Desentralisasi Kelembagaan Program Kb Di Ska

30
DESENTRALISASI KELEMBAGAAN PROGRAM KB ERA OTONOMI DAERAH DI KOTA SURAKARTA TUGAS MATA KULIAH ISU-ISU OTONOMI DAERAH Disusun Oleh : 1. Desita Dwi Natalia D 0107043 2. Irwanti Melati D 0107067 3. Prafitri Windyasari D 0107085

Transcript of Desentralisasi Kelembagaan Program Kb Di Ska

Page 1: Desentralisasi Kelembagaan Program Kb Di Ska

DESENTRALISASI KELEMBAGAAN PROGRAM KB ERA OTONOMI

DAERAH DI KOTA SURAKARTA

TUGAS MATA KULIAH

ISU-ISU OTONOMI DAERAH

Disusun Oleh :

1. Desita Dwi Natalia D 0107043

2. Irwanti Melati D 0107067

3. Prafitri Windyasari D 0107085

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

KOTA SURAKARTA

2009

Page 2: Desentralisasi Kelembagaan Program Kb Di Ska

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia dewasa ini masih menghadapi tiga persoalan pokok kependudukan, yakni

jumlah penduduk besar dengan tingkat pertumbuhan tinggi. Kualitas penduduknya masih

rendah, dan persebarannya tidak merata. Pada saat ini, menurut data di BKKBN, jumlah

penduduk Indonesia telah mencapai sekitar 220 juta orang. Tingkat pertumbuhannya sekitar

1,48 persen per tahun dan tingkat kelahiran (TFR) sebesar 2,6. Berkat kerja keras jajaran

BKKBN dan seluruh lapisan masyarakat, baik instansi pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh

agama, LSM dan institusi kemasyarakatan lainnya, tingkat kelahiran tersebut telah berhasil

ditekan dari sekitar 5,6 pada awal 1970-an. Sementara tingkat pertumbuhannya diturunkan

dari sekitar 2,3 pada periode 1980-an.

Para pakar dan pemerhati masalah kependudukan memperkirakan jumlah penduduk

Indonesia akan terus bertambah hingga mencapai jumlah sekitar 298 juta jiwa pada tahun

2050 sebelum akhirnya akan terjadi keseimbangan antara jumlah yang lahir dan jumlah yang

meninggal, yang disebut penduduk tanpa pertumbuhan.

Namun harus dicatat proyeksi tersebut mengikuti tren kondisi kependudukan pada

tahun 1980-2000, yakni saat perhatian seluruh komponen masyarakat dan kebijakan

pemerintah dari pusat hingga ke desa/kelurahan mendukung sepenuhnya program Keluarga

Berencana (KB) nasional. Maklum, dengan adanya otonomi daerah, kebijakan dari pusat

belum tentu sepenuhnya disambut sepenuh hati oleh pemerintah kabupaten maupun

pemerintah kota. Jika ternyata kepedulian para pengambil kebijakan terhadap program KB

melemah, bukan tidak mungkin jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2050 akan melebihi

298 juta jiwa.

Desentralisasi Program KB berpengaruh terhadap komitmen kabupaten/kota yang

umumnya sangat bervariasi dan kurang memberikan prioritas terhadap Program KB.

Keragaman kelembagaan mempengaruhi pengelolaan program KB di tingkat kabupaten/kota.

Perubahan kewenangan pengelolaan Program KB (yang ditandai dengan P3D) sehubungan

dengan otonomi daerah. Perubahan tersebut berpengaruh terhadap bervariasinya nomenklatur

SKPD Pengelola KB. Adanya kekuatiran terhambatnya Program KB sehingga dapat memicu

ledakan jumlah penduduk.

Menyikapi era otonomi daerah yang menempatkan program KB sebagai urusan wajib

(sesuai PP Nomor 38 Tahun 2007 dan PP Nomor 41 Tahun 2007), BKKBN berupaya secara

Page 3: Desentralisasi Kelembagaan Program Kb Di Ska

terus menerus menggerakkan dan memberdayakan seluruh masyarakat dengan menggalang

kemitraan dengan berbagai pihak, termasuk dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)

KB dan Pemberdayaan Perempuan yang merupakan unsure pemerintah daerah tingkat

kabupaten/kota yang langsung bersentuhan dengan masyarakat. Sesuatu hal yang tidak

mudah, tapi jika melihat gejala pertumbuhan penduduk dan dampaknya harus tetap optimis.

BKKBN juga berupaya mewujudkan program KB nasional yang responsif gender, yaitu yang

sudah memperhatikan kepentingan laki-laki dan perempuan, dengan terlebih dahulu

meresponsifkan petugas pengelola dan pelaksana program hingga ke tingkat lini lapangan.

Untuk mewujudkan ini BKKBN membentuk Pusat Pelatihan Gender dan Peningkatan

Kualitas Perempuan. Melalui institusi ini BKKBN berupaya menyosialisasikan (melalui

pelatihan, sosialisasi, dll) informasi tentang gender, termasuk mengenai kekerasan dalam

rumah tangga.

Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah program KB banyak menuai kendala.

Baik dari segi kelembagaan maupun pelaksaan teknis program KB itu sendiri. Adanya

desentralisasi pada otonomi daerah juga mempengaruhi pelaksaan program KB di daerah.

Alasan Kami mengambil tema tersebut yaitu karena ingin mengetahui program KB

dijalankan di Kota Surakarta dan ingin mengetahui peletakan kelembagaan program KB di

Kota Surakarta.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana desentralisasi kewenangan program KBdi era otonomi daerah?

2. Bagaimana kelembagaan program KB di Kota Surakarta sebelum dan sesudah

otonomi daerah ?

