Degradasi Dna Pada Pembusukan Jenazah (Edited) Edited

11
DEGRADASI DNA PADA PEMBUSUKAN JENAZAH Nurul Hanifah, Faidul Hidayati Siska Ginting, Putry Rizqiah dr.Taufik Suryadi, Sp.F SMF Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala PENDAHULUAN Kematian merupakan suatu kejadian yang pasti dialami oleh setiap mahkluk hidup termasuk manusia. Dalam kedokteran forensik dikenal bahwa kematian dapat berlangsung secara wajar maupun tidak wajar. Identifikasi jenazah dalam bidang forensik sangat umum dilakukan baik pada kematian secara wajar dan kematian secara tidak wajar,. Jenazah tanpa keluarga atau ahli waris yang tidak teridentifikasi keluarganya menarik untuk dikaji, terutama bila menyangkut persoalan yang berhubungan dengan hukum seperti persoalan warisan, paternitas, atau jenazah yang diduga merupakan korban pada aksi kriminal. (1) Identifikasi jenazah yang tepat dalam kondisi bencana massal merupakan upaya untuk bisa merawat, mendoakan serta akhirnya menyerahkan jenazah. (2) Jenazah akan membusuk setelah 2 hari ditemukan pasca kematian. Dalam mengenali jenazah, dokter biasanya melakukan identifikasi melalui dental records dan analisis Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) yang dibantu oleh identifikasi medik, properti dan fotografi, dengan prinsip identifikasi membandingkan data antemortem dengan postmortem. (1) Semakin lama jenazah terpapar dengan udara maka proses pembusukan juga akan berlangsung dengan cepat sehingga akan menyebabkan terbatasnya upaya pemeriksaan, maka pemeriksaan harus dilakukan secara cermat dan akurat. Dalam melakukan proses identifikasi jenazah yang telah mengalami pembusukan, metode visual, sidik jari dan metode konvensional tidak dapat digunakan, sehingga metode modern analisis biomolekuler DNA merupakan metode yang cepat dan tepat untuk digunakan. Dibanding cara-cara konvensional yang

description

FORENSIK

Transcript of Degradasi Dna Pada Pembusukan Jenazah (Edited) Edited

DEGRADASI DNA PADA PEMBUSUKAN JENAZAH

Nurul Hanifah, Faidul Hidayati Siska Ginting, Putry Rizqiahdr.Taufik Suryadi, Sp.F

SMF Ilmu Kedokteran Forensik dan MedikolegalFakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala

PENDAHULUANKematian merupakan suatu kejadian yang pasti dialami oleh setiap mahkluk hidup termasuk manusia. Dalam kedokteran forensik dikenal bahwa kematian dapat berlangsung secara wajar maupun tidak wajar. Identifikasi jenazah dalam bidang forensik sangat umum dilakukan baik pada kematian secara wajar dan kematian secara tidak wajar,. Jenazah tanpa keluarga atau ahli waris yang tidak teridentifikasi keluarganya menarik untuk dikaji, terutama bila menyangkut persoalan yang berhubungan dengan hukum seperti persoalan warisan, paternitas, atau jenazah yang diduga merupakan korban pada aksi kriminal. (1) Identifikasi jenazah yang tepat dalam kondisi bencana massal merupakan upaya untuk bisa merawat, mendoakan serta akhirnya menyerahkan jenazah. (2)Jenazah akan membusuk setelah 2 hari ditemukan pasca kematian. Dalam mengenali jenazah, dokter biasanya melakukan identifikasi melalui dental records dan analisis Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) yang dibantu oleh identifikasi medik, properti dan fotografi, dengan prinsip identifikasi membandingkan data antemortem dengan postmortem. (1)Semakin lama jenazah terpapar dengan udara maka proses pembusukan juga akan berlangsung dengan cepat sehingga akan menyebabkan terbatasnya upaya pemeriksaan, maka pemeriksaan harus dilakukan secara cermat dan akurat. Dalam melakukan proses identifikasi jenazah yang telah mengalami pembusukan, metode visual, sidik jari dan metode konvensional tidak dapat digunakan, sehingga metode modern analisis biomolekuler DNA merupakan metode yang cepat dan tepat untuk digunakan. Dibanding cara-cara konvensional yang mengandalkan teknologi serologi, maka teknologi DNA memiliki keunggulan yang sangat mencolok, utamanya dalam potensi spesifisitas dan sensifitasnya. (1)

