debu batu bara.pdf
description
Transcript of debu batu bara.pdf
Artikel Penelitian
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 6, Juni 2011
Efek Inhalasi Debu Batubaraterhadap Stres Klorinatif dan
Kerusakan Endotel1
Bambang Setiawan,* Nia Kania,** Agus Yuwono,*** Dyah Paramita****
*Bagian Kimia Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru
**Bagian Patologi Anatomi, Rumah Sakit Umum Ulin, Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
***Bagian Penyakit Dalam, Rumah Sakit Umum Ulin, Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
****Dokter Umum, Rumah Sakit Umum Banjarbaru, Banjarmasin
Abstrak: Debu batubara akan memicu makrofag fagositik membentuk H2O
2. Selanjutnya, H
2O
2
akan dikatalisis oleh mieloperoksidase membentuk HOCl yang dapat memicu stres klorinatif
pada protein sel endotel berupa peningkatan Circulating Endothelial Cells (CEC). Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui efek paparan debu batubara akut dan sub kronik terhadap
stres klorinatif yang diukur melalui pembentukan Advanced Oxidation Protein Products (AOPP)
dan kerusakan sel endotel yang diukur dengan CEC. Penelitian ini merupakan penelitian
eksperimental toksikologi dengan desain post-test only control group. Subjek penelitian adalah
tikus Wistar jantan yang diperoleh dari UGM Yogyakarta. Batubara diperoleh dari tambang di
daerah Karuh Asam-asam Kalimatan Selatan. Paparan debu batubara dilakukan dengan alat
paparan inhalasi model 2009 selama 1 jam per hari untuk paparan 1 hari (paparan akut) dan
paparan 28 hari (paparan sub kronik). AOPP diukur dengan metode Witko-Sarsat yang
dimodifikasi Cakatay. CEC diukur dengan metode dari Hladovec® yang dimofidikasi oleh
Widjajanto yang dikembangkan di Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universi-
tas Brawijaya Malang. Hasil penelitian menyatakan bahwa paparan akut menyebabkan
peningkatan AOPP dan CEC secara bermakna (p<0,05) yang tidak ditemukan pada paparan
subkronik. Dengan demikian, paparan debu batubara akut melalui inhalasi meningkatkan
stres klorinatif dan kerusakan endotel. Untuk paparan subkronik tidak didapatkan stres
klorinatif dan kerusakan endotel secara bermakna. J Indon Med Assoc. 2011;61: 253-7.
Kata kunci: debu batubara, inhalasi, stres klorinatif, kerusakan endotel
253
1 Telah dipresentasikan pada 8th Basic Molecular Biology Course
on Stem Cell, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, 23-25
Juni 2010.
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 6, Juni 2011254
Acute Inhalation of Coal Dust Increases Chlorinative Stress and
Endothelial Damage
Bambang Setiawan,* Nia Kania,** Agus Yuwono,*** Dyah Paramita****
*Department of Medical Chemistry, Lambung Mangkurat Medical School, Banjarbaru
**Department of Pathology Anatomy, Ulin General Hospital, Lambung Mangkurat
Medical School, Banjarmasin
***Department of Internal Medicine, Ulin General Hospital, Lambung Mangkurat
Medical School, Banjarmasin
****General Medical Practitioner, Banjarbaru General Hospital, Banjarbaru
Abstract: Coal dust induce phagocytic macrophage to produce H2O
2. H
2O
2 would catalyzed by
myeloperoxidase yield HOCl then induce chlorinative stress and protein endothelial damage to
increase circulating endothelial cells. The present work aimed to investigate the effects of acute
and subchronic exposure to coal dust on chlronative stress determined by AOPP and endothelial
damage determined by CEC. This study was experimental toxicology research post test only
control group design. Subject of this study was male Wistar rat obtained from UGM Yogyakarta.
