DEWAN SEKOLAH SDN SAWOJAJAR VI MALANG · Web view2013-03-29 · Tokoh utama yang mengembangkan...
Transcript of DEWAN SEKOLAH SDN SAWOJAJAR VI MALANG · Web view2013-03-29 · Tokoh utama yang mengembangkan...
E. Fenomena Sosial-Budaya Dalam Perspektif Teori Interaksionis Simbolik
Tokoh utama yang mengembangkan teori interaksionis simbolik adalah
Herbert Mead; Horton Cooley; Herbert Blumer; dan Erving Goffman. Dalam kajian ini
penjelasan teori interaksionis simbolik akan banyak menguraikan pandangan-
pandangan George Herbert Mead dan Herbert Blumer, karena dua tokoh ini dianggap
oleh para teoritisi sosial sebagai pendekar teori interaksionis simbolik. Perspektif
teori interaksionis simbolik H.Mead dan Blumer sebenarnya berada di bawah
payung ‘perspektif fenomenologi’ dan termasuk dalam paradigma ‘definisi sosial’
(Rossides, 1978; Soeprapto, 2002). Perspektif fenomenologis adalah mewakili semua
pandangan ilmu sosial yang menganggap ‘kesadaran atau jiwa manusia dan makna
subjektif sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial-budaya’. Pandangan
fenomenologi atau teori interaksionis simbolik juga sering disebut teori dalam
‘perspektif interpretif’ (Johnson dan Hunt, 1984; Mulyana, 2002). Ada beberapa
pandangan penting teori interaksionis simbolik Herbert Mead dan Herbert Blumer,
dalam memahami fenomena sosial budaya atau tindakan sosial individu dalam
masyarakat, antara lain:
1. Interaksionis simbolik dalam memahami ‘realitas sosial-budaya’, baik versi Mead
maupun Blumer, adalah: sejatinya realitas sosial-budaya itu tidak pernah ada di
dunia nyata, melainkan secara aktif ‘diciptakan’ ketika manusia bertindak ‘di dan
terhadap’ dunia atau lingkungan sekitarnya. Apa yang nyata bagi manusia
tergantung pada ‘definisi, interpretasi (penafsiran), dan pandangan individu itu
sendiri’. Jadi, manusia dalam melakukan sesuatu selama proses sosial budaya
adalah mendasarkan pada pemahamannya dan pengetahuannya sendiri tentang
dunia atau lingkungannya, apakah sesuatu itu bermakna atau berguna bagi
hidupnya. Manusia mendefinisikan objek fisik dan non fisik adalah berdasarkan
‘kegunaan dan tujuannya’ (Mulyana, 2002; Soeprapto, 2002). Dalam pandangan
teori Interaksionis simbolik H mead dan Blumer, manusia selalu berubah-ubah
dari waktu ke waktu, baik menyangkut pandangan tentang: Diri dan
lingkungannya; Tujuannya; Orientasi hidupnya; Simbol-simbol yang digunakan;
Aturan-aturan; Peralatannya dan sebagainya. Oleh karena itu memahami
manusia harus dengan pendekatan dinamik dan kontekstual serta menyelami
pikiran atau pendangannya (Poloma, 1979, Mulyana, 2002).
2. Interaksionis simbolik dalam memahami ‘individu’, baik versi Mead maupun
Blumer, adalah: bahwa Individu merespons suatu ‘situasi simbolik’. Individu
merespons lingkungan, termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial-budaya
(tindakan sosial di masyarakat) berdasarkan makna yang terkandung dalam
objek tersebut. Ketika individu menghadapi situasi, responnya bukan bersifat
59
mekanis, tidak juga ditentukan oleh objek itu (eksternal seperti pandangan
fungsional struktural), melainkan ditentukan oleh ‘Diri, Jiwa, Pikiran’ individu
dalam mendefinisikan, menafsirkan atau menginterpretasikan situasi itu sesuai
dengan kedalaman makna yang terkandung dalam situasi itu. Jadi, individu
bersifat aktif bukan pasif (Ritzer, 2001). Dalam pandangan teori Interaksionis
simbolik, hakikat ‘makna sesuatu’ adalah produk interaksi sosial, karena itu
makna tidak melekat pada objek, melainkan ‘dinegoisasikan’ melalui
penggunaan bahasa. Makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari
waktu kewaktu, sejalan dengan perubahan situasi atau kondisi yang dialami dan
ditemukan individu dalam proses interaksi sosial.
3. Bagi Mead dan Blumer, bahwa dengan ‘bahasa’ manusia memungkinkan untuk
menjadi makhluk yang ‘sadar diri’ (self conscious) dalam proses interaksi sosial.
Kunci dalam proses interaksi adalah ‘simbol’. Simbol merupakan sesuatu yang
‘berada demi’ (stands for) yang lain. Semua interaksi sosial antar individu atau
antar kelompok individu adalah melibatkan suatu pertukaran simbol. Contoh,
kata ‘mobil’ merupakan suatu simbol, artinya dengan menyebut kata mobil, maka
antar individu dapat memikirkan ‘mobil’ sesuai konsep pikiran masing-masing
(jenis mobil, baru/ bekas, warna mobil dsb) walaupun wujud mobil itu tidak
terlihat, demikian juga semua tindakan sosial manusia dalam proses interaksi
sosial merupakan ‘pertukaran simbol’.
4. Interaksionis simbolik dalam memahami tentang ‘Pikiran’ (Mind), yaitu, Pikiran
adalah kemampuan manusia dalam menggunakan simbol untuk menunjukkan
objek di sekitarnya, atau ‘Pikiran’ adalah kemampuan memahami simbol
(Turner,J., 1982).. ‘Pikiran’ lebih merupakan ‘proses’ daripada ‘struktur’ (dalam
pandangan fungsional struktural, pikiran adalah bagian dari struktur). Sedangkan
‘Diri’ (self) pada dasarnya adalah kemampuan untuk menempatkan seseorang
sebagai subjek sekaligus objek. Diri (self) tidak mungkin ada tanpa adanya
pengalaman sosial. Setiap diri itu berkembang ketika orang belajar ‘mengambil
peranan orang lain’ dalam proses interaksi sosial. Tindakan manusia dalam
proses interaksi sosial tidak ditentukan oleh faktor eksternal, melainkan
ditentukan oleh faktor internal, yaitu: pikirannya, motivasinya, pengetahuannya,
pandangan hidupnya. Jadi, kualitas faktor internal tersebut itulah yang
membentuk objek, menilai berdasarkan makna dan memutuskan untuk berbuat
berdasarkan makna itu (Turner,J., 1982; Poloma, 2000).
5. Interaksionis simbolik dalam memahami tentang ‘Masyarakat’, baik versi Mead
maupun Blumer, adalah: bahwa masyarakat sebagai suatu organisasi interaksi,
tergantung pada pikiran atau pandangan individu-individu dalam masyarakat.
60
Masyarakat juga tergantung pada kapasitas diri individu. Dengan demikan
masyarakat secara terus menerus akan terjadi perubahan, karena pikiran
individu terus berubah melalui interaksi simbolik (Turner,J., 1982). Masyarakat
sebagai penyaji sistem sosialisasi yang dinamik, dan fenomena sosial-budaya
itu sendiri dirumuskan individu-individu dari proses interaksi dan sosialisasi
melalui sejumlah tingkat yang berbeda (Soekanto, 2002).
6. Teori interaksionis simbolik Blumer adalah bertumpu pada tiga premis utama,
yaitu: (a) manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang
ada pada sesuatu itu bagi mereka, (b) makna itu diperoleh dari hasil interaksi
sosial yang dilakukan dengan orang lain, dan (c) makna-makna tersebut
disempurnakan di saat proses interaksi sosial sedang berlangsung (Soeprapto,
2002).
7. Dari penjelasan tersebut di atas, maka ‘asumsi dasar’ teori interaksionis simbolik
H. Mead dan Blumer adalah: (a) Individu, adalah rasional dan produk dari
hubungan sosial (interaksi sosial). Individu bukalah merupakan kepribadian yang
terstruktur, pasif, terdeterminasi oleh faktor eksternal, tetapi individu adalah
sosok dinamis; (b) Masyarakat, adalah dinamis dan berevolusi, menyediakan
perubahan dan sosialisasi yang baru dari individu. Masyarakat dan kelompok
selalu berubah dan tergantung oleh pikiran-pikiran individu; (c) Realitas sosial,
adalah bersifat individu dan sosial yang dinamik. Individu memiliki ‘pikiran’ untuk
menginterpretasikan situasi, menilai tindakan orang lain dan tindakannya sendiri;
(d) Interaksi sosial, adalah meliputi ‘pikiran, bahasa dan kesadaran’ akan diri
sendiri; Interaksi sosial mengarah pada komunikasi non verbal; Bahasa
menciptakan pemikiran dan kelompok; (e) Sikap dan emosi individu dan
kelompok dipelajari melalui bahasa; Kebenaran ide, sikap dan perspektif, semua
di konseptualisasikan sebagai sebuah proses dari apa yang dia amati selama
interaksi; Pola aktivitas sosial itu sendiri memiliki aspek kreatif dan spontan
(Turner,J., 1982; Kinloch, 2005)
Para ahli teoritisi ilmu sosial menyimpulkan beberapa substansi pokok dari
asumsi teori interaksionisme simbolik dalam memahami individu dan masyarakat,
kedalam tujuh kesimpulan, antara lain: (1) manusia, tidak seperti binatang yang lebih
rendah, manusia dibekali dengan segala kemampuan berfikir dan merenung; (2)
kemampuan berpikir manusia itu dibentuk oleh proses interaksi sosial dalam
kehidupan kelompok; (3) dalam interaksi sosial-budaya orang belajar makna dan
simbol yang memungkinkan mereka menerapkan kemampuan khas mereka sebagai
manusia, yakni berpikir; (4) makna dan simbol memungkinkan orang melanjutkan
tindakan (action) dan interaksi yang khas manusia; (5) orang mampu memodifikasi
61
atau mengubah makna dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan
interaksi berdasarkan interpretasi mereka atas situasi tertentu; (6) orang mampu
melakukan modifikasi dan perubahan ini karena, antara lain, kemampuan mereka
berinteraksi dengan dirinya sendiri, yang memungkinkan mereka memeriksa
tahapan-tahapan tindakan, menilai keuntungan dan kerugian relatif, dan kemudian
memilih salah satunya; (7) pola-pola tindakan dan interaksi yang jalin menjalin itu
membentuk kelompok dan masyarakat (Ritzer, 2001; Poloma, 1997).
