DEWAN SEKOLAH SDN SAWOJAJAR VI MALANG  · Web view2013-03-29 · Tokoh utama yang mengembangkan...

39
E. Fenomena Sosial-Budaya Dalam Perspektif Teori Interaksionis Simbolik Tokoh utama yang mengembangkan teori interaksionis simbolik adalah Herbert Mead; Horton Cooley; Herbert Blumer; dan Erving Goffman. Dalam kajian ini penjelasan teori interaksionis simbolik akan banyak menguraikan pandangan- pandangan George Herbert Mead dan Herbert Blumer, karena dua tokoh ini dianggap oleh para teoritisi sosial sebagai pendekar teori interaksionis simbolik. Perspektif teori interaksionis simbolik H.Mead dan Blumer sebenarnya berada di bawah payung perspektif fenomenologi’ dan termasuk dalam paradigma ‘definisi sosial’ (Rossides, 1978; Soeprapto, 2002). Perspektif fenomenologis adalah mewakili semua pandangan ilmu sosial yang menganggap ‘kesadaran atau jiwa manusia dan makna subjektif sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial-budaya’ . Pandangan fenomenologi atau teori interaksionis simbolik juga sering disebut teori dalam perspektif interpretif’ (Johnson dan Hunt, 1984; Mulyana, 2002). Ada beberapa pandangan penting teori interaksionis simbolik Herbert Mead dan Herbert Blumer, dalam memahami fenomena sosial budaya atau tindakan sosial individu dalam masyarakat, antara lain: 1. Interaksionis simbolik dalam memahami ‘realitas sosial-budaya’, baik versi Mead maupun Blumer, adalah: sejatinya realitas sosial-budaya itu tidak pernah ada di dunia nyata, melainkan secara aktif diciptakan’ ketika manusia bertindak ‘di dan terhadap’ dunia atau lingkungan sekitarnya. Apa yang nyata bagi manusia tergantung pada ‘definisi, interpretasi (penafsiran), dan pandangan individu itu sendiri’. Jadi, manusia dalam melakukan sesuatu selama proses sosial budaya adalah mendasarkan pada pemahamannya dan pengetahuannya sendiri tentang dunia atau lingkungannya, apakah sesuatu itu bermakna atau berguna bagi hidupnya. Manusia mendefinisikan objek fisik dan non fisik adalah 59

Transcript of DEWAN SEKOLAH SDN SAWOJAJAR VI MALANG  · Web view2013-03-29 · Tokoh utama yang mengembangkan...

E. Fenomena Sosial-Budaya Dalam Perspektif Teori Interaksionis Simbolik

Tokoh utama yang mengembangkan teori interaksionis simbolik adalah

Herbert Mead; Horton Cooley; Herbert Blumer; dan Erving Goffman. Dalam kajian ini

penjelasan teori interaksionis simbolik akan banyak menguraikan pandangan-

pandangan George Herbert Mead dan Herbert Blumer, karena dua tokoh ini dianggap

oleh para teoritisi sosial sebagai pendekar teori interaksionis simbolik. Perspektif

teori interaksionis simbolik H.Mead dan Blumer sebenarnya berada di bawah

payung ‘perspektif fenomenologi’ dan termasuk dalam paradigma ‘definisi sosial’

(Rossides, 1978; Soeprapto, 2002). Perspektif fenomenologis adalah mewakili semua

pandangan ilmu sosial yang menganggap ‘kesadaran atau jiwa manusia dan makna

subjektif sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial-budaya’. Pandangan

fenomenologi atau teori interaksionis simbolik juga sering disebut teori dalam

‘perspektif interpretif’ (Johnson dan Hunt, 1984; Mulyana, 2002). Ada beberapa

pandangan penting teori interaksionis simbolik Herbert Mead dan Herbert Blumer,

dalam memahami fenomena sosial budaya atau tindakan sosial individu dalam

masyarakat, antara lain:

1. Interaksionis simbolik dalam memahami ‘realitas sosial-budaya’, baik versi Mead

maupun Blumer, adalah: sejatinya realitas sosial-budaya itu tidak pernah ada di

dunia nyata, melainkan secara aktif ‘diciptakan’ ketika manusia bertindak ‘di dan

terhadap’ dunia atau lingkungan sekitarnya. Apa yang nyata bagi manusia

tergantung pada ‘definisi, interpretasi (penafsiran), dan pandangan individu itu

sendiri’. Jadi, manusia dalam melakukan sesuatu selama proses sosial budaya

adalah mendasarkan pada pemahamannya dan pengetahuannya sendiri tentang

dunia atau lingkungannya, apakah sesuatu itu bermakna atau berguna bagi

hidupnya. Manusia mendefinisikan objek fisik dan non fisik adalah berdasarkan

‘kegunaan dan tujuannya’ (Mulyana, 2002; Soeprapto, 2002). Dalam pandangan

teori Interaksionis simbolik H mead dan Blumer, manusia selalu berubah-ubah

dari waktu ke waktu, baik menyangkut pandangan tentang: Diri dan

lingkungannya; Tujuannya; Orientasi hidupnya; Simbol-simbol yang digunakan;

Aturan-aturan; Peralatannya dan sebagainya. Oleh karena itu memahami

manusia harus dengan pendekatan dinamik dan kontekstual serta menyelami

pikiran atau pendangannya (Poloma, 1979, Mulyana, 2002).

2. Interaksionis simbolik dalam memahami ‘individu’, baik versi Mead maupun

Blumer, adalah: bahwa Individu merespons suatu ‘situasi simbolik’. Individu

merespons lingkungan, termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial-budaya

(tindakan sosial di masyarakat) berdasarkan makna yang terkandung dalam

objek tersebut. Ketika individu menghadapi situasi, responnya bukan bersifat

59

mekanis, tidak juga ditentukan oleh objek itu (eksternal seperti pandangan

fungsional struktural), melainkan ditentukan oleh ‘Diri, Jiwa, Pikiran’ individu

dalam mendefinisikan, menafsirkan atau menginterpretasikan situasi itu sesuai

dengan kedalaman makna yang terkandung dalam situasi itu. Jadi, individu

bersifat aktif bukan pasif (Ritzer, 2001). Dalam pandangan teori Interaksionis

simbolik, hakikat ‘makna sesuatu’ adalah produk interaksi sosial, karena itu

makna tidak melekat pada objek, melainkan ‘dinegoisasikan’ melalui

penggunaan bahasa. Makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari

waktu kewaktu, sejalan dengan perubahan situasi atau kondisi yang dialami dan

ditemukan individu dalam proses interaksi sosial.

3. Bagi Mead dan Blumer, bahwa dengan ‘bahasa’ manusia memungkinkan untuk

menjadi makhluk yang ‘sadar diri’ (self conscious) dalam proses interaksi sosial.

Kunci dalam proses interaksi adalah ‘simbol’. Simbol merupakan sesuatu yang

‘berada demi’ (stands for) yang lain. Semua interaksi sosial antar individu atau

antar kelompok individu adalah melibatkan suatu pertukaran simbol. Contoh,

kata ‘mobil’ merupakan suatu simbol, artinya dengan menyebut kata mobil, maka

antar individu dapat memikirkan ‘mobil’ sesuai konsep pikiran masing-masing

(jenis mobil, baru/ bekas, warna mobil dsb) walaupun wujud mobil itu tidak

terlihat, demikian juga semua tindakan sosial manusia dalam proses interaksi

sosial merupakan ‘pertukaran simbol’.

4. Interaksionis simbolik dalam memahami tentang ‘Pikiran’ (Mind), yaitu, Pikiran

adalah kemampuan manusia dalam menggunakan simbol untuk menunjukkan

objek di sekitarnya, atau ‘Pikiran’ adalah kemampuan memahami simbol

(Turner,J., 1982).. ‘Pikiran’ lebih merupakan ‘proses’ daripada ‘struktur’ (dalam

pandangan fungsional struktural, pikiran adalah bagian dari struktur). Sedangkan

‘Diri’ (self) pada dasarnya adalah kemampuan untuk menempatkan seseorang

sebagai subjek sekaligus objek. Diri (self) tidak mungkin ada tanpa adanya

pengalaman sosial. Setiap diri itu berkembang ketika orang belajar ‘mengambil

peranan orang lain’ dalam proses interaksi sosial. Tindakan manusia dalam

proses interaksi sosial tidak ditentukan oleh faktor eksternal, melainkan

ditentukan oleh faktor internal, yaitu: pikirannya, motivasinya, pengetahuannya,

pandangan hidupnya. Jadi, kualitas faktor internal tersebut itulah yang

membentuk objek, menilai berdasarkan makna dan memutuskan untuk berbuat

berdasarkan makna itu (Turner,J., 1982; Poloma, 2000).

5. Interaksionis simbolik dalam memahami tentang ‘Masyarakat’, baik versi Mead

maupun Blumer, adalah: bahwa masyarakat sebagai suatu organisasi interaksi,

tergantung pada pikiran atau pandangan individu-individu dalam masyarakat.

60

Masyarakat juga tergantung pada kapasitas diri individu. Dengan demikan

masyarakat secara terus menerus akan terjadi perubahan, karena pikiran

individu terus berubah melalui interaksi simbolik (Turner,J., 1982). Masyarakat

sebagai penyaji sistem sosialisasi yang dinamik, dan fenomena sosial-budaya

itu sendiri dirumuskan individu-individu dari proses interaksi dan sosialisasi

melalui sejumlah tingkat yang berbeda (Soekanto, 2002).

6. Teori interaksionis simbolik Blumer adalah bertumpu pada tiga premis utama,

yaitu: (a) manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang

ada pada sesuatu itu bagi mereka, (b) makna itu diperoleh dari hasil interaksi

sosial yang dilakukan dengan orang lain, dan (c) makna-makna tersebut

disempurnakan di saat proses interaksi sosial sedang berlangsung (Soeprapto,

2002).