Coal was obtained from mining in Karuh Asam-asam South Kalimantan. Exposure of coal dust
was done by coal dust inhalation exposure equipment 2009 model for one hour a day for 1 day
(acute) and 28 days (subchronic). AOPP was measured by Cakatay modification method on
Witko-Sarsat. Circulating endothelial cell was measured by method from Hladovec modified by
Widjajanto which developed in Pharmacology Laboratory, Brawijaya Medical School. Result
showd increase of AOPP and CEC in acute exposure (p<0.05) but not subchronic. In conclusion,
acute inhalation exposure of coal dust increased chlorinative stress and endothelial damage.
However, in subchronic exposure there is no significant different in chlorinative stress and endot-
helial damage. J Indon Med Assoc. 2011;61: 253-7.
Keywords: coal dust, acute, sub chronic, inhalation, chlorinative stress, endothelial damage
Pendahuluan
Batubara adalah bahan bakar fosil berupa batuan
organik bersedimen dan mudah terbakar yang terbentuk dari
perubahan tanaman melalui konsolidasi di antara strata
batuan yang dipengaruhi oleh tekanan dan panas.1 Ekspor
batubara dari Indonesia menempati urutan kesembilan di
dunia, yaitu sebesar 18,75% dari keseluruhan ekspor batu-
bara dunia. Kalimantan Selatan merupakan penghasil batu-
bara terbesar dengan lokasi pertambangan yang tersebar di
seluruh wilayah.2 Aktivitas batubara di Kalimantan Selatan
terjadi di daerah tambang terbuka maupun jalur transportasi
batubara menuju stockpile di pelabuhan sehingga terjadi
akumulasi debu batubara yang akan disebarluaskan oleh
angin. Pada pertambangan batubara, debu batubara
dihasilkan ketika batubara hancur oleh tubrukan, abrasi,
peremukan, dan penggilasan. Di jalur transportasi batubara,
debu batubara ditimbulkan oleh pergerakan batubara di dalam
bak truk pada berbagai kondisi jalan.
Debu batubara adalah campuran kompleks berbagai
proporsi mineral, trace metal, dan bahan organik dengan
derajat yang berbeda dari partikulat batubara.3 Beberapa
penyakit akibat paparan debu batubara kronik meliputi simple
coal workers pneumoconiosis (CWP), progressive massive
fibrosis (PMF), bronkitis kronik, dan emfisema.4,5 Penelitian
Mullolli et al6 mengungkapkan adanya peningkatan jumlah
penderita asma pada anak yang tinggal di dekat atau jauh
dari lokasi pertambangan batubara terbuka. Hal itu meng-
indikasikan bahwa penyakit akibat debu batubara ber-
hubungan dengan sifat debu yang mudah diterbangkan oleh
angin.
Berbagai komponen aktif debu batubara diduga berperan
secara langsung pada patogenesis penyakit akibat debu
batubara, antara lain silika, carbon centered radical, dan
besi.3 Carbon centered radical adalah radikal bebas dari
komponen organik batubara. Senyawa itu bersifat stabil dan
terperangkap dalam struktur batubara, sehingga tidak terlibat
Efek Inhalasi Debu Batubara terhadap Stres Klorinatif dan Kerusakan Endotel
Efek Inhalasi Debu Batubara terhadap Stres Klorinatif dan Kerusakan Endotel
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 6, Juni 2011 255
dalam reaksi biologis di dalam tubuh. Besi (Fe2+ dan Fe3+)
adalah komponen bioaktif yang dilepaskan oleh debu
batubara. Besi mampu mengkatalisis pembentukan senyawa
oksigen reaktif melalui reaksi dengan oksigen dan/atau
hidrogen peroksida.7
Partikel debu batubara yang terdeposit di epitelium
alveolar akan difagosit oleh makrofag alveolar yang selan-
jutnya akan melepaskan H2O
2 dan ·O
2.1,5 H
2O
2 yang terbentuk
akan dikatalisis oleh myeloperoksidase membentuk anion
hipoklorit (HOCl-). Selanjutnya, anion hipoklorit akan bereaksi
dengan gugus amino protein membentuk kloramin. Apabila
kapasitas antioksidan endogen tidak mampu meredam
reaktivitas anion hipoklorit, akan terjadi stres klorinatif. Ad-
vanced Oxidation Protein Products (AOPPs) merupakan
marker yang baik untuk stres klorinatif derivat fagosit.8
Peningkatan AOPP mencerminkan peningkatan pemben-
tukan H2O
2 peningkatan aktivitas myeloperoksidase; dan
peningkatan reaktivitas anion hipoklorit terhadap biomolekul
yang mengandung gugus amino, misalnya protein pada
struktur sel.
