Demam Reumatiik

47
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam Reumatik Akut (DRA) masih menjadi masalah kesehatan di negara yang sedang berkembang. Angka mortalitas untuk Penyakit Jantung Reumatik (PJR) mencapai 0,5 per 100.000 penduduk di negara maju, hingga 8,2 per 100.000 penduduk di negara berkembang dan di daerah Asia Tenggara diperkirakan 7,6 per 100.000. Demam reumatik akut masih menjadi masalah medis dan sosial di perkirakan 500.000 yang meninggal dunia diseluruh dunia karena penyakit tersebut. 1 Angka kecacatan pertahun akibat PJR diperkirakan sekitar 27,4 per 100.000 penduduk di negara maju dan sekitar 173,4 per 100.000 penduduk dinegara berkembang yang secara ekonomis sangat merugikan. 1 Demam rematik akut merupakan penyebab utama penyakit jantung didapat pada anak usia 5 tahun sampai dewasa muda dinegara berkembang dengan keadaan sosio-ekonomi rendah dan lingkungan buruk. Di Indonesia, prevalensi PJR di Indonesia sebesar 0,3-0,8 anak sekolah dengan usia 5-15 tahun. 2 Data insiden DRA yang dapat 1

description

Membahas tentang diagnosis serta tatalaksana demam rematik

Transcript of Demam Reumatiik

Page 1: Demam Reumatiik

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demam Reumatik Akut (DRA) masih menjadi masalah kesehatan di

negara yang sedang berkembang. Angka mortalitas untuk Penyakit Jantung

Reumatik (PJR) mencapai 0,5 per 100.000 penduduk di negara maju, hingga 8,2

per 100.000 penduduk di negara berkembang dan di daerah Asia Tenggara

diperkirakan 7,6 per 100.000. Demam reumatik akut masih menjadi masalah

medis dan sosial di perkirakan 500.000 yang meninggal dunia diseluruh dunia

karena penyakit tersebut.1 Angka kecacatan pertahun akibat PJR diperkirakan

sekitar 27,4 per 100.000 penduduk di negara maju dan sekitar 173,4 per 100.000

penduduk dinegara berkembang yang secara ekonomis sangat

merugikan.1Demam rematik akut merupakan penyebab utama penyakit jantung

didapat pada anak usia 5 tahun sampai dewasa muda dinegara berkembang

dengan keadaan sosio-ekonomi rendah dan lingkungan buruk. Di Indonesia,

prevalensi PJR di Indonesia sebesar 0,3-0,8 anak sekolah dengan usia 5-15

tahun.2 Data insiden DRA yang dapat dipercaya sangat sedikit sekali. Pada

beberapa negara data yang diperoleh hanya berupa data lokal yang terdapat

pada anak sekolah.Insiden per tahunnya cenderung menurun dinegara maju,

tetapi di negara berkembang tetap tinggi,sebabagi contoh di Cina tercatat

berkisar antara 1- 150 per 100.000 1.

Demam Reumatik Akut (DRA) adalah suatu penyakit yang diakibatkan

oleh respon imunologis lambat yang terjadi setelah infeksi grup A streptokokus β-

hemolitikus. Demam reumatik akut biasanya terjadi akibat infeksi grup A

1

Page 2: Demam Reumatiik

streptokokus β-hemolitikus pada saluran pernafasan bagian atas.3 Penyakit

Jantung Reumatik (PJR) adalah penyakit jantung sebagai akibat adanya gejala

sisa dari DRA, yang ditandai dengan terjadinya cacat katup jantung. Pada DRA

atau PJR, antibodi yang terbentuk terhadap grup A streptokokus β-hemolitikus

memberikan reaksi silang dengan jaringan jantung, persendian,kulit dan jaringan

lainnya yang selanjutnya mencetuskan reaksi inflamasi multi sistem, manifestasi

klinis yang paling sering ditemui berupa poliartritis migran, karditis, demam dan

manifestasi klinis lain berupa korea sydenham, nodul subkutan dan eritema

marginatum yang jarang ditemui.1

Beberapa faktor yang diduga berperan terhadap serangan berulang DRA

yaitu usia saat pertama serangan, adanya PJR, jarak waktu serangan berulang

dari serangan sebelumnya, serangan demam sebelumnya, banyaknya anggota

keluarga, riwayat keluarga dengan DRA atau PJR, faktor sosial, edukasi pasien,

risiko infeksi streptokokus di area tempat tinggal dan penerimaan pasien

terhadap pengobatan yang diberikan.3

Pada saat serangan DRA awal memungkinkan terjadi karditis ringan,

yang manifestasinya subklinis, tidak terdiagnosis, dengan demikian pasien tidak

mendapat obat profilaksis untuk mencegah kekambuhannya. Terutama saat

kondisi pasien dengan sosial ekonomi rendah, kekambuhan menyebabkan

kerusakan jantung lebih lanjut dan akan menyebabkan PJR yang simptomatik,

dengan keterlibatan beberapa katup jantung dan kegagalan jantung yang

kongestif akibat serangan DRA pertama yang berat. Tingginya angka prevalensi

karditis subklinis yang ditemukan dari ekokardiografi menunjukkan bahwa

serangan awal DRA mungkin relatif ringan dan tidak adanya profilaksis

menyebabkan kekambuhan dengan manifestasi yang lebih berat.4,5

2

Page 3: Demam Reumatiik

Beberapa studi mendukung adanya kerentanan genetik terhadap DRA

dan PJR berhubungan dengan gen HLA klas 1 dan HLA klas 2 yang terletak di

kromosom 6 dan sering dihubungkan dengan kerentanan penyakit autoimun.

Beberapa gen menjadi faktor predisposisi seseorang mudah terkena DRA.

Polimorfisme gen TNF-α berhubungan dengan kemudahan mendapatkan

penyakit demam reumatik. Polimorfisme terjadi di regio promotor dari gen TNF-α

di nukleotida 308 yang mengalami transkripsi. Pengetahuan mengenai

polimorfisme gen dalam patogenesis dan kerentanan terhadap DRA dan PJR

dapat memberikan pemahaman serta pengetahuan untuk kedepannya agar

dapat mendeteksi secara dini terjadinya DRA danPJR sehingga dapat

mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat penyakit DRA dan PJR.6,7

1.2 Tujuan

Tujuan tinjauan kepustakaan ini adalah untuk mengetahui peranan dari

polimorfisme gen terhadap patogenitas dan kerentanan terjadinya demam

reumatik akut dan penyakit jantung reumatik.