Menurut para ahli ada beberapa kesamaan pemikiran antara Max Weber dan
H. Mead, antara lain sama-sama: (1) mengambil pendekatan mikroskopik, induktif,
evolusioner, sistematis dan normatif terhadap masyarakat sebagai dasar psikologi
sosial modern; (2) tertarik pada hubungan antara sikap dan nilai, tertarik pada
perubahan nilai sistem dan proses-proses sosialisasi, dan tertarik dengan pengertian
interpretatif mengenai tingkah laku sosial (Kinloch, 2005).
Sedangkan perbedaan pandangan antara teori fungsional struktural-konflik
(paradigma fakta sosial) dengan teori interaksionis simolik (paradigma definisi sosial)
dalam memahami perubahan sosial budaya adalah:
1. Bahwa perubahan sosial-budaya dalam perspektif interaksionis simbolik, sangat
ditentukan oleh kemampuan individu dalam menangkap, menafsirkan dan
memodifikasi simbol-simbol dalam proses interaksi sepanjang aktivitas sosialnya
di masyarakat. Jadi, faktor ‘internal individu’ yang menentukan perubahan sosial
budaya. Sedangkan dalam teori fungsional struktural dan konflik, faktor penentu
perubahan sosial budaya adalah faktor ‘eksternal’, berupa lingkungan, struktur
sosial-budaya, konsensus terhadap nilai dan norma, yang oleh Giddens
diistilahkan imperialisme positivis atau imperialisme struktural (Giddens, 1985).
2. Posisi individu menurut teori interaksionis simbolik dalam proses perubahan sosial
budaya adalah, diposisikan sebagai ‘sosok yang aktif, kreatif, dan dinamik’ dalam
membuat kebijakan, memodifikasi pola dan bentuk-bentuk perubahan sosial-
budaya melalui proses pemahaman dan pemaknaan simbol selama proses
interaksi sosialnya. Sedangkan menurut teori fungsional struktural dan konflik,
posisi individu dalam proses perubahan sosial budaya adalah ‘pasif,
terdeterminasi oleh struktur norma sosial budaya, individu bagaikan wayang yang
tidak punya kreativitas, semua tindakan individu sudah ditentukan oleh faktor
eksternalnya’ (Turner,J., 1982; Ritzer, 2001; Soeprapto, 2002).
E. Fenomena Sosial Budaya Dalam Perspektif Teori Integrasi
Pembahasan berikut ini, tentang perspektif atau teori integrasi dalam
memahami fenomena sosial budaya, hanya menyinggung tentang: (a) embrio atau
cikal bakal munculnya teori integrasi; (b) teori integrasi ’mikro-makro’ Ritzer; (c) teori
62
integrasi ’strukturasi’ Giddens; dan (d) penggunaan atau pemilihan teori dalam proses
analisis fenomena sosial-budaya.
1. Embrio munculnya teori integrasi
Ditinjau dari ‘analisis sosial-budaya’, para ahli membedakan menjadi dua
bagian, yaitu: Pertama, analisa teori mikro dan; Kedua, analisa teori makro. Analisis
teori mikro, memandang individu (subjek) sebagai sentra dan penentu atau
penggerak proses-proses sosial budaya di masyarakat. Sedangkan analisis teori
makro, memandang struktur sosial atau faktor eksternal, atau masyarakat (objek)
menentukan berbagai proses sosial dan budaya individu di masyarakat (Sanderson,
1991).
Diantara teori-teori ekstrem makro yang paling terkemua di abad 20 adalah: (a)
Teori Determinisme Kultural (teori Fungsional-Struktural) oleh Talcoff Parsons (1966),
tetapi Parsons juga sedikit menyinggung adanya integrasi mikro-makro, hanya konsep
mikro dalam teorinya Parsons kurang memberikan peran individu secara merdeka
atau bebas berkreativitas; (b) Teori Konflik, oleh Marx dengan pendekatan ‘ekonomi
sentris’ dan Dahrendorf (1959), yang memusatkan perhatiannya pada ‘asosiasi yang
dikoordinasi secara imperatif’; (c) Teori Makrostrukturalisme oleh Peter Blau (1977),
yang mengaku ‘Aku adalah seorang determinis struktural’; (d) Teori Jaringan Sosial
oleh White, Boorman (1976), yang menganggap ‘Unit analisis dalam sosiologi
struktural, lebih menekankan pada jaringan sosial, dan kurang menyinggung pada
peran individu’.
Sedangkan teori-teori ekstrem mikro yang paling terkemuka di abad 20 ini
adalah: (1) Teori interaksionisme simbolik oleh H. Mead dan H. Blumer. Diantara inti
pemahaman teori ini adalah ‘Kehidupan bermasyarakat terbentuk melalui proses
interaksi sosial dan komunikasi antar individu, antar kelompok dengan menggunakan
simbol-simbol yang dipahami maknanya melalui proses belajar atau interaksi sosial’;
(2) Teori Fenomenologi oleh Alfred Schutz, yang lebih memfokuskan pada empat
unsur pokok yaitu : (a) perhatiannya terhadap peran aktor; (b) ‘kenyataan’ adalah
penting atau pokok, dan sikap yang alamiah (natural attitude); (c) mempelajari proses
pembentukan dan pemeliharaan hubungan sosial pada tingkat interaksi tatap muka;
(d) memperhatikan pertumbuhan, perubahan dan tindakan; (3) Teori Etnometodologi
oleh Garfinkel (1967), yang mamusatkan perhatian pada organisasi, kehidupan
sehari-hari dan berbagai jenis kehidupan sehari-hari yang terbatas; dan (4) Teori
Pertukaran Sosial oleh George Homans, dan teori Behavioral Sosiology oleh
Skinners, juga termasuk perspektif mikro (paradigma perilaku sosial) (Ritzer, 2002).
Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa :
63
a. Di kalangan teoritisi sosial, telah terjadi perbedaan sudut pandang dalam
memahami fenomena sosial dan cara malakukan analisis sosial-budaya. Silang
pendapat tersebut berlangsung cukup lama, dari abad 19 sampai abad 20, bahkan
mungkin sampai sekarang.
b. Masing-masing perspektif, baik dari teori mikro maupun teori makro mempunyai
keterbatasan analisa argumentatif dan ketidakmampuan dalam mengkaji secara
utuh fenomena sosial-budaya yang begitu kompleks dan dinamik. Masing-masing
terbatas pada lingkup paradigmanya.
c. Realitas tersebut mendorong munculnya pendapat, bahwa kajian sosial-budaya ke
depan perlu menggunakan perspektif ganda atau integrasi antara mikro makro,
dengan tujuan utama adalah diperoleh pemahaman yang lebih utuh (tidak parsial)
tentang suatu fenomena sosial-budaya.
Pendekatan terpadu atau integrasi, implisit terhadap realitas sosial-budaya,
sebenarnya telah ditunjukkan oleh empat teoritisi sosial terkemuka sebelumnya, dan
pandangan mereka ini dapat dijadikan sebagai ‘embrio’ bagi pembentukan paradigma
terpadu, yaitu:
a. Emille Durkheim. Pembagian fakta sosial oleh Durkheim atas barang sesuatu
yang bersifat material (norma hukum dan arsitektur) dan non material (kesadaran
kolektif dan arus sosial) dapat dianggap paralel dengan kategori realitas sosial
atas tingkatan makro-objektif dan makro-subjektif. Sayangnya Durkheim tidak
menjelaskan kaitan secara jelas antara unit-unit realitas sosial makroskopik
dengan mikroskopik. Konsep Durkheim tentang pendekatan terpadu itu belum
lengkap, dan penekanannya terarah kepada fenomena makroskopik. Apabila
individu mempunyai kebebasan, maka kebebasan itu datang dari paksaan struktur
makro.
b. Karl Marx. Pendekatan terpadu Marx lebih memadai dari pada Durkheim, tetapi
Marx tetap memberikan tekanan yang lebih besar kepada struktur makro. Marx
mulai dengan konsep tentang aktor yang aktif, kreatif dan voluntaristis. Marx, yakin
individu dibekali dengan kemampuan berpikir aktif, kreatif yang berperan dalam
mengembangkan masyarakat dalam proses historis. Hal ini berarti proses-proses
mikro-objektif menimbulkan struktur masyarakat (makro objektif), yang berarti
Marx juga mengakui adanya hubungan dialektika antara realitas sosial tingkat
mikro dan makro, namun oleh para ahli, bahwa model integrasi mikro-makro Marx
masih memberatkan pada struktur makro (determinisme struktural), khususnya
mempersoalkan ‘kapitalisme’ atau bersifat ‘ekonomi sentris’, dan konsep
‘reification’ (mematerialkan barang sesuatu).