Endotelium adalah organ terbesar di dalam tubuh, terdiri
atas selapis sel yang melapisi bagian dalam sistem sirkulasi
(pembuluh darah).9,10 Sel endotel melapisi pohon vaskuler
dan melekat pada membran basal. Pada kondisi sehat, sel ini
akan melekat pada membran basal dan hanya sedikit yang
akan lepas ke dalam darah, lalu dibersihkan oleh sistem
retikuloendotelial. Kerusakan endotelium akan menyebabkan
pengelupasan sel endotel sehingga menyebabkan pening-
katan jumlah circulating endothelial cells (CEC) di aliran
darah. Hanya sekitar <3 sel/mL CEC yang ditemukan pada
individu sehat. Mekanisme pengelupasan CEC bersifat
kompleks dan melibatkan berbagai faktor, meliputi cedera
mekanik, faktor klasik atherosklerosis, perubahan molekul
adhesi sel endotel/sel subendotel, defek ikatan pada protein
matriks anchoring, dan apoptosis seluler dengan penurunan
daya tahan protein sitoskeletal.11 Penelitian Lee et al12 mem-
buktikan peningkatan CEC pada infark miokard dibandingkan
penyakit arteri koroner dan orang sehat. Dipikirkan pula
bahwa kerusakan endotel dapat disebabkan oleh debu
batubara.
Belum ada penelitian yang mengklarifikasi permasalahan
ini sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengukur stres
klorinatif dan kerusakan endotel akibat paparan debu
batubara.
Metode
Penelitian eksperimetal dengan desain post-test only
control group. Subjek penelitian ini adalah tikus Wistar
berjenis kelamin jantan, berat badan 200-250 gram dari UGM-
Yogyakarta. Kelompok penelitian meliputi kontrol, paparan
akut (1 hari), dan paparan subkronik (28 hari). Dengan rumus
Federer diperoleh jumlah tikus per kelompok 8 ekor tikus.
Tahap penelitian meliputi pembuatan debu batubara,
pemaparan debu batubara, dan pemeriksaan parameter.
Penelitian telah lolos uji etik dari komite etik penelitian
Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat.
Tahap Pembuatan Debu Batubara
Batubara yang berbentuk batuan dari tambang Karuh
Asam-asam Kalimantan Selatan dipilih ukuran paling kecil
kemudian dihancurkan dengan martil menjadi butiran kecil.
Selanjutnya butiran kecil diblender sampai berbentuk partikel
halus. Partikel halus kemudian dikumpulkan dan digunakan
pada tahap pemaparan. Partikel kemudian disaring dengan
Mesh MicroSieve® (BioDesign®, USA) sehingga didapatkan
debu batubara diameter <10 µm.
