DEWAN SEKOLAH SDN SAWOJAJAR VI MALANG · Web viewDifferensiasi adalah ’replika keberagaman dalam...

47
SISTEM SOSIAL-BUDAYA DALAM PERSPEKTIF TEORITIS A. Ruang Lingkup Dan Tujuan Kajian Ruang lingkup kajian tentang sistem sosial-budaya dalam perspektif teoritis adalah menyangkut tentang: (a) fenomena sosial-budaya dalam perspektif teori sistem; (b) sistem sosial- budaya dalam perspektif teori fungsional struktural; (c) sistem sosial-budaya dalam perspektif teori konflik; (d) sistem sosial-budaya dalam perspektif teori interaksionis simbolik; (e) sistem sosial budaya dalam perspektif teori integrasi; dan (f) kesimpulan. Sedangkan tujuan pembahasan tentang sistem sosial-budaya dalam perspektif teoritis adalah: (a) diharapkan para mahasiswa, khususnya program studi ilmu-ilmu sosial dapat memahami beberapa alternatif wacana dan pandangan teori sistem, teori fungsional struktural, teori konflik dan teori integrasi dalam memahami tentang fenomena sosial-budaya di masyarakat; (b) diharapkan para mahasiswa atau peminat studi ilmu-ilmu sosial, dapat memahami konsep-konsep penting dari teori-teori yang berparadigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma integrasi, untuk kemudian dapat dijadikan sebagai theoritical orientation dalam melakukan analisis fenomena sosial dalam proses social research; dan (c) setelah memahami konsep- konsep dasar tenang teori-teori tersebut, diharapkan para mahasiswa dan para peminat studi ilmu-ilmu sosial dapat melakukan kajian lebih lanjut pada referensi-referensi ilmiah yang dianjurkan. B. Fenomena Sosial-budaya Dalam Perspektif Teori Sistem Pada bab I telah diuraikan tentang aktivitas sosial dan kebudayaan sebagai suatu sistem. Dan perlu ditegaskan kembali bahwa, ‘dalam memahami aktivitas kehidupan sosial dan 28

Transcript of DEWAN SEKOLAH SDN SAWOJAJAR VI MALANG · Web viewDifferensiasi adalah ’replika keberagaman dalam...

SISTEM SOSIAL-BUDAYA DALAM PERSPEKTIF TEORITIS

A. Ruang Lingkup Dan Tujuan Kajian

Ruang lingkup kajian tentang sistem sosial-budaya dalam perspektif teoritis

adalah menyangkut tentang: (a) fenomena sosial-budaya dalam perspektif teori

sistem; (b) sistem sosial-budaya dalam perspektif teori fungsional struktural; (c)

sistem sosial-budaya dalam perspektif teori konflik; (d) sistem sosial-budaya dalam

perspektif teori interaksionis simbolik; (e) sistem sosial budaya dalam perspektif teori

integrasi; dan (f) kesimpulan.

Sedangkan tujuan pembahasan tentang sistem sosial-budaya dalam

perspektif teoritis adalah: (a) diharapkan para mahasiswa, khususnya program studi

ilmu-ilmu sosial dapat memahami beberapa alternatif wacana dan pandangan teori

sistem, teori fungsional struktural, teori konflik dan teori integrasi dalam memahami

tentang fenomena sosial-budaya di masyarakat; (b) diharapkan para mahasiswa atau

peminat studi ilmu-ilmu sosial, dapat memahami konsep-konsep penting dari teori-

teori yang berparadigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma

integrasi, untuk kemudian dapat dijadikan sebagai theoritical orientation dalam

melakukan analisis fenomena sosial dalam proses social research; dan (c) setelah

memahami konsep-konsep dasar tenang teori-teori tersebut, diharapkan para

mahasiswa dan para peminat studi ilmu-ilmu sosial dapat melakukan kajian lebih

lanjut pada referensi-referensi ilmiah yang dianjurkan.

B. Fenomena Sosial-budaya Dalam Perspektif Teori Sistem

Pada bab I telah diuraikan tentang aktivitas sosial dan kebudayaan sebagai

suatu sistem. Dan perlu ditegaskan kembali bahwa, ‘dalam memahami aktivitas

kehidupan sosial dan kebudayaan seyogyanya menggunakan pendekatan integratif

atau memandang bahwa aktivitas sosial-budaya merupakan suatu sistem, karena

antar unsur sosial dan unsur kebudayaan hakikatnya adalah saling mempengaruhi’,

karena: (a) antar unsure-unsur sosial-budaya tersebut bersifat adaptif; (b) dalam

praktik-praktik sosial sehari-hari masing-masing unsur sosial-budaya saling

berhubungan timbal balik; (c) perubahan pada satu unsur sosial atau unsur budaya

akan mempengaruhi perubahan unsur sosial atau unsur budaya yang lain; dan (d)

hakikatnya pola perilaku sosial atau budaya sehari-hari selalu menampilkan

keterpaduan antar unsur.

Pembahasan tentang teori sistem dalam mencermati fenomena sosial banyak

dibahas dalam studi sosiologi. Ilmuwan sosial Jerman yan berjasa dalam melahirkan

teori sistem adalah Nilas Luhmann, sedangkan ilmuwan sosial yang berjasa dalam

mengembangkan atau mempopulerkan teori sistem adalah Kenneth Bailey dan Walter

28

Buckley. Berikut ini beberapa konsep penting tentang ‘teori sistem’ yang dikemukakan

oleh Luhmann dan Buckley dalam memahami fenomena sosial, sebagaimana yang

dijelaskan oleh Ritzer dan Goodman (2003) sebagai berikut:

Pertama, teori sistem dimunculkan atau diilhami dari ilmu-ilmu pasti (hard

sciences) atau ilmu alam (natural sciences). Jadi, dalam memahami fenomena sosial,

budaya dan psikhologis dalam teori sistem adalah sama seperti dalam memahami

fenomena ilmu alam. Oleh karena itu teori sistem termasuk teori yang berorientasi

pada pandangan positivism. .

Kedua, pendekatan teori sistem adalah memandang bahwa semua aspek atau

unsur-unsur dalam sistem sosiokultural (sosial-budaya) adalah dari segi proses,

khususnya sebagai jaringan informasi dan komunikasi. Oleh karena itu teori sistem

secara inheren bersifat integratif, sedangkan bentuk integratif antar unsur sosial-

budaya tersebut adalah bersifat menyatu dan umpan balik (feed back)

Ketiga, Menurut Buckley, bahwa sifat atau bentuk hubungan sistem dibedakan

menjadi tiga macam, yaitu: (1) hubungan ‘sistem mekanik’, cirinya adalah: (a) bersifat

langsung dan otomatis atau ‘transfer energi’; (b) lebih bersifat tertutup; dan (c)

cenderung bersifat entropik; (2) hubungan ‘sistem organik’, cirinya adalah: (a)

hubungan antar aspek dalam sistem tersebut sudah lebih menekankan aspek

pertukaran informasi daripada aspek pertukaran energi; (b) lebih terbuka daripada

sistem mekanik; dan (c) cenderung bersifat negentropik; dan (3) hubungan ‘sistem

sosiokultural’, cirinya adalah: (a) hubungan antar aspek atau unsur dalam sistem

tersebut adalah lebih menekankan pada pertukaran informasi; (b) sifatnya paling

terbuka; (c) cenderung lebih banyak terjadi ketegangan dalam sistem, apabila

dibandingkan pada sistem mekanik dan sistem organik; dan (d) bersifat purposif dan

mengejar tujuan karena sistem ini menerima umpan balik (feed back) dari lingkungan

yang menyebabkan mereka terus bisa berubah untuk meraih tujuan.

Keempat, ada perbedaan teori sistem yang dikembangkan Buckley dengan

teori sistem yang dikembangkan Parsons, yaitu: (a) menurut Buckley faktor ‘umpan

balik’ (feed back) adalah aspek yang esensial (mendasar) dalam ‘sistem sosiokultural’

atau pendekatan sibernetik (cybernetic), sedangkan menurut Parsons faktor menjaga

atau terwujudnya ‘keseimbangan’ (equilibrium) unsur-unsur dalam sistem adalah

aspek yang esensial dalam memahami ‘teori sistem’; dan (b) Buckley memandang

peran subjek atau individu ikut mewarnai ‘sistem sosiokultural’, karena kesadaran

(jiwa) individu tidak terpisahkan dari tindakan dan interaksi, atau antara kesadaran

dan tindakan serta interaksi bersifat integratif, sedangkan menurut Parsons

kesadaran (jiwa) individu tidak menentukan tindakan dan interaksi sosial, yang

29

menentukan struktur, atau struktur yang menentukan tindakan atau interaksi sosial

seseorang.

Kelima, beberapa prinsip atau konsep dasar ‘teori sistem’ sosiokultural

Buckley adalah: (a) teoritisi sistem menerima ide bahwa ‘ketegangan’ dalam sistem

adalah sesuatu yang normal, selalu hadir, dan merupakan realitas yang diperlukan

dalam sistem sosial; (b) penekanan pada ketegangan dan variasi aktivitas dalam

sistem membuat perspektif sistem sosial menjadi dinamis; (c) proses sosial didalam

sistem sosial selalu terjadi ‘proses seleksi’ secara terbuka terhadap kemampuan

individu atau antar individu, sehingga proses sosial dalam sistem lebih dinamis; (d)

level interpersonal merupakan dasar pengembangan dari struktur yang lebih luas.

Demikian juga proses transaksional dalam interpersonal, yang berupa pertukaran,

negoisasi, dan tawar menawar (bargaining) adalah proses-proses yang melahirkan

truktur sosial dan kultural yang lebih stabil; dan (e) melalui transaksi dan bargaining

yang dilakukan secara terus menerus akan melahirkan penyesuaian dan akomodasi

yang relatif stabil.

Keenam, teoritisi sistem dalam studi sosiologi yang mencoba

mengkombinasikan antara teori fungsional struktural Parsons dengan teori sistem

umum adalah Luhmann. Kritik Luhmann terhadap pandangan Parsons adalah: (a)

pendekatan Parsons tidak memberikan tempat untuk ‘referensi diri’ (self reference),

sedangkan menurut Luhmann ‘kemampuan masyarakat untuk merujuk pada dirinya

sendiri adalah penting untuk memahaminya sebagai sebuh sistem’; dan (b)

pendekatan Parsons tentang skema AGIL tidak memberi kemungkinan (contingency)

adanya faktor-faktor lain yang ikut menentukan dalam suatu sistem soial, sedangkan

menurut Luhmann, bahwa segala sesuatu mungkin bisa memberikan pengaruh yang

berbeda. Menurut Luhmann, suatu ‘sistem’ selalu kurang kompleks daripada

‘lingkungan’, namun sistem mengembangkan subsistem-subsistem baru dan

membangun berbagai hubungan antar subsistem untuk mengatasi lingkungan secara

efektif.

Ketujuh, Luhmann mengembangkan teori sistem dengan istilah ‘sistem-sistem

autopoietic’, beberapa karakteristik ‘sistem-sistem Autopoietic’ Luhmann adalah: (a)

sebuah sistem autopoietic’ menghasilkan elemen-elemen dasar, misalnya sistem

ekonomi modern menghasilkan elemen dasar ‘uang’; (b) sistem autopoietic’

mengorganisasikan diri (self organizing) dalam dua cara, yaitu mengorganisasi diri

dengan membuat batas-batas diri dan mengorganisasikan struktur internalnya,

misalnya sistem ekonomi dengan menetapkan harga barang tertentu atau peraturan

tertentu; (c) sistem autopoietic’ adalah self referential, misalnya sistem ekonomi

menggunakan harga sebagai cara untuk mengacu pada dirinya sendiri; dan (d)

30

sebuah sistem autopoietic’ adalah sistem tertutup, artinya tidak ada kaitan antara

sistem dengan lingkungan. Jadi, menurut Luhmann, ‘bahwa masyarakat adalah sistem

autopoietic’, dimana masyarakat adalah: (a) menghasilkan elemen-elemen dasarnya,

(b) membangun struktur dan batas-batasnya sendiri; (c) self reference; dan (d)

tertutup’.