7. Dari penjelasan tersebut di atas, maka ‘asumsi dasar’ teori interaksionis simbolik

H. Mead dan Blumer adalah: (a) Individu, adalah rasional dan produk dari

hubungan sosial (interaksi sosial). Individu bukalah merupakan kepribadian yang

terstruktur, pasif, terdeterminasi oleh faktor eksternal, tetapi individu adalah

sosok dinamis; (b) Masyarakat, adalah dinamis dan berevolusi, menyediakan

perubahan dan sosialisasi yang baru dari individu. Masyarakat dan kelompok

selalu berubah dan tergantung oleh pikiran-pikiran individu; (c) Realitas sosial,

adalah bersifat individu dan sosial yang dinamik. Individu memiliki ‘pikiran’ untuk

menginterpretasikan situasi, menilai tindakan orang lain dan tindakannya sendiri;

(d) Interaksi sosial, adalah meliputi ‘pikiran, bahasa dan kesadaran’ akan diri

sendiri; Interaksi sosial mengarah pada komunikasi non verbal; Bahasa

menciptakan pemikiran dan kelompok; (e) Sikap dan emosi individu dan

kelompok dipelajari melalui bahasa; Kebenaran ide, sikap dan perspektif, semua

di konseptualisasikan sebagai sebuah proses dari apa yang dia amati selama

interaksi; Pola aktivitas sosial itu sendiri memiliki aspek kreatif dan spontan

(Turner,J., 1982; Kinloch, 2005)

Para ahli teoritisi ilmu sosial menyimpulkan beberapa substansi pokok dari

asumsi teori interaksionisme simbolik dalam memahami individu dan masyarakat,

kedalam tujuh kesimpulan, antara lain: (1) manusia, tidak seperti binatang yang lebih

rendah, manusia dibekali dengan segala kemampuan berfikir dan merenung; (2)

kemampuan berpikir manusia itu dibentuk oleh proses interaksi sosial dalam

kehidupan kelompok; (3) dalam interaksi sosial-budaya orang belajar makna dan

simbol yang memungkinkan mereka menerapkan kemampuan khas mereka sebagai

manusia, yakni berpikir; (4) makna dan simbol memungkinkan orang melanjutkan

tindakan (action) dan interaksi yang khas manusia; (5) orang mampu memodifikasi

61

atau mengubah makna dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan

interaksi berdasarkan interpretasi mereka atas situasi tertentu; (6) orang mampu

melakukan modifikasi dan perubahan ini karena, antara lain, kemampuan mereka

berinteraksi dengan dirinya sendiri, yang memungkinkan mereka memeriksa

tahapan-tahapan tindakan, menilai keuntungan dan kerugian relatif, dan kemudian

memilih salah satunya; (7) pola-pola tindakan dan interaksi yang jalin menjalin itu

membentuk kelompok dan masyarakat (Ritzer, 2001; Poloma, 1997).

Menurut para ahli ada beberapa kesamaan pemikiran antara Max Weber dan

H. Mead, antara lain sama-sama: (1) mengambil pendekatan mikroskopik, induktif,

evolusioner, sistematis dan normatif terhadap masyarakat sebagai dasar psikologi

sosial modern; (2) tertarik pada hubungan antara sikap dan nilai, tertarik pada

perubahan nilai sistem dan proses-proses sosialisasi, dan tertarik dengan pengertian

interpretatif mengenai tingkah laku sosial (Kinloch, 2005).

Sedangkan perbedaan pandangan antara teori fungsional struktural-konflik

(paradigma fakta sosial) dengan teori interaksionis simolik (paradigma definisi sosial)

dalam memahami perubahan sosial budaya adalah:

1. Bahwa perubahan sosial-budaya dalam perspektif interaksionis simbolik, sangat

ditentukan oleh kemampuan individu dalam menangkap, menafsirkan dan

memodifikasi simbol-simbol dalam proses interaksi sepanjang aktivitas sosialnya

di masyarakat. Jadi, faktor ‘internal individu’ yang menentukan perubahan sosial

budaya. Sedangkan dalam teori fungsional struktural dan konflik, faktor penentu

perubahan sosial budaya adalah faktor ‘eksternal’, berupa lingkungan, struktur

sosial-budaya, konsensus terhadap nilai dan norma, yang oleh Giddens

diistilahkan imperialisme positivis atau imperialisme struktural (Giddens, 1985).

2. Posisi individu menurut teori interaksionis simbolik dalam proses perubahan sosial

budaya adalah, diposisikan sebagai ‘sosok yang aktif, kreatif, dan dinamik’ dalam

membuat kebijakan, memodifikasi pola dan bentuk-bentuk perubahan sosial-

budaya melalui proses pemahaman dan pemaknaan simbol selama proses

interaksi sosialnya. Sedangkan menurut teori fungsional struktural dan konflik,

posisi individu dalam proses perubahan sosial budaya adalah ‘pasif,

terdeterminasi oleh struktur norma sosial budaya, individu bagaikan wayang yang

tidak punya kreativitas, semua tindakan individu sudah ditentukan oleh faktor

eksternalnya’ (Turner,J., 1982; Ritzer, 2001; Soeprapto, 2002).

E. Fenomena Sosial Budaya Dalam Perspektif Teori Integrasi

Pembahasan berikut ini, tentang perspektif atau teori integrasi dalam

memahami fenomena sosial budaya, hanya menyinggung tentang: (a) embrio atau

cikal bakal munculnya teori integrasi; (b) teori integrasi ’mikro-makro’ Ritzer; (c) teori

62

integrasi ’strukturasi’ Giddens; dan (d) penggunaan atau pemilihan teori dalam proses

analisis fenomena sosial-budaya.

1. Embrio munculnya teori integrasi

Ditinjau dari ‘analisis sosial-budaya’, para ahli membedakan menjadi dua

bagian, yaitu: Pertama, analisa teori mikro dan; Kedua, analisa teori makro. Analisis

teori mikro, memandang individu (subjek) sebagai sentra dan penentu atau

penggerak proses-proses sosial budaya di masyarakat. Sedangkan analisis teori

makro, memandang struktur sosial atau faktor eksternal, atau masyarakat (objek)

menentukan berbagai proses sosial dan budaya individu di masyarakat (Sanderson,

1991).

Diantara teori-teori ekstrem makro yang paling terkemua di abad 20 adalah: (a)

Teori Determinisme Kultural (teori Fungsional-Struktural) oleh Talcoff Parsons (1966),

tetapi Parsons juga sedikit menyinggung adanya integrasi mikro-makro, hanya konsep

mikro dalam teorinya Parsons kurang memberikan peran individu secara merdeka

atau bebas berkreativitas; (b) Teori Konflik, oleh Marx dengan pendekatan ‘ekonomi

sentris’ dan Dahrendorf (1959), yang memusatkan perhatiannya pada ‘asosiasi yang

dikoordinasi secara imperatif’; (c) Teori Makrostrukturalisme oleh Peter Blau (1977),

yang mengaku ‘Aku adalah seorang determinis struktural’; (d) Teori Jaringan Sosial

oleh White, Boorman (1976), yang menganggap ‘Unit analisis dalam sosiologi

struktural, lebih menekankan pada jaringan sosial, dan kurang menyinggung pada

peran individu’.

Sedangkan teori-teori ekstrem mikro yang paling terkemuka di abad 20 ini

adalah: (1) Teori interaksionisme simbolik oleh H. Mead dan H. Blumer. Diantara inti

pemahaman teori ini adalah ‘Kehidupan bermasyarakat terbentuk melalui proses

interaksi sosial dan komunikasi antar individu, antar kelompok dengan menggunakan

simbol-simbol yang dipahami maknanya melalui proses belajar atau interaksi sosial’;

(2) Teori Fenomenologi oleh Alfred Schutz, yang lebih memfokuskan pada empat

unsur pokok yaitu : (a) perhatiannya terhadap peran aktor; (b) ‘kenyataan’ adalah

penting atau pokok, dan sikap yang alamiah (natural attitude); (c) mempelajari proses

pembentukan dan pemeliharaan hubungan sosial pada tingkat interaksi tatap muka;

(d) memperhatikan pertumbuhan, perubahan dan tindakan; (3) Teori Etnometodologi

oleh Garfinkel (1967), yang mamusatkan perhatian pada organisasi, kehidupan

sehari-hari dan berbagai jenis kehidupan sehari-hari yang terbatas; dan (4) Teori

Pertukaran Sosial oleh George Homans, dan teori Behavioral Sosiology oleh

Skinners, juga termasuk perspektif mikro (paradigma perilaku sosial) (Ritzer, 2002).

Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa :

63

a. Di kalangan teoritisi sosial, telah terjadi perbedaan sudut pandang dalam

memahami fenomena sosial dan cara malakukan analisis sosial-budaya. Silang

pendapat tersebut berlangsung cukup lama, dari abad 19 sampai abad 20, bahkan

mungkin sampai sekarang.

b. Masing-masing perspektif, baik dari teori mikro maupun teori makro mempunyai

keterbatasan analisa argumentatif dan ketidakmampuan dalam mengkaji secara

utuh fenomena sosial-budaya yang begitu kompleks dan dinamik. Masing-masing

terbatas pada lingkup paradigmanya.

c. Realitas tersebut mendorong munculnya pendapat, bahwa kajian sosial-budaya ke

depan perlu menggunakan perspektif ganda atau integrasi antara mikro makro,

dengan tujuan utama adalah diperoleh pemahaman yang lebih utuh (tidak parsial)

tentang suatu fenomena sosial-budaya.

