BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme...

49
52 BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 Teori Teori-teori yang digunakan untuk mengkaji dan menganalisis permasalahan tentang dinamika sanksi hukum adat dalam perkawinan antar- wangsa (perspektif HAM) sebagai berikut. 2.1.1 Teori Legal Sistem dari Lawrence M.Friedman Teori Legal sistem atau teori sistem hukum dari Friedman menyatakan bahwa hukum harus dilihat sebagai suatu sistem. Lawrence M.Friedman dalam bukunya yang berjudul The Legal System : A Social Science Perspective, menyatakan bahwa setiap sistem hukum selalu mengandung tiga komponen, yaitu komponen struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal culture). A legal sistem in cctual operation is complex organism in which structure, substance, and culture interact.1 Artinya, sistem hukum dalam kenyataan sulit untuk dilaksanakan dalam berbagai organisasi yang akan mempengaruhi struktur, substansi, dan budaya. Penjelasan komponen-komponen di atas adalah sebagai berikut. a. Komponen struktural (legal structure) dari suatu sistem hukum mencakup berbagai institusi yang diciptakan oleh sistem hukum tersebut dengan berbagai macam fungsinya dalam mendukung bekerjanya sistem tersebut. Salah satu di antaranya lembaga tersebut adalah pengadilan. Mengenai hal ini 1 Lawrence M. Friedman, 1969, The Legal System : A Social Science Perspective, Russel Sage Foundation, New York, h.16 (Selanjutnya disebut Lawrence M. Friedman I).

Transcript of BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme...

Page 1: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

52

BAB II

LANDASAN TEORITIK

2.1 Teori

Teori-teori yang digunakan untuk mengkaji dan menganalisis

permasalahan tentang dinamika sanksi hukum adat dalam perkawinan antar-

wangsa (perspektif HAM) sebagai berikut.

2.1.1 Teori Legal Sistem dari Lawrence M.Friedman

Teori Legal sistem atau teori sistem hukum dari Friedman menyatakan

bahwa hukum harus dilihat sebagai suatu sistem. Lawrence M.Friedman dalam

bukunya yang berjudul The Legal System : A Social Science Perspective,

menyatakan bahwa setiap sistem hukum selalu mengandung tiga komponen, yaitu

komponen struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance),

dan budaya hukum (legal culture). A legal sistem in cctual operation is complex

organism in which structure, substance, and culture interact.”1 Artinya, sistem

hukum dalam kenyataan sulit untuk dilaksanakan dalam berbagai organisasi yang

akan mempengaruhi struktur, substansi, dan budaya.

Penjelasan komponen-komponen di atas adalah sebagai berikut.

a. Komponen struktural (legal structure) dari suatu sistem hukum mencakup

berbagai institusi yang diciptakan oleh sistem hukum tersebut dengan

berbagai macam fungsinya dalam mendukung bekerjanya sistem tersebut.

Salah satu di antaranya lembaga tersebut adalah pengadilan. Mengenai hal ini

1 Lawrence M. Friedman, 1969, The Legal System : A Social Science Perspective, Russel

Sage Foundation, New York, h.16 (Selanjutnya disebut Lawrence M. Friedman I).

Page 2: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

2

Friedman menulis “First many features of a working legal system can be

called structural – the moving part, so to speak of the machine. Courts are

simple and obvious example...”2 Artinya, salah satu bentuk bekerjanya sistem

hukum dapat disebut sebagai struktur yang merupakan bagian mekanisme

pengadilan. Pengadilan adalah contoh yang nyata dan sederhana. Komponen

struktural yang dikaji dalam kaitannya dengan permasalahan penelitian

adalah penegak hukum terhadap pelaksanaan peraturan perkawinan antar-

wangsa. Yang termasuk struktur hukum/penegak hukum dalam perkawinan

antar-wangsa adalah raja, Hakim Raad Kertha/ Pendeta (brahmana) dan

Hakim Pengadilan Negeri.

b. Komponen substansi hukum (legal substance), Friedman menyatakan sebagai

“...the actual product of the legal system”.3 Menurutnya, pengertian substansi

hukum meliputi aturan-aturan hukum, termasuk kaidah-kaidah hukum yang

tidak tertulis, lontar-lontar yang mengatur perkawinan antar-wangsa serta

sanksi menurut perkembangannya, Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Tahun

1951, Bhisama Sabha Pandita Nomor 03/X/PHDI/2002 Parisada Hindu

Dharma Pusat dan Hasil Pesamuhan Majelis Utama Desa Pakraman ke III

Tahun 2010.

c. Komponen budaya hukum (legal culture). Sebelum dijelaskan lebih lanjut

tentang budaya hukum, struktur dan substansi sering juga disebut sistem

hukum. Budaya hukum oleh Friedman didefinisikan sebagai …”attitudes and

values that related to law and legal system, together with those attitudes and

2 Lawrence M. Friedman, 1969, “On Legal Development” Dalam : Rutgers Law Rivies,

Vol. 24. h.27. (selanjutnya disebut Lawrence M.Friedman II). 3 Ibid. h. 27.

Page 3: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

3

values effecting behavior related to law and its institutions, either positively

or negatively.4 Artinya, sikap-skap dan nilai-nilai yang ada hubungannya

dengan hukum atau sistem hukum, berikut sikap-sikap dan nilai-nilai yang

memberi pengaruh kepada tingkah laku yang berkaitan dengan hukum dan

institusi hukum, baik positif maupun negatif.

2.1.2 Teori Law as a Tool of Social Engineering dari Rouscoe Pound

Rouscoe Pound5 lahir tahun 1870 dan meninggal tahun 1964. Ia pernah

menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Harvard Amerika Serikat selama 20

tahun. Konsep hukum Rouscoe Pound dimulai dari Social Interest, yang

merupakan embrio dari teori “Law as social engineering. Pandangan tersebut

kemudian dicantumkan dalam karyanya “A Theory of Interest”. Pernyataan Pound

tentang fungsi hukum sangat luas termasuk untuk rekonsiliasi,harmonisasi dan

kompromi atas seluruh konflik kepentingan orang lain, itulah disebut “law as

social engineering”.6

Lebih lanjut Pound dalam teorinya menyatakan “the jurisprudence of

interests suffers from the problems that exist in the sociological jurisprudence

generally. In addition, the jurisprudence of interest point to the balancing of

interet”7. Pound memandang hukum sebagai intitusi sosial dan eksistensi hukum

diperlukan untuk memajukan kepentingan umum. Selanjutnya digunakan hukum

4 Ibid. h.28.

5 Munir Fuadi, 2013, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Kencana Prenada

Media Group, h.249. 6 Rouscoe Pound, 1975, Introduction to the Philosophy of Law, Yale University Press,

p.47. 7 Surya Prakash Sinha, 1993, Jurisprudence Legal Philosophi In A Nutshell, ST, Paul,

Minn, West Publishing CO, p.244.

Page 4: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

4

untuk menyeimbangkan kepentingan. Kepentingan kemudian diklasifikasikan

dalam teorinya menjadi tiga kepentingan yaitu pubict interest, social interest, and

individual interest”.8 Artinya kepentingan publik, kepentingan sosial, dan

kepentingan privat atau individu. Pound cendrung pada kepuasan kepentingan

individu, artinya apabila kepentingan individu telah terpenuhi, maka otomatis

kepentingan sosial dan kepentingan umum akan terpenuhi dengan sendirinya.

Dari klasifikasi tersebut dapat ditarik dua hal. Pertama Pound mengikuti

garis pemikiran von Jhering dan Bentham, yaitu berupa pendekatan terhadap

hukum sebagai jalan ke arah tujuan sosial dan sebagai alat dalam perkembangan

sosial Pound juga bisa dimasukkan dalam aliran Utilitarianism dan Realisme

Amerika, oleh karena hukum yang dimaksudkan adalah keputusan hakim.

Pada dasarnya kondisi awal suatu struktur masyarakat selalu berada dalam

keadaan kurang seimbang.9 Ada yang terlalu dominan, ada pula yang

terpinggirkan. Untuk itu perlu langkah progresif memfungsikan hukum untuk

menata perubahan. Dari sinilah muncul teori Pound tentang hukum berfungsi

sebagai alat rekayasa masyarakat (a tool of social engineering). Ungkapan ini

berbeda dengan pandangan yang umumnya dianut pada saat itu, yakni bukan

perubahan hukum yang mempengaruhi perkembangan masyarakat, tetapi justru

perubahan dalam masyarakat yang mempengaruhi perubahan hukum. Namun

berdasarkan hasil penelitian ungkapan tersebut semuanya benar.

8 Curzon, 1979, Jurisprudence: M&E Hanbook, Madonald& Evan Ltd., Estover,

Plamouth, Great Britain, h.148. 9 Bernard L,Tanya, Yoan N.Simanjuntak, Markus Y. Hage, 2010, Teori Hukum Strategi

Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, h.156.

Page 5: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

5

Teori ini digunakan untuk menganalisis permasalahan tentang perubahan

sosial berhubungan dengan hukum, sehingga menyebabkan terjadinya dinamika

hukum perkawinan antar-wangsa.

2.1.3 Teori Stratifikasi Sosial dari Soerjono Soekanto

Hukum dan stratifikasi sosial dikemukakan oleh Soerjono Soekanto dalam

bukunya berjudul Sosiologi Hukum dalam Masyarakat10

mengemukakan bahwa

stratifikasi sosial diartikan sebagai pembedaan penduduk atau masyarakat ke

dalam kelas-kelas secara bertingkat atau secara hierarkis. Semakin kompleks

stratifikasi sosial suatu masyarakat, semakin banyak hukumnya. Semakin

kompleks stratifikasi sosial artinya, suatu keadaan di mana banyak sekali ukuran

yang dipergunakan sebagai indikator untuk mendudukkan seseorang di dalam

posisi sosial tertentu. Itu berarti bukan karena banyaknya lapisan-lapisan sosial

yang ada melainkan ukuran yang dipakai.

Mencermati apa yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto dapat dipakai

contoh masyarakat Hindu di Bali. Salah satu ukuran yang dipakai untuk

menentukan posisi sosial adalah sistem wangsa. Orang yang termasuk dalam

wangsa brahmana memiliki posisi yang paling tinggi di masyarakat. Semakin

tinggi status orang dalam masyarakat, semakin sedikit hukum yang mengaturnya,

demikian sebaliknya. Keadaan semacam ini sangat bertentangan dengan tujuan

hukum, yang tidak membeda-bedakan status, dan jenis kelamin dalam

masyarakat. Teori stratifikasi sosial dapat digunakan untuk menganalisis

10

Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, 1980, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat,

Penerbit C.V. Rajawali Jakarta, h. 192.

Page 6: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

6

permasalahan pertama, dan tidak menutup kemungkinan akan digunakan untuk

menganalisis permasalahan kedua, dan ketiga.

2.1.4 Teori Bekerjanya Hukum Dalam Masyarakat dari William Chambliss

dan Robert B.Seidman

Teori ini dikemukakan oleh William Chamblis dan Robert B. Seidman.11

Berdasarkan teori ini, bekerjanya hukum dalam masyarakat dipengaruhi oleh

kekuatan-kekuatan sosial, lembaga-lembaga pembuat hukum dan lembaga-

lembaga pelaksana hukum. Oleh karena itu bekerjanya hukum tidak bisa

dimonopoli oleh hukum. Teori ini digunakan untuk menganalisis permasalahan

pertama, karena teori ini berkaitan dengan lembaga-lembaga pembuat hukum,

penegak hukum, maupun kekuatan-kekuatan sosial, antara lain politik budaya

masyarakat, dan wangsa. Kekuatan-kekuatan sosial itulah yang kemudian

menyebabkan hukum mengalami dinamika.

2.1.5 Teori Living Law dari Eugen Ehrlich

Eugen Ehrlich merupakan pelopor aliran Sociological Jurisprudence.12

Aliran ini mengemukakan pengaruh hukum terhadap masyarakat dan sebagainya

dengan pendekatan dari hukum ke masyarakat. Aliran ini membedakan secara

tegas antara hukum positif (the positive law), dan hukum yang hidup dalam

masyarakat (the living law) di pihak lain.13

11

William J.Camblis dan Robert B. Seidman, 1971, Law, Order, and Power, Reading,

Mess Addison, Wesly, 1971, h.12. 12

H.Abdul Manan, 2005, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Penerbit Prenada Media,

Jakarta, h.19. 13

Darji Darmodiharjo dan Shidarta, I, Op.Cit, h. 128.