Elemen dasar dari masyarakat adalah ‘komunikasi’, dan komunikasi dihasilkan

oleh masyarakat. Indiviu mempunyai makna atau relevansi dengan masyarakat

apabila individu tersebut dapat berkomunikasi dalam proses interaksi sosial di

masyarakat. Menurut Luhmann, ada perbedaan antara konsep ‘sistem psikis’ dengan

‘sistem sosial’, yaitu: ‘sistem psikis’ adalah kesadaran individu, dan elemen-elemen

dari ‘sistem psikis adalah representasi konseptual, sedangkan ‘sistem sosial’ adalah

‘makna (meaning) sosial/kolektif’, dan elemen-elemen dari ‘sistem sosial’ adalah

komunikasi. Jadi, dalam sistem psikis, makna dikaitkan dengan kesadaran,

sedangkan dalam sistem sosial makna dikaitkan dengan komunikasi. Baik sistem

psikis maupun sistem sosial adalah berevolusi secara bersama-sama.

Menurut Luhmann, dalam sistem sosial terdapat ’differensiasi’, dan dalam

masyarakat modern proses differensiasi dalam sistem semakin kompleks, yang sering

disebut ’differensiasi sistem fungsional’. Differensiasi adalah ’replika keberagaman

dalam sistem’. Dalam sistem yang differensial terdapat dua lingkungan yaitu:

lingkungan internal (pola yang khas didalam sub sistem), dan lingkungan eksternal

(pola yang khas antar sub sistem). Ada beberapa bentuk differensial dalam sistem

menurut Luhmann, yaitu: (a) differensial segmentasi, yaitu keberagaman dalam

membagi bagian-bagian dari sistem berdasarkan jenis kebutuhan hidup; (b)

differensiasi stratifikasi, yaitu keberagaman dalam sistem karena perbedaan status

secara hirarkhis (vertikal); (c) differensiasi pusat-pinggiran, yaitu keberagaman dalam

sistem yang didasarkan pada pembagian pusat (center) dan pinggiran (periphery);

dan (d) differensiasi sistem fungsional, yaitu differensiasi yang paling kompleks yang

banyak terjadi pada masyarakat modern, dan lebih bersifat fleksibel daripada

differensiasi lainnya. Dalam differensiasi sistem fungsional, apabila terjadi perubahan

pada sub-sistem akan begitu cepat mempengaruhi sub-sistem lainnya.

Kedelapan, menurut Ritzer dan Goodman (2003), ada beberapa hal yang

dapat dikritisi dari teori sistem Luhmann, antara lain: (a) dia melihat bahwa keharusan

perkembangan evolosioner sesungguhnya adalah regresif dan tidak mesti

(unnecessary), hal ini tentu banyak bertentangan dengan realitas sosial yang terus

berkembang dan terbuka (tidak tertutup seperti pandangan Luhmann); (b) dia melihat

bahwa differensiasi adalah ’kunci’ untuk mendiskripsikan perkembangan (evolusi)

masyarakat dan meningkatnya kompleksitas sistem sosial dalam menghadapi

31

lingkungannya. Dalam realitas sosial tidak hanya faktor differensiasi yang menjadi

kunci dalam mendiskripsikan evolusi masyarakat, tetapi masih ada dua faktor lain

yaitu: de-differensiasi (proses memudarnya atau pembubaran batas-batas antar sub

sistem sosial); dan interpenetrasi (proses pembentukan institusi untuk memperkuat

hubungan sistem); (c) teori sistem Luhmann cenderung melihat proses-proses dalam

sistem adalah antievolusioner, karena evolusi didefinisikan sebagai peningkatan

differensiasi. Tampaknya teori sistem Luhmann terbatas kemampuannya untuk

mendeskripsikan relasi antar sistem. Tidak semua sistem tampak tertutup dan otonom

seperti yang diasumsikan Luhmann. Meskipun teori sistem Luhman ada

kelemahannya, namun konsep-konsep dasar dari teori sistem tersebut banyak

sumbangannya dalam proses analisis fenomena sosial budaya di masyarakat.

C. Fenomena Sosial-budaya Dalam Perspektif Teori Fungsional Struktural

Nenurut Robert Nisbet, ‘bahwa teori fungsional struktural adalah satu

bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad 20’. Meski

hegeomoni teori fungsional struktural mendominasi dua dekade sesudah Perang

Dunia II, pada era akhir abad 20 teori ini teori fungsional struktural mulai dikritik para

ilmuwan sosial. Menurut Demerath dan Peterson, ‘bahwa teori fungsional struktural

masih perlu dikembangkan, karena masih ada sisi kelemahannya’. Dari pandangan ini

akhirnya muncul ‘teori neofungsionalisme’ (Ritzer dan Goodman, 2004).

Ada beberapa hal yang perlu dipahami dalam mengkaji teori fungsional

struktural untuk digunakan sebagai pisau analisis fenomena sosial-budaya, yaitu: (1)

Bagaimana pandangan teori fungsional struktural Talcott Parsons dalam memahami

fenomena sosial-budaya?; (2) Bagaimana pandangan teori fungsional struktural

Robert K. Merton dalam memahami fenomena sosial-budaya?; (3) Bagaimana

pandangan Neofungsionalisme dalam memahami fenomena sosial-budaya?; dan (4)

Bagaimana kritik terhadap teori fungsionalisme struktural menurut para ahli?.

Keempat permasalahan tersebut yang akan menjadi fokus kajian berikut ini.

1. Pandangan teori fungsional struktural Talcott Parsons dalam memahami fenomena

sosial-budaya

Selama hidupnya Parsons membuat sejumlah besar karya teoritis. Ada

perbedaan penting antara karya awal dan karya yang terakhirnya. Ada tiga tahap

refleksi teoritik Parsons, yaitu: (1) Tahap pertama ketika dia menyusun teori Tindakan

Voluntaristik (1949); (2) Tahap kedua ketika dia meninggalkan teori tindakan

voluntaristik ke Teori Sistem (1951); dan Tahap ketiga, tahap terakhir ketika dia

menerangkan Teori Fungsional Struktural pada evolusi masyarakat (1966) (Herry

Priyono, 2002: 78).

32

Berikut ini dibahas teori Parsons, tentang konsep ‘Sistem Sosial’ dan

‘Fungsionalisme Struktural’. Ada tiga hal penting dalam memahami fungsionalisme

struktural Parsons, yaitu (1) Skema AGIL; (2) Konsep Sistem; dan (3) Konsep

Struktur.

Konsep, Skema AGIL. Menurut Parsons ada empat fungsi penting yang

diperlukan dalam menganalisis semua sistem “tindakan” manusia untuk pemeliharaan

pola di masyarakat, yaitu Adaptation (A), goal attainment (G), integration (I), dan

latensi (L). Setiap kehidupan kelompok agar tetap bertahan (survive), maka sistem

dalam kelompok itu harus memiliki empat fungsi yang saling berhubungan timbal

balik, yaitu:

a. Adaptation (adaptasi). Sebuah sistem harus menanggulangi situasi eksternal yang

gawat. Sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan

dengan lingkungan itu dengan kebutuhannya. Kemudian ‘Organisme Perilaku’

adalah merupakan sistem tindakan yang melaksanakan fungsi adaptasi

(menyesuaikan dan mengubah lingkungan eksternal). Sedangkan bidang atau

‘Sistem Ekonomi’, adalah merupakan subsistem yang melaksanakan fungsi

masyarakat dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan melalui: tenaga kerja,

produksi, dan alokasi.

b. Goal attainment (Pencapaian tujuan). Sebuah sistem harus mendefinisikan dan

mencapai tujuan utamanya. Kemudian ‘Sistem Kepribadian’, adalah

melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan menetapkan tujuan sistem dan

memobilisasi sumber daya yang ada untuk mencapainya. Sedangkan ‘Sistem

Pemerintahan’ (sistem politik), adalah melaksanakan fungsi pencapain tujuan

dengan mengejar tujuan kemasyarakatan dan memobilisasi aktor (sumber daya

manusia) untuk mencapai tujuan.

c. Integration (Integrasi). Sebuah sistem harus mengatur hubungan antar bagian

dalam sistem, sistem juga harus mengelola hubungan ketiga fungsi lainnya

(A,G,L). Kemudian ‘Sistem Sosial’, adalah menanggulangi fungsi integrasi dengan

mengendalikan bagian-bagian dalam sistem. Sedangkan ‘Komunitas

Kemasyarakatan’ (contoh, hukum, atau seperangkat aturan), adalah akan

menjalankan fungsi integrasi, mengkoordinasi beragam komponen masyarakat.

d. Latency (pemeliharaan pola). Sebuah sistem harus memperlengkapi, memelihara

dan memperbaiki, baik motivasi individu atau pola kultural untuk bertindak.

Kemudian ‘Sistem Kultural’, adalah melaksanakan fungsi pemeliharaan pola

dengan menyediakan aktor seperangkat norma dan nilai yang mendorong individu

bertindak. Sedangkan ‘sistem fiduciari’ (contoh lembaga keluarga, sekolah,

33

agama), adalah menangani fungsi pemeliharaan pola dengan menyebarkan nilai,

norma pada aktor (individu) untuk diinternalisasikan pada dirinya.

Hubungan AGIL disetiap sistem tindakan dalam kelompok seperti dalam skema

berikut: Gambar 2.1 tentang hubungan timbal balik skema AGIL

(Johnson D, 1986; Ritzer dan Goodman, 2004)

Setiap peneliti dalam melakukan analisis fenomena sosial, apabila

menggunakan teori fungsionalisme struktural Parsons, seharusnya menggunakan

skema tersebut di atas, yang keempatnya mempunyai keterkaitan satu dengan yang

lainnya. Untuk memahami skema tersebut, beberapa pemikiran kunci dari Parsons

tentang fungsionalisme struktural dapat dipahami dalam konsep-konsep sebagai

berikut:

a. Sistem kultural, merupakan kekuatan utama yang mengikat berbagai sistem

tindakan. Kultur mengatur interaksi antaraktor, menginteraksikan kepribadian dan

menyatukan sistem sosial.

b. Kultur, dipandang sebagai sistem simbol yang terpola, teratur yang menjadi

sasaran orientasi aktor, aspek-aspek kepribadian yang sudah terinternalisasi dan

pola-pola yang sudah terlembagakan di dalam sistem sosial. Jadi, kultur akan

menjadi faktor eksternal untuk menekan pola tindakan aktor atau individu. Individu

tidak merdeka dalam bertindak, karena semua tindakan individu sudah ditentukan

oleh kultur (budaya)

c. Kultur, dapat dipindahkan dari satu sistem ke sistem lain melalui penyebaran

(difusi) dan dipindahkan dari kepribadian satu ke sistem kepribadian lain melalui

proses ‘pembelajaran budaya’, yaitu: proses internalisasi; proses sosialisasi; dan

proses enkulturasi (Koentjaraningrat, 1989; Ritzer dan Goodman, 2004).