BIOMOLEKULER DNADNA merupakan suatu molekul polimer nukleotida dengan berat molekul besar yang berfungsi sebagai bank data bagi tubuh manusia. DNA bersifat polimorfisme, bentuk yang berbeda dari struktur dasar artinya apabila DNA dari individu yang berbeda dipotong dengan enzim endonuklease restriksi spesifik akan dihasilkan fragmen yang panjangnya tidak sama. (3)

Gambar 1 pemeriksaan Primer DNA (1)

Dalam proses degradasi DNA dapat digunakan teknik PCR yaitu teknik amplifikasi DNA secara invitro dengan proses enzimatik yang akan menghasilkan jutaan fragmen asal atau metode STR (Short Tandem Repeat), yaitu pengulangan gugus basa 4-6 base pair pada rantai DNA yang spesifik secara periodik pada bidang ilmu forensik ada 4 lokus yang penting untuk identifikasi disebut quadriplex STR yaitu dengan lokus : VWA, THO1, F 13 A dan FES. (3) Selain itu ada pula dengan Flow Cytometric Analysis. Flow sitometri adalah metode untuk mendeterminasi konten nukear DNA relatif sebagai sel individual. flow cytometri menganalisis perpindahan sel atau kromosom dalam suspensi yang diterangi sumber cahaya; UV atau laser yang akan terpancar menjadi sinyal. Sinyal tersebut diambil dan dikonversikan menjadi grafik dari pancaran fluorosense. Dengan menggunakan fluoresense spesifik DNA, dan menghitung jumlah fluorosense yang terserap sel kita dapat menganalisis konten DNA. Metode ini dapat mengukur jumlah DNA dalam sel meskipun DNA telah terurai menjadi fragmen-fragmen kecil 1-150 kilobases. (4)Polymerase Chain Reaction sering digunakan untuk amplifikasi segmen DNA di daerah yang diketahui urutan basanya. Prinsip dari PCR adalah amplifikasi eksponensial yang selektif terhadap fragmen DNA tertentu. (3)Ada dua macam metode PCR yang sering digunakan, yaitu : Competitive PCR dan Real-Time PCR. (5)Kelebihan lain dari pemeriksaan PCR adalah kemampuannya untuk menganalisa bahan yang sudah terdegenerasi sebagian, selain itu karena dapat memperbanyak DNA jutaan sampai milyaran kali maka memungkinkan analisis sampel forensiknya dapat berjumlah amat minim. (4) Namun jika nuklear DNA sulit dianalisis, dapat digunakan mitokondria DNA.Single cell gel electrophoresis (SCGE) kadangkala juga digunakan untuk menilai degradasi DNA. Metode ini menggunakan migrasi DNA dari sel tak berkapsul pada agar untuk menilai fragmentasi DNA. Sampel jaringan yang tidak lagi berkapsul ditanam pada agar dan DNA tanpa jaringan terdenaturasi. DNA di-elektroforesis berikut encapsulating agarose dan sampel dengan DNA yang terdegradasi umumnya akan tampak sebagai ekor/ujung untaian DNA. Semakin tinggi sinyal dari DNA tail semakin besar DNA terdegradasi. SCGE dapat menilai waktu kematian, menganalisis DNA dari otot rangka, otot jantung, hepar dan renal. (5)DNA Staining memiliki beberapa macam tipe yang dapat digunakan untuk menilai degradasi DNA seperti; Kernechtrot-Picroindigocarmine (KPIC) staining, Christmas Tree Staining dan Feulgen staining dengan reagen Schiff. (5)

