Data Produksi Padi Riau

download Data Produksi Padi Riau

of 56

Transcript of Data Produksi Padi Riau

Executive Summary

1.1.

Latar Bel akang Pemahaman dan identifikasi terhadap potensi ekonomi dan daya saing daerah merupakan tantangan utama dalam pelaksanaan otonomi daerah. Secara makro, potensi ekonomi daerah biasanya juga menjadi salah satu indikator daya saing daerah tersebut. Hal itu karena potensi ekonomi suatu daerah akan ikut membentuk kompleksitas daya saing daerah. Oleh karena itu, dalam penelitian ini kita membedakan antara konsep potensi ekonomi daerah dengan konsep daya saing daerah. Konsep potensi ekonomi daerah dipahami sebagai salah satu indikator daya saing daerah. Sedangkan daya saing daerah sendiri mempunyai pengertian yang lebih luas daripada sekadar potensi ekonomi, karena dalam konsep daya saing daerah juga termasuk aspek kelembagaan, iklim sosial, iklim politik, kebijakan pemerintah, manajemen dan sebagainya. Daya saing satu daerah dengan daerah yang lain tidaklah sama, karena masing-masing daerah mempunyai ciri khas dan karakteristik yang menempel sesuai dengan sumber daya manusia, struktur alam, dan letak geografisnya. Namun daya saing suatu daerah tersebut merupakan modal dasar bagi pertumbuhan ekonomi, industri, investasi, penyerapan tenaga kerja, dan pangsa pasar bagi produk-produk industri, pertanian dan jasa. Daya saing investasi suatu daerah juga akan menggambarkan kemampuan daerah tersebut dalam memacu pertumbuhan ekonomi, kemampuannya dalam penyerapan investasi, tenaga kerja, barang, jasa, dan tabungan. Jika diamati pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau per sektor pada tahun 2004, untuk sektor pertanian, perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan mengalami pertumbuhan 9,14 persen. Sedangkan sektor industri tumbuh 12,46 persen. Sementara itu sektor perdagangan, hotel dan restoran tumbuh 4,94 persen. Sektor pertambangan dan penggalian tumbuh 7,43 persen. Sektor listrik dan air bersih tumbuh 4,66 persen, Sektor angkutan dan komunikasi tumbuh 6,56 persen. Sektor jasa tumbuh 2,79 persen. Yang mengalami pertumbuhan paling tinggi adalah sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan yang tumbuh 34,01 persen. Pertumbuhan masing-masing sektor untuk tingkat provinsi tersebut juga 1

Executive Summary

menunjukkan adanya pertumbuhan untuk tingkat kabupaten/kota yang ada di Provinsi Riau. Analisis pertumbuhan berdasarkan sektor perekonomian itu belum mampu menunjukkan daya saing investasi daerah secara lebih spesifik yang ada pada suatu daerah. Pasalnya, analisis tentang daya saing daerah berdasarkan kinerja sektor perekonomian tersebut biasanya baru menghasilkan sektor dan sub sektor yang menjadi ekonomi basis atau unggulan di suatu daerah. Memang, jika dilakukan analisis berdasarkan data time series yang cukup panjang, sebenarnya dapat diperoleh sektor atau sub sektor yang memang benarbenar menjadi ekonomi basis (unggulan) suatu daerah, namun sayangnya hal itu pun belum menunjukkan bidang usaha dan jenis produk/komoditi yang memang menjadi potensi ekonomi daerah itu. Oleh karena itu analisisnya juga harus diturunkan ke tingkat bidang usaha dan jenis produk/komoditi yang dihasilkan oleh sektor atau sub sektor usaha di daerah tersebut. Sehingga untuk sektor pertanian misalnya, akan diperoleh secara jelas tentang potensi ekonomi berdasarkan bidang usaha pertanian dan jenis produk/komoditi pertanian yang menjadi unggulan dan layak dikembangkan lebih lanjut di daerah tersebut. Demikian juga halnya untuk sektor industri, perdagangan dan jasa, akan diketahui bidang usaha industri apa saja dan jenis produk industri apa saja yang menjadi potensi ekonomi di daerah itu. Sehingga pada akhirnya akan diketahui potensi komoditi/bidang usaha apa saja dan jenis produk apa saja yang layak dikembangkan di daerah tersebut. Selain pemetaan daya saing investasi daerah setingkat kabupaten/kota, sebenarnya yang lebih diperlukan dalam operasionalisasi kebijakan pembangunan adalah pemetaan daya saing yang dapat menggambarkan daya saing pada wilayah yang lebih kecil yaitu pada tingkat kecamatan dan desa. Dengan demikian maka kebijakan dan program pembangunan yang akan diterapkan dan dikembangkan di daerah tersebut dapat lebih aplikatif dan tepat sasaran. Apalagi jika dihubungkan dengan kebijakan pengembangan wilayah pertumbuhan ekonomi, maka dengan adanya pemetaan potensi ekonomi setingkat kecamatan dan desa akan dapat lebih menggambarkan daya saing investasi di suatu kawasan (wilayah) secara lebih spesifik. Pemetaan daya saing investasi daerah akan memberikan informasi kepada stakeholders mengenai komoditi/produk/jenis usaha yang potensial yang menjadi unggulan daerah yang dapat dikembangkan. Setiap desa atau kecamatan di Provinsi Riau diharapkan memiliki komoditi/produk/jenis usaha unggulan dari berbagai sektor ekonomi yang patut dan cocok untuk dikembangkan. Strategi semacam itu sebenarnya merupakan adopsi dari kesuksesan Thailand melalui program One Tambon One Product (OTOP), yaitu program pengembangan komoditas unggulan di suatu daerah (Tambon) yang sukses dalam membantu pengembangan Usaha Mikro 2

