perairan.
Bahan-bahan kimia lainnya seperti pestisida, atau DDT yang sering digunakan oleh
petani utnuk membrantas hama tanaman.
Pencemaran air dapat merupakan masalah, regional maupun lingkungan
global, dan sangat berhubungan dengan pencemaran udara serta penggunaan lahan
tanah atau daratan. Walaupun air merupakan sumber daya alam yang dapat
diperbaharui, tetapi air akan dapat dengan mudah terkontaminasi oleh aktivitas
manusia untuk tujuan yang bermacam-macam sehingga dengan mudah dapat
tercemar. (Darmono, 1995).
Air yang tersebar di alam semesta ini tidak pernah terdapat dalam bentuk
murni, namun bukan berarti bahwa semua air sudah tercemar. Misalnya, walaupun
di daerah pegunungan atau hutan yang terpencil dengan udara yang bersih dan
bebas dari pencemaran, air hujan yang turun di atasnya selalu mengandung
bahanbahan terlarut, seperti karbon dioksida (CO2), oksigen (O2), dan nitrogen
(N2), serta bahan-bahan tersuspensi misalnya debu dan partikel-partikel lainnya
yang terbawa air hujan dari atmosfir.
120
Adanya benda-benda asing yang mengakibatkan air tersebut tidak dapat
digunakan sesuai dengan peruntukannya secara normal disebut dengan pencemaran
air. Karena kebutuhan makhluk hidup akan air sangat bervariasi, maka batas
pencemaran untuk berbagai jenis air juga berbeda-beda. Sebagai contoh, air kali di
pegunungan yang belum tercemar tidak dapat digunakan langsung sebagai air
minum karena belum memenuhi persyaratan untuk dikategorikan sebagai air
minum. (Kristanto, 2002).
Menurut Darmano (1995), pencemaran air terdiri dari bermacam-macam
jenis, antara lain: Pencemaran mikroorganisme dalam air, Pencemaran Air oleh
Bahan Anorganik Nutrisi Tanaman, Pencemar Bahan Kimia Anorganik, Pencemar
Bahan Kimia Organik.
2.4 Pencegahan dan Pengendalian Pencemaran Lingkungan
Pencemaran lingkungan terus menerus terjadi, bahkan cenderung meningkat dari waktu ke
waktu. Berbagai aktivitas manusia, seperti transport dan industri telah memberikan dampak
yang buruk bagi lingkungan. Lingkungan akan rusak dan pada akhirnya akan berdampak buruk
juga bagi kehidupan manusia.
Karena itulah manusia harus segera melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan
agar dampak negative dari pencemaran lingkungan bagi manusia dan mahkluk hidup lainnya
dapat diminimalisir keberadaannya. Jika kita dapat meminimalisir dampak pencemaran
lingkungan, maka akan terciptanya lingkungan yang aman dan sehat serta fungsi
melestarakiannya agar dapat dinikmati kembali oleh generasi yang akan datang.
Adapun cara pecegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan yaitu :
a) Prinsip pencegahan penaggulangan pencemaran lingkungan (Reduce, Reuse,
Recycle).
Jumlah manusia terus bertambah dan kebutuhannya pun terus meningkat.
Kebutuhan tersebut dapat berupa kebutuhan primer maupun sekunder. Kebutuhan
primer yaitu kebutuhan pokok beruapa makanan, pakaian,perumahan dan
sedangkan kebutuhan sekuder yaitu berupa kebutuhan rekreasi, transport dan lain-
lain .
121
Berbagai kebutuhan tersebut dapat dipenuhi dengan memanfatkan berbagai
jenis semberdaya alam, baik sumberdaya alam yang dapat diperbabarui maupun
yang tidak dapat diperbarui. Pengambilan yang dilakukan secara terus menerus
berdampak pada semakin kurangnya cadangan sumberdaya alam, khususnya
sumberdaya alam yang tidak dapat diperbarui. Pengambilan dan pemanfaatan
sumberdaya alam juga dapat menimbulkan kerusakan lingkungan yang mengencam
keberadaan manusia itu sendiri.
