DEWAN SEKOLAH SDN SAWOJAJAR VI MALANG · Web viewDifferensiasi adalah ’replika keberagaman dalam...
Transcript of DEWAN SEKOLAH SDN SAWOJAJAR VI MALANG · Web viewDifferensiasi adalah ’replika keberagaman dalam...
SISTEM SOSIAL-BUDAYA DALAM PERSPEKTIF TEORITIS
A. Ruang Lingkup Dan Tujuan Kajian
Ruang lingkup kajian tentang sistem sosial-budaya dalam perspektif teoritis
adalah menyangkut tentang: (a) fenomena sosial-budaya dalam perspektif teori
sistem; (b) sistem sosial-budaya dalam perspektif teori fungsional struktural; (c)
sistem sosial-budaya dalam perspektif teori konflik; (d) sistem sosial-budaya dalam
perspektif teori interaksionis simbolik; (e) sistem sosial budaya dalam perspektif teori
integrasi; dan (f) kesimpulan.
Sedangkan tujuan pembahasan tentang sistem sosial-budaya dalam
perspektif teoritis adalah: (a) diharapkan para mahasiswa, khususnya program studi
ilmu-ilmu sosial dapat memahami beberapa alternatif wacana dan pandangan teori
sistem, teori fungsional struktural, teori konflik dan teori integrasi dalam memahami
tentang fenomena sosial-budaya di masyarakat; (b) diharapkan para mahasiswa atau
peminat studi ilmu-ilmu sosial, dapat memahami konsep-konsep penting dari teori-
teori yang berparadigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma
integrasi, untuk kemudian dapat dijadikan sebagai theoritical orientation dalam
melakukan analisis fenomena sosial dalam proses social research; dan (c) setelah
memahami konsep-konsep dasar tenang teori-teori tersebut, diharapkan para
mahasiswa dan para peminat studi ilmu-ilmu sosial dapat melakukan kajian lebih
lanjut pada referensi-referensi ilmiah yang dianjurkan.
B. Fenomena Sosial-budaya Dalam Perspektif Teori Sistem
Pada bab I telah diuraikan tentang aktivitas sosial dan kebudayaan sebagai
suatu sistem. Dan perlu ditegaskan kembali bahwa, ‘dalam memahami aktivitas
kehidupan sosial dan kebudayaan seyogyanya menggunakan pendekatan integratif
atau memandang bahwa aktivitas sosial-budaya merupakan suatu sistem, karena
antar unsur sosial dan unsur kebudayaan hakikatnya adalah saling mempengaruhi’,
karena: (a) antar unsure-unsur sosial-budaya tersebut bersifat adaptif; (b) dalam
praktik-praktik sosial sehari-hari masing-masing unsur sosial-budaya saling
berhubungan timbal balik; (c) perubahan pada satu unsur sosial atau unsur budaya
akan mempengaruhi perubahan unsur sosial atau unsur budaya yang lain; dan (d)
hakikatnya pola perilaku sosial atau budaya sehari-hari selalu menampilkan
keterpaduan antar unsur.
Pembahasan tentang teori sistem dalam mencermati fenomena sosial banyak
dibahas dalam studi sosiologi. Ilmuwan sosial Jerman yan berjasa dalam melahirkan
teori sistem adalah Nilas Luhmann, sedangkan ilmuwan sosial yang berjasa dalam
mengembangkan atau mempopulerkan teori sistem adalah Kenneth Bailey dan Walter
28
Buckley. Berikut ini beberapa konsep penting tentang ‘teori sistem’ yang dikemukakan
oleh Luhmann dan Buckley dalam memahami fenomena sosial, sebagaimana yang
dijelaskan oleh Ritzer dan Goodman (2003) sebagai berikut:
Pertama, teori sistem dimunculkan atau diilhami dari ilmu-ilmu pasti (hard
sciences) atau ilmu alam (natural sciences). Jadi, dalam memahami fenomena sosial,
budaya dan psikhologis dalam teori sistem adalah sama seperti dalam memahami
fenomena ilmu alam. Oleh karena itu teori sistem termasuk teori yang berorientasi
pada pandangan positivism. .
Kedua, pendekatan teori sistem adalah memandang bahwa semua aspek atau
unsur-unsur dalam sistem sosiokultural (sosial-budaya) adalah dari segi proses,
khususnya sebagai jaringan informasi dan komunikasi. Oleh karena itu teori sistem
secara inheren bersifat integratif, sedangkan bentuk integratif antar unsur sosial-
budaya tersebut adalah bersifat menyatu dan umpan balik (feed back)
Ketiga, Menurut Buckley, bahwa sifat atau bentuk hubungan sistem dibedakan
menjadi tiga macam, yaitu: (1) hubungan ‘sistem mekanik’, cirinya adalah: (a) bersifat
langsung dan otomatis atau ‘transfer energi’; (b) lebih bersifat tertutup; dan (c)
cenderung bersifat entropik; (2) hubungan ‘sistem organik’, cirinya adalah: (a)
hubungan antar aspek dalam sistem tersebut sudah lebih menekankan aspek
pertukaran informasi daripada aspek pertukaran energi; (b) lebih terbuka daripada
sistem mekanik; dan (c) cenderung bersifat negentropik; dan (3) hubungan ‘sistem
sosiokultural’, cirinya adalah: (a) hubungan antar aspek atau unsur dalam sistem
tersebut adalah lebih menekankan pada pertukaran informasi; (b) sifatnya paling
terbuka; (c) cenderung lebih banyak terjadi ketegangan dalam sistem, apabila
dibandingkan pada sistem mekanik dan sistem organik; dan (d) bersifat purposif dan
mengejar tujuan karena sistem ini menerima umpan balik (feed back) dari lingkungan
yang menyebabkan mereka terus bisa berubah untuk meraih tujuan.
Keempat, ada perbedaan teori sistem yang dikembangkan Buckley dengan
teori sistem yang dikembangkan Parsons, yaitu: (a) menurut Buckley faktor ‘umpan
balik’ (feed back) adalah aspek yang esensial (mendasar) dalam ‘sistem sosiokultural’
atau pendekatan sibernetik (cybernetic), sedangkan menurut Parsons faktor menjaga
atau terwujudnya ‘keseimbangan’ (equilibrium) unsur-unsur dalam sistem adalah
aspek yang esensial dalam memahami ‘teori sistem’; dan (b) Buckley memandang
peran subjek atau individu ikut mewarnai ‘sistem sosiokultural’, karena kesadaran
(jiwa) individu tidak terpisahkan dari tindakan dan interaksi, atau antara kesadaran
dan tindakan serta interaksi bersifat integratif, sedangkan menurut Parsons
kesadaran (jiwa) individu tidak menentukan tindakan dan interaksi sosial, yang
29
menentukan struktur, atau struktur yang menentukan tindakan atau interaksi sosial
seseorang.
Kelima, beberapa prinsip atau konsep dasar ‘teori sistem’ sosiokultural
Buckley adalah: (a) teoritisi sistem menerima ide bahwa ‘ketegangan’ dalam sistem
adalah sesuatu yang normal, selalu hadir, dan merupakan realitas yang diperlukan
dalam sistem sosial; (b) penekanan pada ketegangan dan variasi aktivitas dalam
sistem membuat perspektif sistem sosial menjadi dinamis; (c) proses sosial didalam
sistem sosial selalu terjadi ‘proses seleksi’ secara terbuka terhadap kemampuan
individu atau antar individu, sehingga proses sosial dalam sistem lebih dinamis; (d)
level interpersonal merupakan dasar pengembangan dari struktur yang lebih luas.
Demikian juga proses transaksional dalam interpersonal, yang berupa pertukaran,
negoisasi, dan tawar menawar (bargaining) adalah proses-proses yang melahirkan
truktur sosial dan kultural yang lebih stabil; dan (e) melalui transaksi dan bargaining
yang dilakukan secara terus menerus akan melahirkan penyesuaian dan akomodasi
yang relatif stabil.
Keenam, teoritisi sistem dalam studi sosiologi yang mencoba
mengkombinasikan antara teori fungsional struktural Parsons dengan teori sistem
umum adalah Luhmann. Kritik Luhmann terhadap pandangan Parsons adalah: (a)
pendekatan Parsons tidak memberikan tempat untuk ‘referensi diri’ (self reference),
sedangkan menurut Luhmann ‘kemampuan masyarakat untuk merujuk pada dirinya
sendiri adalah penting untuk memahaminya sebagai sebuh sistem’; dan (b)
pendekatan Parsons tentang skema AGIL tidak memberi kemungkinan (contingency)
adanya faktor-faktor lain yang ikut menentukan dalam suatu sistem soial, sedangkan
menurut Luhmann, bahwa segala sesuatu mungkin bisa memberikan pengaruh yang
berbeda. Menurut Luhmann, suatu ‘sistem’ selalu kurang kompleks daripada
‘lingkungan’, namun sistem mengembangkan subsistem-subsistem baru dan
membangun berbagai hubungan antar subsistem untuk mengatasi lingkungan secara
efektif.
Ketujuh, Luhmann mengembangkan teori sistem dengan istilah ‘sistem-sistem
autopoietic’, beberapa karakteristik ‘sistem-sistem Autopoietic’ Luhmann adalah: (a)
sebuah sistem autopoietic’ menghasilkan elemen-elemen dasar, misalnya sistem
ekonomi modern menghasilkan elemen dasar ‘uang’; (b) sistem autopoietic’
mengorganisasikan diri (self organizing) dalam dua cara, yaitu mengorganisasi diri
dengan membuat batas-batas diri dan mengorganisasikan struktur internalnya,
misalnya sistem ekonomi dengan menetapkan harga barang tertentu atau peraturan
tertentu; (c) sistem autopoietic’ adalah self referential, misalnya sistem ekonomi
menggunakan harga sebagai cara untuk mengacu pada dirinya sendiri; dan (d)
30
sebuah sistem autopoietic’ adalah sistem tertutup, artinya tidak ada kaitan antara
sistem dengan lingkungan. Jadi, menurut Luhmann, ‘bahwa masyarakat adalah sistem
autopoietic’, dimana masyarakat adalah: (a) menghasilkan elemen-elemen dasarnya,
(b) membangun struktur dan batas-batasnya sendiri; (c) self reference; dan (d)
tertutup’.
Elemen dasar dari masyarakat adalah ‘komunikasi’, dan komunikasi dihasilkan
oleh masyarakat. Indiviu mempunyai makna atau relevansi dengan masyarakat
apabila individu tersebut dapat berkomunikasi dalam proses interaksi sosial di
masyarakat. Menurut Luhmann, ada perbedaan antara konsep ‘sistem psikis’ dengan
‘sistem sosial’, yaitu: ‘sistem psikis’ adalah kesadaran individu, dan elemen-elemen
dari ‘sistem psikis adalah representasi konseptual, sedangkan ‘sistem sosial’ adalah
‘makna (meaning) sosial/kolektif’, dan elemen-elemen dari ‘sistem sosial’ adalah
komunikasi. Jadi, dalam sistem psikis, makna dikaitkan dengan kesadaran,
sedangkan dalam sistem sosial makna dikaitkan dengan komunikasi. Baik sistem
psikis maupun sistem sosial adalah berevolusi secara bersama-sama.