Executive Summary

Kecil dan Menengah (UMKM). Dengan program yang lebih fokus, Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Riau dapat memprioritaskan kebijakan ekonomi melalui pengembangan komoditas unggulan tertentu di suatu desa atau kecamatan sebagai upaya untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam rangka mengurangi angka/tingkat kemiskinan di daerah. Pada akhirnya, hal tersebut diharapkan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi lokal. 1.2. Tujuan Tujuan dilaksanakannya studi peringkat daya saing daerah dalam penanaman modal adalah untuk: 1. Memetakan peringkat daya saing investasi daerah masing-masing kabupaten/kota di Riau dengan indikator utama sebagai berikut : a. Perekonomian daerah b. Keterbukaan c. Sistem Keuangan d. Infrastruktur dan sumber daya alam e. Ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) f. Sumber daya manusia (kualitas hidup) dan tenaga kerja g. Kelembagaan (Sosial/Budaya, Politik, Hukum dan Keamanan) h. Governance dan Kebijakan pemerintah 2. Mengidentifikasi bentuk usaha, bidang usaha (obyek usaha), komoditi, dan jenis produk yang dapat diandalkan menjadi unggulan dalam daya saing investasi daerah. 3. Menganalisis kebijakan investasi di Provinsi Riau.

3

Executive Summary

2.1. Daerah Penelitian Kegiatan penelitian ini dilakukan di seluruh kabupaten/kota yang ada di Provinsi Riau. 2.2. Data dan Sumber Data Jenis data dan informasi terdiri dari : a. Data Sekunder Yaitu data dan informasi yang diperoleh dari dokumen/publikasi/laporan penelitian dari dinas/instansi maupun sumber data lainnya yang menunjang. b. Data Primer Yaitu data yang diperoleh langsung dari nara sumber/ responden. 2.3. Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam studi peringkat daya saing investasi daerah dalam penanaman modal di Provinsi Riau adalah Time-Series Analysis (Metode Analisis Trend), Metode Skala Likert, Metode LQ (Location Quitients), Metode Perbandingan Eksponensial (MPE), dan metode deskriptif-kualitatif. 2.4. Ruang Lingkup Ruang lingkup studi peringkat daya saing investasi daerah di Provinsi Riau adalah sebagai berikut : Menetapkan peringkat daya saing investasi daerah dengan indikator utama sebagai berikut : a. Perekonomian daerah b. Keterbukaan c. Sistem Keuangan d. Infratsruktur dan sumber daya alam e. Ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) f. Sumber daya manusia (kualitas hidup) dan tenaga kerja g. Kelembagaan (Sosial/Budaya, Politik, Hukum dan Keamanan) h. Governance dan Kebijakan pemerintah 4