Page 7: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

7

Berdasarkan uraian di atas hukum positif baru akan memiliki daya berlaku

yang efektif apabila berisikan, atau selaras dengan hukum yang hidup dalam

masyarakat. Oleh karena itu sebelum peratuaran atau undang-undang dibuat

sebaiknya mengadakan penelitian terlebih dahulu di dalam masyarakat. Apa dan

bagaimana hukum itu harus dibuat. Teori ini digunakan untuk menganalisis

masalah pertama dan ketiga.

2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer

Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi Sosial.14

Teori ini menyangkut tentang proses pemikiran yang kreatif dari manusia. Teori

ini menggunakan metode observasi khususnya metode observasi terlibat

(participant observation). Teori Interaksionisme Simbolik dikemukakan oleh

Blumer. Interaksionisme simbolik (Simbolic Interaksionism) merupakan

pendekatan yang bersumber dari pemikiran George Herbert Mead. “Arti kata

interaksionisme sudah nampak bahwa sasaran pendekatan ini ialah interaksi

sosial; kata simbolik mengacu pada penggunaan simbol-simbol dalam interaksi.

Interaksi simbolik juga berkaitan dengan gerak tubuh, antara lain suara atau vokal,

gerakan fisik, ekspresi tubuh, yang semuanya itu mempunyai maksud dan disebut

dengan simbol.15

Pokok pikiran interaksionisme simbolik Herbert Blumer16

ada

tiga. Pertama adalah manusia betindak (act) terhadap sesuatu (thing), atas dasar

makna yang dimiliki oleh sesuatu tersebut (act). Orang Hindu di India memaknai

14

George Ritzer, 1992, Sosiologi Berparadigma Ganda, Penerbit PT Rajawali Pers

Jakarta, h.52. (Selanjutnya disebut George Ritzer I) 15

I.B.Wirawan, 2013, Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma, Fakta sosial, Definisi

Sosial, dan Perilaku Sosial, Cetakan kedua, Penerbit Kencana Prenadamedia Group Jakarta, h.109. 16

Kamanto Sunarto, 2004, Pengantar Sosiologi, Edisi Revisi, Penerbit Fakultas Ekonomi

Universitas Indonesia, h.36.

Page 8: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

8

seekor sapi (thing) akan berbeda dengan orang penganut agama Islam di Pakistan,

karena makna terhadap seekor sapi bagi masing-masing orang tersebut berbeda-

beda.

Berdasarkan uraian tersebut, makna suatu simbol akan berubah melalui

suatu proses penafsiran (interpretative process), yang digunakan orang dalam

menghadapi sesuatu yang dijumpainya. Teori ini akan digunakan untuk mengkaji

masalah kedua mengenai makna perubahan sanksi hukum adat perkawinan antar-

wangsa.

2.1.7 Teori HAM Patrikularistis Relatif

Teori Partikularistis Relatif17

bertitik tolak pada prinsip yang tidak

membedakan pengertian-pengertian, nasional, regional, latar belakang sejarah,

kebudayaan/keagamaan yang harus ditanamkan dalam pikiran masyarakat.

Menjadi tugas negara, tanpa memandang sistem politik, ekonomi, dan budaya

tetap memperhatikan dan melindungi HAM dan kebebasan dasar manusia.

Pandangan ini berada dalam konteks dinamis dan berubah-ubah, oleh karena

setiap negara memiliki warisan pengalaman sejarah dan perubahan yang nyata,

baik ekonomi, sosial, politik, dan budaya juga norma-norma harus

dipertimbangkan.

Prinsip-prinsip HAM yang digunakan dalam mengkaji HAM perempuan

antara lain prinsip dignity yang diatur dalam mukadimah alinea pertama DUHAM

yaitu pengakuan atas martabat yang melekat pada dan hak-hak yang sama dan

17

Mansyur Effendi dan Taufani Sukmana Evandri, 2010, HAM dalam Demensi/Dinamika

Yuridis, Sosial, Politik, dan Proses Penyusunan/Aplikasi HA-KHAM (Hukum Hak Asasi Manusia)

Dalam Masyarakat, Ghalia Indonesia Anggota IKAPI, Cetakan ketiga, h.86-88.

Page 9: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

9

tidak dicabut dari semua anggota keluarga manusia. Pengakuan terhadap martabat

adalah landasan tentang kebebasan, keadilan, dan perdamaian di dunia. Hak-hak

asasi manusia adalah tak terpisahkan (inherent) dengan dan merupakan

perlindungan terhadap nilai martabat manusia (the dignity of the human person),

sehingga harus dijunjung tinggi oleh bangsa dan negara Republik Indonesia yang

berfalsafah Pancasila. Sanksi perkawinan antar-wangsa bertentangan dengan

prinsip di atas, oleh karena merendahkan martabat manusia.

Prinsip kesetaraan atau equality18

merupakan salah satu prinsip yang

sangat penting dalam seluruh pembahasan mengenai HAM. Prinsip kesetaraan

memiliki hubungan yang sangat kuat dengan konsep mengenai kebebasan dan

keadilan. Prinsip ini sering digambarkan sebagai jiwa dari HAM karena hal yang

fundamental dari ide lahirnya HAM, meletakkan setiap individu manusia di muka

bumi ini dalam posisi yang sama dan sejajar dalam hubungan antara satu dengan

yang lainnya. Ide kesetaraan didifinisikan “bahwa setiap orang pada suatu situasi

yang sama harus diperlakukan sama”. Di satu sisi HAM menjamin kebebasan

individu namun di sisi yang lain HAM juga mempunyai perhatian terhadap

pemenuhan rasa keadilan.

Prinsip anti diskriminasi diatur dalam Pasal 2 Universal Declaration of

Human Rights 1948, yang menegaskan setiap orang berhak atas semua hak dan

kebebasan-kebebasan yang dijamin dalam intrumen HAM tanpa pengecualian

apapun, seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pollitik

atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau masyarakat, kepemilikan,

18

Hesti Armiwulan Sochmawardiah, 2013, Diskriminasi Rasial Dalam Hukum HAM,

Studi Tentang Diskriminasi terhadap Etnis Tionghoa, Genta Publishing, Yogyakarta, h. 88.

Page 10: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

10

kelahiran atau status lainnya. Dengan mencermati sanksi perkawinan antar-

wangsa, sudah jelas bertentangan dengan prinsip di atas oleh karena masih

membeda-bedakan manusia atas dasar kelahiran.

Prinsip Keadilan yang digunakan prinsip keadilan John Rawl melalui

karyanya A Theory of Justice. Menurut Rawls prinsip yang paling mendasar dari

keadilan adalah bahwa setiap orang memiliki hak yang sama dari posisi-posisi

mereka yang wajar.19

Dalam hal ini seseorang harus mengenyampingkan atribut-

atribut yang membedakannya dengan manusia lainnya seperti jabatan, kasta,

kekayaan, pendidikan, pandangan religius dan filosofis. Rowls melahirkan tiga

prinsip keadilan,20

yaitu prinsip kebebasan yang sama (equal liberty principle),

prinsip perbedaan (differences principle), prinsip persamaan kesempatan (equal

opportunity principle). Perkawinan antar-wangsa menganut prnsip perbedaan oleh

karena masih dipengaruhi oleh adanya atribut kasta, sehingga perlu diarahkan

pada prinsip kebebbasan yang sama (equal liberty principle) dalam memilih

jodoh.

2.1.8 Teori Feminist Legal Theory

Feminisme merupakan suatu paham pergerakan perempuan untuk

mendapatkan hak-haknya. “De vrouwenbeweging diebelangrijke wijzigingen heft

doen aanbrengen aan ons publiek-en privatrecht,21

Artinya, gerakan perempuan

telah menimbulkan perubahan-perubahan penting pada hukum publik dan hukum

19

John Rawls, 1971, A Theory Of Justice, The Belknap Press of Harvard University

Press, Cambidge Massachusetts, USA, p.60. (Selanjutnya disebut John Rawls I). 20

Ibid, p. 65. 21

Gijssels Jan, Mark Van Hoeke,1982, Wat is rechtsteorie, Docent UFSIA, h.42.

(Selanjutnya disebut Gijssel Jan, Van Hoeke I).

Page 11: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

11

perdata22

. Teori Hukum Feminis (Feminist Legal Theory) mengemukakan bahwa,

pendekatan hukum bermula dari suatu asumsi dasar mengenai hubungan antara

perempuan dan hukum. Sulistyowati Irianto mengemukakan “pendekatan hukum

berperspektif perempuan.”23

Kenyataan menunjukkan bahwa hukum

diinformasikan oleh laki-laki, dan bertujuan memperkokoh hubungan-hubungan

sosial yang patriarkis. Hubungan yang dimaksud didasarkan pada norma,

pengalaman, dan kakuasaan laki-laki, dan mengabaikan pengalaman perempuan.

Teori ini dapat digunakan untuk menganalisis permasalahan kedua dan ketiga.

Kerangka teoritis dapat diragakan seperti gambar berikut:

GAMBAR 3

Kerangka Teoritik

TT

22

Gijssels Jan, Mark Van Hoeke, 2000, Apakah Teori Hukum Itu? Diterjemahkan oleh

B.Arief Sidarta. Penerbit Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan

Bandung, 31. (Selanjutnya disebut Gijssel Jan, Mark Van Hoeke II). 23

Tapi Omas Ihromi, Sulistyowati Irianto, Achie Sudiarti Luhulima, 2000, Penghapusan

Diskriminasi Wanita, Alumni Bandung, h.93.

Substansi Hukum

Dinamika Sanksi

Hukum Adat

Perkawinan Antar-

Wangsa

Struktur Hukum Budaya Hukum

Diskrimininasi

Kesetaraan, keadilan

Kekuatan-Kekuatan

Sosial

Kelas Vertikal dan

Horizontal

Makna/ Simbol

Page 12: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

12

1.2 Konsep Hukum serta Pandangan Para Sarjana

2.2.1 Konsep Hukum dari Soetandio Wignjosoebroto

Soetandio Wignjosoebroto merangkum konsep hukum dilihat dari abstrak

dan konkretnya hukum, sekurang-kurangnya dikemukakan ada 6 (enam) konsep

tentang apa yang disebut hukum yaitu:

1) Pertama, dalam konsepnya yang paling abstrak, hukum dimaknakan

sebagai ide tentang kebaikan dan keindahan (Plato). Tipe kajiannya

dalam filsafat hukum.

2) Kedua, dalam konsepnya yang lebih konkret lagi, hukum dikonsepkan

sebagai azas-azas keadilan yang dipercaya secara kodrati berlaku

universal. Kaum sekuler, yang kemudian mengembangkan hukum

alam. Pelopornya adalah Hugo de Groot. Dalam konsep ini, tipe

kajian filsafat hukum.

3) Ketiga, dalam bentuknya yang lebih konkret lagi, hukum dikonsepkan

sebagai preskripsi yang dihasilkan sebagai produk legislasi oleh suatu

badan politik suatu kekuasaan nasional yang disebut badan legislatif

(hukum in abstaracto). Hukum Undang-undang sebagai satu-satunya

hukum dalam kehidupan nasional yang harus ditaati, dan mengatasi

norma sosial dalam kehidupan masyarakat (legal Positivist) atau

tepatnya kaum legis.

4) Keempat, dalam bentuk yang lebih konkret lagi, hukum sebagai

produk yang terwujud melalui proses yudisial, terwujud melalui

putusan hakim di pengadilan (hukum in concreto) tipe judge made

law, kajian American Sosiologi Jurisprudence.

5) Kelima, konsep hukum yang manifest dalam wujud keteraturan

prilaku warga masyarakat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Tipe

kajian Sosiolosi Hukum: Law as it is in society.