64
c. Max Weber. Menurut Mizman, Weber juga menggunakan konsep ‘reification’,
hanya Weber tidak mempersoalkan kapitalisme seperti Marx. Weber melihat dunia
semakin rasional dan semakin birokratis. Perhatian Weber terhadap faktor makro-
objektif ditunjukkan pada ‘struktur birokrasi’. Sedangkan faktor mikro-subjektif
adalah perhatiannya pada ‘rasionalisasi nilai-norma’. Weber, punya perhatian
pada realitas sosial tingkat makro (contoh, konsep ‘kharisma’ yang melembaga;
konsep ‘birokrasi’ yang terstruktur), tetapi Weber juga punya perhatian besar pada
tingkat mikro (contoh, pandangan individu, bahwa ‘manusia memiliki pikiran
rasional dan pemikirannya itu menciptakan perbedaan atau deferensial). Jadi,
pandangan Weber banyak membantu untuk kepentingan analisa terpadu mikro-
makro.
d. Talcott Parsons. Meskipun Parsons memusatkan perhatian pada fakta sosial, dia
juga memperhatikan hubungan antara berbagai tingkat realitas sosial. Konsep
tentang empat sistem tindakan (yaitu: Sistem kultural; Sosial; Kepribadian; dan
Biologis) yang diajukan oleh Parsons adalah bukti perhatiannya tentang berbagai
tingkat realitas sosial. Sistem tindakan kultural Parsens adalah, paralel dengan
konsep makro subjektif dan makro objektif. Sebagian konsep kepribadian Parsens
juga paralel dengan tingkat mikro subjektif. Meskipun Parsons juga menyinggung
suatu pemikiran teoritis yang terpadu (integrasi), namun titik berat argumentasinya
masih terletak pada ‘sisi struktur makro’, yakni pada pengaruh sistem sosial dan
sistem kultural terhadap kepribadian. Individu ter-determinasi oleh faktor eksternal
sebagai akibat internalisasi sistem nilai masyarakat. Kemampuan individu (sistem
kepribadian atau sistem mikro) untuk mengubah masyarakat (sistem makro)
adalah kecil sekali atau hampir tidak ada (Bottomre and Rubel, 1956; Wrong,
1970; Durkheim, 1974; Ritzer, 2002).
Beberapa pandangan para ahli, yang mendorong perlunya melakukan analisis
sosial-budaya dengan menggunakan pendekatan integrasi antara ‘perspektif mikro
makro’ antara lain :
a. Helmut Wanger dalam karyanya ‘Displacement of Scope: A Problem of the
Relationship betweem Small Scale and Large Scale Siciological Theory’ (1964),
yang membahas pentingnya hubungan antara teori sosiologi berskala mikro (kecil)
dan teori berskala besar (makro).
b. Walter Waller dalam karyanya ‘Overview of Contemporary Sociological Theori’,
dalam Sociological Theory (1969), membahas tentang ‘Kontinun (rangkaian
kesatuan) antara teori mikro-makro’.
c. Jim Kemeny dalam karyanya ‘Perspective on the mikro macro distinction’, dalam
Sociological Review, 24: 731-752 (1976), berpendapat ‘perlu adanya perhatian
65
lebih besar terhadap perbedaan mikro-makro maupun terhadap cara dimana teori
mikro-makro saling berhubungan satu sama lain’.
d. Eisenstadt and Helle. H.J. dalam bukunya ‘Macro Sosiological Theor: Perspectives
on Sociological Theory (1985a) menyimpulkan bahwa, ‘Konfrontasi antara teori
makro dan mikro mestinya sudah berlalu’. Begitu juga Smelser dalam Ontology
The Micro Macro Link (1987) berkesimpulan tentang ‘perlunya hubungan timbal
balik antara teori mikro makro’ (Alexander, 1987).
Beberapa pandangan tokoh (para teoritisi) tersebut di atas dapat dikatakan
sebagai ‘embrio’ tentang pandangan pentingnya mengintegrasikan teori-teori mikro
(misalnya interaksionis simbolis, dsb) dengan teori-teori makro (misalnya fungsional
struktural) dalam melakukan analisis sosial. Menurut Ritzer dan Goodman (2003), ada
dua pola (model) utama karya tentang integrasi mikro makro dalam studi sosiologi
yaitu: (1) Beberapa teoritisi yang memusatkan perhatian pada ‘integrasi tingkat
analisis sosial mikro dan makro’; dan (2) Beberapa teoritisi yang memusatkan
perhatian untuk membangun sebuah ‘teori baru’ yang membahas hubungan antara
tingkat mikro dan makro dari analisis sosial.
2. Teori integrasi mikro-makro versi George Ritzer
Gerakan perlunya analisis sosial dengan pola ‘integrasi mikro makro’ begitu
sangat popular di tahun 1980-1990-an (sebagai analisis sosial terkini dalam studi
sosiologi). Menurut Ritzer, pada dasarnya pokok perhatian ‘integrasi mikro-makro’
adalah sejajar (sinonim) dengan pokok perhatian ‘integrasi agen-struktur’. Pada
umumnya teoritisi sosiologi Amerika lebih sering menggunakan istilah ‘integrasi mikro-
makro’, sedangkan teoritisi sosiologi Eropa lebih sering menggunakan istilah ‘integrasi
agen-struktur’ (Ritzer dan Godman, 2003).
Ada yang memandang, masalah ‘mikro makro’ dan ‘agen struktur’ adalah,
mirip bahkan sama atau serupa, tetapi ada juga yang memandang antara keduanya
(mikro-makro dan agen struktur) mampunyai perbedaan signifikan. Berikut kita bisa
pahami tentang konsep ‘agen-struktur’ dan konsep ‘mikro-makro’, menurut para ahli,
antara lain:
a. Konsep agen (agency), pada umumnya menunjuk pada tingkat mikro (aktor
manusia individual, jadi agen diartikan sama dengan mikro). Agen menurut Burns,
bisa juga bermakna ‘kolektifitas (makro) yang bertindak’ (misalnya: agen individu
atau kelompok terorganisir; agen organisasi; agen bangsa). Sedangkan Touraine,
memandang, kelas sosial sebagai aktor. Apabila mengikuti pandangan Burns dan
Touraine, maka kita ‘tidak bisa menyamakan agen dengan fenomena tingkat
mikro’.
66
b. Konsep struktur, umumnya bermakna mengacu pada struktur sosial berskala besar
(tingkat makro), tetapi konsep ini juga dapat mengacu pada struktur mikro. Jadi
baik agen maupun struktur, dapat mengacu pada fenomena tingkat mikro atau
makro, atau kepada kedua-duanya.
c. Konsep mikro, sering mengacu pada kesadaran atau aktor kreatif (menurut teoritisi
agen), tetapi pengertian mikro juga dapat mengacu pada ‘behaver’ (dalam teoritisi
Behavior-Skinners).
d. Konsep makro, sering mengacu pada struktur sosial berskala luas, tetapi makro
juga dapat mengacu pada kultur dari kolektivitas tertentu. Jadi, mikro mungkin
bisa, atau mungkin juga tidak, mengacu pada ‘agen’. Dan makro bisa, atau
mungkin juga tidak, mengacu pada ‘struktur’.
Bagaimana melakukan analisis sosial dengan menggunakan pendekatan atau
teori integrasi mikro-makro?. Paling tidak ada empat macam model teori integrasi
mikro-makro yang dikemukakan oleh para ahli, yaitu: (1) Model integrasi paradigma
sosiologi oleh George Ritzer; (2) Model sosiologi multidimensional oleh Jeffery
Alexander; (3) Model mikro ke makro oleh Coleman and Liska; dan (4) Model sosiologi
figurasional oleh Norbert Elias. Pada pembahasan berikut ini, mdel yang dipilih untuk
dijelaskan adalah model pertama, yaitu model integrasi paradigma sosiologi Ritzer.
Dalam buku ‘Sociology: A Multiple Paradigm Science (1975)’. pokok-pokok
pikiran model analisis sosial-budaya integrasi ‘teori integrasi paradigma sosiologi’
Ritzer antara lain:
a. Lahirnya karya Ritzer tentang ‘Integrasi paradigma sosiologi’, sebagian
dilatarbelakangi oleh beberapa hal antara lain: (1) adanya kebutuhan untuk
membangun sebuah model analisis yang lebih sederhana, dan lebih lengkap serta
integratif dalam memahami berbagai aspek kehidupan sosial-budaya; (2)
paradigma yang ada (paradigma fakta sosial; definisi sosial dan perilaku sosial)
cenderung berat sebelah atau hanya memusatkan pada tingkat khusus atau
dimensi tertentu dalam melakukan analisis sosial-budaya; (3) mengusulkan
pandangan, bahwa pada dasarnya tidak ada posisi hegemoni dalam paradigma
sosiologi. Paradigma integrasi adalah untuk melengkapi paradigma yang ada dan
bukan dimaksudkan untuk menciptakan posisi hegemoni yang baru; (4) dalam
realitas sosial, kehidupan sosial sesungguhnya tidak terbagi dalam tingkatan, yang
terpisah dari dua hal yang berbeda. Realitas sosial paling tepat harus dilihat
sebagai fenomena sosial yang beragam yang membentuk suatu kehidupan sosial
yang saling terkait.
b. Menurut Ritzer, seluruh fenomena sosial mikro dan makro adalah juga fenomena
objektif atau subjektif. Dengan demikian konsekuensinya (seharusnya) adalah
67
terdapat empat tingkat utama dalam setiap melakukan analisis sosial-budaya. Dan
setiap sosiolog harus memusatkan perhatiannya pada hubungan dialektik (timbal
balik) dari keempat tingkat tersebut secara integratif dalam setiap melakukan
analisis sosial-budaya. Namun setiap peneliti tetap harus memperhatikan fokus
atau permasalahan yang akan dikajinya. Apabila peneliti hanya ingin melihat
dimensi objektif (aspek struktural), dan hanya ingin melihat dimensi subjektif
(aspek agen/ mikro), tentu peneliti tersebut tidak perlu menggunakan empat
tingkat utama dalam analisis sosial-budaya secara integratif.