3. Bagaimana kondisi program KB sebelum dan sesudah otonomi daerah di Kota

Surakarta?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui bagaimana desentralisasi kewenangan program KB di era otonomi

daerah.

2. Untuk mengetahui bagaimana perbedaan bentuk kelembagaan program KB di Kota

Surakarta sebelum dan sesudah otomi daerah.

3. Untuk mengetahui bagaimana kondisi program KB sebelum dan sesudah otonomi

daerah di Kota Surakarta.

Page 4: Desentralisasi Kelembagaan Program Kb Di Ska

BAB IIPEMBAHASAN]

A. PROGRAM KBUU Nomor 10 Tahun 1992 tentang UU perkembangan kependudukan dan perkembangan keluarga sejahtera.Dalam perkembangan keluarga sejahtera program keluarga berencana termasuk di dalamnya. Ada 4 pokok kegiatan penting dalam program KB yakni :

1. Pendewasaan usia perkawinan2. Pengaturan kelahiran3. Pembinaan ketahanan keluarga4. Penigkatan kesejahteraan keluarga

Page 5: Desentralisasi Kelembagaan Program Kb Di Ska

B. DESENTRALISASI KEWENANGAN PROGRAM KB DI ERA OTONOMI

DAERAH

Desentralisasi berasal dari bahasa Latin, yaitu de yang berarti lepas dan centrum

yang artinya pusat. Decentrum berarti melepas dari pusat. Dengan demikian maka

desentralisasi yang berasal dari sentralisasi yang mendapat awal de berarti melepas atau

menjauh dari pemusatan. Desentralisasi tidak putus sama sekali dengan pusat tapi hanya

menjauh dari pusat.

Desentralisasi adalah perpindahan kewenangan atau pembagian kekuasaan dalam

perencanaan pemerintah serta manajemen dan pengambilan keputusan dari tingkat nasional

ketingkat daerah (Rondinelli dalam Cheema dan Rondinelli , 1983). Di dalam desentralisasi

politik, rakyat menggunakan dan memanfaatkan saluran-saluran tertentu (perwakilan) ikut

serta di dalam pemerintahan, dengan batas wilayah daerah masing-masing. Desentralisasi ini

dibedakan menjadi dua :

a. Desentralisasi territorial (teritoriale decentralisatie) yaitu penyerahan kekuasaan untuk

mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (autonomie), batas pengaturannya

adalah daerah. Desentralisasi territorial mengakibatkan adanya otonomi pada daerah yang

menerima penyerahan.

b. Desentralisasi fungsional (functionale decentralisaatie) yaitu pelimpahan kekuasaan untuk

mengatur dan mengurus fungsi tertentu. Batas pengaturan tersebut adalah jenis fungsi.

Wewenang dalam kamus yang sama didefinisikan sebagai kekuasaan membuat

keputusan, memerintah, dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain; fungsi yang

boleh tidak dilaksanakan. Kewenangan atau wewenang dalam literatur berbahasa Inggris

disebut authority atau competence, sedang dalam bahasa Belanda disebut gezag atau

bevoegdheid. Wewenang adalah kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik

atau kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk

melakukan hubungan-hubungan hukum.

Kewenangan adalah kekuasaan yang mendapatkan keabsahan atau legitimasi

Kewenangan adalah hak moral untuk membuat dan melaksanakan keputusan politik Prinsip

moral – menentukan siapa yang berhak memerintah - mengatur cara dan prosedur

melaksanakan wewenang. Sebuah bangsa atau negara mempunyai tujuan. Kegiatan untuk

mencapai tujuan disebut tugas Hak moral untuk melakukan kegiatan mencapai tujuan disebut

kewenangan. Tugas dan kewenangan untuk mencapai tujuan masyarakat atau negara disebut

fungsi.

Page 6: Desentralisasi Kelembagaan Program Kb Di Ska

Kewenangan pemerintahan yang bersumber dari rakyat dilimpahkan kepada presiden,

kemudian presiden sebagai penanggungjawab pemerintahan pusat melalui undang-undang

menyerahkan dan/atau melimpahkan sebagian kewenangannya kepada daerah dengan cara

desentralisasi. Dengan adanya kebijakan desentralisasi pemerintah daerah berhak

menyelenggarakan rumah tangganya sesuai dengan aspirasi masyarakat setempat berdasarkan

undang-undang. Jadi, pemerintah daerah memiliki kewenangan mengatuyr dan mengurus

segala hal yang berkaitan dengan urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan undang-

undang. Dalam UU Nomor 5 Tahun 1974 kewenangan tersebut diperoleh daerah melalui

penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah pusat kepada daerah dengan Peraturan

Pemerintah. Penyerahan urusan pemerintahan tersebut bias ditambah secara bertahap sesuai

dengan keadaan dan kemampuan daerah yang bersangkutan. Dan penyerahan itu pun bias

ditarik kembali jika daerah dinilai oleh pusat tak mampu melaksanakan urusan yang

diserahkan tersebut (pasal 9).

PEMPROV

Gambar 1.1 Hubungan Pemerintah provinsi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota

Garis putus-putus antara pemerintah daerah provinsi dengan pemerintah daerah

kabupaten/kota menunjukkan hubungan koordinasi sesama daerah otonom. Sedangkan

garis lurus yang diperlihatkan antara wilayah administrasi provinsi dengan pemda

kabupaten/kota menunjukkan hubungan hirarkis.