Menurut Luhmann, dalam sistem sosial terdapat ’differensiasi’, dan dalam
masyarakat modern proses differensiasi dalam sistem semakin kompleks, yang sering
disebut ’differensiasi sistem fungsional’. Differensiasi adalah ’replika keberagaman
dalam sistem’. Dalam sistem yang differensial terdapat dua lingkungan yaitu:
lingkungan internal (pola yang khas didalam sub sistem), dan lingkungan eksternal
(pola yang khas antar sub sistem). Ada beberapa bentuk differensial dalam sistem
menurut Luhmann, yaitu: (a) differensial segmentasi, yaitu keberagaman dalam
membagi bagian-bagian dari sistem berdasarkan jenis kebutuhan hidup; (b)
differensiasi stratifikasi, yaitu keberagaman dalam sistem karena perbedaan status
secara hirarkhis (vertikal); (c) differensiasi pusat-pinggiran, yaitu keberagaman dalam
sistem yang didasarkan pada pembagian pusat (center) dan pinggiran (periphery);
dan (d) differensiasi sistem fungsional, yaitu differensiasi yang paling kompleks yang
banyak terjadi pada masyarakat modern, dan lebih bersifat fleksibel daripada
differensiasi lainnya. Dalam differensiasi sistem fungsional, apabila terjadi perubahan
pada sub-sistem akan begitu cepat mempengaruhi sub-sistem lainnya.
Kedelapan, menurut Ritzer dan Goodman (2003), ada beberapa hal yang
dapat dikritisi dari teori sistem Luhmann, antara lain: (a) dia melihat bahwa keharusan
perkembangan evolosioner sesungguhnya adalah regresif dan tidak mesti
(unnecessary), hal ini tentu banyak bertentangan dengan realitas sosial yang terus
berkembang dan terbuka (tidak tertutup seperti pandangan Luhmann); (b) dia melihat
bahwa differensiasi adalah ’kunci’ untuk mendiskripsikan perkembangan (evolusi)
masyarakat dan meningkatnya kompleksitas sistem sosial dalam menghadapi
31
lingkungannya. Dalam realitas sosial tidak hanya faktor differensiasi yang menjadi
kunci dalam mendiskripsikan evolusi masyarakat, tetapi masih ada dua faktor lain
yaitu: de-differensiasi (proses memudarnya atau pembubaran batas-batas antar sub
sistem sosial); dan interpenetrasi (proses pembentukan institusi untuk memperkuat
hubungan sistem); (c) teori sistem Luhmann cenderung melihat proses-proses dalam
sistem adalah antievolusioner, karena evolusi didefinisikan sebagai peningkatan
differensiasi. Tampaknya teori sistem Luhmann terbatas kemampuannya untuk
mendeskripsikan relasi antar sistem. Tidak semua sistem tampak tertutup dan otonom
seperti yang diasumsikan Luhmann. Meskipun teori sistem Luhman ada
kelemahannya, namun konsep-konsep dasar dari teori sistem tersebut banyak
sumbangannya dalam proses analisis fenomena sosial budaya di masyarakat.
C. Fenomena Sosial-budaya Dalam Perspektif Teori Fungsional Struktural
Nenurut Robert Nisbet, ‘bahwa teori fungsional struktural adalah satu
bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad 20’. Meski
hegeomoni teori fungsional struktural mendominasi dua dekade sesudah Perang
Dunia II, pada era akhir abad 20 teori ini teori fungsional struktural mulai dikritik para
ilmuwan sosial. Menurut Demerath dan Peterson, ‘bahwa teori fungsional struktural
masih perlu dikembangkan, karena masih ada sisi kelemahannya’. Dari pandangan ini
akhirnya muncul ‘teori neofungsionalisme’ (Ritzer dan Goodman, 2004).
Ada beberapa hal yang perlu dipahami dalam mengkaji teori fungsional
struktural untuk digunakan sebagai pisau analisis fenomena sosial-budaya, yaitu: (1)
Bagaimana pandangan teori fungsional struktural Talcott Parsons dalam memahami
fenomena sosial-budaya?; (2) Bagaimana pandangan teori fungsional struktural
Robert K. Merton dalam memahami fenomena sosial-budaya?; (3) Bagaimana
pandangan Neofungsionalisme dalam memahami fenomena sosial-budaya?; dan (4)
Bagaimana kritik terhadap teori fungsionalisme struktural menurut para ahli?.
Keempat permasalahan tersebut yang akan menjadi fokus kajian berikut ini.
1. Pandangan teori fungsional struktural Talcott Parsons dalam memahami fenomena
sosial-budaya
Selama hidupnya Parsons membuat sejumlah besar karya teoritis. Ada
perbedaan penting antara karya awal dan karya yang terakhirnya. Ada tiga tahap
refleksi teoritik Parsons, yaitu: (1) Tahap pertama ketika dia menyusun teori Tindakan
Voluntaristik (1949); (2) Tahap kedua ketika dia meninggalkan teori tindakan
voluntaristik ke Teori Sistem (1951); dan Tahap ketiga, tahap terakhir ketika dia
menerangkan Teori Fungsional Struktural pada evolusi masyarakat (1966) (Herry
Priyono, 2002: 78).
32
Berikut ini dibahas teori Parsons, tentang konsep ‘Sistem Sosial’ dan
‘Fungsionalisme Struktural’. Ada tiga hal penting dalam memahami fungsionalisme
struktural Parsons, yaitu (1) Skema AGIL; (2) Konsep Sistem; dan (3) Konsep
Struktur.
Konsep, Skema AGIL. Menurut Parsons ada empat fungsi penting yang
diperlukan dalam menganalisis semua sistem “tindakan” manusia untuk pemeliharaan
pola di masyarakat, yaitu Adaptation (A), goal attainment (G), integration (I), dan
latensi (L). Setiap kehidupan kelompok agar tetap bertahan (survive), maka sistem
dalam kelompok itu harus memiliki empat fungsi yang saling berhubungan timbal
balik, yaitu:
a. Adaptation (adaptasi). Sebuah sistem harus menanggulangi situasi eksternal yang
gawat. Sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan
dengan lingkungan itu dengan kebutuhannya. Kemudian ‘Organisme Perilaku’
adalah merupakan sistem tindakan yang melaksanakan fungsi adaptasi
(menyesuaikan dan mengubah lingkungan eksternal). Sedangkan bidang atau
‘Sistem Ekonomi’, adalah merupakan subsistem yang melaksanakan fungsi
masyarakat dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan melalui: tenaga kerja,
produksi, dan alokasi.
b. Goal attainment (Pencapaian tujuan). Sebuah sistem harus mendefinisikan dan
mencapai tujuan utamanya. Kemudian ‘Sistem Kepribadian’, adalah
melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan menetapkan tujuan sistem dan
memobilisasi sumber daya yang ada untuk mencapainya. Sedangkan ‘Sistem
Pemerintahan’ (sistem politik), adalah melaksanakan fungsi pencapain tujuan
dengan mengejar tujuan kemasyarakatan dan memobilisasi aktor (sumber daya
manusia) untuk mencapai tujuan.
c. Integration (Integrasi). Sebuah sistem harus mengatur hubungan antar bagian
dalam sistem, sistem juga harus mengelola hubungan ketiga fungsi lainnya
(A,G,L). Kemudian ‘Sistem Sosial’, adalah menanggulangi fungsi integrasi dengan
mengendalikan bagian-bagian dalam sistem. Sedangkan ‘Komunitas
Kemasyarakatan’ (contoh, hukum, atau seperangkat aturan), adalah akan
menjalankan fungsi integrasi, mengkoordinasi beragam komponen masyarakat.
d. Latency (pemeliharaan pola). Sebuah sistem harus memperlengkapi, memelihara
dan memperbaiki, baik motivasi individu atau pola kultural untuk bertindak.
Kemudian ‘Sistem Kultural’, adalah melaksanakan fungsi pemeliharaan pola
dengan menyediakan aktor seperangkat norma dan nilai yang mendorong individu
bertindak. Sedangkan ‘sistem fiduciari’ (contoh lembaga keluarga, sekolah,
33
agama), adalah menangani fungsi pemeliharaan pola dengan menyebarkan nilai,
norma pada aktor (individu) untuk diinternalisasikan pada dirinya.
Hubungan AGIL disetiap sistem tindakan dalam kelompok seperti dalam skema
berikut: Gambar 2.1 tentang hubungan timbal balik skema AGIL
(Johnson D, 1986; Ritzer dan Goodman, 2004)
Setiap peneliti dalam melakukan analisis fenomena sosial, apabila
menggunakan teori fungsionalisme struktural Parsons, seharusnya menggunakan
skema tersebut di atas, yang keempatnya mempunyai keterkaitan satu dengan yang
lainnya. Untuk memahami skema tersebut, beberapa pemikiran kunci dari Parsons
tentang fungsionalisme struktural dapat dipahami dalam konsep-konsep sebagai
berikut:
a. Sistem kultural, merupakan kekuatan utama yang mengikat berbagai sistem
tindakan. Kultur mengatur interaksi antaraktor, menginteraksikan kepribadian dan
menyatukan sistem sosial.
b. Kultur, dipandang sebagai sistem simbol yang terpola, teratur yang menjadi
sasaran orientasi aktor, aspek-aspek kepribadian yang sudah terinternalisasi dan
pola-pola yang sudah terlembagakan di dalam sistem sosial. Jadi, kultur akan
menjadi faktor eksternal untuk menekan pola tindakan aktor atau individu. Individu
tidak merdeka dalam bertindak, karena semua tindakan individu sudah ditentukan
oleh kultur (budaya)
c. Kultur, dapat dipindahkan dari satu sistem ke sistem lain melalui penyebaran
(difusi) dan dipindahkan dari kepribadian satu ke sistem kepribadian lain melalui
proses ‘pembelajaran budaya’, yaitu: proses internalisasi; proses sosialisasi; dan
proses enkulturasi (Koentjaraningrat, 1989; Ritzer dan Goodman, 2004).
ADAPTATION
- Organisme Perilaku- Sistem Ekonomi
GOAL ATTAINMENT
- Sistem Kepribadian- Sistem Pemerintahan
(sistem politik)
INTEGRATION- Sistem Sosial- Komunitas
Kemasyarakatan (hukum, norma)
LATENCY- Sistem Kultural- Sistem Fiduciari’
(lembaga keluarga, sekolah, agama)
34
d. Sistem sosial, yaitu terdiri dari sejumlah aktor individual yang saling berinteraksi
dalam situasi yang mempunyai aspek lingkungan (fisik), aktor mempunyai motivasi
untuk “mengoptimalkan kepuasan”, yang berhubungan dengan situasi mereka
didifinisikan dan dimediasi dalam term simtem simbol yang terstruktur secara
kultural.
e. Konsep kunci ‘sistem sosial’ menurut Parsons adalah: (a) aktor; (b) interaksi; (c)
lingkungan; (c) optimalisasi; (d) kepuasan; dan (e) kultur. Meski Parsons melihat
sistem sosial sebagai interaksi, tetapi dia tidak menggunakan interaksi sebagai
unit fundamental dalam studi tentang sistem sosial. Dia menggunakan ‘status-
peran’ sebagai unit dasar dari sistem sosial. Status adalah menyangkut posisi
struktural individu dalam sistem sosial, sedangkan peran adalah apa yang harus
dilakukan individu dalam posisinya. ‘Aktor’ dalam pandangan Parsons, bukan
dilihat dari sudut pikiran, ide, keyakinan dan tindakan sehari-hari (seperti dalam
teori berparadigma definisi sosial, yaitu teori intraksionisme simbolik), tetapi dilihat
sebagai ‘kumpulan beberapa status dan peran yang terpola oleh struktur dalam
sistem sosial-budaya’. Jadi individu ter-determinasi faktor eksternal atau struktur
sosial-budaya.