Hubungan dialektik antar empat tingkatan analisis sosial Ritzer tersebut
dapat dilihat dalam gambar sebagai berikut:
Gambar : 2.2 Tentang Hubungan dialektik Integrasi mikro-makro Ritzer
(diadopsi dari Ritzer, 2002)
Keterangan:1) Tingkat makro objektif, meliputi realitas material berskala luas (besar),
misalnya: masyarakat, birokrasi, dan teknologi.2) Tingkat makro subjektif, meliputi fenomena non material berskala luas,
misalnya: nilai, norma, adat (budaya ide atau sistem budaya).3) Tingkat mikro objektif, meliputi fenomena kesatuan objektif berskala kecil,
misalnya: pola tindakan individu, pola interaksi sosial.4) Tingkat mikro subjektif, meliputi proses mental berskala kecil, yaitu upaya
individu untuk membangun (merekonstruksi) realitas sosial-budaya sehari-hari, misalnya, berpendapat atau bersikap atau berpandangan.
MIKROSKOPIK
SUBJEKTIFOBJEKTIF
IMAKRO-OBJEKTIF
Contoh: Msyarakat, Hukum, Birokrasi, Teknologi & Bahasa(Skala Luas)
IIIMIKRO-OBJEKTIF
Contoh: Pola perilaku, tindakan dan interaksi (Skala kecil kesatuan objektif)
IIMAKRO-SUBJEKTIF
Contoh: Nilai, Norma, Kebiasaan, adat(Skala Luas). Realitas non material
IVMIKRO-SUBJEKTIF
Contoh: persepsi, keyakinan, pandangan/ konstruksi sosial(Skala kecil/ mental)
68
MAKROSKOPIK
Masing-masing keempat tingkat analisis tersebut mempunyai arti penting
sendiri-sendiri, tetapi yang paling penting setiap peneliti sosial apabila melakukan
anaisis fenomena sosial-budaya ‘harus’ membahas, mengkaji dan menjelaskan
‘hubungan dialektika’ antara keempatnya secara integratif dalam perspektif ruang
dan waktu (rentang historis). Contoh, Mengkaji tentang ‘Perubahan sosial
masyarakat Porong Kabupaten Sidoarjo, suatu kajian proses dan dampak Lumpur
Lapindo’. Dalam hal ini apabila peneliti mengunakan teori integrasi mikro-makro
versi George Ritzer, maka peneliti harus menjelaskan secara integral hubungan
dialektik antara empat aspek tersebut di atas (Lihat gambar 2.2)
c. Menurut Ritzer, ada ‘dua kontinum realitas sosial’ yang berguna dalam
membangun tingkatan utama kehidupan sosial yaitu: (1) kontinum mikroskopik-
makroskopik; dan (2) kontinum objektif-subjektif.
Kontinum mikroskopik-makroskopik. Dalam kehidupan sosial-budaya selalu
tersusun serentetan kesatuan, mulai dari yang berskala besar sampai yang
terkecil atau sebaliknya. Di ujung makro dari kontinum adalah, ‘fenomena sosial-
budaya berskala besar atau luas, seperti: kelompok luas (contoh, sistem
kehidupan kapitalis dan sosialis dunia), kebudayaan (cultural universals) dan
masyarakat dunia’.
Di ujung mikro dari kontinum adalah, ‘aktor individu, pikiran individu dan
tindakan individu’. Sedangkan diantara ujung mikro ke makro, terdapat: bentuk
‘interaksi’ antar individu, kemudian kearah lebih besar yaitu ‘kelompok’, kemudian
lebih besar lagi ke ‘organisasi’, kemudian ke ‘masyarakat atau budaya’, kemudian
terbesar adalah ‘sistem dunia’. Perhatikan bagan berikut
Gambar 2.3. Tentang garis kontinum mikro-makro
(diadopsi dari Ritzer dan Goodman, 2003)
Kontinum objektif-subjektif dari analisis sosial-budaya. Disetiap ujung
kontinum mikro-makro kita dapat membedakan antara komponen objektif-subjektif.
Istilah subjektif disini mengacu pada sesuatu yang semata-mata terjadi hanya di
dalam dunia gagasan (idea). Sedangkan objektif berhubungan dengan ‘peristiwa
nyata, kejadian material’ dengan lingkup yang luas. Sebuah masyarakat tersusun
69
Mikroskopk Makroskopik
Inter-aksi
Kelom-pok Orga-
nisasi Masy.
& Budya
Sistem
Dunia
dari struktur objektif (seperti pemerintahan, birokrasi, teknologi dan hukum) dan
fenomena subjektif (seperti nilai, norma, gagasan, persepsi).
Ujung kontinum objektif (fenomena sosial-budaya objektif), yang
mempunyai wujud nyata, wujud materi, misalnya: aktor; tindakan sosial; interaksi
sosial; struktur birokrasi; UU atau hukum; aparatur negara, dsb. Sedangkan ujung
kontinum Subjektif, misalnya: Ide, pandangan, nilai yang diyakini, dan konstruksi
pikiran individu tentang realitas sosial budaya, norma dsb. Kemudian antara
ujung objektif dan subjektif adalah Tipe Campuran (ada unsur objektif dan ada
unsur subjektif). Perhatikan bagan kontinum objektif-subjektif sebagai berikut:
Gambar 2.4. Tentang garis kontinum Objektif-Subjektif
(diadopsi dari Ritzer dan Goodman, 2003)
Jadi, setiap peneliti sosial dalam melakukan analisis sosial-budaya,
seharusnya membahas hubungan antara dua kontinum tersebut (kontinum
makroskopik-mikroskopik dan kontinum objktif-subjektif), dan yang terpenting
adalah ‘Representasi skematis hubungan kedua kontinum tersebut dengan empat
tingkat utama analisis sosial secara dialektif-integratif”.
d. Kemudian, bagaimana hubungan antara keempat tingkat utama analisis sosial-
budaya dengan ketiga paradigma, yaitu Paradigma: Fakta sosial, Definisi Sosial,
dan Perilaku sosial?. Sebelum menjawab permasalahan ini, hal yang penting perlu
diperhatikan adalah, peneliti harus mampu menjelaskan hubungan kesatuan
(hubungan integratif atau dialektik) dari model empat tingkat utama, yaitu: (1)
makro-objektif, seperti birokrasi; (2) realitas makro-subjektif, seperti nilai; (3)
fenomena mikro-objektif, seperti pola interaksi; dan (4) fakta mikro-subjektif,
seperti proses konstruksi pikiran individu tentang realitas social-budaya
(pandangan individu).
70
Objektif Subjektif
Aktor; Tindakan; Interaksi; Undang-undang; truktur
Birokrasi
Tipe Campuran, Kombinasi
dalam berbagai
tingkat unsur objektif-subjektif
Pandangan, Nilai, Norma, Konstruksi pikiran ttg
realitas sosial budaya
Di bawah ini gambaran hubungan antara keempat ‘tingkatan utama
analisis sosial-budaya dengan keempat paradigma (termasuk paradigma terpadu).
Tabel : 2.3 tentang hubungan antara tingkat realitas sosial dengan paradigma:
No. Empat Tingkat RealitasSosial
Paradigma Sosial
1. a. Makro Subjektif
b. Makro Objektif
Fakta Sosial(Teori Fungsional struktural; Teori Konflik; Teori Sistem; Teori Sosiologi Makro)
ParadigaTerpadu
(Lihat gambar 2.2)2. c. Mikro Subjektif
d. Mikro Objektif
Definisi Sosial(Teori Aksi Weber; Teori interaksionis simbolik; Teori Fenomenologi)Perilaku Sosial (Teori Behavioral sosiologi; Teori Exchange)
(diadopsi dari Ritzer, 2002)
e. Paradigma fakta sosial, terutama memusatkan perhatian kepada realitas sosial
pada tingkat makro-objektif dan makro-subjektif, sedangkan teori-teori pendukung
paradigma ini adalah: Teori Fungsional struktural; Teori Konflik; Teori Sistem;
Teori Sosiologi Makro); Paradigma definisi Sosial, terutama memusatkan
perhatian kepada realitas sosial pada tingkatan mikro-subjektif dan sebagian
mikro-objektif (yang terkait pada proses-proses mental/ tindakan), sedangkan
teori-teori pendukung paradigma ini adalah: Teori Aksi Weber; Teori interaksionis
simbolik; Teori Fenomenologi; Paradigma perilaku sosial, menjelaskan sebagian
realitas sosial pada tingkatan mikro-objektif, yang tercakup dalam proses mental
(berpikir), tetapi hanya semata yang dihasilkan dari stimulasi dari luar (disebut
behavior), sedangkan teori-teori pendukung paradigma ini adalah: Teori
Behavioral sosiologi; Teori Exchange. Paradigma fakta sosial, Definisi sosial dan
Perilaku sosial polanya adalah memotong tingkatan realitas sosial secara
horizontal, sedangkan paradigma terpadu memotong secara vertikal.
f. Teori ‘Integrasi paradigma terpadu’ oleh Ritzer dapat dianggap sebagai Exemplar.
Menurut Ritzer, ada beberapa konsep penting perlunya penggunaan ‘integrasi
paradigma terpadu’ dalam melakukan analisis sosial, yaitu:
1) Paradigma terpadu ‘bukan’ dimaksudkan sebagai pengganti paradigma
sosiologi yang sudah ada (paradigma fakta sosial; paradigma definisi sosial
dan paradigma perilaku sosial). Paradigma yang ada akan tetap bermakna
71
bagi analisis sosial-budaya selama tidak menganggap satu paradigma tertentu
itu dapat menjelaskan semua fenomena sosial secara komprehensif.