PEMERINTAH PUSAT

WIL.ADM

PEMDA PROVINSI

PEMDA KAB/KOTA

PEMDA KAB/KOTA

PEMDA KAB/KOTA

Page 7: Desentralisasi Kelembagaan Program Kb Di Ska

Menurut UU No.22/1999 kewenangan yang dimiliki pemerintah kabupaten/kota

adalah sisa kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Dengan demikian

pemerintah kabupaten/kota memiliki kewenangan yang sangat banyak dan besar. Oleh

karena itu kewenangan terletak di pemerintah kabupaten/kota. Mengenai kewenangan

yang menjadi kompetensi kabupaten/kota, baik undang-undang atau peraturan pemerintah

tidak mengatur secara spesifik. Undang-undang hanya memberi rumusan umum yang

pada dasarnya meletakkan semua kewenangan pemerintahan pada kabupaten/kota,

kecuali yang ditentukan untuk pemerintah pusat dan provinsi. Dengan demikian

kabupaten/kota dapat berinisiatif membuat kewenangan sendiri berdasarkan kebutuhan

daerah.

Gambar 1.2Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah

Pemerintah provinsi di satu sisi merupakan daerah otonom dan di sisi lain merupakan

wilayah administrasi. Sebagai wilayah administrasi, provinsi dikepalai oleh kepala wilayah

administrasi sebagai wakil pemerintah pusat. Oleh karena itu, ia bertanggungjawab kepada

pemerintah pusat. Sedangkan sebagai daerah otonom, provinsi dikepalai oleh kepala daerah

otonom. Oleh karena itu, ia bertanggungjawab pada DPRD. Kedudukan pemerintah provinsi

dapat dilihat dari gambar di bawah ini :

PEM. PUSAT

PEM. PROVISI

PEM. KABUPATEN/KOTA

1. Politik Luar Negeri2. Pertahanan3. Keamanan4. Yustisi5. Moneter dan fiscal nasional6. Agama

Sisa kewenangan pusat dan pemerintah provinsi yang berskala kabupaten/kota

Sisa kewenangan pusat yg berskala provinsi dan bersifat lintas kabupaten/kota

Page 8: Desentralisasi Kelembagaan Program Kb Di Ska

PEMPROV

Gambar 1.3Kedudukan Pemerintah Provinsi

Undang-Undang No.32/2004 merupakan revisi atas UU No.22/1999 dalam hal

penyerahan kewenangan. Di dalamnya menetapkan urusan pemerintah kabupaten/kota

yang bersifat wajib dan pilihan. Urusan pemerintahan yang bersifat wajib mencakup

urusan-urusan di bawah yang berskala kabupaten/kota :

1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan,

2. Perencanaan, pengawasan dan pemanfaatan tata ruang,

3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat,

4. Penyediaan sarana dan prasarana umum,

5. Penanganan bidang kesehatan,

6. Penyelenggaraan bidang pendidikan dan lokasi sumber daya manusia

potensial,

7. Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota,

8. Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota,

9. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah,

10. Pengendalian lingkungan hidup,

11. Pelayanan pertanahan,

12. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil,

13. Pelayanan administrasi umum pemerintahan,

14. Pelayanan administrasi penanaman modal,

15. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya,

16. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

PEMERINTAHAN PUSAT

WIL.ADM

PEMDA PROVINSI

Wilayah administrasi

Daerah otonom

Page 9: Desentralisasi Kelembagaan Program Kb Di Ska

Dalam program KB setelah otonomi daerah saat ini institusi yang mengelola

program KB telah mengalami desentralisasi, di mana penanganan

masalah keluarga berencana di daerah sebagian menjadi kewenangan

pemerintah kabupaten/kota. Merekalah yang menentukan ada tidaknya

institusi daerah yang secara spesifik menyelenggarakan program keluarga

berencana. Pemkab atau pemkot mempunyai wewenang penuh untuk menentukan

program-program yang menjadi prioritas di daerahnya masing-masing. Selain itu, tiap daerah

mempunyai pemahaman sendiri-sendiri tentang pentingnya KB bagi pembangunan secara

keseluruhan. Akibatnya, masih ada daerah yang belum mengedepankan program KB.

Kelangsungan program KB di daerah tergantung dari keberhasilan daerah memajukan

kualitas sumber daya manusianya. Karena kemajuan suatu negara bukan tergantung dari

sumber daya alamnya, melainkan kualitas sumber daya manusianya

Tahun 2004 merupakan tahun pertama pelaksanaan program keluarga berencana

nasional di era desentralisasi. Pada pasca pelimpahan kewenangan ini isu utama yang paling

urgen saat ini adalah bagaimana melanjutkan keberhasilan keluarga berencana nasional

sehingga visi misi yang telah ditetapkan dapat terwujud, sehingga upaya untuk meyakinkan

pemerintah daerah yang sampai saat ini belum memahami arti pentingnya KB bagi

pembangunan sumber daya manusia dan pembangunan berkelanjutan di daerah mutlak harus

dilakukan. Peran dari pemerintah pusat dalam era ini adalah lebih memfokuskan pada

pemberian arah kebijakan serta acuan yang lebih mengarah pada penetapan standar pelayanan

minimal. Dengan acuan ini, pemerintah daerah menyesuaikan langkah dan program yang

dikembangkan sesuai dengan kondisi dan kemampuan masing-masing.

Dalam konteks ini perlu menekankan kesinambungan pelaksanaan program KB di

daerah-daerah. Karena jika pelaksanaan program KB dihentikan, maka secara tidak langsung

program pembangunan di setiap daerah tidak akan berjalan. Kendati tidak memiliki

kontribusi langsung terhadap penerimaan daerah, tanpa adanya program KB untuk mengatur

pengendalian jumlah dan pertumbuhan penduduk, dapat dipastikan bahwa pembangunan di

bidang lainnya akan menjadi kurang bermakna dalam meningkatkan derajat kesejahteraan

masyarakat. Selain itu, adanya komitmen bersama para eksekutif dan legislatif tentang bentuk

kelembagaan yang harus ada di daerah kabupaten/kota, kedudukan , tugas dan fungsi,

kewenangan, struktur organisasi sampai pada P3D di seluruh kabupaten/kota.

