Diagnosa Perubahan dan Paradigma Open System
-
Upload
andi-tenripada -
Category
Leadership & Management
-
view
156 -
download
14
description
Transcript of Diagnosa Perubahan dan Paradigma Open System
![Page 1: Diagnosa Perubahan dan Paradigma Open System](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022081720/559be0041a28ab53568b46d4/html5/thumbnails/1.jpg)
1
DIAGNOSA PERUBAHAN DAN PARADIGMA “OPEN SYSTEM” DALAM
PENINGKATAN KAPABILITAS PERUBAHAN ORGANISASI
Oleh
ANDI TENRIPADA
Kita dapat belajar dari perjalanan industri batik tanah air sebagai contoh dari buah
keberhasilan mendiagnosis perubahan. Dahulu, batik dianggap menjadi simbol “Jawanisasi”
yang dilembagakan oleh pemerintah menjadi simbol nasional yang menghiasi acara-acara
resmi kedinasan maupun pesta pernikahan, batik tradisional yang kita kenal hanya seputaran
kain batik, sarung batik, jarik dengan warna dan motif yang tidak variatif. Seiring dengan
perkembangan zaman, perputaran arus teknologi informasi, produksi massal, berkembangnya
pengetahuan masyarakat tentang kekayaan batik nasional yang hampir merata di Indonesia
serta mulai menguatnya simbol etnik di kancah fashion internasional menjadikan batik
Indonesia terkenal di mancanegara. Berbagai produk bermunculan dengan mewakili
kekayaan motif dan warna batik itu sendiri mulai dari tas, sepatu, payung, jilbab. Kita pun
patut mengapresiasi para pelaku industri kreatif yang konsisten mengawal itu hingga batik
dapat dikenal seperti sekarang ini.
Dalam konteks organisasi, manajemen dari proses perencanaan hingga
pengimplementasian tidak bisa lepas dari aktivitas – aktivitas yang membutuhkan intervensi
yang tepat guna memastikan organisasi berjalan secara efektif. Agar organisasi dapat berjalan
dengan efektif maka perlu dilakukan diagnosis current position dan future position-nya.
Diagnosis yang efektif terdiri dari pengetahuan tentang organisasi yang tersistematis dan
dibutuhkan untuk mendesain intervensi. Secara sederhana, hampir semua perusahaan kaya
dengan data-data, namun tanpa kemampuan menganalisis dan memahami data itu sebagai
informasi yang berharga maka proses pengumpulan data hanya membuat anggaran organisasi
membengkak. Disinilah peran strategis dari intervensi Organizational Development untuk
mengarahkan fungsi-fungsi organisasi tetap berjalan secara efektif dan memberikan
pemahaman mengapa dan bagaimana organisasi melanjutkan berbagai perubahan-perubahan
yang penting dan strategis di tengah semangat kompetisi dan peningkatan value added
organisasi.
Organisasi sebagai sebuah Sistem yang Terbuka
Dalam teori tentang sistem, - organisasi, group, orang adalah bagian yang tidak
terpisah satu sama lain. Seperti analogi sistem dalam tubuh manusia yang juga terdiri dari
![Page 2: Diagnosa Perubahan dan Paradigma Open System](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022081720/559be0041a28ab53568b46d4/html5/thumbnails/2.jpg)
2
banyak sub-sistem (sub sistem pencernaa, penglihatan, pernafasan, reproduksi dll) agar dapat
berfungsi sebagai manusia yang “sempurna secara fisik” maka semua sub-sistem itu harus
berjalan dengan baik. Dapatkah dibayangkan paru-paru berfungsi maksimal tanpa rongga
pernafasan (mulut, hidung), tanpa udara (O2), tanpa penyaring, tanpa rangka yang kokoh?
Maka idealnya jangan pernah menyalahkan sistem tanpa melihat orang yang menjalankan
sistem, begitupun sebaliknya. Sistem dipandang sebagai unitary dari keseluruhan bagian-
bagian dari sub-system yang terintegrasi ke dalam sebuah unit fungsi.
