Diagnosis ISPA
Transcript of Diagnosis ISPA
Diagnosis ISPA
Diagnosis etiologi pnemonia pada balita sulit untuk ditegakkan karena dahak biasanya
sukar diperoleh. Sedangkan prosedur pemeriksaan imunologi belum memberikan hasil yang
memuaskan untuk menentukan adanya bakteri sebagai penyebab pnemonia, hanya biakan
spesimen fungsi atau aspirasi paru serta pemeriksaan spesimen darah yang dapat diandalkan
untuk membantu menegakkan diagnosis etiologi pnemonia.
Pemeriksaan cara ini sangat efektif untuk mendapatkan dan menentukan jenis bakteri
penyebab pnemonia pada balita, namun disisi lain dianggap prosedur yang berbahaya dan
bertentangan dengan etika (terutama jika semata untuk tujuan penelitian). Dengan
pertimbangan tersebut, diagnosa bakteri penyebab pnemonia bagi balita di Indonesia
mendasarkan pada hasil penelitian asing (melalui publikasi WHO), bahwa Streptococcus
Pneumonia dan Haemophylus influenzae merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada
penelitian etiologi di negara berkembang. Di negara maju pnemonia pada balita disebabkan
oleh virus.
Diagnosis pnemonia pada balita didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran
bernafas disertai peningkatan frekuensi nafas (nafas cepat) sesuai umur. Penentuan nafas
cepat dilakukan dengan cara menghitung frekuensi pernafasan dengan menggunkan sound
timer. Batas nafas cepat adalah :
a. Pada anak usia kurang 2 bulan frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali permenit atau lebih.
b. Pada anak usia 2 bulan - <1 tahun frekuensi pernafasan sebanyak 50 kali per menit atau
lebih.
c. Pada anak usia 1 tahun - <5 tahun frekuensi pernafasan sebanyak 40 kali per menit atau
lebih.
Diagnosis pneumonia berat untuk kelompok umur kurang 2 bulan ditandai dengan
adanya nafas cepat, yaitu frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih, atau
adanya penarikan yang kuat pada dinding dada sebelah bawah ke dalam. Rujukan penderita
pnemonia berat dilakukan dengan gejala batuk atau kesukaran bernafas yang disertai adanya
gejala tidak sadar dan tidak dapat minum. Pada klasifikasi bukan pneumonia maka
diagnosisnya adalah batuk pilek biasa (common cold), faringitis, tonsilitis, otitis atau penyakit
non-pnemonia lainnya.
Faktor Yang Mempengaruhi Penyakit ISPA
a. Agent
Infeksi dapat berupa flu biasa hingga radang paru-paru. Kejadiannya bisa secara akut
atau kronis, yang paling sering adalah rinitis simpleks, faringitis, tonsilitis, dan sinusitis.
Rinitis simpleks atau yang lebih dikenal sebagai selesma/common cold/koriza/flu/pilek,
merupakan penyakit virus yang paling sering terjadi pada manusia. Penyebabnya adalah virus
Myxovirus, Coxsackie, dan Echo.
Berdasarkan hasil penelitian Isbagio (2003), mendapatkan bahwa bakteri
Streptococcus pneumonie adalah bakteri yang menyebabkan sebagian besar kematian 4 juta
balita setiap tahun di negara berkembang. Isbagio ini mengutip penelitian WHO dan UNICEF
tahun 1996, di Pakistan didapatkan bahwa 95% S.pneumococcus kehilangan sensitivitas
paling sedikit pada satu antibiotika, hampir 50% dari bakteri yang diperiksa resisten terhadap
kotrimoksasol yang merupakan pilihan untuk mengobati infeksi pernafasan akut. Demikian
pula di Arab Saudi dan Spanyol 60% S.pneumonie ditemukan resisten terhadap antibiotika.
Berdasarkan hasil penelitian Parhusip (2004), yang meneliti spektrum dari 101
penderita infeksi saluran pernafasan bagian bawah di BP4 Medan didapatkan bahwa semua
penderita terlihat hasil biakan positif, pada dua penderita dijumpai tumbuh dua galur bakteri
sedangkan yang lainnya hanya tumbuh satu galur. Bakteri gram positif dijumpai sebanyak 54
galur (52,4%) dan bakteri gram negatif 49 galur (47,6%).