ADAPTATION

- Organisme Perilaku- Sistem Ekonomi

GOAL ATTAINMENT

- Sistem Kepribadian- Sistem Pemerintahan

(sistem politik)

INTEGRATION- Sistem Sosial- Komunitas

Kemasyarakatan (hukum, norma)

LATENCY- Sistem Kultural- Sistem Fiduciari’

(lembaga keluarga, sekolah, agama)

34

d. Sistem sosial, yaitu terdiri dari sejumlah aktor individual yang saling berinteraksi

dalam situasi yang mempunyai aspek lingkungan (fisik), aktor mempunyai motivasi

untuk “mengoptimalkan kepuasan”, yang berhubungan dengan situasi mereka

didifinisikan dan dimediasi dalam term simtem simbol yang terstruktur secara

kultural.

e. Konsep kunci ‘sistem sosial’ menurut Parsons adalah: (a) aktor; (b) interaksi; (c)

lingkungan; (c) optimalisasi; (d) kepuasan; dan (e) kultur. Meski Parsons melihat

sistem sosial sebagai interaksi, tetapi dia tidak menggunakan interaksi sebagai

unit fundamental dalam studi tentang sistem sosial. Dia menggunakan ‘status-

peran’ sebagai unit dasar dari sistem sosial. Status adalah menyangkut posisi

struktural individu dalam sistem sosial, sedangkan peran adalah apa yang harus

dilakukan individu dalam posisinya. ‘Aktor’ dalam pandangan Parsons, bukan

dilihat dari sudut pikiran, ide, keyakinan dan tindakan sehari-hari (seperti dalam

teori berparadigma definisi sosial, yaitu teori intraksionisme simbolik), tetapi dilihat

sebagai ‘kumpulan beberapa status dan peran yang terpola oleh struktur dalam

sistem sosial-budaya’. Jadi individu ter-determinasi faktor eksternal atau struktur

sosial-budaya.

f. Ada tujuh persyaratan fungsional dari ‘sistem sosial’ menurut Parsons, yaitu: (1)

sistem sosial harus terstruktur (ditata) sedemikian rupa sehingga bisa beroperasi

dalam hubungan yang harmonis dengan sistem lainnya (antar sub sistem); (2)

untuk menjaga kelangsungan hidupnya, sistem sosial harus mendapat dukungan

yang diperlukan dari sistem yang lain; (3) sistem sosial harus mampu memenuhi

kebutuhan para aktornya dalam proporsi yang signifikan; (4) sistem sosial harus

mampu melahirkan partisipasi yang memadai dari para anggotanya; (5) sistem

sosial harus mampu mengendalikan perilaku yang berpotensi mengganggu; (6)

apabila dalam sistem terjadi konflik hal itu akan menimbulkan kekacauan, oleh

karena itu harus dikendalikan; dan (7) untuk kelangsungan hidupnya, sistem sosial

memerlukan bahasa (Abraham, 1982; Craib, 1984; Hamilton, 1990). Disini

menunjukkan analisis sistem Parsons bersifat makro, bukan mikro.

g. Inti pemikiran Parsons ada dalam empat sistem tindakan, yaitu: (1) Sistem

kultural; (2) Sistem sosial; (3) Sistem kepribadian; dan (4) Organisme perilaku,

yang keempatnya terkait dengan skema AGIL, sebagaimana diuraikan di atas.

h. Ada tujuh asumsi dasar Parsons tentang ‘fungsionalisme struktural’, yaitu: (1)

Sistem memiliki properti keteraturan dan bagian-bagian yang saling tergantung;

(2) Sistem cenderung bergerak ke arah mempertahankan keteraturan diri atau

keseimbangan; (3) Sistem mungkin statis atau bergerak dalam proses perubahan

yang teratur; (4) Sifat dasar bagian suatu sistem berpengaruh terhadap bentuk

35

bagian-bagian lain; (5) Sistem memelihara batas-batas dengan lingkungannya; (6)

Alokasi dan integrasi merupakan dua proses fundamental yang diperlukan untuk

memelihara keseimbangan sistem; dan (7) Sistem cenderung menuju ke arah

pemeliharaan keseimbangan diri yang meliputi pemeliharaan batas dan

pemeliharaan hubungan antara bagian-bagian dengan keseluruhan sistem,

mengendalikan lingkungan yang berbeda-beda dan mengendalikan

kecenderungan untuk merubah sistem dari dalam (Ritzer dan Goodman, 2004:

123). Ketujuh asumsi inilah yang menempatkan analisis struktur keteraturan

masyarakat sebagai prioritas utama teori fungsionalisme struktural Parsons.

i. Aktor dan sistem sosial. Mengenai hal ini Parsons berpandangan: (1) Antara aktor

dan struktur sosial mempunyai hubungan erat; (2) Persyaratan kunci bagi

terpeliharanya integrasi pola nilai di dalam sistem adalah proses internalisasi dan

sosialisasi; (3) Dalam proses sosialisasi, nilai dan norma diinternalisasikan (norma

dan nilai menjadi bagian dari “kesadaran” aktor), sehingga aktor mengabdi pada

kepentingan sistem sebagai suatu kesatuan; (4) Aktor biasanya menjadi penerima

pasif dalam proses sosialisasi. Sosialisasi dikonseptualisasikan sebagai proses

konservatif (sebagian besar kebutuhan dibentuk oleh masyarakat). Norma dan

nilai yang dipelajari sejak kecil cenderung tidak berubah, dan cenderung berlaku

sampai tua; (5) Perhatian Parsons lebih tertuju kepada sistem sebagai satu

kesatuan ketimbang pada aktor di dalam sistem. Dalam fungsionalisme struktural

Parsons, adalah, bagaimana cara sistem mengontrol atau mengendalikan aktor

(individu), bukan mempelajari bagaimana cara aktor menciptakan dan memelihara

sistem (Abraham, 1982; Craib, 1984; Hamilton, 1990).

j. Bagaimana ‘sistem sosial’ menghadapi realitas pribadi individu yang beragam

agar tidak terjadi problem?. Parsons mengemukakan pendapat, yaitu: (1) Dalam

sistem sosial harus ada mekanisme pengendalian sosial yang dilakukan dengan

baik (hemat); (2) Sistem sosial harus mampu menghormati perbedaan, bahkan

penyimpangan tertentu (sistem sosial harus lentur atau flexible); (3) Sistem sosial

harus menyediakan berbagai jenis peluang untuk berperan yang memungkinkan

beragam kepribadian untuk aktif tanpa mengancam integrasi.

k. Masyarakat. Menurut Parsons masyarakat merupakan salah satu ‘sistem sosial

khusus’, karena kolektif ini relatif mampu mencukupi kebutuhannya sendiri.

Parsons membedakan antara empat struktur atau subsistem dalam masyarakat

menurut fungsi (AGIL) yang dilaksanakan masyarakat, yaitu: Subsistem ekonomi

(dalam Adaptation); subsistem pemerintahan (dalam Goalattainment); sistem

komunitas kemasyarakatan (dalam Integration); dan subsistem fiduciari (dalam

Latency), lihat bagan di atas.

36

l. ‘Sistem kepribadian’. Pandangan Parsons tentang sistem kepribadian

(personalitas) adalah: (1) Personalitas diartikan sebagai sistem orientasi dan

motivasi tindakan aktor individual yang terorganisir. Komponen dasarnya adalah

“disposisi dan kebutuhan”. Disposisi kebutuhan merupakan “unit-unit motivasi

tindakan yang paling penting”; (2) Ada tiga tipe dasar disposisi kebutuhan, yaitu:

(a) memaksa aktor mencari cinta, persetujuan dsb, dari hubungan sosial mereka;

(b) meliputi internalisasi nilai yang menyebabkan aktor mengamati berbagai

standar kultural; dan (c) adanya peran yang diharapkan yang menyebabkan aktor

memberikan dan menerima respon yang tepat; dan (3) Hubungan sistem

kepribadian dengan sistem sosial adalah: (a) aktor harus belajar melihat dirinya

sendiri menurut cara yang sesuai dengan tempat yang didudukinya dalam

masyarakat; dan (b) peran yang diharapkan dilekatkan pada setiap peran yang

diduduki oleh aktor individual. Dari ketiga hal tersebut menyimpulkan bahwa,

dalam fungsionalisme struktural Parsons, menempatkan citra aktor dalam aktivitas

sosial dalam posisi sangat pasif, dipaksa oleh dorongan hati dan didominasi oleh

kultur atau gabungan dorongan hati dan kultur (disposisi-kebututuhan) (Craib,

1984; Hamilton, 1990; Ritzer dan Goodman, 2004).

m. Teori Evolusi. Parsons ditahun 1960-an mendapat kecaman hebat, bahwa

teorinya, fungsionalisme struktural (empat sistem tindakan dan fungsi

imperatifnya) tidak mampu menjelaskan fenomena perubahan sosial,

menyebabkan dia di tahun 1966 mulai mengkaji tentang perubahan sosial, dan

Parsons menyebutnya ‘Paradigma perubahan evolusioner’.

n. Ada tiga komponen paradigma perubahan evolusioner, yaitu: (1) ‘Proses

diferensiasi’, artinya: setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang

beragam strukturnya dan fungsionalnya; (2) Proses diferensiasi menimbulkan

‘sekumpulan masalah integrasi baru’ bagi masyarakat (masing-masing subsistem

mempunyai kemampuan menyesuaikan diri yang meningkat). Masyarakat akan

berevolusi dari sistem yang bersifat ascription ke sistem yang berdasarkan

achievement; dan (3) ‘Sistem nilai dasar’, artinya semakin maju masyarakat

semakin beragam nilai-norma yang dianut. Oleh karena itu diperlukan sistem nilai

dasar (umum/pokok) yang lebih tinggi untuk melegitimasi keragaman norma,

tujuan dan fungsi dari subunit masyarakat.

o. Parsons, menilai masyarakat akan berevolusi dalam tiga tahap, yaitu: (1)

Masyarakat primitif; (2) Masyarakat lanjutan; dan (3) Masyarakat modern. Dia

membedakan tiga tahap ini berdasarkan dimensi kultural (Abraham, 1982; Craib,

1984; Hamilton, 1990). Jadi, pandangan Parsons tentang perubahan sosial-

budaya adalah: (1) Proses perubahan yang terjadi akan mengarah pada

37

keseimbangan (equilibrium) dalam sistem sosial, apabila ada konflik internal, perlu

dicari upaya-upaya untuk tetap terjaga keseimbangan dalam sistem; (2) Proses

diferensiasi struktural akan menimbulkan perubahan baru di dalam subsistem,

tetapi tidak mengubah struktur sistem sosial-budaya secara keseluruhan. Nilai-

nilai pokok dianggap tetap tidak berubah; (3) Perubahan evolusi masyarakat

adalah mengarah kepada “peningkatan kemampuan adaptasi”, menuju

keseimbangan hidup; dan (4) Apabila terjadi perubahan struktural, maka akan

terjadi perubahan dalam kultur normatif sistem sosial bersangkutan (perubahan

sistem nilai-nilai terpenting). Hal ini akan mempengaruhi perubahan unit-unit lain

dalam sistem (Lauer, 1993) atau perubahan revolusi.

Parsons (1966) mengembangkan teori perubahan yang dibedakan menjadi

tiga macam perubahan yaitu: (1) Perubahan ke arah sistem perbaikan

(mempertahankan sistem), yakni memperbaiki pola utama ‘equilibrium’. Ini dianggap

perubahan yang sesuangguhnya (Namun pola perubahan ini masih statis); (2)

Perubahan dalam arti sebagai makna perbaikan unit-unit perbedaan, sub sistem

kedalam pola fungsional secara khusus atau saling ketergantungan (perubahan

koordinasi aktivitasnya dan fungsi-fungsinya); (3) Perubahan “adaptive apgrading”,

artinya sistem sosial menjadi sangat efektif dalam generasi dan distribusi sumber dan

meningkatkan survivalnya (Harper, 1989; Lauer, 1993).

2. Pandangan teori fungsional struktural Robert K. Merton dalam memahami

fenomena sosial-budaya

Merton adalah murid Parsons, tetapi dia juga mengecam beberapa aspek

fungsionalisme struktural Parsons. Langkah Merton ini lebih membantu dalam

memanfaatkan perspektif fungsional struktural dalam analisis sosial bagi para peneliti

sosial. Ada beberapa perbedaan antara fungsionalisme struktural (FS) Parsons

dengan Merton, yaitu: (1) FS Parsons merupakan penciptaan teori-teori besar (Grand

theory) dan luas cakupannya, sedangan FS Merton menyukai teori yang terbatas,

teori tingkat menengah (Middle range theory); (2) FS Merton lebih menyukai teori

Marxian (fungsionalisme struktural lebih ke kiri secara politis), sedangkan FS Parsons

tidak (Ritzer dan Goodman, 2004).