Page 10: Desentralisasi Kelembagaan Program Kb Di Ska

C. KELEMBAGAAN PROGRAM KB DI KOTA SURAKARTA SEBELUM DAN

SESUDAH OTONOMI DAERAH

Menurut Horton (1984:211) di dalam bukunya Hanif Nurcholis (2005:117)

menjelaskan bahwa lembaga adalah suatu sistem norma yang dipakai untuk mencapai tujuan

atau aktivitas yang dirasa penting atau kumpulan kebiasaan dan tata kelakuan yang

terorganisir yang terpusat dalam kegiatan utama manusia. Jadi, lembaga adalah proses yang

terstruktur yang dipakai orang untuk menyelenggarakan kegiatannya. Lembaga pemerintah

daearah adalah sistem aturan atau proses yang terstruktur yang digunakan untuk

menyelenggarakan pemerintahan daerah. Sistem aturan ini lalu dikonkritkan menjadi

organisasi.

Kelembagaan KB menurut UU No.5 tahun 1974

Menurut Undang-Undang Nomer 5 tahun 1974 struktur kelembagaan pemerintah

daerah bersifat hierakhis. Contohnya adalah pemerintah pusat membawahi Dati I (provinsi),

Dati I membawahi Dati II (kabupaten/kotamadya), Dati II membawahi desa. Seluruh dinas

yang berada di bawah pemerintah pusat harus mematuhi pemerintah pusat. Sehingga

bawahan takut terhadap pemerintahan pusat.

Perkembangan KB di Indonesia

1. Periode Perintisan dan Peloporan

a. Sebelum 1957 – Pembatasan kelahiran secara tradisional (penggunaan ramuan, pijet,

absistensi/ wisuh/ bilas liang senggama setelah coitus).

b. Perkembangan birth control di daerah – Berdiri klinik YKK (Yayasan Kesejahteraan

Keluarga) di Yogyakarta. Di Semarang : berdiri klinik BKIA dan terbentuk PKBI

tahun 1963. Jakarta : Prof. Sarwono P, memulai di poliklinik bagian kebidanan RSUP.

Jawa dan luar pulau Jawa (Bali, Palembang, Medan).

2. Periode Persiapan dan Pelaksanaan

Terbentuk LKBN (Lembaga Keluarga Berencanan Nasional) yang mempunyai tugas

pokok mewujudkan kesejahteraan sosial, keluarga dan rakyat. Bermunculan proyek

KB sehingga mulai diselenggarakan latihan untuk PLKB (Petugas Lapangan keluarga

Berencana).

Organisasi KB sebelum Otonomi Daerah

1. PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia)

Page 11: Desentralisasi Kelembagaan Program Kb Di Ska

Terbentuk tanggal 23 Desember 1957, di jalan Sam Ratulangi No. 29 Jakarta. Atas

prakarsa dari dr. Soeharto yang didukung oleh Prof. Sarwono Prawirohardjo, dr. H.M.

Judono, dr. Hanifa Wiknjosastro serta Dr. Hurustiati Subandrio. Pelayanan yang

diberikan berupa nasehat perkawinan termasuk pemeriksaan kesehatan calon suami

isteri, pemeriksaan dan pengobatan kemandulan dalam perkawinan dan pengaturan

kehamilan.

Visi PKBI : Mewujudkan masyarakat yang sejahtera melalui keluarga.

Misi PKBI : Memperjuangkan penerimaan dan praktek keluarga bertanggungjawab

dalam keluarga Indonesia melalui pengembangan program, pengembangan jaringan dan

kemitraan dengan semua pihak pemberdayaan masyarakat di bidang kependudukan

secara umum, dan secara khusus di bidang kesehatan reproduksi yang berkesetaraan dan

berkeadilan gender.

2. BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional)

Keputusan Presiden Nomor 8 Tahun 1970 tentang pembentukan badan untuk

mengelola program KB yang telah dicanangkan sebagai program nasional.

Penanggung jawab umum penyelenggaraan program ada pada presiden dan dilakukan

sehari-hari oleh Menteri Negara Kesejahteraan Rakyat yang dibantu Dewan Pembimbing

Keluarga Berencana.

Pada tahun 1970 pemerintah menganggap keluarga berencana perlu dilaksanakan

sendiri oleh pemerintah sebagai bagian integral pembangunan nasional, maka lahirlah

Keppres No 8 Tahun 1970 yang menetapkan bahwa BKKBN merupakan lembaga pemerintah

dengan penangung jawab umum di tangan Presiden.

Pada pelita I ini prioritas utama program keluarga berencana di pusatkan pada enam

provinsi terdapat penduduknya di Indonesia yaitu Jawa Bali. Perkembangan program yang

amat pesat menyebabkan Keppres No. 8 tahun 1970 dalam waktu relative singkat dirasakan

tidak sesuai lagi dengan kebutuhan program. Maka terbitlah Keputusan presiden No.33 tahun

1972 yang mempertegas status BKKBN sebagai lembaga pemerintah Non Departemen yang

berkedudukan langsung di bawah Presiden.

Pelita ke II tahun 1974 – 1979 daerah pelaksanaan program diperluas ke seluruh

Provinsi luar Jawa Bali yaitu D.I Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, sumatera Selatan,

sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat.

Keberhasilan program menuntut adanya program-program integral yang dapat mendukung

melestarikan program dalam masyarakat.

Page 12: Desentralisasi Kelembagaan Program Kb Di Ska

Untuk menyempurnakan organisasi BKKBN sesuai dengan perkembangan program,

maka pada tangal 6 Nopember 1978 terbitlah keputusan presiden No. 38 tahun 1978 di mana

tugas pokok BKKBN selain program KB juga program kependudukan.