2) Bahwa inti paradigma terpadu terletak pada hubungan antar keempoat tingkat
realitas sosial, yaitu: (a) Makro-objektif, contohnya birokrasi, norma hukum,
bahasa; (b) Makro-subjektif, contohnya nilai-nilai, norma dan kultur; (c) Mikro-
objektif, contohnya berbagai bentuk interaksi sosial seperti: kerjasama, konflik
dan pertukaran; (d) Mikro-subjektif, contohnya proses berpikir, merasakan dan
konstruksi pikiran tentang realitas sosial oleh individu. Jadi, yang penting
dalam paradigma terpadu adalah ‘keempat tingkat sosial tersebut harus
diperlakukan secara integratif’, artinya setiap persoalan sosial budaya yang
dikaji harus diselidiki atau dijelaskan dari empat tingkatan sosial tersebut
secara terpadu.
3) Paradigma terpadu disamping menekankan perhatian pada sosiologi modern,
yang diarahkan kepada realitas sosial budaya tingkat makroskopik, juga tidak
mengabaikan realitas sosial budaya tingkat mikroskopik. Perlu dipahami,
bahwa keempat tingkat realitas sosial tersebut adalah pembagian konseptual,
bukan menggambarkan kenyataan sebenarnya. Realitas sosial buadaya dalam
kenyataan yang sebenarnya sedemikian kompleks, terus menerus berubah.
Namun penggambaran dalam analisis sosial budaya ke dalam empat tingkat
tersebut tidak bertentangan dengan kenyataan sebenarnya. Oleh karena itu
setiap peneliti dituntut untuk lebih memahami secara integral fenomena sosial
budaya yang dikajinya. Paradigma terpadu harus diperbandingkan
berdasarkan perjalanan waktu atau antara berbagai masyarakat. Sifat saling
melengkapi dari pendekatan terpadu ini memungkinkan untuk pengumpulan
data dengan berbagai metode (wawancara, observasi, kuesioner,
dokumentasi, eksperimen dsb).
4) Paradigma terpadu haruslah ‘bersifat historis’. Harus mampu menerangkan
keseluruhan realitas sosial dalam semua masyarakat dan sepanjang sejarah
(keterkaitan antara fenomena lampau, kini dan akan). Paradigma ini harus pula
diorientasikan pada studi tentang perubahan sifat realitas sosial-budaya.
Namun perlu diingat, bahwa tekanan hubungan keempat tingkat realitas sosial
tersebut antar masyarakat bisa beragam, sehingga .
5) Paradigma terpadu harus mengambil ‘manfaat dari logika dialektis’. Diantara
ciri logika dialektis adalah: (a) memandang manusia sebagai pencipta
sebagian besar struktur sosial dan struktur sosial itu pada gilirannya
membatasi dan memaksa si aktor, (b) mempunyai pandangan yang sangat
jelas tentang hubungan antara realitas sosial makroskopik dan mikroskopik, (c)
72
tidak menitikberatkan pada salah satu tingkat realitas sosial tertentu (semua
tingkat realitas sosial dipandang berada dalam hubungan yang bersifat
dialektis), (d) dimulai dengan asumsi epistemologi bahwa ‘di dalam alam yang
nyata’, segala sesuatu saling berkaitan secara terus menerus untuk selama-
lamanya, (e) berpikir dialektik, selain menuntun untuk mencari hubungan
berbagai tingkat realitas sosial, juga dapat membiasakan kita kepada
hubungan kontradiksi. Contoh: Marx, memusatkan perhatiannya pada
kontradiksi yang ada dalam masyarakat kapitalis; Weber, melihat adanya
kontradiksi antara rasionalisasi melawan kebebasan individual; G. Simmel,
menyelidiki kontradiksi antara kultur subjektif dan kultur objektif, (f) Logika
dialektik juga menuntun sosiolog untuk mampu melihat keluar batas realitas
sosial yang kelihatan, kata Berger, logika dialektik berarti sosiologi
diikutsertakan dalam usaha ‘menolak kepalsuan’ (Rossides, 1978; Ritzer,
2002)
3. Teori integrasi agen struktur atau teori strukturasi Anthony Giddens.
Kelompok teoritisi Eropa lebih perhatian pada hubungan atau integrasi antara
‘agen dan struktur’. Ada empat contoh utama teori ‘integrasi agen-struktur’ dalam
melakukan analisis sosial budaya yaitu: (a) teori strukturasi oleh Anthony Giddens; (b)
teori strukturalisme-genesis oleh Pierre Bourdieu; (c) teori morphogenesis, kultur dan
agen oleh Margareth Archer; dan (d) teori kolonisasi kehidupan dunia oleh Habermas.
Menurut Bryan, Jary, Cohen dan Craib, salah satu upaya yang ‘paling
terkenal’ teori yang mengintegrasikan agen-struktur adalah ‘Teori Strukturasi’ oleh A.
Giddens, oleh karena itu dalam penjelasan teori integrasi agen struktur berikut ini
hanya menjelaskan beberapa prinsip teori agen struktur A. Giddens. Giddens dalam
bukunya The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration (1984),
mengatakan ‘setiap riset dalam ilmu sosial atau siret sejarah selalu menyangkut
penghubungan tindakan atau agen dengan struktur, tetapi dalam hal ini bukan berarti
bahwa struktur ‘menentukan’ agen atau sebaliknya’. Giddens juga mengatakan
‘Bidang mendasar studi ilmu sosial budaya, menurut teori strukturasi, bukanlah
pengalaman aktor individual atau bentuk-bentuk kesatuan sosial tertentu, melainkan
praktik (interaksi) sosial yang berulang-ulang, yang diatur melintasi waktu dan ruang
(time and space)’ (Giddens, 1984).
Teori Strukturasi, sebagian mendapat pengaruh dari: (1) teori Marx, khususnya
menyangkut konsep peran manusia (agen) dalam menentukan gerak sejarah; (2)
pengaruh teori interaksionis simbolik (individu kreatif, dinamik); dan (3) teori fungsional
struktural (orientasi masyarakat atau struktur). Menurut Berstein, tujuan fundamental
73
dari teori strukturasi adalah, untuk menjelaskan ‘hubungan dialektika dan saling
pengaruh mempengaruhi antara agen dan struktur’ (Priyono, 2002).
Beberapa konsep penting yang perlu dipahami tentang teori integrasi agen
struktur atau ‘teori strukturasi Giddens’ dalam bukunya The Constitution of Society:
Outline of the Theory of Structuration (1984), dalam memahami fenomena sosial
budaya antara lain:
a. Dalam teori ‘strukturasi’, agen dan struktur tidak dapat dipahami dalam keadaan
saling terpisah satu dengan yang lain. Agen dan struktur ibarat ‘dua sisi dari satu
keping mata uang logam’. Agen dan struktur saling jalin menjalin tanpa
terpisahkan dalam praktik atau aktivitas sosial manusia. ‘Tindakan pelaku (agen)
dan struktur saling mengandaikan’. Dualitas struktur mengandaikan, bahwa
struktur merupakan ‘sarana’ (medium) dan juga ‘hasil’ (outcame) dari kegiatan-
kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang. Hal ini berarti bahwa saat
pelaksanaan atau pengadaan (moment of production) adalah juga saat
pelaksanaan atau pengadaan kembali (moment of reproduction). Oleh karena itu
Giddens mendifinisikan ‘Strukturasi’ dalam daftar terminologi sebagai ‘strukturasi
relasi-relasi sosial melintasi waktu dan ruang, berkat adanya dualitas struktur’
b. Dalam teori strukturasi, praktik sosial atau tindakan sosial manusia itu dapat dilihat
sebagai ‘perulangan’ (rutinization), artinya praktik sosial ‘bukan dihasilkan sekali
jadi oleh aktor sosial, tetapi secara terus menerus mereka ciptakan berulang-ulang
melalui suatu cara tertentu, dan dengan cara itu juga individu menyatakan diri
mereka sebagai aktor’. Jadi, praktik sosial atau aktivitas sosial-budaya tidak
dihasilkan melalui kesadaran atau melalui konstruksional pikiran individu tentang
realitas (seperti pandangan teori-teori paradigma definisi sosial), juga bukan
diciptakan oleh struktur sosial (seperti teori fungsional struktural/ paradigma fakta
sosial). Tetapi melalui praktik sosial berulang-ulang (rutinization) itulah, baik
kesadaran maupun struktur diciptakan.
c. Secara umum teori Strukturasi memusatkan perhatian pada ‘proses dialektika
dimana praktik sosial, struktur, dan kesadaran diciptakan’. Jadi, teori strukturasi
menjelaskan masalah ‘agen-struktur secara historis, prosessual dan dinamis’.
Dalam teori strukturasi, agen atau aktor sosial melakukan refleksi, tetapi peneliti
sosial (sosiolog) juga melakukan refleksi dalam mempelajari masalah hubungan
agen dan struktur. Oleh karena itu Giddens mengemukakan gagasan yang
terkenal tentang ‘Hermeneutika ganda’ dalam proses penelitian sosial-budaya,
artinya, baik agen (aktor sosial) maupun peneliti sosial sama-sama menggunakan
bahasa, yaitu: (a) aktor sosial, menggunakan bahasa untuk menerangkan apa
yang mereka kerjakan sehari-hari. (b) peneliti sosial-budaya, menggunakan
74
bahasa untuk menerangkan tindakan aktor sosial. Jadi, perlu diperhatikan
mengkombinasikan antara bahasa awam (para agen praktik sosial) dan bahasa
ilmiah (para peneliti).
d. Dalam teori strukturasi Giddens, terdapat lima komponen (elemen) penting yang
perlu dipahami, yaitu: (1) konsep Agen; (2) konsep Struktur; (3) konsep waktu-
ruang (time-space); (4) konsep Rutinisasi (routinization); dan (5) konsep
Strukturasi (Giddens, 1984).