Beberapa pokok pikiran Merton berkaitan dengan fungsionalisme

strukturalnya, adalah:

a. Merton mengkritik tiga postulat dasar analisis struktural yang dikembangkan oleh

antropolog Malinowski dan Radcliffe Bron, yaitu : (1) Postulat, ‘bahwa semua

keyakinan dan praktik social-budaya yang sudah baku adalah fungsional untuk

kehidupan individu dan masyarakat’. Hal ini telah terjadi integrasi tingkat tinggi.

Postulat ini bagi Merton hanya berlaku bagi masyarakat primitif yang kecil, tetapi

38

tidak cocok bagi masyarakat modern dan kompleks; (2) Postulat, ‘fungsionalisme

universal’, artinya, bahwa seluruh bentuk kultur, sosial dan struktur yang sudah

baku mempunyai fungsi positif. Bagi Merton, tidak setiap struktur, adat, gagasan,

kepercayaan mempunyai fungsi positif, terlebih dalam masyarakat yang kompleks

atau modern; (3) Postulat, tentang ‘indispensability’, artinya semua struktur dan

fungsi secara fungsional adalah penting untuk masyarakat. Bagi Merton, dalam

hidup sosial-budaya perlu ada beragam alternatif struktur dan fungsional dalam

masyarakat, terutama pada masyarakat modern yang sangat kompleks.

b. Sasaran studi struktural fungsional menurut Merton adalah: peran sosial, pola

institusional, proses sosial, pola budaya, emosi yang terpola secara kultural,

norma sosial, organisasi kelompok, struktur sosial, perlengkapan untuk

pengendalian sosial dan sebagainya. Dan perhatian analisis struktur fungsional

seharusnya lebih memusatkan pada ’fungsi sosial’ daripada pada ‘motif

individual’. Fungsi didefinisikan sebagai ‘konsekwensi-konsekwensi yang dapat

diamati yang menimbulkan adaptasi atau penyesuaian dari sistem tertentu’.

c. Ada beberapa konsep penting Merton, yaitu (1) Konsep ‘Disfungsi’. Menurut

Merton, sistem sosial, struktur, atau institusi dapat menimbulkan akibat positif

dan juga negatif (disfungsi) dalam sistem sosial. Contoh, sistem perbudakan di

Amerika Serikat; (2) Konsep ‘Nonfunctions’, yang didefinisikan sebagai akibat-

akibat yang sama sekali tidak relevan dengan sistem yang sedang diperhatikan,

artinya bentuk tindakan sosial lama (kuno) yang tetap ‘bertahan hidup’ dan tidak

berpengaruh secara signifikan terhadap kehidupan masyarakat sekarang; (3)

Konsep ‘Net balance’ (keseimbangan bersih), artinya setiap peneliti dalam

melakukan analisis sosial harus mampu mengembangkan pertanyaan pada

‘tingkatan analisis fungsional’, dengan menimbang, membandingkan, menjumlah

fungsi positif dan disfungsinya, misalnya: perbudakan mungkin lebih fungsional

bagi unit sosial tertentu dan lebih disfungsional bagi unit sosial lainnya. Inilah

yang membedakan Merton dengan tokoh fungsional struktural lainnya (umumnya

teoritisi fungsional hanya menganalisis masyarakat sebagai satu kesatuan); (4)

Konsep ‘fungsi nyata’ (Manifest) dan ‘fungsi tersembunyi’ (Latent). Kedua istilah

ini memberikan tambahan penting bagi analisis fungsional versi Merton. Fungsi

nyata (manifest) adalah fungsi yang diharapkan (contoh, lembaga rumah sakit

adalah berfungsi merawat dan menyembuhkan orang sakit). Fungsi tersembunyi

(latent) adalah fungsi yang tidak diharapkan (contoh, rumah sakit adalah

lembaga yang menghabiskan uang/ kekayaan bagi yang sakit, dan bisa

menimbulkan jumlah orang sakit bertambah). Menurut Merton, fungsi latent ada

yang fungsional untuk sistem sosial dan ada yang tidak fungsional.

39

d. Sumbangan terpenting Merton terhadap fungsionalisme struktural dan terhadap

analisis sosial-budaya pada umumnya, khususnya tentang analisisnya mengenai

hubungan antara: kultur (budaya), struktur sosial dan anomie, yaitu: (1) Kultur,

adalah ‘seperangkat nilai normatif’ yang terorganisir, yang menentukan perilaku

bersama anggota masyarakat atau kelompok; Struktur sosial adalah ‘seperangkat

hubungan sosial yang terorganisir, yang dengan berbagai cara melibatkan

anggota masyarakat atau kelompok di dalamnya’; dan Anomie, adalah ‘kondisi

individu atau kelompok yang tidak mampu bertindak sesuai dengan nilai normatif

atau tujuan yang terstruktur secara sosial dalam kelompoknya’. (2) Setiap

melakukan analisis fenomena sosial-budaya, perlu menghubungkan ketiga

konsep tersebut (Kultur, Struktur sosial dan Anomie), artinya analisis terhadap

pola aktivitas individu dalam masyarakat dianggap perilaku menyimpang atau

tidak menyimpang sangat dipengaruhi oleh bagaimana analisis hubungan antar

ketiga konsep tersebut; dan (3) Merton lebih tertarik dengan disfungsi yang dalam

hal ini adalah anomie, lebih khusus, Merton menghubungkan terjadinya anomie

karena adanya kesenjangan antara kultur (budaya) dan struktur sosial (Johnson,

1981; Craib, 1984; Hamilton, 1990).

e. Beberapa konsep dasar Merton tentang ‘organisasi birokrasi modern’, yaitu: (1)

Birokrasi merupakan struktur sosial yang terorganisir secara rasional dan formal,

(2) Birokrasi meliputi suatu pola kegiatan yang memiliki batas-batas yang jelas;

(3) Kegiatan-kegiatan tersebut secara ideal berhubungan dengan tujuan-tujuan

organisasi; (4) Jabatan-jabatan dalam organisasi diintegrasikan kedalam

keseluruhan struktur birokratis; (5) Status dalam birokrasi tersusun kedalam

susunan yang bersifat hirarkhis; (6) Berbagai kewajiban serta hak-hak di dalam

birokrasi dibatasi oleh aturan-aturan yang terbatas serta terperinci; (7) Otoritas

pada jabatan bukan pada orang; dan (9) Hubungan antar individu dibatasi secara

formal (Poloma, 2000).

f. Beberapa prinsip tentang studi perubahan sosial menurut Merton, yaitu: (1)

Struktur birokrasi dapat melahirkan tipe kepribadian yang lebih mematuhi aturan

normatif. Apabila perilaku dalam birokrasi tidak sesuai dengan aturan normatif,

maka akan terjadi anomie (non konformis); (2) Anomi, disini bukan bersifat

psikologis, melainkan lebih berkaitan dengan tidak serasinya (kesenjangan)

antara kultural dengan struktural dalam kelompok. Jadi, fenomena anomi dalam

masyarakat memerlukan penjelasan secara sosiologis, bukan psikologis; (3)

Analisa fungsional struktural menurut Merton, tidak hanya menggunakan tiga

postulat di atas (yaitu: Postulat kesatuan fungsional masyarakat; Postulat

fungsional universal dan Postulat indispensability), tetapi juga perlu dipadu

40

dengan analisa lainnya, yaitu: Analisa konsep disfungsi (Anomi); Analisa

Konsekwensi keseimbangan fungsional (net balance); dan Analisa fungsi

manifes dan fungsi latent (Craib, 1984; Hamilton, 1990; Poloma, 2000).

3. Pandangan Neofungsionalisme dalam memahami fenomena sosial-budaya

Diantara neofungsionalisme, antara lain: Jeffrey Alexander dan Paul Colomy.

Neofungsionalisme muncul di tahun 1980-an, sebagai bentuk upaya menghidupkan

kembali teori fungsional struktural yang mulai redup sejak 1960-an hingga 1970-an.

Neofungsionalisme didefinisikan oleh Colomy sebagai ‘rangkaian kritik diri (internal)

teori fungsional yang mencoba memperluas cakupan intelektual fungsionalisme yang

sedang mempertahankan inti teorinya’. Jadi, teori fungsional struktural yang lama

dianggap terlampau sempit, dan tujuan Alexander dan Colomy adalah menciptakan

teori sintesis disebut ‘Neofungsionalisme’. Ada beberapa kelemahan (problem) yang

dihadapi oleh teori fungsionalisme struktural yang perlu dijawab oleh

Neofungsionalisme ada lima, yaitu: (1) anti individualisme; (2) antagonistik terhadap

perubahan; (3) konservatif;(4) idealisme; dan (5) bias antiempiris. Pada dasarnya

Neofungsionalisme bukanlah sebuah teori yang maju atau baru.

Ada enam orientasi dasar Neofungsionalisme Alexander dan Colomy, yaitu:

a. Neofungsionalisme, bekerja dengan ‘model masyarakat deskriptif’. Model ini

melihat masyarakat tersusun dari unsur-unsur yang saling berinteraksi menurut

pola tertentu, ‘hubungan secara simbiosis’, tidak ditentukan oleh satu kekuatan

semata. Jadi, masyarakat dianggap lebih bersifat terbuka dan pluralis.

b. Neofungsionalisme, memusatkan perhatian yang sama besarnya terhadap

tindakan dan keteraturan (hal ini beda dengan fungsional struktural, yang lebih

pada keteraturan atau tradisional dan bersifat makro didalam struktur dan kultur).

Sedangkan Neofungsionalisme, selain memperhatikan tingkat makro juga pola

tindakan ditingkat yang lebih mikro, juga tindakan rasional dan tindakan eskpresif

individu.

c. Neofungsionalisme, tetap memperhatikan masalah integrasi, tetapi bukan dilihat

sebagai fakta sempurna melainkan lebih dilihat sebagai ‘kemungkinan sosial’.

Neofungsionalisme mengakui penyimpangan dan kontrol sosial sebagai realitas

dalam sistem sosial. Neofungsionalisme mengakui keseimbangan tetapi dalam

konteks yang lebih luas (keseimbangan statis dan dinamik). Sedangkan dalam

fungsional struktural keseimbangan bersifat statis.

d. Neofungsionalisme, tetap menerima penekanan Parsonian tradisional atas

kepribadian, kultur, sistem sosial dan organisme perilaku (dalam struktur

tindakan), tetapi Neofungsionalisme juga menganggap interpenetrasi atas sistem

sosial dapat menghasilkan ketegangan dan perubahan sosial.

41

e. Neofungsionalisme, memusatkan perhatian pada perubahan sosial dalam proses

diferensiasi didalam sistem sosial, kultural dan kepribadian. Perubahan tidak

hanya menghasilkan konsensus dan equilibrium, tetapi juga menimbulkan

ketegangan individu dan kelompok. Hal ini berbeda dengan pandangan

fungsional struktural yang memandang perubahan hanya menghasilkan kondisi

equilibrium (keseimbangan dalam sistem)

f. Neofungsionalisme, secara tidak langsung menyatakan komitmennya terhadap

kebebasan dalam menyusun dan mengonseptualisasikan teori berdasarkan

analisis social-budaya pada tingkat makro dan mikro. Sedangkan fungsional

struktural hanya pada tingkat makro.

g. Riset fungsional struktural, dipandu oleh skema konseptual tunggal dan mengikat

area-area riset khusus dalam satu paket yang ketat, sedangkan karya empiris

Neofungsionalisme diorganisasikan secara longgar, yaitu diorganisasikan di

seputar logika umum dan memiliki sejumlah ‘cabang’ dan ‘variasi’ yang agak

otonom pada tingkat dan domain empiris yang beragam.

Neofungsionalisme, bagi Alexander dan Colomy, bukan hanya sekedar

‘elaborasi’ atau ‘revisi’ terhadap fungsional struktural, tetapi lebih sebagai

‘rekonstruksi dramatis’ terhadap fungsional struktural, karena mempunyai perbedaan

yang mendasar. Jadi, Alexander dan Colomy nampak ‘memadukan’ fungsionalisme

struktural dengan ide-ide teori pertukaran, interaksionisme simbolik, pragmatisme,

fenomenologi. (Hamilton, 1990; Ritzer dan Goodman, 2004).