3

Page 4: Demam Reumatiik

BAB 2

DEMAM REUMATIK AKUT DAN PENYAKIT JANTUNG REUMATIK

2.1 Definisi

Demam Reumatik Akut (DRA) adalah sindrom klinis sebagai salah satu

akibat infeksi kuman grup A streptokokus β-hemolitikus, yang ditandai oleh satu

atau lebih manifestasi mayor (karditis, poliartritis, korea,nodul subkutan, dan

eritema marginatum) dan mempunyai ciri khas untuk kambuh kembali.8

PJR adalah penyakit jantung sebagai akibat adanya gejala sisa (sekuele)

dari Demam Reumatik Akut (DRA), yang ditandai dengan cacat katup jantung.

Definisi lain mengatakan bahwa PJR adalah hasil DRA, yang merupakan suatu

kondisi yang dapat terjadi 2-3 minggu setelah infeksi grup A streptokokus β-

hemolitikuspada saluran nafas bagian atas .9

Beberapa tahun yang lalu, dari data yang ada menyatakan bahwa

Streptokokkus grup A tidak hanya menempel pada sel epitel tetapi menyerang

sel epitel tersebut. La Pentad memperlihatkan bahwa Streptokokkus grup A

mempunyai potensi untuk menyerang sel epitel manusia dengan frekuensi yang

sama dengan bakteri pathogen seperti Listeria dan Salmonella.Ilustrasi dari

invasi sel epitel oleh Streptokokkus grup A dapat dilihat dari gambar 1

4

Page 5: Demam Reumatiik

Gambar 1 : Elektron mikrograf yang memperlihatkan masuknya streptokokus ke dalam sel faring manusia4. Streptokokus grup A yang dilihat berhubungan dengan permukaan atas microvilli sel faring. Pembesaran membran terjadi selama proses internalisasi. Interaksi pada permukaan dapat dilihat antara sel faring dan streptokokus

2.2 Epidemiologi

Insiden PJR tertinggi dilaporkan terjadi pada suku Samoan di Kepulauan

Hawai sebesar 206 penderita per 100.000 penduduk pada periode tahun 1980-

1984. Prevalensi PJR di Ethiopia tahun 1999 adalah 6,4 per 100.000 penduduk

pada kelompok usia 5-15 tahun. DR akut dan PJR diduga merupakan hasil

respon autoimun, namun patogenesis yang pasti masih belum jelas.

Insiden DRA dibeberapa negara berkisar 50 per 100.000 anak.Jumlah

tertinggi dilaporkan didaerah Australia dan New Zealand (tabel 1). Sebagai

contoh, jumlah insiden untuk usia sekolah pada Pulau pasifik di New Zealand

sekitar 80-100 per 100.000 anak, dan di Aborigin dan Australia utara sekitar 245-

351 per 100.000 anak, sedangkan menurut data survei komunitas insiden dari

DRA sekitar 500 per 100.000 penduduk.

5

Page 6: Demam Reumatiik

Tabel 1. Insiden Demam Reumatik pada anak dan remaja sejak tahun 199010

Pada tahun 2001 di Asia Tenggara, angka kematian akibat PJR sebesar

7,6 per 100.000 penduduk. Di Utara India pada tahun 1992-1993, prevalensi PJR

sebesar 1,9-4,8 per 1.000 anak sekolah (dengan umur 5-15 tahun). Sedangkan

di Nepal dan Srilanka masing-masing sebesar 1,2 per 1000 anak sekolah dan

1per 1000 anak sekolah.10,11

Prevalensi PJR di Indonesia sebesar 0,3-0,8 per 1000 anak sekolah

dengan usia 5-15 tahun.2 Pada beberapa negara data yang diperoleh hanya

berupa data lokal yang terdapat pada anak sekolah. Insiden per tahun cenderung

menurun di negara maju, tetapi di negara berkembang tercatat berkisar antara 1

sampai 150 per 100.000 penduduk di Cina1.

6

Page 7: Demam Reumatiik

2.3 Etiologi

Demam reumatik akut diketahui mempunyai hubungan dengan infeksi

kuman grup A streptokokus β-hemolitikus pada saluran nafas atas dan infeksi

pada kulit, juga mempunyai hubungan terjadinya glomerulonefritis akut. Kuman

grup A streptokokus β-hemolitikus dapat dibagi atas sejumlah grup serologi yang

didasarkan atas antigen polisakarida yang terdapat pada dinding sel bakteri

tersebut. Saat ini lebih dari 130 serotipe M bertanggung jawab pada manusia,

tetapi hanya grup A yang mempunyai hubungan dengan etiopatogenesis DRA

dan PJR. Hubungan kuman grup A streptokokus β-hemolitikus sebagai

penyebab DRA terjadi secara tidak langsung, karena organisme penyebab tidak

dapat diperoleh dari lesi, tetapi banyak penelitian klinis, imunologis dan

epidemiologis yang membuktikan bahwa penyakit ini mempunyai hubungan

dengan infeksi grup A streptokokus β-hemolitikus, terutama serotipe

M1,3,5,6,14,18,19 dan 24.23

Sekurang-kurangnya sepertiga penderita tidak didapatkan adanya riwayat

infeksi saluran nafas karena infeksi streptokokus sebelumnya dan pada kultur

swab tenggorok terhadap grup A streptokokus β-hemolitikus sering negatif pada

saat serangan DRA. Tetapi respon antibodi terhadap produk ekstraseluler

streptokokus dapat ditunjukkan pada hampir semua kasus DRA dan serangan

akut DRA sangat berhubungan dengan besarnya respon antibodi. Diperkirakan

banyak anak yang mengalami episode faringitis setiap tahunnya dan 15-20%

disebabkan oleh streptokokus grup A dan 80% lainnya disebabkan infeksi virus.

Insiden infeksi grup A streptokokus β-hemolitikus pada tenggorokan bervariasi di

antara berbagai negara dan di daerah di dalam satu negara. Insiden tertinggi

didapatkan pada anak usia 5-15 tahun.23

7

Page 8: Demam Reumatiik

2.4 Patofisiologi Penyakit Jantung Reumatik (PJR)

Patofisiologi terjadinya penyakit jantung reumatik belum diketahui secara

jelas tetapi terdapat penelitian yang mendapatkan bahwa demam reumatik yang

mengakibatkan penyakit jantung reumatik terjadi akibat sensitisasi dari antigen

streptokokus setelah satu sampai empat minggu infeksi streptokokus di

faring.Lebih kurang 95% pasien menunjukkan peningkatan titer antistreptolisin O

(ASTO), antideoksribonukleat B (anti DNA-ase B) yang merupakan dua macam

tes yang biasa dilakukan untuk infeksi kuman streptokokus grup A. Interaksi

antara pejamu dan patogen terjadi karena menempelnya permukaan ligan

streptokokus ke reseptor spesifik pada sel pejamu. Masuknya streptokokus grup

A ke sel epitel dermis ataupun faring merupakan awal penentu pentingnya

kolonisasi dari sel pejamu tersebut. Tanpa mekanisme adhesi yang kuat

streptokokus grup A tidak dapat menembus ke jaringan sel pejamu dan

disingkirkan oleh mukosa dan air liur. Telah diketahui bahwa streptokokus grup A

mempunyai antifagositosis pada dinding permukaannya yang terdiri dari protein

M dan kapsul asam hialuronik. Ada 2 mekanisme yang menjelaskan mengenai

antifagosit dari protein M streptokokus. Mekanisme pertama adalah ikatan dari

faktor H yang dapat menghambat aktivasi dari komplemen dimana faktor H

merupakan komponen yang secara rutin menghambat endapan dari C3b.