Dalam sistem organisasi yang terdiri dari departemen-departemen (penjualan,
operasional, keuangan, dll) yang perlu diperhatikan tentunya koordinasi antar sub sistem itu
bisa menjalankan fungsi secara bersama-sama dalam mencapai tujuan atau menjalankan
strategi. Sehingga dalam lingkup yang lebih luas bagaimana kinerja organisasi berjalan dapat
dilihat dari bagaimana interaksi organisasi yang ada di dalamnya. Inilah yang diusung oleh
“Open System” model dalam organizational development, bahwa organisasi beroperasi di
lingkungan eksternal dengan memanfaatkan input dan mentransformasikan input-input
tersebut dalam teknik dan proses sosial. Output dari proses transformasi itu akan kembali ke
lingkungan perusahaan dan digunakan sebagai feedback yang berharga bagi fungsi organisasi
selanjutnya.
Dewasa ini, dalam menghadapi kompetisi pasar maka organisasi melakukan
serangkaian reorganisasi, downsizing maupun pengimplementasian teknologi baru. Konsep
job menjadi ketinggalan zaman ketika bekerja lebih dipahami kepada project based dan
karyawan dibutuhkan untuk bekerja di luar deskripsi pekerjaan tetapnya. Sayangnya,
mengatasi perubahan dapat menjadi sesuatu yang sulit bagi individu. Pekerja yang
mengalami perubahan seringkali merasa kehilangan teritory-nya disebabkan oleh
ketidakpastian tentang apa yaang akan terjadi di masa depan dan ketakutan gagal dalam tugas
barunya. Sejumlah pekerja mungkin tidak merasa terganggu oleh perubahan organisasi dan
melihat perubahan sebagai kesempatan untuk tumbuh dan belajar, pekerja yang lain bereaksi
secara negatif meskipun perubahan itu adalah perubahan yang kecil saja.
Miller mengkonseptualisasikan keterbukaan terhadap perubahan sebagai sebuah
keinginan untuk mendukung perubahan, positive affect mengenai konsekuensi potensial dari
perubahan. Tingginya level keterbukaan ini penting dalam menciptakan kesiapan pekerja
untuk perubahan organisasi. Keterbukaan terhadap perubahan ini diajukan dan
diimplementasikan dalam sebuah organisasi sebagai kebutuhan, kondisi yang diinginkan bagi
kesuksesan perencanaan perubahan. Miller menyatakan bahwa tingginya level keterbukaan
![Page 3: Diagnosa Perubahan dan Paradigma Open System](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022081720/559be0041a28ab53568b46d4/html5/thumbnails/3.jpg)
3
pada perubahan organisasi ini mensugesti peningkatan kerjasama dan mungkin mengurangi
resistensi terhadap perubahan.
Wanberg & Banas (2000) dalam artikelnya yang berjudul “Predictors and Outcomes
of Openness to Change in a Reorganizing Workplace” menguraikan sejumlah pandangan
penting terkait konteks yang perlu diperhatikan dalam mempersiapkan perubahan organisasi.
Keterbukaan dalam menghadapi perubahan ditentukan oleh sejumlah konteks berikut ini:
1. Ketersediaan Informasi tentang perubahan yang akan terjadi dan bagaimana
perubahan tersebut berdampak pada kebutuhan organisasi. Tanpa ketersediaan
informasi maka individu menghadapi ketidakpastian tentang perubahan spesifik apa
yang terjadi, bagaimana perubahan memberi dampak pada pekerjaan dan
organisasinya atau bagaimana merespon sebuah perubahan. Informasi mengurangi
employee anxiety dan ketidakpastian.
2. Partisipasi, terkait bagaimana pekerja memberikan input terhadap perubahan yang
dituju
3. Change related self efficacy, Individu yang tidak perform dengan baik selama
perubahan adalah mereka yang tidak memiliki kepercayaan diri terkait
kemampuannya. Individu itu menghindari aktivitas yang diyakini melebihi
kemampuan mereka atau cenderung mengambil tanggung jawab berdasarkan apa
yang mereka yakini/judge bahwa dirinya bisa atau tidak.