4. Kritik terhadap teori fungsionalisme struktural menurut para ahli.

Teori fungsional struktural memiliki pengaruh yang paling besar dan paling

lama ( dari tahun 1930-an s.d 1960-an) dalam studi ilmu sosial, apabila dibandingkan

dengan teori lainnya (Campbell, T. 1981; Hamilton, 1990), meskipun demikian teori

fungsionalisme struktural mendapat kritikan dari teoritikus lainnya. Kritikan ini

dibedakan menjadi dua, yaitu:

Pertama, kritik substantif. Kritik utama menurut Turner, Maryanski dan Cohen,

adalah: (1) fungsionalisme struktural kurang memperhatikan realitas sejarah (bersifat

ahistoris), lebih memusatkan pada masyarakat kontemporer dan penjelasan tentang

masyarakat bersifat abstrak, atau ketidakmampuan fungsionalisme struktural untuk

menjelaskan masa lalu; (2) fungsionalisme struktural dianggap tidak mampu

menjelaskan proses perubahan sosial secara efektif pada masa kini, fungsionalisme

struktural lebih menyukai menjelaskan struktur sosial-budaya statis daripada proses

perubahan itu sendiri yang dinamis bersifat dinamis; (3) fungsionalisme struktural

tidak mampu menjelaskan fenomena konflik secara efektif, hal ini karena: (a)

fungsionalisme struktural terlalu menekankan aspek keharmonisan antar unsur; (b)

42

fungsionalisme struktural cenderung melihat konflik sebagai sesuatu yang bersifat

merusak dan terjadi di luar kerangka khidupan masyarakat, oleh karena itu

fungsionalisme struktural mengandung bias konservatif; (4) fungsionalisme struktural

cenderung memusatkan perhatian pada masalah kultural, norma, dan nilai. Individu

dipandang sebagai sosok yang dipaksa (dipengaruhi) oleh kekuatan kultural dan

sosial (faktor eksternal); (5) fungsionalisme struktural dalam praktiknya banyak

digunakan untuk mendukung status quo dan elite dominan (Turner, J.H., 1982).

Kedua, kritik logika dan metodologi, menurut Mills, Abrahamson dan Cohen,

adalah: (1) Fungsional truktural, pada dasarnya kabur, tidak jelas dan bermakna

ganda (yaitu lebih memilih sistem sosial abstrak daripada masyarakat nyata); (2)

Fungsional truktural, termasuk teori yang lebih bersifat umum (abstrak) dan ahistoris,

padahal dalam melakukan analisis fenomena sosial-budaya akan lebih baik memakai

teori ‘middle range’ spesifik yang lebih historis (Merton); (3) Pada dasarnya belum

ada metode yang memadai untuk mengkaji persoalan sosial-budaya dengan

menggunakan teori fungsional truktural; (4) Analisis fenomena sosial budaya dengan

teori fungsional truktural hanya cocok bagi kondisi sistem sosial-budaya yang relatif

sama, sedangkan untuk masyarakat yang kompleks, beragam atau modern sangat

sulit; (5) Logika fungsional truktural bersifat ‘tautologi’. Argumentasi Tautologi, adalah

argumen yang konklusinya semata-mata menegaskan apa-apa yang terkandung di

dalam premis. Jadi, dinyatakan bahwa sistem sosial ditentukan oleh hubungan antar

bagian dalam sistem dan bagian dalam sistem ditentukan oleh tempatnya dalam

sistem sosial yang lebih luas; (6) Fungsional truktural, dianggap terlalu teleologis

(seolah-olah benar secara logika, tetapi tidak selalu benar secara empiris); (7)

Menurut Dahrendorf, fungsional truktural terlalu utopis terhadap realitas sosial

budaya dan konsep equilibrium yang bersifat statis dalam pandangan fungsional

struktural adalah kurang tepat apabila dikaitkan dengan realitas kehidupan modern.

Jadi, teori fungsional truktural kurang cocok untuk analisis masyarakat modern.

Reaksi para pengikut fungsionalis struktural terhadap kritik di atas adalah: (1)

Aliran fungsional truktural, tidak seluruhnya bersifat statis equilibrium (fungsional

truktural Parsons), tetapi juga ada yang lebih dinamis, yaitu fungsional truktural versi

Merton; (2) Aliran fungsional truktural juga mengakui adanya struktural konflik dan

konflik internal didalam struktur, namun perubahan yang terjadi itu hanya bersifat

evolusi (bukan revolusi) (contoh, Aliran neo evolusi perspektif Merton); (3) Neo

evolusi perspektif Merton, melihat bahwa equilibrium dari statis mengarah ke

equilibrium dinamis (melihat masyarakat relatif kompleks, sehingga terbuka untuk

berubah).

43

D. Fenomena Sosial-budaya Dalam Perspektif Teori Konflik

Perspektif Konflik (conflict perspectives). Diantara tokoh teori konflik adalah

Karl Marx dan R. Dahrendorf. Diantara sebagian dari munculnya Teori konflik adalah

disebabkan sebagai reaksi terhadap teori fungsionalisme struktural, tetapi menurut

Dahrendorf, munculnya teori konflik bukan bermaksud untuk mengganti teori

fungsionalisme struktural. Teori konflik bersumber dari teori Marxian dan pemikiran

konflik sosial dari George Simmel. Tahun 1950-an dan 1960-an teori konflik

memberikan alternatif lain selain fungsional struktural dalam melakukan anlisis sosial-

budaya, tetapi akhir-akhir ini teori konflik kedudukannya digantikan oleh teori-teori

Neo-Marxian (Kinloch, G. C., 2005).

Pembahasan teori konflik berikut ini hanya menyinggung tenang: Teori konflik

versi Karl Marx; Teori konflik versi R. Dahrendorf; Kritik terhadap teori konflik Marx

dan Dahrendorf; Teori Konflik Neo Marxian; Teori konflik integratif; dan Perbedaan

pandangan teori fungsional struktural dengan teori konflik dalam memahami

fenomena sosial..

1. Teori Konflik Versi Karl Marx.

Pokok-pokok pandangan Karl Marx, tentang teori konflik dan pandangan

tentang masyarakat adalah sebagai berikut:

a. Marx melihat masyarakat sebagai sebuah proses perkembangan yang akan

‘menyudahi konflik melalui konflik’. Dan ciri utama hubungan-hubungan sosial di

masyarakat adalah pejuangan kelas (Cambell, 1994).

b. Tindakan-tindakan, sikap-sikap dan kepercayaan individu tergantung pada

hubungan-hubungan sosialnya, dan hubungan sosialnya tergantung pada situasi

kelasnya dan struktur ekonomis dari masyarakatnya (Jadi, faktor ekonomi

sebagai kunci dasar setiap aktifitas sosial budaya di masyarakat).

c. Eksistensi manusia sejati adalah eksistensi dimana kemampuan-kemampuan

produksi manusia diperkembangkan secara seimbang dan memuaskan

(Cambell, 1994).

d. Kepentingan fisik (bendawi), keprimaan dan kepentingan kebutuhan bendawi

adalah mendahului atau memotivasi munculnya kebutuhan jiwa atau kebutuhan-

kebutuhan akal manusia.

e. Kelebihdahuluan keberadaan masyarakat manusia daripada keberadaan individu

(segi bendawi masyarakat akan mendasari munculnya keberadaan pikiran

individu) (Mutahhari, 1985).

f. Dalam masyarakat kapitalis, dominasi kelas penguasa (the ruling class) sangat

besar, kelas proletar (buruh) terkungkung oleh kaum kapitalis, sehingga proletar

teralienasi (terasing), untuk memecahkan alienasi Marx menawarkan konsep

44

dialektika (Tesis= kesadaran kelas Antitesis = melawan thd dominas Sintesis =

muncul dominasi baru. Dari dialektika tersebut Marx meramalkan akan tercipta

masyarakat tanpa kelas (Sosialisme komunis). Jadi, masyarakat berevolusi dari

feodalisme ke kapitalisme terakhir sosialisme komunis.

g. Konsep kunci Marx tentang materialisme dialektika adalah: Mode of Production/

MoP (tata cara produksi); the force of production (kekuatan produksi), hal ini

dapat menentukan struktur kelas); dan Relation of production (hubungan

produksi). Hubungan produksi oleh Marx disebut struktur kelas. MoP ini oleh

Marx dianggap sebagai substruktur yang mendasari dan menentukan kehidupan

sosial. Jadi, materi sebagai infra struktur, sedangkan semua aspek selain materi

sebagai supra struktur (Salim, 2002).

h. Kepentingan ekonomi menjadi sebab dasar terjadinya konflik (Kapitalis

mengeksploitasi kaum proletar). Konflik mengarah ke pola perubahan revolusi.

Jadi, dalam pandangan Marx tentang konflik sosial dalam masyarakat kapitalis

adalah digambarkan dalam perkembangan sebagai berikut:

a. Pentingnya hak milik (kelas sosial ditentukan oleh hak milik alat-alat produksi, dan

hak milik ini dikuasai kaum borjuis).

b. Determinisme ekonomi (kepentingan materi/ ekonomi sebagai dasar dari segala

aspek hidup (politik, ideologi, sosial). Politik, ideologi ditentukan oleh kelas borjuis,

karena menguasai ekomoni.

c. Polarisasi kelas (terjadi kelas radikal yang terpecah dalam masyarakat antara

kelas borjuis dan proletar secara terus menerus), sebagai reaksi determinisme

ekonomi.

d. Teori nilai surplus (para kapitalis terus mengeksploitasi kaum buruh, sehingga

profit/ keuntungan menumpuk pada kaum borjuis), sehingga terjadi kelas kaya dan

kelas miskin semakin besar.

e. Alienasi (keteransingan, yaitu kaum buruh terasing terhadap kerja, terasing

terhadap modal, terasing dari jiwa aman dalam bekerja, karena kaum buruh terus

dieksploitasi oleh majikan/kaum borjuis).

f. Solidaritas dan antagonisme kelas (dengan tumbuhnya kesadaran kelas, maka

terjadi kristalisasi hubungan internal masing-masing kelas (terutama dalam kelas

buruh) dan cenderung homogen secara internal, sehingga perjuangan kelas

semakin hebat).

g. Revolusi (gerakan perubahan yang mendasar, yaitu gerakan kaum proletar

meruntuhkan peran dan dominasi kaum borjuis, yang dilakukan), sehingga kaum

proletariat mampu menguasai negara (muncul diktator proletariat).

45

h. Terciptanya masyarakat tanpa kelas (komunis). Setelah revolusi berhasil, maka

hak milik pribadi lenyap, timbul masyarakat tanpa kelas. Sosialisme komunis inilah

oleh Marx dinilai sebagai masyarakat ideal.

Menurut Turner (1982), Teori Konflik pada dasarnya berakar dari pemikiran

Karl Marx dan Max Weber. Ada enam proposisi yang dikemukakan Marx, dan tiga

proposisi yang dikemukakan Weber. Menurut Marx, adalah:

a. Semakin distribusi pendapatan tidak merata, semakin besar konflik kepentingan

antara kelompok atas dan kelompok bawah.

b. Semakin sadar kelompok bawah akan kepentingan mereka bersama semakin

keras mereka mempertanyakan keabsahan sistem pembagian pendapatan yang

ada.

c. Semakin besar kesadaran akan interest keleompok mereka dan semakin keras

pertanyaan mereka terhadap keabsahan sistem pembagian pendapatan, semakin

besar kecenderungan mereka untuk kerjasama memunculkan konflik menghadapi

kelompok yang menguasai sistem yang ada.

d. Semakin kuat kesatuan ideologi anggota kelompok bawah dan semakin kuat

struktur kepemimpinan politik mereka, semakin besar kecenderungan terjadinya

polarisasi sistem yang ada.

e. Semakin meluas polarisasi, semakin keras konflik yang terjadi.

f. Semakin keras konflik yang ada, semakin besar perubahan struktural yang terjadi

pada sistem dan semakin luas proses pemerataan sumber-sumber ekonomis.