6) Keenam, hukum dikonsepkan sebagai manifest makna-makna

simbolik para subyek, tersimak dalam wujud interaksi antar warga

masyarakat dalam situasi otonom, terbebas dari intensi-intensi para

pembentuk Undang-undang atau dari kehendak tetua hukum. Dalam

konsep ini, hukum memproleh bentuk yang paling situasional, dinamis

serta manifest dari para subyek yang berinteraksi, Tipe kajian

sosiologi hukum: Law as it is human action.24

24

Soetandyo Wignyosoebroto, 2008, Keragaman Dalam Konsep Hukum, Tipe Kajian

dan Metode Penelitiannya, dalam Butir-Butir dalam Hukum Memperingati 70 Tahun Arief

Sidarta, Penyunting Niken Savitri, Refika Aditama, Bandung, h.43-45. (Selanjutnya disebut

Soetandyo II)

Page 13: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

13

Dari enam konsep hukum yang telah dikemukakan oleh Soetandyo,

penelitian ini tempatnya pada konsep keempat, kelima dan keenam yaitu hukum

sebagai wujud peraturan-peraturan maupun keputusan hakim, hukum sebagai

wujud keteraturan prilaku warga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Prilaku

masyarakat agar sesuai dengan apa yang ditetapkan dalam Keputusan DPRD Bali.

Hukum juga dikonsepkan sebagai makna-makna simbolik para subjek hukum,

tersimak dalam wujud interaksi antarwarga masyarakat. Dengan konsekuensi

metodologisnya bersifat kualitatif, serta menggunakan teori sosial, di samping

menggunakan teori hukum. Metode kualitatif digunakan untuk mengkaji prilaku

manusia dalam kasus-kasus terbatas, namun mendalam (in depth) dan bersifat

menyeluruh (holistic).

2.2.2 Konsep Hukum Triangular dari Werner Menski

Konsep hukum triangular 25

dikemukakan oleh Werner Menski antara lain

mengemukakan bahwa, ”Beyond identitying three major types of laws created by

society, by the state and through values and ethics…”Menski menggunakan tiga

tipe utama hukum yaitu hukum yang diciptakan oleh masyarakat, hukum yang

diciptakan oleh negara dan hukum yang timbulnya melalui nilai serta etika.

Menurut Menski ketiga hukum tersebut bersifat plural. Sesungguhnya, di dalam

realitas, tampak bahwa masing-masing dari ketiga tipe hukum tersebut, juga

berisikan dua unsur tipe hukum lainnya. Selanjutnya ditemukan suatu level

intrinsik yang benar-benar bersifat plural.

25

Achmad Ali, 2012, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan

(Judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (legis Prudence), Kencana Prenada

Media Group Jakarta, Cetakan ke-empat, h.430. (Selanjutnya disebut Achmad Ali II),

Page 14: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

14

Meski dalam memperkenalkan representasi grafis (skema)26

dari “level

intrinsic the second, pluralisme hukum yang disajikan dimulai dari hukum yang

ditemukan di dalam kehidupan sosial, karena di kehidupan sosial itulah

merupakan tempat di mana hukum selalu berlokasi. Studi terkini

mengonfirmasikan bahwa tiada masyarakat tanpa hukum, mungkin sedikit sekali

hukum produk negara di dalam suatu konteks kultur dan lokal khusus tertentu.

Pengertian masyarakat bukan dalam makna masyarakat secara nasional melainkan

masyarakat dalam bentuk suatu komunitas atau kelompok lokal yang kecil,

bahkan barangkali dalam bentuk suatu klan atau keluarga saja”.

Konsep hukum triangular digunakan untuk mengkaji perkawinan antar-

wangsa, oleh karena perkawinan antar-wangsa diatur oleh hukum adat/ hukum

asli dari masyarakat, antara lain adanya aturan keluarga tentang perkawinan

sederajat, hukum produk negara seperti Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Bali

Tahun 1951, demikian juga aturan-aturan yang timbul dari nilai-nilai, yaitu nilai

agama Hindu, nilai Pancasila. Peraturan tersebut dapat saling mempengaruhi,

sehingga menimbulkan peraturan yang menunjukkan level intrinsik yang bersifat

plural. Hukum dalam konsep ini tidak dapat dilihat secara sebagian namun secara

menyeluruh, seperti melihat pohon kayu, tidak hanya batangnya saja disebut

pohon, tetapi ranting, daun, dan akar merupakan bagian dari pohon secara utuh.

Melihat hukum dalam konsep triangular juga demikian halnya. Hukum

adat/hukum masyarakat dapat berpengaruh mendukung hukum negara, namun di

lain pihak dapat juga menghambat hukum negara.

26

Skema Triangular dapat dilihat dalam Achmad Ali II, h.190.

Page 15: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

15

Konsep Hukum Triangular dapat diaplikasikan terhadap peraturan yang

mengatur perkawinan antar-wangsa. Dari gambar di atas dapat ditunjukkan bahwa

memang benar ketiga dari unsur tersebut di atas bersifat plural. Kenyataan di

dalam masyarakat tampak masing-masing dari ketiga tipe hukum tersebut, juga

berisikan dua unsur tipe hukum lainnya. Selanjutnya menemukan level intrinsik

yang benar-benar bersifat plural, sehingga menghasilkan sembilan unsur-unsur

nyata dari hukum yang bersifat plural. Nomor 1 pada segitiga, menggambarkan

peraturan dari unsur masyarakat (number 1 to the triangle of society), nomor 2

menggambarkan peraturan dibuat oleh unsur negara (number 2 to triangle of

state), dan nomor 3 menggambarkan peraturan bersumber pada dunia nilai serta

etika (number 3 to the realm of value and ethics). Urutan ini tidak menyiratkan

bahwa ada unsur yang relatif lebih unggul atau superior ketimbang unsur lain,

tidak bertujuan bahwa secara relatif nomor 1 lebih unggul atau superior ketimbang

yang nomor 2 dan nomor 3; atau yang nomor 2 lebih unggul ketimbang yang

nomor 3. Dalam konsep ini hukum dilihat secara utuh atau menyeluruh.

2.2.3 Konsep tentang Hukum Adat

Konsep tentang hukum adat menurut Soepomo,27

adalah hukum yang non-

statutair yaitu hukum tidak tertulis dalam peraturan legislatif, yang hidup dalam

hukum kenegaraan (konvensi), keputusan-keputusan hakim, hukum kebiasaan

(customary law), termasuk pula aturan-aturan desa dan aturan-aturan keagamaan.

Soekanto28

berpendapat bahwa hukum adat adalah peraturan-peraturan yang

27

Soepomo R., 2000, Bab-bab tentang Hukum Adat, Cetakan kedelapan, Penerbit

Pradnya Paramita Jakarta, h.7. 28

Soekanto, 1985, Meninjau Hukum Adat Indonesia, PT Rajawali, Jakarta, h.11.

Page 16: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

16

bersanksi, kaidah-kaidah yang apabila dilanggar ada akibatnya dan bagi mereka

yang melanggar dapat dituntut dan dihukum. Kompleks adat-adat inilah yang

kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasi (ongecodifiseerd), dan bersifat

paksaan (dwang) mempunyai akibat hukum (rechtsgevolg), kompleks ini disebut

hukum adat (adatrecht). Hukum adat menurut Seminar Hukum Adat 1975 di

Yoyakarta,29

adalah hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk

perundang-undangan Republik Indonesia yang di sana-sini mengandung unsur-

unsur agama.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Hukum Adat Bali

adalah “keseluruhan peraturan-peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis,

termasuk peraturan-peraturan agama serta kebiasaan-kebiasaan yang hidup dalam

masyarakat Hindu di Bali. Pelanggaran terhadap peraturan tersebut akan

menimbulkan reaksi dan sanksi adat”.

2.2.4 Konsep tentang Sanksi Hukum

Sanksi hukum menurut E Utrecht adalah “akibat suatu perbuatan atau

suatu reaksi dari pihak lain (manusia atau organisasi sosial) atas suatu

perbuatan”.30

Sanksi terhadap pelanggarnya dapat dipaksakan dan dapat

dilaksanakan di luar kemauannya. Menurut Achmad Ali “sanksi hukum tidak

perlu berwujud hukuman fisik atau pencabutan kepemilikan. Bentuk sanksi terkait

29

I Gede A.B. Wiranata, 2005, Hukum Adat Indonesia Perkembangan dari Masa ke

Masa Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 52. 30

Chainur Arrasjid, 2004, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Cetakan ketiga, Sinar Grafika,

Jakarta, h. 23.

Page 17: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

17

dengan kultur dan subkelompok dimana sanksi tersebut digunakan, dan hal itu

dapat bersifat fisik atau psikologis”.31

Berdasarkan uraian di atas sanksi hukum adat adalah sanksi yang pada

umumnya tidak tertulis namun memiliki kemampuan untuk memaksakan terhadap

pelanggarnya. Sanksi hukum adat tidak perlu berwujud fisik, justru dalam bentuk

psikislah sanksi adat lebih ditakuti oleh masyarakat. Istilah sanksi adat dapat juga

disebut sebagai reaksi adat. Reaksi adat pada umumnya perlu diselesaikan.

Penyelesaian ini merupakan makna dari sanksi adat itu sendiri dengan cara

mengembalikan keseimbangan yang telah dilanggar atau terganggu. Masyarakat

yang demikian mempunyai budaya hukum yang sangat kuat, di mana anggota

masyarakatnya menjunjung tinggi peraturan-peraturan, ugeran-ugeran, atau

kaidah-kaidah yang merupakan warisan turun-temurun atau kaidah-kaidah yang

telah disepakati dalam hidup bersama untuk mencapai ketertiban dan kedamaian

masyarakatnya.

2.2.5 Konsep tentang Sanksi Adat

Menurut Widnyana,32

“sanksi adat merupakan salah satu reaksi adat

terhadap pelanggaran aturan-aturan adat atau tidak dilaksanakannya peraturan-

peraturan adat.” Lebih lanjut Widnyana menyatakan bahwa “sanksi adat

dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu akibat adanya

pelanggaran adat”. Sanksi adat ini selalu disertai dengan suatu kejadian atau

perbuatan yang harus dipertanggungjawabkan oleh si pelaku maupun keluarganya.

31

Achmad Ali dan Wiwie Heryani, 2012, Resep Hukum Sebuah Bunga Rampai, Cetakan

Pertama Kencana Prenada media Group, h.83. 32

I Made Widnyana, 1992, Eksistensi Delik Adat Dalam Pembangunan, Orasi Ilmiah,

disampaikan di hadapan Sidang Terbuka Senat Universitas Udayana, h.11.

Page 18: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

18

Biasanya perbuatan untuk melaksanakan sanksi adat selalu disertai dengan suatu

upacara yang di Bali dikenal dengan istilah “pamarisuddhan” yaitu upacara

pembersihan desa dari perasaan kotor alam gaib. Perbuatan ini bukanlah

dimaksudkan sebagai suatu siksaan atau suatu penderitaan, akan tetapi untuk

mengembalikan keseimbangan kosmis”. Berdasarkan uraian di atas sanksi adat

dikenakan untuk mengembalikan ketidakseimbangan akibat dilanggarnya suatu

aturan. Aturan tersebut bisa dari desa pakraman, bisa juga dari keluarga besar.

Jenis sanksi yang pernah dikenal dalam hukum adat sebagai berikut.

a. Danda adalah sejumlah uang yang dikenakan kepada seseorang yang

melanggar suatu ketentuan (awig-awig) di banjar/desa.

b. Kesepekang adalah tidak diajak bicara oleh karma (warga) banjar/desa

karena melanggar peraturan-peraturan di banjar/desa.

c. Maprayascitta adalah suatu upacara adat untuk membersihkan

desa/tempat tertentu apabila terjadi suatu peristiwa/perbuatan tertentu

yang dianggap mengganggu keseimbangan magis dalam kehidupan

masyarakat (dianggap mengotori desa).

d. Selong adalah sejenis hukuman di mana seseorang dibuang ke tempat

lain untuk beberapa lama karena melanggar sesuatu ketentuan

adat/agama.33

e. Mapulang ke pasih (ditenggelamkan ke laut).34

Dari uraian tentang sanksi adat di atas, dapat dikemukakan jenis sanksi

hukum adat perkawinan antar-wangsa sebagai berikut.

a. labuh geni (terjun ke dalam bara api) bagi perempuan,

b. labuh batu (ditengelamkan ke dalam laut dan kakinya diperberat dengan batu)

bagi laki-laki,

c. selong (dibuang/diasingkan ke suatu daerah di luar pulau Bali atau di luar

kota, di luar desanya),

33

TIP. Astiti, 1982, Inventarisasi Istilah-Istilah Adat/Agama dan Hukum Adat di Bali,

(Laporan Penelitian), h.28-31. (Selanjutnya disebut Astiti II). 34

Tjok Raka Dherana dan I Made Widnyana, 1976, Agama Hindu dan Hukum Pidana

Nasional (makalah). h. 29.

