DHF case

download DHF case

of 18

Transcript of DHF case

BAB ITINJAUAN PUSTAKA1.1. DefinisiDemam dengue/ Dengue fever dan demam berdarah dengue/DBD (dengue haemorrhagic fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai leucopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia, dan diathesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok.1.2.EtiologiPenyebab demam dengue dan demam berdarah dengue adalh virus dengue yang termasuk dalam genus Flavivirus keluarga Flaviviridae. Flavivirus berdiameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106.Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Penelitian pada arthropoda menunjukkan virus dengue dapat bereplikasi pada nyamuk genus Aedes (Stegomyia) dan Toxorhynchites.Virus dengue ditularkan kepada manusia terutama melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Selain itu dapat juga ditularkan oleh nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies lain yang merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk Aedes aegypti hidup di daerah tropis dan subtropis dengan suhu 28-320C dan kelembaban yang tinggi serta tidak dapat hidup di ketinggian 1000 m. Vektor utama untuk arbovirus bersifat multiple bitter, antropofilik, dapat hidup di alam bebas, terbang siang hari (jam 08.00-10.00 dan 14.00-16.00), jarak terbang 100 m 1 km, dan ditularkan oleh nyamuk betina yang terinfeksi.1.3.EpidemiologiIndonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air. Insiden DBD di Indonesia antara 6-15 per 100.000 penduduk (1989-1995); pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998. Mortalitas DBD cenderung menurun hingga 2% pada tahun 1999.

1.4.PatogenesisBerdasarkan data yang ada terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya DBD dan sindrom renjatan dengue. Respon imun yang berperan dalam pathogenesis DBD adalah :a. Respon humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement (ADE). b. Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T-sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T-helper yaitu TH1 akan memprodukdi interferon gamma, IL-2, dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10. c. Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi. Proses pagositosis ini meningkatkan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag.d. Aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a.Pada tahun 1973, Halstead mengajukan hipotesis secondary heterologous infection yang menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue dengan tipe yang berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi amnestik antibody sehingga mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang tinggi.

Pada tahun 1994, Kurane dan Ennis merangkum pendapat Halstead dan peneliti lain; menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang memfagositosis kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga virus bereplikasi di makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T-helper dan T-sitotoksik sehingga diproduksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-, IL-1, PAF (platelet activating factor), IL-6, dan histamine yang mengakibatkan terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadi kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi oleh kompleks virus-antibodi yang juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma.Trombositopenia terjadi melalui mekanisme :1. Supresi sumsum tulang.Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (< 5 hari) menunjukkan keadaan hiposelular dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningktan proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan kenaikan. Hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia. 2. Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit.Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibodi VD, konsumsi trombosit selama proses koagulopati, dan sekuestrasi perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-tromboglobulin dan PF-4 yang merupakan pertanda degranulasi trombosit. Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya koagulopati konsumtif pada DBD stadium III dan IV. Aktivasi koagulasi pada DBD terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik (tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga berperan melalui faktor Xia namun tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor complex).1.5.Gambaran KlinisManifestasi klinis dapat bersifat asimtomatik atau berupa demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue, atau sindrom syok dengue (SSD). Pada umunya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari diikuti fase kritis selama 2-3 hari. Pada fase ini, pasien sudah tidak demam, tetapi mempunyai risiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan adekuat.

1.6. DiagnosisBerdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal ini terpenuhi:1) Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.2) Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bending positif; petekie, ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis dan melena.3) Trombositopenia (jumlah trombosit 20% dibandingkan standar sesuai umur dan jenis kelamin.b. Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.c. Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia, hiponatremia.Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu: Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan adalah uji torniquet. Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdaran lain. Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut kulit dingin dan lembab, tampak gelisah. Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.Keempat derajat tersebut ditunjukkan pada gambar di bawah.