Pembusukan JenazahPembusukan adalah proses degradasi jaringan pada tubuh mayat yang terjadi sebagai akibat proses autolisis dan aktivitas mikroorganisme. Autolisis adalah perlunakan dan pencairan jaringan yang terjadi dalam keadaan steril melalui proses kimia yang disebabkan oleh enzim intraseluler, sehingga organ-organ yang kaya dengan enzim-enzim akan mengalami proses autolisis lebih cepat daripada organ-organ yang tidak memiliki enzim. (1)Beberapa mikroorganisme yang berperan dalam pembusukan adalah bakteri anaerob yang berasal dari traktus gastrointestinal yaitu Basil Coliformis dan Clostridium Welchii sebagai penyebab utama, sedangkan bakteri yang lain seperti Streptococcus, Staphylococcus, B.Proteus, dan jamur tidak begitu dominan menyebabkan pembusukan. Setelah seseorang meninggal, maka semua sistem pertahanan tubuh akan hilang, bakteri yang secara normal dihambat oleh jaringan tubuh akan segera masuk ke jaringan tubuh melalui pembuluh darah, darah merupakan media yang terbaik bagi bakteri untuk berkembang biak.Tanda pertama pembusukan baru dapat dilihat kira-kira 24 jam - 48 jam paska kematian, berupa warna kehijauan pada dinding abdomen bagian bawah, lebih sering pada fosa iliaka kanan yang lebih banyak berisi cairan, mengandung lebih banyak bakteri dan terletak lebih superfisial. Perubahan warna ini secara bertahap akan meluas ke seluruh dinding abdomen sampai ke dada dan bau busuk pun mulai tercium. Perubahan warna juga dapat dilihat pada permukaan organ dalam seperti hepar. Hepar merupakan organ yang langsung kontak dengan kolon transversum. Bakteri selanjutnya menyebar keseluruh tubuh melalui pembuluh darah yang menyebabkan hemolisis darah. Selain itu bakteri juga memproduksi gas-gas pembusukan sehingga seluruh dinding pembuluh darah rusak. Bakteri pembusukan cenderung berkumpul dalam sistem vena, intestinal, paru. Bakteri akan tumbuh pada organ parenkim, kemudian masuk ke sitoplasma, menyebabkan desintegrasi organel sel, kemudian nukleus dirusak sehingga sel menjadi lisis.Permukaan lapisan atas epidermis dapat dengan mudah dilepaskan dengan jaringan yang ada di bawahnya dan ini disebut skin slippage. Skin slippage ini menyebabkan identifikasi melalui sidik jari sulit dilakukan. Pembentukan gas yang terjadi antara epidermis dan dermis mengakibatkan timbulnya bula-bula yang bening, mudah pecah, yang dapat berisi cairan coklat kemerahan yang berbau busuk. Cairan ini kadang-kadang tidak mengisi secara penuh di dalam bula. Bula dapat menjadi sedemikian besarnya menyerupai pendulum yang berukuran 5 7,5 cm dan bila pecah meninggalkan daerah yang berminyak, berkilat dan berwarna kemerahan. Selama terjadi pembentukan gas-gas pembusukan, gelembung-gelembung udara mengisi hampir seluruh jaringan subkutan. Gas yang terdapat di dalam jaringan dinding tubuh akan menyebabkan terabanya krepitasi udara. Gas ini menyebabkan pembengkakan tubuh yang menyeluruh, dan tubuh berada dalam sikap pugilistic attitude. Skrotum dan penis dapat membesar dan membengkak, leher dan muka dapat menggembung, bibir menonjol seperti frog-like-fashion, Kedua bola mata keluar, lidah terjulur di antara dua gigi, ini menyebabkan mayat sulit dikenali kembali oleh keluarganya. Pembengkakan yang terjadi pada seluruh tubuh mengakibatkan berat badan mayat yang tadinya 57 - 63 kg sebelum mati menjadi 95 - 114 kg sesudah mati.Organ dalam seperti paru, otot polos, otot lurik dan jantung mempunyai kecenderungan untuk lambat mengalami pembusukan. Sedangkan uterus non gravida, dan prostat merupakan organ yang lebih tahan terhadap pembusukan karena strukturnya yang berbeda dengan jaringan lain yaitu jaringan fibrosa. Organ-organ ini cukup mudah dikenali walaupun organ-organ lain sudah mengalami pembusukan lanjut. Pemeriksaan organ tersebut sangat membantu dalam penentuan identifikasi jenis kelamin. Hal menarik pada pembusukan lanjut dari organ dalam ini adalah pembentukan granula-granula millier atau milliary plaques yang berukuran kecil dengan diameter 1-3 mm yang terdapat pada permukaan serosa yang terletak pada endotelial dari tubuh seperti pleura, peritoneum, pericardium dan endocardium. Milliary plaques ini pertama kali ditemukan oleh Gonzales yang secara mikroskopis berisi kalsium fosfat, kalsium karbonat, sel-sel endotelial, massa seperti sabun dan bakteri, yang secara medikolegal sering dikacaukan dengan proses peradangan atau keracunan.Di samping bakteri, insekta juga memegang peranan penting dalam proses pembusukan sesudah mati. Beberapa jam setelah kematian, lalat akan hinggap di badan dan meletakkan telur-telurnya pada lubang-lubang mata, hidung, mulut dan telinga serta pada daerah genitoanal yang mengalami perlukaan. Insekta tidak hanya penting dalam proses pembusukan tetapi mereka juga memberi informasi penting yang berhubungan dengan kematian. Insekta dapat dipergunakan untuk memperkirakan saat kematian, memberi petunjuk bahwa tubuh mayat telah dipindahkan dari satu lokasi ke lokasi lainnya, memberi tanda pada badan bagian mana yang mengalami trauma, dan dapat dipergunakan dalam pemeriksaan toksikologi bila jaringan untuk spesimen baku juga sudah mengalami pembusukan. Hasil akhir dari proses pembusukan ini yaitu destruksi jaringan pada tubuh mayat. Proses ini dipengaruhi oleh banyak faktor seperti suhu, berat badan, usia, penyakit penyerta, kondisi lingkungan.Selain itu, insekta digunakan sebagai salah satu alternatif barang bukti biologis. DNA jenazah dapat diperoleh dari membedah usus belatung yang telah terisi jaringan manusia.