Apa yang harus dilakukan manusia untuk mengurangi dampak buruk
pemanfaatan sumberdaya alam terhadap lingkungan kita. Adapun beberapa hal
yang perlu dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran lingkungan
adalah dengan mengurangi penggunaan bahan-bahan pencemar (reduce),
menggunakan kembali barang-barang untuk kegunaan yang sama (reuse), serta
melakukan daur ulang barang-barang yang sudah tidak terpakai kembali (recycle).
Mengurangi pemakaian bahan-bahan atau barang-barang pencemar
lingkungan (Reduce).
- Menggunakan kendaraan yang ramah lingkungan.
- Mengurangi pemakaian kendaraan bermotor.
- Mengurangi pemakaian bahan-bahan kimia yang sulit terurai dengan
baik.
- Menghindari pengunaan deterjen yang berlebihan.
- Menggindari penggunaan pupuk dan pestisida secara berlebihan.
Menggunakan kembali barang-barang untuk kegunaan yang sama (Reuse)
Sesuai dengan istilahnya, reuse berarti memanfaatkan sampah atau
limbah atau barang yang tidak dipakai lagi untuk kepentingan yang
sama dengan peruntuksn semula. Sebagai contoh, botol minuman dari
gelas yang telah diminum isisnya, kemudian diserahkan lagi ke
pengecer. Dari pengecer, botol tersebut dikembalikan pabrik dan
122
digunakan lagi sebagai botol minuman yang sama berkali-kali. Cara ini
sangat bermanfaat dalam menghemat sumber daya alam karena tidak
perlu lagi membuat botol baru secara terus-menerus. Penambangan
bahan galian untuk membuat botol dan mengurangi kerusakan
lingkungan akibat kegiatan penambangan.
Melakukan daur ulang barang-barang yang sudah tidak terpakai kembali
(recycle)
b) Menanggulani pencemaran air.
- Sadar akan kelangsungan ketersediaan air dengan tidak merusak atau
mengeksploitasi sumber mata air agar tidak tercemar.
- Tidak membuang sampah ke sungai.
- Mengurangi intensitas limbah rumah tangga.
- Melakukan penyaringan limbah pabrik sehingga limbah yang nantinya
bersatu dengan air sungai bukanlah limbah jahat perusak ekosistem.
- Pembuatan sanitasi yang benar dan bersih agar sumber-sumber air
bersih lainnya tidak tercemar
Cara penanggulangan pencemaran air lainnya adalah melakukan
penanaman pohon. Pohon selain bisa mencegah longsor, diakui mampu
menyerap air dalam jumlah banyak. Itu sebabnya banyak bencana banjir
akibat penebangan pohon secara massal. Padahal, pohon merupakan
penyerap air paling efektif dan handal. Bahkan, daerah resapan air pun
dijadikan pemukiman dan pusat wisata. Pohon sesungguhnya bisa
menjadi sumber air sebab dengan banyaknya pohon, semakin banyak
pula sumber-sumber air potensial di bawahnya.
c) Menanggulangi pencemaran udara
Penangulangan Non-Teknis
123
Penanggulangan secara non teknis yaitu suatu usaha untuk mengurangi dan
menanggulangi pencemaran lingkungan dengan cara menciptakan
peraturan perundang-undangan yang dapat merencanakan, mengatur, dan
mengawasi segala macam bentuk kegiatan industri dan teknologi
sedemikian rupa sehingga tidak terjadi pencemaran lingkungan. Hal ini
dapat dilakukan dengan cara memberikan gambaran secara jelas tentang
kegiatan industri dan teknologi yang akan dilaksanakan disuatu tempat
meliputi :
- Penyajian Informasi Lingkungan (PIL)
- Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL)
- Perencanaan kawasan kegiatan industri dan Teknologi
- Menanamkan perilaku Disiplin
d) Menanggulangi pencemaran tanah
Pencegahan terhadap pencemaran sangat penting dilakukan supaya tidak
terjadi pencemara tanah yang sangat membahayakan kehidupan makhluk hidup di
dunia ini. tindakan pencegahan pencemaran tanah ini dilakukan sesuai dengan jenis
dari polutan dan seberapa besar kadarnya di dalam tanah. untuk melakukan
tindakan pencegahan pencemaran tanah ini bisa dilakukan dengan beberapa
langkah berikut ini:
- Membedakan sampah organic dan anorganik, ini sangat penting
dilakukan dengan cara memilah sampah mana yang termasuk dalam
sampah organic dan anorganik. Untuk sampah yang organic maka bisa
dibuang ke dalam tanah saja karena secara alami akan ada
mikoorganisme pengurai yang mampu menguraikan jenis sampah ini
serta beberapa jenis sampah organic juga bisa dijadikan sebagai pupuk
alami. Untuk jenis sampah anorganik bisa dibakar sampai benar-benar
habis karena sangat susah untuk diuraikan di dalam tanah. untuk jenis
sampah yang besar bisa juga dipotong-potong menjadi ukuran yang
124
kecil kemudian di kubur di dalam tanah. namun sebaiknya lakukan hal
ini jauh dari wilayah pemukiman tanah karena bisa membuat paparan
pencemaran ini kepada warga sekitar.