Sedangkan proposisi yang diajukan Weber berkaitan dengan konflik sosial

adalah:

a. Semakin besar derajat merosotnya legitimasi politik penguasa, semakin besar

kecenderungan timbulnya konflik antara kelas atas dan bawah

b. Semakin karismatik pimpinan kelompok bawah, semakin besar kemampuan

kelompok ini memobilisasi kekuatan dalam suatu sistem, semakin besar tekanan

kepada penguasa lewat penciptaan suatu sistem undang-undang dan sistem

administrasi pemerintahan.

c. Semakin besar sistem perundang-undangan dan administrasi pemerintahan

mendorong dan menciptakan kondisi terjadinya hubungan antara kelompok sosial,

kesenjangan hirarki sosial, rendahnya mobilisasi vertikal, semakin cepat proses

kemerosotan legitimasi politik penguasa dan semakin besar kecenderungan

terjadinya konflik antara kelas atas dan kelas bawah.

46

2. Teori Konflik Versi Dahrendorf.

Dahrendorf dianggap tokoh teori konflik yang lebih baik analisisnya apabila

dibandingkan dengan Marx. Berikut ini beberapa pokok pikiran atau toeri konflik

Dahrendorf, dalam memahami fenomena sosial budaya, antara lain:

a. Setiap masyarakat, setiap saat tunduk pada proses perubahan. Berbagai elemen

kemasyarakatan menyumbang terhadap disintegrasi dan perubahan.

b. Apapun keteraturan yang terdapat dalam masyarakat berasal dari pemaksaan

terhadap anggotanya oleh mereka yang berada di atas. Teori konflik menekankan

peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban dalam masyarakat.

c. Bahwa masyarakat mempunyai dua wajah, yaitu konflik dan konsensus oleh

karena itu teori sosiologi harus dibagi menjadi dua bagian: Teori konflik dan teori

konsensus. (Dahrendorf dikenal sebagai tokoh yang berpaham seperti ini).

d. Bahwa masyarakat tidak ada, tanpa konsensus dan konflik, keduanya menjadi

persyaratan satu sama lain. Kita tak akan punya konflik kecuali ada konsensus

sebelumnya, sebaliknya konflik dapat menimbulkan konsensus dan integrasi.

e. Meski ada hubungan timbal balik antara konsensus dan konflik, Dahrendorf tidak

optimis untuk mengembangkan satu teori tunggal untuk dua persoalan tersebut.

Oleh karena itu, untuk menghindari teori tunggal Dahrendorf membangun teori

‘konflik masyarakat’.

f. Tesis sentral Dahrendorf adalah ‘bahwa perbedaan distribusi otoritas selalu

menjadi faktor yang menentukan konflik sosial sistematis’. Dahrendorf sedikit

banyak masih dipengaruhi oleh fungsionalisme struktural (Abraham, 1982; Craib,

1984).

g. Otoritas, Dahrendorf memusatkan perhatian pada struktur sosial yang lebih luas.

Tesis dia, ‘bahwa berbagai posisi di dalam masyarakat mempunyai kualitas yang

beragam’. Otoritas tidak terletak di dalam individu, tetapi juga di dalam posisi.

h. Tugas pertama analisis konflik adalah mengidentifikasi berbagai peran otoritas di

dalam masyarakat (pada struktur berskala luas atau makro, seperti peran otoritas),

jadi, bukan mengkaji peran individu atau mikro. Otoritas yang melekat pada posisi

adalah unsur kunci dalam analisis Dahrendorf.

i. Otoritas secara tersirat menyatakan superordinasi dan subordinasi. Individu yang

punya posisi otoritas diharapkan mengendalikan bawahan. Otoritas individu ini

tunduk pada kontrol yang ditentukan masyarakat. Karena otoritas adalah absah,

sanksi dapat dijatuhkan pada pihak yang menentang.

j. Bahwa masyarakat tersusun dari sejumlah unit yang ia sebut ‘asosiasi yang

dikoordinasikan secara imperatif’. Masyarakat terlihat sebagai asosiasi individu

yang dikontrol oleh hierarki posisi otoritas. Masyarakat terdiri dari beragam posisi

47

(Individu dapat menempati posisi otoritas (superordinasi) disatu unit, dan

menempati posisi yang subornat di unit lain).

k. Konsep kunci lain teori konflik Dahrendorf adalah ‘kepentingan’. Otoritas disetiap

asosiasi bersifat dikotomi (ada dua kelompok kepentingan, yaitu pemegang posisi

otoritas/ superordinat dan kelompok subordinat yang saling berbeda kepentingan).

Ada kepentingan tersembunyi (tidak disadari) dan kepentingan nyata (sudah

disadari).

l. Individu pada posisi dominan berupaya mempertahankan ‘status quo’, sedangkan

posisi subornidat terus mendesak untuk terjadi perubahan. Individu ‘menyesuaikan

diri’ dengan perannya bila mereka menyumbang bagi konflik antara superordinat

dan subordinat. Harapan peran yang tak disadari ini disebut ‘kepentingan

tersembunyi’. Dahrendorf melihat analisis hubungan antara kepentingan

tersembunyi dan kepentingan nyata itu sebagai tugas utama teori konflik.

m. Kelompok, Konflik dan Perubahan. Dahrendorf membedakan tiga tipe kelompok,

yaitu: (1) Kelompok semu (quasi group) atau sejumlah pemegang posisi dengan

kepentingan yang sama, kelompok semu ini adalah calon anggota kelompok

kedua, (2) Kelompok kepentingan (interst group), kelompok ini adalah agen riil dari

konflik kelompok. Kelompok ini mempunyai struktur, bentuk organisasi, tujuan,

program dan anggota yang jelas), (3) Kelompok konflik, yaitu berbagai jenis

kelompok yang secara riril (aktual) terlibat konflik kepentingan.

n. Jadi, menurut Dahrendorf, bahwa, ‘konsep kepentingan tersembunyi; kepentingan

nyata; kelompok semu; kelompok kepentingan; dan kelompok konflik adalah

konsep dasar untuk menerangkan konflik sosial’. Di bawah kondisi yang ideal tidak

ada lagi variabel lain yang diperlukan, tetapi karena kondisi tak pernah ideal, maka

banyak faktor lain ikut berpengaruh dalam proses konflik sosial. (inilah yang

membedakan dengan teori konfliknya Marx).

o. Kondisi teknis seperti kualitas personil dalam kelompok; situasi politik; dan kondisi

sosial (hubungan komunikasi) ikut mewarnai kuat atau tidaknya terjadi konflik.

Oleh karena itu cara merekrut anggota dalam kelompok semu secara acak

(kebetulan) dapat meredam konflik. Jadi, beda dengan Marx, Dahrendorf yakin

bahwa ‘lumpen proletariat’ tidak akan membentuk konflik bila proses rekrutmennya

acak, tapi bila rekrutmennya secara struktural akan memudahkan konflik.

p. Aspek terakhir teori konflik Dahrendorf adalah, ‘hubungan konflik dengan

perubahan’. Disini Dahrendorf mengakui pikiran Coser, tentang ‘fungsi konflik

dalam mempertahankan status quo’. Tetapi Dahrendorf mengakui bahwa konflik

merupakan realitas sosial, dan berfungsi menyebabkan perubahan dan

48

perkembangan (konflik yang hebat akan membawa perubahan dalam struktur

sosial) (Johnson, 1981; Craib, 1984; Ritzer dan Goodman, 2004).

3. Kritik terhadap teori konflik Marx dan Dahrendorf.

Menurut para ahli, ada beberapa titik kelemahan pandangan Marl Marx dalam

memahami fenomena sosial, yaitu:

a. Marx terlalu menekankan ‘determinisme ekonomi’ (material) dalam teorinya,

padahal faktor ekonomi tidak selalu menjadi ‘kunci utama’ memahami fenomena

sosial-budaya dan politik di masyarakat.

b. Marx terlalu menekankan bahwa perubahan sosial itu muncul sebagai ‘akibat

perjuangan kelas’, padahal banyak perubahan sosial tidak hanya karena

perjuangan kelas saja, masih ada kepentingan atau aspek lain, misalnya faktor

keyanikan, ideologi, budaya, psikhis, dsb.

c. Marx tidak memperhitungkan terjadinya ‘kelas baru’ dalam proses modernisasi

(kapitalis modern), yaitu kelas menengah (para profesional, teknisi, dsb) yang

mampu menjembatani dua kepentingan yang berbeda yaitu, antara kelas borjuis

dan proletar. Kelas baru ini muncul bukan semata-mata faktor material, tetapi

karena ‘keahlian atau profesionalnya’

d. Kesadaran kelas (class conciousness) yang oleh Marx dianggap dapat muncul

diantara kaum proletar karena tertindas, dalam realitasnya banyak ‘kesadaran

kelas’ tidak muncul secara murni hanya dari kaum proletar, yang terjadi adalah

kesadaran palsu (false consicousness).

e. Marx kurang memperhatikan ‘peranan agama’ atau tokoh agama sebagai

penggerak atau motivator dalam proses perubahan dalam masyarakat. Dalam

realitasnya sangat banyak bukti bahwa peran tokoh agama menjadi aktor

penggerak perubahan sosial budaya

f. Perubahan sosial dan pergolakan sosial, dalam realitas yang terjadi sekarang

tidak hanya disebabkan oleh konflik revolusiner dari konflik antar kelas. Disamping

itu apa yang diramalkan Marx, bahwa ‘kapitalisme dunia akan runtuh dan

digantikan sosialisme komunis’ sampai sekarang belum terbukti. Hal ini

membuktikan bahwa pandangan Marx bersifat ‘ahistoris’.

g. Hampir tidak mungkin dalam suatu masyarakat, hanya ada konflik, dan konflik

sebagai sumber perubahan, tanpa ada struktur wewenang atau mekanisme

pengatur (penguasa), yang mengatur kehidupan masyarakat yang ‘cenderung

integratif dan konflik’, karena sifat dasar masyarakat adalah, ‘adanya integrasi dan

konflik’. Jadi, pandangan Marx bertentangan dengan realitas karakter dasar sosial

budaya di masyarakat yang selalu ada integrasi dan konflik.

49

h. Marx mencampuradukkan konsep sosiologis yang bersifat empiris (dapat diuji

kebenarannya) dengan konsep yang bersifat filosofis. Konsep hak milik yang

dikemukakan Marx terlalu menekankan pada ‘hak milik dalam arti sempit’ (hak

milik secara hukum atau pemodal pribadi), padahal dalam masyarakat modern

konsep ‘hak milik suatu industri bisa luas atau kompleks’, yaitu manajer,

masyarakat, buruh (saham masyarakat).

i. Marx tidak melihat bahwa dalam kelas juga terjadi perkembangan adanya

spesialisasi kelas (dekomposisi kelas), yaitu dalam kelas proletar ada dua kelas:

kelas proletar murni (kelas buruh) dan kelas lumpen proletar (kelas buruh tapi ahli/

profesional dengan gaji tinggi). Marx sangat keliru dalam memandang bahwa

perkembangan kekuatan produksi akan mengarah pada homogenitas internal

kaum proletariat, dalam kenyataannya tidak pernah ada homogentitas internal

proletariat, yang terjadi adalah heterogenitas internal proletariat, karena adanya

un-skill labour, semi skill labour dan skill labour (Johnson, 1981; Craib, 1984;

Ritzer dan Goodman, 2004).