Pertama, konsep atau pemikiran tentang ‘agen’. Agen dalam pandangan
Giddens adalah: (a) agen atau aktor sosial terus menerus memonitor pemikiran
dan aktivitas mereka sendiri serta konteks sosial dan fisik mereka; (b) agen
(pelaku) menunjuk pada orang kongkret dalam ‘arus kontinu tindakan dan
peristiwa di dunia’; (c) dalam upaya mencari rasa aman, aktor atau agen
merasionalkan kehidupan (aktivitas) mereka. Menurut Giddens, yang dimaksud
dengan rasionalisasi adalah ‘mengembangkan kebiasaan sehari-hari yang tidak
hanya memberikan perasaan aman kepada aktor, tetapi juga memungkinkan
mereka menghadapi kehidupan sosial mereka secara efisien’; (d) agen atau aktor
juga mempunyai motivasi untuk bertindak dan motivasi ini berupa keinginan atau
hasrat untuk bertindak (potensi untuk bertindak). Jadi, ‘rasionalisasi, refleksivitas
terus menerus terlibat dalam tindakan, sedangkan motivasi sebagai potensinya’.
Dalam diri ‘aktor atau agen’ terdapat ‘kesadaran’. Giddens membedakan
tiga dimensi internal pelaku (kesadaran atau motivasi individu) yaitu: (1) ‘motivasi
tidak sadar’ (unconscious motives), yaitu menyangkut keinginan atau kebutuhan
yang berpotensi mengarahkan tindakan, tetapi bukanlah tindakan itu sendiri; (2)
‘kesadaran diskursif’ (discursive consiousness), yaitu mengacu pada kapasitas
kita merefleksikan dan memberi penjelasan eksplisit atas tindakan kita (tindakan
melalui hasil agumentasi pikiran yang rasional); (3) ‘kesadaran praktis’ (practical
consciousness), yaitu menunjuk pada gugus pengetahuan praktik yang selalu bisa
diurai (tidak perlu argumentatif). Kesadaran praktis ini merupakan kunci untuk
memahami teori Strukturasi (Faisal, 1998). Batas antara kesadaran praktis dan
kesadaran diskursif ‘sangatlah lentur dan tipis’, tetapi tidak seperti antara
‘kesadaran diskursif’ dan ‘motivasi tidak sadar’, yang relatif jelas perbedaannya.
Jadi, Kesadaran diskursif, memerlukan kemampuan untuk melukiskan tindakan
kita dalam kata-kata secara rasional. Kesadaran praktis, melibatkan tindakan yang
dianggap aktor benar, tanpa mampu mengungkapkan dengan kata-kata tentang
apa yang mereka lakukan. Tipe ‘kesadaran praktis’ inilah yang sangat penting bagi
teori strukturasi.
75
Kesadaram praktis agen inilah yang membuat transisi halus dari ‘agen’ ke
‘agensi’ (agency). Agensi (keagenan atau peranan individu), adalah ‘sesuatu yang
sebenarnya atau seharusnya dilakukan oleh agen’. Keagenan berarti peran-peran
individu atau kejadian yang dilakukan oleh individu, misalnya: Peran seorang
dosen adalah mengajar, membimbing mahasiswa, meneliti dsb; peran petani
adalah membajak, menanam padi, memanen padi dsb. Giddens sangat
menekankan arti penting keagenan dalam teorinya.
Menurut Giddens, agen ‘juga sering’ bertindak tidak sesuai dengan tujuan
semula atau sering tindakan yang sengaja dilakkan melahirkan akibat yang tidak
diharapkan. Disamping itu agen juga mempunyai kemampuan atau kekuasaan
untuk menciptakan ‘pertentangan’ dalam kehidupan sosial, bahkan Giddens
mengatakan, bahwa agen atau aktor tidak berarti apa-apa tanpa kekuasaan untuk
menciptakan pertentangan. Jadi, agen atau aktor akan berhenti jadi agen apabila
ia kehilangan kemampuan untuk menciptakan pertentangan. Menurut Giddens,
kekuasaan untuk menciptakan pertentangan ini bersifat logis mendahului
subyektivitas, karena tindakan melibatkan kekuasaan (kemampuan) untuk
mengubah situasi (Ritzer dan Goodman, 2003).
Kedua, konsep tentang ‘struktur dan sistem sosial’. Menurut Giddens,
struktur dan sistem sosial dapat dipahami sebagai berikut: (a) struktur didefinisikan
sebagai ‘properti-properti yang berstruktur (aturan dan sumber daya)’. Struktur
hanya akan terwujud karena adanya aturan dan sumber daya, atau struktur
dipahami sebagai ‘kumpulan aturan dan sumber daya yang berulangkali
terorganisasikan’ (recursively organized sets of rules and resources) (Giddens,
1984). Struktur itu sendiri ‘tidak ada dalam ruangan dan waktu’, karena struktur
‘hanya ada di dalam dan melalui akivitas agen manusia’. Tidak ada struktur bila
tidak ada aktivitas manusia. Jadi, definisi struktur menurut Giddens tidak sama
dengan definisi struktur menurut para teoritikus fungsional struktural. Menurut
teoritikus Fungsional struktural dan teori konflik, struktur adalah ‘sesuatu yang
berada di luar (eksternal) aktor atau individu dan memaksa (determinis) pada aktor
dalam aktivitas sosial’. Bagi Giddens, struktur adalah ‘apa yang membentuk dan
menentukan terhadap kehidupan sosial, tetapi bukan struktur itu sendiri yang
membentuk dan menentukan kehidupan sosial, ada faktor agen yang juga ikut
menentukan’. Jadi, Struktur adalah ‘aturan dan sumber daya yang terbentuk dari
dan membentuk keterulangan praktik sosial’. Struktur, bukanlah benda melainkan
‘skemata yang hanya tampil dalam praktik-praktik sosial’. Skemata mirip ‘aturan’
yang merupakan hasil (out came) dan sekaligus menjadi ‘sarana’ (medium) bagi
berlangsungnya praktik sosial kita. Struktur, bukan bersifat mengekang
76
(constraining) individu (seperti pandangan teori fungsional struktural), tetapi
bersifat ‘memberdayakan’ (enabling) (Giddens, 1984).
Sedangkan konsep struktural, menurut Giddens mempunyai tiga gugus
besar, yaitu: (1) struktur ‘signifikasi’ (signification) menyangkut skemata simbolik,
penyebutan terhadap sesuatu dan wacana tentang sesuatu; (2) struktur ‘dominasi’
(domination), yang mencakup skemata penguasaan atau wewenang terhadap
orang lain (aspek politik) dan penguasaan terhadap barang (aspek ekonomi); (3)
struktur ‘legitimasi’ (legitimation) yang mencakup skemata peraturan-peraturan
normatif yang terungkap dalam tata hukum.
Kemudian konsep sistem sosial. Pengertian sistem sosial menurut
Giddens, ‘mirip’ dengan pengertian stuktur dalam pandangan konvensional
(fungsional struktural atau teori konflik). Sistem sosial menurut Giddens adalah
sebagai praktik sosial yang dikembangbiakkan (reproduced) atau hubungan yang
direproduksi antara aktor dan kolektivitas yang diorganisir sebagai praktik sosial
tetap. Sistem sosial ‘tidak mempunyai’ struktur, tetapi dapat memperlihatkan ciri-
ciri strukturalnya. Struktur tidak dapat memunculkan dirinya sendiri dalam ruang
dan waktu, tetapi dapat menjelma dalam sistem sosial, dalam bentuk praktik sosial
yang direproduksi. Sistem sosial oleh Giddens dilihat baik sebagai media
maupun sebagai hasil tindakan aktor dan sistem sosial yang secara berulang-
ulang (regulation) mengorganisisr kebiasaan aktor. Jadi, sistem sosial
‘merupakan institusionalisasi dan regularisasi praktik-praktik sosial’.
Ketiga, konsep waktu dan ruang (time and space) dan rutinisasi
(routinization). Ada beberapa prinsip Giddens dalam memahami waktu dan ruang
menurut teori strukturasi, antara lain: (a) ruang dan waktu, merupakan variabel
(unsur) penting dalam teori strukturasi. Setiap kegiatan sosial ‘mencengkram’
ruang dan waktu (biting into space and time), serta berada pada akar
pembentukan baik subjek maupun objek sosial (Faisal, 1998). Banyak teoritisi
sosial menganggap ruang dan waktu cenderung diperlakukan sebagai ‘lingkungan’
(environments) tempat ketika suatu tindakan sosial dilaksanakan, atau sebagai
salah satu ‘faktor tidak tetap’, sedangkan menurut teori ‘trukturasi adalah, ‘ruang
dan waktu secara integral turut membentuk tindakan atau kegiatan sosial’
(Giddens, 1984). Tetapi Giddens lebih banyak menekankan aspek waktu dari
pada ruang. Sistem sosial berkembang atau meluas menurut waktu dan ruang,
sehingga orang lain tidak perlu lagi hadir pada waktu yang sama dan di ruang
yang sama. Menurut Bryand and Jary, prestasi Giddens yang diakui oleh para
ilmuwan adalah analisisnya tentang ‘upaya mengedepankan masalah waktu dan
ruang dalam analisa sosial’ (Ritzer dan Goodman, 2003).
77
Giddens membedakan tiga dimensi waktu, yaitu: (1) duree, pengalaman
hari demi hari (reversible time), yaitu berkenaan dengan keberlangsungan waktu
pengalaman atau kegiatan hari demi hari yang dapat dibalik, misalnya berangkat
dari rumah, berada di jalan, sampai keadaan di kantor, kemudian pulang dari
kantor, berada di jalan, sampai di rumah; (2) jangka hidup individual (irreversible
time), yaitu berkenaan dengan rentang waktu kehidupan individu yang tidak dapat
dibalik, misalnya lahir-hidup-mati; (3) longue duree, lembaga-lembaga, yaitu
berkenaan dengan waktu keberlangsungan jangka panjang dan dapat dibalik dari
lembaga-lembaga atau waktu kelembagaan (institutional time) yang merupakan
baik syarat (condition) maupun hasil (outcame) kegiatan-kegiatan sosial yang
terpola dalam kontinuitas hidup sehari-hari.