- Pada jenis limbah kimia cair maupun padat dapat dilakukan pengolahan
terlebih dahulu supaya kadar kimia di dalamnya sudah aman bagi tanah.
biasanya ini sudah diatur dalam undang-undang dalam tiap negara
mengenai masalah pembuangan limbah kimia ini. para pabrik industri
juga biasanya telah memiliki mekanisme pemurnian limbah kimia
sendiri supaya aman dibuang di dalam tanah maupun air.
- Untuk para petani yang menggunakan pupuk dan juga pestisida untuk
membasmi hama sebaiknya menggunakannya dalam kadar yang
semestinya dan tidak berlebihan. Hal ini sangat penting dilakukan
karena bisa menyebabkan pencemaran tanah yang buruk. Untuk
mengantisipasi hal ini pemerintah bisa melakukan penyuluhan kepada
petani supaya menggunakan kadar pestisida yang sesuai dan aman.
- Untuk para ibu rumah tangga juga sebaiknya tidak membuang deterjen
sembarangan.
- Memberikan pendidikan kepada anak sejak dini mengenai bahaya
membuang sampah sembarangan dan akibat dari adanya pencemaran
tanah supaya mereka sejak dini bisa memiliki rasa cinta pada
lingkungan.
- Biasakan diri untuk tidak membuang sampah sembarangan karena
dengan ini akan membuat tanah menjadi lebih aman dan tidak mudah
tercemar.
- Untuk mengendalikan para pelaku industri yang sangat beresiko
membuang limbah kimia langsung ke dalam tanah sebaiknya untuk
pemerintah membuat peraturan yang ketat dengan hukuman yang berat
dan denda yang sesuai supaya para pelaku bisnis industri ini tidak
125
semena-mena pada lingkungannya dan membuat efek jera kepada
mereka ini.
- Pelajarilah bagaimana cara mengelola limbah kimia yang baik dan
benar supaya anda benar-benar tidak membuang limbah pada tanah
secara langsung dimana limbah tersebut masih sangat berbahaya bagi
tanah.
Ada dua pengendalian dan penanganan pencemaran tanah :
1. Remidiasi
Remediasi adalah kegiatan untuk membersihkan permukaan
tanah yang tercemar. Ada dua jenis remediasi tanah, yaitu in-situ
(atau on-site) dan ex-situ (atau off-site). Pembersihan on-site adalah
pembersihan di lokasi. Pembersihan ini lebih murah dan lebih
mudah, terdiri dari pembersihan, venting (injeksi), dan
bioremediasi.
Pembersihan off-site meliputi penggalian tanah yang
tercemar dan kemudian dibawa ke daerah yang aman. Setelah itu di
daerah aman, tanah tersebut dibersihkan dari zat pencemar. Caranya
yaitu, tanah tersebut disimpan di bak/tanki yang kedap, kemudian
zat pembersih dipompakan ke bak/tangki tersebut. Selanjutnya zat
pencemar dipompakan keluar dari bak yang kemudian diolah
dengan instalasi pengolah air limbah. Pembersihan off-site ini jauh
lebih mahal dan rumit.
2. Bioremediasi
Bioremediasi adalah proses pembersihan pencemaran tanah
dengan menggunakan mikroorganisme (jamur, bakteri).
Bioremediasi bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat
126
pencemar menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun
(karbon dioksida dan air)
127