DIagnosis Prenatal Invasive

11
DIAGNOSIS PRENATAL INVASIF Nurwansyah Unit Feto-maternal RSAB Harapan Kita Jakarta Diagnosis prenatal adalah segala aktivitas yang dilakukan pada saat prenatal dalam rangka untuk mendiagnosis ada tidaknya cacat bawaan pada janin. Cacat yang dimaksud adalah segala cacat baik yang herediter maupun bukan, bersifat malformasi maupun kelainan kromosom dan / atau kelainan metabolik. Diagnosis prenatal yang dimaksud adalah meliputi beberapa pemeriksaan seperti pemeriksaan USG “screening”, USG spesifik atau khusus maupun yang lebih invasif yaitu amniosentesis, kordosentesis dan biopsi villi. Di Indonesia, terutama di kota-kota besar, diagnosis prenatal sudah dikenal sejak kurang lebih 20 tahun yang lalu melalui pemeriksaan ultrasonografi dan pemeriksaan sitogenetik yang sangat sederhana. Dengan keterbatasan sarana dan prasarana serta teknologi yang masih rendah, maka diagnosis prenatal di Indonesia menjadi berjalan lambat atau kurang berkembang. Baru kemudian pada tahun 90-an, diagnosis prenatal terlihat kemajuannya terutama di beberapa kota besar di Indonesia dalam hal pemeriksaan sitogenetik. Hal ini dikarenakan adanya fasilitas laboratorium sitogenetik yang memadai untuk melakukan pemeriksaan sesuai dengan standar baku disamping adanya kemajuan pada teknologi ultrasonografi. Seperti diketahui bahwa angka kejadian cacat bawaan yang dilaporkan berkisar 17% dari kelahiran mati dan 20% pada kematian neonatus dini. Sedangkan angka kejadian kelainan kromosom adalah 0.6% dari kelahiran atau 12% dari seluruh cacat bawaan. Pada periode tahun 1988 – 1990 Rumah Sakit Anak dan Bersalin HARAPAN KITA melaporkan bahwa dari 1000 kelahiran, 5 – 8 diantaranya menderita cacat. Pada

Transcript of DIagnosis Prenatal Invasive

Page 1: DIagnosis Prenatal Invasive

DIAGNOSIS PRENATAL INVASIF

Nurwansyah

Unit Feto-maternalRSAB Harapan KitaJakarta

Diagnosis prenatal adalah segala aktivitas yang dilakukan pada saat prenatal dalam rangka untuk mendiagnosis ada tidaknya cacat bawaan pada janin. Cacat yang dimaksud adalah segala cacat baik yang herediter maupun bukan, bersifat malformasi maupun kelainan kromosom dan / atau kelainan metabolik. Diagnosis prenatal yang dimaksud adalah meliputi beberapa pemeriksaan seperti pemeriksaan USG “screening”, USG spesifik atau khusus maupun yang lebih invasif yaitu amniosentesis, kordosentesis dan biopsi villi.

Di Indonesia, terutama di kota-kota besar, diagnosis prenatal sudah dikenal sejak kurang lebih 20 tahun yang lalu melalui pemeriksaan ultrasonografi dan pemeriksaan sitogenetik yang sangat sederhana. Dengan keterbatasan sarana dan prasarana serta teknologi yang masih rendah, maka diagnosis prenatal di Indonesia menjadi berjalan lambat atau kurang berkembang. Baru kemudian pada tahun 90-an, diagnosis prenatal terlihat kemajuannya terutama di beberapa kota besar di Indonesia dalam hal pemeriksaan sitogenetik. Hal ini dikarenakan adanya fasilitas laboratorium sitogenetik yang memadai untuk melakukan pemeriksaan sesuai dengan standar baku disamping adanya kemajuan pada teknologi ultrasonografi.

Seperti diketahui bahwa angka kejadian cacat bawaan yang dilaporkan berkisar 17% dari kelahiran mati dan 20% pada kematian neonatus dini. Sedangkan angka kejadian kelainan kromosom adalah 0.6% dari kelahiran atau 12% dari seluruh cacat bawaan. Pada periode tahun 1988 – 1990 Rumah Sakit Anak dan Bersalin HARAPAN KITA melaporkan bahwa dari 1000 kelahiran, 5 – 8 diantaranya menderita cacat. Pada periode tersebut tidak ada laporan tentang prosedur diagnosis prenatal dalam catatan mediknya. Sejak RSAB didirikan sampai tahun 1990 diagnosis prenatal belum dilakukan seperti yang diharapkan terutama dalam hal pemeriksaan sitogenetik. Pemeriksaan sitogenetik baru dilaksanakan pada tahun 1991 yang terus dikembangkan hingga sekarang. Kekhawatiran masyarakat akan cacat bawaan yang sangat dalam telah mendorong beberapa laboratorium rumah sakit dan laboratorium mandiri, terutama di Jakarta, memberikan pelayanan pemeriksaan sitogenetik dengan teknologi yang cukup baik.