Waktu tidak dapat dipisahkan dari ruang, karena kontekstualitas kehidupan
sosial menyangkut baik ruang maupun waktu, ‘seluruh kehidupan sosial terjadi
didalam, dan terbentuk oleh, persimpangan kehadiran dan ketidakhadiran dalam
memudarnya waktu dan berubahnya tempat’ (Giddens, 1984). Bahwa tubuh
manusia ‘tidaklah menempati ruang dan waktu dalam arti sama seperti benda-
benda material yang berada dalam ruang dan waktu’. Jadi, posisi tubuh manusia
paling baik dipahami sebagai ‘tubuh aktif yang terarah pada tugas-tugasnya’ atau
sebagai ‘pengambilan posisi’ (positioning). Ruang atau tempat (space) dalam teori
strukturasi tidak dapat sekedar dipahami untuk menunjuk suatu ‘titik dalam ruang’
(point in space), tetapi lebih dipahami dengan istilah ‘tempat peristiwa’ (locale)
yang merujuk pada pemakaian ruang sebagai ‘latar interaksi’ (setting of
interaction) (Giddens, 1984). Istilah locale erat hubungannya dengan konsep
regionalisasi (regionalization) dalam geografi waktu, yakni lebih menunjukkan
pada penempatan wilayah ruang-waktu sehubungan dengan kegiatan sosial yang
dirutinisasikan (zoning of time-space in realtion to routinized social practices),
misalnya; ada ruang kerja, ruang makan, ruang tamu, ruang tidur dsb, yang hal-
hal tersebut menunjukkan adanya pembentukan sistem-sistem interaksi.
Konsep penting lain dalam teori strukturasi adalah ‘rutinisasi’ (routinization),
karena yang rutin adalah elemen dasariah kegiatan sosial sehari-hari, ‘istilah hari
demi hari’ mengungkapkan dengan tepat sifat terutinisasi yang diperoleh
kehidupan sosial yang terentang melintasi ruang dan waktu. Keterulangan
merupakan bahan dasar kehidupan sosial (the recursive nature of soial life).
Tindakan sosial dipandang sebagai ‘suatu proses’ dan bukan tindakan terpisah-
pisah atau sekedar sekumpulan tindakan, atau tindakan manusia dinilai sebagai
‘aliran terus menerus’ (on going flow) kegiatan-kegiatan. Tindakan manusia sangat
terkait dengan ruang dan waktu. Interaksi sosial dipelajari dalam rangka kehadiran
78
bersama (co-presences). ‘Ingatan’ adalah aspek penghadiran (presencing) dan
cara mendiskusikan kemampuan pengetahuan (knowledge-ability) pelaku
manusia. Ingatan tidak menunjuk pada pengalaman masa lalu, dan bukan pula
pemanggilan kembali masa lalu ke masa kini. ‘Persepsi’ bukan lah kumpulan
persepsi-persepsi tetapi ‘aliran kegiatan’ (flow of activity) yang diintegrasikan
dengan gerakan tubuh dalam ruang dan waktu (Giddens, 1984). Regulation
(keterulangan terus menerus), atau rutinisasi (routinization) akan melahirkan rasa
aman ontologis (ontological security) sehubungan dengan masa depan individu.
Sedangkan situasi kritis dalam kehidupan sosial dapat mengacaukan rutinitas
yang dapat diramalkan dan menghancurkan rasa kedatangan masa depan (futural
sence) (Priyono, 2002).
Keempat, konsep strukturasi. Pemahaman terhadap konsep strukturasi ini
menjadi kunci dalam teorinya Giddens. Beberapa hal penting yang dapat dipahami
tentang ‘strukturasi’ adalah: (a) konsep strukturasi mendasarkan pemikiran bahwa
‘konstitusi agen dan struktur bukan merupakan dua kumpulan fenomena biasa
yang berdiri sendiri (dualisme) tetapi mencerminkan dualitas; (b) strukturasi
meliputi ‘hubungan dialektika’ antara agen dan struktur; struktur dan keagenan
adalah dualitas (bukan dualisme), tindakan agen dan struktur saling
mengandaikan. Struktur tidak akan ada tanpa keagenan (peran individu) dan
demikian juga sebaliknya; (c) rutinisasi merupakan elemen dasariah kegiatan
sosial sehari-hari. Atau teterulangan merupakan bahan dasar kehidupan sosial
(the recursive nature of soial life). Tindakan sosial dipandang sebagai ‘suatu
proses’ dan bukan tindakan terpisah-pisah, tindakan manusia dinilai sebagai
‘aliran terus menerus’ (on going flow) kegiatan-kegiatan; dan (d) tindakan manusia
sangat terkait dengan ruang dan waktu (time and space). Setiap kegiatan sosial
‘mencengkram’ ruang dan waktu (biting into space and time), serta berada pada
akar pembentukan baik subjek maupun objek sosial. Jadi ‘ruang dan waktu
secara integral turut membentuk tindakan atau kegiatan sosial’ . Dengan demikian
dalam memahami konsep ‘teori strukturasi’ Giddens harus memahami secara
integral tentang lima komponen (elemen) penting, yaitu: Konsep agen; Konsep
struktur; Konsep waktu-ruang; Konsep rutinisasi; dan Konsep strukturasi
4. Penggunaan atau pemilihan teori dalam proses analisis sosial-budaya.
Beragam perspektif tersebut dapat digunakan sebagai orientasi teoritis dalam
mencermati fenomena sosial dan budaya sebagai sistem. Diantara perspektif atau
teori tersebut, manakah teori yang paling baik dan benar untuk digunakan sebagai
pisau analisis dalam mengkaji fenomena sosial budaya?. Menurut para ahli, (Francis
Abraham (1982); Ian Craib (1984); Tom Cambell (1994); Dedy Mulyana (2002);
79
Christopher Lloyd (1983); Anthoni Giddens (1984, 1987); dsb, apabila kita mengkaji
tentang beragam teori sosial, untuk kita jadikan sebagai theoritical orientasitions, hal-
hal yang perlu diperhatikan seorang peneliti sosial adalah:
a. Tidak ada teori sosial yang benar secara absolut, oleh karena itu kebenarannya
masih ada unsur ‘relativitasnya’. Tidak ada teori yang paling benar atau paling
baik, semua teori ada sisi kelemahannya.
b. Setiap teori sosiologi semestinya mengandung dimensi kognitif, dimensi afektif
dan dimensi normatif (secara eksplisit dan emplisit harus mengandung beberapa
asumsi mengenai bagaimana keadaan dunia yang sebenarnya).
c. Tidak ada teori yang sudah mencapai bentuk formula final, karena pengetahuan
baru mengalami modifikasi setiap waktu; Oleh karena itu setiap teori yang muncul
memungkinkan untuk merevisi atau menolak teori yang lama, begitu seterusnya,
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
d. Tidak ada teori yang mampu memahami fenomena sosial secara utuh, integral,
menyeluruh, karena teori sering berkembang atas dasar salah satu aliran filosofis
tertentu.
e. Semua teori tidak selalu dapat diaplikasikan pada setiap situasi dan kondisi
(fenomena sosial-budaya). Peneliti sosial-budaya harus memilih teori mana yang
sesuai dengan situasi dan kondisi khas fenomena sosial-budaya yang akan dikaji,
tetapi setiap peneliti sosial-budaya harus tetap belajar (tahu) akan beragam teori
dalam studi ilmu-ilmu sosial budaya.
f. Suatu teori yang produktif harus memberikan saran dalam pemecahan problema
potensial yanng terjadi di masyarakat, dan memberikan perspektif baru serta
menjadi petunjuk untuk penelitian sosial-budaya berikutnya.
g. Tidak ada teori ilmu pengetahuan (alam atau sosial) yang bisa menolak pengaruh
nilai-nilai serta kepentingan-kepentingan ekstra-ilmiah. Hal yang paling penting
adalah setiap teori ilmu pengetahuan harus mampu menjelaskan fenomena alam
atau sosial-budaya seobjektif mungkin, bisa dipertanggungjawabkan secara
rasional (akal sehat).
h. Posisi teori-teori sosial sebagai ‘theoritical orientation’, pada penelitian yang ber-
perspektif etik, ‘tidak sama persis’ dengan penelitian yang ber-perspektif emik. Hal
ini disebabkan kedua pendekatan penelitian tersebut mempunyai perbedaan
paradigma dan filsafat yang menjadi orientasi pikiran dan pandangan dalam
melihat hakikat fenomena sosial.
i. Setiap teori sosial harus bersifat fleksibel, artinya harus selalu terbuka untuk
diperbincangkan dengan berbagai argumentasi, dalam segala situasi dan
perubahan terus menerus diberbagai aspek kehidupan.
80
Jadi, sikap yang paling bijak bagi peminat studi ilmu sosial-budaya dalam
menggunakan teori sosial untuk menganalisis fenomena sosial budaya adalah: (1)
melakukan studi pendahuluan tentang beragam teori sosial, mana konsep-konsep
teori sosial yang relevan dengan realitas fenomena sosial budaya di lapangan; (2)
fenomena sosial budaya di masyarakat sifatnya adalah kompleks dan dinamik, oleh
karena itu sebaiknya para peminat studi sosial budaya dalam melakukan kajian-kajian
atau analisis dinamika sosial budaya menggunakan beragam teori yang ‘masih dalam
satu paradigma’. Misalnya: (a) apabila peneliti ingin mengkaji fenomena sosial budaya
dari aspek peran individu (internal) yang sangat dominan, melalui kajian tentang
pandangan hidup, motivasi, tujuan dan persepsi para agen atau aktor atau individu di
masyarakat, maka sebaiknya peneliti menggunakan teori-teori yang termasuk pada
‘paradigma definisi sosial’, misalnya teori interaksionis simbolik, teori tindakan rasional
Weber, teori fenomenologi, dsb; (b) apabila peneliti ingin mengkaji fenomena sosial
budaya dari aspek masyarakat (eksternal) atau struktur sosial-budaya, ekonomi atau
lingkungannya yang sangat berperan, maka sebaiknya peneliti menggunakan teori-
teori yang termasuk pada ‘paradigma fakta sosial’, misalnya teori evolusi, teori
sistem, teori fungsional stuktural, teori konflik, dsb.; dan (3) diharapkan setiap kajian
fenomena sosial-budaya yang sangat kompleks dan dinamik, setiap peneliti (terutama
peneliti senior) dapat menggunakan pendekatan penelitian terpadu (kuantitatif dan
kualitatif) dan orientasi teori terpadu (paradigma fakta sosial dan definisi sosial atau
paradigma integratif).