Luas jangkauan program mencakup 11 provinsi di luar Jawa Bali yaitu Kalimantan Tengah,

Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur, Maluku,

Irian Jaya, Timor Timur, Rau, Jambi dan Bengkulu. Maka jangkuan program kependudukan

dan keluarga berencana mencapai seluruh provinsi di Indonesia.

Maka dari itu kesuksesan program KB di masa itu dilihat dari

kelembagaannya adalah semua dinas-dinas gencar mensukseskan

program KB, adanya perlibatan dari dinas-dinas lain yang terkait demi keberhasilan

program KB jadi tidak hanya dinas kb saja, semua lembaga yang terkait. Pemerintah

mengontrol langsung memperhatikan jalannya program tersebut atas

perintah yang tegas dari pemerintah pusat. Bila hal itu tidak dilakukan

maka akan mendapat sangsi dari pemerintah pusat.

Di Kota Solo sendiri, sebelum otonomi daerah program kb di kelola

oleh dinas yaitu Dinas Kesejahteraan Rakyat, Pemberdayaan Perempuan

dan Keluarga Berencana (DKRPP & KB) dan diatur oleh Peraturan Daerah

Kota Surakarta Nomor 6 Tahun 2001 tentang Susunan Organisasi dan

Tata Kerja Perangkat Daerah Kota Surakarta sebagaimana telah diubah

dengan Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 4 Tahun 2004 tentang

Perubahan peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 6 Tahun 2001.

Program KB merupakan program nasional sehingga daerah-daerah yang

berada di bawah pemerintah pusat ikut ambil bagian untuk mensukseskan

program KB.

Kelembagaan KB Menurut UU NO.32 Tahun 2004

Sejak diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia, maka sebagai konsekuensi logis

sebagian kewenangan Pusat termasuk Program KB Nasional di Kabupaten/Kota

pengelolaannya diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. Oleh karena itu sejak awal

tahun 2004, P3D (Personal, pembiayaan, perlengkapan dan dokumentasi) BKKBN Kab/Kota

diserahkan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Kab/Kota. Sejak saat itu BKKBN

Kab/Kota dibubarkan, digantikan dengan lembaga lain yang mengelola program KB di

Kab/Kota.

Page 13: Desentralisasi Kelembagaan Program Kb Di Ska

BKKBN sebagai sebuah badan yang menangani KB di era otonomi daerah telah

kehilangan kaki, fungsinya saat ini hanya pada tingkat pembuatan kebijakan. Komitmen

pemerintah daerah tentang program KB sangat variatif dan pemerintah pusat tidak memiliki

otoritas untuk mengatur pemerintah daerah agar meningkatkan komitmennya. Itulah

sebabnya, maka strategi pengelolaan KB pada era otonomi ini bukan lagi berlandaskan

pada hubungan hirarkhis seperti di dalam UU Nomer 5 Tahun 1974 tetapi lebih diarahkan

pada pendekatan yang bersifat pembinaan dan koordinatif.

Melihat kekurangan ini maka dibuatlah RUU (Rancangan Undang-Undang)

Pembangunan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, yang telah disahkan menjadi

undang-undang pada  29 September 2009. Dalam undang-undang ini dilakukan penguatan

terhadap kelembagaan terhadap kelembagaan Badan Koordinasi Keluarga Berencana

Nasional (BKKBN). Maka, mulai 29 September 2009, Badan Koordinasi Keluarga

Berencana Nasional (BKKBN) berubah nama jadi Badan Kependudukan dan Keluarga

Berencana Nasional (BKKBN), dalam rangka mewujudkan penduduk yang seimbang dan

berkualitas.

Undang-undang ini merupakan revisi UU Nomor 10 tahun 1992 tentang

Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Berdasarkan UU ini,

keberadaan BKKBN menjadi kuat karena BKKBN berkedudukan di bawah presiden dan

bertanggung jawab langsung kepada presiden. Di tingkat daerah, lembaga kependudukan

tersebut diberi nama Badan Kependudukan dan keluarga Berencana Daerah (BKKBD) yang

mempunyai hubungan fungsional  dengan BKKBN.

Berbagai ragam bentuk atau nomenklatur kelembagaan KB tumbuh bervariasi antar

Kabupaten/ Kota di Indonesia. Ada yang berbentuk Dinas/Badan yang dimerger dengan

instansi lain atau berbentuk Dinas/Badan/Kantor utuh KB dan KS, tergantung kesepakatan

dan komitmen Pemerintah Kab/Kota setempat. Di era peralihan Otonomi daerah itulah terjadi

keadaan yang kurang menguntungkan bagi para SDM mantan petugas BKKBN Kab/Kota

terutama para petugas lapangan KB (PLKB dan Penyuluh KB/PKB). Banyak PLKB/PKB

berpindah ke instansi lain, baik karena promosi maupun alih tugas. Akibatnya jumlah

PLKB/PKB jauh menurun dibanding sebelum OTDA diberlakukan.

Data BKKBN menunjukkan, hingga saat ini tercatat 407 (82,38 %) kabupaten/kota

telah membentuk dan mengesahkan lembaga pengelola KB dalam bantuk Perda. Saat ini

terdapat 19 provinsi yang telah membentuk Organisasi Perangkat Daerah pengelola Program

KB (OPD-KB). Organisasi ini nantinya akan menjadi mitra BKKBN provinsi dalam

merevitalisasi Program KB.