Page 19: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

19

d. danda dapat dilakukan dengan membayar dalam bentuk uang, dan dapat pula

dilakukan dalam bentuk hukuman selong atau hukuman kurungan sebelum

tahun 1951, jika si pelaku tidak mampu membayar.

e. Sanksi penurunan wangsa dengan melakukan upacara patiwangi.

f. Sanksi sosial dan sanksi pisikis dari masyarakat dan keluarga.

2.2.6 Konsep tentang Dinamika Sanksi

Berbicara dinamika tentang sanksi maka, tidak dapat lepas dari dinamika

hukum itu sendiri. Djojodigoeno,35

menyebutnya sebagai dinamika hukum yaitu

hukum bersifat hidup. Dinamis artinya, bilamana hukum dapat mengikuti

perkembangan masyarakat. Dalam perkembangannya hukum membutuhkan

perubahan dasar-dasar hukum sepanjang perjalanan sejarahnya. Bilamana

dikehendakkan penunaian keadilan dalam pelaksanaannya dan pemeliharaannya,

yang memberi kemungkinan kepada hakim untuk mengambil suatu keputusan

yang berlainan di dalam masalah hukum yang sama, namun diadili dalam waktu

yang berlainan, berdasarkan perbedaan azas-azas hukum yang selalu berkembang

menurut perkembangan masyarakat.

Lebih lanjut, Djojodigoeno mengemukakan tentang hukum juga

mempunyai sifat plastis,36

yaitu bilamana pelaksanaan hukum terdapat dua

masalah hukum di mana termasuk dalam satu pola atau satu tipe, mungkin sekali

berdasarkan pelbagai peristiwa yang berbeda-beda. Bilamana perbedaan itu

relevan sifatnya, perbedaan itu haruslah diperhatikan agar dapat ditunaikan

35

Djojodigoeno M.M., 1950, Menyandra Hukum Adat, Yayasan Badan Penerbit Gajah

Mada, h.9-10. (Selanjutnya disebut Djojodigoeno II). 36

Ibid, h.11

Page 20: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

20

keadilan. Sebaliknya, bilamana perbedaan dalam pelaksanaan dan pemeliharaan

hukum itu tidak memproleh perhatian, maka perbedaan tersebut bersifat tegar.

Widnyana mengemukakan bahwa hukum adat adalah hukum yang selalu

tumbuh dan berubah. Demikian pula halnya dengan sanksi adat yang timbul,

berkembang dan lenyap sesuai dengan perubahan masyarakat37

. Perubahan akan

membutuhkan perubahan-perubahan tentang dasar-dasar hukum sepanjang sejarah

hukum itu sendiri, sehingga selalu berkembang menurut perkembangan

masyarakatnya. Hukum plastis bersifat elastis artinya, pelaksanan hukum di

masyarakat bisa saja tidak sama terhadap suatu permasalahan yang sama,

disebabkan oleh latar belakang baik subyek maupun obyek hukum tersebut.

Berdasarkan pendapat di atas dapat dikemukakan tentang dinamika hukum

adalah hukum yang memiliki sifat dinamis dan plastis artinya, hukum itu hidup

dan dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat.

Hukum tidak bisa di pisahkan dengan sanksinya, jika hukum berubah maka

sanksinya pun mengalami perubahan. Jika sanksi mengalami perubahan maka

makna sanksi juga berubah. Pada umumnya perubahan hukum itu menuju ke arah

hukum yang lebih baik, dan sanksi menuju ke arah yang lebih ringan, lebih

manusiawi, dan lebih adil. Dengan demikian maka sanksi hukum adat mengalami

dinamika.

37

I Made Widnyana, 1992, Op., Cit, h.12.

Page 21: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

21

2.2.7 Konsep tentang Wangsa, Warna, dan Kasta

Konsep tentang Wangsa

Menurut Wiana dan Raka Santri,38

wangsa berasal dari kata wang dan sa,

wang artinya keturunan/asal, sedangkan sa memiliki arti satu, jadi wangsa artinya

satu keturunan. Untuk membuktikan bahwa catur wangsa memang benar berasal

dari satu keturunan sebaiknya memahami terlebih dahulu tentang sejarah wangsa

di Bali. Untuk tujuan itu akan dikemukakan secara singkat sejarah kerajaan di Bali

dimulai dari awal berkuasanya kerajaan Majapahit. Setelah runtuhnya Kerajaan

Bedahulu oleh ekspedisi laskar Gajah Mada, maka terjadi kekosongan pimpinan

di Bali.39

Gajah Mada atas restu Raja Majapahit mengangkat putra Mpu

Kepakisan yang bernama Mpu Kresna Kepakisan seorang keluarga Brahmana

yang berasal dari Daha menjadi raja di Bali yang bergelar Sri Kresna

Kepakisan(1350-1380). Pada awal pemerintahan Sri Kresna Kepakisan

nampaknya masih menggunakan sistem warna. Hal ini terbukti dari pengangkatan

tersebut kemudian status brahmana-nya berubah menjadi ksatrya. Perubahan

tugas menyebabkan Mpu yang menunjukkan lapisan brahmana, berubah menjadi

Sri yang menunjukkan lapisan ksatrya.40

Pada zaman Sri Kresna Kepakisan, banyak bangsawan dari Majapahit ikut

ke Bali. Bangsawan ini merupakan kelompok elit baru yang memegang peranan

penting atas struktur pelapisan sosial masyarakat di Bali. Pada zaman Sri Kresna

Kepakisan memerintah Bali mulai menciptakan wangsa-wangsa, yang kemudian

dikelompokkan sebagai Ksatrya dan Wesya. Keturunan raja dan ksatrya Bali Aga

38

Wiana dan Raka Santri, Op., Cit., h. 120. 39

Nyoka,1990, Sejarah Bali, Penerbit Toko Buku Ria Denpasar Bali, h.1 40

Ibid, h.18

Page 22: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

22

menolak sistem kasta, kemudian mereka dikelompokkan sebagai Sudra.

Kelompok ini kemudian menyebut diri sebagai Jaba (luar) yang berarti golongan

di luar kasta Brahmana, Ksatrya dan Wesya.41

Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan sistem wangsa timbul sejak

zaman dinasti Sri Kresna Kepakisan. Pada zaman inilah kemudian dikembangkan

stratifikasi sosial yang disebut sistem wangsa yang berlaku sampai saat ini. Sistem

wangsa terdiri dari wangsa berahmana, ksatrya, weisya, dan jaba wangsa. Ke-

empat wangsa ini memiliki hubungan yang bersumber dari satu keturunan.

Konsep tentang Warna

Warna42

berasal dari bahasa Sanskerta yaitu urat kata Vri- yang berarti

memilih lapangan pekerjaan. Catur warna membagi masyarakat Hindu menjadi

empat kelompok profesi. Warna ditentukan oleh guna dan karma. Sistem warna

pernah diterapkan dalam masyarakat Hindu di Bali. Buktinya adalah Prasasti Bila

yang berangka tahun Saka 995 (1073) di mana masyarakat menganut sistem

pembagian masyarakat atas Catur Warna. Jadi sistem warna sudah ada pada masa

Bali Kuna dan tidak merupakan hak yang bersifat turun temurun.43

Pelapisan

masyarakat berdasarkan sistem warna menganut stelsel horizontal.

Dalam kitab-kitab suci agama Hindu yaitu Veda, Manawa Dharmacastra,

dan Bhagawad Gita digunakan istilah “warna”. Berdasarkan Teori Weda warna

adalah organisasi sosial yang membuat perbedaan antara status dan kekuasaan

(yang biasanya dikaitkan dengan supremasi kerohanian yang berkaitan dengan

41

Ibid h.22-23 42

Wiana dan Raka Santri, Op.Cit. h.37. 43

Ibid, h.85

Page 23: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

23

duniawi)44

. Sistem warna terdiri atas empat kategori yaitu Brahmana, Ksatrya.

Wesya, dan Sudra, yang sesungguhnya berbeda dengan konsep kasta atau jati,

tetapi warna adalah kelas berdasarkan kelompok profesi.

“Hymne Purusa sukta dari Rg Weda membandingkan masyarakat dengan

seekor gajah. Brahmana adalah kepalanya, Ksatrya sebagai lengannya, Wesya

sebagai belalainya (trunk), dan sudra sebagai kakinya. Disebutkan pula bahwa

tidak ada elemen dari keseluruhan yang boleh mengklaim diri sebagai terpenting

dan superior dari yang lain. Di sini kolaborasi dan pertukaran, saling memberi

pelayanan adalah esensi dari teori warna”.45

Dalam konsep Mahapurusa mengajarkan bahwa ada empat jenis manusia

yang lahir dari badan Mahapurusa (Tuhan). Brahmana lahir dari kepala, Ksatrya

lahir dari tangan, Wesya lahir dari perut dan Sudra lahir dari kaki. Keempat jenis

profesi tersebut saling membutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh

karena itu keempat profesi itu harus dipandang sebagai suatu kesatuan yang bulat.

Namun jika ditinjau dari hakikat dan martabatnya keempat jenis warna itu harus

diartikan sederajat.46

Perubahan makna, sikap akan tergantung pada pergeseran

nilai-nilai yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Hindu47

.

Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa sistem warna

merupakan status yang dimiliki seseorang atas dasar profesi yang diperolehnya

melalui kemampuannya sendiri. Warna sama sekali tidak berdasarkan keturunan.

Sistem pelapisan sosial berdasarkan warna merupakan pelapisan sosial yang

44

I Wayan Ardika dkk., Op.Cit. h.317. 45

Ibid. h.317. 46

Made Pasek Diantha dan I Gede Pasek Eka Wisanjaya, Op.Cit, hal 50-51 47

Wiana dan Raka Santri, Op. Cit, h. 320

Page 24: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

24

sesuai dengan prinsip-prinsip HAM. Dalam sistem warna sudah mengandung

prinsip penghormatan terhadap martabat manusia, prinsip kesetaraan/kesamaan

kedudukan, dan prinsip keadilan yang sesuai dengan profesi masing-masing.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas PHDI Pusat telah menerbitkan

Bhisama yaitu Bhisama Sabha Pandita Nomor: 03/X/PHDI Pusat/ 2002 yang

mengatur pengamalan Catur Warna sesuai dengan Kitab Suci Veda dan susastra

hindu lainnya. Dalam bhisama disebutkan Catur warna48

adalah ajaran agama

Hindu tentang pembagian tugas dan kewajiban masyarakat atas “guna” dan

“karma” dan tidak terkait dengan kasta atau wangsa. Dengan demikian dapat

dinyatakan bahwa sistem warna paling tepat untuk masyarakat Hindu di Bali.

Konsep tentang Kasta

Kasta dibawa oleh orang Portugis ke Indonesia pada abad ke-16, berasal

dari bahasa latin castus yang berarti bersih, murni yaitu suatu istilah yang

ditujukan kepada stuktur sosial masyarakat India pada masa itu. Kasta merupakan

sistem ketidaksamaan yang dilembagakan, sehingga kasta berbeda dengan sistem

warna.”49

Wiana dan Raka Santri50

mengemukakan bahwa istilah kasta dalam arti

sebenarnya, yaitu menggolongkan masyarakat berdasarkan perbedaan status sosial

yang bersifat turun temurun. Pendapat inilah dijadikan acuan oleh masyarakat

Hindu di Bali di dalam menggunakan penggolongan masyarakat berdasarkan

keturunan.

48

I Gusti Gurah Sudiana, 2007, Samhita Bhisama Parisada Hindu Dharma Indonesia,

Penerbit Parisada Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali, h.145. 49

I Wayan Ardika dkk., Op.Cit. h.317. 50

I Ketut Wiana dan Raka Santri, Op.Cit, h. 25-26.

Page 25: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

25

Ardika dkk.51

mengemukakan bahwa sistem kasta adalah suatu sistem

yang membagi masyarakat ke dalam sejumlah unit yang terpisah secara lengkap,

hubungan-hubungan di antara unit ditentukan secara ritual dalam satu bentuk

klasifikasi. Kasta sebagai kelompok sosial memiliki dua karakter, yaitu.

