Isi Referat Dislipidemia Dengan Ska
-
Upload
sheila-anisa -
Category
Documents
-
view
143 -
download
4
Transcript of Isi Referat Dislipidemia Dengan Ska
BAB 1
PENDAHULUAN
Dislipidemia termasuk salah satu dari keadaan dimana terjadi abnormalitas kadar lemak pada
penyakit metabolik seperti obesitas dan sindrom metabolik. Dislipidemia ditandai dengan kenaikan
kadar kolesterol total, kolesterol LDL, trigliserida dan penurunan kolesterol HDL. Nilai ini diperoleh
dari hasil tes fraksi lipid
Dislipidemia merupakan salah satu dari sekian banyak faktor resiko utama dari penyakit
kardiovaskular.
Di Indonesia prevalensi dislipidemia semakin meningkat. Penelitian MONICA di Jakarta
1988 menunjukkan bahwa kadar rata-rata kolesterol total pada wanita adalah 206,6 mg/dl dan pria
199,8 mg/dl, tahun 1993 meningkat menjadi 213,0 mg/dl pada wanita dan 204,8 mg/dl pada pria.
Dibeberapa daerah nilai kolesterol yang sama yaitu Surabaya (1985): 195 mg/dl, Ujung Pandang
(1990): 219 mg/dl dan Malang (1994): 206 mg/dl. Apabila dipakai batas kadar kolesterol > 250 mg/dl
sebagai batasan hiperkolesterolemia maka pada MONICA I terdapatlah hiperkolesterolemia 13,4 %
untuk wanita dan 11,4 % untuk pria. Pada MONICA II hiperkolesterolemia terdapat pada 16,2 %
untuk wanita dan 14 % pria.4 Pada penelitian yang dilakukan oleh Sudijanto Kamso dkk. (2004)
terhadap 656 responden di 4 kota besar di Indonesia (Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Padang)
didapatkan keadaan dislipidemia berat (total kolesterol >240 mg/dL)pada orang berusia diatas 55
tahun didapatkan paling banyak di Padang dan Jakarta (>56%), diikuti oleh mereka yang tinggal di
Bandung (52,2%) dan Yogyakarta (27,7%). Pada penelitian ini juga didapatkan bahwa prevalensi
dislipidemia lebih banyak didapatkan pada wanita (56,2%) dibandingkan pada pria (47%). Dari
keseluruhan wanita yang mengidap dislipidemia tersebut ditemukan prevalensi dislipidemia terbesar
pada rentang usia 55-59 tahun (62,1%) dibandingkan yang berada pada rentang usia 60-69 tahun
(52,3%) dan berusia diatas 70 tahun (52,6%).4
Oleh karena itu, pencegahan faktor resiko penyakit kardiovaskular seperti obesitas,
dislipidemia dan sindrom metabolik merupakan tantangan yang sangat penting di dalam negara
berkembang.
Sindroma koroner akut (SKA) adalah istilah yang digunakan untuk kumpulan simptom yang
muncul akibat iskemia miokard akut. SKA yang terjadi akibat infark otot jantung disebut infark
miokard. Termasuk di dalam SKA adalah unstable angina pektoris, infark miokard non elevasi
segmen ST (Non STEMI), dan infark miokard elevasi segmen ST (STEMI) (Ramrakha, 2006).
Infark miokard adalah nekrosis miokard yang berkembang cepat oleh karena
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen otot-otot jantung. Hal ini biasanya
disebabkan oleh ruptur plak yang kemudian diikuti oleh pembentukan trombus oleh trombosit. Lokasi
dan luasnya miokard infark bergantung pada lokasi oklusi dan aliran darah kolateral
1
Menurut laporan WHO, pada tahun 2004, penyakit infark miokard akut merupakan penyebab
kematian utama di dunia. Terhitung sebanyak 7.200.000 (12,2%) kematian terjadi akibat penyakit ini
di seluruh dunia. Penyakit ini adalah penyebab utama kematian pada orang dewasa di mana-mana.
Infark miokard akut adalah penyebab kematian nomor dua pada negara berpenghasilan rendah,
dengan angka mortalitas 2.470.000 (9,4%). Di Indonesia pada tahun 2002, penyakit infark miokard
akut merupakan penyebab kematian pertama, dengan angka mortalitas 220.000 (14%). Direktorat
Jendral Yanmedik Indonesia meneliti, bahwa pada tahun 2007, jumlah pasien penyakit jantung yang
menjalani rawat inap dan rawat jalan di rumah sakit di Indonesia adalah 239.548 jiwa. Kasus
terbanyak adalah panyakit jantung iskemik, yaitu sekitar 110,183 kasus. Case Fatality Rate (CFR)
tertinggi terjadi pada infark miokard akut (13,49%) dan kemudian diikuti oleh gagal jantung (13,42%)
dan penyakit jantung lainnya (13,37%).
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Dislipidemia
2.1.1. Definisi
Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipoprotein, termasuk peningkatan lipoprotein
ataupun defisiensi. Dislipidemia dapat dimanifestasikan lewat peningkatan dari kolesterol total,
kolesterol LDL dan konsentrasi trigliserid, serta penurunan konsentrasi kolesterol HDL.1
Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan maupun
penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang paling utama adalah kenaikan kadar
kolesterol total (>240mg/dl), kolesterol LDL(>160 mg/dl), kenaikan kadar trigliserida (>200 mg/dl)
serta penurunan kadar HDL (<40 mg/dl). Dalam proses terjadinya aterosklerosis semuanya
mempunyai peran yang penting dan berkaitan satu dengan yang lain.2
Secara ideal pengontrolan profil lipid harus mengusahakan agar tercapai nilai triad lipid ideal.
Triad lipid ideal, terdiri dari:
1. Kolesterol total dan kolesterol LDL
Kolesterol merupakan salah satu dari komponen lemak itu sendiri. Kehadiran lemak sendiri
dalam tubuh kita sesungguhnya memiliki fungsi sebagai zat gizi yang sangat diperlukan oleh tubuh
disamping zat gizi lainnya seperti karbohidrat, protein, vitamin dan mineral yang mempunyai fungsi
dalam tubuh yaitu untuk melapisi dinding sel tubuh, membentuk asam empedu, membentuk hormon
seksual, berperan dalam pertumbuhan jaringan saraf dan otak. Kolesterol sebanyak 75% dibentuk di
organ hati sedangkan 25% diperoleh dari asupan makanan. Kenaikan kadar kolesterol di atas nilai
normal diantaranya disebabkan oleh berlebihnya asupan makanan yang berasal dari lemak hewani,
telur dan serta makanan – makanan yang dewasa ini disebut junkfood.
LDL disebut juga β-lipoprotein yang mengandung 21% protein dan 78% lemak. LDL
dikatakan kolesterol jahat karena LDL berperan membawa kolesterol ke sel dan jaringan tubuh,
sehingga bila jumlahnya berlebihan, kolesterol dapat menumpuk dan mengendap pada dinding
pembuluh darah dan mengeras menjadi plak. Plak dibentuk dari unsur lemak, kolesterol, kalsium,
produk sisa sel dan materi-materi yang berperan dalam proses pembekuan darah. Hal inilah yang
kemudian dapat berkembang menjadi menebal dan mengerasnya pembuluh darah yang dikenal
dengan nama aterosklerosis.3
2. Trigliserida (TG)
Trigliserida adalah asam lemak dan merupakan jenis lemak yang paling banyak di dalam
darah. Kadar trigliserida yang tinggi dalam darah (hipertrigliseridemia) juga dikaitkan dengan
terjadinya penyakit jantung koroner. Tingginya trigliserida sering disertai dengan keadaan kadar HDL
rendah. Sementara yang lebih mengerikannya lagi, ditemukan pula pada kadar trigliserida diatas 500
3
mg/dl dapat menyebabkan peradangan pada pankreas. Kadar trigliserida dalam darah banyak
dipengaruhi oleh kandungan karbohidrat makanan dan kegemukan.3
3 Kolesterol HDL
HDL disebut juga α-lipoprotein mengandung 30% protein dan 48% lemak. HDL dikatakan
kolesterol baik karena berperan membawa kelebihan kolesterol di jaringan kembali ke hati untuk
diedarkan kembali atau dikeluarkan dari tubuh. HDL ini mencegah terjadinya penumpukkan
kolesterol di jaringan, terutama di pembuluh darah. Kadar HDL menurun biasanya terlihat pada pria,
obesitas, diabetes melitus, hipertrigliseridemia, dan lipoproteinemia sedangkan peningkatan HDL
terjadi pada wanita, penurunan berat badan, olahraga teratur, dan berhenti merokok.3
Fungsi HDL antara lain:
1. Meningkatkan sintesis reseptor LDL
2. Diduga sebagai sumber bahan pembentukan prostasiklin yang bersifat anti trombosis
3. Sebagai sumber apoprotein untuk metabolisme VLDL remnant dan kilomikron
remnant3
2.1.2.Epidemiologi
Di Indonesia prevalensi dislipidemia semakin meningkat. Penelitian MONICA di Jakarta
1988 menunjukkan bahwa kadar rata-rata kolesterol total pada wanita adalah 206,6 mg/dl dan pria
199,8 mg/dl, tahun 1993 meningkat menjadi 213,0 mg/dl pada wanita dan 204,8 mg/dl pada pria.