Page 14: Desentralisasi Kelembagaan Program Kb Di Ska

Dari jumlah itu, terdapat sembilan provinsi yang seluruh OPD-KB kabupaten/kotanya

sudah dikukuhkan dengan Perda sesuai PP 41/2007. Yaitu, Sumbar, Sumsel, bangka

Belitung, Jateng, Kalteng, Kalsel, Bali, Sulut, Sulbar, dan DKI Jakarta. Ternyata, masih ada

provinsi yang pencapaiannya di bawah 50 persen. Yakni Jabar, Maluku Utara, papua, dan

Kepulauan Riau. (Lihat tabel)

Data Kelembagaan OPD-KB kab/kota (berdasarkan PP41 th 2007) Tahun 2008 PERDA

File: Data Kelembagaan SKPDKB Januari-09 (Exel)

Untuk lebih menjamin keberlangsungan program KB, dibutuhkan

komitmen yang kuat dari pimpinan tertinggi di Pemerintahan mulai dari

Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota sampai pimpinan di lini lapangan.

Dukungan politis juga diperlukan dari kalangan legislatif baik di pusat

maupun daerah. Dukungan dari kedua lembaga itu sama pentingnya

Page 15: Desentralisasi Kelembagaan Program Kb Di Ska

dengan dukungan dari LSM, swasta, tokoh masyarakat dan tokoh agama,

karena berdasarkan pengalaman selama ini keberhasilan KB tidak hanya

ditentukan oleh para pengambil kebijakan di kalangan eksekutif dan

legislatif, tapi juga ditentukan oleh dukungan moral dari berbagai lapisan

masyarakat.

Di Kota Surakarta sendiri pada masa otonomi daerah, BKKBN berada di provinsi

maupun berada di tingkat kota. Di Kota Surakarta BKKBN dibentuk dalam badan yaitu

Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan peremuan, Perlindungan Anak dan

Keluarga Berencana (Bapermas, PP, PA & KB) berdasar pada Peraturan Daerah Kota

Surakarta Nomor 6 Tahun 2008 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Perangkat Daerah Kota

Surakarta. Sehingga peran badan KB tersebut dirasa kurang maksimal dalam mensukseskan

program KB. Satu badan membawahi banyak urusan. Selain itu bentuk badan tersebut lebih

rendah dari pada dinas. Dalam menjalankan tugasnya badan harus memperoleh persetujuan

dari dinas bila ingin membuat suatu program. Jika dinas tidak setuju maka badan tersebut

akan berhenti di tengah jalan. Perhatian dari pemerintah terhadap kelembagaan KB di Kota

Surakarta juga sangat berperan tergantung kebijakan daerah dan komitmen dari kepala

daerah. Apakah komitmen pemeimpin daerah tersebut berpartisipan terhadap program KB

atau tidak kalo pemimpinnya antusias dengan program tersebut maka kemungkinan program

KB menjadi program unggulan yang harus dilaksanakannya. Dan untuk kelembagaan bisa

ditempatkan di dinas.

D. KONDISI PROGRAM KB SEBELUM DAN SESUDAH OTOMI DAERAH DI

KOTA SURAKARTA

Sebelum desentralisasi/otonomi daerah, pelaksanan program KB yang dikelola oleh

BKKBN dapat dikatakan berhasil. Jumlah PLKB/PKB di seluruh Indonesia sebanyak 26.074.

Setelah otonomi daerah jumlahnya turun menjadi 19.586 atau tinggal 75%. Namun dengan

berbagai upaya jajaran pimpinan BKKBN dan dukungan komitmen yang tinggi dari berbagai

pihak terutama Menpan dan Mendagri, kondisinya semakin membaik. Surat Edaran dari

Mendagri dan Menpan kepada Gubernur, Bupati dan Walikota dan Ketua DPRD antara lain

berisi permintaan agar Pemda/ Kab/Kota tetap mendayagunakan tenaga PLKB/PKB demi

keberhasilan program KB di daerah. Dengan adanya Surat Edaran tersebut jumlah

PLKB/PKB berangsur-angsur meningkat dan kini menjadi 21.889 atau 83%.

Page 16: Desentralisasi Kelembagaan Program Kb Di Ska

Sebelum otonomi daerah ratio PLKB/KB dibandingkan dengan jumlah

desa/kelurahan yang ada di Indonesia, seorang PLKB/PKB rata-rata membina 2 - 2,5

desa/kelurahan. Pada saat ini dengan berkurangnya jumlah PLKB/PKB bersamaan semakin

bertambahnya jumlah desa/kelurahan karena adanya pemekaran daerah, seorang PLKB/PKB

rata-rata membina 4 desa/kelurahan. Bahkan ada beberapa yang PLKB/PKB-nya membina

lebih dari 10 desa/kelurahan atau bahkan ada di satu kecamatan hanya ada seorang petugas

lapangan KB. Disamping itu akibat nomenklatur satuan kerja pengelola daerah program KB

bermacam-macam. bahkan ada yang merger dengan 2 sampai 3 instansi, maka tugas

PLKB/PKB bertambah berat. Mereka tidak hanya menggarap program KB, tetapi juga

bertugas menangani program pembangunan yang lain sesuai dengan bentuk kelembagaan

yang baru di wilayahnya. Idealnya, seorang PLKB/PKB membina 1-2 desa saja. sehingga

cakupan sasaran akan bisa secara efektif dijangkau oleh PLKB.

Pada era otonomi daerah ini, pelaksanaan program KB dikatakan gagal karena tingkat

keberhasilan program KB kian tahun kian menurun. Kegagalan pelaksanaan program ini

disebabkan oleh banyak faktor, antara lain karena kondisi kelembagaan KB di kabupaten dan

kota yang tidak lagi utuh akan menjadi penghalang upaya program KB dalam menekan

ledakan penduduk di negeri ini. Kondisi kelembagaan yang melemah ini disebabkan oleh

adanya komitmen politis dan operasional dari berbagai pihak kini memudar, selain itu

aktifitas penyuluh KB belum seluruhnya pulih akibat kelembagaan KB di kabupaten/kota

telah mengalami perubahan yang signifikan. Bahkan KB bukan lagi topical issue yang seksi

bagi media massa. Ketika program KB membutuhkan dukungan politis saat memasuki era

otonomi daerah, dukungan dari para pengambil kebijakan di tingkat kabupaten kota menurun.