1.7. Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3). Trombositopenia umumnya dijumpai pada hari ke 3-8 sejak timbulnya demam. Hemokonsentrasi dapat mulai dijumpai mulai hari ke 3 demam.Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin.Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostic melalui pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi virus. Namun, metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu yang lama (lebih dari 12 minggu), serta biaya yang relatif mahal. Oleh karena keterbatasan ini, seringkali yang dipilih adalah metode diagnosis molekuler dengan deteksi materi genetik virus melalui pemeriksaan reverse transcriptionpolymerase chain reaction (RT-PCR). Pemeriksaan RT-PCR memberikan hasil yang lebih sensitif dan lebih cepat bila dibandingkan dengan isolasi virus, tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal serta mudah mengalami kontaminasi yang dapat menyebabkan timbulnya hasil positif semu. Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue. Imunoserologi berupa IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada infeksi sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke 2.Salah satu metode pemeriksaan terbaru yang sedang berkembang adalah pemeriksaan antigen spesifik virus Dengue, yaitu antigen nonstructural protein 1 (NS1). Antigen NS1 diekspresikan di permukaan sel yang terinfeksi virus Dengue. Masih terdapat perbedaan dalam berbagai literatur mengenai berapa lama antigen NS1 dapat terdeteksi dalam darah. Sebuah kepustakaan mencatat dengan metode ELISA, antigen NS1 dapat terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari pertama sampai hari ke 12 demam pada infeksi primer Dengue atau sampai hari ke 5 pada infeksi sekunder Dengue.Pemeriksaan antigen NS1 dengan metode ELISA juga dikatakan memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%). Oleh karena berbagai keunggulan tersebut, WHO menyebutkan pemeriksaan deteksi antigen NS1 sebagai uji dini terbaik untuk pelayanan primer.Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus kanan) dapat dilakukan untuk melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan dan pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat ditemukan pada kedua hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan USG.1.8. PenatalaksanaanPada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris.Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites yang masif perlu selalu diwaspadai.Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandungan gizi yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluaran cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia. Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagaian atas (lambung/duodenum). Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan DBD dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO. Protokol ini terbagi dalam 5 kategori, sebagai berikut:1. Penanganan tersangka DBD tanpa syok

2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa diruang rawat

3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%

4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa

Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya pada penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis cairan dan kedua adalah jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan. Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan di ruang intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan salin) maupun koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi kristaloid sebagai cairan standar pada terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan lama di intravaskular, aman dan relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan memiliki efek alergi yang minimal.Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan efektif. Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan kristaloid adalah edema, asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan hemokonsentrasi.Kristaloid memiliki waktu bertahan yang singkat di dalam pembuluh darah. Pemberian larutan RL secara bolus (20 ml/kgBB) akan menyebabkan efek penambahan volume vascular hanya dalam waktu yang singkat sebelum didistribusikan ke seluruh kompartemen interstisial (ekstravaskular) dengan perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut dalam waktu satu jam hanya 5 ml yang tetap berada dalam ruang intravaskular dan 15 ml masuk ke dalam ruang interstisial. Namun demikian, dalam aplikasinya terdapat beberapa keuntungan penggunaan kristaloid antara lain mudah tersedia dengan harga terjangkau, komposisi yang menyerupai komposisi plasma, mudah disimpan dalam temperatur ruang, dan bebas dari kemungkinan reaksi anafilaktik. Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa keunggulan yaitu: pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume plasma (intravaskular) yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih lama di ruang intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid memberikan oksigenasi jaringan lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih stabil. Beberapa kekurangan yang mungkin didapatkan dengan penggunaan koloid yakni risiko anafilaksis, koagulopati, dan biaya yang lebih besar. Namun beberapa jenis koloid terbukti memiliki efek samping koagulopati dan alergi yang rendah (contoh: hetastarch).Penelitian cairan koloid diban-dingkan kristaloid pada sindrom renjatan dengue (DSS) pada pasien anak dengan parameter stabilisasi hemodinamik pada 1 jam pertama renjatan, memberikan hasil sebanding pada kedua jenis cairan.17,18 Sebuah penelitian lain yang menilai efektivitas dan keamanan penggunaan koloid pada penderita dewasa dengan DBD derajat 1 dan 2 di Indonesia telah selesai dilakukan, dan dalam proses publikasi.Jumlah cairan yang diberikan sangat bergantung dari banyaknya kebocoran plasma yang terjadi serta seberapa jauh proses tersebut masih akan berlangsung. Pada kondisi DBD derajat 1 dan 2, cairan diberikan untuk kebutuhan rumatan (maintenance) dan untuk mengganti cairan akibat kebocoran plasma. Secara praktis, kebutuhan rumatan pada pasien dewasa dengan berat badan 50 kg, adalah sebanyak kurang lebih 2000 ml/24 jam; sedangkan pada kebocoran plasma yang terjadi seba-nyak 2,5-5% dari berat badan sebanyak 1500-3000 ml/24 jam. Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan pada DBD dengan hemodinamik yang stabil adalah antara 3000-5000 ml/24 jam. Namun demikian, pemantauan kadar hematokrit perlu dilakukan untuk menilai apakah hemokonsentrasi masih berlangsung dan apakah jumlah cairan awal yang diberikan sudah cukup atau masih perlu ditambah.Pemantauan lain yang perlu dilakukan adalah kondisi klinis pasien, stabilitas hemodinamik serta diuresis. Pada DBD dengan kondisi hemodinamik tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan diberikan secara bolus atau tetesan cepat antara 6-10 mg/kg berat badan, dan setelah hemodinamik stabil secara bertahap kecepatan cairan dikurangi hingga kondisi benar-benar stabil (lihat protokol pada gambar 6 dan 7). Pada kondisi di mana terapi cairan telah diberikan secara adekuat, namun kondisi hemodinamik belum stabil, pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit perlu dilakukan untuk menilai kemungkinan terjadinya perdarahan internal