Dibeberapa daerah nilai kolesterol yang sama yaitu Surabaya (1985): 195 mg/dl, Ujung Pandang
(1990): 219 mg/dl dan Malang (1994): 206 mg/dl. Apabila dipakai batas kadar kolesterol > 250 mg/dl
sebagai batasan hiperkolesterolemia maka pada MONICA I terdapatlah hiperkolesterolemia 13,4 %
untuk wanita dan 11,4 % untuk pria. Pada MONICA II hiperkolesterolemia terdapat pada 16,2 %
untuk wanita dan 14 % pria.4 Pada penelitian yang dilakukan oleh Sudijanto Kamso dkk. (2004)
terhadap 656 responden di 4 kota besar di Indonesia (Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Padang)
didapatkan keadaan dislipidemia berat (total kolesterol >240 mg/dL)pada orang berusia diatas 55
tahun didapatkan paling banyak di Padang dan Jakarta (>56%), diikuti oleh mereka yang tinggal di
Bandung (52,2%) dan Yogyakarta (27,7%). Pada penelitian ini juga didapatkan bahwa prevalensi
dislipidemia lebih banyak didapatkan pada wanita (56,2%) dibandingkan pada pria (47%). Dari
keseluruhan wanita yang mengidap dislipidemia tersebut ditemukan prevalensi dislipidemia terbesar
pada rentang usia 55-59 tahun (62,1%) dibandingkan yang berada pada rentang usia 60-69 tahun
(52,3%) dan berusia diatas 70 tahun (52,6%).4
2.1.3. Klasifikasi
Dislipidemia dapat diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi fenotipik dan patologik. 5
2.1.3.1. Klasifikasi Fenotipik
Klasifikasi fenotipik pada dislipidemia dibagi atas klasifikasi berdasarkan EAS, NCEP, dan
WHO.
1. Klasifikasi EAS (European Atheroselerosis Society)
4
Pada klasifikasi berdasarkan EAS, dislipidemia dibagi 3 golongan, yaitu hiperkolesterolemia
yang merujuk pada peningkatan kolesterol total, hipertrigliseridemia yang merujuk nilai trigliserida
plasma yang meninggi, dan campuran keduanya.
Tabel 1. Klasifikasi dislipidemia berdasarkan EAS.5
Peningkatan
Klasifikasi Lipoprotein Lipid Plasma
Hiperkolesterolemia LDL Kolesterol > 240 mg/dl
Disiplidemia campuran
(Kombinasi)
LDL
+
VLDL
Trigliserida > 200 mg/dl
+
Kolesterol > 240 mg/dl
Hipertrigliseridemia VLDL Trigliserida > 200 mg/dl
Sumber: European Atheroselerosis Society (EAS)
2. Klasifikasi NECP (National Cholesterol Education Program)
Kapan disebut lipid normal, sebenarnya sulit dipatok pada suatu angka, oleh karena normal
untuk seseorang belum tentu normal untuk orang lain yang disertai faktor risiko koroner multipel.
Walaupun demikian, National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III (NCEP ATP
III) 2001 telah membuat satu batasan yang dapat dipakai secara umum tanpa melihat faktor risiko
Koroner. Klasifikasi kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, dan trigliserid menurut NCEP
ATP III 2001 (mg/dl). 5
Interpretasi Kole sterol Total LDL
“Ideal” < 200 mg/dl < 130 mg/dl
Batas Tinggi 200-239 mg/dl 130-159 mg/dl
Tinggi > 240 mg/dl > 160 mg/dl
Tabel 2. Klasifikasi NECP (National Cholesterol Education Program)
3. Klasifikasi WHO (World Health Organization)
Klasifikasi WHO didasarkan pada modifikasi kalsifikasi Fredricson, yaitu berdasarkan pada
pengukuran kolesterol total, trigliserida, dan subkelas lipoprotein.
Fredricson Klasifikasi generik Klasifikasi
terapeutik
Peningkatan
Lipoprotein
I Dislipedemia
Eksogen
Hipertrigliseridemia
Eksogen
Kilomikron
IIa Hiperkolesterolemia Hiperkolseterolemia LDL
IIb Disiplidemia Hiperkolesterolemia LDL +VLDL
5
Kombinasi Endogen
+
Disiplidemia kombinasi
III Dislipedemia remnant Hipertrigliseridemia Partikel – partikel
remnant(Beta VLDL)
IV Dislipedemia Endogen Endogen VLDL
V Dislipedemia campuran Hipertrigliseridemia
Endogen
VLDL + Kilomikron
Tabel 3. Klasifikasi dislipidemia berdasarkan kriteria WHO.
Sumber: WHO
2.1.3.2. Klasifikasi Patogenik
Sedangkan berdasarkan patologinya, dislipidemia dibagi 2, yaitu dislipidemia primer dan
sekunder.5
1. Dislipidemia Primer
Dislipidemia primer berkaitan dengan gen yang mengatur enzim dan apoprotein yang terlibat
dalam metabolisme lipoprotein maupun reseptornya. Kelainan ini biasanya disebabkan oleh mutasi
genetik. Dislipidemia primer meliputi:
• Hiperkolesterolemia poligenik
• Hiperkolesterolemia familial
• Dislipidemia remnant
• Hyperlipidemia kombinasi familial
• Sindroma Chylomicron
• Hypertrriglyceridemia familial
• Peningkatan Cholesterol HDL
• Peningkatan Apolipoprotein B
2. Dislipidemia Sekunder
Dislipidemia sekunder disebabkan oleh penyakit atau keadaan yang mendasari. Hal ini dapat
bersifat spesifik untuk setiap bentuk dislipidemia.
Tabel 4. Penyebab Umum Dislipidemia Sekunder
Hiperkolesterolemia Hipertrigliseridemi
a
Dislipidemia
Hipotiroid DM alkohol Hipotiroid
Sindrom nefrotik Obesitas Sindrom nefrotik
Penyakit hati obstruktif Gagal ginjal kronik Gagal ginjal kronik
Sumber: Buku Ajar IPD
2.1.4.Etiologi
6
Etiologi dari dislipidemia dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah sebagai
berikut.5
a. Faktor jenis kelamin
Risiko terjadinya dislipidemia pada pria lebih besar daripada wanita. Hal tersebut disebabkan
karena pada wanita produktif terdapat efek perlindungan dari hormon reproduksi. Pria lebih banyak
menderita aterosklerosis, dikarenakan hormon seks pria (testosteron) mempercepat timbulnya
aterosklerosis sedangkan hormon seks wanita (estrogen) mempunyai efek perlindungan terhadap
aterosklerosis. Akan tetapi pada wanita menopause mempunyai risiko lebih besar terhadap terjadinya
aterosklerosis dibandingkan wanita premenopouse.
b. Faktor Usia
Semakin tua usia seseorang maka fungsi organ tubuhnya semakin menurun, begitu juga
dengan penurunan aktivitas reseptor LDL, sehingga bercak perlemakan dalam tubuh semakin
meningkat dan menyebabkan kadar kolesterol total lebih tinggi, sedangkan kolesterol HDL relatif
tidak berubah. Pada usia 10 tahun bercak perlemakan sudah dapat ditemukan di lumen pembuluh
darah dan meningkat kekerapannya pada usia 30 tahun.
c. Faktor Genetik
Faktor genetik merupakan salah satu faktor pencetus terjadinya dislipidemia. Dalam ilmu
genetika menyebutkan bahwa gen untuk sifat – sifat tertentu (spesific – trait) diturunkan secara
berpasangan yaitu dimana diperlukan satu gen dari ibu dan satu gen dari ayah, sehingga kadar
hiperlipidemia tinggi dapat diakibatkan oleh faktor dislipidemia primer karena faktor kelainan
genetik.
d. Faktor Kegemukan
Kegemukan erat hubungannya dengan peningkatan resiko sejumlah komplikasi yang dapat
terjadi sendiri ataupun bersamaan. Kegemukan disebabkan oleh ketidakseimbangan antara energi
yang masuk bersama makanan, dengan energi yang dipakai. Kelebihan energi ini ditimbun dalam sel
lemak yang membesar. Pada orang yang kegemukan didapat output VLDL trigliserida yang tinggi dan
kadar trigliserida plasma yang lebih tinggi. Trigliserida berlebihan dalam sirkulasi juga
mempengaruhi lipoprotein lain. Bila trigliserida LDL dan HDL mengalami lipolisis, akan menjadi
small dense LDL dan HDL, abnormalitas ini secara tipikal ditandai dengan kadar kolesterol HDL
yang rendah.
e. Faktor Olah Raga
Olah raga yang teratur dapat menyebabkan kadar kolesterol total, kolesterol LDL, dan
trigliserida menurun dalam darah, sedangkan kolesterol HDL meningkat secara bermakna. Lemak
ditimbun dalam di dalam sel lemak sebagai trigliserida. Olahraga memecahkan timbunan trigliserida
dan melepaskan asam lemak dan gliserol ke dalam aliran darah.
f. Faktor Merokok
Merokok dapat meningkatkan kadar kolesterol total, kolesterol LDL, trigliserida, dan
7
menekan kolesterol HDL. Pada seseorang yang merokok, rokok akan merusak dinding pembuluh
darah. Nikotin yang terkandung dalam asap rokok akan merangsang hormon adrenalin, sehingga akan
mengubah metabolisme lemak yang dapat menurunkan kadar kolesterol HDL dalam darah.
g. Faktor Makanan
Konsumsi tinggi kolesterol menyebabkan hiperkolesterolemia dan aterosklerosis. Asupan
tinggi kolesterol dapat menyebabkan peningkatan kadar kolesterol total dan LDL sehingga
mempunyai resiko terjadinya dislipidemia.