Pendekatan terpadu atau integrasi, implisit terhadap realitas sosial-budaya,

sebenarnya telah ditunjukkan oleh empat teoritisi sosial terkemuka sebelumnya, dan

pandangan mereka ini dapat dijadikan sebagai ‘embrio’ bagi pembentukan paradigma

terpadu, yaitu:

a. Emille Durkheim. Pembagian fakta sosial oleh Durkheim atas barang sesuatu

yang bersifat material (norma hukum dan arsitektur) dan non material (kesadaran

kolektif dan arus sosial) dapat dianggap paralel dengan kategori realitas sosial

atas tingkatan makro-objektif dan makro-subjektif. Sayangnya Durkheim tidak

menjelaskan kaitan secara jelas antara unit-unit realitas sosial makroskopik

dengan mikroskopik. Konsep Durkheim tentang pendekatan terpadu itu belum

lengkap, dan penekanannya terarah kepada fenomena makroskopik. Apabila

individu mempunyai kebebasan, maka kebebasan itu datang dari paksaan struktur

makro.

b. Karl Marx. Pendekatan terpadu Marx lebih memadai dari pada Durkheim, tetapi

Marx tetap memberikan tekanan yang lebih besar kepada struktur makro. Marx

mulai dengan konsep tentang aktor yang aktif, kreatif dan voluntaristis. Marx, yakin

individu dibekali dengan kemampuan berpikir aktif, kreatif yang berperan dalam

mengembangkan masyarakat dalam proses historis. Hal ini berarti proses-proses

mikro-objektif menimbulkan struktur masyarakat (makro objektif), yang berarti

Marx juga mengakui adanya hubungan dialektika antara realitas sosial tingkat

mikro dan makro, namun oleh para ahli, bahwa model integrasi mikro-makro Marx

masih memberatkan pada struktur makro (determinisme struktural), khususnya

mempersoalkan ‘kapitalisme’ atau bersifat ‘ekonomi sentris’, dan konsep

‘reification’ (mematerialkan barang sesuatu).

64

c. Max Weber. Menurut Mizman, Weber juga menggunakan konsep ‘reification’,

hanya Weber tidak mempersoalkan kapitalisme seperti Marx. Weber melihat dunia

semakin rasional dan semakin birokratis. Perhatian Weber terhadap faktor makro-

objektif ditunjukkan pada ‘struktur birokrasi’. Sedangkan faktor mikro-subjektif

adalah perhatiannya pada ‘rasionalisasi nilai-norma’. Weber, punya perhatian

pada realitas sosial tingkat makro (contoh, konsep ‘kharisma’ yang melembaga;

konsep ‘birokrasi’ yang terstruktur), tetapi Weber juga punya perhatian besar pada

tingkat mikro (contoh, pandangan individu, bahwa ‘manusia memiliki pikiran

rasional dan pemikirannya itu menciptakan perbedaan atau deferensial). Jadi,

pandangan Weber banyak membantu untuk kepentingan analisa terpadu mikro-

makro.

d. Talcott Parsons. Meskipun Parsons memusatkan perhatian pada fakta sosial, dia

juga memperhatikan hubungan antara berbagai tingkat realitas sosial. Konsep

tentang empat sistem tindakan (yaitu: Sistem kultural; Sosial; Kepribadian; dan

Biologis) yang diajukan oleh Parsons adalah bukti perhatiannya tentang berbagai

tingkat realitas sosial. Sistem tindakan kultural Parsens adalah, paralel dengan

konsep makro subjektif dan makro objektif. Sebagian konsep kepribadian Parsens

juga paralel dengan tingkat mikro subjektif. Meskipun Parsons juga menyinggung

suatu pemikiran teoritis yang terpadu (integrasi), namun titik berat argumentasinya

masih terletak pada ‘sisi struktur makro’, yakni pada pengaruh sistem sosial dan

sistem kultural terhadap kepribadian. Individu ter-determinasi oleh faktor eksternal

sebagai akibat internalisasi sistem nilai masyarakat. Kemampuan individu (sistem

kepribadian atau sistem mikro) untuk mengubah masyarakat (sistem makro)

adalah kecil sekali atau hampir tidak ada (Bottomre and Rubel, 1956; Wrong,

1970; Durkheim, 1974; Ritzer, 2002).

Beberapa pandangan para ahli, yang mendorong perlunya melakukan analisis

sosial-budaya dengan menggunakan pendekatan integrasi antara ‘perspektif mikro

makro’ antara lain :

a. Helmut Wanger dalam karyanya ‘Displacement of Scope: A Problem of the

Relationship betweem Small Scale and Large Scale Siciological Theory’ (1964),

yang membahas pentingnya hubungan antara teori sosiologi berskala mikro (kecil)

dan teori berskala besar (makro).

b. Walter Waller dalam karyanya ‘Overview of Contemporary Sociological Theori’,

dalam Sociological Theory (1969), membahas tentang ‘Kontinun (rangkaian

kesatuan) antara teori mikro-makro’.

c. Jim Kemeny dalam karyanya ‘Perspective on the mikro macro distinction’, dalam

Sociological Review, 24: 731-752 (1976), berpendapat ‘perlu adanya perhatian

65

lebih besar terhadap perbedaan mikro-makro maupun terhadap cara dimana teori

mikro-makro saling berhubungan satu sama lain’.

d. Eisenstadt and Helle. H.J. dalam bukunya ‘Macro Sosiological Theor: Perspectives

on Sociological Theory (1985a) menyimpulkan bahwa, ‘Konfrontasi antara teori

makro dan mikro mestinya sudah berlalu’. Begitu juga Smelser dalam Ontology

The Micro Macro Link (1987) berkesimpulan tentang ‘perlunya hubungan timbal

balik antara teori mikro makro’ (Alexander, 1987).

Beberapa pandangan tokoh (para teoritisi) tersebut di atas dapat dikatakan

sebagai ‘embrio’ tentang pandangan pentingnya mengintegrasikan teori-teori mikro

(misalnya interaksionis simbolis, dsb) dengan teori-teori makro (misalnya fungsional

struktural) dalam melakukan analisis sosial. Menurut Ritzer dan Goodman (2003), ada

dua pola (model) utama karya tentang integrasi mikro makro dalam studi sosiologi

yaitu: (1) Beberapa teoritisi yang memusatkan perhatian pada ‘integrasi tingkat

analisis sosial mikro dan makro’; dan (2) Beberapa teoritisi yang memusatkan

perhatian untuk membangun sebuah ‘teori baru’ yang membahas hubungan antara

tingkat mikro dan makro dari analisis sosial.

2. Teori integrasi mikro-makro versi George Ritzer

Gerakan perlunya analisis sosial dengan pola ‘integrasi mikro makro’ begitu

sangat popular di tahun 1980-1990-an (sebagai analisis sosial terkini dalam studi

sosiologi). Menurut Ritzer, pada dasarnya pokok perhatian ‘integrasi mikro-makro’

adalah sejajar (sinonim) dengan pokok perhatian ‘integrasi agen-struktur’. Pada

umumnya teoritisi sosiologi Amerika lebih sering menggunakan istilah ‘integrasi mikro-

makro’, sedangkan teoritisi sosiologi Eropa lebih sering menggunakan istilah ‘integrasi

agen-struktur’ (Ritzer dan Godman, 2003).

Ada yang memandang, masalah ‘mikro makro’ dan ‘agen struktur’ adalah,

mirip bahkan sama atau serupa, tetapi ada juga yang memandang antara keduanya

(mikro-makro dan agen struktur) mampunyai perbedaan signifikan. Berikut kita bisa

pahami tentang konsep ‘agen-struktur’ dan konsep ‘mikro-makro’, menurut para ahli,

antara lain:

a. Konsep agen (agency), pada umumnya menunjuk pada tingkat mikro (aktor

manusia individual, jadi agen diartikan sama dengan mikro). Agen menurut Burns,

bisa juga bermakna ‘kolektifitas (makro) yang bertindak’ (misalnya: agen individu

atau kelompok terorganisir; agen organisasi; agen bangsa). Sedangkan Touraine,

memandang, kelas sosial sebagai aktor. Apabila mengikuti pandangan Burns dan

Touraine, maka kita ‘tidak bisa menyamakan agen dengan fenomena tingkat

mikro’.

66

b. Konsep struktur, umumnya bermakna mengacu pada struktur sosial berskala besar

(tingkat makro), tetapi konsep ini juga dapat mengacu pada struktur mikro. Jadi

baik agen maupun struktur, dapat mengacu pada fenomena tingkat mikro atau

makro, atau kepada kedua-duanya.

c. Konsep mikro, sering mengacu pada kesadaran atau aktor kreatif (menurut teoritisi

agen), tetapi pengertian mikro juga dapat mengacu pada ‘behaver’ (dalam teoritisi

Behavior-Skinners).

d. Konsep makro, sering mengacu pada struktur sosial berskala luas, tetapi makro

juga dapat mengacu pada kultur dari kolektivitas tertentu. Jadi, mikro mungkin

bisa, atau mungkin juga tidak, mengacu pada ‘agen’. Dan makro bisa, atau

mungkin juga tidak, mengacu pada ‘struktur’.

Bagaimana melakukan analisis sosial dengan menggunakan pendekatan atau

teori integrasi mikro-makro?. Paling tidak ada empat macam model teori integrasi

mikro-makro yang dikemukakan oleh para ahli, yaitu: (1) Model integrasi paradigma

sosiologi oleh George Ritzer; (2) Model sosiologi multidimensional oleh Jeffery

Alexander; (3) Model mikro ke makro oleh Coleman and Liska; dan (4) Model sosiologi

figurasional oleh Norbert Elias. Pada pembahasan berikut ini, mdel yang dipilih untuk

dijelaskan adalah model pertama, yaitu model integrasi paradigma sosiologi Ritzer.

Dalam buku ‘Sociology: A Multiple Paradigm Science (1975)’. pokok-pokok

pikiran model analisis sosial-budaya integrasi ‘teori integrasi paradigma sosiologi’

Ritzer antara lain:

a. Lahirnya karya Ritzer tentang ‘Integrasi paradigma sosiologi’, sebagian

dilatarbelakangi oleh beberapa hal antara lain: (1) adanya kebutuhan untuk

membangun sebuah model analisis yang lebih sederhana, dan lebih lengkap serta

integratif dalam memahami berbagai aspek kehidupan sosial-budaya; (2)

paradigma yang ada (paradigma fakta sosial; definisi sosial dan perilaku sosial)

cenderung berat sebelah atau hanya memusatkan pada tingkat khusus atau

dimensi tertentu dalam melakukan analisis sosial-budaya; (3) mengusulkan

pandangan, bahwa pada dasarnya tidak ada posisi hegemoni dalam paradigma

sosiologi. Paradigma integrasi adalah untuk melengkapi paradigma yang ada dan

bukan dimaksudkan untuk menciptakan posisi hegemoni yang baru; (4) dalam

realitas sosial, kehidupan sosial sesungguhnya tidak terbagi dalam tingkatan, yang

terpisah dari dua hal yang berbeda. Realitas sosial paling tepat harus dilihat

sebagai fenomena sosial yang beragam yang membentuk suatu kehidupan sosial

yang saling terkait.

b. Menurut Ritzer, seluruh fenomena sosial mikro dan makro adalah juga fenomena

objektif atau subjektif. Dengan demikian konsekuensinya (seharusnya) adalah

67

terdapat empat tingkat utama dalam setiap melakukan analisis sosial-budaya. Dan

setiap sosiolog harus memusatkan perhatiannya pada hubungan dialektik (timbal

balik) dari keempat tingkat tersebut secara integratif dalam setiap melakukan

analisis sosial-budaya. Namun setiap peneliti tetap harus memperhatikan fokus

atau permasalahan yang akan dikajinya. Apabila peneliti hanya ingin melihat

dimensi objektif (aspek struktural), dan hanya ingin melihat dimensi subjektif

(aspek agen/ mikro), tentu peneliti tersebut tidak perlu menggunakan empat

tingkat utama dalam analisis sosial-budaya secara integratif.