Daftar Pustaka

1. Suhendro et al. Demam Berdarah Dengue. Internal Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam: 2009. Hal 2773-2785.2. Khie Chen, Herdiman T Pohan, Robert. Diagnosis dan Terapi Cairan pada Demam Berdarah Dengue. Majalah Medicinus vol 22 Maret- Mei no.1 2009.3. WHO Regional Office for South East Asia. Guideline for Treatment of Dengue Fever/ Dengue Hemorrhagic Fever in Small Hospital. New Delhi, 1999.4. Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever, Information for Health Care Practitioners. US Department of Health and Human Services, Center for Disease Control and Preventions.

BAB IIILUSTRASI KASUSIDENTITAS PASIENNama : J CUmur : 15 tahunJenis Kelamin : Laki-Laki

ANAMNESIS :Seorang pasien laki-laki berumur 15 tahun masuk RS Dr. M. Djamil sejak tanggal 6 September 2012 dengan :Keluhan Utama :Keluar darah dari hidung sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit

Riwayat Penyakit Sekarang 1. Keluar darah dari hidung sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit2. Demam sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit, demam terus menerus, tidak menggigil3. Nyeri sendi sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit4. Mual dan muntah tidak ada5. Bintik-bintik merah di kedua lengan6. Nafsu makan menurun sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit7. Buang air kecil warna dan jumlah biasa, buang air besar warna dan konsistensi biasaRiwayat Penyakit DahuluTidak pernah menderita penyakit ini sebelumnyaRiwayat Penyakit Keluarga Tidak ada keluarga yang menderita penyakit seperti ini sebelumnyaRiwayat Pekerjaan Pasien seorang siswaPEMERIKSAAN FISIKVital Sign Keadaan Umum : SedangKesadaran : cmcTekanan darah : 110/70 mmHgFrekuensi Nadi : 98 x/menitFrekuensi Nafas : 23 x/menitSuhu : 37,4 cTinggi Badan : 150Berat Badan : 33Sianosis : -Edema : -Ikterus : -Anemis : -Pemeriksaan SistemikKulit dan Selaput Lendir : Kulit tidak ikterik,spider nevi (-)Kepala :Rambut : Warna hitam tidak mudah rontokMata : Konjungtiva anemis (+), Sklera tidak ikterikTelinga : Tidak Ditemukan KelainanHidung : keluar darah dari kedua lubang hidung, warna merah segar, jumlah +/- gelasGigi dan Mulut;caries (+), gusi berdarah (-)Leher: JVP 5-2 cmH2OThorax:Paru: Inspeksi: simetris dalam keadaan statis dan dinamis Palpasi: fremitus kiri = kanan Perkusi: sonor Auskultasi: vesikuler, ronchi -/-, wheezing -/-Jantung: Inspeksi: iktus kordis tidak terlihat Palpasi: iktus kordis teraba 1 jari medial linea midklavikularis sinistra RIC V Perkusi: batas atas RIC II, kanan linea sternalis dekstra, kiri 1 jari medial linea midklavikularis sinistra RIC V Auskultasi: irama teratur, bising (-)Abdomen: Inspeksi: tidak membuncit Palpasi: hepar dan lien tidak teraba Perkusi: timpani Auskultasi: bising usus (+) normalPunggung: nyeri ketok dan nyeri tekan CVA (-)Anus: rectal toucher melena (-)Ekstrimitas: edema (-), ptekie (+)