Tahap Pemaparan Debu Batubara
Debu batubara yang dihasilkan akan dipajankan pada
tikus yang berada di dalam kotak pajanan yang terbuat dari
kawat ram dengan ukuran 40 cm3 selama 1 jam per hari selama
1 hari dan 28 hari. Paparan dengan alat paparan debu batubara
model 2009 yang didesain dan tersedia di Bagian Kimia
Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Lambung
Mangkurat. Rangkaian alat meliputi blender, blower, selang,
serta kandang pajanan. Debu batubara akan dimasukkan
sebanyak 1 gram ke dalam blender yang kemudian dinyalakan
sehingga terjadi proses penghancuran disertai pembentukan
debu yang beterbangan. Debu yang beterbangan tersebut
akan dihisap dengan blower dan diteruskan melalui selang
menuju kandang paparan. Agar tercipta lingkungan di dalam
kandang paparan sebagai ambien debu batubara, kandang
ditutup dengan plastik berwarna hitam.
Tahap Pemeriksaan Parameter
Setelah dilakukan pemajanan selama 1 hari dan 28 hari,
pada keesokan harinya dilakukan pembedahan pada tikus
yang telah dimasukkan ke dalam bak plastik berisi kapas yang
mengandung eter. Pembedahan dilakukan pada tikus yang
masih mem-punyai detak jantung dengan membuka abdo-
men, memotong kosta, dan membuka rongga dada untuk
menemukan jantung. Darah yang diperoleh dari jantung akan
digunakan untuk pemeriksaan parameter. Pemeriksaan Ad-
vanced Oxidation Protein Products (AOPP) sebagai marker
stres klorinatif dilakukan dengan metode Cakatay yang
memodifikasi metode Witko-Sarsat.13 Pemeriksaan Circulat-
ing Endothelial Cells (CEC) dilakukan metode Hladovec14
yang dimodifikasi oleh Widjajanto et al15.
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan uji t tidak
berpasangan dan disimpulkan terdapat perbedaan secara
bermakna apabila didapatkan apabila nilai p<0,05.
Hasil
Pajanan debu batubara akut menyebabkan peningkatan
kadar AOPP secara bermakna dibandingkan kontrol (p=0,032),
namun pajanan subkronik tidak menunjukkan perbedaan
Efek Inhalasi Debu Batubara terhadap Stres Klorinatif dan Kerusakan Endotel
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 6, Juni 2011256
secara bermakna dibandingkan kontrol (p=0,968) (Tabel 1).
Pajanan debu batubara akut juga meningkatkan rerata
jumlah CEC secara bermakna dibandingkan kontrol (p=0,02),
sedangkan pajanan subkronik tidak menunjukkan pening-
katan secara bermakna dibandingkan kontrol (p=0,515).
Diskusi
Inhalasi debu batubara akan membentuk senyawa
oksigen reaktif melalui mekanisme secara langsung dan tidak
langsung. Mekanisme langsung melibatkan komponen
bioaktif yang dikandung oleh debu batubara. Sedangkan
mekanisme tidak langsung terjadi akibat respiratory burst
hasil aktivasi makrofag dan leukosit polimorfonuklear ketika
terjadi fagositosis dan inflamasi yang menetap.5,16
Kapasitas oksidatif debu batubara utamanya dise-
babkan oleh kandungan logam transisi, meliputi Fe, Cr, Mn,
Co, Ni, Cu, Zn, dan silika. Beberapa logam tersebut dapat
mengkatalis reaksi Fenton untuk menghasilkan senyawa
oksigen reaktif.5 Selama fagositosis partikel terinhalasi, akan
dibentuk radikal superoksida yang akan mengalami dismutasi
spontan membentuk hidrogen peroksida. Apabila terdapat
logam transisi, maka hidrogen peroksida akan dikonversi
menjadi radikal hidroksil.17
Populasi yang terpapar debu batubara kronik berisiko
lebih tinggi terkena penyakit kardiovaskuler penyakit jantung