Antifagosit streptokokus grup A juga dimediasi ikatan antara protein M

dan fibrinogen. Ikatan fibrinogen dengan protein M menghambat aktivasi dari

komplemen melalui jalur alternatif dan akhirnya mengurangi jumlah C3b ke

streptokokus sehingga mengurangi fagosit yang diproduksi leukosit PMN.

8

Page 9: Demam Reumatiik

Antibodi pejamu menghalangi protein M dengan mengikat epitop N terminal dari

protein M yang menghasilkan aktivasi dari jalur komplemen klasik (gambar 2).4

Gambar 2. Pengenalan sistem imun terhadap Streptokokus group A4

Pengenalan sistem imun dengan streptokokus grup A dan opsonisasi oleh komplemen dan antibodi tipe spesifik melawan protein M. Reseptor Fc pada makrofag terikat regio antibodi Fc yang menginduksi fagositosis dan memakan streptokokus.

Infeksi dari streptokokus ini pada awalnya akan mengaktifkan sistem

imun. Seberapa besar sistem imun yang aktif ini sangat dipengaruhi oleh faktor

virulensi dari kuman itu sendiri yaitu kejadian terjadinya bakteremia. Beberapa

protein yang cukup penting dalam faktor antigenisitas antara lain adalah protein

M dan N asetil glukosamin pada dinding sel bakteri tersebut. Kedua faktor

antigen tersebut akan dipenetrasikan oleh makrofag ke sel CD4+naif.

Selanjutnya sel CD4 akan menyebabkan poliferasi dari sel Th 1 dan Th 2 melalui

berbagai sitokin antara lain IL-1,IL-2,IFNʏ dan TNF α,IL-4,IL-5 dan IL-13. Th 1

akan menghasilkan IL-1,IL-2, IFNʏ.Sedangkan Th2 yang sebagai mediator

humoral dan alergi akan menghasilkan IL-4,IL-5 dan IL-13. Infeksi faring dari

streptokokus akan merangsang reaksi inflamasi yang melibatkan sitokin

proinflamasi seperti IL-1, IL-6 dan TNF-α. Pada anak yang terkena demam

9

Page 10: Demam Reumatiik

reumatik akut limfosit akan mengalami eksaserbasi setelah 1-6 bulan terinfeksi

streptokokus.

Gambar 3. Patofisiologi Demam Reumatik akut dan PJR

Dari gambar 3, dijelaskan pada saat infeksi faring oleh karena

Streptococcus pyogenes mencetuskan epitop yang mirip dengan stuktur manusia

(molecular mimicry) awalnya akan menimbulkan imun respon innate yang

merangsang imunitas adaptif lokal yang menghasilkan sitokin pro inflamasi dan

antibodi. Dimana sitokin secara sistematis akan mengaktivasi dan menghasilkan

berbagai macam limfosit. Di persendian, antibodi akan menghasilkan kompleks

imun dan mengaktivasi komplemen menginduksi artritis. Beberapa antibodi

mengenali neuron basal ganglia dan menginduksi sekresi dopamin sehingga

10

Page 11: Demam Reumatiik

terjadi korea sydenham dan mungkin dapat terjadi gangguan obsesif kompulsi

pada beberapa pasien. Antibodi sendiri mempunyai risiko pada struktur hati

terutama berasal dari miosin, laminin dan tropomiosin menghasilkan adhesi dari

molekul yang disebut VCAM-1 yang akan mengekspresikan monosit dan

makrofag. Sel mononuklear tersebut memproduksi sitokin gamma yang berperan

pada proinflamasi dan antiinflamasi. Keseimbangan antara sitokin dapat

dipengaruhi oleh genetik dari pejamu dan menjadi penentu dari limfosit perifer

yang akan masuk kejantung dimana akan terjadi penyebaran fenomena epitop

yang akan menyebabkan inflamasi dan kerusakan pada jantung. 11

2.5 Diagnosis

Diagnosis pada demam reumatik akut memerlukan anamnesis dan

pemeriksaan fisis yang teliti. Gambaran klinis demam reumatik bergantung pada

sistem organ yang terlibat dan manifestasi klinis yang tampak bisa tunggal atau

merupakan gabungan sistem organ. Sebuah diagnosis PJR dibuat setelah

konfirmasi adanya DRA. Diagnosis klinis mayor dari DRA dikenalkan lewat

kriteria Jones, sejak tahun 1944 dan mengalami modifikasi mengalami revisi 2x

dan yang terbaru menjadi panel (tabel 2) yang dibuat oleh American Heart

Association. Setiap revisi meningkatkan spesifitas tetapi menurunkan sensitivitas

dari kriteria, terutama menanggapi insiden DRA yang semakin menurun

dibeberapa negara. Dibeberapa daerah didunia dimana DRA masih terjadi

endemis atau epidemis, juga berkaitan dengan diagnosis yang berlebihan dari

DRA itu sendiri , dan kurangya ketentuan dari pemberian profilaksis sekunder

untuk mencegah kambuhnya DRA dan memberatnya PJR dapat terjadi over

diagnosis, sehingga kriteria Jones tahun 1992 juga tidak lebih sensitif dari

11

Page 12: Demam Reumatiik

sebelumnya. Begitu juga kriteria WHO tahun 2002 , dimana kriteria yang

ditentukan tidak terlalu ketat untuk mendiagnosis kekambuhan dari DRA yang

mungkin terdapat PJR.

Tabel 2. Panel Diagnosis Demam Rematik Akut10

12

Page 13: Demam Reumatiik

Kriteria Jones membutuhkan kriteria 2 mayor atau 1 mayor dan 2 kriteria minor

untuk diagnosis demam reumatik.

1. Kriteria diagnostik mayor termasuk karditis, poliartritis, korea, eritema

marginatum dan nodul subkutan.