Sedangkan beberapa teoritisi ilmu sosial antara lain: Weingart (1969),

Hazelring ( 1972), dan Turner (1973), mengkritik pemikiran kritis Dahrendorf sebagai

berikut:

a. Model Dahrendorf tak secara jelas mencerminkan pemikiran Marxian seperti yang

ia nyatakan. Jadi, teori konfliknya merupakan terjemahan yang tidak memadai dari

teori Marxian.

b. Teori konflik Dahrendorf lebih menyerupai dengan fungsionalisme struktural

daripada dengan teori Marxian. Dahrendorf dalam teorinya menekankan: ‘Asosiasi

yang dikoordinir secara paksa; Posisi dan peran secara langsung mengkaitkan

dengan fungsionalisme struktural’.

c. Teori konflik hampir seluruhnya bersifat ‘makroskopik’ (sama dengan

fungsionalisme struktural) dan akibatnya sedikit sekali yang ditawarkan kepada

kita untuk memahami pikiran, pandangan dan tindakan individu (mikroskopik).

d. Teori konflik Dahrendorf tidak memadai karena masing-masing hanya berguna

untuk menerangkan sebagian saja (sisi fenomena konflik) dari kehidupan sosial

(Johnson, 1981; Craib, 1984; Ritzer dan Goodman, 2004).

50

Bagan 2.1. Tentang Perbedaan teori konflik Marxis dan Non Marxis (Dahrendorf):

No Teori Konflik Marx Teori Konflik Dahrendorf

01 Perubahan terjadi secara revolusi. Dan masyarakat terus dalam situasi konflik

Perubahan belum tentu terjadi karena revolusi, tetapi secara gradual, karena ada beberapa hal yang mengalami disfungsi

02 Sumber konflik adalah kepemilikan sarana produksi. Atau faktor ekonomi (materi) sebagai infra strukturnya

Sumber konflik adalah kepemilikan wewenang (otoritas) dalam kelompok yang beragam. Jadi bukan hanya materi (ekonomi)

03.

04.

Kelompok Lumpen Proletariat akan menjadi penggerak terjadinya konflik dalam kelompok

Konflik akan berakhir kalau terjadi masyarakat tanpa kelas (sosialis komunis)

Kelompok Lumpen Proletariat tidak akan menjadi penggerak konflik bila proses rekrutmennya acak.

Konflik berjalan terus menerus sepanjang ada masyarakat.

Para Sosiolog membedakan dua kategori besar dalam teori konflik, yaitu:

a. Konflik Endogenous (konflik dari dalam) masyarakat, yang sebab terjadinya

secara analitis dibedakan menjadi: (1) keinginan berubah secara inheren dari

masyarakat; (2) distribusi kebutuhan atau kepentingan yang beragam terhadap

sesuatu yang dihargai dalam masyarakat; (3) konflik nilai didalam masyarakat

yang merupakan akumulasi dari inovasi, revolusi teknologi, krisis lingkungan dan

orientasi nilai baru; (4) konflik kewenangan (otoritas) didalam kelompok; (5) konflik

individual dan konflik didalam masyarakat.

b. Konflik Eksogenous (konflik dari luar) masyarakat, yang sebab terjadinya secara

analitis adalah: (1) adanya peperangan antar masyarakat; (2) terjadinya invasi

kultural, atau penjajahan politik dari luar; dan (3) konflik ideologi, seperti

kapitalisme, komunisme, demokrasi, fundamentalisme antar masyarakat atau

banga.

c. Uraian tentang teori konflik Marx dan Dahrendorf tersebut di atas dapat

disimpulkan dengan beberapa asumsi dasar perspektif konflik tentang ‘perubahan

sosial-budaya’ sebagai berikut: (a) setiap masyarakat senantiasa dalam proses

perubahan, perubahan dianggap inheren dalam masyarakat (Spencer, M. 1982;

Horton and Hunt, 1984); (b) setiap elemen masyarakat memberikan andil untuk

terjadinya konflik dan perubahan sosial-budaya. Masyarakat bukanlah sebuah

sistem yang berada dalam situasi equilibrium, melainkan terbentuk karena adanya

paksaan dan tujuan tertentu (Zeitling, 1973; Turner, B., 2000); (c) konflik

endogenous berasal dari kegagalan integrasi dan struktural yang sama. Konflik

51

terjadi karena distribusi penghargaan tidak sama dan paksaan dari pihak

superordinat dan kurangnya nilai konsensus dalam kelompok; (d) sumber konflik

adalah karena adanya ‘kepentingan ekonomi’ (menurut Marx) dan ‘beragam

kepentingan’, misalnya: kepentingan ekonomi, kekuasaan, dan aspek sosial

(menurut Dahrendorf); (e) masyarakat selalu berubah setiap saat dan perubahan

sosial itu terjadi di mana-mana; (f) konflik meskipun inheren dalam struktur sosial,

tidak selamanya merusak dan bersifat nyata (manifest), namun juga bersifat

tersembunyi (latent). Konflik bisa ditekan dan dikontrol, tetapi tidak bisa

dihilangkan oleh siapapun dalam proses kehidupan masyarakat (Blowers, 1976;

Turner, J., 1982).

4. Pandangan Teori Neo Marxian

Sebelum menjelaskan tentang beberapa konsep tentang Teori Neo-Marxian,

terlebih dahulu perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Teori Neo Marxian

adalah: (a) teori-teori konflik yang dikemukakan para ilmuwan sosial setelah

munculnya teori konflik Marx, dan teori tersebut masih berorientasi pada teori konflik

Marx serta sifatnya lebih menyempurnakan asumsi-asumsi Marx tentang konflik

dalam hubungannya dengan perubahan sosial; (b) apabila perspektif konflik Marx

lebih mendasarkan pada aspek ekonomi sebagai ‘pen-determinasi’ (infra-struktur)

semua aspek kehidupan sosial (Bottomre and Rubel, 1956; Mutahhari, 1986), maka

teori neo Marxis beranggapan bahwa faktor kunci konflik bukan semata-mata karena

kepentingan ekonomi, tetapi ‘multi-faktor’ (Ritzer, 2001; Kinloch, 2005). Variasi teori

Neo Marxian ini sangat beragam, antara lain: (a) Determinisme Ekonomi; (b)

Marxisme Hegelian; (c) Teori Kritis; (d) Sosiologi Ekonomi Neo-Marxian; (e)

Marxisme Berorientasi Historis; (f) Analisis Sosial Neo-Marxian; dan (g) Teori Post-

Marxis (Johnson, D.P., 1981)

Pengaruh teori konflik dalam studi sosiologi berada dalam rentang waktu

yang sangat panjang (1818 sampai awal tahun 1960-an). Para tokoh teori konflik

antara lain: (a) Karl Marx dan Robert Park, yang dikenal dengan pendekatan

‘Sistemik Konvensional’ (Revolusionis); (b) Vilfredo Pareto dan Torstein Veblen, yang

dikenal dengan ‘Tipe Naturalistik Konvensional Teori Konflik’ (Revolusionis); (c) Ralf

Dahrendorf dan Wright Mills, yang dikenal penganut pendekatan atau aliran ‘Sistemik

Modern’ (Revolusionis); dan (d) Lewis Coser dan David Reisman, yang dikenal

penganut model ‘Naturalistik Modern’ (fungsionalis-evolusionis) (Kinloch, 2005).

Banyak teoritisi konflik yang masuk dalam kelompok Neo-Marxian, antara lain:

(a) George Lukacs, sumbangan besar Lukacs terhadap teori Marxian adalah berupa

gagasan tentang ‘Reifikasi dan Kesadaran Kelas’; (b) Antonio Gramsci, dia tetap

mengakui faktor ekonomi sebagai penyebab konflik dan revolusi, tetapi ada juga

52

faktor lain yaitu massa perlu mengembangkan ‘ideologi revolusioner’, dan dalam

membangkitkan ideologi revolusioner, massa harus ada ‘tokoh intelektual’. Baik

Lukacs maupun Gramsci sama-sama memusatkan perhatian pada aspek ‘Gagasan

Kolektif’ daripada aspek ‘Struktur Ekonomi’ seperti yang dikemukakan oleh Karl Marx;

(c) Henri Lefebvre, dia mengatakan bahwa teori Marxian perlu menggeser fokusnya

dari ‘cara-cara produksi ke produksi ruang’ (dari produksi ke reproduksi). Ruang

berfungsi dengan berbagai macam cara untuk mereproduksi sistem kapitalis, struktur

kelas di dalam sistem ekonomi. Menurut H. Lefebvre, setiap aksi revolusioner harus

berhubungan dengan ‘restrukturisasi ruang’ (Ritzer dan Goodman, 2004); (d) Lewis

Coser, menurut Coser bahwa: Konflik meningkatkan penyesuaian sosial; Konflik

bermula dari tuntutan rasio penghargaan; Struktur sosial bisa berbentuk tertutup dan

terbuka; Tipe-tipe masalah menyangkut pengaruh konflik dan konflik akan menjadi

fungsional bagi sistem sosial (Coser and Rosenberg, 1969); dan (e) David Reisman,

dia menjelaskan relevansi ‘perubahan demografi’ sebagai fundasi konflik sosial. Baik

L. Coser maupun D. Reisman adalah termasuk tokoh teori Neo-Marxis atau Teori

Konflik Modern yang bersifat naturalistik, makroskopik, organik, evolusioner dan

struktural (Kinloch, 2005)

Dalam posisi kajian ini, teori Neo Marxian yang diuraikan secara singkat

adalah teori konflik Lewis Coser yang oleh sebagian ahli dianggap sebagai ‘teori

konflik modern yang bersifat ‘Naturalistik dan evolusioner’. Hal ini bukan berarti hanya

teori Neo Marxian L. Coser saja yang cocok untuk dijadikan orientasi teori dalam

suatu kajian fenomena sosial-budaya. Berikut beberapa substansi pokok pikiran atau

asumsi teori konflik L. Coser, antara lain:

a. Konflik akan cenderung meningkatkan daripada menurunkan penyesuaian sosial

adaptasi dan memelihara batas kelompok. Konflik bersifat fungsional dan tidak

fungsional. Konflik muncul ketika ada akses dari penuntut untuk memperoleh

imbalan sesuai dengan kerjanya.

b. Kehidupan sosial memang memerlukan keserasian fungsi (Teori fungsional),

tetapi untuk melakukan proses perubahan dan dinamika hidup, maka kehidupan

kelompok memerlukan adanya konflik antar unsur (sub sistem) (teori konflik). Jadi,

Konflik dan konsensus (fungsional), perpecahan dan integrasi adalah proses

fundamental (sesuatu yang mesti ada) dalam masyarakat, meski porsinya

beragam antar kelompok. Atau konflik dan integrasi merupakan bagian integral

dalam sistem sosial (Cambell, 1994).

c. Struktur sosial berbeda-beda bentuknya. Ada yang berbentuk mobilitas sosial,

eksistensi institusi katup keselamatan (savety-valve institutions), konflik

institusional, dan toleransi, yang pada tingkatan tertentu memiliki hubungan erat,

53

tingkat berpartisipasi kelompok, dan panjangnya konflik. Jadi, semakin erat sistem

stratifikasi, semakin sedikit pulalah institusi katup keselamatan; Semakin rendah

institusionalisasi toleran konflik institusional, semakin lebih dekat merajut

kelompok, partisipasi kelompok dan apabila perjuangan dalam kelompok lebih

lama, lebih intens akan berpotensi menjadi konflik sosial di masyarakat.

d. Konflik yang realistis dalam sebuah struktur sosial yang terbuka memberikan

kontribusi penyesuaian struktur yang lebih hebat, fleksibelitas dan integritas sosial.