2.1.5. Patofisiologi
Metabolisme lipoprotein dapat dibagi atas tiga jalur yaitu jalur metabolisme eksogen , jalur
metabolisme endogen, dan jalur reverse cholesterol transport, kedua jalur utama berhubungan dengan
metabolisme kolesterol-LDL dan trigliserid, sedang jalur reverse cholesterol transport khusus
mengenai metabolisme kolesterol-HDL.
Gambar 1. Jalur Metabolisme Lipoprotein
Dikutip dari: Lipoprotein Metabolism and Lipid Management in Chronic Kidney Disease. Journal of
The American Society of Nephrology. 2007
1. Jalur metabolisme eksogen
Makanan berlemak yang dimakan terdiri atas trigliserid dan kolesterol. Selain kolesterol yang
berasal dari makanan terdapat juga kolesterol yang berasal dari hati yang diekskresi bersama empedu
ke usus halus. Lemak inilah yang disebut lemak eksogen. Trigliserid dan kolesterol dalam usus halus
akan diserap ke dalam enterosit mukosa usus halus dimana trigliserid akan diserap sebagai asam
lemak bebas sementara kolesterol sebagai kolesterol. Di dalam usus halus asam lemak bebas akan
diubah lagi menjadi trigliserid, sedang kolesterol akan mengalami esterifikasi menjadi kolesterol ester
dan keduanya bersama dengan fosfolipid dan apolipoprotein akan membentuk lipoprotein yang
8
dikenal dengan kilomikron. Kilomikron ini akan masuk ke saluran limfe dan akhirnya melalui duktus
torasikus akan masuk ke dalam aliran darah. Trigliserid dalam kilomikron akan mengalami hidrolisis
oleh enzim lipoprotein lipase yang berasal dari endotel menjadi asam lemak bebas. Asam lemak
bebas dapat disimpan sebagai trigliserid kembali di jaringan lemak, tetapi bila terdapat dalam
jumlah yang banyak sebagian akan diambil oleh hati menjadi bahan untuk pembentukan
trigliserid hati. Kilomikron yang sudah kehilangan sebagian besar trigliserid akan menjadi
kilomikron remnant yang mengandung kolesterol ester dan akan dibawa ke hati.
2. Jalur metabolisme endogen
Trigliserid dan kolesterol yang disintesis di hati dan disekresi ke dalam sirkulasi sebagai
lipoprotein VLDL. Apolipoprotein yang terkandung dalam VLDL adalah apolipoprotein B100. Dalam
sirkulasi, trigliserid di VLDL akan mengalami hidrolisis oleh enzim lipoprotein lipase dan VLDL
berubah menjadi IDL yang juga akan mengalami hidrolisis dan berubah menjadi LDL. Sebagian dari
VLDL, IDL, dan LDL akan mengangkut kolesterol ester kembali ke hati. LDL adalah lipoprotein
yang paling banyak mengandung kolesterol. Sebagian dari kolesterol di LDL akan dibawa ke hati dan
jaringan steroidogenik lainnya seperti kelenjar adrenal, testis, dan ovarium yang mempunyai reseptor
untuk kolesterol-LDL. Sebagian lagi dari kolesterol-LDL akan mengalami oksidasi dan ditangkap
oleh reseptor Scavenger-A (SR-A) di makrofag dan akan menjadi sel busa (foam cell). Makin banyak
kadar kolesterol-LDL dalam plasma makin banyak yang akan mengalami oksidasi dan ditangkap oleh
sel makrofag. Jumlah kolesterol yang akan teroksidasi tergantung dari kadar kolesterol yang
terkandung di LDL. Beberapa keadaan mempengaruhi tingkat oksidasi seperti :
Meningkatnya jumlah small dense LDL seperti pada sindroma metabolik dan diabetes melitus
Kadar kolesterol-HDL, makin tinggi kadar kolesterol-HDL akan bersifat protektif terhadap
oksidasi LDL.
3. Jalur reverse cholesterol transport
HDL dilepaskan sebagai partikel kecil miskin kolesterol yang mengandung apolipoprotein
(apo) A, C dan E dan disebut HDL nascent. HDL nascent berasal dari usus halus dan hati,
mempunyai bentuk gepeng dan mengandung apolipoprotein A1. HDL nascent akan mendekati
makrofag untuk mengambil kolesterol yang tersimpan di makrofag. Setelah mengambil kolesterol dari
makrofag, HDL nascent berubah menjadi HDL dewasa yang berbentuk bulat. Agar dapat diambil oleh
HDL nascent, kolesterol di bagian dalam dari makrofag harus dibawa ke permukaaan membran sel
makrofag oleh suatu transporter yang disebut adenosine triphosphate-binding cassette transporter-1
atau disingkat ABC-1.
Setelah mengambil kolesterol bebas dari sel makrofag, kolesterol bebas akan diesterifikasi
menjadi kolesterol ester oleh enzim lecithincholesterol acyltransferase (LCAT). Selanjutnya sebagian
kolesterol ester yang dibawa oleh HDL akan mengambil dua jalur. Jalur pertama ialah ke hati dan
ditangkap oleh scavenger receptor class B type 1 dikenal dengan SR-B1. Jalur kedua adalah
9
kolesterol ester dalam HDL akan dipertukarkan dengan trigliserid dari VLDL dan IDL dengan
bantuan cholesterol ester transfer protein (CETP). Dengan demikian fungsi HDL sebagai “penyerap”
kolesterol dari makrofag mempunyai dua jalur yaitu langsung ke hati dan jalur tidak langsung melalui
VLDL dan IDL untuk membawa kolesterol kembali ke hati.6
2.1.6. Kriteria Diagnostik dan Pemeriksaan Laboratorium Dislipidemia
2.1.6.1. Pedoman Klinis Kadar Lipid Sehubungan Dengan Resiko PKV5
Angka patokan kadar lipid yang memerlukan pengelolaan, penting dikaitkan dengan
terjadinya komplikasi kardiovaskuler. Dari berbagai penelitian jangka panjang di negara-negara barat,
yang dikaitkan dengan besarnya resiko untuk terjadinya PKV, dikenal patokan kadar kolesterol total
sbb:
a. Kadar yang diinginkan dan diharapkan masih aman (desirable) adalah <200 mg/dl
b. Kadar yang sudah mulai meningkat dan harus diwaspadai untuk mulai dikendalikan
(bordeline high) adalah 200-239 mg/dl
c. Kadar yang tinggi dan berbahaya bagi pasien (high) adalah > 240 mg/dl
Untuk trigliserida besamya pengaruh terhadap kemungkinan terjadinya komplikasi
kardiovaskuler belum disepakati benar. NECP (National Cholesterol Education Program) tidak
memasukkan kadar trigliserida dalam anjuran pengelolaan lipid mereka. Sebaliknya kelompok
kontinental memasukkan juga faktor trigliserida dalam algoritma yang mereka anjurkan, dilandasi
oleh penelitian mereka di Eropa (studi Procam dan studi Paris).5
Di Indonesia data epidemiologis mengenai lipid masih langka, apalagi longitudinal yang
berkaitan dengan angka kesakitan atau angka kematian penyakit kardiovaskuler.
Tabel 5. Pedoman Klinis untuk Menghubungkan Profil Lipid Dengan Risiko Terjadinya PKV5
Profil Lipid Diinginkan
(mg/dl)
Diwaspadai
(mg/dl)
Berbahaya
(mg/dl)
Kolestorel total <200 200-239 >240
Kolesterol LDL
Tanpa PKV <130 130-159 >160
Dengan PKV 100
Kolesterol HDL >45 36-44 <35
Triliserida
Tanpa PKV <200 200-399 >400
Dengan PKV <150 - -
Secara klinis digunakanlah kadar kolesterol total sebagai tolak ukur, walaupun berdasarkan
patofisiologi, yang berperan sebagai faktor risiko adalah kolesterol LDL. Namun demikian, kadar
10
kolesterol total dapat juga menggambarkan kadar kolesterol LDL.