2. Kriteria diagnostik minor termasuk demam, artralgia, panjang interval PR

pada EKG, adanya protein C reaktif, leukositosis, peningkatan reaktan

fase akut (peningkatan tingkat sedimentasi eritrosit).8

The National Heart Foundation of Australia dan Cardiac Society of Australia

dan New Zealand membuat revisi dalam pedoman yang dibuat untuk

populasi yang mempunyai risiko tinggi karena tingkat sensitivitas yang

meningkat seperti didaerah Aborigin dan pulau Torres Strait (tabel 3).

Kelompok dengan risiko tinggi meliputi sekelompok orang yang tinggal di

daerah yang terpencil dimana terdapat jumlah kejadian DRA atau RHD,

dimana didaerah Aborigin dan pulau Torres Strait, maori, dan pulau Pasifik

yang kemungkinan juga mempunyai risiko tinggi terjadinya RHD.

13

Page 14: Demam Reumatiik

Tabel 3.GuidelineDiagnosisDemam Rematik Akut8

Sebagai diagnosis awal terjadinya DRA, anak – anak yang sebelumnya

mengalami infeksi dari Streptokokkus grup A dinilai kadar ASTO dan anti- DNase

B titre (tabel 4) yang menggambarkan dari tingkat demografi DRA yang terjadi

terbanyak pada anak usia lebih dari 9 tahun8.

14

Page 15: Demam Reumatiik

Tabel 4. Titer antobodi Streptokokus group A8

2.6 Manifestasi Klinis

Demam reumatik akut terdiri dari sejumlah manifestasi klinis, diantaranya

artritis,korea, nodul subkutan, dan eritema marginatum.

Manifestasi klinis ini dapat dibagi menjadi manifestasi mayor dan minor, yaitu :

1. Manifestasi klinis mayor

Manifestasi mayor terdiri dari artritis, karditis, korea, eritema

marginatum, dan nodul subkutan. Artritis adalah gejala mayor yang sering

ditemukan pada DRA. Biasanya mengenai sendi-sendi besar seperti lutut,

pergelangan kaki, siku dan pergelangan tangan. Sendi yang terkena

menunjukkan gejala-gejala radang seperti bengkak, merah, panas sekitar

sendi, nyeri dan terjadi gangguan fungsi sendi.

15

Page 16: Demam Reumatiik

Kelainan pada tiap sendi akan menghilang sendiri tanpa

pengobatan dalam beberapa hari sampai 1 minggu dan seluruh gejala

sendi biasanya hilang dalam waktu 5 minggu, tanpa gejala sisa apapun.

Karditis merupakan proses peradangan aktif mengenai endokardium,

miokardium, dan perikardium. Dapat salah satu saja, seperti endokarditis,

miokarditis, dan perikarditis. Endokarditis dapat menyebabkan terjadinya

perubahan-perubahan pada daun katup yang menyebabkan terdengarnya

bising. Miokarditis ditandai oleh adanya pembesaran jantung dan tanda-

tanda gagal jantung. Karditis ditemukan sekitar 50% pasien DRA. Gejala

dini karditis adalah rasa lelah, pucat, lemas dan anak tampak sakit

meskipun belum ada gejala spesifik. Karditis merupakan kelainan yang

paling serius pada DRA, dan dapat menyebabkan kematian selama

stadium akut. Diagnosis klinis karditis dapat ditegakkan jika satu atau

lebih tanda berikut ini ditemukan,seperti adanya perubahan sifat bunyi

jantung organik, ukuran jantung yang bertambah besar, terdapat tanda

perikarditis , dan adanya gagal jantung kongestif.1,2,11

Korea merupakan gangguan sistem saraf pusat yang ditandai oleh

gerakan tiba-tiba, tanpa tujuan, dan tidak teratur, seringkali disertai

kelemahan otot dan emosi yang tidak stabil. Gerakan tanpa disadari akan

ditemukan pada wajah dan anggota gerak tubuh. Gerakan ini akan

menghilang pada saat tidur. Korea biasanya muncul setelah periode laten

yang panjang, yaitu 2-6 bulan setelah infeksi streptokokus dan pada

waktu seluruh manifestasi DRA lainnya mereda.1,2,11Eritema marginatum

merupakan manifestasi DRA pada kulit, berupa bercak-bercak merah

16

Page 17: Demam Reumatiik

muda dengan bagian tengahnya pucat sedangkan tepinya berbatas

tegas, berbentuk bulat atau bergelombang, tidak nyeri dan tidak gatal.

Tempatnya dapat berpindah-pindah, dikulit dada bagian dalam lengan

atau paha tetapi tidak pernah terdapat dikulit muka. Eritema marginatum

ini ditemukan kira-kira 5% dari penderita DRA dan merupakan manifestasi

klinis yang paling sukar di diagnosis.

Nodul subkutan merupakan manifestasi mayor DRA yang terletak

dibawah kulit, keras, tidak terasa sakit, mudah digerakkan, berukuran

antara 3-10 mm. Kulit diatasnya dapat bergerak bebas. Biasanya terdapat

dibagian ekstensor persendian terutama sendi siku, lutut, pergelangan

tangan dan kaki. Nodul ini timbul selama 6-10 minggu setelah serangan

DRA.1,2,11Untuk manifestasi mayor dapat disimpulkan dari tabel 5.

Tabel 5. Manifestasi Demam Reumatik Akut31

17

Page 18: Demam Reumatiik

Manifestasi klinis minor merupakan manifestasi yang kurang spesifik

tetapi diperlukan untuk diagnosis DRA. Manifestasi klinis minor ini meliputi

demam, artralgia, nyeri perut. Demam hampir selalu ada pada poliartritis

reumatik. Suhunya jarang melebihi 39°C dan biasanya kembali normal dalam

waktu 2 atau 3 minggu, walau tanpa pengobatan. Atralgia adalah nyeri sendi

tanpa tanda radang pada sendi, seperti nyeri, merah, hangat, yang terjadi

selama beberapa hari atau minggu. Rasa sakit akan bertambah bila penderita

melakukan latihan fisik. Gejala lain adalah nyeri perut yang biasanya membuat

penderita kelihatan pucat dan merupakan tanda subklinis dari DRA.11Beberapa

gambaran klinis dari DRA tidak terlalu spesifik, sehingga diagnosis banding

lainnya juga perlu dipertimbangkan (tabel 6). Sebagian besar menjadi alternatif

pertimbangan yang juga berdasarkan lokasi dari penderita dan kelompok etnik

penderita tersebut.

Tabel 6.Diagnosis Banding dari Demam Reumatik31

18

Page 19: Demam Reumatiik

2.7 Pengobatan

2.7.1 Pengobatan Penyebab

  Pengobatan penyebab dari demam reumatik akut dilakukan melalui

eradikasi kuman streptokokus pada serangan akut dan pencegahan sekunder

demam reumatik akut.