f. Ada tujuh persyaratan fungsional dari ‘sistem sosial’ menurut Parsons, yaitu: (1)
sistem sosial harus terstruktur (ditata) sedemikian rupa sehingga bisa beroperasi
dalam hubungan yang harmonis dengan sistem lainnya (antar sub sistem); (2)
untuk menjaga kelangsungan hidupnya, sistem sosial harus mendapat dukungan
yang diperlukan dari sistem yang lain; (3) sistem sosial harus mampu memenuhi
kebutuhan para aktornya dalam proporsi yang signifikan; (4) sistem sosial harus
mampu melahirkan partisipasi yang memadai dari para anggotanya; (5) sistem
sosial harus mampu mengendalikan perilaku yang berpotensi mengganggu; (6)
apabila dalam sistem terjadi konflik hal itu akan menimbulkan kekacauan, oleh
karena itu harus dikendalikan; dan (7) untuk kelangsungan hidupnya, sistem sosial
memerlukan bahasa (Abraham, 1982; Craib, 1984; Hamilton, 1990). Disini
menunjukkan analisis sistem Parsons bersifat makro, bukan mikro.
g. Inti pemikiran Parsons ada dalam empat sistem tindakan, yaitu: (1) Sistem
kultural; (2) Sistem sosial; (3) Sistem kepribadian; dan (4) Organisme perilaku,
yang keempatnya terkait dengan skema AGIL, sebagaimana diuraikan di atas.
h. Ada tujuh asumsi dasar Parsons tentang ‘fungsionalisme struktural’, yaitu: (1)
Sistem memiliki properti keteraturan dan bagian-bagian yang saling tergantung;
(2) Sistem cenderung bergerak ke arah mempertahankan keteraturan diri atau
keseimbangan; (3) Sistem mungkin statis atau bergerak dalam proses perubahan
yang teratur; (4) Sifat dasar bagian suatu sistem berpengaruh terhadap bentuk
35
bagian-bagian lain; (5) Sistem memelihara batas-batas dengan lingkungannya; (6)
Alokasi dan integrasi merupakan dua proses fundamental yang diperlukan untuk
memelihara keseimbangan sistem; dan (7) Sistem cenderung menuju ke arah
pemeliharaan keseimbangan diri yang meliputi pemeliharaan batas dan
pemeliharaan hubungan antara bagian-bagian dengan keseluruhan sistem,
mengendalikan lingkungan yang berbeda-beda dan mengendalikan
kecenderungan untuk merubah sistem dari dalam (Ritzer dan Goodman, 2004:
123). Ketujuh asumsi inilah yang menempatkan analisis struktur keteraturan
masyarakat sebagai prioritas utama teori fungsionalisme struktural Parsons.
i. Aktor dan sistem sosial. Mengenai hal ini Parsons berpandangan: (1) Antara aktor
dan struktur sosial mempunyai hubungan erat; (2) Persyaratan kunci bagi
terpeliharanya integrasi pola nilai di dalam sistem adalah proses internalisasi dan
sosialisasi; (3) Dalam proses sosialisasi, nilai dan norma diinternalisasikan (norma
dan nilai menjadi bagian dari “kesadaran” aktor), sehingga aktor mengabdi pada
kepentingan sistem sebagai suatu kesatuan; (4) Aktor biasanya menjadi penerima
pasif dalam proses sosialisasi. Sosialisasi dikonseptualisasikan sebagai proses
konservatif (sebagian besar kebutuhan dibentuk oleh masyarakat). Norma dan
nilai yang dipelajari sejak kecil cenderung tidak berubah, dan cenderung berlaku
sampai tua; (5) Perhatian Parsons lebih tertuju kepada sistem sebagai satu
kesatuan ketimbang pada aktor di dalam sistem. Dalam fungsionalisme struktural
Parsons, adalah, bagaimana cara sistem mengontrol atau mengendalikan aktor
(individu), bukan mempelajari bagaimana cara aktor menciptakan dan memelihara
sistem (Abraham, 1982; Craib, 1984; Hamilton, 1990).
j. Bagaimana ‘sistem sosial’ menghadapi realitas pribadi individu yang beragam
agar tidak terjadi problem?. Parsons mengemukakan pendapat, yaitu: (1) Dalam
sistem sosial harus ada mekanisme pengendalian sosial yang dilakukan dengan
baik (hemat); (2) Sistem sosial harus mampu menghormati perbedaan, bahkan
penyimpangan tertentu (sistem sosial harus lentur atau flexible); (3) Sistem sosial
harus menyediakan berbagai jenis peluang untuk berperan yang memungkinkan
beragam kepribadian untuk aktif tanpa mengancam integrasi.
k. Masyarakat. Menurut Parsons masyarakat merupakan salah satu ‘sistem sosial
khusus’, karena kolektif ini relatif mampu mencukupi kebutuhannya sendiri.
Parsons membedakan antara empat struktur atau subsistem dalam masyarakat
menurut fungsi (AGIL) yang dilaksanakan masyarakat, yaitu: Subsistem ekonomi
(dalam Adaptation); subsistem pemerintahan (dalam Goalattainment); sistem
komunitas kemasyarakatan (dalam Integration); dan subsistem fiduciari (dalam
Latency), lihat bagan di atas.
36
l. ‘Sistem kepribadian’. Pandangan Parsons tentang sistem kepribadian
(personalitas) adalah: (1) Personalitas diartikan sebagai sistem orientasi dan
motivasi tindakan aktor individual yang terorganisir. Komponen dasarnya adalah
“disposisi dan kebutuhan”. Disposisi kebutuhan merupakan “unit-unit motivasi
tindakan yang paling penting”; (2) Ada tiga tipe dasar disposisi kebutuhan, yaitu:
(a) memaksa aktor mencari cinta, persetujuan dsb, dari hubungan sosial mereka;
(b) meliputi internalisasi nilai yang menyebabkan aktor mengamati berbagai
standar kultural; dan (c) adanya peran yang diharapkan yang menyebabkan aktor
memberikan dan menerima respon yang tepat; dan (3) Hubungan sistem
kepribadian dengan sistem sosial adalah: (a) aktor harus belajar melihat dirinya
sendiri menurut cara yang sesuai dengan tempat yang didudukinya dalam
masyarakat; dan (b) peran yang diharapkan dilekatkan pada setiap peran yang
diduduki oleh aktor individual. Dari ketiga hal tersebut menyimpulkan bahwa,
dalam fungsionalisme struktural Parsons, menempatkan citra aktor dalam aktivitas
sosial dalam posisi sangat pasif, dipaksa oleh dorongan hati dan didominasi oleh
kultur atau gabungan dorongan hati dan kultur (disposisi-kebututuhan) (Craib,
1984; Hamilton, 1990; Ritzer dan Goodman, 2004).
m. Teori Evolusi. Parsons ditahun 1960-an mendapat kecaman hebat, bahwa
teorinya, fungsionalisme struktural (empat sistem tindakan dan fungsi
imperatifnya) tidak mampu menjelaskan fenomena perubahan sosial,
menyebabkan dia di tahun 1966 mulai mengkaji tentang perubahan sosial, dan
Parsons menyebutnya ‘Paradigma perubahan evolusioner’.
n. Ada tiga komponen paradigma perubahan evolusioner, yaitu: (1) ‘Proses
diferensiasi’, artinya: setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang
beragam strukturnya dan fungsionalnya; (2) Proses diferensiasi menimbulkan
‘sekumpulan masalah integrasi baru’ bagi masyarakat (masing-masing subsistem
mempunyai kemampuan menyesuaikan diri yang meningkat). Masyarakat akan
berevolusi dari sistem yang bersifat ascription ke sistem yang berdasarkan
achievement; dan (3) ‘Sistem nilai dasar’, artinya semakin maju masyarakat
semakin beragam nilai-norma yang dianut. Oleh karena itu diperlukan sistem nilai
dasar (umum/pokok) yang lebih tinggi untuk melegitimasi keragaman norma,
tujuan dan fungsi dari subunit masyarakat.
o. Parsons, menilai masyarakat akan berevolusi dalam tiga tahap, yaitu: (1)
Masyarakat primitif; (2) Masyarakat lanjutan; dan (3) Masyarakat modern. Dia
membedakan tiga tahap ini berdasarkan dimensi kultural (Abraham, 1982; Craib,
1984; Hamilton, 1990). Jadi, pandangan Parsons tentang perubahan sosial-
budaya adalah: (1) Proses perubahan yang terjadi akan mengarah pada
37
keseimbangan (equilibrium) dalam sistem sosial, apabila ada konflik internal, perlu
dicari upaya-upaya untuk tetap terjaga keseimbangan dalam sistem; (2) Proses
diferensiasi struktural akan menimbulkan perubahan baru di dalam subsistem,
tetapi tidak mengubah struktur sistem sosial-budaya secara keseluruhan. Nilai-
nilai pokok dianggap tetap tidak berubah; (3) Perubahan evolusi masyarakat
adalah mengarah kepada “peningkatan kemampuan adaptasi”, menuju
keseimbangan hidup; dan (4) Apabila terjadi perubahan struktural, maka akan
terjadi perubahan dalam kultur normatif sistem sosial bersangkutan (perubahan
sistem nilai-nilai terpenting). Hal ini akan mempengaruhi perubahan unit-unit lain
dalam sistem (Lauer, 1993) atau perubahan revolusi.
Parsons (1966) mengembangkan teori perubahan yang dibedakan menjadi
tiga macam perubahan yaitu: (1) Perubahan ke arah sistem perbaikan
(mempertahankan sistem), yakni memperbaiki pola utama ‘equilibrium’. Ini dianggap
perubahan yang sesuangguhnya (Namun pola perubahan ini masih statis); (2)
Perubahan dalam arti sebagai makna perbaikan unit-unit perbedaan, sub sistem
kedalam pola fungsional secara khusus atau saling ketergantungan (perubahan
koordinasi aktivitasnya dan fungsi-fungsinya); (3) Perubahan “adaptive apgrading”,
artinya sistem sosial menjadi sangat efektif dalam generasi dan distribusi sumber dan
meningkatkan survivalnya (Harper, 1989; Lauer, 1993).
2. Pandangan teori fungsional struktural Robert K. Merton dalam memahami
fenomena sosial-budaya
Merton adalah murid Parsons, tetapi dia juga mengecam beberapa aspek
fungsionalisme struktural Parsons. Langkah Merton ini lebih membantu dalam
memanfaatkan perspektif fungsional struktural dalam analisis sosial bagi para peneliti
sosial. Ada beberapa perbedaan antara fungsionalisme struktural (FS) Parsons
dengan Merton, yaitu: (1) FS Parsons merupakan penciptaan teori-teori besar (Grand
theory) dan luas cakupannya, sedangan FS Merton menyukai teori yang terbatas,
teori tingkat menengah (Middle range theory); (2) FS Merton lebih menyukai teori
Marxian (fungsionalisme struktural lebih ke kiri secara politis), sedangkan FS Parsons
tidak (Ritzer dan Goodman, 2004).
Beberapa pokok pikiran Merton berkaitan dengan fungsionalisme
strukturalnya, adalah:
a. Merton mengkritik tiga postulat dasar analisis struktural yang dikembangkan oleh
antropolog Malinowski dan Radcliffe Bron, yaitu : (1) Postulat, ‘bahwa semua
keyakinan dan praktik social-budaya yang sudah baku adalah fungsional untuk
kehidupan individu dan masyarakat’. Hal ini telah terjadi integrasi tingkat tinggi.