1) Keanggotaan dibatasi dari kelompok siapa dilahirkan,

2) Anggota dilarang keras melakukan perkawinan dengan orang dari luar

kelompoknya. Setiap orang dari kelompok demikian memiliki sebutan,

dengan cara apa mereka dipanggil.

Kasta52

memiliki konsepsi dasar yang amat berbeda dengan warna. Kasta

untuk menyebut lapisan-lapisan, tingkatan-tingkatan, atau stratifikasi masyarakat

Hindu di India pada zaman lampau. Kasta di India membeda-bedakan harkat dan

martabat manusia berdasarkan keturunan. Kasta membagi masyarakat menjadi

empat golongan secara vertikal genealogis. Kasta Brahmana tertinggi, Ksatrya

golongan kedua, Waisya golongan ketiga, dan Sudra adalah golongan yang paling

rendah, bahkan ada golongan yang lebih rendah lagi dari golongan Sudra yang

disebut golongan Candala (cacat) yang juga disebut sebagai kasta Paria.

Pengaruh sistem kasta sangat besar terhadap masyarakat Hindu di Bali.

Lontar Brahmakta Widhi Sastra dan lontar Tri Agama53

menyebutkan bahwa,

tiap-tiap golongan kasta itu sudah mempunyai tugas masing-masing di dalam

masyarakat. Tugas yang harus dilaksanakan merupakan tugas atau kewajiban suci.

Kewajiban harus dilakukan menurut norma agama Hindu, dengan demikian

sistem kasta tidak lain dari pada perwujudan strata sosial yang diatur oleh norma

51

I Wayan Ardika dkk., Op. Cit, h.317. 52

I Ketut Wiana dan Raka Santri, Op. Cit. h.18 53

Anak Agung Putra Agung, Op. Cit. h.62.

Page 26: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

26

agama. Oleh sebab itu tiap-tiap kasta mempunyai aturan-aturan atau Kitab

Undang-Undang yang harus ditaati, dan apabila dilanggar dapat mengakibatkan

dipatita. Patita artinya, diturunkan kastanya. Hal ini berbeda dengan istilah nyineb

yang artinya, secara sengaja menghilangkan identitas diri agar tidak diketahui oleh

orang-orang tertentu.

Sistem kasta berkaitan erat dengan hukum adat perkawinan. Sistem kasta

menghendaki adanya perkawinan endogami kasta. Hukum adat perkawinan pada

masyarakat Hindu di Bali, dikenal adanya perkawinan yang bersifat larangan yang

dilindungi oleh undang-undang atau peswara-peswara pada zaman kerajaan dan

zaman kolonial. Peswara54

adalah suatu peraturan atau tata yang penjelmaannya

dari kehendak penguasa zaman raja-raja yang pada hakikatnya juga untuk

mengatur kehidupan masyarakat, seperti larangan kawin dengan saudara

sekandung, saudara ayah, saudara ibu, atau anak dari saudara sekandung.

Sehubungan dengan adanya larangan perkawinan, Bushar Muhammad

berpendapat bahwa hubungan seksual antara dua orang yang berlainan kasta yaitu

wanita Brahmana kawin dengan pria Sudra di Bali merupakan delik yang berat.55

Tidak dijelaskan lebih rinci apa yang dimaksud dengan delik yang berat tersebut.

Tampaknya delik berat yang dimaksud oleh Bushar Muhammad adalah delik adat

Asu Pundung.

54

I Ketut Artadi, 2006, Hukum Dalam Prespektif Kebudayaan Pendekatan Kebudayaan

Kepada Hukum, Pustaka Bali Post, h.80. (Selanjutnya disebut Artadi I). 55

Bushar Muhammad, 1991, Pokok-Pokok Hukum Adat, Cetakan kelima, Penerbit PT.

pradnya Paramita Jakarta, h.64. (Selanjutnya disebut Bushar Muhammad II).

Page 27: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

27

Putra Agung mengemukakan Asu Pundung dan Alangkahi Karang Hulu

adalah larangan kawin dengan kasta yang lebih tinggi.56

Ia menjelaskan sebagai

berikut.

(1) Asu Pundung adalah larangan perkawinan bagi orang laki-laki dari kasta

Ksatrya, Wesya dan Sudra dengan seorang gadis atau wanita dari kasta

Brahmana.

(2) Alangkahi Karang Hulu adalah larangan perkawinan bagi orang laki-laki dari

kasta Weisya dan kasta Sudra dengan seorang gadis atau wanita dari kasta

Ksatrya.

Pelanggaran terhadap larangan perkawinan tersebut di atas dapat dijatuhi

hukuman penjara atau dikenakan hukuman “selong” atau buangan.

Sejalan dengan Putra Agung, Kembar Kerepun mengemukakan bahwa

sistem kasta masih mencekoki benak orang Bali sekarang. Sistem kasta

sebenarnya dihidupkan kembali oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun

1910 setelah seluruh Bali ditaklukkannya. Konferensi Pemerintahan

(Bestuurconfrentie) yang berlangsung di Singaraja dari 15, 16, dan 17 September

1910 dihadiri oleh seluruh anggota BB (Binnenlandsch Bestuur), pegawai tinggi

bangsa Belanda dari seluruh Bali dan Lombok. Para ningrat/kaum bangsawan

Bali dan Lombok hadir pada konferensi itu sebagai penasihat. Mereka ikut

memberikan usulan yang mudah ditebak, yang hanya akan menguntungkan

golongannya sendiri. Pada konferensi itulah Belanda mengambil keputusan yang

sangat fundamental bagi tatanan politik di Bali pada waktu itu. Konferensi

56

Putra Agung, 1964, Op.cit, h.67.

Page 28: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

28

memutuskan “het kastenwezen hoog te houden, zijende de voornaamste grondslag

van de Balische Maatshcppij ( to uphold the caste concept, being the principal

foundation of Balinese society).57

Artinya, sistem kasta dijunjung tinggi-tinggi

karena kasta merupakan fondasi masyarakat Bali.

Untuk melegitimasi (mengukuhkan secara hukum) sistem perkastaan58

“Pemerintah dengan bantuan baudanda-baudanda (pejabat pada zaman kolonial

Belanda) di Bali dan Lombok, memberlakukan hukum kuna Majapahit yang pasti

menjamin kewibawaan dan keajegan sistem kasta tersebut. Pilihan jatuh pada

kitab hukum kuna, seperti Agama, Adi Agama, Purwa Agama, Kutara Agama

sebagai hukum positif. Kitab hukum itulah nantinya sebagai standar absolut bagi

Raad Kerta di Bali. Semua kitab ini memakai istilah agama, namun substansinya

sangat diskriminatif, karena mengabdi pada kepentingan golongan tri wangsa.

Pada zaman Majapahit disusun kitab Adigama sebagian menyebutnya Kitab

Undang-Undang Agama59

yang berlaku di wilayah jajahan Majapahit. Istilah

Agama menunjukkan undang-undang. Kitab-kitab Agama tersebut di atas dikenal

dengan peraturan-peraturan asli bangsa Indonesia yang di sana-sini ada pengaruh

agamanya yaitu agama Hindu. Semenjak dikuasainya Bali sebagai daerah jajahan

Belanda, maka otomatis Raja di Bali kemudian menjadi abdi atau parekan Ratu

Wolanda60

, secara tegas diusung dengan sebutan ”Sang Jummeneng Gustin

Titiang”.

57

Kembar Kerepun, Op. Cit. h.13. 58

Ibid h.14. 59

Otje Salman Soemadiningrat, 2002, Rekonseptualisasi Hukum Adat sebagai Hukum

yang Hidup dalam Masyarakat, Cetakan pertama, Penerbit PT.Alumni Bandung, h.56. 60

Kembar Kerepun, Op.Cit.h. 49-50.

Page 29: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

29

Wiryasuta dalam Surya Kanta, 23 Maret 1926, mengemukakan bahwa

dengan dijajahnya Bali oleh Belanda, maka sistem kasta di Bali dengan sendirinya

tumbang dan lenyap. Oleh karena semua orang Bali tanpa kecuali adalah kawula

(panjak) Ratu Wolanda. Semua orang Bali menjadi sudra bagi penjajah Belanda.

Setelah Bali ditundukkannya, Belanda tidak mau lagi menggunakan istilah

kerajaan dan istilah raja bagi keturunan bekas raja-raja di Bali. Istilah yang

dipergunakan adalah Negara Bestuurder (kepala Pemerintahan Bumi Putra) dan

sebutan Para Agung sebagai sebutan bagi bekas raja-raja di Bali.

Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa larangan perkawinan Asu

Pundung dan Alangkahi Karang Hulu mencontoh pengaruh kasta pada zaman

kolonial. Sistem kasta tidak patut dipertahankan, apa lagi dianggap sebagai

kearifan lokal pada zaman kemerdekaan yang menganut prinsip-prinsip HAM.

Kearifan lokal adalah sesuatu yang sangat menghargai hal-hal yang baik, tidak

mengandung pelecehan, menghormati ajaran agama, menghormati status sosial

manusia di dunia, dan menghargai lingkungan.

2.2.8 Konsep tentang Perkawinan

Hadikusuma61

menyatakan di Indonesia aturan tata-tertib perkawinan

sudah ada sejak zaman kuno yaitu sejak zaman Sriwidjaya, Majapahit, sampai

pada masa Kolonial Belanda dan sampai Indonesia telah merdeka. Bahkan aturan

perkawinan itu tidak saja menyangkut warga negara Indonesia, tetapi juga

menyangkut warga negara asing karena bertambah luasnya pergaulan bangsa

Indonesia.

61

Hilman Hadi Kusuma, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan,

Hukum Adat, Hukum Agama, Cetakan pertama, Mandar Maju, Bandung, h.1.

Page 30: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

30

Perkawinan merupakan awal dari suatu kehidupan berkeluarga, sehingga

perkawinan merupakan bagian dari hukum keluarga. Hukum keluarga masyarakat

Hindu menganut sistem kapurusa yang identik dengan sistem patrilinial yang

mengutamakan garis keturunan bapak/laki-laki. Intitusi perkawinan merupakan

wadah untuk menampung perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, agar

kehidupan di dunia dapat berkembang.

Hadikusuma62

menyatakan,” karena manusia adalah makhluk Tuhan yang

mempunyai pikiran dan emosi, maka perkawinan merupakan salah satu budaya

manusia dalam kehidupan masyarakat”. Dalam masyarakat yang berstruktur

budaya masih sederhana, perkawinan akan bersifat sederhana, sempit, tertutup,

sedangkan dalam masyarakat dengan stuktur budaya sudah maju, perkawinan juga

mempunyai makna yang kompleks dan pelaksanaannya pun akan lebih terbuka

dan maju. Kaidah yang mengatur tentang perkawinan itu terus bertambah maju

seiring dengan perkembangan struktur masyarakat di bawah suatu kekuasaan

negara.

Perkawinan menurut Pasal 1 dan Pasal 2 Undang-undang Perkawinan63

menegaskan bahwa perkawinan ialah “ikatan lahir bathin antara seorang wanita

dengan seorang laki-laki sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”

dan Pasal 2 menyebut “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”

62

Loc.Cit 63

Pasal tersebut di atas dapat dilihat dalam Himpunan Peraturan PerUndang-undangan,

Undang-undang Perkawinan dan Pelaksanaan Pengangkatan Anak, Penerbit Fokus Media

Bandung, 2007, h.1-2.

Page 31: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

31

Berdasarkan uraian di atas perkembangan hukum perkawinan dipengaruhi

oleh perkembangan budaya masyarakat. Dengan demikian kaidah yang berlaku

pada suatu masyarakat tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan di

mana masyarakat itu berada. Ia dipengaruhi oleh pengetahuan, kebiasaan,

kepercayaan, dan agama yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Seperti

halnya kaidah hukum perkawinan masyarakat Hindu yang di atur dalam Hukum

Adat Bali tercantum dalam awig-awig desa pakraman. Perkawinan dalam awig-

awig disebut “pawiwahan”. Adapun perkawinan menurut Awig-awig Desa

Pakraman antara lain:

a. Pawiwahan menurut Awig-Awig Desa Adat Sesetan64

“Pawiwahan inggih

punika patemoning purusa pradana, melarapan panunggalan kayun suka cita

kadulurin upasaksi sekala-niskala”.

b. Pawiwahan menurut Awig-Awig Desa Pakraman Kesiman65

“Pawiwahan

inggih punika patemon purusa lawan pradana malarapan antuk panunggalan

kayun medasar tresna asih maduluran widhi widana upasaksi sekala

niskala”.

c. Pawiwahan menurut Awig-Awig Desa Pakraman Medahan66

“Pawiwahan

inggih punika patemoning purusa kelawan pradana malarapan panunggalan

pikayun pada lila, kadulurin upasaksi sekala lan niskala”.