4. Dukungan sosial, mengacu pada kemampuan individu lain untuk terlibat dalam
pemberian informasi, affection, kenyamanan, encouragement, dan reassurance.
Individu yang memiliki dukungan sosial cenderung akan mengalami level mental
yang lebih tinggi dan kesehatan fisik yang baik selama masa penuh tekanan terjadi,
social support ini berasal dari coworkers yang dapat membantu individu menghadapi
perubahan organisasi.
5. Personal impact mengacu pada perceived affect dalam perubahan yang dimiliki oleh
individu dan lingkungan kerjanya. Individu yang merasakan perubahan yang terjadi di
tempat kerja akan berdampak secara langsung pada potensi stress yang juga lebih
besar.
Penelitian ini memberi insight berharga guna memahami dinamika yang terjadi dalam
pengembangan organisasi, menjaga sistem dan mengarahkan sumber daya. Segannya para
pekerja untuk terlibat dalam prosedur baru, teknologi maupun perubahan lain di tempat
kerjanya mungkin lebih didominasi oleh kekhawatiran tentang kemampuan mereka untuk
bisa perform dengan pekerjaan setelah perubahan itu dilakukan. Ini terkait erat dengan ego
![Page 4: Diagnosa Perubahan dan Paradigma Open System](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022081720/559be0041a28ab53568b46d4/html5/thumbnails/4.jpg)
4
dasar manusia yang tentu membutuhkan pengakuan, mereka sedapat mungkin untuk
menghindari risiko kelihatan “bodoh” saat mengemban tugasnya. Maka dari itu, organisasi
perlu menyediakan dukungan utamanya dalam bentuk training guna mengelola resistensi
yang ada guna meningkatkan kepercayaan diri mengakomodasi perubahan. Bagi individu
penting disadari bahwa fleksibilitas menghadapi tantangan perubahan adalah sebuah skill
yang sangat bermanfaat bagi ruang gerak kita dalam organisasi. Sejumlah organisasi
membutuhkan individu yang mampu beradaptasi dengan mudah terhadap perubahan dan ini
sebuah langkah yang perlu dijamin.
Salah satu isu yang terkait dengan persiapan organisasi menjemput perubahan adalah
dilema alih teknologi yang hampir dirasakan oleh organisasi-organisasi bisnis. Meskipun
teknologi hadir sebagai tools untuk meningkatkan produktifitas, efektifitas dan efisiensi
organisasi namun tidak dapat dihindari bahwa teknologi tetap memunculkan berbagai
ketakutan- ketakutan termasuk ketakutan bahwa peran manusia utamanya akan tergantikan
oleh mesin-mesin. Era industrialisasi menjadi salah satu dari abad-abad mencengangkan bagi
peradaban manusia. Attachment manusia dengan teknologi tidak hanya menjadi laku kognitif
namun juga menjadi laku emosional (afektif). Televisi, gadget, internet pun merambah
sampai di kamar-kamar bayi, terlebih lagi ketika kita membicarakan sektor industri dan
organisasi itu sendiri.
Salah satu isu yang hangat di Indonesia adalah konsep integrasi sistem birokrasi
dengan electonic dan internet based di sistem birokrasi. Masyarakat mungkin familiar dengan
konsep e-KTP, e-budgeting, e-blusukan, pelayanan satu atap, pendaftaran dan ujian CPNS
secara online, paspor online yang dikelola dan dibuatkan sistemnya beberapa tahun terakhir.
Semua itu adalah demi ketepatan dan kecepatan, manusia berlomba untuk memenuhi ruang-
ruang kompetitif tersebut sebagai indikator dari value added dan kualitas.