Postulat ini bagi Merton hanya berlaku bagi masyarakat primitif yang kecil, tetapi
38
tidak cocok bagi masyarakat modern dan kompleks; (2) Postulat, ‘fungsionalisme
universal’, artinya, bahwa seluruh bentuk kultur, sosial dan struktur yang sudah
baku mempunyai fungsi positif. Bagi Merton, tidak setiap struktur, adat, gagasan,
kepercayaan mempunyai fungsi positif, terlebih dalam masyarakat yang kompleks
atau modern; (3) Postulat, tentang ‘indispensability’, artinya semua struktur dan
fungsi secara fungsional adalah penting untuk masyarakat. Bagi Merton, dalam
hidup sosial-budaya perlu ada beragam alternatif struktur dan fungsional dalam
masyarakat, terutama pada masyarakat modern yang sangat kompleks.
b. Sasaran studi struktural fungsional menurut Merton adalah: peran sosial, pola
institusional, proses sosial, pola budaya, emosi yang terpola secara kultural,
norma sosial, organisasi kelompok, struktur sosial, perlengkapan untuk
pengendalian sosial dan sebagainya. Dan perhatian analisis struktur fungsional
seharusnya lebih memusatkan pada ’fungsi sosial’ daripada pada ‘motif
individual’. Fungsi didefinisikan sebagai ‘konsekwensi-konsekwensi yang dapat
diamati yang menimbulkan adaptasi atau penyesuaian dari sistem tertentu’.
c. Ada beberapa konsep penting Merton, yaitu (1) Konsep ‘Disfungsi’. Menurut
Merton, sistem sosial, struktur, atau institusi dapat menimbulkan akibat positif
dan juga negatif (disfungsi) dalam sistem sosial. Contoh, sistem perbudakan di
Amerika Serikat; (2) Konsep ‘Nonfunctions’, yang didefinisikan sebagai akibat-
akibat yang sama sekali tidak relevan dengan sistem yang sedang diperhatikan,
artinya bentuk tindakan sosial lama (kuno) yang tetap ‘bertahan hidup’ dan tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap kehidupan masyarakat sekarang; (3)
Konsep ‘Net balance’ (keseimbangan bersih), artinya setiap peneliti dalam
melakukan analisis sosial harus mampu mengembangkan pertanyaan pada
‘tingkatan analisis fungsional’, dengan menimbang, membandingkan, menjumlah
fungsi positif dan disfungsinya, misalnya: perbudakan mungkin lebih fungsional
bagi unit sosial tertentu dan lebih disfungsional bagi unit sosial lainnya. Inilah
yang membedakan Merton dengan tokoh fungsional struktural lainnya (umumnya
teoritisi fungsional hanya menganalisis masyarakat sebagai satu kesatuan); (4)
Konsep ‘fungsi nyata’ (Manifest) dan ‘fungsi tersembunyi’ (Latent). Kedua istilah
ini memberikan tambahan penting bagi analisis fungsional versi Merton. Fungsi
nyata (manifest) adalah fungsi yang diharapkan (contoh, lembaga rumah sakit
adalah berfungsi merawat dan menyembuhkan orang sakit). Fungsi tersembunyi
(latent) adalah fungsi yang tidak diharapkan (contoh, rumah sakit adalah
lembaga yang menghabiskan uang/ kekayaan bagi yang sakit, dan bisa
menimbulkan jumlah orang sakit bertambah). Menurut Merton, fungsi latent ada
yang fungsional untuk sistem sosial dan ada yang tidak fungsional.
39
d. Sumbangan terpenting Merton terhadap fungsionalisme struktural dan terhadap
analisis sosial-budaya pada umumnya, khususnya tentang analisisnya mengenai
hubungan antara: kultur (budaya), struktur sosial dan anomie, yaitu: (1) Kultur,
adalah ‘seperangkat nilai normatif’ yang terorganisir, yang menentukan perilaku
bersama anggota masyarakat atau kelompok; Struktur sosial adalah ‘seperangkat
hubungan sosial yang terorganisir, yang dengan berbagai cara melibatkan
anggota masyarakat atau kelompok di dalamnya’; dan Anomie, adalah ‘kondisi
individu atau kelompok yang tidak mampu bertindak sesuai dengan nilai normatif
atau tujuan yang terstruktur secara sosial dalam kelompoknya’. (2) Setiap
melakukan analisis fenomena sosial-budaya, perlu menghubungkan ketiga
konsep tersebut (Kultur, Struktur sosial dan Anomie), artinya analisis terhadap
pola aktivitas individu dalam masyarakat dianggap perilaku menyimpang atau
tidak menyimpang sangat dipengaruhi oleh bagaimana analisis hubungan antar
ketiga konsep tersebut; dan (3) Merton lebih tertarik dengan disfungsi yang dalam
hal ini adalah anomie, lebih khusus, Merton menghubungkan terjadinya anomie
karena adanya kesenjangan antara kultur (budaya) dan struktur sosial (Johnson,
1981; Craib, 1984; Hamilton, 1990).
e. Beberapa konsep dasar Merton tentang ‘organisasi birokrasi modern’, yaitu: (1)
Birokrasi merupakan struktur sosial yang terorganisir secara rasional dan formal,
(2) Birokrasi meliputi suatu pola kegiatan yang memiliki batas-batas yang jelas;
(3) Kegiatan-kegiatan tersebut secara ideal berhubungan dengan tujuan-tujuan
organisasi; (4) Jabatan-jabatan dalam organisasi diintegrasikan kedalam
keseluruhan struktur birokratis; (5) Status dalam birokrasi tersusun kedalam
susunan yang bersifat hirarkhis; (6) Berbagai kewajiban serta hak-hak di dalam
birokrasi dibatasi oleh aturan-aturan yang terbatas serta terperinci; (7) Otoritas
pada jabatan bukan pada orang; dan (9) Hubungan antar individu dibatasi secara
formal (Poloma, 2000).
f. Beberapa prinsip tentang studi perubahan sosial menurut Merton, yaitu: (1)
Struktur birokrasi dapat melahirkan tipe kepribadian yang lebih mematuhi aturan
normatif. Apabila perilaku dalam birokrasi tidak sesuai dengan aturan normatif,
maka akan terjadi anomie (non konformis); (2) Anomi, disini bukan bersifat
psikologis, melainkan lebih berkaitan dengan tidak serasinya (kesenjangan)
antara kultural dengan struktural dalam kelompok. Jadi, fenomena anomi dalam
masyarakat memerlukan penjelasan secara sosiologis, bukan psikologis; (3)
Analisa fungsional struktural menurut Merton, tidak hanya menggunakan tiga
postulat di atas (yaitu: Postulat kesatuan fungsional masyarakat; Postulat
fungsional universal dan Postulat indispensability), tetapi juga perlu dipadu
40
dengan analisa lainnya, yaitu: Analisa konsep disfungsi (Anomi); Analisa
Konsekwensi keseimbangan fungsional (net balance); dan Analisa fungsi
manifes dan fungsi latent (Craib, 1984; Hamilton, 1990; Poloma, 2000).
3. Pandangan Neofungsionalisme dalam memahami fenomena sosial-budaya
Diantara neofungsionalisme, antara lain: Jeffrey Alexander dan Paul Colomy.
Neofungsionalisme muncul di tahun 1980-an, sebagai bentuk upaya menghidupkan
kembali teori fungsional struktural yang mulai redup sejak 1960-an hingga 1970-an.
Neofungsionalisme didefinisikan oleh Colomy sebagai ‘rangkaian kritik diri (internal)
teori fungsional yang mencoba memperluas cakupan intelektual fungsionalisme yang
sedang mempertahankan inti teorinya’. Jadi, teori fungsional struktural yang lama
dianggap terlampau sempit, dan tujuan Alexander dan Colomy adalah menciptakan
teori sintesis disebut ‘Neofungsionalisme’. Ada beberapa kelemahan (problem) yang
dihadapi oleh teori fungsionalisme struktural yang perlu dijawab oleh
Neofungsionalisme ada lima, yaitu: (1) anti individualisme; (2) antagonistik terhadap
perubahan; (3) konservatif;(4) idealisme; dan (5) bias antiempiris. Pada dasarnya
Neofungsionalisme bukanlah sebuah teori yang maju atau baru.
Ada enam orientasi dasar Neofungsionalisme Alexander dan Colomy, yaitu:
a. Neofungsionalisme, bekerja dengan ‘model masyarakat deskriptif’. Model ini
melihat masyarakat tersusun dari unsur-unsur yang saling berinteraksi menurut
pola tertentu, ‘hubungan secara simbiosis’, tidak ditentukan oleh satu kekuatan
semata. Jadi, masyarakat dianggap lebih bersifat terbuka dan pluralis.
b. Neofungsionalisme, memusatkan perhatian yang sama besarnya terhadap
tindakan dan keteraturan (hal ini beda dengan fungsional struktural, yang lebih
pada keteraturan atau tradisional dan bersifat makro didalam struktur dan kultur).
Sedangkan Neofungsionalisme, selain memperhatikan tingkat makro juga pola
tindakan ditingkat yang lebih mikro, juga tindakan rasional dan tindakan eskpresif
individu.
c. Neofungsionalisme, tetap memperhatikan masalah integrasi, tetapi bukan dilihat
sebagai fakta sempurna melainkan lebih dilihat sebagai ‘kemungkinan sosial’.
Neofungsionalisme mengakui penyimpangan dan kontrol sosial sebagai realitas
dalam sistem sosial. Neofungsionalisme mengakui keseimbangan tetapi dalam
konteks yang lebih luas (keseimbangan statis dan dinamik). Sedangkan dalam
fungsional struktural keseimbangan bersifat statis.
d. Neofungsionalisme, tetap menerima penekanan Parsonian tradisional atas
kepribadian, kultur, sistem sosial dan organisme perilaku (dalam struktur
tindakan), tetapi Neofungsionalisme juga menganggap interpenetrasi atas sistem
sosial dapat menghasilkan ketegangan dan perubahan sosial.
41
e. Neofungsionalisme, memusatkan perhatian pada perubahan sosial dalam proses
diferensiasi didalam sistem sosial, kultural dan kepribadian. Perubahan tidak
hanya menghasilkan konsensus dan equilibrium, tetapi juga menimbulkan
ketegangan individu dan kelompok. Hal ini berbeda dengan pandangan
fungsional struktural yang memandang perubahan hanya menghasilkan kondisi
equilibrium (keseimbangan dalam sistem)
f. Neofungsionalisme, secara tidak langsung menyatakan komitmennya terhadap
kebebasan dalam menyusun dan mengonseptualisasikan teori berdasarkan
analisis social-budaya pada tingkat makro dan mikro. Sedangkan fungsional
struktural hanya pada tingkat makro.
g. Riset fungsional struktural, dipandu oleh skema konseptual tunggal dan mengikat
area-area riset khusus dalam satu paket yang ketat, sedangkan karya empiris
Neofungsionalisme diorganisasikan secara longgar, yaitu diorganisasikan di
seputar logika umum dan memiliki sejumlah ‘cabang’ dan ‘variasi’ yang agak
otonom pada tingkat dan domain empiris yang beragam.
Neofungsionalisme, bagi Alexander dan Colomy, bukan hanya sekedar
‘elaborasi’ atau ‘revisi’ terhadap fungsional struktural, tetapi lebih sebagai
‘rekonstruksi dramatis’ terhadap fungsional struktural, karena mempunyai perbedaan
yang mendasar. Jadi, Alexander dan Colomy nampak ‘memadukan’ fungsionalisme
struktural dengan ide-ide teori pertukaran, interaksionisme simbolik, pragmatisme,
fenomenologi. (Hamilton, 1990; Ritzer dan Goodman, 2004).