Di samping ketiga awig-awig tersebut di atas ditemukan perihal tentang

kewajiban upacara patiwangi di Desa Pakraman Kuwum Kecamatan Marga

64

Awig-Awig Desa Adat Sesetan Kecamatan Denpasar Selatan Kota Denpasar, 2002, h.31 65

Awig-Awig Desa Pakraman Kesiman Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denpasar,

2010, h.34. 66

Awig-Awig Desa Pakraman Medahan Kecamatan Blahbatuh Kabupaten Gianyar, 2009,

h.18.

Page 32: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

32

Tabanan. Pawiwahan menurut Awig-Awig Desa Pakraman Kuwum67

yang

tercantum dalam Pancamas Sargah Sukertan Tata Pawongan Palet 1 Pawos 38

(1), inggih punika pakilit jaba-jero pantaraning purusa-pradhana pinaka

dampati, sane matetujon ngawangun kulawarga bagia lan langgeng mapagamel

sradhan ring Ida Sang Hyang Widhi/Sang Hyang Tunggal.

Berdasarkan beberapa awig-awig desa pakraman di atas, perkawinan atau

pawiwahan pada intinya memiliki pengertian yang sama. Pawiwahan adalah

hubungan lahir batin antara laki-laki dan perempuan yang berstatus purusa dan

predana, disertai dengan pelaksanaan upacara sekala dan niskala.

Dalam Awig-Awig Desa Pakraman Kuwum peneliti menemukan

kewajiban melakukan patiwangi tercantum dalam Pawos 39 Tatacaraning

Pawiwahan (5) yang berbunyi: Yaning pawiwahan pengambilannya tiyos wangsa

patut ngemargiang mepatiwangi utawi munggah wangi ring merajan sang sane

mawiwaha. Yening tiyos agama patut ngemargiang upacara sudhiwidani

sedurung ngelaksanayang pengantenan. Magenah ring Bale Agung.68

Perkawinan dalam awig-awig tersebut sudah selaras dengan Pasal 1 dan

Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan.69

Awig-Awig desa yang telah diteliti selain Awig-Awig Desa Pakraman Kuwum

tidak ada yang mengatur perkawinan antar-wangsa. Dengan demikian dapat

67

Awig-Awig Desa Pakraman Kuwum Kecamatan Marga Kabupaten Tabanan, Warsa

2014, h. 22. 68

Ibid, 24. 69

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Perkawinan adalah ikatan lahir bathin

antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 2(2)

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu.

Page 33: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

33

dinyatakan bahwa Awig-Awig Desa Pakraman Kuwum masih mengatur kewajiban

tentang pelaksanaan patiwangi. Nampaknya kelian adat/bendesa adat sewaktu

menyusun awig-awig tersebut mengabaikan hukum negara dan mengutamakan

hukum yang hidup dalam masyarakat, namun hukum yang hidup tersebut ternyata

sudah usang. Oleh karena pelaksanaan patiwangi tidak selaras dengan Keputusan

DPRD Bali Nomor 11 Tahun 1951, UU Nomor 1 Tahun 1974, UU Nomor 7

Tahun 1984, Bhisama PHDI Tahun 2002, Keputusan MUDP 2010, dan Prinsip-

prinsip HAM.

2.2.9 Konsep tentang Perkawinan Antar-wangsa

Konsep perkawinan antar-wangsa tidak diatur dalam peraturan perundang-

undangan negara. Namun larangan perkawinan antar-wangsa dapat ditemukan

dalam kitab-kitab agama Hindu maupun lontar-lontar agama Hindu. Dengan

demikian dapat dikemukakan perkawinan antar-wangsa menurut Manawa

Dharmacastra. Dalam Manawa Dharmacastra dibedakan antara perkawinan

“anuloma” dan perkawinan “pratiloma”. Perkawinan anuloma adalah perkawinan

menurut garis menurun yaitu perkawinan antara laki-laki golongan bramana

mengawini perempuan dari golongan ksatrya, wesya, dan sudra. Laki-laki dari

golongan ksatrya mengawini perempuan dari golongan weisya dan sudra. Laki-

laki dari golongan wesya mengawini perempuan dari golongan sudra. Perkawinan

pratiloma adalah laki-laki dari golongan sudra mengawini perempuan wesya,

ksatrya, dan brahmana. Laki-laki dari golongan wesya mengawini perempuan dari

golongan ksatrya dan brahmana. Laki-laki dari golongan ksatrya mengawini

perempuan brahmana. Konsep perkawinan dalam penelitian ini termasuk

Page 34: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

34

perkawinan antar-wangsa dalam arti pratiloma, dan tidak menutup kemungkinan

akan menyinggung juga tentang perkawinan anuloma.

Konsep perkawinan antar-wangsa berdasarkan Keputusan DPRD Bali

Nomor 11 Tahun 1951 menetapkan peswara yang mengatur perhubungan antara

catur wangsa di Bali yaitu:

Pasal 2; Yang disebut Asu Pundung ialah : Gadis (wanita) dari kasta

Brahmanawangsa dikawini oleh laki-laki dari kasta ksatrya, wesya, dan

sudrawangsa.

Pasal 3; Yang disebut Alangkahi Karang Hulu : Gadis (wanita) dari

ksatryawangsa dikawini oleh laki-laki dari kasta wesya, sudrawangsa.

Gadis (wanita) dari kasta Wesyawangsa dikawini oleh laki-laki dari kasta

Sudrawangsa.

Pasal 4; Hukum adat yang disebut Asu Pundung dan Alangkahi Karang

Hulu, termuat pada Pasal 2 dan 3 dihapuskan.

Pasal 5; Peraturan ini dapat disebut peraturan perhubungan perkawinan

antara catur wangsa di Bali dan mulai berlaku pada hari diumumkan yaitu

12 Juli 1951.

Penelitian ini menganut konsep perkawinan antara wangsa berdasarkan

Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Tahun 1951. Peneliti tidak menggunakan

perkawinan beda wangsa, oleh karena konsep beda wangsa akan cenderung

menimbulkan perbedaan perlakuan, perbedaan hak dan kewajiban dalam hidup

berkeluarga dan bermasyarakat. Dengan demikian perkawinan antar-wangsa

adalah perkawinan yang dilakukan oleh laki-laki catur wangsa dengan perempuan

catur wangsa disertai dengan pelaksanaa upacara sekala dan niskala.

Page 35: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

35

2.2.10 Konsep tentang HAM dan HAM Perempuan

Konsep tentang HAM

Bangsa Indonesia telah memiliki nilai-nilai yang berkaitan dengan hak

azasi manusia. Menurut Mansyhur Effendi,70

HAM bukan “komoditas” (ide)

impor dari luar, tetapi HAM milik bangsa Indonesia. Nilai-nilai HAM yang

terkandung dalam Pancasila yaitu sila kedua yang berbunyi:” Kemanusiaan yang

adil dan beradab”. Artinya, nilai kemanusiaan yang adil mengandung suatu

makna bahwa hakikat manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan beradab

harus berkodrat adil, adil terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain.

HAM terwujud dalam ungkapan budaya di beberapa daerah, seperti di

Aceh dikenal ungkapan “ tamubri saleunem tanda horrumat jaroe tamumat tanda

meulia” yang artinya, memberi salam tanda orang menghormati sesamanya, jabat

tangan berarti memuliakan sesamanya.”

Di Bali juga memiliki nilai-nilai yang menghormati kesederajatan manusia

dan menjunjung tinggi martabat manusia, yaitu

1) Ajaran Tat Twam Asi, dalam kamus Agama Hindu71

(tat= itu, twam= engkau,

asi= adalah) Tatwamasi adalah suatu ajaran yang menyatakan “saya adalah

kamu”, artinya, apabila merendahkan martabat orang lain berarti pula

merendahkan martabat diri sendiri.

2) Ajaran Manusapada nampaknya merupakan konstruksi masyarakat jaba

wangsa kira-kira tahun 1926, pada saat terjadinya pertentangan kasta di Bali

Utara. Ajaran Hindu ini dapat ditemukan dalam penjelasan tentang bakti

70

Mansyhur Effendi dan Taufani Sukmana Evandri, Op,Cit., h.136. 71

Anonim, 2005, Kamus Istilah Agama Hindu, Milik Pemerintah Provinsi Bali

Pengadaan Buku Penuntun Agama Hindu, h.3.

Page 36: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

36

kepada Tuhan,72

bahwa tidak ada perbedaan antara golongan manusia yang

rendah dan golongan manusia yang tinggi. Dengan demikian semua manusia

berkedudukan sama di hadapan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa).

Namun dalam dunia yang fana ini dinyatakan ada perbedaan antara golongan

manusia yang rendah dan golongan manusia yang tinggi, antara laki-laki dan

perempuan.

3) Ahimsa73

dalam Bhagavad-Gita berarti tidak menghalang-halangi kehidupan

makhluk hidup manapun yang mau maju dari satu jenis kehidupan ke jenis

kehidupan lain. Dengan kata lain tidak menghalang-halangi kemajuan siapa

pun dalam kehidupan. Berdasarkan kamus istilah Agama Hindu (a= tidak;

himsa= membunuh) tidak membunuh-bunuh, dan tidak menyakiti. Ahimsa

adalah dasar pertama dalam asta anngayoga untuk mencapai Samadhi.74

Dalam gaguritan Dharma Prawerti juga disebutkan tentang Ajaran Ahimsa

yaitu “Ahimsa malu kawuwus, solah tan memati-mati, sahi mondong asih

sayang, marep saring sarwa maurip, patuh sayange ring raga, ento solah

darma jati.75

Arti ahimsa adalah perilaku manusia yang tidak menyakiti

sesama atau membunuh makluk hidup, memiliki rasa kasih sayang, terhadap

semua makhluk hidup, sama rasa sayangnya seperti menyangi diri sendiri,

itulah perilaku yang benar menurut ajaran ahimsa.

72

Sri Srimad A.C. Bhaktivedanta Swami Prabhupada, 2000, Bhagavad – Gita, Hanuman

Sakti di bawah lisensi The Bhaktivenanda Book Trust, h.496. 73

Ibid, h.742-743. 74

Anonim, 2005, Kamus Istilah Agama Hindu, Op.Cit., h.3. 75

Ni Nengah Sari Wangi, 2000, Kumpulan Geguritan, Banjar Yeh Gangga Tabanan,

h.42.

Page 37: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

37

4) Akrodha76

berarti mengendalikan amarah, dengan bersikap toleransi. Dalam

kamus istilah agama Hindu akrodha77

(a= tidak, krodha= marah) tidak marah.

Ajaran ini menyatakan bahwa orang jangan cepat marah, karena itu ia harus

dapat mengendalikan diri agar tidak cepat marah. Kemarahan dapat

mengantarkan orang pada kehancuran. Dalam sumber lain disebutkan

akrodha78

termasuk dalam panca niyama brata artinya, tidak disusupi marah.

5) Ajaran Vasudhaiva Kutumbamkam.

Dalam Hitopadesha I.64 ditulis Ayam niyah paroeti gamana caritanamtu

vasudhaiva Kutumbakam.79

Artinya, orang-orang yang berpikiran mulia

memandang semua orang di seluruh dunia sebagai saudara (keluarga).

Nilai filosofi dan etika tersebut menjadi pedoman hidup bermasyarakat.