Hal itu tercermin dari hanya 31 kabupaten/kota dari sekitar 440 kabupaten/kota yang

membentuk Dinas BKKBN secara utuh. Selain itu terkait masih adanya beberapa pengambil

kebijakan publik yang belum memahami pentingnya program KB, menurut Kepala BKKBN,

itu bukan kesalahan mereka tapi kekurangmampuan meyakinkan mereka tentang pentingnya

program KB dalam konteks pembangunan secara keseluruhan. Untuk itu, ia meminta kepada

seluruh Kepala BKKBN di daerah untuk meningkatkan intensitas dan frekuensi kunjungan

untuk melakukan advokasi kepada para pengambil kebijakan publik di kabupaten/kota

masing-masing.

Pada tingkat daerah pascadesentralisasi pemerintahan, struktur organisasi pelaksana

program KB berubah total dan keberlanjutan pelaksanaan program KB menjadi sangat

tergantung pada pemahaman dan komitmen kepala daerah serta DPRD-nya. Gaung KB tidak

terdengar lagi. Di daerah, KB sangat tergantung pada bupati atau wali kotanya. Di daerah

Page 17: Desentralisasi Kelembagaan Program Kb Di Ska

yang bupati/wali kotanya punya komitmen kuat, program KB tetap berjalan dengan baik,

sedangkan yang tidak, sebaliknya. Tampaknya titik awal dari terpinggirkannya KB dimulai

digulirkannya undang-undang tentang pemerintah daerah, di mana terjadi perubahan

fundamental. Semangat sentralistik berubah menjadi desentralistik. Peran pemerintah

kabupaten/kota menjadi amat besar. Sebetulnya tujuan ini baik dan amat berasalan, sebab

daerah lebih mengetahui karakteristik, prakarsa, potensi, dan kemampuan daerahnya

dibanding pusat. Aspek inilah yang diharapkan akan melahirkan semangat untuk melayani

masyarakat dengan lebih berkualitas. Tetapi dari tataran empirik yang dapat kita lihat dan

rasakan, justru kualitas pelayanan publik belum ada tanda-tanda membaik.

Di Kota Surakarta BKKBN dibentuk dalam badan yaitu Badan Pemberdayaan

Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana

(Bapermas, PP, PA & KB). Badan tersebut bertugas newujudkan kesejahteraan masyarakat,

kesetaraan gender, perlindungan anak dan keluarga kecil bahagia dimana program KB

termasuk didalamnya. Berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan program KB di Kota

Surakarta melalui Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan,

Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (Bapermas, PP, PA & KB)salah satunya dengan

memasukkan peran pria dalam ber-KB. Peran pria dalam ber-KB masih dikatakan rendah

berdasar data dibawah ini:

No. Alat Kontrasepsi 2005 2006 2007 2008

1 IUD 815 828 796 1.110

2 Pil 2.336 1.989 1.990 1.647

3 Kondom 300 424 290 468

4 MOP 3 2 6 8

5 Mow 180 248 312 389

6 Suntik 6.104 5.514 5.119 7.036

7 Implant 359 374 448 532

Peran Pria 3.00 % 4.54 % 3.30 % 3.90 %

Sumber : Data Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak

dan Keluarga Berencana (Bapermas, PP, PA & KB) Kota Surakarta.

Page 18: Desentralisasi Kelembagaan Program Kb Di Ska

BAB IIIPENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Desentralisasi kewenangan program kb di era otonomi daerah yaitu penanganan

masalah keluarga berencana di daerah sebagian menjadi

kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Merekalah yang

menentukan ada tidaknya institusi daerah yang secara spesifik

menyelenggarakan program keluarga berencana. Pemkab atau pemkot

mempunyai wewenang penuh untuk menentukan program-program yang menjadi

prioritas di daerahnya masing-masing. Selain itu, tiap daerah mempunyai pemahaman

sendiri-sendiri tentang pentingnya KB bagi pembangunan secara keseluruhan.

2. Kelembagaan program KB di Kota Surakarta sebelum dan sesudah otonomi daerah

yaitu

- Sebelum otonomi daerah : Sebelum otonomi daerah program kb di

kelola oleh dinas yaitu Dinas Kesejahteraan Rakyat,

Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (DKRPP &

KB) dan diatur oleh Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 6

Tahun 2001 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja

Perangkat Daerah Kota Surakarta sebagaimana telah diubah

dengan Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 4 Tahun 2004

tentang Perubahan peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 6

Tahun 2001. Struktur kelembagaan pemerintah daerah bersifat hierakhis

sehingga adanya kontrol yang sangat tegas dari pemerintah pusat dalam

menjalankan program kb.

Page 19: Desentralisasi Kelembagaan Program Kb Di Ska

- Sesudah otonomi daerah : di Kota Surakarta BKKBN dibentuk dalam badan yaitu

Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan peremuan, Perlindungan Anak

dan Keluarga Berencana (Bapermas, PP, PA & KB) berdasar pada Peraturan

Daerah Kota Surakarta Nomor 6 Tahun 2008 tentang Organisasi Dan Tata Kerja

Perangkat Daerah Kota Surakarta. Sehingga peran badan KB tersebut dirasa

kurang maksimal dalam mensukseskan program KB. Satu badan membawahi

banyak urusan. Sedangkan struktur kelembagaannya dalam menjalankan program

kb ini bersifat variatif dan kooordinatif.