4. Kritik terhadap teori fungsionalisme struktural menurut para ahli.
Teori fungsional struktural memiliki pengaruh yang paling besar dan paling
lama ( dari tahun 1930-an s.d 1960-an) dalam studi ilmu sosial, apabila dibandingkan
dengan teori lainnya (Campbell, T. 1981; Hamilton, 1990), meskipun demikian teori
fungsionalisme struktural mendapat kritikan dari teoritikus lainnya. Kritikan ini
dibedakan menjadi dua, yaitu:
Pertama, kritik substantif. Kritik utama menurut Turner, Maryanski dan Cohen,
adalah: (1) fungsionalisme struktural kurang memperhatikan realitas sejarah (bersifat
ahistoris), lebih memusatkan pada masyarakat kontemporer dan penjelasan tentang
masyarakat bersifat abstrak, atau ketidakmampuan fungsionalisme struktural untuk
menjelaskan masa lalu; (2) fungsionalisme struktural dianggap tidak mampu
menjelaskan proses perubahan sosial secara efektif pada masa kini, fungsionalisme
struktural lebih menyukai menjelaskan struktur sosial-budaya statis daripada proses
perubahan itu sendiri yang dinamis bersifat dinamis; (3) fungsionalisme struktural
tidak mampu menjelaskan fenomena konflik secara efektif, hal ini karena: (a)
fungsionalisme struktural terlalu menekankan aspek keharmonisan antar unsur; (b)
42
fungsionalisme struktural cenderung melihat konflik sebagai sesuatu yang bersifat
merusak dan terjadi di luar kerangka khidupan masyarakat, oleh karena itu
fungsionalisme struktural mengandung bias konservatif; (4) fungsionalisme struktural
cenderung memusatkan perhatian pada masalah kultural, norma, dan nilai. Individu
dipandang sebagai sosok yang dipaksa (dipengaruhi) oleh kekuatan kultural dan
sosial (faktor eksternal); (5) fungsionalisme struktural dalam praktiknya banyak
digunakan untuk mendukung status quo dan elite dominan (Turner, J.H., 1982).
Kedua, kritik logika dan metodologi, menurut Mills, Abrahamson dan Cohen,
adalah: (1) Fungsional truktural, pada dasarnya kabur, tidak jelas dan bermakna
ganda (yaitu lebih memilih sistem sosial abstrak daripada masyarakat nyata); (2)
Fungsional truktural, termasuk teori yang lebih bersifat umum (abstrak) dan ahistoris,
padahal dalam melakukan analisis fenomena sosial-budaya akan lebih baik memakai
teori ‘middle range’ spesifik yang lebih historis (Merton); (3) Pada dasarnya belum
ada metode yang memadai untuk mengkaji persoalan sosial-budaya dengan
menggunakan teori fungsional truktural; (4) Analisis fenomena sosial budaya dengan
teori fungsional truktural hanya cocok bagi kondisi sistem sosial-budaya yang relatif
sama, sedangkan untuk masyarakat yang kompleks, beragam atau modern sangat
sulit; (5) Logika fungsional truktural bersifat ‘tautologi’. Argumentasi Tautologi, adalah
argumen yang konklusinya semata-mata menegaskan apa-apa yang terkandung di
dalam premis. Jadi, dinyatakan bahwa sistem sosial ditentukan oleh hubungan antar
bagian dalam sistem dan bagian dalam sistem ditentukan oleh tempatnya dalam
sistem sosial yang lebih luas; (6) Fungsional truktural, dianggap terlalu teleologis
(seolah-olah benar secara logika, tetapi tidak selalu benar secara empiris); (7)
Menurut Dahrendorf, fungsional truktural terlalu utopis terhadap realitas sosial
budaya dan konsep equilibrium yang bersifat statis dalam pandangan fungsional
struktural adalah kurang tepat apabila dikaitkan dengan realitas kehidupan modern.
Jadi, teori fungsional truktural kurang cocok untuk analisis masyarakat modern.
Reaksi para pengikut fungsionalis struktural terhadap kritik di atas adalah: (1)
Aliran fungsional truktural, tidak seluruhnya bersifat statis equilibrium (fungsional
truktural Parsons), tetapi juga ada yang lebih dinamis, yaitu fungsional truktural versi
Merton; (2) Aliran fungsional truktural juga mengakui adanya struktural konflik dan
konflik internal didalam struktur, namun perubahan yang terjadi itu hanya bersifat
evolusi (bukan revolusi) (contoh, Aliran neo evolusi perspektif Merton); (3) Neo
evolusi perspektif Merton, melihat bahwa equilibrium dari statis mengarah ke
equilibrium dinamis (melihat masyarakat relatif kompleks, sehingga terbuka untuk
berubah).
43
D. Fenomena Sosial-budaya Dalam Perspektif Teori Konflik
Perspektif Konflik (conflict perspectives). Diantara tokoh teori konflik adalah
Karl Marx dan R. Dahrendorf. Diantara sebagian dari munculnya Teori konflik adalah
disebabkan sebagai reaksi terhadap teori fungsionalisme struktural, tetapi menurut
Dahrendorf, munculnya teori konflik bukan bermaksud untuk mengganti teori
fungsionalisme struktural. Teori konflik bersumber dari teori Marxian dan pemikiran
konflik sosial dari George Simmel. Tahun 1950-an dan 1960-an teori konflik
memberikan alternatif lain selain fungsional struktural dalam melakukan anlisis sosial-
budaya, tetapi akhir-akhir ini teori konflik kedudukannya digantikan oleh teori-teori
Neo-Marxian (Kinloch, G. C., 2005).
Pembahasan teori konflik berikut ini hanya menyinggung tenang: Teori konflik
versi Karl Marx; Teori konflik versi R. Dahrendorf; Kritik terhadap teori konflik Marx
dan Dahrendorf; Teori Konflik Neo Marxian; Teori konflik integratif; dan Perbedaan
pandangan teori fungsional struktural dengan teori konflik dalam memahami
fenomena sosial..
1. Teori Konflik Versi Karl Marx.
Pokok-pokok pandangan Karl Marx, tentang teori konflik dan pandangan
tentang masyarakat adalah sebagai berikut:
a. Marx melihat masyarakat sebagai sebuah proses perkembangan yang akan
‘menyudahi konflik melalui konflik’. Dan ciri utama hubungan-hubungan sosial di
masyarakat adalah pejuangan kelas (Cambell, 1994).
b. Tindakan-tindakan, sikap-sikap dan kepercayaan individu tergantung pada
hubungan-hubungan sosialnya, dan hubungan sosialnya tergantung pada situasi
kelasnya dan struktur ekonomis dari masyarakatnya (Jadi, faktor ekonomi
sebagai kunci dasar setiap aktifitas sosial budaya di masyarakat).
c. Eksistensi manusia sejati adalah eksistensi dimana kemampuan-kemampuan
produksi manusia diperkembangkan secara seimbang dan memuaskan
(Cambell, 1994).
d. Kepentingan fisik (bendawi), keprimaan dan kepentingan kebutuhan bendawi
adalah mendahului atau memotivasi munculnya kebutuhan jiwa atau kebutuhan-
kebutuhan akal manusia.
e. Kelebihdahuluan keberadaan masyarakat manusia daripada keberadaan individu
(segi bendawi masyarakat akan mendasari munculnya keberadaan pikiran
individu) (Mutahhari, 1985).
f. Dalam masyarakat kapitalis, dominasi kelas penguasa (the ruling class) sangat
besar, kelas proletar (buruh) terkungkung oleh kaum kapitalis, sehingga proletar
teralienasi (terasing), untuk memecahkan alienasi Marx menawarkan konsep
44
dialektika (Tesis= kesadaran kelas Antitesis = melawan thd dominas Sintesis =
muncul dominasi baru. Dari dialektika tersebut Marx meramalkan akan tercipta
masyarakat tanpa kelas (Sosialisme komunis). Jadi, masyarakat berevolusi dari
feodalisme ke kapitalisme terakhir sosialisme komunis.
g. Konsep kunci Marx tentang materialisme dialektika adalah: Mode of Production/
MoP (tata cara produksi); the force of production (kekuatan produksi), hal ini
dapat menentukan struktur kelas); dan Relation of production (hubungan
produksi). Hubungan produksi oleh Marx disebut struktur kelas. MoP ini oleh
Marx dianggap sebagai substruktur yang mendasari dan menentukan kehidupan
sosial. Jadi, materi sebagai infra struktur, sedangkan semua aspek selain materi
sebagai supra struktur (Salim, 2002).
h. Kepentingan ekonomi menjadi sebab dasar terjadinya konflik (Kapitalis
mengeksploitasi kaum proletar). Konflik mengarah ke pola perubahan revolusi.
Jadi, dalam pandangan Marx tentang konflik sosial dalam masyarakat kapitalis
adalah digambarkan dalam perkembangan sebagai berikut:
a. Pentingnya hak milik (kelas sosial ditentukan oleh hak milik alat-alat produksi, dan
hak milik ini dikuasai kaum borjuis).
b. Determinisme ekonomi (kepentingan materi/ ekonomi sebagai dasar dari segala
aspek hidup (politik, ideologi, sosial). Politik, ideologi ditentukan oleh kelas borjuis,
karena menguasai ekomoni.
c. Polarisasi kelas (terjadi kelas radikal yang terpecah dalam masyarakat antara
kelas borjuis dan proletar secara terus menerus), sebagai reaksi determinisme
ekonomi.
d. Teori nilai surplus (para kapitalis terus mengeksploitasi kaum buruh, sehingga
profit/ keuntungan menumpuk pada kaum borjuis), sehingga terjadi kelas kaya dan
kelas miskin semakin besar.
e. Alienasi (keteransingan, yaitu kaum buruh terasing terhadap kerja, terasing
terhadap modal, terasing dari jiwa aman dalam bekerja, karena kaum buruh terus
dieksploitasi oleh majikan/kaum borjuis).
f. Solidaritas dan antagonisme kelas (dengan tumbuhnya kesadaran kelas, maka
terjadi kristalisasi hubungan internal masing-masing kelas (terutama dalam kelas
buruh) dan cenderung homogen secara internal, sehingga perjuangan kelas
semakin hebat).
g. Revolusi (gerakan perubahan yang mendasar, yaitu gerakan kaum proletar
meruntuhkan peran dan dominasi kaum borjuis, yang dilakukan), sehingga kaum
proletariat mampu menguasai negara (muncul diktator proletariat).
45
h. Terciptanya masyarakat tanpa kelas (komunis). Setelah revolusi berhasil, maka
hak milik pribadi lenyap, timbul masyarakat tanpa kelas. Sosialisme komunis inilah
oleh Marx dinilai sebagai masyarakat ideal.
Menurut Turner (1982), Teori Konflik pada dasarnya berakar dari pemikiran
Karl Marx dan Max Weber. Ada enam proposisi yang dikemukakan Marx, dan tiga
proposisi yang dikemukakan Weber. Menurut Marx, adalah:
a. Semakin distribusi pendapatan tidak merata, semakin besar konflik kepentingan
antara kelompok atas dan kelompok bawah.
b. Semakin sadar kelompok bawah akan kepentingan mereka bersama semakin
keras mereka mempertanyakan keabsahan sistem pembagian pendapatan yang
ada.
c. Semakin besar kesadaran akan interest keleompok mereka dan semakin keras
pertanyaan mereka terhadap keabsahan sistem pembagian pendapatan, semakin
besar kecenderungan mereka untuk kerjasama memunculkan konflik menghadapi
kelompok yang menguasai sistem yang ada.
d. Semakin kuat kesatuan ideologi anggota kelompok bawah dan semakin kuat
struktur kepemimpinan politik mereka, semakin besar kecenderungan terjadinya
polarisasi sistem yang ada.
e. Semakin meluas polarisasi, semakin keras konflik yang terjadi.
f. Semakin keras konflik yang ada, semakin besar perubahan struktural yang terjadi
pada sistem dan semakin luas proses pemerataan sumber-sumber ekonomis.
Sedangkan proposisi yang diajukan Weber berkaitan dengan konflik sosial
adalah:
a. Semakin besar derajat merosotnya legitimasi politik penguasa, semakin besar
kecenderungan timbulnya konflik antara kelas atas dan bawah
b. Semakin karismatik pimpinan kelompok bawah, semakin besar kemampuan
kelompok ini memobilisasi kekuatan dalam suatu sistem, semakin besar tekanan
kepada penguasa lewat penciptaan suatu sistem undang-undang dan sistem
administrasi pemerintahan.
c. Semakin besar sistem perundang-undangan dan administrasi pemerintahan
mendorong dan menciptakan kondisi terjadinya hubungan antara kelompok sosial,
kesenjangan hirarki sosial, rendahnya mobilisasi vertikal, semakin cepat proses
kemerosotan legitimasi politik penguasa dan semakin besar kecenderungan
terjadinya konflik antara kelas atas dan kelas bawah.
