Dbd Edit Jadi
-
Upload
istianah-es -
Category
Documents
-
view
61 -
download
4
Transcript of Dbd Edit Jadi
LAPORAN KASUS KEDOKTERAN KELUARGA
KEPANITERAAN KLINIK
Disusun oleh:
APRINA RADINKA SUBAGIYO
207.121.00003
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2011
KATA PENGANTAR
Assalamu'alaikum wr. wb.
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Field Study
Kasus Demam Dengue sebagai salah satu tugas dalam menempuh Program Kepaniteraan
Klinik.
Laporan ini berisi mengenai uraian kasus yang telah didapatkan oleh penulis
selama mengikuti penulis Program Kepaniteraan Klinik. Penulis berharap laporan kasus
ini dapat berguna dan menambah wawasan bagi penulis dan pembaca.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini masih banyak
kekurangan ataupun kekeliruan. Karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
dari pembaca yang bersifat membangun guna penyempurnaan laporan ini selanjutnya.
Akhirnya penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu dalam pelaksanaan Program Kepaniteraan Klinik dan penyusunan
laporan ini. Semoga bermanfat bagi semua pihak. Amin.
Wassalamu'alaikum wr. wb.
Malang, januari 2012
Penyusun
STATUS PENDERITA
Pendahuluan
Laporan ini dibuat berdasarkan kasus yang didapatkan dari ruang rawat
inap 3A, dengan diagnose OF suap DF. Mengingat kasus DF banyak ditemukan di
masyarakat, maka penting kiranya bagi kita untuk memperhatikan dan
mencermatinya, untuk selanjutnya dapat dijadikan sebagai pengalaman di
lapangan.
Identitas Penderita
Nama : An.F
Umur : 12 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Kalaut-Kalimantan
Status : BM
Tanggal MRS : 22 Januari 2012
Pendidikan : Pelajar SMP
Suku : Jawa
Agama : Islam
Anamnesa
1. Keluhan Utama : Panas
2. Riwayat Penyakit Sekarang (secret seven):
Lokasi : kepala dan dada
Onset dan kronologi : panas sejak 4 hari yang lalu (18/01/12).
Kualitas keluhan :panas tinggi hingga pasien menunjukkan
gejala kejang.
Kuantitas keluhan : tipe panas intermiten, meningkat pada
malam hari, menurun pada siang hari.
Faktor yang memperberat : keluhan bertambah berat dengan aktivitas
Faktor yang memperingan : berkurang jika pasien beristirahat
Gejala penyerta : hari ke-2 panas pasien merasa mual tetapi tidak sampai
muntah, sakit kepala dan sulit menelan, terasa nyeri di perut
atas kanan-kiri, nyeri hilang timbul, terasa pegal-pegal
seluruh badan, dipijat tapi tidak membaik, tidak ada batuk
dan pilek.
Pasien datang ke IGD RSI pada hari minggu, 22 januari 2012 pada jam
22.30 WIB bersama kedua orang tuanya dengan keluhan panas tinggi. Panas
dirasakan sejak 4 hari yang lalu (18/01/12), naik turun, meningkat pada malam
hari dan menurun disiang hari. Keesokan harinya (19/01/12) orang tua pasien
membawa An.F ke. RS, didiagnosa TF dan ISPA diberikan obat namun panas
tidak turun sehingga pada tanggal 22/01/12 karena panasnya semakin tinggi
orang tua pasien membawa pasien kembali ke RS. Hari ke-2 panas pasien merasa
mual tetapi tidak sampai muntah, sakit kepala dan sulit menelan, terasa pegal-
pegal seluruh badan, dipijat tapi tidak membaik, tidak ada batuk dan pilek.
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat MRS : disangkal
Riwayat Tifoid Fever : + (SD)
Riwayat DM : disangkal
Riwayat Penyakit Paru : disangkal
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
Riwayat Sakit Kejang : disangkal
Riwayat Alergi Obat dan Makanan : disangkal
Riwayat DF/DHF : disangkal
Riwayat Penyakit Pembekuan darah : disangkal
4. Riwayat Keluarga :
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat Jantung : disangkal
Riwayat Ginjal : disangkal
Riwayat Gout : disangkal
Riwayat penyakit pembekuan darah : disangkal
Riwayat OA : disangkal
5. Riwayat Gizi
Pasien makan sehari-hari biasanya 3-4 kali sehari dengan nasi, sayur dan lauk.
6. Riwayat Kebiasaan :
Pasien suka berolah raga futsal. Riwayat merokok disangkal.
Anamnesis Sistem
1. Kulit : kulit gatal(-), keriput (-)
2. Kepala : sakit kepala(+), pusing(-), rambut rontok(-), luka(-),
benjolan(-), demam(+)
3. Mata : pandangan mata berkunang-kunang(-), penglihatan
kabur(-), ketajaman penglihatan berkurang(-),
penglihatan ganda(-), konjungtiva hiperemi (+)
4. Hidung : tersumbat(-), mimisan (-)
5. Telinga : pendengaran berkurang (-), berdengung(-), cairan(-),
nyeri(-)
6. Mulut : pucat(+), sariawan(-), mulut kering(+)
7. Tenggorokan : nyeri menelan(-), suara serak(-)
8. Pernafasan : sesak nafas(-), batuk(-), mengi(-)
9. Kardiovaskuler : nyeri dada(-), berdebar-debar(-), ampeg(-).
10. Gastrointestinal : mual(-), muntah(-), diare(-), nafsu makan menurun(-),
nyeri perut(-), sembelit (-), kembung (-), BAB normal.
11. Genitourinaria : BAK normal
12. Neurologik : lumpuh(-), kaki kesemutan(-), kejang (-)
13. Psikiatrik : emosi stabil(+), mudah marah(-)
14. Muskolokeletal : kaku sendi(-), nyeri sendi (+), nyeri tangan dan
kaki(-), nyeri otot(-)
15. Ekstremitas atas
:bengkak(-), sakit(-), telapak tangan pucat(-),
kebiruan(-), luka(-)
16. Ekstremitas bawah : bengkak (-), sakit(-), telapak kaki pucat(-),
kebiruan(-), luka(-), akral hangat (+)
Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum : sadar penuh
2. Kesadaran : GCS 456 compos mentis
3. Tanda vital :
BB : 45 Kg
TB : 163 cm
BMI : 16,9 under weight
Tensi : 100/70mmHg
Suhu : 39oC
N : 104x/menit
RR : 28x/menit
4. Kulit : sawo matang, turgor baik, ikterik (-), sianosis (-),
pucat (-), spider nevi (-), petechie (-), eritem (-),
venektasi (-)
5. Kepala : bentuk mesocephal, luka (-), papul (-), nodul (-),
makula (-)
6. Mata : conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil
isokor (+/+), reflek kornea (+/+), warna kelopak
coklat, radang (-/-), eksoftalmus (-), strabismus (-)
7. Hidung : nafas cuping hidung (-/-), rhinorrhea (-/-), epistaksis
(-/-), deformitas hidung (-/-), hiperpigmentasi (-/-),
saddle nose(-/-)
8. Mulut : mukosa bibir pucat (+/+), sianosis bibir (-/-), bibir
kering (+/+), gusi berdarah (-) lidah kotor (-), tepi
lidah hiperemis (-), papil lidah atrofi (-)
9. Telinga : otorrhea (-/-), pendengaran berkurang (-/-), nyeri tekan
mastoid (-/-), cuping teling dbn, serumen (-/-)
10. Tenggorokan : tonsil membesar (-/-), pharing hiperemis (-)
11. Leher : lesi kulit (-), pembesaran kelenjar tiroid (-),
pembesaran KGB (-), deviasi trakea (-)
12. Thorax : normochest, simetris, pernafasan thoracoabdominal,
retraksi (-), massa (-), krepitasi (-), kelainan kulit (-),
nyeri (-)
Cor:
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas kiri atas : ICS II Linea para sternalis sinistra
Batas kanan atas : ICS II Linea para sternalis dekstra
Batas kiri bawah : ICS V medial linea medio
clavicularis sinistra.