Secara keseluruhan pengobatan yang efektif untuk DRA sangat rendah

berarti bagaimana caranya menurunkan terjadinya DRA dan PJR dengan

melakukan pereventif. Pencegahan primer untuk DRA hanya berkisar pada

pemberian antibiotik pada pengobatan simptomatis faringitis yang disebabkan

Streptokokkus grup A. Pemberian antibiotik untuk faringitis diberikan selama 9

hari untuk mencegah terjadinya DRA. Dari tabel 7 terdapat beberapa antibiotik

untuk pencegahan primer. Pengobatan tambahan meliputi pemberian antibiotik

dosis tunggal amoksilin,yang efektif.

Tabel 7.Rekomendasi terapi yang diberikan pasien Demam Reumatik Akut8

19

Page 20: Demam Reumatiik

Pengobatan untuk pencegahan sekunder yang diajukan adalah dengan

pemberian suntikan penisillin setiap 1 bulan. Lama pemberian pencegahan

sekunder sangat bervariasi, bergantung pada berbagai faktor termasuk waktu

serangan dan serangan ulang, umur pasien dan keadaan lingkungan. Makin

muda saat serangan, makin besar kemungkinan untuk kambuh.1,10

2.7.2 Pengobatan Suportif

Untuk pasien demam reumatik akut harus tirah baring, Karditis hampir

selalu terjadi dalam 2-3 minggu sejak dari awal serangan.1,10(tabel 8). 

Tabel 8.Tirah baring dan mobilisasi penderita demam reumatik1,10

Status Jantung Penatalaksanaan

Tanpa Karditis Tirah baring selama 2 minggu dan mobilisasi bertahap selama 2 minggu

Karditis tanpa Kardiomegali

Tirah baring selama 4 minggudan mobilisasi bertahap selama 4 minggu

Karditis dengan Kardiomegali

Tirah baring selama 6 minggu dan mobilisasi bertahap selama  6 minggu

Karditis dengan gagal jantung

Tirah baring selama dalam keadaan gagal jantung dan mobilisasi bertahap selama 3 bulan

20

Page 21: Demam Reumatiik

Obat anti radang diberikan untuk menekan gejala radang akut yang timbul

meskipun adanya radang dan perjalanan penyakitnya sendiri tidak berubah. Oleh

karena itu obat anti radang sebaiknya hanya diberikan bila diagnosis telah

ditegakkan.(tabel 9)

Tabel 9. Pedoman pemberian analgetik dan anti-inflamasi1,10

 Manifestasi Klinik Pengobatan

Artralgia Salisilat saja 75-100 mg/kg BB/hari

Artritis saja, danatau karditis tanpa kardiomegali

Salisilat saja 100 mg/kg BB/hari selama 2 minggu dilanjutkan dengan 75 mg/kg BB selama 4-6 minggu.

Karditis dengan kardiomegali atau gagal jantung

 

Prednison 2 mg/kg/ BB/hari selama 2 minggu,dikurangi bertahap selama 2 minggu ditambah salisilat 75 mg/kg BB selama 6 minggu.

21

Page 22: Demam Reumatiik

BAB 3

PERAN POLIMORFISME GEN TERHADAP DEMAM REUMATIK AKUT

DAN PENYAKITJANTUNG REUMATIK

. Polimorfisme atau Single Nucleotida Polimorphism (SNP) adalah suatu

variasi urutan nukleotida atau perubahan salah satu basa nukleotida pada gen.

Polimorfisme gen akan menyebabkan peningkatan atau penurunan proses

transkripsi sehingga mempengaruhi produksi protein TNF-α.Sejauh ini, telah

ditemukan2 single nucleotide polymorphisms (SNP) pada daerah promotor TNF-

α pada lokasi nukleotida 238 dan 308 dari gen TNF-α.14

Dari beberapa studi diduga demam reumatik diturunkan dari gen resesif

tunggal. Beberapa studi mendukung bahwa kerentanan genetik terhadap DRA

dan PJR berhubungan dengan gen HLA klas 1 dan HLA klas 2 yang terletak di

kromosom 6 dan sering dihubungkan dengan kerentanan penyakit autoimun.

Mudahnya seseorang terkena demam reumatik tiap individu berhubungan

dengan imunogenik, genetik, dan faktor lingkungan. Beberapa gen menjadi faktor

predisposisi seseorang mudah terkena DRA. Polimorfisme gen TNF-α

berhubungan dengan kerentanan demam reumatik. Polimorfisme terjadi di regio

promotor dari gen TNF-α di nukleotida 308 yang mengalami transkripsi. Sitokin

IL-10 dikenal sebagai antiinflamasi dan mengatur aktivitas respon imun. IL-10

menghambat sintesis sitokin proinflamasi dan kemokin melalui monosit,

makrofag, neutrofil dan eosinofil.6,7

Meskipun produksi sitokin TNF-α dipicu oleh proses inflamasi kecepatan

produksi TNF-α dipengaruhi faktor genetik, yaitu adanya polimorfisme yang

terdapat pada gen yang menyandi sitokin tersebut.

22

Page 23: Demam Reumatiik

Begitu banyak gen inflamasi dan satu diantaranya IL-1 yang terletak

dikromosom 2 dan berfungsi sebagai sitokin gen ekspresi proinflamasi IL-1α dan

IL-1β dan inhibitor IL-1 antagonis reseptor (IL-1RA). Satu studi di Taiwan

menyatakan variasi IL-1β dan IL-1RA tidak berhubungan dengan PJR.14TNF-α

merupakan sitokin proinflamasi yang kuat dan suatu mediator yang penting pada

inflamasi.Tumor nekrosis faktor A (TNF A) merupakan gen lainnya yang

berfungsi sebagai anti inflamasi di MHC klas II. Ada 3 penelitian yang

memperlihatkan hubungan antara polimorfisme TNF α dengan DRA atau PJR.Di

Brasil disebutkan adanya satu alel TNF α (308A dan 238A) yang mempermudah

terjadinya DRA dan PJR sehingga lebih mudah terkena gangguan katup jantung.