46
2. Teori Konflik Versi Dahrendorf.
Dahrendorf dianggap tokoh teori konflik yang lebih baik analisisnya apabila
dibandingkan dengan Marx. Berikut ini beberapa pokok pikiran atau toeri konflik
Dahrendorf, dalam memahami fenomena sosial budaya, antara lain:
a. Setiap masyarakat, setiap saat tunduk pada proses perubahan. Berbagai elemen
kemasyarakatan menyumbang terhadap disintegrasi dan perubahan.
b. Apapun keteraturan yang terdapat dalam masyarakat berasal dari pemaksaan
terhadap anggotanya oleh mereka yang berada di atas. Teori konflik menekankan
peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban dalam masyarakat.
c. Bahwa masyarakat mempunyai dua wajah, yaitu konflik dan konsensus oleh
karena itu teori sosiologi harus dibagi menjadi dua bagian: Teori konflik dan teori
konsensus. (Dahrendorf dikenal sebagai tokoh yang berpaham seperti ini).
d. Bahwa masyarakat tidak ada, tanpa konsensus dan konflik, keduanya menjadi
persyaratan satu sama lain. Kita tak akan punya konflik kecuali ada konsensus
sebelumnya, sebaliknya konflik dapat menimbulkan konsensus dan integrasi.
e. Meski ada hubungan timbal balik antara konsensus dan konflik, Dahrendorf tidak
optimis untuk mengembangkan satu teori tunggal untuk dua persoalan tersebut.
Oleh karena itu, untuk menghindari teori tunggal Dahrendorf membangun teori
‘konflik masyarakat’.
f. Tesis sentral Dahrendorf adalah ‘bahwa perbedaan distribusi otoritas selalu
menjadi faktor yang menentukan konflik sosial sistematis’. Dahrendorf sedikit
banyak masih dipengaruhi oleh fungsionalisme struktural (Abraham, 1982; Craib,
1984).
g. Otoritas, Dahrendorf memusatkan perhatian pada struktur sosial yang lebih luas.
Tesis dia, ‘bahwa berbagai posisi di dalam masyarakat mempunyai kualitas yang
beragam’. Otoritas tidak terletak di dalam individu, tetapi juga di dalam posisi.
h. Tugas pertama analisis konflik adalah mengidentifikasi berbagai peran otoritas di
dalam masyarakat (pada struktur berskala luas atau makro, seperti peran otoritas),
jadi, bukan mengkaji peran individu atau mikro. Otoritas yang melekat pada posisi
adalah unsur kunci dalam analisis Dahrendorf.
i. Otoritas secara tersirat menyatakan superordinasi dan subordinasi. Individu yang
punya posisi otoritas diharapkan mengendalikan bawahan. Otoritas individu ini
tunduk pada kontrol yang ditentukan masyarakat. Karena otoritas adalah absah,
sanksi dapat dijatuhkan pada pihak yang menentang.
j. Bahwa masyarakat tersusun dari sejumlah unit yang ia sebut ‘asosiasi yang
dikoordinasikan secara imperatif’. Masyarakat terlihat sebagai asosiasi individu
yang dikontrol oleh hierarki posisi otoritas. Masyarakat terdiri dari beragam posisi
47
(Individu dapat menempati posisi otoritas (superordinasi) disatu unit, dan
menempati posisi yang subornat di unit lain).
k. Konsep kunci lain teori konflik Dahrendorf adalah ‘kepentingan’. Otoritas disetiap
asosiasi bersifat dikotomi (ada dua kelompok kepentingan, yaitu pemegang posisi
otoritas/ superordinat dan kelompok subordinat yang saling berbeda kepentingan).
Ada kepentingan tersembunyi (tidak disadari) dan kepentingan nyata (sudah
disadari).
l. Individu pada posisi dominan berupaya mempertahankan ‘status quo’, sedangkan
posisi subornidat terus mendesak untuk terjadi perubahan. Individu ‘menyesuaikan
diri’ dengan perannya bila mereka menyumbang bagi konflik antara superordinat
dan subordinat. Harapan peran yang tak disadari ini disebut ‘kepentingan
tersembunyi’. Dahrendorf melihat analisis hubungan antara kepentingan
tersembunyi dan kepentingan nyata itu sebagai tugas utama teori konflik.
m. Kelompok, Konflik dan Perubahan. Dahrendorf membedakan tiga tipe kelompok,
yaitu: (1) Kelompok semu (quasi group) atau sejumlah pemegang posisi dengan
kepentingan yang sama, kelompok semu ini adalah calon anggota kelompok
kedua, (2) Kelompok kepentingan (interst group), kelompok ini adalah agen riil dari
konflik kelompok. Kelompok ini mempunyai struktur, bentuk organisasi, tujuan,
program dan anggota yang jelas), (3) Kelompok konflik, yaitu berbagai jenis
kelompok yang secara riril (aktual) terlibat konflik kepentingan.
n. Jadi, menurut Dahrendorf, bahwa, ‘konsep kepentingan tersembunyi; kepentingan
nyata; kelompok semu; kelompok kepentingan; dan kelompok konflik adalah
konsep dasar untuk menerangkan konflik sosial’. Di bawah kondisi yang ideal tidak
ada lagi variabel lain yang diperlukan, tetapi karena kondisi tak pernah ideal, maka
banyak faktor lain ikut berpengaruh dalam proses konflik sosial. (inilah yang
membedakan dengan teori konfliknya Marx).
o. Kondisi teknis seperti kualitas personil dalam kelompok; situasi politik; dan kondisi
sosial (hubungan komunikasi) ikut mewarnai kuat atau tidaknya terjadi konflik.
Oleh karena itu cara merekrut anggota dalam kelompok semu secara acak
(kebetulan) dapat meredam konflik. Jadi, beda dengan Marx, Dahrendorf yakin
bahwa ‘lumpen proletariat’ tidak akan membentuk konflik bila proses rekrutmennya
acak, tapi bila rekrutmennya secara struktural akan memudahkan konflik.
p. Aspek terakhir teori konflik Dahrendorf adalah, ‘hubungan konflik dengan
perubahan’. Disini Dahrendorf mengakui pikiran Coser, tentang ‘fungsi konflik
dalam mempertahankan status quo’. Tetapi Dahrendorf mengakui bahwa konflik
merupakan realitas sosial, dan berfungsi menyebabkan perubahan dan
48
perkembangan (konflik yang hebat akan membawa perubahan dalam struktur
sosial) (Johnson, 1981; Craib, 1984; Ritzer dan Goodman, 2004).
3. Kritik terhadap teori konflik Marx dan Dahrendorf.
Menurut para ahli, ada beberapa titik kelemahan pandangan Marl Marx dalam
memahami fenomena sosial, yaitu:
a. Marx terlalu menekankan ‘determinisme ekonomi’ (material) dalam teorinya,
padahal faktor ekonomi tidak selalu menjadi ‘kunci utama’ memahami fenomena
sosial-budaya dan politik di masyarakat.
b. Marx terlalu menekankan bahwa perubahan sosial itu muncul sebagai ‘akibat
perjuangan kelas’, padahal banyak perubahan sosial tidak hanya karena
perjuangan kelas saja, masih ada kepentingan atau aspek lain, misalnya faktor
keyanikan, ideologi, budaya, psikhis, dsb.
c. Marx tidak memperhitungkan terjadinya ‘kelas baru’ dalam proses modernisasi
(kapitalis modern), yaitu kelas menengah (para profesional, teknisi, dsb) yang
mampu menjembatani dua kepentingan yang berbeda yaitu, antara kelas borjuis
dan proletar. Kelas baru ini muncul bukan semata-mata faktor material, tetapi
karena ‘keahlian atau profesionalnya’
d. Kesadaran kelas (class conciousness) yang oleh Marx dianggap dapat muncul
diantara kaum proletar karena tertindas, dalam realitasnya banyak ‘kesadaran
kelas’ tidak muncul secara murni hanya dari kaum proletar, yang terjadi adalah
kesadaran palsu (false consicousness).
e. Marx kurang memperhatikan ‘peranan agama’ atau tokoh agama sebagai
penggerak atau motivator dalam proses perubahan dalam masyarakat. Dalam
realitasnya sangat banyak bukti bahwa peran tokoh agama menjadi aktor
penggerak perubahan sosial budaya
f. Perubahan sosial dan pergolakan sosial, dalam realitas yang terjadi sekarang
tidak hanya disebabkan oleh konflik revolusiner dari konflik antar kelas. Disamping
itu apa yang diramalkan Marx, bahwa ‘kapitalisme dunia akan runtuh dan
digantikan sosialisme komunis’ sampai sekarang belum terbukti. Hal ini
membuktikan bahwa pandangan Marx bersifat ‘ahistoris’.
g. Hampir tidak mungkin dalam suatu masyarakat, hanya ada konflik, dan konflik
sebagai sumber perubahan, tanpa ada struktur wewenang atau mekanisme
pengatur (penguasa), yang mengatur kehidupan masyarakat yang ‘cenderung
integratif dan konflik’, karena sifat dasar masyarakat adalah, ‘adanya integrasi dan
konflik’. Jadi, pandangan Marx bertentangan dengan realitas karakter dasar sosial
budaya di masyarakat yang selalu ada integrasi dan konflik.
49
h. Marx mencampuradukkan konsep sosiologis yang bersifat empiris (dapat diuji
kebenarannya) dengan konsep yang bersifat filosofis. Konsep hak milik yang
dikemukakan Marx terlalu menekankan pada ‘hak milik dalam arti sempit’ (hak
milik secara hukum atau pemodal pribadi), padahal dalam masyarakat modern
konsep ‘hak milik suatu industri bisa luas atau kompleks’, yaitu manajer,
masyarakat, buruh (saham masyarakat).
i. Marx tidak melihat bahwa dalam kelas juga terjadi perkembangan adanya
spesialisasi kelas (dekomposisi kelas), yaitu dalam kelas proletar ada dua kelas:
kelas proletar murni (kelas buruh) dan kelas lumpen proletar (kelas buruh tapi ahli/
profesional dengan gaji tinggi). Marx sangat keliru dalam memandang bahwa
perkembangan kekuatan produksi akan mengarah pada homogenitas internal
kaum proletariat, dalam kenyataannya tidak pernah ada homogentitas internal
proletariat, yang terjadi adalah heterogenitas internal proletariat, karena adanya
un-skill labour, semi skill labour dan skill labour (Johnson, 1981; Craib, 1984;
Ritzer dan Goodman, 2004).
Sedangkan beberapa teoritisi ilmu sosial antara lain: Weingart (1969),
Hazelring ( 1972), dan Turner (1973), mengkritik pemikiran kritis Dahrendorf sebagai
berikut:
a. Model Dahrendorf tak secara jelas mencerminkan pemikiran Marxian seperti yang
ia nyatakan. Jadi, teori konfliknya merupakan terjemahan yang tidak memadai dari
teori Marxian.
b. Teori konflik Dahrendorf lebih menyerupai dengan fungsionalisme struktural
daripada dengan teori Marxian. Dahrendorf dalam teorinya menekankan: ‘Asosiasi
yang dikoordinir secara paksa; Posisi dan peran secara langsung mengkaitkan
dengan fungsionalisme struktural’.
c. Teori konflik hampir seluruhnya bersifat ‘makroskopik’ (sama dengan
fungsionalisme struktural) dan akibatnya sedikit sekali yang ditawarkan kepada
kita untuk memahami pikiran, pandangan dan tindakan individu (mikroskopik).
d. Teori konflik Dahrendorf tidak memadai karena masing-masing hanya berguna
untuk menerangkan sebagian saja (sisi fenomena konflik) dari kehidupan sosial
(Johnson, 1981; Craib, 1984; Ritzer dan Goodman, 2004).