Batas kanan bawah : ICS IV linea para sternalis
dekstra
Auskultasi :bunyi jantung I-II intensitas normal, regular,bising
(-) ,bunyi jantung tambahan (-), HR : 86x/menit
Pulmo :
Statis (depan dan belakang)
Inspeksi : bentuk normal, pengembangan dada kanan sama dengan
dada kiri
Palpasi : fremitus raba kiri sama dengan kanan
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : + + - - - -
suara dasar vesikuler + wheezing - ronkhi -
+ + - - - -
Dinamis (depan dan belakang)
Inspeksi : pergerakan dada kanan sama dengan dada kiri, irama
regular, otot bantu nafas (-), pola nafas abnormal (-)
Palpasi : fremitus raba kiri sama dengan kanan
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : + + - - - -
suara dasar vesikuler + wheezing - ronkhi -
+ + - - - -
13. Abdomen :
Inspeksi : datar/sejajar dinding dada, venektasi (-), massa (-), bekas
jahitan (-)
Palpasi : supel, nyeri epigastrium (+), hepar dan lien tidak teraba,
turgor baik, massa (-), asites (-)
Perkusi : timpani seluruh lapangan perut
Auskultasi : bising usus normal
14. Sistem Collumna Vertebralis :
Inspeksi : deformitas (-), skoliosis (-), kifosis (-), lordosis (-)
Palpasi : nyeri tekan (-)
15. Ekstremitas (lengan atas kiri)
Akral hangat Oedem
L : deformitas (-), luka (-), eritema (-)
F : nyeri tekan (-), krepitasi (-)
M: normal
16. Sistem genitalia : normal
17. Pemeriksaan neurologik :
Kesadaran : GCS 456 composmentis
Fungsi luhur : dalam batas normal
Fungsi vegetatif : dalam batas normal
Fungsi sensorik
Fungsi motorik
Kekuatan Tonus Ref.Fisiologis Ref.Patologis18. Pemeriksaan psikiatri :
Penampilan : baik
Kesadaran : kualitatif tidak berubah, kuantitatif composmentis
+ +
+ +
- -
- -
N N
N N
- -
- -
N N
N N
5 5
5 5
5 5
5 5
Afek : appropriate
Psikomotor : normoaktif
Proses pikir : Bentuk : realistik
Isi : waham (-), halusinasi (-), ilusi (-)
Arus : koheren
Insight : baik
Pemeriksaan Penunjang
Hasil Lab:
Darah Lengkap (22/01/12)
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hb 15,1 12-26 g/d
Leukosit 4.500 4-10ribu /mm3
LED - 2-20 mm/jam
Trombosit 184.000 150-400ribu/mm3
PCV 45,4 37-48%
Eritrosit 6,07 4.0-5.5juta/mm
Hit. Jenis:
Eosinofil 1 1-3
Basofil 1 0-1
Stab - 2-6
Seg 68 50-70
Lymfosit 21 20-40
Monosit 9 2-8
Kimia Darah
Nilai Normal
Ureum 28 15-39 mg/dl
Kreatinin 1,04 <1,3 mg/dl
SGOT 35 <40 U/L
SGPT 14 <41 U/L
Widal Test
Typus O _
Typus H _
Paratyph A _
Paratyph B _
Resume
Pasien datang ke IGD RSI pada hari minggu, 22 januari 2012 pada jam
22.30 WIB bersama kedua orang tuanya dengan keluhan panas tinggi. Panas
dirasakan sejak 4 hari yang lalu (18/01/12), naik turun, meningkat pada malam
hari dan mnurun disiang hari. Hari ke-2 panas pasien merasa mual tetapi tidak
sampai muntah, sakit kepala dan sulit menelan, terasa pegal-pegal seluruh badan,
dipijat tapi tidak membaik, tidak ada batuk dan pilek.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien sadar penuh
GCS 456 compos mentis, BMI underweigh, suhu 39oC, tensi 100/70mmHg,nadi
104x/menit. Konjungtiva hiperemi (+), mulut kering (+), akral hangat (+), nyeri
epigastrium (+), nyeri sendi (+).
Hasil lab Darah Lengkap didapatkan peningkatan eritrosit 6,07 juta/mm3,
hitung jenis didapatkan peningkatan jumlah monosit sebanyak 9.
Diagnosis
OF susp DF
Penatalaksanaan
Non Medikamentosa:
a. Edukasi dan KIE kepada orang tua pasien tentang kondisi An.F
b. Asupan gizi cukup
Medikamentosa:
- Infus RA 20 tetes/menit
- Ranitidine 2x1 amp IV
- PCT 3x1
- Cefotaxim 2x1g IV
Follow up
Tanggal 23 jan 2012
S : nyeri perut
O : KU cukup, compos mentis GCS 456.