Hubungan dialektik antar empat tingkatan analisis sosial Ritzer tersebut

dapat dilihat dalam gambar sebagai berikut:

Gambar : 2.2 Tentang Hubungan dialektik Integrasi mikro-makro Ritzer

(diadopsi dari Ritzer, 2002)

Keterangan:1) Tingkat makro objektif, meliputi realitas material berskala luas (besar),

misalnya: masyarakat, birokrasi, dan teknologi.2) Tingkat makro subjektif, meliputi fenomena non material berskala luas,

misalnya: nilai, norma, adat (budaya ide atau sistem budaya).3) Tingkat mikro objektif, meliputi fenomena kesatuan objektif berskala kecil,

misalnya: pola tindakan individu, pola interaksi sosial.4) Tingkat mikro subjektif, meliputi proses mental berskala kecil, yaitu upaya

individu untuk membangun (merekonstruksi) realitas sosial-budaya sehari-hari, misalnya, berpendapat atau bersikap atau berpandangan.

MIKROSKOPIK

SUBJEKTIFOBJEKTIF

IMAKRO-OBJEKTIF

Contoh: Msyarakat, Hukum, Birokrasi, Teknologi & Bahasa(Skala Luas)

IIIMIKRO-OBJEKTIF

Contoh: Pola perilaku, tindakan dan interaksi (Skala kecil kesatuan objektif)

IIMAKRO-SUBJEKTIF

Contoh: Nilai, Norma, Kebiasaan, adat(Skala Luas). Realitas non material

IVMIKRO-SUBJEKTIF

Contoh: persepsi, keyakinan, pandangan/ konstruksi sosial(Skala kecil/ mental)

68

MAKROSKOPIK

Masing-masing keempat tingkat analisis tersebut mempunyai arti penting

sendiri-sendiri, tetapi yang paling penting setiap peneliti sosial apabila melakukan

anaisis fenomena sosial-budaya ‘harus’ membahas, mengkaji dan menjelaskan

‘hubungan dialektika’ antara keempatnya secara integratif dalam perspektif ruang

dan waktu (rentang historis). Contoh, Mengkaji tentang ‘Perubahan sosial

masyarakat Porong Kabupaten Sidoarjo, suatu kajian proses dan dampak Lumpur

Lapindo’. Dalam hal ini apabila peneliti mengunakan teori integrasi mikro-makro

versi George Ritzer, maka peneliti harus menjelaskan secara integral hubungan

dialektik antara empat aspek tersebut di atas (Lihat gambar 2.2)

c. Menurut Ritzer, ada ‘dua kontinum realitas sosial’ yang berguna dalam

membangun tingkatan utama kehidupan sosial yaitu: (1) kontinum mikroskopik-

makroskopik; dan (2) kontinum objektif-subjektif.

Kontinum mikroskopik-makroskopik. Dalam kehidupan sosial-budaya selalu

tersusun serentetan kesatuan, mulai dari yang berskala besar sampai yang

terkecil atau sebaliknya. Di ujung makro dari kontinum adalah, ‘fenomena sosial-

budaya berskala besar atau luas, seperti: kelompok luas (contoh, sistem

kehidupan kapitalis dan sosialis dunia), kebudayaan (cultural universals) dan

masyarakat dunia’.

Di ujung mikro dari kontinum adalah, ‘aktor individu, pikiran individu dan

tindakan individu’. Sedangkan diantara ujung mikro ke makro, terdapat: bentuk

‘interaksi’ antar individu, kemudian kearah lebih besar yaitu ‘kelompok’, kemudian

lebih besar lagi ke ‘organisasi’, kemudian ke ‘masyarakat atau budaya’, kemudian

terbesar adalah ‘sistem dunia’. Perhatikan bagan berikut

Gambar 2.3. Tentang garis kontinum mikro-makro

(diadopsi dari Ritzer dan Goodman, 2003)

Kontinum objektif-subjektif dari analisis sosial-budaya. Disetiap ujung

kontinum mikro-makro kita dapat membedakan antara komponen objektif-subjektif.

Istilah subjektif disini mengacu pada sesuatu yang semata-mata terjadi hanya di

dalam dunia gagasan (idea). Sedangkan objektif berhubungan dengan ‘peristiwa

nyata, kejadian material’ dengan lingkup yang luas. Sebuah masyarakat tersusun

69

Mikroskopk Makroskopik

Inter-aksi

Kelom-pok Orga-

nisasi Masy.

& Budya

Sistem

Dunia

dari struktur objektif (seperti pemerintahan, birokrasi, teknologi dan hukum) dan

fenomena subjektif (seperti nilai, norma, gagasan, persepsi).

Ujung kontinum objektif (fenomena sosial-budaya objektif), yang

mempunyai wujud nyata, wujud materi, misalnya: aktor; tindakan sosial; interaksi

sosial; struktur birokrasi; UU atau hukum; aparatur negara, dsb. Sedangkan ujung

kontinum Subjektif, misalnya: Ide, pandangan, nilai yang diyakini, dan konstruksi

pikiran individu tentang realitas sosial budaya, norma dsb. Kemudian antara

ujung objektif dan subjektif adalah Tipe Campuran (ada unsur objektif dan ada

unsur subjektif). Perhatikan bagan kontinum objektif-subjektif sebagai berikut:

Gambar 2.4. Tentang garis kontinum Objektif-Subjektif

(diadopsi dari Ritzer dan Goodman, 2003)

Jadi, setiap peneliti sosial dalam melakukan analisis sosial-budaya,

seharusnya membahas hubungan antara dua kontinum tersebut (kontinum

makroskopik-mikroskopik dan kontinum objktif-subjektif), dan yang terpenting

adalah ‘Representasi skematis hubungan kedua kontinum tersebut dengan empat

tingkat utama analisis sosial secara dialektif-integratif”.

d. Kemudian, bagaimana hubungan antara keempat tingkat utama analisis sosial-

budaya dengan ketiga paradigma, yaitu Paradigma: Fakta sosial, Definisi Sosial,

dan Perilaku sosial?. Sebelum menjawab permasalahan ini, hal yang penting perlu

diperhatikan adalah, peneliti harus mampu menjelaskan hubungan kesatuan

(hubungan integratif atau dialektik) dari model empat tingkat utama, yaitu: (1)

makro-objektif, seperti birokrasi; (2) realitas makro-subjektif, seperti nilai; (3)

fenomena mikro-objektif, seperti pola interaksi; dan (4) fakta mikro-subjektif,

seperti proses konstruksi pikiran individu tentang realitas social-budaya

(pandangan individu).

70

Objektif Subjektif

Aktor; Tindakan; Interaksi; Undang-undang; truktur

Birokrasi

Tipe Campuran, Kombinasi

dalam berbagai

tingkat unsur objektif-subjektif

Pandangan, Nilai, Norma, Konstruksi pikiran ttg

realitas sosial budaya

Di bawah ini gambaran hubungan antara keempat ‘tingkatan utama

analisis sosial-budaya dengan keempat paradigma (termasuk paradigma terpadu).

Tabel : 2.3 tentang hubungan antara tingkat realitas sosial dengan paradigma:

No. Empat Tingkat RealitasSosial

Paradigma Sosial

1. a. Makro Subjektif

b. Makro Objektif

Fakta Sosial(Teori Fungsional struktural; Teori Konflik; Teori Sistem; Teori Sosiologi Makro)

ParadigaTerpadu

(Lihat gambar 2.2)2. c. Mikro Subjektif

d. Mikro Objektif

Definisi Sosial(Teori Aksi Weber; Teori interaksionis simbolik; Teori Fenomenologi)Perilaku Sosial (Teori Behavioral sosiologi; Teori Exchange)

(diadopsi dari Ritzer, 2002)

e. Paradigma fakta sosial, terutama memusatkan perhatian kepada realitas sosial

pada tingkat makro-objektif dan makro-subjektif, sedangkan teori-teori pendukung

paradigma ini adalah: Teori Fungsional struktural; Teori Konflik; Teori Sistem;

Teori Sosiologi Makro); Paradigma definisi Sosial, terutama memusatkan

perhatian kepada realitas sosial pada tingkatan mikro-subjektif dan sebagian

mikro-objektif (yang terkait pada proses-proses mental/ tindakan), sedangkan

teori-teori pendukung paradigma ini adalah: Teori Aksi Weber; Teori interaksionis

simbolik; Teori Fenomenologi; Paradigma perilaku sosial, menjelaskan sebagian

realitas sosial pada tingkatan mikro-objektif, yang tercakup dalam proses mental

(berpikir), tetapi hanya semata yang dihasilkan dari stimulasi dari luar (disebut

behavior), sedangkan teori-teori pendukung paradigma ini adalah: Teori

Behavioral sosiologi; Teori Exchange. Paradigma fakta sosial, Definisi sosial dan

Perilaku sosial polanya adalah memotong tingkatan realitas sosial secara

horizontal, sedangkan paradigma terpadu memotong secara vertikal.

f. Teori ‘Integrasi paradigma terpadu’ oleh Ritzer dapat dianggap sebagai Exemplar.