50
Bagan 2.1. Tentang Perbedaan teori konflik Marxis dan Non Marxis (Dahrendorf):
No Teori Konflik Marx Teori Konflik Dahrendorf
01 Perubahan terjadi secara revolusi. Dan masyarakat terus dalam situasi konflik
Perubahan belum tentu terjadi karena revolusi, tetapi secara gradual, karena ada beberapa hal yang mengalami disfungsi
02 Sumber konflik adalah kepemilikan sarana produksi. Atau faktor ekonomi (materi) sebagai infra strukturnya
Sumber konflik adalah kepemilikan wewenang (otoritas) dalam kelompok yang beragam. Jadi bukan hanya materi (ekonomi)
03.
04.
Kelompok Lumpen Proletariat akan menjadi penggerak terjadinya konflik dalam kelompok
Konflik akan berakhir kalau terjadi masyarakat tanpa kelas (sosialis komunis)
Kelompok Lumpen Proletariat tidak akan menjadi penggerak konflik bila proses rekrutmennya acak.
Konflik berjalan terus menerus sepanjang ada masyarakat.
Para Sosiolog membedakan dua kategori besar dalam teori konflik, yaitu:
a. Konflik Endogenous (konflik dari dalam) masyarakat, yang sebab terjadinya
secara analitis dibedakan menjadi: (1) keinginan berubah secara inheren dari
masyarakat; (2) distribusi kebutuhan atau kepentingan yang beragam terhadap
sesuatu yang dihargai dalam masyarakat; (3) konflik nilai didalam masyarakat
yang merupakan akumulasi dari inovasi, revolusi teknologi, krisis lingkungan dan
orientasi nilai baru; (4) konflik kewenangan (otoritas) didalam kelompok; (5) konflik
individual dan konflik didalam masyarakat.
b. Konflik Eksogenous (konflik dari luar) masyarakat, yang sebab terjadinya secara
analitis adalah: (1) adanya peperangan antar masyarakat; (2) terjadinya invasi
kultural, atau penjajahan politik dari luar; dan (3) konflik ideologi, seperti
kapitalisme, komunisme, demokrasi, fundamentalisme antar masyarakat atau
banga.
c. Uraian tentang teori konflik Marx dan Dahrendorf tersebut di atas dapat
disimpulkan dengan beberapa asumsi dasar perspektif konflik tentang ‘perubahan
sosial-budaya’ sebagai berikut: (a) setiap masyarakat senantiasa dalam proses
perubahan, perubahan dianggap inheren dalam masyarakat (Spencer, M. 1982;
Horton and Hunt, 1984); (b) setiap elemen masyarakat memberikan andil untuk
terjadinya konflik dan perubahan sosial-budaya. Masyarakat bukanlah sebuah
sistem yang berada dalam situasi equilibrium, melainkan terbentuk karena adanya
paksaan dan tujuan tertentu (Zeitling, 1973; Turner, B., 2000); (c) konflik
endogenous berasal dari kegagalan integrasi dan struktural yang sama. Konflik
51
terjadi karena distribusi penghargaan tidak sama dan paksaan dari pihak
superordinat dan kurangnya nilai konsensus dalam kelompok; (d) sumber konflik
adalah karena adanya ‘kepentingan ekonomi’ (menurut Marx) dan ‘beragam
kepentingan’, misalnya: kepentingan ekonomi, kekuasaan, dan aspek sosial
(menurut Dahrendorf); (e) masyarakat selalu berubah setiap saat dan perubahan
sosial itu terjadi di mana-mana; (f) konflik meskipun inheren dalam struktur sosial,
tidak selamanya merusak dan bersifat nyata (manifest), namun juga bersifat
tersembunyi (latent). Konflik bisa ditekan dan dikontrol, tetapi tidak bisa
dihilangkan oleh siapapun dalam proses kehidupan masyarakat (Blowers, 1976;
Turner, J., 1982).
4. Pandangan Teori Neo Marxian
Sebelum menjelaskan tentang beberapa konsep tentang Teori Neo-Marxian,
terlebih dahulu perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Teori Neo Marxian
adalah: (a) teori-teori konflik yang dikemukakan para ilmuwan sosial setelah
munculnya teori konflik Marx, dan teori tersebut masih berorientasi pada teori konflik
Marx serta sifatnya lebih menyempurnakan asumsi-asumsi Marx tentang konflik
dalam hubungannya dengan perubahan sosial; (b) apabila perspektif konflik Marx
lebih mendasarkan pada aspek ekonomi sebagai ‘pen-determinasi’ (infra-struktur)
semua aspek kehidupan sosial (Bottomre and Rubel, 1956; Mutahhari, 1986), maka
teori neo Marxis beranggapan bahwa faktor kunci konflik bukan semata-mata karena
kepentingan ekonomi, tetapi ‘multi-faktor’ (Ritzer, 2001; Kinloch, 2005). Variasi teori
Neo Marxian ini sangat beragam, antara lain: (a) Determinisme Ekonomi; (b)
Marxisme Hegelian; (c) Teori Kritis; (d) Sosiologi Ekonomi Neo-Marxian; (e)
Marxisme Berorientasi Historis; (f) Analisis Sosial Neo-Marxian; dan (g) Teori Post-
Marxis (Johnson, D.P., 1981)
Pengaruh teori konflik dalam studi sosiologi berada dalam rentang waktu
yang sangat panjang (1818 sampai awal tahun 1960-an). Para tokoh teori konflik
antara lain: (a) Karl Marx dan Robert Park, yang dikenal dengan pendekatan
‘Sistemik Konvensional’ (Revolusionis); (b) Vilfredo Pareto dan Torstein Veblen, yang
dikenal dengan ‘Tipe Naturalistik Konvensional Teori Konflik’ (Revolusionis); (c) Ralf
Dahrendorf dan Wright Mills, yang dikenal penganut pendekatan atau aliran ‘Sistemik
Modern’ (Revolusionis); dan (d) Lewis Coser dan David Reisman, yang dikenal
penganut model ‘Naturalistik Modern’ (fungsionalis-evolusionis) (Kinloch, 2005).
Banyak teoritisi konflik yang masuk dalam kelompok Neo-Marxian, antara lain:
(a) George Lukacs, sumbangan besar Lukacs terhadap teori Marxian adalah berupa
gagasan tentang ‘Reifikasi dan Kesadaran Kelas’; (b) Antonio Gramsci, dia tetap
mengakui faktor ekonomi sebagai penyebab konflik dan revolusi, tetapi ada juga
52
faktor lain yaitu massa perlu mengembangkan ‘ideologi revolusioner’, dan dalam
membangkitkan ideologi revolusioner, massa harus ada ‘tokoh intelektual’. Baik
Lukacs maupun Gramsci sama-sama memusatkan perhatian pada aspek ‘Gagasan
Kolektif’ daripada aspek ‘Struktur Ekonomi’ seperti yang dikemukakan oleh Karl Marx;
(c) Henri Lefebvre, dia mengatakan bahwa teori Marxian perlu menggeser fokusnya
dari ‘cara-cara produksi ke produksi ruang’ (dari produksi ke reproduksi). Ruang
berfungsi dengan berbagai macam cara untuk mereproduksi sistem kapitalis, struktur
kelas di dalam sistem ekonomi. Menurut H. Lefebvre, setiap aksi revolusioner harus
berhubungan dengan ‘restrukturisasi ruang’ (Ritzer dan Goodman, 2004); (d) Lewis
Coser, menurut Coser bahwa: Konflik meningkatkan penyesuaian sosial; Konflik
bermula dari tuntutan rasio penghargaan; Struktur sosial bisa berbentuk tertutup dan
terbuka; Tipe-tipe masalah menyangkut pengaruh konflik dan konflik akan menjadi
fungsional bagi sistem sosial (Coser and Rosenberg, 1969); dan (e) David Reisman,
dia menjelaskan relevansi ‘perubahan demografi’ sebagai fundasi konflik sosial. Baik
L. Coser maupun D. Reisman adalah termasuk tokoh teori Neo-Marxis atau Teori
Konflik Modern yang bersifat naturalistik, makroskopik, organik, evolusioner dan
struktural (Kinloch, 2005)
Dalam posisi kajian ini, teori Neo Marxian yang diuraikan secara singkat
adalah teori konflik Lewis Coser yang oleh sebagian ahli dianggap sebagai ‘teori
konflik modern yang bersifat ‘Naturalistik dan evolusioner’. Hal ini bukan berarti hanya
teori Neo Marxian L. Coser saja yang cocok untuk dijadikan orientasi teori dalam
suatu kajian fenomena sosial-budaya. Berikut beberapa substansi pokok pikiran atau
asumsi teori konflik L. Coser, antara lain:
a. Konflik akan cenderung meningkatkan daripada menurunkan penyesuaian sosial
adaptasi dan memelihara batas kelompok. Konflik bersifat fungsional dan tidak
fungsional. Konflik muncul ketika ada akses dari penuntut untuk memperoleh
imbalan sesuai dengan kerjanya.
b. Kehidupan sosial memang memerlukan keserasian fungsi (Teori fungsional),
tetapi untuk melakukan proses perubahan dan dinamika hidup, maka kehidupan
kelompok memerlukan adanya konflik antar unsur (sub sistem) (teori konflik). Jadi,
Konflik dan konsensus (fungsional), perpecahan dan integrasi adalah proses
fundamental (sesuatu yang mesti ada) dalam masyarakat, meski porsinya
beragam antar kelompok. Atau konflik dan integrasi merupakan bagian integral
dalam sistem sosial (Cambell, 1994).
c. Struktur sosial berbeda-beda bentuknya. Ada yang berbentuk mobilitas sosial,
eksistensi institusi katup keselamatan (savety-valve institutions), konflik
institusional, dan toleransi, yang pada tingkatan tertentu memiliki hubungan erat,
53
tingkat berpartisipasi kelompok, dan panjangnya konflik. Jadi, semakin erat sistem
stratifikasi, semakin sedikit pulalah institusi katup keselamatan; Semakin rendah
institusionalisasi toleran konflik institusional, semakin lebih dekat merajut
kelompok, partisipasi kelompok dan apabila perjuangan dalam kelompok lebih
lama, lebih intens akan berpotensi menjadi konflik sosial di masyarakat.
d. Konflik yang realistis dalam sebuah struktur sosial yang terbuka memberikan
kontribusi penyesuaian struktur yang lebih hebat, fleksibelitas dan integritas sosial.