AmniosentesisProsedur diagnostik prenatal yang klasik adalah prosedur amniosentesis yang

dikerjakan pada usia gestasi 16 minggu. Seperti diketahui bahwa volume cairan amnion pada usia gestasi 15 minggu adalah berkisar 125 ml yang akan terus bertambah 50 ml/minggu sampai usia gestasi 28 minggu. Cairan amnion pada saat itu adalah cairan

Page 2: DIagnosis Prenatal Invasive

amnion yang mengandung banyak sel janin akibat deskuamasi yang dapat tumbuh pada kultur jaringan, sehingga dapat digunakan untuk analisa kromosom maupun analisa kelainan metabolik.

. Prosedur amniosentesis dapat pula dilakukan pada usia gestasi 11-12 minggu atau yang dikenal dengan amniosentesis dini, namun hasil penelitian memperlihatkan bahwa amniosentesis dini meningkatkan risiko “loss rate” dan kelainan talipes equinovarus pada janin.

Persiapan pasien dilakukan seperti layaknya pasien rawat jalan tanpa persiapan khusus, baik sebelum maupun sesudah tindakan.

Sedangkan peralatan yang dipersiapkan adalah mesin USG dengan tranduser konveks 3.5 MHz, jarum amniosentesis / kordosentesis nomor 20 dengan panjang 15 cm dan ujungnya memiliki alur-alur melingkar yang dimaksudkan untuk memberikan bayangan echogenik pada saat jarum berada di dalam sehingga memudahkan untuk melihat posisi dari ujung jarum tersebut. Selain itu juga dipersiapkan syringe 20 ml steril dan 2 buah tabung sentrifus steril 10 ml.

Setelah dilakukan penilaian terahadap usia gestasi, jumlah janin, aktivitas jantung dan lokasi plasenta serta lokasi kantong amnion dengan USG, maka dilakukan tindakan a dan antisepsis di daerah abdomen. Dengan menggunakan transduser konveks 3.5 MHz yang telah dilakukan tindakan a dan antiseptik, jarum amniosentesis ditusukkan sampai kesasaran yang dituju tanpa anestesi lokal, selanjutnya obturator dicabut dan cairan amnion diaspirasi sebanyak 5 ml dengan menggunakan syringe 20 ml lalu dibuang. Kemudian diaspirasi lagi sebanyak 20 ml untuk pemeriksaan.

Biopsi VilliBiopsi villi pertama kali diperkenalkan oleh Hahnemann & Mohr pada tahun

1968 dengan teknik transervikal. Namun hasilnya kurang memuaskan karena jumlah jaringan villi yang terambil sangat sedikit. Dengan adanya USG, biopsi villi menjadi lebih terarah dan lebih aman sehingga penggunaan USG menjadi rutin pada prosedur biopsi villi.

Jarum amnio/kordo dengan ujung berkho

Page 3: DIagnosis Prenatal Invasive

Saat ini ada dua teknik biopsi villi yang digunakan yaitu transervikal dan transabdominal. Kedua teknik ini dipandu dengan USG sepanjang pelaksanaan tindakan. Pada teknik transervikal dibutuhkan kateter polietylen no. 16 dengan obturator yang dimasukkan melalui serviks mencapai daerah trofoblas. Kemudian kateter disambungkan dengan “syringe” 20 ml yang telah mengandung heparin dan dilakukan aspirasi dengan tekanan negatif 5 – 10 ml. Sediaan diambil untuk segera dilakukan pemeriksaan dibawah mikroskop untuk melihat apakah jumlahnya sudah mencukupi atau belum. Sedangkan teknik pada transabdominal sama dengan teknik amniosentesis.