Tabel 6. Kadar Kolesterol Total Dihubungkan dengan Kadar LDL5
Kolesterol Total Kolesterol LDL
240 mg/dl 160 mg/dl
200 mg/dl 120 mg/dl
160 mg/dl 100 mg/dl
2.1.6.2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium memegang peranan penting dalam menegakkan diagnosis
dislipidemia. Parameter yang diperiksa meliputi kadar kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol
HDL dan trigliserid.
a. Persiapan
Sebaiknya subjek dalam keadaan metabolik stabil, tidak ada perubahan berat badan, pola
makan, kebiasaan merokok, olahraga, minum kopi/alkohol dalam 2 minggu terahir sebelum
diperiksa, tidak ada sakit berat atau operasi dalam 2 bulan terakhir.
Tidak mendapat obat yang mempengaruhi kadar lipid dalam 2 minggu terakhir. Bila hal
tersebut tidak memungkinkan, pemeriksaan tetap dilakukan tetapi, dengan disertai catatan.
b. Pengambilan bahan pemeriksaan
Pengambilan bahan dilakukan setelah puasa 12-16 jam ( boleh minum air putih). Sebelum
bahan diambil subyek duduk selama 5 menit
Pengambilan bahan dilakukan dengan melakukan bendungan vena seminimal mungkin
Bahan yang diambil adalah serum.
c. Analis
Analis kolesterol total dan trigliserida dilakukan dengan metode ensimatik
Analis kolesterol HDL dan Kol-LDL dilakukan dengan metode presipitasi dan ensimatik.
Kadar kolesterol LDL sebaiknya diukur secara langsung, atau dapat juga dihitung
menggunakan rumus Friedewaid kalau kadar trigliserida < 400 mg/d, sbb:
Kadar kol. LDL = Kol.Total – kol.HDL – 1/5 trigliserida
2.1.7. Komplikasi Dislipidemia
Apabila dislipidemia tidak segera diatasi, maka dapat terjadi berbagai macam komplikasi, antara
lain: 8
1. Atherosklerosis
2. Penyakit jantung koroner
3. Penyakit serebrovaskular seperti strok
4. Kelainan pembuluh darah tubuh lainnya
5. Pankreatitis akut
11
2.2. Sindrom Koroner Akut
2.2.1. Definisi
Sindrom koroner akut adalah sekumpulan keluhan gejala dan tanda klinis yang
sesuai dengan iskemia miokard akut. Sindrom koroner akut merupakan suatuspektrum
dalam perjalanan penderita penyakit jantung koroner (aterosklerosiskoroner) dapat
berupa: angina pektoris tidak stabil, infark miokard dengan non-STelevasi, infark
miokard dengan ST elevasi atau kematian jantung mendadak. 8
Tabel 7. Spektrum sindroma koroner akut
Dikutip dari: ESC Guidelines for the management of acute coronary syndromes in patients
presenting without persistent ST-segment elevation. European Heart Journal. 2011; 32; 2999-3054
2.2.2. Etiologi
Tabel 8. Faktor resiko penyakit jantung koroner
Faktor resiko yang tidak dapat dirubah Faktor resiko yang dapat diubah
- usia
- jenis kelamin laki-laki
- merokok
- hipertensi
12
- Riwayat keluarga
- etnis
- dislipidemia
- diabetes melitus
- obesitas dan sindrom metabolik
- stres
- diet lemak yang tinggi kalori
- inaktifitas fisik
Faktor resiko baru :
- inflamasi
-fibrinogen
- Homosistein
- stres oksidatif
Dikutip dari: Penyakit Jantung Koroner: Patofisiologi, Pencegahan dan Pengobatan Terkini.
Abdul Majid. 2007
2.2.3. Patofisiologi Aterosklerosis
Penyakit arteri yang berkembang secara perlahan, dengan penebalan tunika intima terjadi
karena penumpukan fibrosa yang secara bertahap akan menyempitkan lumen dan secara bertahap
menjadi tempat perdarahan dan pembentukan trombus.
Lapisan lemak merupakan tanda awal ath, yang tampak (dapat terjadi sejak kanak – kanak).
Lapisan ini merupakan akumulasi sel besar yang mengandung lemak di subendotel (sel busa).
Selanjutnya, terbentuk plak fibrosa atau aterom, yang merupakan penyebab manifestasi klinis Ath.
Plak ini terdiri dari akumulasi monosit, makrofag, sel busa, limfosit T, jaringan ikat, debris jaringan,
dan kristal kolesterol. Plak seringkali terinfeksi oleh bakteri Chlamydia pneumoniae.
Lokasi plak yang paling sering adalah di aorta abdominalis, arteri koronaria, arteri poplitea,
dan arteriosis sirkulus serebri.
Salah satu faktor resiko Ath adalah hiperlipidemia. Sekitar 70% dari kolesterol akan
ditranspor dalam bentuk LDL dan pembentukan Ath berhubungan erat dengan peningkatan LDL.
Kelainan pada reseptor LDL akan menyebabkan Ath yang sangat dini. Faktor resiko khusus adalah
lipoprotein (a) (=LDL yang mengandung apolipoprotein Apo (a)). Apo(a) serupa dengan plasminogen
dan berikatan dengan fibrin sehingga Apo(a) dapat memiiki efek antifibrinolitik dan trombogenik.
(perannya terhadap trigliserida dan HDL)
Patogenesis Ath masih tidak dapat dijelaskan, namun kerusakan endotel (dan infeksi
klamidia?) mungkin merupakan kejadian utama dan reaksi terhadapnya pada akhirnya dapat
menyebabkan pembentukan plak. Plak biasanya terjadi di tempat dengan stres mekanik yang tinggi
(bifukarsio pembuluh darah); dengan cara yang sama hipertensi juga menjadi faktor resiko. Di antara
berbagai reaksinya adalah peningkatan ambilan lemak di dinding pembuluh darah serta adhesi
monosit dan trombosit yang dibantu oleh HoCys. Monosit akan masuk ke intima dan diubah menjadi
13
makrofag. Proses ini menyebabkan pelepasan radikal O2 yang reaktif, terutama anion superadikal O2
yang reaktif. O2- ( juga dibantu oleh HoCys), yang memiliki efek perusak di sel endotel dan
menginaktifkan NO yang dibentuk oleh endotel, disepanjang perjalanannya ke endotel dan otot
pembuluh darah : NO + O2- ONOO-. Hal ini menyebabkan hilangnya aktivitas NO, yakni
penghambat adhesi trombosit dan monosit diendotel serta efek antiproliteratif dan vasodilatasi pada
otot pembuluh darah. Penghambatan vasodilatasi mendorong terjadinya spasme. Bahkan pada stadium
awal Ath, radikal O2 diubah melalui oksidasi oleh LDL yang telah memasuki endotel, dan ditempat
ini akan merangsang ekspresi molekul adhesi yang memungkinkan otot pembuluh darah
berproliferasi. Oksidasi juga menyebabkan perubahan ikatan LDL. LDL tidak lagi dikenali oleh
reseptor ApoB 100, namun dikenali oleh yang disebut reseptor scavenger yang sebagian besar
terdapat didalam makrofag. Akibatnya sekarang makrofag banyak memfagosit LDL dan akan berubah
menjadi sel busa yang menetap. Lipoprotein(a) dapat dioksidasi dan difagositosis melalui cara yang
sama. Secara bersamaan, faktor kemotaksis monosit dan trombosit akan memicu perpindahan sel otot
polos dari media ke dalam intima. Di intima sel tersebut akan dirangsang untuk berproliferasi oleh
PDGF dan berbagai faktor peningat pertumbuhan lainnya.( dari makrofag =, trombosit, endotel yang
rusak, dan sel otot sendiri). Sel otot juga akan diubah menjadi sel busa dengan mengambil LDL
teroksidasi. Sel busa akan mengambil matriks ekstrasel (kolagen, elastin, proteoglikan) yang juga
berperan dalam pembentukan aterom.
Akibat penimbunan plak adalah penyempitan lumen yang dapat menyebabkan iskemia (PJK).
Penyakit penyumbatan arteri kronis dibagian kaki dengan nyeri iskemi saat melakukan aktivitas
(klaudikasio intermiten). Akibat lain adalah kekakuan dinding pembuluh darah (kalsifikasi),
pembentukan trombus yang menyumbat lumen yang tersisa dan dapat menyebabkan emboli perifer
(infark serebri, stroke) serta perdarahan kedalam plak (penyempitan tambahan oleh hematoma) dan
dinding pembuluh darah.karena melemah, dinding dapat melebar (aneurisma) dan bahkan mengalami
ruptur dengan menimbulkan perdarahan, yang berbahaya ke jaringan sekitarnya, misalnya aorta atau
pembuluh darah otak.9
2.2.3. Klasifikasi
2.2.3.1. Angina pektoris tak stabil
Definisi
Angina pektoris adalah nyeri dada intermitten yang disebabkan oleh iskemia miokardium
yang reversibel dan sementara. Diketahui terbagi atas tiga varian utama angina pektoris: angina
pektoris tipikal (stabil), angina pektoris prinzmetal (varian), dan angina pektoris tak stabil. Pada
pembahasan ini akan lebih difokuskan kepada angina pektoris tidak stabil.10
Angina pektoris tak stabil ditandai dengan nyeri angina yang frekuensi nya meningkat.