3. Kondisi program KB sebelum adanya otonomi daerah dapat dikatakan berhasil

dengan melihat angka laju pertumbuhan penduduk yang dapat ditekan, adanya

partisipasi secara penuh dari masyrakat dan dinas yang terkait dalam mensukseskan

program KB. Namun setelah otonomi derah, pelaksanaan program KB menurun.

Adanya desentralisasi kewenangan membuat masing-masing daerah menentukan

sendiri program-program yang akan dikembangkan. Program KB kurang

dioptimalkan.Di Kota Surakarta sendiri masih diupayakan berbagai penyuluhan untuk

meningkatkan program KB.

B. Saran

Melihat dari pelaksanan program KB di era otonomi daerah masih ditemukan banyak

kekurangan. Berbagai upaya yang dapat dilakukan antara lain :

1. Melakukan tindakan preventif yaitu :

a. Sistem kelembagaan :

- Menyusun model/standar organisasi SKPD Program KB diarahkan menjadi

“bentuk badan”. Kebijakan program KB -> Perda/SK Bupati/Walikota.

- Standar Pelayanan Minimum (SPM) KB .

- Standar kualifikasi petugas penyuluh KB, standar jumlah/rasio tenaga

penyuluh terhadap desa yang dibina, program pendidikan dan pelatihan, serta

sistem insentif bagi tenaga penyuluh KB.

- Standar kontribusi daerah terhadap penyediaan anggaran ntuk alokon Peserta

KB terutama bagi keluarga miskin.

b. Reaktualisasi program KB

- Mengembangkan kegiatan program KB yang telah ada.

- Penelitian alat/obat, teknik dan metode kontrasepsi terbaru.

- Sistem reward bagi peserta KB dan penyuluh KB yang berprestasi.

- Menyempurnakan sistem pendataan dan pelaporan dari tingkat

Page 20: Desentralisasi Kelembagaan Program Kb Di Ska

2. Melakukan tindakan edukatif

a. Masyarakat umum

melalui iklan layanan masyarakat pada media massa/media elektronik, sinetron

atau sandiwara radio dsb;

b. Siswa/mahasiswa

penyuluhan oleh PLKB, kader KB, tokoh masyarakat atau tokoh agama

c. Kelompok masyarakat tertentu

leaflet ditempatkan di hotel-hotel, terminal, rumah sakit, apotik, stasiun dan atau

pesawat terbang

3. Melakukan tindakan koordinasi yaitu koordinasi yang berada di Tingkat pusat dan

provinsi

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. BKKBN. http://www.bkkbn.go.id/Webs/. Diakses pada tanggal 25 Oktober 2009 pukul 18.50 WIB.

_______. 2009. Logo baru, Semangat baru. http://74.125.153.132/search?q=cache:KBQMu7EHx9cJ:lip4.bkkbn.go.id/file.php/1/moddata/forum/9/17/Buletin-KB_edisi_March09.doc+BKKBN+-+TNI+KEMBALI+BERMITRA&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id&client=firefox-a.Diakses pada tanggal 25 Oktober 2009 pukul 18.56 WIB.

_______.2009. Perkembangan KB di Indonesia. http://www.lusa.web.id/perkembangan-kb-di-indonesia/. Diakses pada tanggal 25 Oktober 2009 pukul 19.10 WIB.

_______.2009. Sejarah Program KB dan Kependudukan di Indonesia. http://prov.bkkbn.go.id/jateng/program_detail.php?prgid=7. Diakses pada tanggal 25 Oktober 2009 pukul 19.30 WIB.

_______.2009. Rakornas KB tahun 2005. http://docs.google.com/gview?a=v&q=cache:9phheASGITIJ:www.gemari.or.id/artikel/file/kbprognas2005.pdf+RAPAT+KERJA+PROGRAM+KB+NASIONAL+2005&hl=id&gl=id&sig=AFQjCNHKBpKivn2XcEvGNF3nBlruChhg9A. Diakses pada tanggal 30 Oktober 2009 pukul 12.30 WIB.

_______.2009. Mekanisme Operasional Program KB Era Desentralisasi.. http://docs.google.com/gview?a=v&q=cache:zsNIn3hnr-MJ:www.bkkbn.go.id/Webs/DetailProgram.php%3FLinkID%3D465+MEKANISME+OPERASIONAL+PROGRAM+KB+ERA+DESENTRALISASI+PUSAT+PENELITIAN&hl=id&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEESidFMp9u14V-4v7jGRo9oeE2LYcgJwyb8J_URDCzzWqdOxpq0IzH8t-pWBlkDmC5nNBoXiHw_ISr1nrLigUzcCv2cE0l0KRHXMOKTNMGaXVfa4jiKFgzRSbMGMgFnxRBpXa7k3A&sig=AFQjCNEF9PyHUUz8y7hN2RyjG38IFHEccw. Diakses pada tanggal 30 Oktober 2009 pukul 13.10 WIB.

Page 21: Desentralisasi Kelembagaan Program Kb Di Ska

_______.2009. Program Keluarga Berencana Nasional Pasca Otonomi Daerah. http://docs.google.com/gview?a=v&q=cache:anO-foRM2XMJ:www.bkkbn.go.id/Webs/DetailProgram.php%3FLinkID%3D240+PROGRAM+KELUARGA+BERENCANA+NASIONAL+PASCA-OTONOMI+DAERAH1&hl=id&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEESiHTicCim2XedT5j_z6Lhzz8l4TD4USXgv0yatIdlFI8c91qxNT7Tdv5b_MGPnOJ1TkE8DA2V9snWJy6NJmkwkqy8uQHAH-T9NDVddP7Be6H7oC2HDOS-e_GKMMkea44dlFPU46&sig=AFQjCNFrdUIEd-DwebHL2STI2M0_4ZQEGQ. Diakses pada tanggal 30 Oktober 2009 pukul 13.15 WIB.

Nurcholis, Hanif. 2005. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.