Prosedur biasanya dilakukan pada usia gestasi 10 – 12 minggu (“menstrual weeks”) sehingga bila didapatkan atau ditemukan kelainan, maka terminasi kehamilan dapat dikerjakan lebih dini yang berarti risiko medis maupun psikologis menjadi lebih kecil. Tapi sayangnya, hasil analisa kromosom kadang kala memperlihatkan gambaran mozaik, sehingga analisanya harus dilakukan melalui prosedur amniosentesis.

Selain itu, penelitian dari US dan Kanada melaporkan bahwa “pregnancy loss rate” pada biopsi villi meningkat secara tidak bermakna bila dibandingkan dengan prosedur amniosentesis yaitu berkisar antara 0.6% dan 0.8%. Laporan lainnya memperlihatkan bahwa prosedur biopsi villi yang dilakukan sebelum 10 minggu dapat meningkatkan angka kejadian “limb reduction”.

KordosentesisKordosentesis atau “Fetal Blood Sampling” atau “Percutaneous Umbilical

Bloods Sampling” (PUBS) adalah salah satu aktivitas diagnosis prenatal yang invasive. Sejak tahun 1972, tindakan ini sudah dapat dilakukan, tetapi melalui tindakan fetoskopi. Baru pada tahun 1983 tindakan kordosentesis dilakukan dengan bantuan panduan ultrasonografi (USG). Cara ini jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan cara fetoskopi yang lebih tinggi risikonya.

Pada prinsipnya ada dua teknik kordosentesis atau PUBS seperti pada amniosentesis yaitu pertama, dengan menggunakan “needle guide” dan yang kedua dengan teknik “free-hand”. Bila menggunakan “needle guide”, maka banyak macam “needle guide” yang dapat digunakan yang telah beredar dipasaran. Keuntungan dari menggunakan “needle guide” ini adalah jarum yang ditusukkan dapat mencapai sasaran dengan tepat, tetapi kelemahannya bila jarum telah mencapai sasaran dan kemudian janin begerak maka jarum tidak dapat mengikuti gerakan janin sehingga sasaran menjadi terlepas kembali dan prosedur harus diulang dari awal. Oleh karena itu, penulis lebih senang menggunakan teknik “free-hand” yang lebih fleksibel.

Page 4: DIagnosis Prenatal Invasive

Persiapan pasien dilakukan seperti layaknya pasien rawat jalan tanpa persiapan khusus, baik sebelum maupun sesudah tindakan.

Sedangkan peralatan yang dipersiapkan adalah mesin USG dengan tranduser konveks 3.5 MHz, jarum amniosentesis / kordosentesis nomor 20 dengan panjang 15 cm dan ujungnya memiliki alur-alur melingkar yang dimaksudkan untuk memberikan bayangan echogenik pada saat ditusukkan sehingga memudahkan untuk melihat posisi dari ujung jarum tersebut. Selain itu juga dipersiapkan spuit 1 ml yang telah dibilas dengan heparin steril, 2 buah tabung steril yang mengandung beberapa ml heparin bubuk.

Sebelum dilakukan penusukan jarum, terlebih dahulu dicari dan pastikan lokasi insersi tali pusat pada plasenta. Pencarian ini sangat penting karena sangat menentukan keberhasilan dari tindakan kordosentesis. Insersi tali pusat harus terlihat dengan jelas dan tidak terhalangi janin. Bila ternyata terhalangi, maka dapat dilakukan manipulasi dari luar untuk menggeser janin.

Mengingat tali pusat organ yang sangat licin, maka bagian tali pusat yang dekat insersi pada plasenta adalah bagian yang paling baik dan paling mudah untuk ditusuk karena tali pusat pada daerah ini sangat tidak mudah bergerak sehingga tali pusat tidak akan melejit pada saat punusukkan.

Jika seandainya bagian yang ideal ini tidak terlihat ataupun terjangkau, maka dicari bagian yang dekat insersi pada abdomen atau bagian mana saja yang bebas.

Sebelum dilakukan penusukkan, terlebih dahulu dilakukan tindakan a dan antisepsis pada daerah abdomen. Kemudian dilakukan anestesi lokal pada pada tempat jarum akan ditusukkan.

Setelah lokasi insersi ditentukan, dengan panduan USG ditusukkan jarum spinal nomor 20 ( beberapa menggunakan nomor 22 atau 25 ) dengan panjang 9 cm sampai ke sasaran yaitu lebih kurang 5 cm dari insersi. Dalam hal ini penulis lebih senang menggunakan jarum nomor 20 dengan panjang 15 cm karena lebih mudah untuk melakukan manipulasi.