Sebaliknya konflik yang tidak realistis dalam lingkungan yang fleksibel dan tertutup
akan menimbulkan kekerasan dan disintegrasi.
e. Pada dasarnya perspektif fungsional struktural dan perspektif konflik adalah
‘saling kait mengkait’ dalam memahami masyarakat secara holistik tentang
proses-proses sosial. Baik teori fungsional maupun teori konflik, adalah sama-
sama teori parsial dalam melakukan analisis fenomena sosial.
f. Kehidupan sosial memang memerlukan keserasian fungsi (Teori fungsional),
tetapi untuk melakukan proses perubahan dan dinamika hidup, maka kehidupan
sosial memerlukan adanya konflik antar unsur sosial atau sub sistem (teori
konflik). Jadi, Konflik dan konsensus (fungsional), perpecahan dan integrasi
adalah proses fundamental (sesuatu yang mesti ada) dalam masyarakat, meski
porsinya beragam antar kelompok. Atau konflik dan integrasi merupakan bagian
integral dalam sistem sosial (Coser and Rosenberg, 1969; Cambell, 1981).
g. Fungsi konflik adalah: (a) konflik antar kelompok dalam memperkokoh solidaritas
ingroup, atau bisa juga menciptakan kohesi melalui aliansi dengan kelompok lain;
(b) konflik dapat mengaktifkan peran individu, yang semula terisolasi menjadi tidak
terisolasi, semula pasif menjadi aktif; (c) konflik juga membantu fungsi komunikasi
(artinya fungsi, peran dan batas-batas musuh dengan konflik semakin jelas). Di
atas merupakan fungsi konflik yang lebih positif, tetapi konflik juga mempunyai
‘disfungsi’ (Ritzer dan Goodman, 2004).
h. Ada beberapa konsep penting dari pandangan L. Coser dalam menganalisis
tentang konflik dan perubahan sosial-budaya di masyarakat, antara lain: (a)
terdapat hubungan yang erat antara struktur sosial masyarakat dengan konflik dan
kekuasaan; (b) bahwa bentuk perubahan sosial lebih bersifat evolusi daripada
revolusi; (c) bahwa konflik yang mempunyai suatu fungsi tentang kehidupan
masyarakat yang berhubungan dengan lingkungan hidupnya (makna fungsional
konflik); dan (d) kerangka konflik yang terjadi di masyarakat tidak semata-mata
berbasis ekonomi (seperti pandangan Karl Marx), tetapi juga berbasis non
ekonomi (Kinloch, 2005).
54
5. Pandangan Teori Konflik Integratif Collins
Tokoh utama dalam upaya membangun ‘teori konflik yang lebih sintesis dan
integratif’, adalah Randall Collins (Karyanya Conflict Sociology, 1975). Beberapa
pokok pikiran Collins tentang teori ‘konflik integratif’ adalah:
a. Teori konflik integratif Collins lebih berorientasi ‘mikro’, sedangkan konflik Marx
dan Dahrendorf lebih bersifat ‘makro’. Jadi, ‘Kontribusi utama untuk teori konflik
adalah menambah analisis tingkat mikro, dan dia mengatakan, bahwa stratifikasi
dan organisasi didasarkan atas interaksi kehidupan sehari-hari’.
b. Perhatian terhadap konflik tidak akan bersifat ideologis (politis). Bahwa konflik
adalah proses sentral dalam kehidupan sosial. Konflik Marx dan Dahrendorf
memulai dan tetap menganalisis level kemasyarakatan (makro), sedangkan
Collins lebih mendekati konflik dari sidut pandang individu (mikro), karena akar
teori Collins adalah ‘fenomenologi dan etnometodologi’.
c. Marx dan Dahrendorf memandang, bahwa struktur sosial berada di luar
(eksternal), dan memaksa pihak aktor (individu), sedangkan Collins cenderung
melihat struktur sosial tidak dapat dipisahkan dari aktor yang membangunnya
(internal). Struktur sosial oleh Collins lebih sebagai ‘pola interaksi’, ketimbang
sebagai ‘kesatuan eksternal dan imperatif’ (seperti pandangan Marx dan
Dahrendorf).
d. Menurut Collins teori konfliknya sedikit sekali dipengaruhi oleh Marxian, dan justru
lebih banyak dipengaruhi Weber, Durkheim dan terutama fenomenologi dan
etnometodologi.
e. Tentang Stratifikasi sosial. Collins lebih memusatkan pada stratifikasi sosial,
karena stratifikasi sosial adalah institusi yang menyentuh banyak ciri kehidupan
(ekonomi, politik, keluarga, gaya hidup dsb). Jadi, Collins analisisnya lebih tertuju
pada ‘mikrososiologi stratifikasi’.
f. Collins mengkritik teori fungsionalisme dan Marxian, sebagai: (1) teori yang gagal
menjelaskan stratifikasi sosial; (2) penjelasannya bersifat monokasual untuk
kehidupan yang multikasual. Meskipun demikian pemikiran Collins tetap ada
pengaruh pandangan dari Marxian dan Weber.
g. Teori Stratifikasi Konflik Collins. Meski Collins pola pikirnya banyak
dilatarbelakangi oleh Marxian dan Weber, tetapi teorinya tentang stratifikasi
konflik lebih menyerupai teori fenomenologi dan etometodologi. Asumsi Collins
adalah (1) setiap orang mempunyai sifat sosial (sociable), tetapi juga mudah
berkonflik dalam hubungan sosial; (2) setiap orang dalam hidup mempunyai
kepentingan sendiri-sendiri, sehingga benturan kepentingan akan sering terjadi.
55
h. Pendekatan konflik Collins terhadap stratifikasi dapat dikelompokkan menjadi tiga
prinsip, yaitu: (1) bahwa manusia hidup dalam dunia subyektif yang dibangun
sendiri; (2) orang lain mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi atau
mengontrol pengalaman subyektif sesorang individu; dan (3) orang lain sering
mencoba mengontrol orang yang menentang mereka. Ketiga sebab inilah yang
memunculkan konflik antar individu.
i. Berdasarkan tiga pendekatan tersebut Collins mengembangkan lima prinsip
analisis konflik yang diterapkan pada stratifikasi sosial (Collins, yakin lima prinsip
itu bisa juga diterapkan disetiap bidang kehidupan sosial budaya), yaitu: (1)
bahwa teori konflik harus memusatkan perhatian pada kehidupan nyata
ketimbang pada formulasi abstrak (hal ini menunjukkan Collins lebih menyukai
gaya analisis material Marxian daripada gaya abstraksi fungsionalisme); (2)
bahwa teori konflik stratifikasi harus meneliti dengan seksama susunan material
yang mempengaruhi interaksi (misalnya, lingkungan fisik, mode komunikasi,
senjata, peralatan), namun Collins tetap memandang sumber daya masing-
masing aktor beragam; (3) bahwa dalam situasi ketimpangan, kelompok yang
mengendalikan sumber daya kemungkinan akan mengeksploitasi kelompok
sumber daya yang terbatas; (4) teoritisi konflik harus melihat fenomena kultural
seperti keyakinan dan gagasan dari sudut pandang kepentingan, sumber daya
dan kekuasaan; (5) sosiolog tidak boleh berteori saja tentang stratifikasi, tetapi
juga harus menelitinya secara empiris, dan bila memungkinkan secara
komparatif. Hipotesis harus dirumuskan dan diuji secara empiris.
j. Dari kelima prinsip analisis konflik tersebut, Collins mengemukakan tiga proposisi
tentang hubungan antara konflik dan berbagai aspek khusus kehidupan sosial,
yaitu: (1) pengalaman memberikan dan menerima perintah, adalah faktor yang
menentukan pandangan dan tindakan individu; (2) makin sering orang
memberikan perintah, dia akan makin bangga, makin percaya diri, makin formal
dan makin mengidentifikasikan diri dengan tujuan oragnisasi serta dengan
mengatasnamakan organisasi dia menjustifikasi perintahnya; dan (3) makin
sering orang menerima perintah, makin ia patuh , makin fatalistis, makin terasing
dari tujuan organisasi, makin menyesuaikan diri secara eksternal, makin
mencurigai orang lain, makin memikirkan imbalan ekstrinsik dan amoral (Ritzer
dan Goodman, 2004).
k. Collins juga memandang: (1) organisasi adalah arena untuk bersaing; (2)
penggunaan paksaan menimbulkan upaya yang kuat untuk menghindari menjadi
pihak yang yang dipaksa; (3) Bahwa penawaran pemberian imbalan secara
material adalah strategi yang lebih baik.
56
6. Perbedaan Teori Fungsionalisme Struktural dan teori Konflik.
Tabel 2.2. Tentang perbedaan teori Fungsionalisme struktural dan teori Konflik:
No Konsep fenomena
sosial
PerspektifFungsional Struktural
Perspektif Konflik
01 Kehidupan sosial (masyarakat)
Masyarakat cenderung untuk mempertahankan sistem kerja menuju kearah keseimbangan (equilibrium), dan relatif terintegrasi, keserasian fungsi sosial
Masyarakat cenderung untuk berada dalam konflik terus menerus antar individu/ kelompok dan terus dalam ketegangan.
02 Stratifikasi sosial
Lapisan sosial diperlukan semua orang, untuk menentukan status dan peran, hak dan kewajiban masing-masing individu dalam masyarakat.Lapisan sosial dapat digunakan sebagai media selektif atas keahlian individu, media kompetisi menuju status lebih tinggiSetiap lapisan membangun pola gaya hidup dan perasaan yang berbeda.
Lapisan sosial tidak diperlukan oleh semua orang, karena menimbulkan diskriminasi hidupLapisan sosial dapat menghambat keahlian, bakat lapisan yang bawahSekelompok orang yang punya kepentingan ekonomi dan kekuasaan akan berkembang untuk mengeksploitasi lapisan bawah
03 Diferensiasi sosial
Kondisi objektif kehidupan yang menampilkan serba keberagaman, untuk menentukan hak dan kewajibannya berdasarkan norma yang disepakatiTidak dapat dihindarkan, terutama pada masyarakat yang kompleks, disebabkan beragam keahlian, profesi individu dalam masyarakat
Kondisi subjektif kehidupan, yang menunjukkan adanya lapisan elite untuk memaksakan dan melanggengkan kekuasaan/ kepentingannya pada yang lemahTidak perlu dan tidak adil. Terutama disebabkan perbedaan dalam kekuasaan. Jadi,perlu ditempuh jalan penyusunan masyarakat sosialistis
04 Perubahan sosial
Timbul dari perubahan kebutuhan fungsional masyarakat yang terus menerus. Bentuk perubahan bersifat evolusi, dan selalu mengarah ke seimbangan sistem
Dipaksanakan oleh suatu kelas ke kelas lainnya untuk ke pentingan kelas elite. Atau kelas proletar melakukan gerakan revolusi untuk merubahan dominasi kelas borjuis
05 Tertib Sosial (social control)
Hasil usaha tidak sadar dari anggota masyarakat untuk mengorganisir kegiatan mereka secara produktifKehidupan sosial tergantung kepada solidaritas bersama
Dihasilkan dan di pertahankan oleh pemaksa yang ter organisir oleh kelas yang dominan.Kehidupan sosial selalu menghasilkan suatu oposisi, karena ke hidupan sosial melahir kan konflik struktural
57
06 Nilai-nilai dalam kehidupan sosial
Konsensus atas nilai-nilai, sebagai pemersatu anggota masyarakat (norma- nilai dasar hidup)Kehidupan sosial melibatkan komitmen/ konsensus bersama untuk hidup berkelompok
Kepentingan yang bertentangan akan memecahbelah masyarakat. Konsensus nilai, hanyalan & alat kaum penindas (elite).Kehidupan sosial penuh dorongan kepentingan (dasar hidup) untuk menguasai
07 Lembaga2 sosial
Berfungsi menanamkan nilai-nilai umum (disepakati bersama) demi keserasian fungsi (integrasi).
Berfungsi menanamkan nilai dan kesetiaan yang melindungi kepentingan kaum elite yang punya hak istimewa
08 Hukum dan pemerintahan
Menjalankan peraturan yang mencerminkan kesepakatan (konsensus) nilai-nilai masyarakat
Menjalankan peraturan yang dipaksakan oleh kelas dominan untuk melindungi hak istimewanya
09 Sistem sosial Sistem-sistem sosial diintegrasikan dalam kehidupan kelompok. Dan sistem sosial cenderung untuk bertahan lama
Sistem sosial tidak terintegrasi dan ditimpa oleh kontradiksi-kontradiksi. Dan sistem sosial cenderung untuk berubah
( Horton & Hunt, 1996; Craib, 1992).
58