Degradasi DNADegradasi DNA pada jenazah dapat disebabkan oleh 2 faktor, yaitu endogen dan eksogen. Faktor endogen berasal pada sel sendiri, yang juga dikenal sebagai kerusakan spontan. Faktor eksogen berasal dari lingkungan. (2)Ketika DNA mengalami degradasi, DNA akan hancur dalam fragmen yang semakin lama semakin kecil. Banyak postulat yang mencoba menjelaskan mekanisme ini seperti hydrolytic cleavage, oksidasi kimia dan degradasi enzimatik. (3)Faktor endogen dapat terjadi karena proses metabolisme dalam tubuh larva lalat. Pada saat terjadi metabolisme dalam tubuh larva, enzim-enzim di dalam sistem pencernaan makanan larva akan mengubah sel-sel manusia yang dimakan oleh larva. Secara fisiologi ada beberapa enzim yang berfungsi dalam merubah karbohidat dan protein yang dimakan oleh larva menjadi substrak polisakarida dan asam amino. Larva juga membutuhkan pH yang cukup dan suhu dalam melakukan metabolisme, namun pH suhu yang relatif tinggi juga dapat menyebabkan degradasi DNA. Sehingga DNA jenazah dalam sistem digestif larva juga akan mudah terdegradasi. Faktor eksogen dapat terjadi karena paparan dari luar terutama faktor suhu, kelembaban dan juga akibat mobilisasi larva yang menyebabkan sel-sel manusia yang melekat pada larva akan transfer ke obyek lain yang ada disekitar jenazah. Mengingat larva yang sudah berusia dewasa (stadium 3) akan bergerak meninggalkan jenazah dan masuk ke dalam tanah atau tempat persembunyian untuk berkembang menjadi pupa. Mekanisme terjadinya degradasi DNA adalah sebagai berikut: Kematian yang terjadi pada manusia adalah akibat terhentinya perfusi darah ke jaringan, sehingga menyebabkan oksigen selular kekurangan nutrisi akibatnya terjadi penurunan produksi ATP (Adenosin tri-posfat). Pergeseran reaksi produksi ATP dari reaksi fosforilasi oksidatif anaerobik menyebabkan akumulasi asam terutama pada sel-sel yang membutuhkan energi yang lebih tinggi atau ektivitas enzim intraselular yang tinggi. Namun pada akhirnya seluruh sel tubuh akan terpengaruh karena sel tersebut juga membutuhkan fungsi selular yang besar. Termasuk jantung, ginjal, dan otak. Organ yang berbeda dapat menunjukkan cara yeng berbeda, sebagai contoh ketika jantung mengalami nekrosis, maka proses kematian selnya 20-40 menit pertama akan terjadi di regio subendokardial, meluas ke miokardium pada 1-3 jam, dan mendekati transmural dalam 24 jam (5).

Gambar 2. Perbedaan nekrosis dan Apoptosis (6)

Kematian yang terjadi merupakan proses nekrosis bukan apoptosis. Nekrosis merupakan fenomena degeneratif pasif independen yang ditandai dengan peningkatan volume sel, pembengkakan organel plasma, inti tampak utuh, namun ada kondensasi kromatin. Selanjutnya membran sel ruptur, organel sel rusak dan enzim lisosom memenuhi sel hingga akhinya terjadi pola degradasi acak DNA. (5) Saat kematian sel sering dihubungkan dengan aktivasi beberapa kelas enzim intraseluler termasuk lipase, nuklease, dan protease. Lisosom adalah organel yang mengandung enzim hidrolitik yang merupakan asam vakuola. Ketika ia aktif maka PH asam dapat merusak biomolekul. Hilangnya protein histon sebagai protein utama penyusun kromatin karena protease lisosom akan memudahkan proses pembelahan DNA. (5)Fragmen DNA postmortem akan mengalami degradasi oleh endogen nuklease yang dilepaskan oleh sel host ataupun mikroorganisme dan invertebrata termasuk insekta. Terlebih lagi degradasi spontan karena hidrolisis dan oksidasi akan mengubah struktur DNA dengan kecepatan lebih lambat. (5)Pecahnya membran sel pada tahap akhir dari kematian sel menyebabkan pelepasan cairan kaya nutrisi yang mendorong pertumbuhan mikroorganisme lingkungan berlanjut dengan degradasi makromolekul.