Dari hasil biakan terlihat bahwa yang terbanyak adalah bakteri Streptococcus viridans
38 galur sebesar 36,89%, diikuti oleh Enterobacter aerogens 19 galur sebesar 18,45%,
Pseudomonas aureginosa 16 galur sebesar 15,53%, Klebsiella sp 14 galur sebesar 13,59%,
Stapilococcus aureus 13 galur sebesar 12,62%, Pneumococcus 2 galur sebesar 1,94%, dan
Sreptococcus pneumonie 1 galur sebesar 0,97%.
b. Manusia
b.1. Umur
Berdasarkan hasil penelitian Daulay (1999) di Medan, anak berusia dibawah 2 tahun
mempunyai risiko mendapat ISPA 1,4 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang lebih
tua. Keadaan ini terjadi karena anak di bawah usia 2 tahun imunitasnya belum sempurna dan
lumen saluran nafasnya masih sempit.
Berdasarkan hasil penelitian Maya di RS Haji Medan (2004), didapatkan bahwa
proporsi balita penderita pneumonia yang rawat inap dari tahun 1998 sampai tahun 2002
terbesar pada kelompok umur 2 bulan - <5 tahun adalah 91,1%. Demikian juga penelitian
Maafdi di RS Advent Medan tahun 2006, didapatkan bahwa proporsi balita penderita
pneumonia terbesar pada kelompok umur 2 bulan - <5 tahun sebesar 82,1%, sementara
kelompok umur <2 bulan sebesar 17,9%.
b.2. Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil penelitian Kartasasmita (1993), menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan prevalensi, insiden maupun lama ISPA pada laki-laki dibandingkan dengan
perempuan. Namun menurut beberapa penelitian kejadian ISPA lebih sering didapatkan pada
anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, terutama anak usia muda, dibawah 6 tahun.
Menurut Glenzen dan Deeny, anak laki-laki lebih rentan terhadap ISPA yang lebih berat,
dibandingkan dengan anak perempuan. Berdasarkan hasil penelitian Dewi, dkk di Kabupaten
Klaten (1996), didapatkan bahwa sebagian besar kasus terjadi pada anak laki-laki sebesar
58,97%, sementara untuk anak perempuan sebesar 41,03%.
b.3. Status Gizi
Di banyak negara di dunia, penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama
kematian terutama pada anak dibawah usia 5 tahun. Akan tetapi anak-anak yang meninggal
karena penyakit infeksi itu biasanya didahului oleh keadaan gizi yang kurang memuaskan.
Rendahnya daya tahan tubuh akibat gizi buruk sangat memudahkan dan mempercepat
berkembangnya bibit penyakit dalam tubuh.
Status Gizi (PSG) anak balita dengan mengukur berat badan terhadap umur. Status
gizi diklasifikasikan menjadi 4, yaitu:
1) Gizi lebih : bila Z_Skor terletak > +2 SD
2) Gizi Baik : bila Z_Skor terletak diantara ≥ -2 SD s/d +2 SD
3) Gizi kurang : bila Z_Skor terletak pada < -2 SD s/d ≥ - 3 SD
4) Gizi Buruk : bila Z_Skor terletak < -3 SD.26
b.4. Berat Badan Lahir
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) ditetapkan sebagai suatu berat lahir <2.500 gram.
Menurut Tuminah (1999), bayi dengan BBLR mempunyai angka kematian lebih tinggi dari
pada bayi dengan berat ≥2500 gram saat lahir selama tahun pertama kehidupannya.
Pneumonia adalah penyebab kematian terbesar akibat infeksi pada bayi baru lahir.
b.5. Status ASI Eksklusif
Air Susu Ibu (ASI) dibutuhkan dalam proses tumbuh kembang bayi kaya akan faktor
antibodi untuk melawan infeksi-infeksi bakteri dan virus, terutama selama minggu pertama
(4-6 hari) payudara akan menghasilkan kolostrum, yaitu ASI awal mengandung zat kekebalan
(Imunoglobulin, Lisozim, Laktoperin, bifidus factor dan sel-sel leukosit) yang sangat penting
untuk melindungi bayi dari infeksi.
Bayi (0-12 bulan) memerlukan jenis makanan ASI, susu formula, dan makanan padat.
Pada enam bulan pertama, bayi lebih baik hanya mendapatkan ASI saja (ASI Eksklusif) tanpa
diberikan susu formula. Usia lebih dari enam bulan baru diberikan makanan pendamping ASI
atau susu formula, kecuali pada beberapa kasus tertentu ketika anak tidak bisa mendapatkan
ASI, seperti ibu dengan komplikasi postnatal.
b.6. Status Imunisasi
Imunisasi adalah suatu upaya untuk melindungi seseorang terhadap penyakit menular
tertentu agar kebal dan terhindar dari penyakit infeksi tertentu. Pentingnya imunisasi
didasarkan pada pemikiran bahwa pencegahan penyakit merupakan upaya terpenting dalam
pemeliharaan kesehatan anak.