Trombosit 133.000 ( )
Tanda vital: T: 100/60 mmHg RR: 24 x/menit
N: 84 x/menit S: 37,4oC
A : OF susp DF hari ke-4
P :
- Psidii 3x1
- Magtral syr 3x2ctk obat oral
- Paracetamol 3x1 ctk
- Romilar 1x1 ctk
- Cefotaxim
- Ranitidine obat injeksi
- Metil prednisolon
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hb 15 12-26 g/d
Leukosit 2.500 4-10ribu /mm3
LED - 2-20 mm/jam
Trombosit 133.000 150-400ribu/mm3
PCV 45,2 37-48%
Eritrosit 6,09 4.0-5.5juta/mm
Hit. Jenis:
Eosinofil 2 1-3
Basofil 3 0-1
Stab - 2-6
Seg 47 50-70
Lymfosit 34 20-40
Monosit 14 2-8
Tanggal 24/01/2012
S : nyeri perut
O : KU cukup, compos mentis GCS 456
Tanda vital: T:120/80 mmHg RR: 26x/menit
N: 92 x/menit S: 36oC
A : OF susp DF hari ke-5
P :
- Psidii 3x1
- Magtral syr 3x2ctk obat oral
- Paracetamol 3x1 ctk
- Romilar 1x1 ctk
- Cefotaxim
- Ranitidine obat injeksi
- Metal prednisolon
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hb 16 12-26 g/d
Leukosit 2.000 4-10ribu /mm3
LED - 2-20 mm/jam
Trombosit 135.000 150-400ribu/mm3
PCV 47,1 37-48%
Eritrosit 6,31 4.0-5.5juta/mm
Hit. Jenis:
Eosinofil 1 1-3
Basofil 8 0-1
Stab - 2-6
Seg 37 50-70
Lymfosit 39 20-40
Monosit 15 2-8
Kesimpulan
- Diagnosa akhir dari An.F adalah OF susp DF
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Demam Berdarah Dengue
II.1.1. Definisi DBD
Demam dengue dan demam berdarah dengue adalah penyakit disebabkan
oleh infeksi virus dengue, yang termasuk dalam flavivirus, keluarga flaviridae.
Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat
rantai tunggal dengan berat molekul 4x106Terdapat empat serotype virus yaitu
DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam
dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotype ditemukan di Indonesia
dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Terdapat reaksi silang antara
serotype dengue dengan flavivirus lain seperti yellow fever, japanese enchepalitis
dan West Nile virus. Dalam laboratorium virus dengue dapat bereplikasi pada
hewan mamalia seperti tikus, kelinci, anjing, kelelawar dan primata.
II.1.2. Penyebab DBD
Dengue dan DHF disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue adalah
suatu arbovirus yang termasuk ke dalam genus Flavivirus. Virus dengue terdiri
dari 4 serotipe yaitu:
1. Dengue 1 (DEN-1), diisolasi oleh Sabin pada tahun 1944.
2. Dengue 2 (DEN-2), diisolasi oleh Sabin pada tahun 1944.
3. Dengue 3 (DEN-3), diisolasi oleh Sather.
4. Dengue 4 (DEN-4), diisolasi oleh Sather.
Keempat serotipe ini bisa menyebabkan penyakit yang berat dan fatal.
Infeksi oleh salah satu dari keempat serotipe tersebut tidak menimbulkan
kekebalan protektif silang, artinya jika seseorang pernah terinfeksi oleh DEN 1,
maka di kemudian hari mungkin saja orang tersebut akan terinfeksi oleh serotipe
lainnya, sehingga orang-orang yang tinggal di daerah endemis dengue, bisa
menderita keempat jenis infeksi dengue. Keempat serotype ditemukan di
Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Terdapat reaksi silang
antara serotype dengue dengan flavivirus lain seperti yellow fever, japanese
enchepalitis dan West Nile virus.
Dalam laboratorium virus dengue dapat bereplikasi pada hewan mamalia
seperti tikus, kelinci, anjing, kelelawar dan primata. Survei epidemiologi pada
hewan ternak didapatkan antibody terhadap virus dengue pada hewan kuda, sapi
dan babi. Penelitian pada artropoda menunjukkan virus dengue dapat bereplikasi
pada nyamuk Aedes (Stegomya) dan Toxorhynchites.
II.1.3. Karakteristik Virus Dengue
Dengue merupakan penyakit tropis dan virus penyebabnya bertahan dalam
suatu siklus yang melibatkan manusia dan Aedes aegypti. Aedes aegypti adalah
sejenis nyamuk rumah yang lebih senang menggigit manusia di siang hari.
Dengue ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti betina, yang lebih menyukai untuk
menyimpan telurnya di dalam wadah yang berisi air bersih dan terletak di sekitar
habitat manusia.
Siklus transmisi virus di dalam tubuh manusia:
1. Virus masuk ke dalam tubuh manusia melalui liur nyamuk
2. Virus berkembangbiak di dalam organ target, misalnya kelenjar
getah bening dan hati
3. Virus dilepaskan dari organ tersebut dan melalui darah
menyebar untuk menginfeksi sel darah putih dan jaringan getah
bening lainnya
4. Virus dilepaskan dari sel darah putih dan jaringan getah bening
lainnya dan beredar di dalam darah.
Siklus transmisi virus di dalam tubuh nyamuk:
1. Nyamuk menelan darah yang mengandung virus
2. Virus berkembangbiak di dalam usus, indung telur, jaringan
saraf dan lemak tubuh nyamuk; kemudian virus masuk ke
dalam rongga tubuh dan menginfeksi kelenjar liur nyamuk
3. Virus berkembangbiak di dalam kelenjar liur dan jika nyamuk
menggigit manusia lainnya, maka siklus transmisi akan
berlanjut.
4. Pada kebanyakan kasus, demam dengue akan sembuh dengan
sendirinya dan tidak pernah berkembang menjadi DHF.
Beberapa faktor resiko yang berperan dalam berkembangnya demam
dengue menjadi DHF adalah:
Jenis dan serotipe virus (DHF bisa terjadi pada infeksi primer oleh virus
serotipe tertentu)
Adanya antibodi anti-dengue akibat infeksi sebelumnya atau akibat
berpindahnya antibodi dari ibu ke janin yang dikandungnya
Faktor genetik (misalnya faktor ras tampaknya berperan karena berdasarkan
data, di Kuba DHF lebih banyak ditemukan pada orang kulit putih)
Usia (di Asia Tenggara, DHF lebih banyak menyerang anak-anak, sedangkan
di Amerika DHF bisa menyerang semua kelompok umur)
Resiko yang lebih tinggi pada infeksi sekunder
Resiko yang lebih tinggi dari lokasi dimana lebih dari 2 serotipe virus beredar
secara bersamaan pada kadar yang tinggi (transmisi hiperendemik)
II.1.5. Patogenesis
Dua teori yang banyak dianut dalam menjelaskan patogenesis infeksi
dengue adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologousinfection
theory) dan hipotesis immune enhancement. Pertama, menurut hipotesis infeksi
sekunder yang diajukan oleh Suvatte, 1977, sebagai akibat infeksi sekunder oleh
tipe virus dengue yang berbeda, respon antibodi anamnestik pasien akan terpicu,
menyebabkan proliferasi dan transformasi limfosit dan menghasilkan titer tinggi
IgG antidengue. Karena bertempat di limfosit, proliferasi limfosit juga
menyebabkan tingginya angka replikasi virus dengue. Hal ini mengakibatkan
terbentuknya kompleks virus-antibodi yang selanjutnya mengaktivasi sistem
komplemen. Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah dan merembesnya cairan ke ekstravaskular. Hal ini
terbukti dengan peningkatan kadar hematokrit, penurunan natrium dan
terdapatnya cairan dalam rongga serosa Patogenesis terjadinya syok berdasarkan
hipotesis the secondary heterologous infection dapat dilihat pada gambar di bawah
ini.
Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada
seorang pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu
beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan
menghasilkan titer tinggi antibodi Ig G anti dengue. Disamping itu, replikasi virus
dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat
terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya
virus kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya akan
mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat
aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh
darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular.
Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari
30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan
adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya
cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi
secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir
fatal; oleh karena itu, pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian.
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi
selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit
dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh
darah (gambar 2). Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada
DHF. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-
antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di
phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan
trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi
trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet
faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi
intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen
degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.
Kedua, hipotesis immune enhancement menjelaskan secara tidak langsung
bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog mempunyai risiko
berat yang lebih besar untuk menderita DHF berat. Antibodi herterolog yang telah
ada akan mengenali virus lain kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi
yang berikatan dengan Fc reseptor dari membran leukosit terutama makrofag.
Sebagai tanggapan dari proses ini, akan terjadi sekresi mediator vasoaktif yang
kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga
mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.
Gambar 2. Patogenesis DBD menurut teori antibody
II.1.5. Gejala Klinis
Terdapat 4 sindroma klinis dengue:
• Demam biasa
• Demam dengue klasik
• Demam berdarah dengue (DHF)
• Sindroma syok dengue (DSS, Dengue Shock Syndrome).
Gambar 3. Spektrum Klinis Virus Dengue
Demam biasa merupakan manifestasi yang paling sering ditemukan pada
dengue. Suatu penelitian prospektif di Bangkok melaporkan bahwa 90 dari 103
(87%) siswa yang terinfeksi oleh virus dengue menunjukkan gejala yang minimal
atau bahkan tanpa gejala, dan hanya absen sekolah selama 1 hari.
Gambar 4: Kurva suhu DBD
Demam dengue adalah suatu penyakit virus akut yang ditandai oleh:
demam (seringkali muncul secara tiba-tiba)
sakit kepala hebat (seringkali digambarkan sebagai sakit di belakang mata)
mialgia (nyeri otot) dan atralgia (nyeri persendian) - mual dan muntah
ruam kulit yang mungkin muncul pada stadium penyakit yang berlainan dan
bisa berupa makulopapuler, peteki maupun eritema
manifestasi perdarahan.
Penderita juga mungkin mengeluhkan gejala lainnya, seperti gatal-gatal dan
gangguan pengecapan (terutama lidah terasa seperti logam). Beberapa kasus
infeksi dengue akut mungkin disertai dengan tanda dan gejala ensefalitik atau
ensefalopatik, seperti:
penurunan kesadaran (berupa letargi, linglung dan koma)
kejang
kakuk kuduk
kelumpuhan
Beberapa dari kasus tersebut kemudian diikuti dengan timbulnya DHF.
Manifestasi perdarahan pada dengueSebanyak sepertiga penderita mungkin akan
mengalami manifestasi perdarahan, yang biasanya bersifat ringan. Pada beberapa
kasus, perdarahan tampak jelas dan cukup berat sehingga menyebabkan syok
akibat kekurangan darah Manifestasi perdarahan tersebut antara lain: perdarahan
kulit (peteki, purpura, ekimosis),perdarahan gusi, hidung, perdarahan saluran
pencernaan (hematemesis, melena, hematokezia), hematuria, dan bertambahnya
perdarahan menstruasi.
II.1.6. Diagnosis
Berdasarkan kriteria WHO , diagnosis DHF ditegakkan bila semua hal ini
terpenuhi:
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya
bifasik.
1. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bendung positif;
petekie, ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis dan melena.
2. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml).
3. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sbb:
Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur dan jenis
kelamin.
Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan
dengan nilai hematokrit sebelumnya.
Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia,
hiponatremia.
Terdapat 4 derajat spektrum klinis DHF (WHO), yaitu:
Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah uji torniquet.
Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan
perdarahan lain.
Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah,
tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar
mulut, kulit dingin dan lembab, tampak gelisah.
Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.
Jika memenuhi kriteria diatas ditambah dengan bukti kegagalan sirkulasi berupa
tekanan nadi sempit < 20 mmHg atau hipotensi untuk usia itu, kulit yang dingin
dan lembab serta anak gelisah. (Derajat III dan IV)
Langkah diagnosis
Pemeriksaan klinis: panas, manifestasi perdarahan, tanda
efusi, hepatomegali, tanda kegagalan sirkulasi.
Pemeriksaan laboratorium: uji torniquet, hematokrit dan
hitung trombosit secara berkala serta pemeriksaan serologi, pemeriksaan
LPB, albumin darah, CT, BT, PT, PTT, gambaran darah tepi pada kecurigaan
DIC.
Pemeriksaan penunjang: foto thorak pada dispneu untuk
menelusuri penyebab lain disamping efusi pleura, USG bila ada, dapat
dipakai untuk memeriksa efusi pleura minimalIndikasi rawat
Penderita tersangka demam berdarah derajat I dengan panas
3 hari
Tersangka demam berdarah derajat I disertai hiperpireksia
atau tidak mau makan atau muntah-muntah atau kejang-kejang atau Ht
cenderung meningkat dan trombosit cenderung turun harus dirawat.
Penderita demam berdarah derajat I pada follow up
berikutnya itemukan status mental berubah, nadi menjadi cepat dan kecil,
kaki tangan dingin, tekanan darah menurun , oligouria harus dirawat.
Seluruh derajat II, III, IVau lebih sangat dianjurkan untuk
dirawat.
Gambar 5 : Patogenesis dan spektrum klinis DBD
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit,
jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif
disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3). Trombositopenia
umumnya dijumpai pada hari ke 3-8 sejak timbulnya demam. Hemokonsentrasi
dapat mulai dijumpai mulai hari ke 3 demam.
Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya
gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT,
Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah
albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin.Untuk membuktikan etiologi DHF, dapat
dilakukan uji diagnostik melalui pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi
atau biologi molekular.
Di antara tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas adalah
metode isolasi virus. Namun, metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang
ahli, waktu yang lama (lebih dari 1–2 minggu), serta biaya yang relatif mahal.
Oleh karena keterbatasan ini, seringkali yang dipilih adalah metode diagnosis
molekuler dengan deteksi materi genetik virus melalui pemeriksaan reverse
transcription polymerase chain reaction (RT-PCR). Pemeriksaan RT-PCR
memberikan hasil yang lebih sensitif dan lebih cepat bila dibandingkan dengan
isolasi virus, tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal serta mudah mengalami
kontaminasi yang dapat menyebabkan timbulnya hasil positif semu. Pemeriksaan
yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan
mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue. Imunoserologi berupa IgM terdeteksi mulai
hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari.
Pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada
infeksi sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke 2.
Salah satu metode pemeriksaan terbaru yang sedang berkembang adalah
pemeriksaan antigen spesifik virus Dengue, yaitu antigen nonstructural protein 1
(NS1). Antigen NS1 diekspresikan di permukaan sel yang terinfeksi virus
Dengue.