Gambar 3. Proses degradasi DNA (5)

Adapula proses degradasi DNA non enzimatik, yaitu dengan terjadinya reaksi hidrolitik. Basa glikosida merupakan ikatan gula yang paling rentan terhadap pembelahan untaian polinukleotida, di mana ia dijadikan serangan hidrolitik yang akan membuat untaian basa hilang dan diikuti rusaknya untaian DNA 30 ikatan fosfodiester gula apurinik. Secara teoritis, fragmen DNA 800 bp di suhu 15 C dibutuhkan 50-100 tahun untuk mencapai degradasi 58,6 %. Tambahan lainnya adalah basa DNA seperti guanin, sitosin, 5-metilsitosin dan guanin akan terhidrolisis sehingga mengakibatkan deaminasi generasi hipoksantin, urasil, timin, dan santin. (5)Identifikasi DNA JenazahPengambilan sampel jaringan lunak pada jenazah dilakukan untuk mengurangi perlukaan pada jenazah. Sampel yang sudah terpapar formalin memiliki kendala ketidakberhasilan dalam analisis DNAnya. Hal ini disebabkan karena pH larutan formalin yang semakin turun seiring waktu karena terbentuknya asam formiat, menyebabkan bertambahnya AP Site yang berakhir dengan fragmentasi DNA.Pada kondisi fisiologis ikatan yang paling labil pada struktur DNA adalah ikatan N-glikosil yang mengikat basa. Hidrolisis pada ikatan tersebut mengakibatkan hilangnya basa yang meninggalkan lokasi apurinik atau apirimidinik (AP Site), lokasi tersebut sering berlanjut dengan retakan pada struktur DNA. (1)Namun jika baru terpapar beberapa waktu, analisis DNA dengan menggunakan Short Tandem Repeat (STR) masih relevan dilakukan. Ia menggunakan tiga belas lokus STR identitas individu. Ukuran fragmen STR biasanya tidak lebih dari 500 bp, oleh karena itu STR dapat diamplifikasi dengan menggunakan jumlah DNA template yang relatif sedikit (~1ng) dan juga dapat digunakan untuk menganalisa sampel DNA yang sudah terdegradasi. Kadar DNA merupakan faktor penting dalam pemeriksaan DNA forensik yakni berpengaruh terhadap keberhasilan STR-PCR pada sampel-sampel DNA. Penurunan kadar DNA hingga 1 ng berpotensi terhadap penurunan kemampuan deteksi STR hingga 95%. Selain itu dibutuhkan pula kualitas DNA yang mencukupi yaitu harus dalam kondisi terdegradasi seminimal mungkin. Apabila DNA dalam kondisi terdegradasi parah, maka dapat mengakibatkan primer tidak dapat menempel pada DNA target yang akan digandakan. (4)Pada tahun 1986, teknik DNA molekuler yang dikenal dengan PCR mulai dikembangkan. Teknik PCR membantu merevolusi DNA bidang forensik dengan memperkuat bagian sangat kecil dalam DNA yang didapat dari kasus kriminal. Pada teknik inim molekul DNA disintesis dan direplikasi. Tiap molekul DNA yang disintesis disimpan dalam template DNA, sehingga mampu menghasilkan jutaan kopi DNA target spesifik dalam 3 jam. Secara keseluruhan, teknologi PCR tergolong sebagai metode yang sensitif, aman, cepat, akurat dan ekonomis. Teknologi PCR berhubungan secara khusus dengan DNA yang terdapat pada nukleus dalam sel manusia. Bukti yang ditemukan dalam kasus kriminal yang sering digunakan untuk teknik PCR adalah darah, liur dan semen. (4)Tipe analisis DNA yang lain dalam forensik dalah mitokondrial DNA, yang ditemukan diluar nukleus dalam sitoplasma. MtDNA ditunjukan dalam volume yang lebih banyak dan kurang rentan terhadap kerusakan lingkungan. Profil MtDNA dapat diperoleh dari sel tanpa nukleus, seperti pada batang rambut. Metode DNA tersebut sangat membantu dalam pembuktian untuk bukti yang mengalami kerusakan parah, seperti jaringan dan tulang yang terurai. Namun, probabilitas statistik yang dari teknik tersebut tidak seberagam identifikasi nukleus DNA dan menghabiskan banyak biaya dan waktu. (7)DNA mitokondria (mtDNA) manusia mudah mengalami mutasi sehingga mempunyai laju polimorfisme tinggi. Daerah genom mitokondria manusia yang mempunyai polimorfisme tertinggi adalah D-loop, yaitu daerah non penyandi. Sifat khas lain mtDNA adalah pola pewarisan melalui garis ibu tanpa mengalami rekombinasi dengan mtDNA ayah. Karakteristik-karakteristik ini dapat digunakan untuk menentukan identitas seseorang dalam keperluan analisis forensik terutama untuk sampel referensi dari keluarganya yang segaris keturunan ibu. (7)DNA mitokondria (mtDNA) sekuensi dapat diperoleh dari usus membedah dari belatung yang telah diberi jaringan manusia. Data ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi belatung yang ada diatas mayat dan telah memakan jenazah dan dapat juga untuk mengidentifikasi spesies dari belatung itu sendiri. (7) Identifikasi ini, akan menggunakan spesimen larva (maggot) dari lalat anggota Ordo Diptera familia Calliphoridae hasil kultivasi jaringan lunak postmortem, dengan maksud untuk mengetahui adanya proses transfer DNA jenazah ke larva lalat. Selain itu untuk mengetahui bahwa proses transfer DNA jenazah ke larva lalat melalui sistem digestif atau melalui kulit larva yang kontak dengan jaringan lunak jenazah yang telah membusuk. Untuk dapat mengetahui adanya transfer DNA inti jenazah yang mengalami pembusukan dan proses transfernya, maka perlu melakukan ekstraksi larva secara utuh dan ekstraksi bagian dalam lalat yang dibiakkan dari jaringan lunak jenazah. Sehingga dilakukan kultivasi larva yaitu dengan mengambil sampel jaringan lunak jenazah T4 (jenazah T4: jenazah tempat tinggal tidak tetap) yang segar dan dibiarkan membusuk untuk mengundang lalat meletakkan telurnya. Larva lalat akan hidup dan memakan jaringan lunak jenazah yang telah mengalami pembusukan. Lokus yang akan diambil untuk dianalisis adalah lokus Short Tandem Repeat (STR): FGA, D18S51 dan D21S11 yang merupakan beberapa dari ke 13 lokus yang telah ditetapkan oleh Federal Bureau of Investigation (FBI).