Serangan cenderung di picu oleh olahraga yang ringan, dan serangan menjadi lebih intens dan
berlangsung lebih lama dari angina pektoris stabil. Angina tak stabil merupakan tanda awal iskemia
miokardium yang lebih serius dan mungkin ireversibel sehingga kadang-kadang disebut angina pra
14
infark. Pada sebagian besar pasien, angina ini di picu oleh perubahan akut pada plak di sertai
trombosis parsial, embolisasi distal trombus dan/ atau vasospasme. Perubahan morfologik pada
jantung adalah arterosklerosis koroner dan lesi terkaitnya.10
Epidemiologi
Di Amerika serikat setiap tahun, 1 juta pasien di rawat di rumah sakit karena angina pek toris tak
stabil; dimana 6 sampai 8 persen kemudian mendapat serangan infark jantung yang tidak fatal atau
meninggal dalam satu tahun setelah diagnosis di tegak kan.11
Patogenesis Penyakit
1. Ruptur plak
Ruptur plak arterosklerotik dianggap penyebab terpenting angina pektoris tak stabil, sehingga
tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh koroner yang sebelunya mempunyai
penyempitan yang mininal. Dua pertiga dari pembuluh yang mengalami ruptur sebelumnya
mempunyai penyempitan 50% atau kurang, dan pada 97% pasien dengan angina tak stabil
mempunyai penyempitan kurang dari 70%. Plak arterosklerotik terdiri dari inti yang mengandung
banyak lemak dan pelindung jaringan fibrotic (fibrotic cap).Plak tidak stabil terdiri dari inti yang
banyak mengandung lemak dan adanya infiltrasi sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi pada tepi
plak yang berdekatan dengan intima yang normal atau pada bahu dari timbunan lemak. Kadang-
kadang keretakan timbul pada dinding plak yang paling lemah karena adanya enzim protease
yang di hasilkan makrofag dan secara enzimatik melemahkan dinding plak (fibrous cap).
Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan menyebabkan
aktivasi terbentuknya trombus. Bila trombus menutup pembuluh darah 100% akan terjadi infark
dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100% dan hanya
menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina tak stabil.11
2. Trombosis dan agregasi trombosit
Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu dasar terjadinya angina tak
stabil. Terjadinya trombosis setelah plak terganggu di sebabkan karena interaksi yang terjadi
antara lemak, sel otot polos dan sel busa (foam cell) yang ada dalam plak berhubungan dengan
ekspresi faktor jaringan dalam plak tak stabil. Setelah berhubungan dengan darah, faktor jaringan
berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi enzimatik yang menghasilkan
pembentukan trombin dan fibrin.11
3. Vasospasme
Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tak stabil. Di
perkirakan ada disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi oleh platelet berperan
dalam perubahan dalam tonus pembuluh darah dan menyebabkan spasme. Spasme yang
terlokalisir seperti pada angina prinzmetal juga menyebabkan angina tak stabil. Adanya spasme
sering kali terjadi pada plak yang tak stabil dan mempunyai peran dalam pembentukan trombus.11
4. Erosi pada plak tanpa ruptur
15
Terjadinya penyempitan juga dapat di sebabkan karena terjadinya proliferasi dan migrasi dari
otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan endotel; adanya perubahan bentuk dari lesi karena
bertambahnya sel otot polos dapat menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat dan
keluhan iskemia.11
Diagnosis Dan Pemeriksaan Penunjang
Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan angina yang bertambah
dari biasa. Nyeri dada pada angina biasa tapi lebih berat dan lebih lama, mungkin timbul pada waktu
istirahat, atau timbul karena aktivitas yang minimal. Nyeri dada dapat disertai keluhan sesak nafas,
mual sampai muntah, kadang-kadang disertai keringat dingin. Pada pemeriksaan fisik sering kali tidak
ada yang khas.
Pemeriksaan penunjang
Elektrokardiografi (EKG)
Pemeriksan laboratorium
Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CK-MB telah di terima sebagai pertanda paling
penting.
Penatalaksanaan Angina Pektoris Tak Stabil
1. Tindakan umum
Pasien perlu perawatan di rumah sakit sebaiknya di unit intensif koroner, pasien perlu
di istirahatkan (bed rest), di beri penenang dan oksigen; pemberian morfin atau petidin perlu
pada pasien yang masih merasakan nyeri dada walaupun sudah mendapat nitrogliserin.11
2. Terapi medikamentosa
Obat anti iskemia
Nitrat, penyekat beta, antagonis kalsium.
Obat anti agregasi trombosit
Aspirin, tiklodipin, klopidogrel, inhibitor glikoprotein IIb/ IIIa
Obat anti trombin
Unfractionnated Heparin , low molecular weight heparin
Direct trombin inhibitors
3. Tindakan revaskularisasi pembuluh darah
Tindakan revaskularisasi perlu dipertimbangkan pada pasien dengan iskemia berat,
dan refrakter dengan terapi medikamentosa.
Pada pasien dengan penyempitan di left main atau penyempitan pada 3 pembuluh
darah, bila di sertai faal ventrikel kiri yang kurang, tindakan operasi bypass (CABG) dapat
memperbaiki harapan, kualitas hidup dan mengurangi resiko kembalinya ke rumah sakit. Pada
tindakan bedah darurat mortalitas dan morbiditas lebih buruk daripada bedah elektif. Pada
16
pasien dengan faal jantung yang masih baik dengan penyempitan pada satu atau dua
pembuluh darah atau bila ada kontra indikasi pembedahan, PCI merupakan pilihan utama.
Pada angina tak stabil perlunya dilakukan tindakan invasif dini atau konservatif
tergantung dari stratifikasi risiko pasien; pada resiko tinggi, seperti angina terus-menerus,
adanya depresi segmen ST, kadar troponin meningkat, faal ventrikel yang buruk, adanya
gangguan irama jantung seperti takikardi ventrikel, perlu tindakan invasif dini.11
b. ST-elevation myocard infarct (STEMI)
Infark miokardium menunjukan terbentuknya suatu daerah nekrosis miokardium akibat
iskemia total. MI akut yang dikenal sebagai “serangan jantung”, merupakan penyebab tunggal
tersering kematian diindustri dan merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di negara
maju.10
Epidemiologi STEMI
Infark miokard akut merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di negara maju. Laju
mortalitas awal (30 hari) pada IMA adalah 30% dengan lebih dari separuh kematian terjadi sebelum
pasien mencapai rumah sakit. Angka kejadian NSTEMI lebih sering di bandingkan dengan STEMI.10
Patofisiologi STEMI
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi
trombus pada plak arterosklerosik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang
berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral
sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injury
vaskular, dimana injury ini di cetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok,hipertensi dan akumulasi
lipid.
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak arterosklerosis mengalami fisur, ruptur atau
ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi trombus mural
pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis menunjukkan plak
koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap yang tipis dan inti kaya lipid (lipid
rich core). Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya
menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respon terhadap terapi trombolitik.
Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, efinefrin, serotonin)
memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboxan A2
(vasokontriktor lokal yang poten). Selain aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor
glikoprotein IIb/IIIa.
Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen
asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan
fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalen yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda
secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelets dan agregasi.
17
Kaskade koagulasi di aktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak. Faktor
VII dan X di aktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi trombin, yang kemudian
mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat kemudian akan mengalami
oklusi oleh trombus yang terdiri agregat trombosit dan fibrin. Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat
juga disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme koroner dan berbagai penyakit
inflamasi sistemik.12
Gambar. Sindrom Koroner Akut
Diagnosis Dan Pemeriksaan
Pada anamnesis perlu ditanyakan dengan lengkap bagaimana kriteria nyeri dada yang di alami
pasien, sifat nyeri dada pada pasien STEMI merupakan nyeri dada tipikal (angina). Faktor resiko
seperti hipertensi,diabetes melitus, dislipidemia, merokok, serta riwayat penyakit jantung koroner di
keluarga.12
Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti
aktivitas fisik berat, stress, emosi, atau penyakit medis lain yang menyertai. Walaupun STEMI bisa
terjadi sepanjang hari atau malam, tetapi variasi sirkadian di laporkan dapat terjadi pada pagi hari
dalam beberapa jam setelah bangun tidur.
Pada pemeriksaan fisik di dapati pasien gelisah dan tidak bisa istirahat. Seringkali ektremitas
pucat di sertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal > 30 menit dan banyak keringat di
curigai kuat adanya STEMI. Tanda fisis lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop,
penurunan intensitas jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan
murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara.12
Selain itu diagnosis STEMI ditegakan melalui gambaran EKG adanya elevasi ST kurang
lebih 2mm, minimal pada dua sadapan prekordial yang berdampingan atau kurang lebih 1mm pada 2
sadapan ektremitas. Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat
diagnosis.12
18
Penatalaksanaan STEMI
Tatalaksana di rumah sakit
ICCU; Aktivitas, Pasien harus istirahat dalam 12 jam pertama. Diet, karena resiko muntah
dan aspirasi segera setelah infark miokard, pasien harus puasa atau hanya minum cair dengan mulut
dalam 4-12 jam pertama. Diet mencakup lemak < 30% kalori total dan kandungan kolesterol
<300mg/hari. Menu harus diperkaya serat, kalium, magnesium, dan rendah natrium.