Masih terdapat perbedaan dalam berbagai literatur mengenai berapa lama
antigen NS1 dapat terdeteksi dalam darah. Sebuah kepustakaan mencatat dengan
metode ELISA, antigen NS1 dapat terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari
pertama sampai hari ke 12 demam pada infeksi primer Dengue atau sampai hari
ke 5 pada infeksi sekunder Dengue.
Pemeriksaan antigen NS1 dengan metode ELISA juga dikatakan memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%). Oleh karena berbagai
keunggulan tersebut, WHO menyebutkan pemeriksaan deteksi antigen NS1
sebagai uji dini terbaik untuk pelayanan primer.
Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus kanan)
dapat dilakukan untuk melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada
hemitoraks kanan dan pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat
ditemukan pada kedua hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi
dengan USG.
II.1.7. Penatalaksanaan
Pada dasarnya terapi DHF adalah bersifat suportif dan simtomatis.
Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran
plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan.
Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah
pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris.
Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya
terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses
kebocoran plasma akan berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial
ke intravaskular. Terapi cairan pada kondisi tersebut secara bertahap dikurangi.
Selain pemantauan untuk menilai apakah pemberian cairan sudah cukup atau
kurang, pemantauan terhadap kemungkinanterjadinya kelebihan cairan serta
terjadinya efusi pleura ataupun asites yang masif perlu selalu diwaspadai.
Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada
trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandungan gizi yang
cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluran
cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol,
serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia. Pemberian aspirin
ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari karena berisiko
terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagaian atas (lambung/duodenum).
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan
khususnya pada penatalaksanaan demam berdarah dengue:
1. jenis cairan
2. jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikanKarena tujuan terapi
cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan di uang intravaskular,
pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan salin)
maupun koloid dapat diberikan.
WHO menganjurkan terapi kristaloid sebagai cairan standar pada terapi
DHF karena dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih mudah didapat dan
lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya dibutuhkan dalam
penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan lama di intravaskular, aman
dan relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan
memiliki efek alergi yang minimal.
Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DHF aman dan
efektif. Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan
kristaloid adalah edema, asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan
hemokonsentrasi. Kristaloid memiliki waktu bertahan yang singkat di dalam
pembuluh darah.
Pemberian larutan RL secara bolus (20 ml/kg BB) akan menyebabkan efek
penambahan volume vaskular hanya dalam waktu yang singkat sebelum
didistribusikan ke seluruh kompartemen interstisial (ekstravaskular) dengan
perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebutdalam waktu satu jam hanya
5 ml yang tetap berada dalam ruang intravaskular dan 15 ml masuk ke dalam
ruang interstisial. Namun demikian, dalam aplikasinya terdapat beberapa
keuntungan penggunaan kristaloid antara lain mudah tersedia dengan harga
terjangkau, komposisi yang menyerupai komposisi plasma, mudah disimpan
dalam temperatur ruang, dan bebas dari kemungkinan reaksi anafilaktik.
Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa
keunggulan yaitu: pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi
volume plasma (intravaskular) yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih
lama di ruang intravaskular.
Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid memberikan oksigenasi jaringan
lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih stabil. Beberapa kekurangan yang
mungkin didapatkan dengan penggunaan koloid yakni risiko anafilaksis,
koagulopati, dan biaya yang lebih besar. Namun beberapa jenis koloid terbukti
memiliki efek samping koagulopati dan alergi yang rendah (contoh: hetastarch).
Penelitian cairan koloid dibandingkan kristaloid pada sindrom renjatan dengue
(DSS) pada pasien dengan parameter stabilisasi hemodinamik pada 1 jam pertama
renjatan, memberikan hasil sebanding pada kedua jenis cairan.
Protokol 1. Penanganan Tersangka (Probable) DHF Dewasa Tanpa Syok.
1. Protokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan
pertama pada penderita DHF atau diduga DHF di Instalasi Gawat Darurat
dan juga bisa dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat.
Seseorang yang tersangka menderita DHF di ruang Gawat Darurat dilakukan
pemeriksaan hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht) dan trombosit bila:
Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000, pasien
dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke Poliklinik
dalam waktu 24 jam berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, leukosit
dan trombosit tiap 24 jam) atau bila keadaan penderita memburuk segera
kembali ke IGD.
Hb, Ht normal tetapi trombosit < 100.000 dianjurkan untuk dirawat.
Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk
dirawat.
2. Protokol 2. Pemberian Cairan pada Tersangka DHF Dewasa di Ruang
Rawat. Pasien yang tersangka DHF tanpa perdarahan spontan dan masif
tanpa syok maka di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan
jumlah rumus berikut ini:
Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan, sesuai rumus berikut;
1500 + {20 x (BB dalam kg – 20)}Setelah pemberian cairan dilakukan
pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam:
Bila Hb, Ht meningkat 10-20% dan trombosit < 100.000 jumlah pemberian
cairan tetap seperti rumus diatas tetapi pemantauan Hb, Ht dan trombosit
dilakukan tiap 12 jam.
Bila Hb, Ht meningkat > 20% dan trombosit < 100.000 maka pemberian
cairan sesuai cairan sesuai dengan protokol penatalaksaan DHF dengan Ht
20%
3. Protokol 3. Penatalaksaan DHF dengan Peningkatan ht > 20%.
Meningkatknya Ht > 20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit
cairan sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah
dengan memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/kgBB/jam.
Pasien kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila terjadi
perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda hematokrit turun, frekuensi
nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urine meningkat maka jumlah
cairan infus dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan
pemantauan kembali dan bila keadaan tetap menunjukkan perbaikan maka
jumlah cairan infus dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila dalam
pemantuan keadaan tetap membaik maka pemberian cairan dapat
dihentikan 24-48 jam kemudian.Apabila setelah pemberian terapi cairan
awal 6-7 ml/kgBB/jam tadi keadaan tetap tidak membaik, yang ditandai
dengan hematokrit dan nadi meningkat, tekanan nadi menurun < 20 mmHg,
produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan jumlah cairan infus
mejadi 10 ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan
kembali dan bila keadaan menunjukkan perbaikan maka jumlah pemberian
cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam tetapi bila keadaan tidak
menunjukkan perbaikan maka jumlah pemberian cairan infus dinaikkan
menjadi 15 ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi
menjadi memburuk dan didapatkan tanda-tanda syok maka pasien ditangani
sesuai dengan protokol tatalaksana DSS pada dewasa. Bila syok telah
teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan
awal.
Perdarahan spontan masif pada penderita DHF dewasa adalah:
perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun talah
diberikan tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan
melena atau hematoskesia), perdarahan saluran kemih (hematuria),
perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan 4-
5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian
cairan tetap seperti keadaan DHF tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan
darah, nadi, pernafasan dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin
dengan kewaspadaan Hb, Ht dan trombosis serta hemostase harus segera
dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan rombosit sebaiknya diulang setiap
4-6jam.