Daftar Pustaka

1. Forensic Identification Based On Both Primary And Secondary Examination Priority In. Prawestiningtyas, Eriko And Algozi, Agus Mochammad. 2, Malang: Jurnal Kedokteran Brawijaya , 2009, Vol. XXV.2. (The Analyze Of Human DNA Soft Tissue That Contaminated Formalin During. Kusumadewi, Arlene, Kusuma, Soekry Erfan And Yudianto, Ahmad. 2, Surabaya: JBP Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, 2012, Vol. 14.3. An Investigation Of The Effect Of DNA Degradation And Inhibition On PCR Amplification Of Single Source And Mixed Forensic Samples. Mccord, Bruce, Et Al. United Satate: U.S. Department Of Justice., 2011.4. Dale, W. Mark, Greenspan, Owen And Orokos, Donald. DNA Forensics: Expanding Uses And Information Sharing. California: SEARCH The National Consortium For Justice, 2006.5. Watson, William J. Dna Degradation As An Indicator Of Post-Mortem Interval. North Texas: University Of North Texas, 2010.6. Review Forensic Implications Of Genetic Analyses From Degraded DNAA Review. A, Reza Alaeddini And Walsh, Simon J. 148-157, Sydney: Elsevier, 2010, Vol. 4.7. CCRC. Mekanisme Dan Regulasi Apoptosis. Jakarta: Farmasi UGM, 2009.8. Hartati, Yeni W And Maksum, Iman P. Amplification Of 0,4 Kb D-Loop Region Of Mitochondria DNA From Ephitelium Cell For Forensic Analysis. Bandung: FMIPA Universitas Padjajaran, 2012.