Berbagai kemudahan dan kecanggihan yang dijanjikan oleh teknologi memang kerap
membuat manusia lalai dan “keenakan” dengan kondisi yang serba “instan”. Namun, sejalan
dengan penelitian Ruta (2005), penulis sepakat bahwa manusia tetap memiliki ketakutan
merasa “terasing” dan berjarak dengan manusia yang lain sehingga yang mereka butuhkan
tetap berupa kontak secara fisik (face to face). Artikel tersebut menguraikan tentang resistensi
dan tidak mudahnya mengelola proses transisi dari sistem lama (manual, telephone, e-mail,
surat) di beberapa perusahaan. Kehadiran portal yang bersifat online sebagai mandatoris
organisasi dan HR tetap menghadirkan penolakan-penolakan. Dalam sejumlah kasus,
beberapa karyawan tetap menginginkan pertemuan dengan HR. Sejumlah intervensi
kebijakan pun diambil, salah satunya demi menjaga iklim organisasi yang support.
![Page 5: Diagnosa Perubahan dan Paradigma Open System](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022081720/559be0041a28ab53568b46d4/html5/thumbnails/5.jpg)
5
HR memiliki fungsi untuk mengelola orang-orang. Dalam rangka menjalankan fungsi
administratif maka teknologi dalam bentuk portal-portal tersebut dianggap mampu mengisi
gap yang ada antar departemen dan mendukung cost contaiment. Sejumlah perdebatan yang
mengamati resistensi karyawan meliputi isu strategisnya intangible asset value, knowledge
management dan pertumbuhan intellectual capital. Sejumlah potensi yang tidak dapat
dijelaskan oleh teknologi. Maka integrasi model penerimaan dan teori manajemen perubahan
sangat layak didiskusikan. Kontribusi utama dari paper tersebut adalah mengantar scholars
maupun praktisi mengamati IT individual acceptance dalam dua lensa, yaitu konteks dimana
perubahan dalam IT application dan konteks HR portal sebagai sebuah multi-function.
Manajemen perlu berhati-hati dalam merencanakan kebijakan perubahan dengan melihat
tingkat penerimaan karyawan. Harapannya tingkat penerimaan terhadap perubahan tersebut
tinggi. Disisi lain, dimensi budaya sangat relevan dalam menentukan perubahan manajemen
yang direncanakan karena perubahan yang tidak sesuai dengan budaya itu akan melahirkan
persepsi-persepsi. Meskipun organisasi maupun individu memiliki budaya yang kuat, namun
tidak bisa lepas dari budaya bangsa yang dianggap berdampak pula terhadap
pengimplementasian IT.
Artikel Ruta (2005) ini sesungguhnya inherent dengan artikel Wanberg & Banas
(2000) dalam menekankan beberapa poin penting pengelolaan perubahan. Diantaranya terkait
dengan persepsi dasar bahwa self efficacy yang mempengaruhi keterbukaan terhadap
perubahan (konteks HR portal). Maka perusahaan perlu melakukan training dalam rangka
mengurangi ketidakpastian yang hadir dari teknologi baru dan menyediakan informasi yang
cukup sehingga karyawan terdorong untuk engange terhadap supporting behavior.
Sejalan dengan konsep Organizational Development, artikel Ruta (2005) ini juga
memberi gambaran tentang diagnosis perubahan hingga pengimplementasian perubahan.
Diagnosis perubahan mensyaratkan keterbukaan informasi (collecting data) serta feedback
yang diberikan. Dalam rangka melibatkan karyawan sebagai agent of change, maka pertama
kali yang mesti diperhatikan adalah meyakinkan bahwa kontribusi mereka akan sangat
relevan dengan kualitas output perubahan. Peran tim implementasi mulai dari pengumpulan
data, feedback terhadap system, pengadaptasian sistem baru, dan berbagi laporan dan hasil.
Perubahan sebagai learning process dan peningkatan system knowledge menjadi sebuah
energi positif bagi iklim organisasi. Maka aksi-evaluasi adalah sebuah proses reflektif yang
harus dijaga dalam rangka peningkatan kapabilitas organisasi menuju perubahan tidak hanya
bagi individu tetapi bagi organisasi secara menyeluruh.