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris
didapatkan tanda-tanda koagulasi intravaskular diseminata (KID).
Transfusi omponen darah diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila
didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan aPTT yang
memanjang), PRCdiberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl. Transfusi
trombosit hanya diberikan pada pasien DHF dengan perdarahan spontan
dan masif dengan jumlah trombosit <100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.
Bila kita berhadapan dengan dengue shock syndrome (DSS) maka hal
pertama yang harus diingat adalah bahwa rejatan harus segera diatasi dan
oleh karena itu penggantian cairan intravaskular yang hilang harus segera
dilakukan.
Angka kematian DSS sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita
DHF tanpa rejatan, dan rejatan dapat terjadi karena keterlambatan penderita DHF
mendapatkan pertolongan/pengobatan, penatalaksaan yang tidak tepat termasuk
kurangnya kewaspadaan terhadap tanda-tanda rejatan dini, dan penatalaksanaan
rejatan yang tidak adekuat.Pada kasus DSS cairan kristaloid adalah pilihan utama
yang diberikan.
Selain resusitasi cairan, penderita juga diberi oksigen 2-4 liter/menit.
Pemeriksaan-pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer
lengkap, hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan Pada fase
awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah
15-30 menit. Bila rejatan telah teratasi jumlah cairan dikurangi menjadi 7
ml/kgBB/jam. Bila dalam 60-120 menit keadaan tetap stabil pemberian cairan
sebanyak 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam 60-120 menit keadaan tetap stabil
pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam setelah rejatan teratasi
tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup maka pemberian
cairan perinfus harus dihentikan (karena jika reabsorbsi cairan plasma yang
mengalami ekstravasasi telah terjadim ditandai dengan turunnya hematokrit,
cairan infus terus diberikan maka keadaan hipervolemi, edema paru atau gagal
jantung dapat terjadi).
Pengawasan dini kemungkinan terjadinya rejatan berulang harus
dilakukan terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadi rejatan (karena
selain proses patogenesis penyakit masih berlangsungm ternyata cairan kristaloid
hanya sekitar 20% saja yang menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam saat
pemberian). Oleh karena untuk mengetahui apakah rejatan telah teratasi dengan
baik, diperlukan pemantauan tanda vital secara ketat.
Diuresis diusahakan 2 ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar Hb, Htm dan
jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk pemantauan perjalanan penyakit.Bila
setelah fase awal pemberian cairan ternyata rejatan belum teratasi, maka
pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 10-30 ml/KgBB, dan
kemudian dievaluasi setelah 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka
perhatikan nilai hematokrit. Bila nilai Ht meningkat, berarti perembesan plasma
masih berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan, tetapi bila
nilai Ht menurun, berarti terjadi perdarahan (internal bleeding) maka penderita
diberikan transfusi darah segar 10 ml/kgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan.
Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui
sifat-sifat cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan dengan
tetesan cepat 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan
tetap belum teratasi maka untuk memantau kecukupan cairan dilakukan
pemasangan kateter vena sentral, dan pemberian koloid dapat lorida, serta ureum
dan kreatinin.ditambah hingga jumlah maksimum 30 ml/kgBB (maksimal 1-1,5
liter/hari) dengan sasaran tekanan vena sentral 15-18 cmH2O. Bila keadaan tetap
belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap gangguan asam
basa, elektrolit, hipoglikemi, anemia, KID, infeksi sekunder. Bila tekanan vena
sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapi rejatan tetap belum teratasi
maka dapat diberikan obat inotropik/vasopresor.
Tindak Lanjut
Pengamatan rutin
DSS : tensi/nadi diperiksa setiap 15-20 menit sampai keadaan stabil, Ht,
trombosit setiap 3-6 jam sampai keadaan menetap.
Derajat I dan II : pemeriksaan Ht dan trombosit minimal 2 kali sehari.
Pada semua DSS pada saat masuk rumah sakit harus diperiksa juga CT dan
BT. Bila CT cenderung memanjang lakukan juga pemeriksaan gambaran
darah tepi.
Pemeriksaan khusus: EKG bila gagal jantung, foto thorax bila pleural efusi
dan edema paru. USG bila curiga efusi pleura minimal. BT, CT, PT, PTT, dan
gambaran darah tepi bila curiga DIC.
Penderita yang berobat jalan diperiksa trombosit setiap hari.
Penderita yang dirawat, tampung urine 24 jam, bila kurang dari 2
ml/kgBB/jam periksa ureum dan kretinin.
Elektrolit darah astrup bila keadaan umum tidak membaik.
Pelaporan pada dinas kesehatan Tk II setempat melalui kurir, telepon atau
surat secara mingguan.
Indikasi pulang
Keadaan umum baik dan masa krisis telah berlalu atau >7 hari sejak
panas.Keadaan umum baik ditandai dengan:
nafsu makan membaik,
keadaan klinis penderita membaik,
tidak demam paling sedikit 24 jam tanpa antipiretik,
tidak dijumpai distress pernafasan minimal 3 hari setelah syok teratasi,
hematokrit stabil
trombosit >50.000 mm3
II.1.8. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh DHF adalah
perdarahan gastrointestinal masif, ensepalopati, edema paru, DIC, dan efusi
pleura.
II.1.9. Prognosis
Angka kematian kasus di Indonesia secara keseluruhan < 3%. Angka
kematian DSS di RS 5-10%. Kematian meningkat bila disertai komplikasi. DHF
yang akan berlanjut menjadi syok atau penderita dengan komplikasi sulit
diramalkan, sehingga harus hati-hati dalam melakukan penyuluhan.
BAB III
PEMBAHASAN PENGOBATAN PADA KASUS
1. ASERING
Indikasi:
Dehidrasi (syok hipovolemik dan asidosis) pada kondisi: gastroenteritis akut,
demam berdarah dengue (DHF), luka bakar, syok hemoragik, dehidrasi berat,
trauma.
Komposisi:
Setiap liter asering mengandung:
Na 130 mEq
K 4 mEq
Cl 109 mEq
Ca 3 mEq
Asetat (garam) 28 mEq
Keunggulan:
-Asetat dimetabolisme di otot, dan masih dapat ditolelir pada pasien yang
mengalami gangguan hati
-Pada pemberian sebelum operasi sesar, RA mengatasi asidosis laktat lebih
baik dibanding RL pada neonatus
-Pada kasus bedah, asetat dapat mempertahankan suhu tubuh sentral pada
anestesi dengan isofluran
-Mempunyai efek vasodilator
-Pada kasus stroke akut, penambahan MgSO4 20 % sebanyak 10 ml pada 1000
ml RA, dapat meningkatkan tonisitas larutan infus sehingga memperkecil risiko
memperburuk edema serebral
2. CEFOTAXIM
A.Farmakodinamik
Cefotaxime adalah antibiotik sefalosporin generasi ketiga yang memiliki aktivitas
anti bakteri. Aktivitas bakterisidal didapat dengan cara menghambat sisntesis
dinding sel. In vitro cefotaxime memiliki aktivitas luas terhadap bakteri gram
positif dan gram negatif. Cefotaxime memiliki stabilitas yang sangat tinggi
terhadap β-laktamase, baik itu penisilinase dan sefalosporinase yang dihasilkan
bakteri gram-positif dan gram-negatif. Selain daripadaitu Cefataxime merupakan
penghambat poten terhadap bakteri gram negatif tertentu yang menghasilkan β-
laktamase.