Executive Summary

3.1. Kondisi Umum Penduduk dan Ketenagakerjaan adalah merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam proses pembangunan, karena disamping merupakan obyek, penduduk dan tenaga kerja juga merupakan subyek yang sekaligus sebagai modal dasar dalam pembangunan. Jumlah penduduk Provinsi Riau mengalami peningkatan dari tahun ketahun, pada tahun 2005 berjumlah 4.768.698 jiwa, sedangkan pada tahun 2004 berjumlah 4.491.393 jiwa, terdiri dari 2.314.182 jiwa ( 51,52 %) penduduk laki-laki dan 2.177.211 jiwa (48,48 %) penduduk perempuan. Dilihat dari struktur umurnya, penduduk Provinsi Riau terbanyak yang berada pada kelompok umur antara 15-49 tahun, yakni 2.555.578 jiwa dari total jumlah penduduk keseluruhan. Usia 10 14 tahun menempati urutan kedua yaitu sebanyak 779.461 jiwa, dan urutan ketiga adalah usia 5 9 tahun sebesar 556.341 jiwa. Usia 4 15 tahun merupakan usia pendidikan, hal ini memberikan gambaran bahwa penduduk Riau adalah penduduk yang terpelajar yang akan menentukan nasib daerahnya di masa yang akan datang. Untuk itu pembinaan dan perhatian terhadap bidang pendidikan sejak dini sangat penting dilakukan. Pertumbuhan penduduk di Provinsi Riau mencapai 4,23% pertahun, tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi akan berarti bahwa penyediaan /penawaran (Supply) tenaga kerja juga tinggi. Tingginya penawaran tenaga kerja apabila tidak diikuti oleh penyediaan kesempatan kerja yang cukup akan menimbulkan terjadinya pengangguran, dan pada gilirannya akan menyebabkan terjadinya berbagai masalah bidang sosial dan ekonomi maupun bidang keamanan. Bila dilihat dari kepadatan penduduk per-km2 Kota Pekanbaru merupakan kabupaten/kota yang terdapat penduduknya dibandingkan kabupaten kota lainnya, yaitu 1.588,89 penduduk per-km2, diikuti Kota Dumai 115,75 penduduk perkm2. Hal ini bisa dimengerti mengingat Kota Pekanbaru yang luasnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya, disamping banyaknya pendatang yang mencari kerja di Kota Pekanbaru. Begitu juga dengan Kota Dumai dengan tingkat kepadatan penduduk 115,75 per-km2 5

Executive Summary

yang merupakan kabupaten/kota nomor dua terpadat setelah Pekanbaru. Kota Dumai disamping luasnya lebih kecil dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya, juga merupakan daerah industri, sehingga banyak penduduk dari daerah lain yang menetap untuk bekerja disana. Sedangkan kabupaten/kota yang jarang penduduknya adalah Kabupaten Pelalawan yaitu 23,5 penduduk per-km2, diikuti oleh Kabupaten Kuantan Singingi 32,2 penduduk per-km2. Kabupaten Pelalawan merupakan kabupaten pecahan dari Kabupaten Kampar, sehingga kepadatan penduduknya masih relative kurang padat dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya, namun untuk masa mendatang kemungkinan besar Kabupaten Pelalawan justru akan lebih padat mengingat daerah ini juga merupakan daerah industri. Konsentrasi kepadatan penduduk biasanya terpusat di pusat kota dengan seluruh kegiatan perekonomiannya. Dimana hal tersebut sekaligus menggambarkan pusat kegiatan ekonomi yang di antaranya memerlukan prasarana transportasi perkotaan secara memadai. Gambaran ini analog dengan tingkat pertumbuhan penduduk; di mana untuk daerah Kabupaten menunjukkan angka rendah, dan sebaliknya di daerah perkotaan cukup tinggi. Pertumbuhan penduduk kota ini diduga bukan hanya karena pertumbuhan alami, tetapi lebih banyak disebabkan karena faktor imigrasi atau arus urbanisasi dari wilayah kabupaten ke pusat perkotaan. Masalah kependudukan selalu berkaitan dengan masalah ketenagakerjaan. Salah satu contoh adalah tingginya tingkat pertumbuhan penduduk akan berpengaruh juga pada tingginya penyediaan tenaga kerja. Penawaran tenaga yang tinggi tanpa diikuti penyediaan kesempatan kerja yang cukup dan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia yang ada justru akan menimbulkan pengangguran dan setengah pengangguran di Provinsi Riau. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2004 tercatat bahwa penduduk Provinsi Riau yang berusia 10 tahun keatas adalah 3.981.301 jiwa (tanpa Provinsi Kepulauan Riau), dari jumlah tersebut sebanyak 2.329.860 jiwa (58.52%) adalah lakilaki dan 1.651.441 jiwa atau 41.48 persen perempuan. Jika dilihat berdasarkan jenis kelamin, maka angkatan kerja laki-laki adalah sebanyak 2.329.860 jiwa. 1.923.180 jiwa (82.54%) adalah angkatan kerja, sedangkan bukan angkatan kerja adalah sebanyak 406.680 jiwa atau 17.46 persen. Jumlah angkatan kerja perempuan adalah sebanyak 516.781 jiwa atau 31.29 persen dan bukan angkatan kerja 1.134.660 jiwa atau sebesar 68.71. Dari data itu terlihat bahwa angkatan kerja laki-laki jauh lebih besar dibandingkan dengan angkatan kerja perempuan, sebaliknya jumlah penduduk perempuan yang bukan angkatan kerja lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk laki-laki yang bukan angkatan kerja.