Bowels, istirahat di tempat tidur. Penggunaan narkotik sering menyebabkan efek konstipasi
sehingga di anjurkan penggunaan pencahar ringan secara rutin.
Sedasi, pasien memerlukan sedasi selama perawatan, untuk mempertahankan periode
inaktivasi dengan penenang.12
Terapi farmakologis
• Fibrinolitik
• Antitrombotik
• Inhibitor ACE
• Beta-Blocker
c. Non ST-elevation myocard infarct (NSTEMI)
Epidemiologi NSTEMI
Gejala yang paling sering di keluhkan adalah nyeri dada, yang menjadi salah satu gejala yang
paling sering di dapatkan pada pasien yang datang ke IGD , di perkirakan 5,3 juta kunjungan / tahun.
Kira-kira 1/3 darinya di sebabkan oleh unstable angina / NSTEMI, dan merupakan penyebab
tersering kunjungan ke rumah sakit pada penyakit jantung. Angka kunjungan untuk pasien unstable
angina / NSTEMI semakin meningkat sementara angka STEMI menurun.13
Patofisiologi
NSTEMI dapat di sebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan atau peningkatan kebutuhan
oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena trombosis akut atau
proses vasokonstriksi koroner. Trombosis akut pada arteri koroner di awali dengan adanya ruptur plak
yang tak stabil. Plak yang tidak stabil ini biasanya mempunyai inti lipid yang besar, densitas otot
polos yang rendah, fibrous cap yang tipis dan konsentrasi faktor jaringan yang tinggi. Inti lemak yang
cenderung ruptur mempunyai konsentrasi ester kolesterol dengan proporsi asam lemak tak jenuh yang
tinggi. Pada lokasi ruptur plak dapat di jumpai sel makrofag dan limfosit T yang menunjukan adanya
proses inflamasi. Sel-sel ini akan mengeluarkan sitokin proinflamasi seperti TNF α, dan IL-6.
selanjutnya IL-6 kan merangsang pengeluaran hsCRP di hati.13
Diagnosis Dan Pemeriksaan NSTEMI
Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadang kala di epigastrium dengan ciri seperti
19
di peras, perasaan seperti di ikat, perasaan terbakar, nyeri tumpul,rasa penuh, berat atau tertekan,
menjadi persentasi gejala yang sering di temukan pada penderita NSTEMI. Gejala tidak khas seperti
dispnea, mual, diaforesis, sinkop atau nyeri di lengan, epigastrium, bahu atas atau leher juga terjadi
dalam kelompok yang lebih besar pada pasien-pasien berusia lebih dari 65 tahun.
Gambaran EKG, secara spesifik berupa deviasi segmen ST merupakan hal penting yang
menentukan resiko pada pasien.
Troponin T atau Troponin I merupakan pertanda nekrosis miokard yang lebih di sukai, karena
lebih spesifik daripada enzim jantung tradisional seperti CK dan CK-MB. Pada pasien dengan infark
miokard akut, peningkatan awal troponin pada daerah perifer setelah 3-4 jamdan dapat menetap
sampai 2 minggu.13
Penatalaksanaan NSTEMI
Pasien NSTEMI harus istirahat ditempat tidur dengan pemantauan EKG untuk deviasi
segmen ST dan irama jantung. Empat komponen utama terapi harus dipertimbangkan pada setiap
pasien NSTEMI yaitu:
Terapi antiiskemia
Terapi anti platelet/antikoagulan
Terapi invasif (kateterisasi dini/ revaskularisasi)
Perawatan sebelum meninggalkan RS dan sesudah perawatan RS.
Komplikasi Sindroma Koroner Akut
1. Syok Kardiogenik
2. Aritmia Malignant
3. Gagal Jantung
4. Mechanical ruptur, MR akut, VSD
5. Gangguan Hantaran
2.2.4. Diagnosis SKA
Berdasarkan keluhan khas angina umumnya. Terkadang pasien tidak ada keluhan angina
namun sesak nafas atau tidak khas seperti nyeri epigastrik atau sinkope yang disebut angina
equivalen. Hal ini diikuti perubahan EKG dan atau perubahan enzim jantung. Pada beberapa kasus,
keluhan pasien, gambaran awal EKG dan pemeriksaan laboratorium enzim jantung awal tidak bisa
menyingkirkan adanya SKA, oleh karena perubahan EKG dan enzim baru dapat terjadi setelah
beberapa jam kemudian. Pada kondisi ini diperlukan pengamatan secara serial sebelum
menyingkirkan diagnosis SKA.14
Gejala
20
Gejala – gejala umum iskemi dan infark miokardium adalah nyeri dada retrosternal. Pasien
sering kali merasa dada ditekan atau dihimpit lebih dominan dibanding rasa nyeri. Yang perlu
diperhatikan dalam evaluasi keluhan nyeri dada iskemik SKA adalah:
1. Lokasi nyeri : retrosternal dan pasien sulit melokalisir nyeri
2. Deskripsi nyeri: rasa berat seperti terhimpit, ditekan atau diremas, rasa tersebut lebih
dominan dibandingkan rasa nyeri. Perlu diwaspadai juga bila pasien mengeluh nyeri
epigastrik, sinkope, atau sesak nafas ( angina equivalen)
3. Penjalaran nyeri : ke lengan kiri, bahu, punggung, leher rasa tercekik atau rahang bawah (
rasa ngilu) kadang penjalaran ke lengan kanan atau keduanya.
4. Lama nyeri : nyeri SKA lebih dari 20 menit
5. Gejala sistemik: disertai keluhan seperti mual, muntah, atau keringat dingin
Hal – hal dapat menyerupai nyeri dada iskemia:
o Diseksi aorta
o Emboli paru akut
o Efusi perikardial akut dnegan temponade jantung
o Tension pneumothorax
o Pericarditis
o GERD
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada SKA umumnya normal. Terkadang pasien terlihat cemas, keringat
dingin, atau didapat tanda komplikasi berupa takipneu, takikardi – bradikardi, adanya galop S3, ronki
basah halus diparu, atau terdengar bising jantung ( murmur). Bila tidak ada komplikasi hampir tidak
ditemukan kelainan yang berat.
Elektrokardiogram
Pemeriksaan EKG merupakan pemeriksaan penunjang penting dalam diagnosis SKA untuk
menentukan tatalaksana selanjutnya. Berdasarkan gambaran EKG pasien SKA dapat diklasifikasikan
dalam 3 kelompok:
1. Elevasi segmen ST atau LBBB (left bundle branch block) yang dianggap baru.
Didapatkan gambaran elevasi segmen ST minimal di dua lead yang berhubungan.
2. Depresi segmen ST atau inversi gelombang T yang dinamis pada saat pasien mengeluh
nyeri dada.
3. EKG non diagnostik baik normal ataupun hanya ada perubahan minimal
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium untuk menilai adanya tanda nekrosis miokardium seperti CKMB,
Troponin T dan I serta Mioglobin dipakai untuk menegakkan diagnostik SKA. Troponin lebih dipiih
karena lebih sensitif daripada CKMB. Troponin juga berguna untuk diagnosis, stratifikasi resiko, dan
21
menentukan prgnosis. Troponin yang meningkat dihubungkan dengan peningkatan resiko kematian.
Pada pasien dengan STEMI, reperfusi tidak boleh ditunda hanya untuk menunggu enzim jantung.
-Mioglobin merupakan suatu protein yang dilepaskan dari sel miokardium yang mengalami
kerusakan, dapat meningkat setelah jam – jam awal terjadinya infark dan mencapai puncak pada jam
1 s/d ke 4 dan tetap tinggi sampai 24 jam.
-CKMB merupakan isoenzim dari creatinin kinase, yang merupakan konsentrasi terbesar dari
miokardium. Dalam jumlah kecil CKMB juga dapat dijumpai di otot rangka, usus kecil atau
diapragma. Mulai meningkat 3 jam setelah infark dan mencapai puncak 12 – 14 jam. CKMB akan
mulai menghilang dalam darah 48 – 72 jam setelah infark.
- Troponin mengatur interaksi kerja aktin dan myosin dalam otot jantung dan lebih spesifik dari
CKMB. Mempunyai dua bentuk troponin T dan I. Enzim ini mulai meninkat pada jam 3 s/d 12 jam
setelah onset iskemik. Mencapai puncak pada 12 – 24 jam dan masih tetap tinggi sampai hari ke 8 –
21 (trop T) dan 7 – 14 hari ( trop I). Peningkatan enzim ini berhubungan dengan bukti adanya nekrosis
miokard dan menunjukkan prognosis yang buruk pada SKA.
2.2.5. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering adalah gangguan irama dan gangguan pompa jantung.