Menurut Ritzer, ada beberapa konsep penting perlunya penggunaan ‘integrasi

paradigma terpadu’ dalam melakukan analisis sosial, yaitu:

1) Paradigma terpadu ‘bukan’ dimaksudkan sebagai pengganti paradigma

sosiologi yang sudah ada (paradigma fakta sosial; paradigma definisi sosial

dan paradigma perilaku sosial). Paradigma yang ada akan tetap bermakna

71

bagi analisis sosial-budaya selama tidak menganggap satu paradigma tertentu

itu dapat menjelaskan semua fenomena sosial secara komprehensif.

2) Bahwa inti paradigma terpadu terletak pada hubungan antar keempoat tingkat

realitas sosial, yaitu: (a) Makro-objektif, contohnya birokrasi, norma hukum,

bahasa; (b) Makro-subjektif, contohnya nilai-nilai, norma dan kultur; (c) Mikro-

objektif, contohnya berbagai bentuk interaksi sosial seperti: kerjasama, konflik

dan pertukaran; (d) Mikro-subjektif, contohnya proses berpikir, merasakan dan

konstruksi pikiran tentang realitas sosial oleh individu. Jadi, yang penting

dalam paradigma terpadu adalah ‘keempat tingkat sosial tersebut harus

diperlakukan secara integratif’, artinya setiap persoalan sosial budaya yang

dikaji harus diselidiki atau dijelaskan dari empat tingkatan sosial tersebut

secara terpadu.

3) Paradigma terpadu disamping menekankan perhatian pada sosiologi modern,

yang diarahkan kepada realitas sosial budaya tingkat makroskopik, juga tidak

mengabaikan realitas sosial budaya tingkat mikroskopik. Perlu dipahami,

bahwa keempat tingkat realitas sosial tersebut adalah pembagian konseptual,

bukan menggambarkan kenyataan sebenarnya. Realitas sosial buadaya dalam

kenyataan yang sebenarnya sedemikian kompleks, terus menerus berubah.

Namun penggambaran dalam analisis sosial budaya ke dalam empat tingkat

tersebut tidak bertentangan dengan kenyataan sebenarnya. Oleh karena itu

setiap peneliti dituntut untuk lebih memahami secara integral fenomena sosial

budaya yang dikajinya. Paradigma terpadu harus diperbandingkan

berdasarkan perjalanan waktu atau antara berbagai masyarakat. Sifat saling

melengkapi dari pendekatan terpadu ini memungkinkan untuk pengumpulan

data dengan berbagai metode (wawancara, observasi, kuesioner,

dokumentasi, eksperimen dsb).

4) Paradigma terpadu haruslah ‘bersifat historis’. Harus mampu menerangkan

keseluruhan realitas sosial dalam semua masyarakat dan sepanjang sejarah

(keterkaitan antara fenomena lampau, kini dan akan). Paradigma ini harus pula

diorientasikan pada studi tentang perubahan sifat realitas sosial-budaya.

Namun perlu diingat, bahwa tekanan hubungan keempat tingkat realitas sosial

tersebut antar masyarakat bisa beragam, sehingga .

5) Paradigma terpadu harus mengambil ‘manfaat dari logika dialektis’. Diantara

ciri logika dialektis adalah: (a) memandang manusia sebagai pencipta

sebagian besar struktur sosial dan struktur sosial itu pada gilirannya

membatasi dan memaksa si aktor, (b) mempunyai pandangan yang sangat

jelas tentang hubungan antara realitas sosial makroskopik dan mikroskopik, (c)

72

tidak menitikberatkan pada salah satu tingkat realitas sosial tertentu (semua

tingkat realitas sosial dipandang berada dalam hubungan yang bersifat

dialektis), (d) dimulai dengan asumsi epistemologi bahwa ‘di dalam alam yang

nyata’, segala sesuatu saling berkaitan secara terus menerus untuk selama-

lamanya, (e) berpikir dialektik, selain menuntun untuk mencari hubungan

berbagai tingkat realitas sosial, juga dapat membiasakan kita kepada

hubungan kontradiksi. Contoh: Marx, memusatkan perhatiannya pada

kontradiksi yang ada dalam masyarakat kapitalis; Weber, melihat adanya

kontradiksi antara rasionalisasi melawan kebebasan individual; G. Simmel,

menyelidiki kontradiksi antara kultur subjektif dan kultur objektif, (f) Logika

dialektik juga menuntun sosiolog untuk mampu melihat keluar batas realitas

sosial yang kelihatan, kata Berger, logika dialektik berarti sosiologi

diikutsertakan dalam usaha ‘menolak kepalsuan’ (Rossides, 1978; Ritzer,

2002)

3. Teori integrasi agen struktur atau teori strukturasi Anthony Giddens.

Kelompok teoritisi Eropa lebih perhatian pada hubungan atau integrasi antara

‘agen dan struktur’. Ada empat contoh utama teori ‘integrasi agen-struktur’ dalam

melakukan analisis sosial budaya yaitu: (a) teori strukturasi oleh Anthony Giddens; (b)

teori strukturalisme-genesis oleh Pierre Bourdieu; (c) teori morphogenesis, kultur dan

agen oleh Margareth Archer; dan (d) teori kolonisasi kehidupan dunia oleh Habermas.

Menurut Bryan, Jary, Cohen dan Craib, salah satu upaya yang ‘paling

terkenal’ teori yang mengintegrasikan agen-struktur adalah ‘Teori Strukturasi’ oleh A.

Giddens, oleh karena itu dalam penjelasan teori integrasi agen struktur berikut ini

hanya menjelaskan beberapa prinsip teori agen struktur A. Giddens. Giddens dalam

bukunya The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration (1984),

mengatakan ‘setiap riset dalam ilmu sosial atau siret sejarah selalu menyangkut

penghubungan tindakan atau agen dengan struktur, tetapi dalam hal ini bukan berarti

bahwa struktur ‘menentukan’ agen atau sebaliknya’. Giddens juga mengatakan

‘Bidang mendasar studi ilmu sosial budaya, menurut teori strukturasi, bukanlah

pengalaman aktor individual atau bentuk-bentuk kesatuan sosial tertentu, melainkan

praktik (interaksi) sosial yang berulang-ulang, yang diatur melintasi waktu dan ruang

(time and space)’ (Giddens, 1984).

Teori Strukturasi, sebagian mendapat pengaruh dari: (1) teori Marx, khususnya

menyangkut konsep peran manusia (agen) dalam menentukan gerak sejarah; (2)

pengaruh teori interaksionis simbolik (individu kreatif, dinamik); dan (3) teori fungsional

struktural (orientasi masyarakat atau struktur). Menurut Berstein, tujuan fundamental

73

dari teori strukturasi adalah, untuk menjelaskan ‘hubungan dialektika dan saling

pengaruh mempengaruhi antara agen dan struktur’ (Priyono, 2002).

Beberapa konsep penting yang perlu dipahami tentang teori integrasi agen

struktur atau ‘teori strukturasi Giddens’ dalam bukunya The Constitution of Society:

Outline of the Theory of Structuration (1984), dalam memahami fenomena sosial

budaya antara lain:

a. Dalam teori ‘strukturasi’, agen dan struktur tidak dapat dipahami dalam keadaan

saling terpisah satu dengan yang lain. Agen dan struktur ibarat ‘dua sisi dari satu

keping mata uang logam’. Agen dan struktur saling jalin menjalin tanpa

terpisahkan dalam praktik atau aktivitas sosial manusia. ‘Tindakan pelaku (agen)

dan struktur saling mengandaikan’. Dualitas struktur mengandaikan, bahwa

struktur merupakan ‘sarana’ (medium) dan juga ‘hasil’ (outcame) dari kegiatan-

kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang. Hal ini berarti bahwa saat

pelaksanaan atau pengadaan (moment of production) adalah juga saat

pelaksanaan atau pengadaan kembali (moment of reproduction). Oleh karena itu

Giddens mendifinisikan ‘Strukturasi’ dalam daftar terminologi sebagai ‘strukturasi

relasi-relasi sosial melintasi waktu dan ruang, berkat adanya dualitas struktur’

b. Dalam teori strukturasi, praktik sosial atau tindakan sosial manusia itu dapat dilihat

sebagai ‘perulangan’ (rutinization), artinya praktik sosial ‘bukan dihasilkan sekali

jadi oleh aktor sosial, tetapi secara terus menerus mereka ciptakan berulang-ulang

melalui suatu cara tertentu, dan dengan cara itu juga individu menyatakan diri

mereka sebagai aktor’. Jadi, praktik sosial atau aktivitas sosial-budaya tidak

dihasilkan melalui kesadaran atau melalui konstruksional pikiran individu tentang

realitas (seperti pandangan teori-teori paradigma definisi sosial), juga bukan

diciptakan oleh struktur sosial (seperti teori fungsional struktural/ paradigma fakta

sosial). Tetapi melalui praktik sosial berulang-ulang (rutinization) itulah, baik

kesadaran maupun struktur diciptakan.

c. Secara umum teori Strukturasi memusatkan perhatian pada ‘proses dialektika

dimana praktik sosial, struktur, dan kesadaran diciptakan’. Jadi, teori strukturasi

menjelaskan masalah ‘agen-struktur secara historis, prosessual dan dinamis’.

Dalam teori strukturasi, agen atau aktor sosial melakukan refleksi, tetapi peneliti

sosial (sosiolog) juga melakukan refleksi dalam mempelajari masalah hubungan

agen dan struktur. Oleh karena itu Giddens mengemukakan gagasan yang

terkenal tentang ‘Hermeneutika ganda’ dalam proses penelitian sosial-budaya,

artinya, baik agen (aktor sosial) maupun peneliti sosial sama-sama menggunakan

bahasa, yaitu: (a) aktor sosial, menggunakan bahasa untuk menerangkan apa

yang mereka kerjakan sehari-hari. (b) peneliti sosial-budaya, menggunakan

74

bahasa untuk menerangkan tindakan aktor sosial. Jadi, perlu diperhatikan

mengkombinasikan antara bahasa awam (para agen praktik sosial) dan bahasa

ilmiah (para peneliti).

d. Dalam teori strukturasi Giddens, terdapat lima komponen (elemen) penting yang

perlu dipahami, yaitu: (1) konsep Agen; (2) konsep Struktur; (3) konsep waktu-

ruang (time-space); (4) konsep Rutinisasi (routinization); dan (5) konsep

Strukturasi (Giddens, 1984).