Di Turki dan Meksiko menyebutkan alel TNF-α 308A juga dihubungkan dengan

terjadinya DRA dan PJR .Variasi dari TNF-α 308A mungkin menjadi faktor

predisposisi terjadinya DRA dan PJR. Mekanisme molekuler hubungan antara

TNF-α 308A/G dengan kerentanan terjadinya DRA atau PJR sampai saat ini

belum diketahui. Diketahui TNF-α 308A menghasilkan produksi TNF-α yang

tinggi. TNF meningkatkan sintesis sitokin proinflamasi dan mengaktivasi NFkB

yang secara berurutan mengaktivasi transkripsi gen proinflamasi.18,19,20Selama

fase inflamasi akut dari infeksi tenggorokan, protein fase akut, seperti mannose

binding lectin (MBL), dan sitokin IL-1, IL-6, dan TNF-α diproduksi untuk

mengeliminasi bakteri. Semua protein tersebut dikontrol secara genetik, dan

pada pasien DRA dan PJR terjadi perubahan atau mutasi yang menyebabkan

perubahan ekspresi sehingga menyebabkan kerusakan. Ditambahkan juga, pada

pasien DRA dan PJR, terjadi peningkatan TN-α di plasma akibat stimulasi dari

sel mononuklear yang didapatkan dari pasien dengan demam rematik akut

dengan antigen Streptokokus disertai TNF-α yang tinggi dibandingkan dengan

23

Page 24: Demam Reumatiik

kontrol.14,18,19 Meskipun DRA sudah lama diketahui berhubungan dengan infeksi

Streptokokus selama bertahun-tahun, patogenesis yang jelas dari DRA tidak

diketahui secara pasti. Lingkungan dan faktor abnormalitas genetik dipercaya

memainkan peran penting dari patogenesis DRA. Penelitian yang dilakukan

Yegin menunjukkan adanya overproduksi dari sitokin proinflamasi berimplikasi

terhadap berbagai macam penyakit manusia, seperti sepsis,malaria serebral dan

penyakit autoimun.Terjadi peningkatan dari TN-α ,IL-1 dan IL-6 di darah tepidan

infiltrasi sel T pada penderita PJR. 13 Data dari penelitian yang dilakukan oleh

Narin et al menunjukkan bahwa sitokin inflamasi berperan dalam patogenesis

DRA dan terjadi peningkatan yang signifikan dari TNF-α,IL-8 dan IL-6 pada fase

akut dari demam reumatik.20

Hafez et al menemukan hubungan kadar dari IFNʏ dan keparahan dari

karditis yang mengindikasikan adanya kerentanan dari genetik dan tingkat

respon yang berbeda. Dari penelitian A. Berdeli menyatakan, over produksi dari

TNF-α dapat disebabkan berbagai penyakit, seperti sepsis, malaria serebral,dan

penyakit autoimun seperti multiple sclerosis,rheumatoid arthritis,systemic lupus

erythematosus dan Chron’s disease juga kanker. Kerentanan penyakit tersebut

mempunyai dasar genetik, dan kemungkinan gen TNF sebagai kandidat gen

yang memiliki predisposisi terjadinya semua penyakit tersebut. Penelitian oleh

Yegin menemukan peningkatan TNF-α, interleukin IL-8 dan peningkatan IL-6

yang diobservasi sebagai fase akut DRA. TNF-α mempunyai kadar yang lebih

tinggi pada pasien PJR dengan gagal jantung. Ditambahkan juga bahwa kadar

TNF-α dari penelitian yang berbeda mengindikasikan polimorfisme promotor 308

mempunyai efek penting dalam aktivitas transkripsi, meskipun ada beberapa

penelitian lain yang tidak dapat menunjukkan perbedaan aktivitas transkripsi

24

Page 25: Demam Reumatiik

antara alel 308G dan 308A. Beberapa studi mendukung bahwa alel 238 tidak

mempunyai relevansi fisiologis. Berdasarkan penelitian ekspresi gen in vitro

menunjukkan regulasi TNF-α dengan alel TNF-α yang berbeda, masih

memungkinkan polimorfisme TNF-α mempengaruhi tingkat ekspresi gen.22,23,27

Berdeli melakukan penelitian mengenai hubungan antara polimorfisme

single nucleotide pada regio promotor dari sitokin proinflamasi TNF-α dengan

DRA pada pasien rawat inap. Didapatkan hasil yang tidak signifikan pada

frekuensi dari alel TNF-α 308 G dan alel A antara pasien dan kontrol. Frekuensi

dari alel TNF-α 308 hanya 6,8% dibanding kontrol sekitar 11,2%. Penelitian lain

juga menyatakan bahwa frekuensi alel A yang rendah pada populasi kontrol

dibanding populasi di Amerika sekitar 17.5%, Hungaria 16.4%, Gambia 16%. Hal

ini disebabkan adanya hubungan lokus HLA, seperti perbedaan dari distribusi

alel tersebut.25

Dari penelitian yang dilakukan A Settin dkk pada 50 anak dengan PJR

dari RS Universitas Mansoura yang bertujuan untuk mencari hubungan dari

polimorfisme gen sitokin dengan kerentanan terjadinya PJR didapatkan bahwa,

TN-α yang merupakan salah satu sitokin yan aktif dan berperan dalam

pathogenesis DRA . Kadar TNF-α ditemukan meningkat pada sel inflamasi yang

menginfiltrasi jantung.

Produksi sitokin ini terjadi setelah infeksi miokarditis. Penelitian

sebelumnya di Egypt tentang DRA, kadar serum sitokin mRNA dari IL-1α, IL-1B

dan TNF-α sebelum dan sesudah terapi meningkat akibat overproduksi dari IL-1α

begitu juga pada IL-2 dan TNF-α. Didapatkan peningkatan kadar serum IL-6 dan

TNF-α pada fase akut dan setelah terapi DRA selama 7 hari (tabel 10).

25

Page 26: Demam Reumatiik

Hubungan interaktif antara TNF α dan IL-10 juga telah diteliti pada

penyakit autoimun lainnya. Penelitian baru-baru ini menemukan bentuk interaktif

polimorfisme gen dari -308 TNF α dengan -1082 IL-10 yang secara signifikan

cukup tinggi frekuensi genotip homozigot A/A dan atau G/G atau keduanya yang

dipertimbangkan sebagai genotip yang lebih besar mendapatkan PJR.7,25

Tabel 10. Ringkasan Penelitian mengenai Polimorfisme gen terhadap kerentanan terjadinya DRA dan PJR

Penelitian Populasi Metode Hasil

Yegin dkk,1997

Membandingkan 27 pasien DRA dan 15 pasien PJR

In vivo, menghitung konsentrasi TN-α,IL-1α ,IL-6, IL-1β,IL-8 pada pasien DRA dan PJR

Adanya peningkatan TNFα, IL-6, IL-8 pada pasien DRA dan PJR

Hernandez dkk,2003

87 pasien PJR di Meksiko

In vivo, untuk mengetahui hubungan polimorfisme gen TNFα dengan terjadinya PJR

Hubungan polimorfisme gen TNFα dengan kerentanan mendapatkan PJR

A.Settin,dkk2006

50 anak dengan PJR dibanding 98 anak yang sehat

Studi case-control yang bertujuan untuk mengetahui hubungan polimorfisme gen TNFα,IL-10 ,IL-6, IL-1Ra