B.Farmakokinetik
1.Absorpsi: Cefotaxime diberikan secara injeksi sebagai garam natrium.
Diabsorpsi dengan cepat setelah injeksi intra muskular dengan rata-rata
konsentrasi puncak plasma sekitar 12 dan 20 ug/ml yang dilaporkan berturut-urut
setelah 40 menit pemberian Cefotaxime 0,5 dan 1 g. pada injeksi intravena
Cefotaxime 0,5:1 atau 2 g rata-rata konsentrasi puncak plasma berturut-urut
38:102 dan 215 ug/ml dicapai dalam konsentrasi bervariasi antara 1 sampai 3
ug/ml setelah 4 jam. Waktu paruh plasma Cefotaxime sekitar 1 jam dan untuk
metabolit aktif desocetylcepotaxime sekitar 1,5 jam. Waktu paruh meningkat pada
neonatus dan penderita dengan gangguan ginjal berat, terutama untuk bentuk
metabolit, dalam hal ini pengurangan dosis sangat diperlukan. Sekitar 40%
Cefotaxime dalam sirkulasi dilaporkan berikatan dengan protein plasma.
2.Distribusi: Cefotaxime dan desacetylcefotoxime secara luas didistribusikan
dalam jaringan dan cairan tubuh; konsentrasi terapi dapat ditemui dalam LCS
terutama bila meninges dalam keadaan meradang. Cefotaxime melewati plasenta
dan dalam konsentrasi rendah dapat ditemukan pada air susu ibu. Konsentrasi
Cefotaxime dan desacetylcefotaxime relatif tinngi pada empedu dan 20% dari
dosis yang diberikan ditemukan dalam feses.
3.Metabolisme: Cefotaxime sebagian masuk dalam metabolisme hati menjadi
desacetylcefotaxime dan metabolit inaktif.
4.Ekskresi: Eliminasi Cefotaxime terutama melalui ginjal dan sekitar 40 sampai
60% dari dosis ditemukan tidak berubah di urin dalam jangka waktu 24 jam; dan
sisanya sebanyak 20% diekskresikan sebagai metabolit desacetyl. Probenesid akan
berkompetensi dengan Cefotaxime dalam halsekresi melalui tubulus ginjal yang
akan mengakibatkan konsentrasi plasma efotaxime dan metabolit desacetyl
menjadi lebih tinggi dan lebih lama. Cefotaxime dan metabolitnya dapat
dihilangkan dengan hemodialis.
C.Kontra Indikasi
Cefotaxime dikontraindikasikan untuk; penderita debngan hipersensitivitas
terhadap Cefotaxime sodium atau anti biotik golongan Sefalosporin.
D.Indikasi
Cefotaxime diindikasikan untuk pengobatan dengan infeksi yang disebabkan oleh
bakteri sensitif pada penyakit-penyakit berikut ini:
1.Infeksi saluran pernafasan bagian bawah: termasuk pneumonia yang disebabkan
streptococcus pneumonia, S. pyogenes (Streptococcus group A) dan Streptococci
lain (tidak termasuk Enterococci, seperti S. faecalis), Staphylococcus aureus
(produksi penisilinase dan tidak produksi penisilinase), Escherichia coli.
2.Infeksi saluran kemih
3.Infeksi ginekologi
4.Bakteremia/septicemia
5.Infeksi kulit dan susunan kulit
6.Infeksi abdominal
E.Dosis
1.Dewasa: Pemberian secara IV atau IM. Dosis maksimum sehari tidak lebih dari
12 g. besarnya dosis dan cara pemberian sesuai dengan organisme penyebab, berat
ringannya infeksi dan kondisi pasien (lihat tabel) untuk semua pedoman dosis.
2.Profilaksi perroperatif: 1 g IV atau IM, 30-90 menit sebelum operasi
3.Operasi caesar: pemberian pertama 1 g IV segera setelah tali pusar diklem.
Pemberian kedua dan ketiga 1 g IV atau IM interval 6-12 jam setelah dosis
pertama di berikan
4.Anak-anak: Tidak perlu dibedakan antara bagi premature dan cukup bulan.
Dosis yang dianjurkan sesuai dengan pedoman berikut: Untuk anak-anak > 50 kg,
gunakan dosis dewasa. Tidak lebih dari dosis dewasa yang dianjurkan. Gunakan
dosis yang lebih tinggi untuk infeksi yang lebih berat/serius seperti meningitis.
5.Gangguan fungsi ginjal: penentuan dosis berdasarkan derajat gangguan fungsi
ginjal, berat ringannya penyakit dan kerentanan organisme penyebab. Pada
pasien-pasien dengan batas klirens kreatinin < 20 ml/menit/1,73 m2, kurangi dosis
sampai50%
3. Parasetamol
Derivat-asetanilida ini adalah metabolit dari fenasetin, yang dahulu banyak
digunakan sebagai analgetikum, tetapi pada tahun 1978 telah ditarik dari
peredaran karena efek sampingnya (nefrotoksisitas dan karsinogen). Khasiatnya
adalah analgetik dan antipiretik, tetapi tidak anti radang. Dewasa ini pada
umumnya dianggap sebagai zat anti nyeri yang paling aman, juga untuk
swamedikasi (pengobatan mandiri). Efek analgetiknya diperkuat oleh kofein
dengan kira-kira 50% dan kodein (Tjay dan Rahardja, 2002).
Resorpsinya dari usus cepat dan praktis tuntas, secara rektal lebih lambat.