Persiapan Laboratorium

Page 5: DIagnosis Prenatal Invasive

Jika letak plasenta menghalangi pandangan, maka penusukkan masih tetap dapat dilakukan dengan risiko yang relatif aman yaitu dapat melalui plasenta tanpa meliwati rongga amnion atau transplasental – transamniotik.

Setelah jarum mencapai sirkulasi tali pusat, dilakukan aspirasi darah janin lebih kurang 1 ml ( aspirasi dapat mencapai 4-6 ml) dan segera masukkan ke dalam tabung steril yang mengandung heparin bubuk.

Keamanan dan tingkat keberhasilan tindakan kordosentesis didasarkan pada angka kejadian “fetal loss”. Yang dimaksud dengan “fetal loss” adalah kematian janin dalam kandungan yang terjadi dalam kurun waktu 14 hari setelah dilakukan tindakan.

Penyebab terbesar terjadinya “fetal loss” adalah chorioamnionitis, ketuban pecah, perdarahan dari bekas tusukan, bradikardi berat, dan trombosis. Angka kejadian dari berbagai pusat berkisar antara 1 – 6.7 %; rentang ini merefleksikan tingkat pengalaman dari operator.

The North American PUBS registry yang berpusat di rumah sakit Pennsylvania di Philadelphia, Universitas Pennsylvania, mengumpulkan data-data dari 16 senter di US dan Canada. Pada tahun 1993, telah dilakukan 7462 tindakan kordosentesis pada 6023 pasien. Angka kejadian “fetal loss” yang tercatat lebih kurang 1.12 % per tindakan dan 1.33 % per pasien, artinya 84 kehamilan menjadi gagal sebagai akibat langsung dari kordosentesis.

Kordosentesis sebenarnya dapat dikerjakan beberapa kali sepanjang kehamilan. Meskipun pengambilan darah dilakukan beberapa kali sepanjang kehamilan dan darah yang diambil berkisar antara 1.5 – 4 ml setaip pengambilan, namun tidak pernah terjadi anemia pada janin. Dari catatan Daffos terhadap 1230 pasien yang telah dikerjakan kordosentesis, dengan 3.8 % lahir premature dan 8.5 % dengan pertumbuhan janin terhambat, memperlihatkan angka “fetal loss” sebesar 1.6 %. Penulis sendiri mendapatkan “fetal loss” sebesar 1 kasus dari 46 pasien ( 2.2 % ) yang dilakukan kordosentesis. Kematian tersebut terjadi dalam waktu 1 minggu setelah tindakan.

Masalah dan KendalaAda beberapa keadaan ibu maupun keadaan pada kehamilannya yang dapat

menghambat kelancaran tindakan kordosentesis. Keadaan atau kondisi tersebut yaitu antara lain obesitas, oligohidramnion, dan polihidramnion.

Kondisi obesitas pada ibu akan mengakibatkan ketidak jelasan pada gambar USG, sehingga akan meningkatkan risiko kesalahan. Dan disamping itu, dibutuhkan jarum yang lebih panjang mengingat dinding abdomen pada ibu yang gemuk relatif tebal.

Demikian pula halnya dengan oligohidramnion, dimana gambaran USG-nya juga tidak jelas. Hal ini dikarenakan, “acustic windows”-nya sangat minimal sebagai akibat cairan amnion yang kurang sehingga sulit untuk mencari dengan jelas posisi insersi tali pusat pada plasenta, apalagi plasenta berada di daerah posterior.

Lain halnya dengan polihidramnion, disini cairan yang banyak mengakibatkan kesulitan dalam mencapai insersi tali pusat, namun dapat diatasi dengan cara mengeluarkan cairan amnion sebagian terlebih dahulu. Selain itu, dengan cairan ketuban yang banyak sering kali janin lebih leluasa untuk begerak sehingga sering kali pula menghalangi pandangan insersi tali pusat.

Kendala lainnya adalah kendala pada kemampuan operator. Daffos(1) melaporkan 70% kasus dikerjakan dalam waktu kurang dari 5 menit dan 90% kasus kurang dari 10

Page 6: DIagnosis Prenatal Invasive

menit. Hal ini memungkinkan 97% kasus mendapatkan darah janin yang tidak terkontaminasi, sedangkan 3% sisanya bukan darah janin atau terkontaminasi dengan darah janin atau air ketuban.