Menurut Francis Abraham (1982), bahwa hubungan antara teori sosial dengan
proses penelitian sosial-budaya adalah sangat erat, alasannya antara lain:
a. Sebuah sistem teoritis menganjurkan sejumlah masalah dan hipotesis yang perlu
diteliti. Dalam proses penelitian, peneliti mungkin dapat menemukan variabel yang
baru, relevan untuk pengujian teori atau pengembangan teori.
b. Teori dapat menuntun proses penelitian, menfasilitasi seleksi variabel kunci,
membatasi ruang lingkup penelitian dengan menunjuk fakta-fakta signifikan
dengan tepat.
c. Penelitian empiris dapat menguji, menvaliditasi atau tidak mengakui teori
sebelumnya, karena telah ditemukan bukti-bukti baru.
d. Penelitian membantu membuat teori yang sama sekali baru, atau memodifikasi
teori yang sudah ada.
e. Penelitian empiris membangun dan memperbaiki konsep-konsep sosiologis,
bagian bangunan yang sangat penting dari teori sosiologis.
f. Teori memungkinkan sebuah penyajian yang efektif dari sebuah penemuan
empiris. Teori membandingkan dan membedakan sebuah penemuan dari studi-
81
studi yang terpisah dan meningkatkan arti penting mereka. Teori meningkatkan
keefektifan penyelidikan tertentu. Fakta akan berarti jika dijelaskan, diatur dalam
kerangka sebuah teori.
g. Kondisi saling mempengaruhi antara teori dan penelitian adalah masalah
menyeimbangkan antara kualitas dan kuantitas. Kuantitas dan kualitas adalah dua
aspek kehidupan yang perlu diseimbangkan dalam pengkajian.
h. Penelitian empiris (kuantitatif) akan meningkatkan kekuatan memprediksi,
ketepatan, validitas dan veriabilitas dari teori-teori sosiologi. Dengan penemuan
dan perbaikan melalui penelitian dimungkinkan untuk mengembangkan masalah
yang lebih tinggi tingkat kekuatan prediksinya.
G. Kesimpulan.
Uraian tentang sistem sosial budaya dalam perspektif teoritis di atas dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Fenomena sosial-budaya dalam perspektif teori sistem adalah, memandang
bahwa semua aspek atau unsur-unsur dalam sistem sosiokultural (sosial-budaya)
adalah dari segi proses, khususnya sebagai jaringan informasi dan komunikasi
serta interaksi timbal balik. Oleh karena itu teori sistem secara inheren bersifat
integratif, sedangkan bentuk integratif antar unsur sosial-budaya dalam sistem
tersebut adalah bersifat menyatu dan umpan balik (feed back). Dalam sistem
sosial budaya terdapat ’differensiasi’, dan dalam masyarakat modern proses
differensiasi dalam sistem semakin kompleks. Dalam sub sistem terdapat sub-sub
sistem yang masing-masing saling berhubungan antar sub-sub sistem. Perubahan
pada unsur sub sistem akan mempengaruhi perubahan sub sistem lainnya.
2. Fenomena sosial budaya dalam perspektif teori fungsional struktural adalah: (1)
ada empat fungsi penting yang diperlukan dalam menganalisis semua sistem
‘tindakan manusia’ untuk pemeliharaan pola di masyarakat, yaitu Adaptation (A),
goal attainment (G), integration (I), dan latensi (L) (AGIL). Setiap kehidupan
kelompok agar tetap bertahan (survive), maka sistem dalam kelompok itu harus
memiliki empat fungsi tersebut yang saling berhubungan timbal balik. Untuk
memahami skema AGIL harus dipahami konsep-konsep tentang: Sistem kultural;
Sistem sosial; Sistem kepribadian; dan Organisme perilaku, karena keempatnya
terkait dengan skema AGIL; (2) tujuh asumsi dasar teori ‘fungsionalisme struktural’
tentang sistem sosial-budaya, yaitu: (a) sistem memiliki properti keteraturan dan
bagian-bagian yang saling tergantung; (b) sistem cenderung bergerak ke arah
mempertahankan keteraturan diri atau keseimbangan; (c) sistem mungkin statis
atau bergerak dalam proses perubahan yang teratur; (d) sifat dasar bagian suatu
sistem berpengaruh terhadap bentuk bagian-bagian lain; (e) sistem memelihara
82
batas-batas dengan lingkungannya; (f) alokasi dan integrasi merupakan dua
proses fundamental yang diperlukan untuk memelihara keseimbangan sistem; dan
(g) sistem cenderung menuju ke arah pemeliharaan keseimbangan diri yang
meliputi pemeliharaan batas dan pemeliharaan hubungan antara bagian-bagian
dengan keseluruhan sistem, mengendalikan lingkungan yang berbeda-beda dan
mengendalikan kecenderungan untuk merubah sistem dari dalam.
3. Fenomena sosial budaya dalam perspektif teori konflik adalah: (1) beberapa
proposisi Marx tentang teori konflik dalam memahami fenomena sosial budaya
adalah: (a) semakin distribusi pendapatan tidak merata, semakin besar konflik
kepentingan antara kelompok atas dan kelompok bawah; (b) semakin sadar
kelompok bawah akan kepentingan mereka bersama semakin keras mereka
mempertanyakan keabsahan sistem pembagian pendapatan yang ada; (c)
semakin besar kesadaran akan interest keleompok mereka dan semakin keras
pertanyaan mereka terhadap keabsahan sistem pembagian pendapatan, semakin
besar kecenderungan mereka untuk kerjasama memunculkan konflik menghadapi
kelompok yang menguasai sistem yang ada; (d) semakin kuat kesatuan ideologi
anggota kelompok bawah dan semakin kuat struktur kepemimpinan politik mereka,
semakin besar kecenderungan terjadinya polarisasi sistem yang ada; (e) semakin
meluas polarisasi, semakin keras konflik yang terjadi; dan (f) semakin keras konflik
yang ada, semakin besar perubahan struktural yang terjadi pada sistem dan
semakin luas proses pemerataan sumber-sumber ekonomis; dan (2) beberapa
pandangan Dahrendorf tentang teori konflik adalah: (a) setiap masyarakat, setiap
saat tunduk pada proses perubahan. Berbagai elemen kemasyarakatan
menyumbang terhadap disintegrasi dan perubahan; dan (b) bahwa masyarakat
tidak ada, tanpa konsensus dan konflik, keduanya menjadi persyaratan satu sama
lain. Kita tak akan punya konflik kecuali ada konsensus sebelumnya, sebaliknya
konflik dapat menimbulkan konsensus dan integrasi. Bahwa perbedaan distribusi
otoritas selalu menjadi faktor yang menentukan konflik sosial sistematis’.
4. Fenomena sosial budaya dalam perspektif teori interaksionis simbolik, adalah: (a)
bahwa masyarakat sebagai suatu organisasi interaksi, tergantung pada pikiran
atau pandangan individu-individu dalam masyarakat. Dengan demikan masyarakat
secara terus menerus akan terjadi perubahan, karena pikiran individu terus
berubah melalui interaksi simbolik. Masyarakat sebagai penyaji sistem sosialisasi
yang dinamik, dan fenomena sosial-budaya itu sendiri dirumuskan individu-
individu dari proses interaksi dan sosialisasi melalui sejumlah tingkat yang
berbeda; (b) tiga premis utama teori interaksionis simbolik, yaitu: Manusia
bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu
83
bagi mereka; Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan
orang lain; dan Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi
sosial sedang berlangsung; dan (c) asumsi dasar teori interaksionis simbolik
adalah: Individu, adalah rasional, dinamik, dan produk dari hubungan sosial
(interaksi sosial); Masyarakat, adalah dinamis dan berevolusi, menyediakan
perubahan dan sosialisasi yang baru dari individu. Kehidupan sosial budaya selalu
berubah dan tergantung oleh pikiran-pikiran individu; Realitas sosial, adalah
bersifat individu dan sosial yang dinamik tergantung dinamika pikiran individu
selama proses interaksi.
5. Fenomena sosial budaya dalam perspektif teori integrasi. Bahwa pandangan
utama teori-teori integrasi tentang fenomena sosial budaya, adalah ‘dalam
mengkaji atau menganalisis fenomena sosial budaya harus menggunakan
perspektif integrasi makro-mikro atau agen-struktur’, karena: (a) fenomena sosial
budaya selalu tampil dalam kondisi yang dinamik dan kompleks; dan (b) dengan
menggunakan perspektif integratif dapat diperoleh pemahaman atau
pengungkapan aspek-aspek fenomena sosial budaya secara lebih menyeluruh.
Diantara teori-teori integrasi tersebut antara lain: (a) model integrasi paradigma
sosiologi oleh George Ritzer; (b) model sosiologi multidimensional oleh Jeffery
Alexander; (c) model mikro ke makro oleh Coleman and Liska; (d) model sosiologi
figurasional oleh Norbert Elias; (e) model teori integrasi strukturasi oleh Anthony
Giddens; (f) model teori strukturalisme-genesis oleh Pierre Bourdieu; (g) model
teori morphogenesis, kultur dan agen oleh Margareth Archer; dan (h) model teori
kolonisasi kehidupan dunia oleh Habermas.
84