Gangguan irama dapat bersifat fatal bila menyebabkan henti jantung, misalnya pada VF atau VT tanpa
nadi. Komplikasi gangguan pompa jantung dapat menyebabkan gagal jantung akut. Komplikasi gagal
jantung pada ACS STEMI diklasifikasikan dalam klasifikasi KILLIP. Berikut ini klasifikasi Killip dan
kaitan dengan mortalitas di RS
Kelas Killip Mortalitas RS (%)
I Tidak ada komplikasi 6
II HF ringan, ronchi, S3,
tanda bendungan paru
17
III Edema paru 38
IV Shock Kardiogenik 81
2.2.6. Tata Laksana
Secara umum tatalaksana STEMI dan NSTEMI hampir sama baik pre maupun hospital hanya
berbeda dalam strategi reperfusi terapi, dimana STEMI lebih ditekankan untuk segera melakukan
reperfusi baik dengan medikamentosa (trombosis) atau intervensi ( percutaneus coronary intervention
– PCI). Berdasarkan International Consensus on Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care Science With Treatment Recomendation (AHA/ACC) tahun 2010, sangat
ditekankanwatu efektif reperfusi terapi. Bila memungkinkan trombolisis dilakukan saat prehospital
untuk menghemat waktu.
Tatalaksana SKA dibagi atas:
o Prehospital
22
o Hospital
Prehospital
o Monitoring dan amankan ABC. Persiapkan RJP dan defibrilasi
o Berikan aspirin dan pertimbangkan oksigen, nitrogliserin dan morfin jika diperlukan
o Pemeriksaan EKG 12 lead dan interpretasi
o Lakukan pemberitahuan ke RS untuk melakukan persiapan penerimaan pasien dengan
STEMI
o Bila akan diberikan fibrinolitik prehospital lakukan check – list terapi fibrinolitik
Hospital
o Ruang gawat darurat
Penilaian awal di IGD (<10menit)
Cek tanda vital, evaluasi saturasi oksigen
Pasang intravena
Lakukan anamnesis singkat, terarah dan pemeriksaan fisik
Lengkapi check – list fibrinolitik, cek kontraindikasi
Lakukan pemeriksaan enzim jantung, elektrolit dan pembekuan darah
Pemeriksaan sinar X ( < 30menit setelah pasien sampai di IGD)
Terapi awal di IGD
Segera berikan oksigen 4 L/menit kanul nasal, pertahankan saturasi O2
>90%
Berikan aspirin 160 – 325 mg
Nitrogliserin sublingual atau semprot
Morfin IV jika nyeri dada tidak berkurang dengan nitrogliserin
o Diagnosis sindroma koroner akut
STEMI
Pasien dengan SKA STEMI biasanya terjadinye penyumbatan yang
lengkap pada arteri koroner epikardial
Pengobatan utama pada SKA STEMI adalah terapi reperfusi segera yang
dapat dilakukan dengan fibrinolitik atau PCI primer
Reperfusi terapi pada SKA STEMI merupakan perkembangan yang
sangat penting dalam pengobatan penyakit kardioaskuler saati ini. Terapi
fibrinolitik segera atau kateterisasi langsung reperfusi sudah merupakan
standar pengobatan pasien STEMI yang onset serangan masih dalam 12
jam dan tidak terdapat kontraindikasi. Terapi reperfusi mengurangi
mortalitas dan menyelamatkan jantung. Makin pendek waktu reperfusi
manfaatnya makin besar.
23
Unstable Angina Pectoris / NSTEMI
Pertimbangkan strategi invasif segera apabila neri dada refrakter, ST
deviasi persisten atau berulang, ventrikel takikardi, hemodinamik tidak
stabil, atau didapatkan tanda gagal jantung
Mulai terapi untuk SKA seperti nitrogliserin, heparin, penyekat beta,
clopidogrel, penyekat glycoprotein Iib/IIIa
Rawat dengan monitoring dan nilai status resiko
SKA risiko rendah atau sedang ( normal EKG atau perubahan segmen ST-T non
diagnostik)
Lakukan pemeriksaan enzim jantung serial
Ulang EKG dan lakukan monitoring EKG kontinyu bila memungkinkan
Pertimbangkan pemeriksaan non invasif
Bila kemudian tidak ditemukan bukti iskemia atau infark dengan tes yang
diakukan, maka pasien dapat dipulangkan dengan tindak lanjut nantinya.
Terapi Inisial pada SKA
o Oksigen
Oksigen harus diberikan pada semua pasien dengan sesak nafas, tanda gagal jantung,
syok, atau saturasi O2 < 94%. Monitoring non invasif tentang kada oksigen darah akan sangat
bermanfaat untuk mengetahui apakah perlu diberikan oksigen pada pasien. Penelitian
menunjukkan pemberian oksigen mampu mengurangi ST elevasi pada infark anterior.
Berdasarkan konsensus, dianjurkan memberikan oksigen dalam 6jam pertama terapi.
Pemberian oksigen lebih dari 6 jam secara klinis tidak bermanfaat, kecuali pada keadaan
seperti :
Pasien dengan nyeri dada menetap atau berulang atau hemodinamik yang tidak
stabil
Pasien dengan tanda bendungan paru
Pasien dengan saturasi oksigen <90%
o Aspirin
Aspirin direkomendasikan kepada semua pasien SKA kecuali terdapat kontraindikasi
dan diberikan 160 – 325 mg dikunyah untuk pasien yang belum mendapat aspirin dan tidak
ada riwayat alergi dan tidak ada bukti perdarahan lambung saat pemeriksaan. Aspirin dapat
menurunkan reokulasi koroner dan berulangnya kejadian iskemik setelah terapi fibrinolitik.
Pengguanaan aspirin supositoria dapat dilakukan pada pasien dengan mual, muntah atau ulkus
peptik, atau gangguan pada saluran pencernaan atas. Dosis pemeliharaan 75 – 100 mg/hari.
o Nitrogliserin
Dapat diberikan tablet nitrogiserin sublingual sampai 3 kali dengan interval 3 – 5
24
menit jika tidak terdapat kontraindikasi. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan
keadaan hemodinamik tidak stabil. TD < 90 mmHg atau ≥30mmHg lebih rendah dari
pemeriksaan TD awal (jika dilakukan), bradikardia < 50 x/menit atau takikardi >100x/menit
tanpa adanya gagal jantung dan adanya infark ventrikel kanan. Nitrogliserin adalah
venodilator dan pengguanaannya harus berhati – hati pada keadaan pasien yang menggunakan
obat penghambat fosfodiesterase (contoh : viagra) dalam waktu < 24 jam.
o Analgetik
Analgetik terpilih pada pasien SKA adalah morfin. Pemberian morfin dilakukan jika
pemberian nitrogliserin sublingual atau semprot tidak respon. Morfin merupakan pengobatan
yang cukup penting pada SKA oleh karena:
o Menimbulkan efek analgesik pada SSP yang dapat mengurangi aktivasi
neurohormonal dan menyebabkan pelepasan katekolamin
o Menghasilkan venodilatasi yang akan mengurangi beban ventrikel kiri dan
mengurangi kebutuhan oksigen.
o Menurunkan tahanan vaskuler sistemik, sehingga mengurangi afterload ventrikel
kiri
o Membantu redistribusi volume darah pada edema paru akut
o Clopidogrel dan antiplatelet lain
Clopidogrel (antiagregasi platelet) terutama bermanfaat pada pasien STEMI dan
NSTEMI risiko sedang sampai tinggi dengan dosis pertama (loading dose) 300mg yang
dilanjutkan dengan dosis peeliharaan 75 mg. Untuk pasien yang dipersiapkan untuk invasif
terapi diberikan dosis 600mg.
Terapi Reperfusi pada STEMI
Reperfusi pada pasien SKA akan mengembalikan aliran koroner pada arteri yang
berhubungan dengan area infark, mengrangi ukuran infark, dan menurunkan mortalitas jangka
panjang. Fibrinolitik berhasil mengembalikan aliran normal koroner pada 50 – 60 % kasus.
Sedangkan PCI dapat engembalikan aliran normal 90% kasus dan manfaat ini lebih besar didapatkan
pada pasien dengan syok kardiogenik. PCI juga menurunkan risiko perdarahan intrakranial dan strok.