Sebaliknya konflik yang tidak realistis dalam lingkungan yang fleksibel dan tertutup

akan menimbulkan kekerasan dan disintegrasi.

e. Pada dasarnya perspektif fungsional struktural dan perspektif konflik adalah

‘saling kait mengkait’ dalam memahami masyarakat secara holistik tentang

proses-proses sosial. Baik teori fungsional maupun teori konflik, adalah sama-

sama teori parsial dalam melakukan analisis fenomena sosial.

f. Kehidupan sosial memang memerlukan keserasian fungsi (Teori fungsional),

tetapi untuk melakukan proses perubahan dan dinamika hidup, maka kehidupan

sosial memerlukan adanya konflik antar unsur sosial atau sub sistem (teori

konflik). Jadi, Konflik dan konsensus (fungsional), perpecahan dan integrasi

adalah proses fundamental (sesuatu yang mesti ada) dalam masyarakat, meski

porsinya beragam antar kelompok. Atau konflik dan integrasi merupakan bagian

integral dalam sistem sosial (Coser and Rosenberg, 1969; Cambell, 1981).

g. Fungsi konflik adalah: (a) konflik antar kelompok dalam memperkokoh solidaritas

ingroup, atau bisa juga menciptakan kohesi melalui aliansi dengan kelompok lain;

(b) konflik dapat mengaktifkan peran individu, yang semula terisolasi menjadi tidak

terisolasi, semula pasif menjadi aktif; (c) konflik juga membantu fungsi komunikasi

(artinya fungsi, peran dan batas-batas musuh dengan konflik semakin jelas). Di

atas merupakan fungsi konflik yang lebih positif, tetapi konflik juga mempunyai

‘disfungsi’ (Ritzer dan Goodman, 2004).

h. Ada beberapa konsep penting dari pandangan L. Coser dalam menganalisis

tentang konflik dan perubahan sosial-budaya di masyarakat, antara lain: (a)

terdapat hubungan yang erat antara struktur sosial masyarakat dengan konflik dan

kekuasaan; (b) bahwa bentuk perubahan sosial lebih bersifat evolusi daripada

revolusi; (c) bahwa konflik yang mempunyai suatu fungsi tentang kehidupan

masyarakat yang berhubungan dengan lingkungan hidupnya (makna fungsional

konflik); dan (d) kerangka konflik yang terjadi di masyarakat tidak semata-mata

berbasis ekonomi (seperti pandangan Karl Marx), tetapi juga berbasis non

ekonomi (Kinloch, 2005).

54

5. Pandangan Teori Konflik Integratif Collins

Tokoh utama dalam upaya membangun ‘teori konflik yang lebih sintesis dan

integratif’, adalah Randall Collins (Karyanya Conflict Sociology, 1975). Beberapa

pokok pikiran Collins tentang teori ‘konflik integratif’ adalah:

a. Teori konflik integratif Collins lebih berorientasi ‘mikro’, sedangkan konflik Marx

dan Dahrendorf lebih bersifat ‘makro’. Jadi, ‘Kontribusi utama untuk teori konflik

adalah menambah analisis tingkat mikro, dan dia mengatakan, bahwa stratifikasi

dan organisasi didasarkan atas interaksi kehidupan sehari-hari’.

b. Perhatian terhadap konflik tidak akan bersifat ideologis (politis). Bahwa konflik

adalah proses sentral dalam kehidupan sosial. Konflik Marx dan Dahrendorf

memulai dan tetap menganalisis level kemasyarakatan (makro), sedangkan

Collins lebih mendekati konflik dari sidut pandang individu (mikro), karena akar

teori Collins adalah ‘fenomenologi dan etnometodologi’.

c. Marx dan Dahrendorf memandang, bahwa struktur sosial berada di luar

(eksternal), dan memaksa pihak aktor (individu), sedangkan Collins cenderung

melihat struktur sosial tidak dapat dipisahkan dari aktor yang membangunnya

(internal). Struktur sosial oleh Collins lebih sebagai ‘pola interaksi’, ketimbang

sebagai ‘kesatuan eksternal dan imperatif’ (seperti pandangan Marx dan

Dahrendorf).

d. Menurut Collins teori konfliknya sedikit sekali dipengaruhi oleh Marxian, dan justru

lebih banyak dipengaruhi Weber, Durkheim dan terutama fenomenologi dan

etnometodologi.

e. Tentang Stratifikasi sosial. Collins lebih memusatkan pada stratifikasi sosial,

karena stratifikasi sosial adalah institusi yang menyentuh banyak ciri kehidupan

(ekonomi, politik, keluarga, gaya hidup dsb). Jadi, Collins analisisnya lebih tertuju

pada ‘mikrososiologi stratifikasi’.

f. Collins mengkritik teori fungsionalisme dan Marxian, sebagai: (1) teori yang gagal

menjelaskan stratifikasi sosial; (2) penjelasannya bersifat monokasual untuk

kehidupan yang multikasual. Meskipun demikian pemikiran Collins tetap ada

pengaruh pandangan dari Marxian dan Weber.

g. Teori Stratifikasi Konflik Collins. Meski Collins pola pikirnya banyak

dilatarbelakangi oleh Marxian dan Weber, tetapi teorinya tentang stratifikasi

konflik lebih menyerupai teori fenomenologi dan etometodologi. Asumsi Collins

adalah (1) setiap orang mempunyai sifat sosial (sociable), tetapi juga mudah

berkonflik dalam hubungan sosial; (2) setiap orang dalam hidup mempunyai

kepentingan sendiri-sendiri, sehingga benturan kepentingan akan sering terjadi.

55

h. Pendekatan konflik Collins terhadap stratifikasi dapat dikelompokkan menjadi tiga

prinsip, yaitu: (1) bahwa manusia hidup dalam dunia subyektif yang dibangun

sendiri; (2) orang lain mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi atau

mengontrol pengalaman subyektif sesorang individu; dan (3) orang lain sering

mencoba mengontrol orang yang menentang mereka. Ketiga sebab inilah yang

memunculkan konflik antar individu.

i. Berdasarkan tiga pendekatan tersebut Collins mengembangkan lima prinsip

analisis konflik yang diterapkan pada stratifikasi sosial (Collins, yakin lima prinsip

itu bisa juga diterapkan disetiap bidang kehidupan sosial budaya), yaitu: (1)

bahwa teori konflik harus memusatkan perhatian pada kehidupan nyata

ketimbang pada formulasi abstrak (hal ini menunjukkan Collins lebih menyukai

gaya analisis material Marxian daripada gaya abstraksi fungsionalisme); (2)

bahwa teori konflik stratifikasi harus meneliti dengan seksama susunan material

yang mempengaruhi interaksi (misalnya, lingkungan fisik, mode komunikasi,

senjata, peralatan), namun Collins tetap memandang sumber daya masing-

masing aktor beragam; (3) bahwa dalam situasi ketimpangan, kelompok yang

mengendalikan sumber daya kemungkinan akan mengeksploitasi kelompok

sumber daya yang terbatas; (4) teoritisi konflik harus melihat fenomena kultural

seperti keyakinan dan gagasan dari sudut pandang kepentingan, sumber daya

dan kekuasaan; (5) sosiolog tidak boleh berteori saja tentang stratifikasi, tetapi

juga harus menelitinya secara empiris, dan bila memungkinkan secara

komparatif. Hipotesis harus dirumuskan dan diuji secara empiris.

j. Dari kelima prinsip analisis konflik tersebut, Collins mengemukakan tiga proposisi

tentang hubungan antara konflik dan berbagai aspek khusus kehidupan sosial,

yaitu: (1) pengalaman memberikan dan menerima perintah, adalah faktor yang

menentukan pandangan dan tindakan individu; (2) makin sering orang

memberikan perintah, dia akan makin bangga, makin percaya diri, makin formal

dan makin mengidentifikasikan diri dengan tujuan oragnisasi serta dengan

mengatasnamakan organisasi dia menjustifikasi perintahnya; dan (3) makin

sering orang menerima perintah, makin ia patuh , makin fatalistis, makin terasing

dari tujuan organisasi, makin menyesuaikan diri secara eksternal, makin

mencurigai orang lain, makin memikirkan imbalan ekstrinsik dan amoral (Ritzer

dan Goodman, 2004).

k. Collins juga memandang: (1) organisasi adalah arena untuk bersaing; (2)

penggunaan paksaan menimbulkan upaya yang kuat untuk menghindari menjadi

pihak yang yang dipaksa; (3) Bahwa penawaran pemberian imbalan secara

material adalah strategi yang lebih baik.

56

6. Perbedaan Teori Fungsionalisme Struktural dan teori Konflik.

Tabel 2.2. Tentang perbedaan teori Fungsionalisme struktural dan teori Konflik:

No Konsep fenomena

sosial

PerspektifFungsional Struktural

Perspektif Konflik

01 Kehidupan sosial (masyarakat)

Masyarakat cenderung untuk mempertahankan sistem kerja menuju kearah keseimbangan (equilibrium), dan relatif terintegrasi, keserasian fungsi sosial

Masyarakat cenderung untuk berada dalam konflik terus menerus antar individu/ kelompok dan terus dalam ketegangan.

02 Stratifikasi sosial

Lapisan sosial diperlukan semua orang, untuk menentukan status dan peran, hak dan kewajiban masing-masing individu dalam masyarakat.Lapisan sosial dapat digunakan sebagai media selektif atas keahlian individu, media kompetisi menuju status lebih tinggiSetiap lapisan membangun pola gaya hidup dan perasaan yang berbeda.

Lapisan sosial tidak diperlukan oleh semua orang, karena menimbulkan diskriminasi hidupLapisan sosial dapat menghambat keahlian, bakat lapisan yang bawahSekelompok orang yang punya kepentingan ekonomi dan kekuasaan akan berkembang untuk mengeksploitasi lapisan bawah

03 Diferensiasi sosial

Kondisi objektif kehidupan yang menampilkan serba keberagaman, untuk menentukan hak dan kewajibannya berdasarkan norma yang disepakatiTidak dapat dihindarkan, terutama pada masyarakat yang kompleks, disebabkan beragam keahlian, profesi individu dalam masyarakat

Kondisi subjektif kehidupan, yang menunjukkan adanya lapisan elite untuk memaksakan dan melanggengkan kekuasaan/ kepentingannya pada yang lemahTidak perlu dan tidak adil. Terutama disebabkan perbedaan dalam kekuasaan. Jadi,perlu ditempuh jalan penyusunan masyarakat sosialistis

04 Perubahan sosial

Timbul dari perubahan kebutuhan fungsional masyarakat yang terus menerus. Bentuk perubahan bersifat evolusi, dan selalu mengarah ke seimbangan sistem

Dipaksanakan oleh suatu kelas ke kelas lainnya untuk ke pentingan kelas elite. Atau kelas proletar melakukan gerakan revolusi untuk merubahan dominasi kelas borjuis

05 Tertib Sosial (social control)

Hasil usaha tidak sadar dari anggota masyarakat untuk mengorganisir kegiatan mereka secara produktifKehidupan sosial tergantung kepada solidaritas bersama

Dihasilkan dan di pertahankan oleh pemaksa yang ter organisir oleh kelas yang dominan.Kehidupan sosial selalu menghasilkan suatu oposisi, karena ke hidupan sosial melahir kan konflik struktural

57

06 Nilai-nilai dalam kehidupan sosial

Konsensus atas nilai-nilai, sebagai pemersatu anggota masyarakat (norma- nilai dasar hidup)Kehidupan sosial melibatkan komitmen/ konsensus bersama untuk hidup berkelompok

Kepentingan yang bertentangan akan memecahbelah masyarakat. Konsensus nilai, hanyalan & alat kaum penindas (elite).Kehidupan sosial penuh dorongan kepentingan (dasar hidup) untuk menguasai

07 Lembaga2 sosial

Berfungsi menanamkan nilai-nilai umum (disepakati bersama) demi keserasian fungsi (integrasi).

Berfungsi menanamkan nilai dan kesetiaan yang melindungi kepentingan kaum elite yang punya hak istimewa

08 Hukum dan pemerintahan

Menjalankan peraturan yang mencerminkan kesepakatan (konsensus) nilai-nilai masyarakat

Menjalankan peraturan yang dipaksakan oleh kelas dominan untuk melindungi hak istimewanya

09 Sistem sosial Sistem-sistem sosial diintegrasikan dalam kehidupan kelompok. Dan sistem sosial cenderung untuk bertahan lama

Sistem sosial tidak terintegrasi dan ditimpa oleh kontradiksi-kontradiksi. Dan sistem sosial cenderung untuk berubah

( Horton & Hunt, 1996; Craib, 1992).

58