koroner dan serangan jantung yang sebanding antara pria
dan wanita.18 Pada penelitian ini, peningkatan stres klorinatif
secara bermakna hanya ditemukan pada pajanan akut dan
tidak ditemukan pada pajanan subkronik. Pada pajanan akut,
kapasitas oksidatif debu batubara memicu reaksi antara HOCl
dengan gugus amin protein membentuk AOPP dan juga
ditemukan peningkatan jumlah CEC yang mencerminkan
peningkatan kerusakan sel endotel. Hal ini mengindikasikan
adanya stres klorinatif pada kadar tinggi yang akan memicu
adanya apoptosis seluler. Bergantung kepada kadar
senyawa reaktif, berbagai faktor transkripsi sensitif redoks
diaktivasi dan akan mengkoordinasikan respons biologis
tertentu. Stres klorinatif pada kadar rendah akan menginduksi
Nrf2, faktor transkripsi yang berimplikasi pada transaktivasi
gen yang menyandi aktivitas antioksidan enzimatik. Senyawa
reaktif pada kadar sedang akan memicu respon inflamasi
melalui aktivasi NF-kB dan AP-1. Namun stres klorinatif pada
kadar tinggi akan mengacaukan pori mitokondria dan
gangguan transfer elektron yang akhirnya menyebabkan
nekrosis atau apoptosis.19
Pada pajanan subkronik, ketidakbermaknaan diduga
disebabkan oleh makrofag yang telah jenuh dalam fagositosis
Tabel 1. Kadar AOPP dan Jumlah CEC pada Berbagai Kelom-
pok
Kontrol Akut Subkronik
Kadar AOPP 0,0361±0,0988 0,0596±0,0209 0,0360±0,0016
Jumlah CEC 2,6667±1,0328 4,8333±0,7527 3,0000±0,6324
atau terdapat mekanisme lain dalam kerusakan oksidatif pada
protein. Makrofag dalam status jenuh memicu penurunan
kemampuan respiratory burst yang ditandai penurunan
pembentukan H2O
2. Hal itu sesuai dengan penelitian Armutcu
et al5 bahwa paparan subkronik tidak ditemukan peningkatan
aktivitas mieloperoksidase (MPO) secara bermakna di paru.
Selanjutnya rendahnya H2O
2 menyebabkan perubahan H
2O
2
menjadi HOCl juga rendah. Akibatnya reaksi antara HOCl
dengan gugus amino protein membentuk AOPP akan me-
nurun. Meskipun demikian, penelitian Pinho et al20 membuk-
tikan peningkatan protein karbonil sebagai marker kerusakan
protein dibandingkan kontrol. Kondisi ini akan mendukung
kompensasi perbaikan endotel oleh Endothelial Progenitor
Cells (EPC) sehingga kerusakan endotel menjadi rendah.
Dengan demikian pajanan akut debu batubara memicu stres
klorinatif serta kerusakan endotel. Selanjutnya kerusakan
endotel akan mendasari munculnya penyakit yang melibatkan
kerusakan endotel, misalnya aterosklerosis. Untuk meng-
hambat kejadian patologis ini dapat dilakukan dengan
menghambat stres klorinatif atau meningkatkan kemampuan
regenerasi endotel oleh endothelial progenitor cell.
Kesimpulan
Paparan debu batubara akut memicu stres klorinatif dan
kerusakan endotel secara bermakna. Untuk paparan subkronik
tidak didapatkan stres klorinatif dan kerusakan endotel secara
bermakna.
Daftar Pustaka
1. Huang X, Finkelman RB. Understanding the chemical properties
of macerals and minerals in coal and its potential application for
occupational lung disease prevention. J Toxicol Environ Health
Part B. 2008;11(1):45-67.
2. Furqan EBM. Fenomena pertambangan batubara di kalimantan
selatan: kebijakan kuras habis dan berorientasi pasar. [2007; Cited:
28 Jan. 2008]. Available from: http:www.walhi.or.id.
3. Dalal NS, Newman J, Pack D, Leonard S, Valyathan V. Hydroxyl
radical generation by coal mine dust: possible implication to coal
workers’pneumoconiosis. Free Rad Biol Med. 1995;18(5):1-20.