Pada SKA STEMI dan LBBB baru atau dugaan baru, sebelum melakukan terapi reperfusi
harus dilakukan evaluasi seperti berikut:
Langkah 1:
o Nilai waktu onset serangan
o Resiko STEMI
o Resiko fibrinolisis
o Waktu yang diperlukan dari transportasi kepada ahli intervensi yang tersedia
Langkah 2:
25
o Strategi terapi reperfusi (fibrinolisis atau invasif)
o Terapi fibrinolitik
o Terapi fibrinolitik
Pengobatan fibrinolisis lebih awal (door – drug < 30 menit) dapat membatasi luasnya
infark, fungsi ventrikel normal dan mengurangi angka kematian. Beberaa jenis obat
fibrinolitik misalnya Alteplase recombinant (Activase), Reteplase, Tenecplase, dan
Streptokinase (Streptase). Di Indonesia umumnya tersedia Streptkinase dengan dosis
pemberian sebesar 1,5 juta U, dilarutkan dalam 100cc NaCl 0,9% atau dextrose 5% diberikan
secara infus selama 30 – 60 menit.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada fibrinolitik adaah :
o Fibrinolisis bermanfaat diberikan pada pasien
o ST elevasi atau perkiraan LBBB baru
o Infark miokard yang luas
o Pada usia muda dengan resiko perdarahan intraserebral yang lebih rendah
o Fibrinolisis kurang bermanfaat pada
o Onset serangan setelah 12 – 24 jam atau infark kecil
o Pasien usia > 75 tahun
o Fibrinolisis mungkin berbahaya pada
o Depresi segmen ST
o Onset lebih 24 jam
o Pada TD tinggi ( TD sistolik > 175mmHg)
Kontraindikasi absolut terapi fibrinolitik adalah:
o Perdarahan intrakranial kapanpun
o Stroke iskemik kurang dari 3 bulan dan lebih dari 3 jam
o Kecurigaan diseksi aorta
o Tumor intrakranial
o Adanya kelainan struktur vaskular serebral (AVM)
o Perdarahan internal aktif atau gangguan sistem pembekuan darah
o Cedera kepala tertutup atau cedera wajah dalam 3 bulan terakhir
Kontraindikasi relatif terapi fibrinolitik adalah
o Tekanan darah yang tidak terkontrol
o TD sistolik > 180mmHg, TD diastolik >110mmHg
o Riwayat stroke iskemik > 3 bulan, demensia
o Trauma atau RJP lama (>10menit) atau operasi besar < 3 bulan
o Perdarahan internal dalam 2 – 4 minggu
26
o Penusukan pembuuh darah yang sulit dilakukan penekanan
o Pernah mendapat streptokinase/ anistreplase 5 hari yang lalu atau lebih atau
riwayat alergi terhadap obat tersebut
o Hamil
o Ulkus peptikum aktif
o Sedang menggunakan antikoagulan dengan hasil INR tinggi
o Tindakan percutaneous coronary intervention (PCI)
Angioplasti koroner dengan atautanpa pemasangan stent adalah terapi pilihan pada
tatalaksana STEMI bila dapat dilakukan kontak doctor – balloon atau door – ballon <90menit
pada pusat kesehatan yang mempunyai fasilitas PCI terlatih.
Pilihan untuk PCI primer efektif dilaksanakan pada pasien:
o Syok kardiogenik
o STEMI usia > 75 tahun dan syok kardiogenik
o Pasien kontraindikasi fibrinolisis
Terapi Fibrinolisis Terapi Invasif (PCI)
o Onset < 3 jam
o Terapi invasif bukan pilihan (tidak ada
akses ke fasilitas PCI atau akses vaskular
sulit) atau akan menimbulkan penundaan
o Kontak medik – balloon atau door
ballon > 90 menit
o (door – ballooon) minus (door –
needle) lebih dari 1 jam
o Tidak ada kontraindikasi fibrinolisis
o Onset > 3 jam
o Tersedia ahli PCI
o Kontak medik – balloon atau door
ballon < 90 menit
o (door – ballooon) minus (door –
needle) < 1 jam
o Kontraindikasi fibrinolisis, termasuk
risiko perdarahan dan perdarahan
intraserebral
o STEMI risiko tinggi (CHF, Killip ≥3)
o Diagnosis STEMI diragukan
o Antikoagulan
Antikoagulan diberikan pada SKA NSTEMI bersama antiplatelet baik yang
konservatif terapi maupun yang akan dilakukan intervensi koroner, enoxaparin atau
fondaparinux merupakan pilihan antikoagulan di samping yang UFF (unfraxionated heparin)
Pada pasien dengan SKA NSTEMI dan gangguan fungsi ginjal bivalirudin atau UFH
dapat menjadi pilihan. Sedangkan pada STEMI yang mendapatkan trombolisis juga
dilanjutkan dengan pemberian enoxaparin, UFH atau fondaparinux. Pada STEMI yang akan
27
diakukan intervensi korner enoxaparin cukup efektif dan aman sama dengan pemberian UFH.
o Trapi Tambahan
Antiaritmia
Tidak diberikan sebagai terapi rutin pada SKA STEMI yang bertujuan untuk
profiaksis.
Penyekat beta
Pemberian penyekat beta intravena tidak diberikan secara rutin pada pasien SKA,
hanya diberikan bila terdapat takikardi dan hipertensi.
ACEI
Pemberian statin intensif diberikan segera setelah onset SKA dalam rangka
menstabilkan plak.
Tatalaksana NSTEMI
Setelah dilakukan tata laksana seperti halnya tata lasana SKA STEMI (kecuali tanpa pemberian
trombolisis). Perlu dilakukan penilaian stratifikasi risiko untuk menentukan apakah perlu segera
dilakukan revaskularisasi invasif atau tidak.
Untuk stratifikasi risiko tinggi perlu segera dilakukan revaskularisasi intervensi. Yang termasuk
risiko tinggi:
1. Angina yang berulang, angina saat istirahat atau angina yang muncul pada aktivitas ringan
(low level)
2. Angina atau iskemi dengan keluhan gagal jantung, gallop S3, edema paru, adanya ronki atau
adanya regurgitasi mitral baru atau makin memburuk
3. Peningkatan troponin I atau T
4. Terdapat ST depresi baru atau diduga baru
5. Depresi fungsi sistolik LV (EF<40%)
6. Gangguan hemodinamik
7. Sustain VT
8. Riwayat PCI 6 bulan sebelumnya
9. Riwayat CABG
Merupakan indikasi kelas I untuk dilakukan PCI atau CABG.
28
BAB 3
KESIMPULAN
Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipoprotein, termasuk peningkatan lipoprotein
ataupun defisiensi. Dislipidemia dapat dimanifestasikan lewat peningkatan dari kolesterol total,
kolesterol LDL dan konsentrasi trigliserid, serta penurunan konsentrasi kolesterol HDL. Klasifikasi
dislipidemia teridiri dari klasifikasi fenotipik (EAS, NCEP, dan WHO) dan klasifikasi patogenik
(dislipidemia primer, dislipidemia sekunder). Etiologi dilihat dari faktor jenis kelamin,usia, genetic,
kegemukan,olah raga, merokok dan makanan. Metabolisme lipoprotein dapat dibagi atas tiga jalur
yaitu jalur metabolisme eksogen , jalur metabolisme endogen, dan jalur reverse cholesterol transport,
kedua jalur utama berhubungan dengan metabolisme kolesterol-LDL dan trigliserid, sedang jalur
reverse cholesterol transport khusus mengenai metabolisme kolesterol-HDL. Komplikasi dislipidemia
diantaranya atherosclerosis, penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskular seperti strok, kelainan
pembuluh darah tubuh lainnya, pankreatitis akut.
Sindrom koroner akut adalah sekumpulan keluhan gejala dan tanda klinis yang
sesuai dengan iskemia miokard akut. Sindrom koroner akut merupakan suatuspektrum
dalam perjalanan penderita penyakit jantung koroner (aterosklerosiskoroner) dapat
berupa: angina pektoris tidak stabil, infark miokard dengan non-STelevasi, infark
miokard dengan ST elevasi atau kematian jantung mendadak. SKA diawali oleh terjadinya
aterosklerosis yaitu penyakit arteri yang berkembang secara perlahan, dengan penebalan tunika intima
terjadi karena penumpukan fibrosa yang secara bertahap akan menyempitkan lumen dan secara
bertahap menjadi tempat perdarahan dan pembentukan trombus. Diagnosa berdasarkan dari klinis
nyeri dada retrosternal, pasien sering kali merasa dada ditekan atau dihimpit lebih dominan dibanding
rasa nyeri. EKG merupakan pemeriksaan penunjang penting dalam diagnosis SKA SKA dapat
diklasifikasikan dalam 3 kelompok: Elevasi segmen ST atau LBBB (left bundle branch block) yang
dianggap baru (elevasi segmen ST minimal di dua lead yang berhubungan), depresi segmen ST atau
inversi gelombang T yang dinamis pada saat pasien mengeluh nyeri dada, EKG non diagnostik baik
normal ataupun hanya ada perubahan minimal. Pemeriksaan laboratorium untuk menilai adanya tanda
nekrosis miokardium seperti CKMB, Troponin T dan I serta Mioglobin dipakai untuk menegakkan
diagnostik SKA. Troponin lebih dipiih karena lebih sensitif daripada CKMB.Troponin yang
meningkat dihubungkan dengan peningkatan resiko kematian. Komplikasi yang paling sering adalah
gangguan irama (VF atau VT tanpa nadi) dan gagal jantung akut (gangguan pompa jantung dapat
menyebabkan gagal jantung akut). Secara umum tatalaksana STEMI dan NSTEMI hampir sama baik
pre maupun hospital hanya berbeda dalam strategi reperfusi terapi, dimana STEMI lebih ditekankan
29
untuk segera melakukan reperfusi baik dengan medikamentosa (trombosis) atau intervensi (
percutaneus coronary intervention – PCI).
30