Dalam perkembangan masyarakat Indonesia, nilai-nilai, ajaran-ajaran Hindu

bertemu dengan sistem hukum bangsa asing secara terus-menerus, sehingga

terjadi interaksi dan saling mengisi yang mengakibatkan adanya perpaduan,

perubahan, dan pergeseran. Dalam dunia yang semakin modern, nilai-nilai yang

sesuai dengan kemanusiaan akan terus dipertahankan, akan tetapi yang tidak

sesuai akan dicabut atau dihapus. Sistem nilai yang menjelma dalam konsep HAM

tidaklah semata-mata sebagai produk Barat, melainkan memiliki dasar pijakan

yang kokoh dari seluruh budaya dan agama yang disebut nilai-nilai kearifan lokal.

76

Sri Srimad, A.C, Bhaktivenanda Swami Prabhupada, Op,cit, h. 742. 77

Anonim, 2005, Kamus Istilah Agama Hindu, Op.Cit., h.4 78

I Ketut Subagiasta, 2010, Kepemimpinan Hindu Dalam Lontar Wrati Sasana, Penerbit

Paramita Surabaya, h.28. 79

Otto Bohtlingkj, 1983, Indische Spiriiche, Penerbit Commisionere ST Peter Burg

Rusia, h.203.

Page 38: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

38

Pandangan dunia tentang HAM adalah pandangan kesemestaan bagi

eksistensi dan proteksi kehidupan dan kemartabatan manusia.80

HAM adalah hak

yang dimiliki manusia secara kodrati tanpa pengecualian dan keistimewaan bagi

golongan, kelompok maupun tingkat sosial manusia tertentu. Hak-hak tersebut

mencakup antara lain hak atas kehidupan, keamanan, kebebasan berpendapat dan

merdeka dari segala bentuk penindasan yang wajib dijunjung tinggi, tidak saja

oleh individu dari suatu negara yang mengakui keberadaan dan menghargai HAM

itu sendiri, namun harus pula dijamin oleh negara tanpa ada perkecualian.

Jaminan atas HAM secara umum di Indonesia bisa ditemukan di dalam

Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa setiap

warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan.

Persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan berarti juga persamaan

kedudukan di bidang HAM karena justru hukum itulah yang mengatur HAM.

Pasal 28 D ayat (1) Undang-undang Dasar 1945, intinya bahwa setiap orang

berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

sah. Pasal ini dapat diartikan bahwa setiap orang berhak untuk menikah, untuk

melanjutkan keturunan asalkan perkawinannya sah menurut undang-undang yang

sedang berlaku. Pasal 28 G ayat (1), menyatakan setiap orang berhak atas

perlindungan diri pribadi, kehormatan dan martabatnya. Pasal 28 J ayat (1)

menyatakan bahwa: setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia lain,

dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

80

Majda El Muhtaj, 2013, Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, Dan

Budaya. Cetakan ketiga, Penerbit PT Raja Grafindo Persada, h.1. (Selanjutnya disebut Majda El

Muhtaj I).

Page 39: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

39

Prinsip-prinsip HAM yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 39

Tahun 1999 yaitu:

Pasal 1 Ayat (1) menyatakan bahwa:

Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan

keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan

merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan

dilindungi oleh Negara, Hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi

kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Ayat (3) menyebutkan Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan,

atau pengucilan yang langsung maupun tidak langsung didasarkan pada

pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok,

golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan

politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan

pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan

kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam

bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan

lainnya.

Pasal 1 ayat (3) yang memberi pengertian tentang “diskriminasi” yakni

tindakan-tindakan pembatasan, pelecehan, atau pengucilan berdasarkan

agama, suku, ras, etnik, “kelompok” golongan status sosial, status

ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan, politik yang berakibat

pengurangan, penyimpangan atau penghapusan dll terhadap penikmatan

hak-hak tersebut.

Pasal 3 ayat (1) yaitu pasal yang mengandung prinsip kesetaraan martabat

dan kesamaan HAM yang bunyinya sebagai berikut: “Setiap orang

dilahirkan bebas dengan harkat martabat manusia yang sama dan sederajat,

serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat dalam

semangat persaudaraan”.

Pasal 10 ayat (1) dan (2) mengatur hak untuk kawin guna melanjutkan

keturunan yaitu, setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan

melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Perkawinan yang

sah hanya berlangsung atas kehendak bebas calon suami atau calon istri

yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan. Berdasar uraian tersebut perkawinan antar-wangsa menurut

hukum dan agama adalah sah. Faktanya masih ada awig-awig desa yang

mengatur tentang perkawinan antar-wangsa yang patut melakukan upacara

patiwangi. Awig-awig tersebut tidak sejalan dengan spirit yang terkandung

dalam pasal-pasal HAM tersebut di atas. Lagi pula upacara patiwangi telah

dihapus berdasarkan Keputusan DPRD Bali Nomor: 11 Tahun 1951,

merupakan langkah tepat untuk didukung dan dilaksanakan bersama,

Page 40: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

40

karena sanksi perkawinan antar-wangsa apapun bentuknya tidak sejalan

dengan perkembangan zaman.

Konsep tentang HAM Perempuan

Perempuan sebagai suatu kelompok dalam masyarakat di dalam suatu

negara, merupakan kelompok yang juga wajib mendapatkan jaminan atas hak-hak

yang dimilikinya secara asasi.81

Universal Declaration of Human Rights (UDHR)

atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM 1948) memang tidak

menyatakan secara eksplisit tentang adanya jaminan hak azasi terhadap kelompok

perempuan secara khusus, namun dalam Pasal 2 DUHAM dimuat bahwa hak dan

kebebasan perlu dimiliki oleh setiap orang tanpa diskriminasi, termasuk tidak

melakukan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin.82

Prinsip hak asasi manusia adalah bahwa semua orang memiliki martabat

yang sama dan seharusnya semua orang bergaul dalam suasana persaudaraan

sebagaimana ditentukan dalam Universal Declration of Human Rights. Hal ini

menegaskan jaminan perlindungan setiap orang bebas dari perlakuan diskriminatif

termasuk juga bebas dari diskriminasi rasial. Salah satu tujuan utama dari PBB

adalah untuk melawan semua jenis diskriminasi.83

Kesungguhan PBB dalam rangka pemajuan dan perlindungan terhadap

HAM perempuan dibuktikan dengan dikeluarkannya International Covenant on

Civil and Political Rights (ICCPR) pada tanggal 16 Desember 1966. Kovenan

81

Niken Savitri, 2008, HAM Perempuan Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap KUHP,

Cetakan pertama, Penerbit Refika Aditama, h.1. 82

Saparinah Sadli, 2000, Hak Azasi Perempuan adalah Hak Azasi Manusia, Dalam

Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif

Pemecahannya, KK Convention Watch, Pusat Kajian Wanita dan Gender, Universitas Indonesia

Jakarta, h.1 83

Hesti Armiwulan Sochmawardiah, Op, Cit., h.189.

Page 41: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

41

Hak Sipil dan Politik ini merupakan perjanjian Internasional yang mengikat secara

hukum (International Bill of Human Rights). Kemudian Indonesia meratifikasinya

melalui Undang-undang Nomor 12 tahun 200584

. Bagian terpenting dari Kovenan

ini adalah ketentuan alinea pertama (I) dari Preambul yang meneguhkan kembali

salah satu prinsip dasar Piagam PBB, yakni prinsip “kesetaraan martabat” dan

“kesamaan hak” (inherent dignity and equal right) sebagai berikut:

“...recognition of the “inherent dignity” and of the equal and alienable

rights” of all members of the human family is the foundation of freedom,

justice and peace in the world”.85

Artinya, prinsip “ kesetaraan martabat”

dan “persamaan hak yang tidak dapat dihapuskan” dari segala kehendak

untuk berkeluarga sebagai kebebasan dasar, mendapatkan keadilan di

dunia.

Langkah-langkah perlindungan perempuan menemukan momentumnya

ketika Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi 34/180 Desember 1979 tentang

Convention on the Elimenation of All Forms of Discrimination against Women

(CEDAW). Konvensi Internasional tentang penghapusan segala bentuk

diskriminasi terhadap wanita, yang berlaku efektif sejak 3 September 1979. Bagi

masyarakat internasional, konvensi ini merupakan langkah maju untuk

memposisikan kaum perempuan dalam perlindungan dan pemenuhan HAM.

Dengan demikian, berkaitan dengan kewajiban negara untuk memberikan jaminan

atas warga negaranya. Negara juga memiliki tanggung jawab untuk menjamin

perlindungan hak asasi manusia kelompok perempuan sama seperti jaminan

kepada kelompok laki-laki. Jaminan tersebut sebenarnya telah diatur dalam UU

Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan atas dasar suka sama suka. Demikian

84

Ibid, h.189. 85

Made Pasek Diantha dan I Gede Pasek Eka Wisanjaya, Op.Cit., h.148.

Page 42: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

42

pula larangan perkawinan yang disebut Asu Pundung dan Alangkahi Karang Hulu

telah dihapus dengan Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Tahun 1951.

Pelanggaran terhadap hak asasi perempuan harus juga dianggap sebagai

pelanggaran terhadap HAM secara umum. Selama ini, isu hak azasi perempuan

sebagai bagian dari HAM masih merupakan isu yang belum memasyarakat.

Bahkan sering merupakan isu yang terpinggirkan di antara isu hak asasi manusia

lainnya seperti hak sipil dan politik atau hak ekonomi, sosial dan budaya.

Charlote Bunch seorang aktivis HAM perempuan, “menyatakan bahwa

sebetulnya selama ini hak-hak perempuan telah dilanggar dengan berbagai macam

cara. Dalam kondisi politik tertentu sebenarnya baik perempuan maupun laki-laki

mengalami atau menjadi korban kekerasan, namun karena aktor- aktor politik

selama ini didominasi oleh laki-laki, masalah perempuan sebagai korban

kekerasan yang terlanggar HAM-nya menjadi tidak terlihat (invisible).”86

Prinsip-prinsip HAM perempuan,87

dapat dilihat dalam Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1984 pada bagian menimbang point a. menyatakan:

“bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum

dan pemerintahan, sehingga segala bentuk diskriminasi terhadap wanita

harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar 1945”. Pasal 2 mengatur sebagai berikut:

Negara-negara peserta mengutuk diskriminasi terhadap wanita dalam

segala bentuknya dan bersepakat untuk menjalankan dengan segala cara

yang tepat dan tanpa ditunda-tunda, kebijakan menghapus diskriminasi

terhadap wanita, dan untuk tujuan ini melaksanakan:

1) Mencantumkan asas persamaan antara pria dan wanita dalam undang-

undang dasar nasional mereka atau perundang-undangan yang tepat

lainnya, jika belum termasuk di dalamnya, dan untuk menjamin

86

Saprinah Sadli, Op.cit,h.2. 87

Kelompok Kerja Convention Work, 2007, Hak Azasi Manusia Instrumen Hukum

Untuk Mewujudkan Keadilan Gender Pusat Kajian dan Jender, Universitas Indonesia, h.12

Page 43: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

43

realisasi praktis dari asas ini, melalui hukum dan cara-cara lain yang

tepat.

2) Membuat peraturan perundang-undangan yang tepat dan langkah-

tindak lainnya, termasuk sanksi-sanksinya di mana perlu, melarang

segala diskriminasi terhadap wanita;

3) Menegakkan perlindungan hukum terhadap hak-hak wanita atas dasar

yang sama dengan kaum pria dan untuk menjamin melalui pengadilan

nasional yang kompeten dan badan-badan pemerintah lainnya,

perlindungan yang efektif terhadap wanita dari setiap tindakan

diskriminasi;

4) Tidak melakukan suatu tindakan diskriminasi terhadap wanita, dan

untuk menjamin bahwa pejabat-pejabat pemerintah dan lembaga-

lembaga negara akan bertindak sesuai dengan kewajiban tersebut;

5) Melakukan langkah-langkah yang tepat untuk menghapus perlakuan

diskriminasi terhadap wanita oleh tiap orang, organisasi atau

perusahaan;

6) Melakukan langkah-langkah yang tepat, termasuk pembuat undang-

undang, untuk mengubah atau menghapus undang-undang, peraturan-

peraturan, kebiasan-kebiasaan, dan praktek-praktek yang diskriminatif

terhadap wanita.

7) Mencabut semua ketentuan pidana nasional yang diskriminatif

terhadap wanita.

Prinsip-prinsip yang berkaitan dengan penelitian ini adalah prinsip-prinsip

yang tercantum dalam point satu, dua, tiga, empat, dan enam. Lebih lanjut dapat

ditemukan dalam Rekomendasi Umum Nomor 1 tentang Kesetaraan dalam

Perkawinan dan hubungan keluarga88

Pasal 16 disebutkan sebagai berikut.