LABORATORIUMHb : 10,3Leukosit : 2400Hematokrit : 30%Trombosit: 15.000aPTT: 69.9PT: 15,8INR: 1,39

DIAGNOSIS KERJA :Dengue Hemorrhagic Fever grade II

TERAPI :IST/MLIVFD RL 6 jam / kolfIVFD FIMA HES 12 jam / kolfInjeksi transamin 3x1Injeksi Vitamin K 3x1Parasetamol 3x1Neurotropik 3x1

FOLLOW UPSabtu, 6 Oktober 2012Keluhan: hidung berdarah (-), perdarahan gusi (-) demam (-) mual (-), muntah (-) buang air kecil warna dan frekuensi biasa buang air besar warna dan konsistensi biasa

Pemeriksaan Fisik:KU: sedangKesadaran: CMCTD: 110/80 mmHgNadi:96 x/menitNafas:22 x/menitSuhu:37,30CMata: konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterikThoraks: dalam batas normalAbdomen: dalam batas normalEkstremitas: ptekie (+)Diagnosis Kerja: DHF grade II

Minggu, 7 Oktober 2012Keluhan: hidung berdarah (-), perdarahan gusi (-) demam (-) mual (-), muntah (-) buang air kecil warna dan frekuensi biasa buang air besar warna dan konsistensi biasaPemeriksaan Fisik:KU: sedangKesadaran: CMCTD: 110/70 mmHgNadi:90x/menitNafas:23x/menitSuhu:37,40CMata: konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterikThoraks: dalam batas normalAbdomen: dalam batas normalEkstremitas: ptekie (+)Diagnosis Kerja: DHF grade II

Senin, 8 Okttober 2012Keluhan: hidung berdarah (-), perdarahan gusi (-) demam (-) mual (-), muntah (-) buang air kecil warna dan frekuensi biasa buang air besar warna dan konsistensi biasaPemeriksaan Fisik:KU: sedangKesadaran: CMCTD:100/70 mmHgNadi:90 x/menitNafas:23x/menitSuhu:37,30CMata: konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterikThoraks: dalam batas normalAbdomen: dalam batas normalEkstremitas: ptekie (+)Diagnosis Kerja: DHF grade II

DISKUSITelah dirawat seorang pasien laki-laki, usia 15 tahun di bangsal Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang dengan diagnosis DHF grade II. Pasien datang dengan keluhan utama keluar darah dari hidung sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien demam sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit, demam terus menerus dan tidak menggigil. Nyeri sendi sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit, bintik-bintik merah di kedua lengan sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Nafsu makan menurun sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit.Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum sedang, kesadaran komposmentis kooperatif, tekanan darah 110/70 mmHg, frekuensi nadi 98 x/menit, frekuensi nafas 23 x/menit, suhu 37,40 C. Turgor kulit baik, pada mata ditemukan konjungtiva anemis dan sklera tidak ikterik, pada hidung keluar darah dari kedua lubang hidung, warna merah segar, jumlah +/- gelas, jantung dan paru dalam batas normal, pemeriksaan abdomen dalam batas normal, pada ekstremitas ditemukan ptekie (+) di kedua lengan. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 10,3 mmHg, leukosit 2400/mm3, hematokrit 30%, trombosit 15.000.Pasien didiagnosa dengan DHF grade II karena adanya demam tinggi dan terus menerus selama 5 hari, bintik-bintik merah pada kedua lengan, perdarahan spontan dari hidung, pada pemeriksaan laboratorium ditemukan trombositopenia. Menurut literatur, DHF derajat II ditandai dengan demam disertai perdarahan spontan di kulit dan perdarahan lain.Pasien diterapi dengan IVFD RL 6 jam / kolf, IVFD FIMA HES 12 jam / kolf, injeksi transamin 3x1, injeksi Vitamin K 3x1, parasetamol 3x1, dan neurotropik 3x1.