Imunisasi bermanfaat untuk mencegah beberapa jenis penyakit seperti, POLIO
(lumpuh layu), TBC (batuk berdarah), difteri, liver (hati), tetanus, pertusis. Bahkan imunisasi
juga dapat mencegah kematian dari akibat penyakit-penyakit tersebut. Jadwal pemberian
imunisasi sesuai dengan yang ada dalam Kartu Menuju Sehat (KMS) yaitu BCG : 0-11 bulan,
DPT 3x : 2-11 bulan, Polio 4x : 0-11 bulan, Campak 1x : 9-11 bulan, Hepatitis B 3x : 0-11
bulan. Selang waktu pemberian imunisasi yang lebih dari 1x adalah 4 minggu.
C.Lingkungan
c.1. Suhu Ruangan
Salah satu syarat fisiologis rumah sehat adalah memiliki suhu optimum 18-30°C. Hal
ini berarti, jika suhu ruangan rumah dibawah 18°C atau diatas 30°C keadaan rumah tersebut
tidak memenuhi syarat. Suhu ruangan yang tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi faktor
risiko terjadinya ISPA pada balita sebesar 4 kali.
c.2. Ventilasi
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah menjaga agar
aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan O2 yang
diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan
menyebabkan kurangnya O2 di dalam rumah yang berarti kadar CO2 yang bersifat racun bagi
penghuninya menjadi meningkat. Sirkulasi udara dalam rumah akan baik dan mendapatkan
suhu yang optimum harus mempunyai ventilasi minimal
10% dari luas lantai.
c.3. Penggunaan Anti Nyamuk
Penggunaan Anti nyamuk sebagai alat untuk menghindari gigitan nyamuk dapat
menyebabkan gangguan saluran pernafasan karena menghasilkan asap dan bau tidak sedap.
Adanya pencemaran udara di lingkungan rumah akan merusak mekanisme pertahanan paru-
paru sehingga mempermudah timbulnya gangguan pernafasan.
2.8. Pencegahan Penyakit ISPA
Penyelenggaraan Program P2 ISPA dititikberatkan pada penemuan dan pengobatan
penderita sedini mungkin dengan melibatkan peran serta aktif masyarakat terutama kader,
dengan dukungan pelayanan kesehatan dan rujukan secara terpadu di sarana kesehatan yang
terkait.
2.8.1. Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)
Intervensi yang ditujukan bagi pencegahan faktor risiko dapat dianggap sebagai
strategi untuk mengurangi kesakitan (insiden) pneumonia. Termasuk disini ialah :
a. Penyuluhan, dilakukan oleh tenaga kesehatan dimana kegiatan ini diharapkan dapat
mengubah sikap dan perilaku masyarakat terhadap hal-hal yang dapat meningkatkan faktor
resiko penyakit ISPA. Kegiatan penyuluhan ini dapat berupa penyuluhan penyakit ISPA,
penyuluhan ASI Eksklusif, penyuluhan imunisasi, penyuluhan gizi seimbang pada ibu dan
anak, penyuluhan kesehatan lingkungan rumah, penyuluhan bahaya rokok
b. Imunisasi, yang merupakan strategi spesifik untuk dapat mengurangi angka kesakitan
(insiden) pneumonia
c. Usaha di bidang gizi yaitu untuk mengurangi malnutrisi, defisiensi vitamin A
d. Program KIA yang menangani kesehatan ibu dan bayi berat badan lahir rendah
e. Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP) yang menangani masalah polusi di
dalam maupun di luar rumah
2.8.2. Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)
Upaya penanggulangan ISPA dilakukan dengan upaya pengobatan sedini mungkin.
Upaya pengobatan yang dilakukan dibedakan atas klasifikasi ISPA yaitu :
a. Untuk kelompok umur < 2 bulan, pengobatannya meliputi :
a.1. Pneumonia Berat: rawat dirumah sakit, beri oksigen (jika anak mengalami sianosis
sentral, tidak dapat minum, terdapat penarikan dinding dada yang hebat), terapi antibiotik
dengan memberikan benzilpenisilin dan gentamisin atau kanamisin.
a.2 Bukan Pneumonia: terapi antibiotik sebaiknya tidak diberikan, nasihati ibu untuk
menjaga agar bayi tetap hangat, memberi ASI secara sering, dan bersihkan sumbatan pada
hidung jika sumbatan itu menggangu saat memberi makan.