Publikasi penulis, pada tahun 2002, mengerjakan lebih kurang 15 menit pada 37/46 (80.4%) kasus, 9/46 (19.6%) kasus lebih dari 20 menit. Selain itu 4/46 (8.7%) kasus ternyata terkontaminasi dengan darah maternal sehingga gagal untuk dianalisa kromosom. Pada beberapa kasus juga terkontaminasi dengan cairan amnion, namun karena kordosentesis ini diindikasikan untuk analisa kromosom maka kontaminasi tersebut bukan menjadi kendala yang berarti.

Untuk memastikan apakah darah yang didapat merupakan murni darah janin atau darah maternal atau terkontaminasi, dilakukan beberapa pemeriksaan antara lain menghitung mean corpuscular volume (MCV) eritrosist yang dibandingkan dengan darah ibu(2,3). Penulis sendiri melakukan pemeriksaan elektroforese untuk melihat hemoglobin fetus. Selain itu juga, untuk memastikan apakah terkontaminasi dengan amnion maupun sodium sitrat, maka dilakukan penilaian beberapa hal. (tabel 1)(1,4)

Tabel 1. Penilaian kemurnian darah janin(1.4)Larutan Sodium citrate : Hematokrit

Nilai hematologik lainnyaFaktor koagulasi

Kontaminasi darah maternal : Kleihauer testB-HCGAggutination by anti-I or anti-i antibodiesKurva eritrosit dan lekosit

Kontaminasi cairan amnion : HematokritBlood smearsFactor koagulasi

IndikasiKordosenstesis tidak hanya ditujukan untuk diagnosis prenatal saja, tetapi lebih

dari itu dimanfaatkan untuk mengetahui kelainan janin yang didapat maupun untuk meneliti fisiologi janin.

Tidak kurang dari dua per tiga kasus yang dilakukan kordosentesis ditujukan untuk analisa kromosom atau untuk evaluasi status hematologik janin. Sedangkan sepertiganya ditujukan untuk menilai ada tidaknya infeksi dan lain-lain(2). Sebaliknya pada tabel 2 yang dilaporkan oleh Daffos(1), dapat dilihat bahwa indikasi kordosentesis sebagian besar untuk menentukan ada tidaknya infeksi. Penulis sendiri melakukan kordosentasis pada 44 kasus untuk tujuan analisa kromosom sedangkan 2 kasus atas indikasi ibu terinfeksi toksoplasmosis.

Tabel 2. Indikasi kordosentesis (1)

Page 7: DIagnosis Prenatal Invasive

Indikasi%

Infeksi

Toksoplasmosis67.0

Rubella5.8

Other viral1.5

Karyotyping7.4

Coagulation disorders

Hemophilia6.8

Factor deficiencies0.5

Platelet disorders2.3

Rhesus isoimmunization1.9

Hemoglobinopathies1.4

Fetal welfare assessment1.7

Miscellaneous3.00

Total100.0

Ada beberapa indikasi kordosentesis untuk analisa kromosom yaitu bila ditemukan malformasi yang dicurigai berkaitan dengan kelainan kromosom, pertumbuhan janin terhambat yang berat dan tidak terjelaskan, ditemukan mosaik pada amniosentesis, kegagalan kultur pada amniosentesis, diagnosa sindroma fragil X dan persiapan untuk terapi janin(1).

Kepustakaan

1. Daffos F. Fetal Blood Sampling. In: Harrison MR.Golbus MS.Filly RA.eds. The Unborn Patient. Philadelphia London Toronto Montreal Sydney Tokyo: Saunders Company, 1991: 75 – 81

2. Bianchi DW. Crombleholme TM. D’Alton ME. Fetology. New York St.Louis Auckeland Bogota Caracas Lisbond London Madrid Mexico Milan Montreal NeW Delhi San Juan Singapore Sydney Tokyo Toronto: McGraw-Hill, 2000: 11 – 33

3. Weiner CP. The Role of Cordocentesis in Fetal Diagnosis. Clin Obstet Gynecol, 1988; 31: 285 – 291

4. Forestier F. Cox WL. Daffos F. Rainaut M. The assessment of fetal blood samples. Am J Obstet Gynecol, 1988; 158: 1184 – 1188

Page 8: DIagnosis Prenatal Invasive

5. Goldberg J. Norton ME. Genetics and Prenatal Diagnosis. In: Callen PW.ed. Ultrasonography in Obstetrics and Gynecology. Philadelphia London New York St.Louis Sydney Tokyo: Saunders Company, 2000: 18 – 37