Predisposisi dari PJR salah satunya dipengaruhi faktor genetik meliputi poliformisme gen sitokin dengan mudah mendapatkan suatu PJR

26

Page 27: Demam Reumatiik

terhadap kerentanan dan keparahan PJR

Enas Tawfik,dkk2010

20 anak dengan DRA dibandingkan 10 anak yang sehat

In vivo, membuktikan peningkatan homozigot TNFα dibanding kelompok kontrol

Adanya kerentanan DRA yang berhubungan dengan polimorfisme gen TNFα dan IL10

Nilgun Col dkk2011

38 pasien DRA dibandingkan 40 anak yang sehat

Invivo, membuktikan peningkatan homozigot TNFα dibanding kelompok kontrol

Ekspresi yang tinggi dari gen IFNʏmerupakan faktor risiko DRA dan juga gen TNF-α, IL-6 dan TGF-β1 rentan terhadap penyakit DRA

L.Guilherme dkk2004

18 pasien PJR di Brasil

Invitro , membuktikan TNF-α, IFNʏ, IL-4 dan IL-10 yang meningkat pada pasien PJR

Terjadinya peningkatan ekspresi TNF-α, IFNʏ, IL-4 dan IL-10 yang meningkat pada pasien PJR

A.Berdelli dkk2006

66 pasien DRA di Turki

Studi case-control, hubungan mengenai promotor polimorfisme G/A 308 gen TNFα

Tidak ada hubungan interaksi antara polimorfisme gen TNFα di 308 dengan progresifitas penyakit DRA

Rehman S dkk2012

150 pasien PJR dan 204 kontrol di Pakistan

Studi invivo untuk mengetahui peran sitokin polimorfisme gen TNFα, IL-10, IL-6, berpotensi sebagai biomarker PJR

Polimorfisme TNFα, IL-6, dapat menjadi marker yang penting untuk identifikasi individu rentan terhadap PJR

Amal A dkk2010

8 anak dengan PJR da nada gangguan katup dan 50 kontrol di Kairo

Studi invivo untuk mengetahui hubungan polimorfisme TNFα dengan PJR

Terjadinya peningkatan kadar polimorfisme TNFα pada pasien PJR

Ringkasan perkembangan terjadinya DRA/PJR meliputi jaringan yang

luas dari reaksi imun kompleks yang terdiri dari beberapa bagian.(1) Mimikri

molekul antara antigen Streptokokkus dan jaringan manusia, terutama jaringan

pada jantung yang menyebabkan kerusakan pada katup jantung pasien PJR. (2)

CD4+ limfosit T merupakan efektor utama dari kerusakan jantung dan

memainkan bentuk degenerative untuk pengenalan antigen.(3) Beberapa

Streptokokkus mendominasi sstem imun peptide dengan pengenalan dari

vimentin, myosin dan beberapa katup mitral, memungkinkan akibat dari

mekanisme penyebaran epitope.(4) Beberapa molekul HLA kelas II berkaitan

dengan penyakit , dan HLA- DR 7/ DR 53 dikombinasikan dengan beberapa

27

Page 28: Demam Reumatiik

molekul HLA – DQ sepertinya dikaitkan dengan perkembangan kerusakan

beberapa katup pada pasien PJR.(5) Pengenalan sel T memainkan reaktifitas

didalam molekul melawan Streptokokkus dan epitop protein manusia dengan

tngkat homolog yang rendah.(6) Sitokin Th 1 mendominasi kerusakan dari katup

jantung . Dan semua bagian tersebut dijabarkan pada perkembangan PJR

(gambar 4).

Gambar 4.Perkembangan Demam Reumatik Akut dan Penyakit Jantung Reumatik27

Setelah terjadi infeksi tenggorokan oleh streptokokus yang tidak sembuh, terbentuklah imun kompleks humoral dan seluler melawan S.pyogenes yang akhirnya memicu autoimun dari jaringan tubuh sendiri.Reaksi autoimun diawali dengan Sel T diperifer mengenali protein M5 yang dipresentasikan antigen presenting cell(makrofag/monosit) melalui HLA klas II. Sitokin proinflamasi akan diproduksi sehingga terjadi aktivasi dari sel CD4+ yang mengalami ekspansi ke sel jantung(miokard dan jaringan katup)dan beberapa protein dari sel jantung dikenal sebagai molekul mimikri. Beberapa sel T yang autoreaktif akan menjadi TCR yang mampu mengenali beberapa antigen yang berbeda. Sel mononuklear intralesi juga diproduksi oleh sitokin Th1(IFNʏ dan TNF-α).Dari gambar katup mitral pada pasien dengan PJR memperlihatkan lesi veruka yang ditunjuk panah.Gambar panah sebelah kiri bawah menunjukkan bagian katup mitral yang rusak memperlihatkan infiltrasi sel mononuklear di endokardium.Secara in vitro sel T limfoblast seperti gambaran bunga.

28

Page 29: Demam Reumatiik

BAB 4

RINGKASAN

Demam Reumatik Akut (DRA) dan Penyakit Jantung Reumatik masih

merupakan masalah kesehatan dinegara yang sedang berkembang. Beberapa

faktor yang diduga berperan terhadap serangan berulang DRA yaitu usia saat

pertama serangan, adanya PJR, jarak waktu serangan berulang, jumlah

serangan demam sebelumnya, banyaknya anggota keluarga, riwayat keluarga

dengan DRA atau PJR, faktor sosial dan edukasi pasien, risiko infeksi

streptokokus di area tempat tinggal dan penerimaan pasien terhadap

pengobatan yang diberikan.

Demam reumatik akut diturunkan dari gen resesif tunggal. Beberapa

penelitian menyatakan adanya kerentanan genetik terhadap DRA dan PJR yang

berhubungan dengan gen HLA klas 1 dan HLA klas 2, yang terletak di kromosom

6 dan sering dihubungkan dengan kerentanan penyakit autoimun. Beberapa gen

menjadi faktor predisposisi seseorang mudah terkena DRA. Meskipun produksi

sitokin TNF-α dipicu oleh proses inflamasi kecepatan produksi TNF-α

dipengaruhi faktor genetik, yaitu adanya polimorfisme yang terdapat pada gen

yang menyandi sitokin tersebut. Polimorfisme atau Single Nucleotida

Polimorphism (SNP) adalah suatu variasi urutan nukleotida atau perubahan

29

Page 30: Demam Reumatiik

salah satu basa nukleotida pada gen. Polimorfisme gen akan menyebabkan

peningkatan atau penurunan proses transkripsi sehingga mempengaruhi

produksi protein TNF-α. Sejauh ini, telah ditemukan 2 single nucleotide

polymorphisms (SNP) pada daerah promotor TNF-α pada lokasi nukleotida 238

dan 308 dari gen TNF-α.14

DAFTAR PUSTAKA

1. Madiyono B, Sukardi R, Kuswiyanto R B. Demam Reumatik dan Penyakit

Jantung Reumatik pada anak. Dalam :Roebianto P.S,Penyun-ting.