Pertama, konsep atau pemikiran tentang ‘agen’. Agen dalam pandangan

Giddens adalah: (a) agen atau aktor sosial terus menerus memonitor pemikiran

dan aktivitas mereka sendiri serta konteks sosial dan fisik mereka; (b) agen

(pelaku) menunjuk pada orang kongkret dalam ‘arus kontinu tindakan dan

peristiwa di dunia’; (c) dalam upaya mencari rasa aman, aktor atau agen

merasionalkan kehidupan (aktivitas) mereka. Menurut Giddens, yang dimaksud

dengan rasionalisasi adalah ‘mengembangkan kebiasaan sehari-hari yang tidak

hanya memberikan perasaan aman kepada aktor, tetapi juga memungkinkan

mereka menghadapi kehidupan sosial mereka secara efisien’; (d) agen atau aktor

juga mempunyai motivasi untuk bertindak dan motivasi ini berupa keinginan atau

hasrat untuk bertindak (potensi untuk bertindak). Jadi, ‘rasionalisasi, refleksivitas

terus menerus terlibat dalam tindakan, sedangkan motivasi sebagai potensinya’.

Dalam diri ‘aktor atau agen’ terdapat ‘kesadaran’. Giddens membedakan

tiga dimensi internal pelaku (kesadaran atau motivasi individu) yaitu: (1) ‘motivasi

tidak sadar’ (unconscious motives), yaitu menyangkut keinginan atau kebutuhan

yang berpotensi mengarahkan tindakan, tetapi bukanlah tindakan itu sendiri; (2)

‘kesadaran diskursif’ (discursive consiousness), yaitu mengacu pada kapasitas

kita merefleksikan dan memberi penjelasan eksplisit atas tindakan kita (tindakan

melalui hasil agumentasi pikiran yang rasional); (3) ‘kesadaran praktis’ (practical

consciousness), yaitu menunjuk pada gugus pengetahuan praktik yang selalu bisa

diurai (tidak perlu argumentatif). Kesadaran praktis ini merupakan kunci untuk

memahami teori Strukturasi (Faisal, 1998). Batas antara kesadaran praktis dan

kesadaran diskursif ‘sangatlah lentur dan tipis’, tetapi tidak seperti antara

‘kesadaran diskursif’ dan ‘motivasi tidak sadar’, yang relatif jelas perbedaannya.

Jadi, Kesadaran diskursif, memerlukan kemampuan untuk melukiskan tindakan

kita dalam kata-kata secara rasional. Kesadaran praktis, melibatkan tindakan yang

dianggap aktor benar, tanpa mampu mengungkapkan dengan kata-kata tentang

apa yang mereka lakukan. Tipe ‘kesadaran praktis’ inilah yang sangat penting bagi

teori strukturasi.

75

Kesadaram praktis agen inilah yang membuat transisi halus dari ‘agen’ ke

‘agensi’ (agency). Agensi (keagenan atau peranan individu), adalah ‘sesuatu yang

sebenarnya atau seharusnya dilakukan oleh agen’. Keagenan berarti peran-peran

individu atau kejadian yang dilakukan oleh individu, misalnya: Peran seorang

dosen adalah mengajar, membimbing mahasiswa, meneliti dsb; peran petani

adalah membajak, menanam padi, memanen padi dsb. Giddens sangat

menekankan arti penting keagenan dalam teorinya.

Menurut Giddens, agen ‘juga sering’ bertindak tidak sesuai dengan tujuan

semula atau sering tindakan yang sengaja dilakkan melahirkan akibat yang tidak

diharapkan. Disamping itu agen juga mempunyai kemampuan atau kekuasaan

untuk menciptakan ‘pertentangan’ dalam kehidupan sosial, bahkan Giddens

mengatakan, bahwa agen atau aktor tidak berarti apa-apa tanpa kekuasaan untuk

menciptakan pertentangan. Jadi, agen atau aktor akan berhenti jadi agen apabila

ia kehilangan kemampuan untuk menciptakan pertentangan. Menurut Giddens,

kekuasaan untuk menciptakan pertentangan ini bersifat logis mendahului

subyektivitas, karena tindakan melibatkan kekuasaan (kemampuan) untuk

mengubah situasi (Ritzer dan Goodman, 2003).

Kedua, konsep tentang ‘struktur dan sistem sosial’. Menurut Giddens,

struktur dan sistem sosial dapat dipahami sebagai berikut: (a) struktur didefinisikan

sebagai ‘properti-properti yang berstruktur (aturan dan sumber daya)’. Struktur

hanya akan terwujud karena adanya aturan dan sumber daya, atau struktur

dipahami sebagai ‘kumpulan aturan dan sumber daya yang berulangkali

terorganisasikan’ (recursively organized sets of rules and resources) (Giddens,

1984). Struktur itu sendiri ‘tidak ada dalam ruangan dan waktu’, karena struktur

‘hanya ada di dalam dan melalui akivitas agen manusia’. Tidak ada struktur bila

tidak ada aktivitas manusia. Jadi, definisi struktur menurut Giddens tidak sama

dengan definisi struktur menurut para teoritikus fungsional struktural. Menurut

teoritikus Fungsional struktural dan teori konflik, struktur adalah ‘sesuatu yang

berada di luar (eksternal) aktor atau individu dan memaksa (determinis) pada aktor

dalam aktivitas sosial’. Bagi Giddens, struktur adalah ‘apa yang membentuk dan

menentukan terhadap kehidupan sosial, tetapi bukan struktur itu sendiri yang

membentuk dan menentukan kehidupan sosial, ada faktor agen yang juga ikut

menentukan’. Jadi, Struktur adalah ‘aturan dan sumber daya yang terbentuk dari

dan membentuk keterulangan praktik sosial’. Struktur, bukanlah benda melainkan

‘skemata yang hanya tampil dalam praktik-praktik sosial’. Skemata mirip ‘aturan’

yang merupakan hasil (out came) dan sekaligus menjadi ‘sarana’ (medium) bagi

berlangsungnya praktik sosial kita. Struktur, bukan bersifat mengekang

76

(constraining) individu (seperti pandangan teori fungsional struktural), tetapi

bersifat ‘memberdayakan’ (enabling) (Giddens, 1984).

Sedangkan konsep struktural, menurut Giddens mempunyai tiga gugus

besar, yaitu: (1) struktur ‘signifikasi’ (signification) menyangkut skemata simbolik,

penyebutan terhadap sesuatu dan wacana tentang sesuatu; (2) struktur ‘dominasi’

(domination), yang mencakup skemata penguasaan atau wewenang terhadap

orang lain (aspek politik) dan penguasaan terhadap barang (aspek ekonomi); (3)

struktur ‘legitimasi’ (legitimation) yang mencakup skemata peraturan-peraturan

normatif yang terungkap dalam tata hukum.

Kemudian konsep sistem sosial. Pengertian sistem sosial menurut

Giddens, ‘mirip’ dengan pengertian stuktur dalam pandangan konvensional

(fungsional struktural atau teori konflik). Sistem sosial menurut Giddens adalah

sebagai praktik sosial yang dikembangbiakkan (reproduced) atau hubungan yang

direproduksi antara aktor dan kolektivitas yang diorganisir sebagai praktik sosial

tetap. Sistem sosial ‘tidak mempunyai’ struktur, tetapi dapat memperlihatkan ciri-

ciri strukturalnya. Struktur tidak dapat memunculkan dirinya sendiri dalam ruang

dan waktu, tetapi dapat menjelma dalam sistem sosial, dalam bentuk praktik sosial

yang direproduksi. Sistem sosial oleh Giddens dilihat baik sebagai media

maupun sebagai hasil tindakan aktor dan sistem sosial yang secara berulang-

ulang (regulation) mengorganisisr kebiasaan aktor. Jadi, sistem sosial

‘merupakan institusionalisasi dan regularisasi praktik-praktik sosial’.

Ketiga, konsep waktu dan ruang (time and space) dan rutinisasi

(routinization). Ada beberapa prinsip Giddens dalam memahami waktu dan ruang

menurut teori strukturasi, antara lain: (a) ruang dan waktu, merupakan variabel

(unsur) penting dalam teori strukturasi. Setiap kegiatan sosial ‘mencengkram’

ruang dan waktu (biting into space and time), serta berada pada akar

pembentukan baik subjek maupun objek sosial (Faisal, 1998). Banyak teoritisi

sosial menganggap ruang dan waktu cenderung diperlakukan sebagai ‘lingkungan’

(environments) tempat ketika suatu tindakan sosial dilaksanakan, atau sebagai

salah satu ‘faktor tidak tetap’, sedangkan menurut teori ‘trukturasi adalah, ‘ruang

dan waktu secara integral turut membentuk tindakan atau kegiatan sosial’

(Giddens, 1984). Tetapi Giddens lebih banyak menekankan aspek waktu dari

pada ruang. Sistem sosial berkembang atau meluas menurut waktu dan ruang,

sehingga orang lain tidak perlu lagi hadir pada waktu yang sama dan di ruang

yang sama. Menurut Bryand and Jary, prestasi Giddens yang diakui oleh para

ilmuwan adalah analisisnya tentang ‘upaya mengedepankan masalah waktu dan

ruang dalam analisa sosial’ (Ritzer dan Goodman, 2003).

77

Giddens membedakan tiga dimensi waktu, yaitu: (1) duree, pengalaman

hari demi hari (reversible time), yaitu berkenaan dengan keberlangsungan waktu

pengalaman atau kegiatan hari demi hari yang dapat dibalik, misalnya berangkat

dari rumah, berada di jalan, sampai keadaan di kantor, kemudian pulang dari

kantor, berada di jalan, sampai di rumah; (2) jangka hidup individual (irreversible

time), yaitu berkenaan dengan rentang waktu kehidupan individu yang tidak dapat

dibalik, misalnya lahir-hidup-mati; (3) longue duree, lembaga-lembaga, yaitu

berkenaan dengan waktu keberlangsungan jangka panjang dan dapat dibalik dari

lembaga-lembaga atau waktu kelembagaan (institutional time) yang merupakan

baik syarat (condition) maupun hasil (outcame) kegiatan-kegiatan sosial yang

terpola dalam kontinuitas hidup sehari-hari.