b. Untuk kelompok umur 2 bulan - <5 tahun, pengobatannya meliputi :
b.1 Pneumonia Sangat Berat: rawat di rumah sakit, berikan oksigen, terapi antibiotik
dengan memberikan kloramfenikol secara intramuskular setiap 6 jam. Apabila pada anak
terjadi perbaikan (biasanya setelah 3-5 hari), pemberiannya diubah menjadi kloramfenikol
oral, obati demam, obati mengi, perawatan suportif, hati-hati dengan pemberian terapi
cairan, nilai ulang dua kali sehari.
b.2 Pneumonia Berat: rawat di rumah sakit, berikan oksigen, terapi antibiotik dengan
memberikan benzilpenesilin secara intramuskular setiap 6 jam paling sedikit selama 3 hari,
obati demam, obati mengi, perawatan suportif, hati-hati pada pemberian terapi cairan, nilai
ulang setiap hari.
b.3 Pneumonia: obati di rumah, terapi antibiotik dengan memberikan kotrimoksasol,
ampisilin, amoksilin oral, atau suntikan penisilin prokain intramuskular per hari, nasihati
ibu untuk memberikan perawatan di rumah, obati demam, obati mengi, nilai ulang setelah
2 hari.
b.4. Bukan Pneumonia (batuk atau pilek): obati di rumah, terapi antibiotik sebaiknya tidak
diberikan, terapi spesifik lain (untuk batuk dan pilek), obati demam, nasihati ibu untuk
memberikan perawatan di rumah.
b.5. Pneumonia Persisten: rawat (tetap opname), terapi antibiotik dengan memberikan
kotrimoksasol dosis tinggi untuk mengobati kemungkinan adanya infeksi pneumokistik,
perawatan suportif, penilaian ulang.
2.8.3. Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)
Tingkat pencegahan ini ditujukan kepada balita penderita ISPA agar tidak bertambah
parah dan mengakibatkan kematian.
a. Pneumonia Sangat Berat: jika anak semakin memburuk setelah pemberian kloram fenikol
selama 48 jam, periksa adanya komplikasi dan ganti dengan kloksasilin ditambah gentamisin
jika diduga suatu pneumonia stafilokokus.
b. Pneumonia Berat: jika anak tidak membaik setelah pemberian benzilpenisilin dalam 48 jam
atau kondisinya memburuk setelah pemberian benzipenisilin kemudian periksa adanya
komplikasi dan ganti dengan kloramfenikol. Jika anak masih menunjukkan tanda pneumonia
setelah 10 hari pengobatan antibiotik maka cari penyebab pneumonia persistensi.
c. Pneumonia: Coba untuk melihat kembali anak setelah 2 hari dan periksa adanya tanda-
tanda perbaikan (pernafasan lebih lambat, demam berkurang, nafsu makan membaik. Nilai
kembali dan kemudian putuskan jika anak dapat minum, terdapat penarikan dinding dada atau
tanda penyakit sangat berat maka lakukan kegiatan ini yaitu rawat, obati sebagai pneumonia
berat atau pneumonia sangat berat. Jika anak tidak membaik sama sekali tetapi tidak terdapat
tanda pneumonia berat atau
tanda lain penyakit sangat berat, maka ganti antibiotik dan pantau secara ketat.
2.9. Penanganan Penyakit ISPA
Hampir seluruh kematian karena ISPA pada anak kecil disebabkan oleh ISPbA, paling
sering adalah pneumonia. Bayi baru lahir dan bayi berusia satu bulan
atau disebut ’bayi muda’ yang menderita pneumonia dapat tidak mengalami batuk
dan frekuensi pernfasannya secara normal sering melebihi 50 kali permenit. Infeksi
bakteri pada kelompok usia ini dapat hanya menampakkan tanda klinis yang spesifik,
sehingga sulit untuk membedakan pneumonia dari sepsis dan meningitis. Infeksi ini
dapat cepat fatal pada bayi muda yang telah diobati dengan sebaik-baiknya di rumah
sakit dengan antibiotik parenteral.
Cara yang paling efektif untuk mengurangi angka kematian karena pneumonia
adalah dengan memperbaiki manajemen kasus dan memastikan adanya penyediaan
antibiotik yang tepat secara teratur melalui fasilitas perawatan tingkat pertama dokter
praktik umum. Langkah selanjutnya untuk mengurangi angka kematian karena
pneumonia dapat dicapai dengan menyediakan perawatan rujukan untuk anak yang
mengalami ISPbA berat memerlukan oksigen, antibiotik lini II, serta keahlian klinis
yang lebih hebat.