Management of pediatric heart disease for practitioners : from early detection

to intervention. Jakarta : Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-

RSCM;2009.h.95-114.

2. Siregar A.A Demam Reumatik Jantung dan penyakit Jantung Reumatik

permasalahan Indonesia. Dalam : Pidato pengukuhan jabatan guru besar

tetap pada fakultas kedokteran diucapkan di hadapan rapat terbuka

Universitas Sumatera Utara. 2008. Didapat dari:

http://repository.usu.ac.id/.Diunduh pada tanggal 2 September 2013.

3. Rahmawati N.K., Burhanuddin I, Husain A, Dasril D. Faktor risiko serangan

berulang demam rematik/Penyakit Jantung Rematik. Sari Pediatri

2012;14:179-184.

4. Cunningham M.Patogenesis of group A streptococcal infection. Clinical

Microbiology Review 2000;13: 470-511.

30

Page 31: Demam Reumatiik

5. Tawfik E,El-Salam, Manal A.,Ulkarem A.A,Yosseri M.Gene polymorphism of

TNF α and IL-10 related to rheumatic heart disease.Egypt J Med Hum Gen

2010;11: 50-55.

6. Araz N.C,Pehlivan S.,Baspinar O.Role of cytokine gene polymorphisms in

pathogenesis of acute rheumatic fever in turkish children.Eur J Pediatr

2012;171:1103-08.

7. Settin A, Hady AH, El-Baz R,Saber I. Gene polymorphisms of TNF α -308 and

IL-10 -1082,IL-6-174 and IL-1RA VNTR related to susceptibility and severity of

rheumatic heart disease.Pediatr Cardiol 2007;28:363-71.

8. Smith MT, Smith DL,Zurynski Y,Noonan S, Carepetis JR, Elliot EJ.

Persistence of acute rheumatic fever in a tertiary children’s hospital. Paed

and Child Health J 2010;10:11-20.

9. Omurzakova NA,Yamano Y, Saatova GM, Mirzakhanova MI, Shukurova SM,

Kydyralieva RB. High incidence of rheumatic fever and rheumatic heart

disease in the republic of central asia.Rheumatic Diseases Int J 2009;12: 79-

83.

10. Carapetis JR, McDonald M, Wilson NJ. Acute rheumatic fever. Lancet Med J

2005;366:155-168.

11. Azevedo PM, Pereira RR, Guilherme L. Understanding rheumatic fever.

Rheumatol Int 2012;32:1113-20.

12. Morsy MF, Abdelaziz NA, Boghdady AM, Ahmed H. Lack of association

between endothelial constitutive nitric oxide synthase gene polymorphism

and rheumatic heart disease. Mod Rheumatol 2009;19:670-4.

31

Page 32: Demam Reumatiik

13. Kutuculer N, Karaca NE,Koturoglu G. Human soluble tumor necrosis factor

receptor I an interleukin I receptor antagonist in different stages of acute

rheumatic fever. Turkey med J 2008;8:139-420.

14. Guilherme L, Kalil J. Rheumatic fever from innate to acquired immune

response. Annals of New York J2007;1107:426-33.

15. Kelmendi I.M. Rheumatic Fever in Kosova-Long Term Study.Kosovo Cardio

Med J 2007;23:13-27.

16. Guilherme L,Ramasawmy R, Kalil J. Rheumatic fever and rheumatic heart

disease: genetics and pathogenesis. Immunol J2007;66:199-207.

17. Cunningham MW. Streptococcus and rheumatic fever. Curr Opin

Rheumatol.2012;24:408-16.

18. Guilherme L, Kohler KF, Kalil J. Rheumatic heart disease : genes,

inflamation and autoimmunity.Rheumatol Curr Res 2012;10:2161-79.

19. Guilherme L, Cury P. Rheumatic heart disease proinflammatory cytokines

play a role in the progression and maintenance of valvular lesions. American

Pathol J 2007;165:1581-1591.

20. Guilherme L,Kohler KF, Kalil J.Genes autoimmunity and pathogenesis of

rheumatic heart disease.Annals of Paed Cardiol 2011;4:15-25.

21. Berdeli A, Tabel Y, Celik HA. Lack of association between TNFα gene

polymorphism at position 308 and risk of acute rheumatic fever in turkish

patients. Scand J Rheumatol.2006;35:44-7.

22. Veinot JP. Pathology of inflammatory native valvular heart

disease.Cardiovascular Pathology 2006;15:243-51.

32

Page 33: Demam Reumatiik

23. Bisno AL, Gerber MA,Gwaltney JM, Kaplan LE, Schwartz RH. Practice

guidelines for the diagnosis and management of group A streptococcal

pharyngitis. Clin Infect Dis 2002;35:113-125.

24. Parks T,Smeesters PR, Steer AC. Streptococcal skin infection and

rheumatic heart disease.Wal Kluwer health J 2012;24:21-37.

25. Guilherme L, Kohler KF,Pommerantzeff P,Spina G, Kalil J. Rheumatic heart

disease:Key points on Valve Lesions Development. J Clin Exp Cardiology

2013;3:125-46.

26. Rehman, Akhtar N, Saba N, Munir S. A Study on the association of TNFα,IL-

10 ,IL-6, and IL-1Ra (VNTR) gene polymorphisms with rheumatic heart

disease in Pakistani Patiets. Pakistan Med J 2012;61:527-31.

27. Guilherme L, Kalil J. Rheumatic fever :from sore throat to autoimmune heart

lesions. Int Arch Allergy Immunol 2004;134:56-64.

28. Kumar R,Raizada A, Aggarwal AK,Ganguly NK. A community based

rheumatic fever/rheumatic heart disease cohort.Indian Heart J 2002;54;54-8.

29. Wahab AS. Demam reumatik akut. Dalam :Sastroasmoro S, Hanani GI,

Penyun-ting. Buku Ajar Kardiologi Anak.Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Jakarta 1994;279-316.

30. Mohammed A, Rashed L. Association of tumor necrosis factor α

polymorphisms with susceptibility and clinical outcomes of RHD.Saudi med J

2010;31:644-9.

31. Carapetis J, Alex B. Diagnosis and management of acute rheumatic heart

disease in Australia. Heart of Found J 2006;5:15-43.

33