Waktu tidak dapat dipisahkan dari ruang, karena kontekstualitas kehidupan

sosial menyangkut baik ruang maupun waktu, ‘seluruh kehidupan sosial terjadi

didalam, dan terbentuk oleh, persimpangan kehadiran dan ketidakhadiran dalam

memudarnya waktu dan berubahnya tempat’ (Giddens, 1984). Bahwa tubuh

manusia ‘tidaklah menempati ruang dan waktu dalam arti sama seperti benda-

benda material yang berada dalam ruang dan waktu’. Jadi, posisi tubuh manusia

paling baik dipahami sebagai ‘tubuh aktif yang terarah pada tugas-tugasnya’ atau

sebagai ‘pengambilan posisi’ (positioning). Ruang atau tempat (space) dalam teori

strukturasi tidak dapat sekedar dipahami untuk menunjuk suatu ‘titik dalam ruang’

(point in space), tetapi lebih dipahami dengan istilah ‘tempat peristiwa’ (locale)

yang merujuk pada pemakaian ruang sebagai ‘latar interaksi’ (setting of

interaction) (Giddens, 1984). Istilah locale erat hubungannya dengan konsep

regionalisasi (regionalization) dalam geografi waktu, yakni lebih menunjukkan

pada penempatan wilayah ruang-waktu sehubungan dengan kegiatan sosial yang

dirutinisasikan (zoning of time-space in realtion to routinized social practices),

misalnya; ada ruang kerja, ruang makan, ruang tamu, ruang tidur dsb, yang hal-

hal tersebut menunjukkan adanya pembentukan sistem-sistem interaksi.

Konsep penting lain dalam teori strukturasi adalah ‘rutinisasi’ (routinization),

karena yang rutin adalah elemen dasariah kegiatan sosial sehari-hari, ‘istilah hari

demi hari’ mengungkapkan dengan tepat sifat terutinisasi yang diperoleh

kehidupan sosial yang terentang melintasi ruang dan waktu. Keterulangan

merupakan bahan dasar kehidupan sosial (the recursive nature of soial life).

Tindakan sosial dipandang sebagai ‘suatu proses’ dan bukan tindakan terpisah-

pisah atau sekedar sekumpulan tindakan, atau tindakan manusia dinilai sebagai

‘aliran terus menerus’ (on going flow) kegiatan-kegiatan. Tindakan manusia sangat

terkait dengan ruang dan waktu. Interaksi sosial dipelajari dalam rangka kehadiran

78

bersama (co-presences). ‘Ingatan’ adalah aspek penghadiran (presencing) dan

cara mendiskusikan kemampuan pengetahuan (knowledge-ability) pelaku

manusia. Ingatan tidak menunjuk pada pengalaman masa lalu, dan bukan pula

pemanggilan kembali masa lalu ke masa kini. ‘Persepsi’ bukan lah kumpulan

persepsi-persepsi tetapi ‘aliran kegiatan’ (flow of activity) yang diintegrasikan

dengan gerakan tubuh dalam ruang dan waktu (Giddens, 1984). Regulation

(keterulangan terus menerus), atau rutinisasi (routinization) akan melahirkan rasa

aman ontologis (ontological security) sehubungan dengan masa depan individu.

Sedangkan situasi kritis dalam kehidupan sosial dapat mengacaukan rutinitas

yang dapat diramalkan dan menghancurkan rasa kedatangan masa depan (futural

sence) (Priyono, 2002).

Keempat, konsep strukturasi. Pemahaman terhadap konsep strukturasi ini

menjadi kunci dalam teorinya Giddens. Beberapa hal penting yang dapat dipahami

tentang ‘strukturasi’ adalah: (a) konsep strukturasi mendasarkan pemikiran bahwa

‘konstitusi agen dan struktur bukan merupakan dua kumpulan fenomena biasa

yang berdiri sendiri (dualisme) tetapi mencerminkan dualitas; (b) strukturasi

meliputi ‘hubungan dialektika’ antara agen dan struktur; struktur dan keagenan

adalah dualitas (bukan dualisme), tindakan agen dan struktur saling

mengandaikan. Struktur tidak akan ada tanpa keagenan (peran individu) dan

demikian juga sebaliknya; (c) rutinisasi merupakan elemen dasariah kegiatan

sosial sehari-hari. Atau teterulangan merupakan bahan dasar kehidupan sosial

(the recursive nature of soial life). Tindakan sosial dipandang sebagai ‘suatu

proses’ dan bukan tindakan terpisah-pisah, tindakan manusia dinilai sebagai

‘aliran terus menerus’ (on going flow) kegiatan-kegiatan; dan (d) tindakan manusia

sangat terkait dengan ruang dan waktu (time and space). Setiap kegiatan sosial

‘mencengkram’ ruang dan waktu (biting into space and time), serta berada pada

akar pembentukan baik subjek maupun objek sosial. Jadi ‘ruang dan waktu

secara integral turut membentuk tindakan atau kegiatan sosial’ . Dengan demikian

dalam memahami konsep ‘teori strukturasi’ Giddens harus memahami secara

integral tentang lima komponen (elemen) penting, yaitu: Konsep agen; Konsep

struktur; Konsep waktu-ruang; Konsep rutinisasi; dan Konsep strukturasi

4. Penggunaan atau pemilihan teori dalam proses analisis sosial-budaya.

Beragam perspektif tersebut dapat digunakan sebagai orientasi teoritis dalam

mencermati fenomena sosial dan budaya sebagai sistem. Diantara perspektif atau

teori tersebut, manakah teori yang paling baik dan benar untuk digunakan sebagai

pisau analisis dalam mengkaji fenomena sosial budaya?. Menurut para ahli, (Francis

Abraham (1982); Ian Craib (1984); Tom Cambell (1994); Dedy Mulyana (2002);

79

Christopher Lloyd (1983); Anthoni Giddens (1984, 1987); dsb, apabila kita mengkaji

tentang beragam teori sosial, untuk kita jadikan sebagai theoritical orientasitions, hal-

hal yang perlu diperhatikan seorang peneliti sosial adalah:

a. Tidak ada teori sosial yang benar secara absolut, oleh karena itu kebenarannya

masih ada unsur ‘relativitasnya’. Tidak ada teori yang paling benar atau paling

baik, semua teori ada sisi kelemahannya.

b. Setiap teori sosiologi semestinya mengandung dimensi kognitif, dimensi afektif

dan dimensi normatif (secara eksplisit dan emplisit harus mengandung beberapa

asumsi mengenai bagaimana keadaan dunia yang sebenarnya).

c. Tidak ada teori yang sudah mencapai bentuk formula final, karena pengetahuan

baru mengalami modifikasi setiap waktu; Oleh karena itu setiap teori yang muncul

memungkinkan untuk merevisi atau menolak teori yang lama, begitu seterusnya,

sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.

d. Tidak ada teori yang mampu memahami fenomena sosial secara utuh, integral,

menyeluruh, karena teori sering berkembang atas dasar salah satu aliran filosofis

tertentu.

e. Semua teori tidak selalu dapat diaplikasikan pada setiap situasi dan kondisi

(fenomena sosial-budaya). Peneliti sosial-budaya harus memilih teori mana yang

sesuai dengan situasi dan kondisi khas fenomena sosial-budaya yang akan dikaji,

tetapi setiap peneliti sosial-budaya harus tetap belajar (tahu) akan beragam teori

dalam studi ilmu-ilmu sosial budaya.

f. Suatu teori yang produktif harus memberikan saran dalam pemecahan problema

potensial yanng terjadi di masyarakat, dan memberikan perspektif baru serta

menjadi petunjuk untuk penelitian sosial-budaya berikutnya.

g. Tidak ada teori ilmu pengetahuan (alam atau sosial) yang bisa menolak pengaruh

nilai-nilai serta kepentingan-kepentingan ekstra-ilmiah. Hal yang paling penting

adalah setiap teori ilmu pengetahuan harus mampu menjelaskan fenomena alam

atau sosial-budaya seobjektif mungkin, bisa dipertanggungjawabkan secara

rasional (akal sehat).

h. Posisi teori-teori sosial sebagai ‘theoritical orientation’, pada penelitian yang ber-

perspektif etik, ‘tidak sama persis’ dengan penelitian yang ber-perspektif emik. Hal

ini disebabkan kedua pendekatan penelitian tersebut mempunyai perbedaan

paradigma dan filsafat yang menjadi orientasi pikiran dan pandangan dalam

melihat hakikat fenomena sosial.

i. Setiap teori sosial harus bersifat fleksibel, artinya harus selalu terbuka untuk

diperbincangkan dengan berbagai argumentasi, dalam segala situasi dan

perubahan terus menerus diberbagai aspek kehidupan.

80

Jadi, sikap yang paling bijak bagi peminat studi ilmu sosial-budaya dalam

menggunakan teori sosial untuk menganalisis fenomena sosial budaya adalah: (1)

melakukan studi pendahuluan tentang beragam teori sosial, mana konsep-konsep

teori sosial yang relevan dengan realitas fenomena sosial budaya di lapangan; (2)

fenomena sosial budaya di masyarakat sifatnya adalah kompleks dan dinamik, oleh

karena itu sebaiknya para peminat studi sosial budaya dalam melakukan kajian-kajian

atau analisis dinamika sosial budaya menggunakan beragam teori yang ‘masih dalam

satu paradigma’. Misalnya: (a) apabila peneliti ingin mengkaji fenomena sosial budaya

dari aspek peran individu (internal) yang sangat dominan, melalui kajian tentang

pandangan hidup, motivasi, tujuan dan persepsi para agen atau aktor atau individu di

masyarakat, maka sebaiknya peneliti menggunakan teori-teori yang termasuk pada

‘paradigma definisi sosial’, misalnya teori interaksionis simbolik, teori tindakan rasional

Weber, teori fenomenologi, dsb; (b) apabila peneliti ingin mengkaji fenomena sosial

budaya dari aspek masyarakat (eksternal) atau struktur sosial-budaya, ekonomi atau

lingkungannya yang sangat berperan, maka sebaiknya peneliti menggunakan teori-

teori yang termasuk pada ‘paradigma fakta sosial’, misalnya teori evolusi, teori

sistem, teori fungsional stuktural, teori konflik, dsb.; dan (3) diharapkan setiap kajian

fenomena sosial-budaya yang sangat kompleks dan dinamik, setiap peneliti (terutama

peneliti senior) dapat menggunakan pendekatan penelitian terpadu (kuantitatif dan

kualitatif) dan orientasi teori terpadu (paradigma fakta sosial dan definisi sosial atau

paradigma integratif).