1. Negara-negara pihak harus mengambil semua langkah-tindak yang

tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam segala

hal yang berkaitan dengan perkawinan dan hubungan dalam keluarga

dan khususnya harus menjamin, berdasarkan kesetaraan antara laki-

laki dan perempuan :

a) Hak yang sama untuk memasuki jenjang perkawinan;

b) Hak yang sama untuk bebas memilih pasangan dan memasuki

jenjang perkawinan hanya dengan persetujuan yang bebas dan

penuh darinya.

c) Hak dan tanggung jawab yang sama selama pernikahan dan pada

pemutusan perkawinan,

88

Ibid.h. 68-69.

Page 44: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

44

d) Hak dan tanggung jawab yang sama sebagai orang tua, terlepas

dari status perkawinan mereka, dalam urusan yang berhubungan

dengan anak-anak mereka, dalam semua hal kepentingan anak-

anak harus diutamakan;

e) Hak yang sama untuk memutuskan secara bebas dan bertanggung

jawab mengenai jumlah dan jarak kelahiran anak-anak mereka

dan untuk memproleh akses pada informasi, pendidikan dan

sarana agar mereka dapat menggunakan hak tersebut;

f) Hak dan tanggung jawab yang sama dalam hal pemeliharaan,

perwalian, pengasuhan, dan pengangkatan anak, atau lembaga-

lembaga sejenis di mana konsep-konsep ini ada dalam

perUndang-undangan nasional; dalam semua hal kepentingan

anak wajib diutamakan;

g) Hak pribadi yang sama antara suami istri, termasuk untuk

memilih nama keluarga, profesi atau jabatan;

h) Hak yang sama untuk kedua suami istri bertalian dengan

kepemilikan, perolehan, pengelolaan, administrasi, penikmatan

dan memindah-tangankan harta benda, baik secara cuma-cuma

maupun untuk pertimbangan yang mempunyai nilai yang

berharga;

2. Pertunangan dan pernikahan seorang anak tidak akan mempunyai

akibat hukum, dan semua tindakan yang diperlukan, termasuk

membuat perundang-undangan, wajib dilakukan untuk menetapkan

usia minimum untuk menikah dan mewajibkan pendaftaran

perkawinan di kantor pencatatan resmi.

Dari ketentuan di atas yang ada kaitannya dengan penelitian ini adalah

Poin 1a, b, dan c yaitu hak yang sama untuk memasuki jenjang perkawinan, bebas

memilih pasangan tanpa ada paksaan, hak dan tanggung jawab yang sama selama

pernikahan dan dalam pemutusan perkawinan.

HAM perempuan terdiri dari prinsip-prinsip antara lain:

a. Prinsip nondiskriminasi89

terhadap wanita terumus dalam Konvensi CEDAW

adalah tidak ada pembedaan, pengucilan (atau tidak diikutkan exclusion), atau

pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai pengaruh

89

Gandhi Lapian, 2012, Disiplin Hukum Yang Mewujudkan Kesetaraan Dan Keadilan

Gender, Penerbit Yayasan Pustaka Obor Indonesia, h.51.

Page 45: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

45

(dampak) atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan,

penikmatan, atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan pokok di

bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, atau apapun lainnya, oleh kaum

wanita, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara

pria dan wanita. Jadi prinsip nondiskriminasi dalam penelitian ini adalah tidak

ada perbedaan yang dilakukan terhadap perempuan dengan laki-laki

khususnya dalam hukum adat perkawinan antar-wangsa.

b. Prinsip kesetaraan90

adalah persamaan hak antara laki-laki dan perempuan

dalam hukum adat perkawinan antar-wangsa.

c. Prinsip keadilan91

adalah keadilan substantif yaitu keadilan baik de yure,

maupun de facto, dan benar-benar dinikmati dalam kenyataan oleh

perempuan. Dasar dari keadilan substantif adalah etika dan moral sosial.92

Keadilan korektif juga cocok untuk mengkoreksi atau mengembalikan

keseimbangan yang terganggu menjadi seimbang kembali. Hakimlah yang

mempunyai tugas untuk menilai peraturan-peraturan dalam

mempertimbangkan, memberlakukan unsur kesebandingan dan kepatutan

(equity). Equity diperlukan jika hukum yang sama diterapkan dapat

mengakibatkan ketidakadilan terhadap pihak laki-laki dan perempuan.

Dengan demikian konsep HAM Perempuan dalam penelitian ini adalah hak

asasi perempuan dalam perkawinan antar-wangsa termasuk melakukan

perceraian.

2.3 Kerangka Pikir/Desain Penelitian

90

Ibid, h.53. 91

Ibid, h. 54-193. 92

Loc.Cit.

Page 46: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

46

GAMBAR 4

Kerangka Pikir

a. Penjelasan Kerangka Pikir

1) Jika substansi dan saksi perkawinan antar-wangsa berubah, penerapan sanksi hukum juga akan berubah, maka hukum akan berdinamika.

2) Jika terjadi perubahan substansi dan sanksi akan terjadi perubahan makna ke arah penghormatan terhadap HAM perempuan.

3) Jika makna sanksi berubah berimplikasi pula terhadap perkawinan dan perceraian yang berkeadilan, berkesetaraan, dan bermartabat. Hal ini selaras dengan perkawinan sederajat.

Latar Belakang

Masalah

Rumusan Masalah Teori Metode

Penelitian

Problem Filosofis

Sanksi perkawinan

antar-wangsa

bertentangan

dengan nilai-nilai

Pancasila, Ajaran

Hindu, dan Prinsip-

prinsip HAM.

Problem Yuridis

Sanksi perkawinan

antar -wangsa

bertentangan

dengan peraturan2

yang berlaku.

Problem Sosiologis

Sanksi perkawinan

antar -wangsa

masih dilaksanakan

oleh masyarakat

1. Bagaimana

dinamika saksi

hukum adat

dalam

perkawinan

antar- wangsa?

2. Apa makna

perubahan saksi

hukum adat

dalam

perkawinan

antar -wangsa

terhadap HAM

perempuan?

3. Mengapa

perubahan

sanksi hukum

adat dalam

perkawinan

antar- wangsa

berimplikasi

terhadap HAM

perempuan?

T.Legal System

T. Social

Engineering

T.Living Law

T.Stratifikasi S.

T. Bekerjanya

Hukum dalam

Masyarakat

T.Interaksionisme

Simbolik

T.Partikularistis

Feminist Legal

Theory

T. Partikulaistis

Feminist Legal

Theory

T. Living Law

Paradigma

penelitian Legal

Critical

Jenis penelitian

Lokasi penelitian

Pendekatan:

sosio-legal,

sejarah, konsep

Difinisi

Oprasonal

Jenis data dan

sumber data

Teknik

pengumpulan

data

Teknik Analisis

data

Pengujian

kredibilitas data

Hipotesis

Hasil Penelitian

Kesimpulan dan

Saran

Page 47: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

47

Kerangka pikir ini sama dengan desain penelitian93

merupakan suatu

rencana beranjak dari latar belakang sampai menghasilkan serangkaian konklusi

(jawaban) dari permasalahan yang diangkat. Dimulai dari latar belakang yaitu

perkawinan merupakan salah-satu tahap penting dalam kehidupan manusia,

memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Secara yuridis, sosiologis

perkawinan antar-wangsa mengalami dinamika, dinamika tersebut disebabkan

karena perubahan hukum. Perubahan hukum tidak selalu diikuti oleh perubahan

sosial, demikian sebaliknya.Fakta yang terjadi di masyarakat, pelaksanaan

Keputusan DPRD Bali Nomor 11 tahun 1951, tidak berlaku efektif. Sanksi

perkawinan antar-wangsa masih dilakukan sampai saat ini, sehingga

menimbulkan problem filosofis, yuridis, dan sosiologis. Problem filosofis terjadi

oleh karena sanksi perkawinan antar-wangsa bertentangan dengan nilai-nilai

Pancasila, nilai- nilai keadilan, nilai-nilai dari Ajaran Hindu seperti: Ajaran Tat

Twam Asi, Manusapada, Ahimsa, Akrodha, Vasudhaiva Kutumbakam. Problem

yuridis pelaksanaan sanksi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945,

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984,

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999, Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Tahun

1951. Problem sosiologis terjadi oleh karena sanksi perkawinan antar-wangsa

masih dilaksanakan masyarakat.

Berdasarkan problem tersebut di atas maka perlu diadakan penelitian

secara holistik menyangkut problem filosos, yuridis, dan sosiologis. Untuk itu

dapat diangkat tiga masalah/fokus penelitian, kemudian dikaji dengan teori-teori

93

Robert K.Yin, 2013, Studi Kasus Desain dan Metode, Cetakan keduabelas, PT.Raja

Grafindo Persada, h.27.

Page 48: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

48

yang telah dipersiapkan sebagai pisau analisis. Masalah pertama, dianalisis

dengan Teori Legal System dari Lawrence M.Friedman, Teori Law as a Tool of

Social Engineering dari Rouscoe Pound,Teori Living Law dari Ehrlich, Teori

Bekerjanya Hukum dalam Masyarakat dari William J. Chambliss dan Robert

B.Seidman, Teori Stratifikasi Sosial dari Soejono Soekanto. Masalah kedua

dianalisis dengan Teori Interaksionisme Simbolik dari Herbert Blumer, Teori

HAM Partikularistis Relatif, dan Feminist Legal Theory (FLT) dari Sulistyowati

Iriyanto. Masalah ketiga dianalisis dengan menggunakan Teori HAM

Patrikularistis Relatif, Feminist Legal Theory (FLT). Penelitian ini juga

menggunakan konsep-konsep hukum sesuai dengan peremasalahan yang diteliti.

Metode penelitian hukum ini menggunakan paradigma legal critical. Jenis

penelitian ini termasuk penelitian hukum empiris dengan pendekatan kualitatif.

Dalam hal ini peneliti langsung sebagai instrument penelitian. Lokasi penelitian di

daerah Provinsi Bali dengan menentukan sampel aria secara purposive, yaitu Kota

Denpasar, Kabupaten Tabanan, Kabupaten Gianyar, dan Kabupaten Buleleng.

Penelitian ini menggunakan pendekatan sosio-legal, sejarah, dan konsep. Jenis

data terdiri dari data perimer yang bersumber pada responden dan informan,

sedangkan data sekunder terdiri dari bahan hukum, baik primer, sekunder, dan

tersier.Teknik pengumpulan data dengan cara wawancara, observasi, dan

dokumentasi.Teknik analisis data dengan model interaktif yaitu setelah data

dikumpulkan dilakukan reduksi data, penyajian data secara deskriptif analitis dan

disertai argumentasi, selanjutnya penarikan kesimpulan. Setelah itu diadakan

pengujian kredibilitas data, dengan mengadakan perpanjangan pengamatan,

Page 49: BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 2.1.1 Legal Sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi

49

meningkatkan ketekunan, diadakan triangulasi, setelah tersusun dalam bentuk

disertasi diadakan diskusi/seminar dengan teman sejawat yaitu mahasiswa S3

Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Udayana. Langkah terakhir dilakukan

member chek terhadap para aktor yang berkaitan dengan penelitian.

b. Hipotesis

Adapun hipotesis yang dapat dikemukakan sebagai kesimpulan penelitian

untuk sementara, dan diuji kebenarannya setelah ada hasil penelitian lapangan,

hipotesis dimaksud adalah sebagai berikut:

1) Jika substansi hukum perkawinan antar-wangsa berubah maka, sanksi akan

mengalami perubahan, kemudian penerapan sanksi oleh struktur hukum juga

berubah maka, akan terjadi dinamika sanksi perkawinan antar-wangsa.

2) Jika terjadi perubahan substansi dan penerapan sanksi perkawinan antar-

wangsa maka, akan terjadi perubahan makna terhadap sanksi perkawinan

antar-wangsa. Makna sanksi seharusnya mengarah kepada penghormatan

HAM perempuan.

3) Jika makna mengalami perubahan maka, berimplikasi terhadap perkawinan

dan perceraian yang berkeadilan, berkesetaraan, dan bermartabat, selaras

dengan perkawinan sederajat.