4. Naidoo NR, Robins GT, Murray J, Green YHF, Vallyathan V.
Validation of autopsy data for epidemiologic studies of coal min-
ers. Am J Ind Med. 2005;47:83-90.
5. Armutcu F, Gun BD, Altin R, Gurel A. Examination of lung tox-
icity, oxidant/antioxidant status and effect of erdosteine in rats
kept in coal mine ambience. Environ Toxicol Pharmacol.
2007;24:106-13.
6. Mulloli PT, Howel D, Prince H. Prevalence of asthma and other
respiratory symptoms in children living near and away from
opencast coal mining sites. Int J Epidemiol. 2001;30:556-63.
7. Huang C, Li J, Zhang Q, Huang X. Role of bioavailable iron in
coal dust-induced activation of activator protein-1 and nuclear
factor of activated T cell. Am J Respir Cell Mol Biol. 2002;27:568-
74.
8. Boulanger E, Moranne O, Wautier M, Witko-Sarsat M, Descamps-
Latscha B, Kandoussi A, et al. Changes in glycation and oxidation
markers in patients starting peritoneal dialysis. a pilot study.
Peritoneal Dialysis Int. 2006;26:207-212.
9. Segal MS, Bihorac A, Koc M. Circulating endothelial cells: tea
leaves for renal disease. Am J Physiol Renal Physiol. 2002;283:11-
9.
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 6, Juni 2011
Efek Inhalasi Debu Batubara terhadap Stres Klorinatif dan Kerusakan Endotel
257
10. Lyall F, Greer IA. The vascular endothelium in normal preg-
nancy and pre-eclampsia. Rev Reprod. 1996;1:107-16.
11. Boos CK, Lip GYH, Blann AD. Circulating endothelial cells in
cardiovascular disease. J Am Coll Cardiol. 2006;48:1538-47.
12. Lee KW, Lip GY, Tayebjee M, Foster W, Blaan AD. Circulating
endothelial cells, von Willebrand factor, interleukin-6 and prog-
nosis in patients with acute coronary syndromes. Blood.
2005;105:526-32.
13. Cakatay U, Telcy A, Kayali R, Tekeli F, Akcay T, Silvas A.
Relation of aging with oxidative protein damage parameters in
the rat skeletal muscle. Clin Biochem. 2003;36:51-5.
14. Hladovec B, Rossman P. Circulating endothel cell isolated to-
gether with platelets and experimental modification of their
counts in rats. New York: Pergamon Press Inc; 1973.
15. Widjajanto E, Widodo MA, Rudiyanto A. Correlation between
circulating endothel and profile lipid in diabetes mellitus patient
(preliminary study). Faculty Medicine Brawijaya, Malang, 1994.
16. Nadif R, Mintz M, Jedlicka A, Bertrand J, Kleeberger SR,
Kauffmann F. Association of CAT polymorphisms with catalase
activity and exposure to environmental oxidative stimuli. Free
Rad Res. 2005;39(12):1345-50.
17. Altin R, Kart L, Tekin I, Armutcu F, Tor M, Ornek T. The
presence of promatrix mettaloproteinase-3 and its relation with
different categories of coal worker’s pneumoconiosis. Med
Inflamm. 2004;13(2):105-9.
18. Hendryx M, Zullig KJ. Higher coronary artery disease and heart
attack morbidity in Appalachian coal mining regions. Preven-
tive Med. 2009;49:355-9.
19. Glorie G, Legrand-Poels S, Piette J. NF-kB activation by reactive
oxygen species: fifteen years later. Biochem Pharmacol.
2006;72:1493-505.
20. Pinho RA, Silveira PCL, Silva LA, Steck EL, Dal-Pizzol F,
Moreira JCF. N-acetylsisteine and deferoxamine reduce pulmo-
nary oxidative stress and inflammation in rats after coal dust
exposure. Environ Res. 2005;99:355-60.
YY/MH/FAS