Menurut Francis Abraham (1982), bahwa hubungan antara teori sosial dengan

proses penelitian sosial-budaya adalah sangat erat, alasannya antara lain:

a. Sebuah sistem teoritis menganjurkan sejumlah masalah dan hipotesis yang perlu

diteliti. Dalam proses penelitian, peneliti mungkin dapat menemukan variabel yang

baru, relevan untuk pengujian teori atau pengembangan teori.

b. Teori dapat menuntun proses penelitian, menfasilitasi seleksi variabel kunci,

membatasi ruang lingkup penelitian dengan menunjuk fakta-fakta signifikan

dengan tepat.

c. Penelitian empiris dapat menguji, menvaliditasi atau tidak mengakui teori

sebelumnya, karena telah ditemukan bukti-bukti baru.

d. Penelitian membantu membuat teori yang sama sekali baru, atau memodifikasi

teori yang sudah ada.

e. Penelitian empiris membangun dan memperbaiki konsep-konsep sosiologis,

bagian bangunan yang sangat penting dari teori sosiologis.

f. Teori memungkinkan sebuah penyajian yang efektif dari sebuah penemuan

empiris. Teori membandingkan dan membedakan sebuah penemuan dari studi-

81

studi yang terpisah dan meningkatkan arti penting mereka. Teori meningkatkan

keefektifan penyelidikan tertentu. Fakta akan berarti jika dijelaskan, diatur dalam

kerangka sebuah teori.

g. Kondisi saling mempengaruhi antara teori dan penelitian adalah masalah

menyeimbangkan antara kualitas dan kuantitas. Kuantitas dan kualitas adalah dua

aspek kehidupan yang perlu diseimbangkan dalam pengkajian.

h. Penelitian empiris (kuantitatif) akan meningkatkan kekuatan memprediksi,

ketepatan, validitas dan veriabilitas dari teori-teori sosiologi. Dengan penemuan

dan perbaikan melalui penelitian dimungkinkan untuk mengembangkan masalah

yang lebih tinggi tingkat kekuatan prediksinya.

G. Kesimpulan.

Uraian tentang sistem sosial budaya dalam perspektif teoritis di atas dapat

disimpulkan sebagai berikut:

1. Fenomena sosial-budaya dalam perspektif teori sistem adalah, memandang

bahwa semua aspek atau unsur-unsur dalam sistem sosiokultural (sosial-budaya)

adalah dari segi proses, khususnya sebagai jaringan informasi dan komunikasi

serta interaksi timbal balik. Oleh karena itu teori sistem secara inheren bersifat

integratif, sedangkan bentuk integratif antar unsur sosial-budaya dalam sistem

tersebut adalah bersifat menyatu dan umpan balik (feed back). Dalam sistem

sosial budaya terdapat ’differensiasi’, dan dalam masyarakat modern proses

differensiasi dalam sistem semakin kompleks. Dalam sub sistem terdapat sub-sub

sistem yang masing-masing saling berhubungan antar sub-sub sistem. Perubahan

pada unsur sub sistem akan mempengaruhi perubahan sub sistem lainnya.

2. Fenomena sosial budaya dalam perspektif teori fungsional struktural adalah: (1)

ada empat fungsi penting yang diperlukan dalam menganalisis semua sistem

‘tindakan manusia’ untuk pemeliharaan pola di masyarakat, yaitu Adaptation (A),

goal attainment (G), integration (I), dan latensi (L) (AGIL). Setiap kehidupan

kelompok agar tetap bertahan (survive), maka sistem dalam kelompok itu harus

memiliki empat fungsi tersebut yang saling berhubungan timbal balik. Untuk

memahami skema AGIL harus dipahami konsep-konsep tentang: Sistem kultural;

Sistem sosial; Sistem kepribadian; dan Organisme perilaku, karena keempatnya

terkait dengan skema AGIL; (2) tujuh asumsi dasar teori ‘fungsionalisme struktural’

tentang sistem sosial-budaya, yaitu: (a) sistem memiliki properti keteraturan dan

bagian-bagian yang saling tergantung; (b) sistem cenderung bergerak ke arah

mempertahankan keteraturan diri atau keseimbangan; (c) sistem mungkin statis

atau bergerak dalam proses perubahan yang teratur; (d) sifat dasar bagian suatu

sistem berpengaruh terhadap bentuk bagian-bagian lain; (e) sistem memelihara

82

batas-batas dengan lingkungannya; (f) alokasi dan integrasi merupakan dua

proses fundamental yang diperlukan untuk memelihara keseimbangan sistem; dan

(g) sistem cenderung menuju ke arah pemeliharaan keseimbangan diri yang

meliputi pemeliharaan batas dan pemeliharaan hubungan antara bagian-bagian

dengan keseluruhan sistem, mengendalikan lingkungan yang berbeda-beda dan

mengendalikan kecenderungan untuk merubah sistem dari dalam.

3. Fenomena sosial budaya dalam perspektif teori konflik adalah: (1) beberapa

proposisi Marx tentang teori konflik dalam memahami fenomena sosial budaya

adalah: (a) semakin distribusi pendapatan tidak merata, semakin besar konflik

kepentingan antara kelompok atas dan kelompok bawah; (b) semakin sadar

kelompok bawah akan kepentingan mereka bersama semakin keras mereka

mempertanyakan keabsahan sistem pembagian pendapatan yang ada; (c)

semakin besar kesadaran akan interest keleompok mereka dan semakin keras

pertanyaan mereka terhadap keabsahan sistem pembagian pendapatan, semakin

besar kecenderungan mereka untuk kerjasama memunculkan konflik menghadapi

kelompok yang menguasai sistem yang ada; (d) semakin kuat kesatuan ideologi

anggota kelompok bawah dan semakin kuat struktur kepemimpinan politik mereka,

semakin besar kecenderungan terjadinya polarisasi sistem yang ada; (e) semakin

meluas polarisasi, semakin keras konflik yang terjadi; dan (f) semakin keras konflik

yang ada, semakin besar perubahan struktural yang terjadi pada sistem dan

semakin luas proses pemerataan sumber-sumber ekonomis; dan (2) beberapa

pandangan Dahrendorf tentang teori konflik adalah: (a) setiap masyarakat, setiap

saat tunduk pada proses perubahan. Berbagai elemen kemasyarakatan

menyumbang terhadap disintegrasi dan perubahan; dan (b) bahwa masyarakat

tidak ada, tanpa konsensus dan konflik, keduanya menjadi persyaratan satu sama

lain. Kita tak akan punya konflik kecuali ada konsensus sebelumnya, sebaliknya

konflik dapat menimbulkan konsensus dan integrasi. Bahwa perbedaan distribusi

otoritas selalu menjadi faktor yang menentukan konflik sosial sistematis’.

4. Fenomena sosial budaya dalam perspektif teori interaksionis simbolik, adalah: (a)

bahwa masyarakat sebagai suatu organisasi interaksi, tergantung pada pikiran

atau pandangan individu-individu dalam masyarakat. Dengan demikan masyarakat

secara terus menerus akan terjadi perubahan, karena pikiran individu terus

berubah melalui interaksi simbolik. Masyarakat sebagai penyaji sistem sosialisasi

yang dinamik, dan fenomena sosial-budaya itu sendiri dirumuskan individu-

individu dari proses interaksi dan sosialisasi melalui sejumlah tingkat yang

berbeda; (b) tiga premis utama teori interaksionis simbolik, yaitu: Manusia

bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu

83

bagi mereka; Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan

orang lain; dan Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi

sosial sedang berlangsung; dan (c) asumsi dasar teori interaksionis simbolik

adalah: Individu, adalah rasional, dinamik, dan produk dari hubungan sosial

(interaksi sosial); Masyarakat, adalah dinamis dan berevolusi, menyediakan

perubahan dan sosialisasi yang baru dari individu. Kehidupan sosial budaya selalu

berubah dan tergantung oleh pikiran-pikiran individu; Realitas sosial, adalah

bersifat individu dan sosial yang dinamik tergantung dinamika pikiran individu

selama proses interaksi.

5. Fenomena sosial budaya dalam perspektif teori integrasi. Bahwa pandangan

utama teori-teori integrasi tentang fenomena sosial budaya, adalah ‘dalam

mengkaji atau menganalisis fenomena sosial budaya harus menggunakan

perspektif integrasi makro-mikro atau agen-struktur’, karena: (a) fenomena sosial

budaya selalu tampil dalam kondisi yang dinamik dan kompleks; dan (b) dengan

menggunakan perspektif integratif dapat diperoleh pemahaman atau

pengungkapan aspek-aspek fenomena sosial budaya secara lebih menyeluruh.

Diantara teori-teori integrasi tersebut antara lain: (a) model integrasi paradigma

sosiologi oleh George Ritzer; (b) model sosiologi multidimensional oleh Jeffery

Alexander; (c) model mikro ke makro oleh Coleman and Liska; (d) model sosiologi

figurasional oleh Norbert Elias; (e) model teori integrasi strukturasi oleh Anthony

Giddens; (f) model teori strukturalisme-genesis oleh Pierre Bourdieu; (g) model

teori morphogenesis, kultur dan agen oleh Margareth Archer; dan (h) model teori

kolonisasi kehidupan dunia oleh Habermas.

84