Prosentase Pengikatan pada protein-nya 25%, plasma t ½ -nya 1-4 jam. Antara
kadar plasma dan efeknya tidak ada hubungan. Dalam hati, zat ini diuraikan
menjadi metabolit-metabolit toksis yang diekskresi dengan kemih sebagai
konjugat-glukuronida dan sulfat (Tjay dan Rahardja, 2002).
a) Efek samping
Jarang terjadi, antara lain reaksi hipersensitifitas dan kelainan darah. Pada
penggunaan kronis dari 3-4 g sehari dapat terjadi kerusakan hati, pada dosis di
atas 6 g mengakibatkan nekrose hati yang reversible. Hepatotoksisitas ini
disebabkan oleh metabolit-metabolitnya, yang pada dosis normal dapat ditangkal
oleh glutation (suatu tripeptida dengan –SH). Pada dosis diatas 10 g, persediaan
peptida tersebut habis dan metabolit-metabolit mengikat pada protein dengan –SH
di sel-sel hati, dan terjadilah kerusakan irreversible. Parasetamol dengan dosis
diatas 20 g sudah berefek fatal. Over dosis bisa menimbulkan antara lain mual,
muntah, dan anorexia. Penanggulanganya dengan cuci lambung, juga perlu
diberikan zat-zat penawar (asam amino N-asetilsisten atau metionin) sedini
mungkin, sebaiknya dalam 8-10 jam setelah intoksikasi (Tjay dan Rahardja, 2002)
Wanita hamil dapat menggunakan parasetamol dengan aman, juga selama laktasi
walaupun mencapai air susu ibu.
b) Farmakodinamik
Efek analgetik parasetamol serupa dengan salisilat, yaitu menghilangkan
atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Parasetamol menurunkan suhu
tubuh dengan mekanisme yang diduga berdasarkan efek sentral seperti salisilat.
Efek anti-inflamasi parasetamol sangat lemah, oleh karena itu parasetamol tidak
digunakan sebagai antireumatik (Ganiswara, 1995)
c) Farmakokinetik
Parasetamol diabsorbsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna.
Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu ½ jam dan masa paruh
plasma antara 1 sampai 3 jam (Ganiswara, 1995)
d) Interaksi Pada dosis tinggi dapat memperkuat efek antikoagulansia, dan pada
dosis biasa tidak interaktif. Kombinasi dengan obat penyakit AIDS zidovudin
meningkatkan resiko neutropenia (Tjay dan Rahardja, 2002)
e) Dosis
Nyeri akut dan demam bisa diatasi dengan 325-500 mg empat kali sehari
dan secara proposional dikurangi untuk anak-anak. Keadaan tunak (steady state)
dicapai dalam sehari (Katzung, 1989). Untuk nyeri dan demam oral 2-3 sehari
0,5-1 g, maksimum 4 g / hari, pada penggunaan kronis maksimum 2,5 g/hari.
Anak-anak 4-6 tiap hari 10 mg / kg, yakni rata-rata usia 3-1 bulan 60 mg, 1-4
tahun 120-180 mg, 4-6 tahun 180 mg, 7-12 tahun 240-360 mg, 3-6 kali sehari.
Rektal 20 mg / kg setiap kali, dewasa 4 tiap hari 0,5-1 g, anak-anak usia 3-12
bulan 2-3 dd 120 mg, 1-4 tahun 2-3 sehari 240 mg, 4-6 tahun 4 sehari 240 mg, dan
7-12 tahun 2-3 tiap hari 0,5 g (Tjay dan Rahardja, 2002).
4. MAGTRAL SUSP 120ML
Kandungan
Per tab AI(OH)3 250 mg, Mg(OH)2 250 mg, simethicone 50 mg. Per 5 mL susp
AI(OH)3 250 mg, Mg(OH)2 250 mg, simethicone 50 mg. Per tab forte AI(OH)3
400 mg, Mg(OH)2 400 mg, simethicone 80 mg. Per 5 mL susp forte AI(OH)3
400mg, Mg(OH)2 400 mg, simethicone 80mg.
Indikasi
Hiperasiditas, tukak duodenum dg gejala mual, kembung, rasa penuh pd lambung.
Kontra Indikasi
--
Efek Samping
Diare, konstipasi; deplesi fosfat, hipermagnesemia; obstruksi usus (dosis besar).
Perhatian
Disfungsi ginjal, diet rendah fosfat, penggunaan jangka lama.
Dosis
Dws 1 -2 tab/tab forte atau 5-10 mL susp/susp forte. Anak 6-12 thn 1/2-1 tab atau
2.5-5 mL. Diberikan 3-4x/hr. diberikan pada perut kosong (1 atau 2 jam
sebelum/sesudah makan)
Interaksi
Mengganggu absorpsi Fe, tetrasiklin, warfarin, INH, digoksin, Alkalisasi dapat
meningkatkan kadarar kuinidin dalam plasma.
5. Metilprednisolon.
KOMPOSISI
Methylprednisolone / Metilprednisolon.
INDIKASI
Artritis reumatoid, bursitis (radang kandung sega) akut dan subakut, dermatitis
eksfoliatif, rinitis alerigka, asma bronkhial, dermatitis kontak, dan konjungtivitis
alergika (radang selaput ikat mata karena alergi).
KONTRA INDIKASI
Infeksi jamur sistemik, imunisasi.Menyusui.
PERHATIAN
Stres, herpes simpleks pada mata, kecenderungan psikosis, kolitis ulseratif,
divertikulitis, anastomosis usus yang baru, ulkus peptikum aktif atau tersembunyi,
insufisiensi ginjal, hipertensi, osteoporosis, miastenia gravis.
Tuberkulosa, kehamilan.
EFEK SAMPING
Gangguan cairan & elektrolit, kelemahan otot, osteonekrosis aseptik,
osteoporosis, ulkus peptikum dengan perlubangan, perdarahan, peregangan perut,
gangguan penyembuhan luka, peningkatan tekanan dalam mata, keadaan
Cushingoid, pertumbuhan terhambat, haid tidak teratur, katarak subkapsular
posterior.
INDEKS KEAMANAN PADA WANITA HAMIL
Penelitian pada hewan menunjukkan efek samping pada janin ( teratogenik atau
embriosidal atau lainnya) dan belum ada penelitian yang terkendali pada wanita
atau penelitian pada wanita dan hewan belum tersedia. Obat seharusnya diberikan
bila hanya keuntungan potensial memberikan alasan terhadap bahaya potensial
pada janin.
DOSIS
Dosis awal berkisar antara 4-48 mg sehari. Terapi dosis tinggi : 160 mg/hari
selama 1 minggu dilanjutkan dengan 64 mg setiap dua hari sekali (selang sehari)
selama 1 bulan.
PENYAJIAN
Dikonsumsi bersamaan dengan makanan
6. Psidii
Komposisi ekstrak Psidii Folium
Indikasi
Untuk meningkatkan jumlah sel darah merah
Dosis
1-2 kapsul 3x/hari
7. Romilar
KOMPOSISI
Per 5 mL : Dekstrometorfan / dextromethorphan HBr 15 mg, Ammonium Klorida
90 mg, Pantotenol 50 mg.
INDIKASI
Batuk.
PERHATIAN
Tidak untuk anak berusia kurang dari 2 tahun, penderita diabetes, batuk berdahak.
Hamil dan menyusui.
Interaksi obat : jangan diberikan bersama alkohol.
KEMASAN
Sirup 100 mL.
DOSIS
Dewasa : 2-4 kali sehari 1-2 sendok teh (5-10 mL).
Anak berusia lebih dari 2 tahun : 2-4 kali sehari 1/2-1 sendok teh (2,5-5 mL).
Diberikan setelah makan.
PENYAJIAN
Dikonsumsi bersamaan dengan makanan atau tidak.
43