6

Executive Summary

3.2. Potensi Ekonomi Daerah Tidak ada satupun daerah yang memiliki karakteristik yang sama, baik potensi ekonomi, sumberdaya manusia, maupun kelembagaan masyarakatnya, untuk itu maka kebijaksanaan yang bersifat nasional harus luwes (flexible), agar aparat pemerintah dibawahnya dapat mengembangkan dan memodifikasi kebijaksanaan tersebut sesuai dengan kondisi masing-masing wilayah. Keadaan yang berbeda-beda dari sisi potensi wilayah dari wilayah yang satu atau sub wilayah dapat diidentifikasi dari salah satu faktor dasar yang berbeda antar wilayah, yaitu struktur perekonomian dari wilayah yang bersangkutan, dimana dari hal tersebut dapat diketahui basis ekonomi wilayah. 3.2.1. Subsektor Tanaman Pangan Komoditi unggulan Provinsi Riau untuk sektor pertanian terdiri dari padi, jagung, umbi-umbian dan lain-lain. Khusus untuk tanaman padi, Kabupaten Indragiri Hilir memiliki luas arel produksi yang paling luas, yaitu seluas 37.126 hektar, diikuti oleh Rokan Hilir seluas 33.832 hektar, dan Kabupaten Bengkalis seluas 17.272 hektar. Sedangkan kabupaten/kota yang luasnya paling kecil adalah Kabupaten Indragiri Hulu seluas 2.141 hektar di samping Kota Pekanbaru yang tidak punya sama sekali lahan tanaman padi. Tanaman padi Provinsi Riau dibandingkan tanaman lainnya memiliki luas areal produksi yang paling luas, yaitu 19.178 hektar dan singkong dan umbi-umbian seluas 4.009 hektar. Bila dibandingkan jumlah produksi masing-masing komoditi tersebut, tanaman padi juga mempunyai jumlah produksi yang paling banyak, yaitu 453.712 ton, diikuti singkong/umbi-umbian sebesar 43.376 ton dan jagung 41.908 ton. Namun bila dibandingkan masing-masing Kabupaten/Kota, maka untuk tanaman padi Kabupaten Indragiri Hilir mempunyai jumlah areal produksi yang paling luas, yaitu 37.126 hektar atau 25.58 persen dari total jumlah keseluruhan, di ikuti Kabupaten Rokan Hilir seluas 33.832 hektar atau 23.31 persen dan Kabupaten Rokan Hulu seluas 14.045 hektar atau 9.67 persen. Sedangkan yang paling kecil jumlah areal produksinya adalah Kabupaten Indragiri Hulu seluas 2.141 hektar atau 1.47 persen disamping Kota Pekanbaru yang tidak memiliki areal produksi sama sekali. Areal produksi erat kaitannya dengan jumlah produksi semakin besar pula jumlah produksinya, tergantung kendala teknis di lapangan, seperti hama, pemeliharaan dan pemupukan. Untuk jumlah produksi, Kabupaten Indragiri Hilir menghasilkan jumlah produksi padi yang paling banyak, yaitu sebanyak 123.919 ton atau 27.31 persen dari total keseluruhan. Urutan kedua yaitu Kabupaten Rokan Hilir sebanyak 110.667 ton atau 24.39 persen dan Kabupaten Rokan Hulu sebanyak 34.318 ton atau 7.56 persen. Sedangkan Kabupaten yang paling sedikit jumlah produksinya adalah Indragiri Hulu sebanyak 6.366 ton atau 1.40 persen

7

Executive Summary

disamping Kota Pekanbaru yang tidak mempunyai jumlah produksi karena tidak adanya areal produksi. Untuk tanaman jagung, Kabupaten Indragiri Hilir juga mempunyai areal produksi yang paling luas bila dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lainnya, yaitu seluas 10.159 hektar atau 52.97 persen dari jumlah luas keseluruhannya. Urutan kedua adalah Kabupaten Pelalawan seluas 4.450 hektar atau 23.20 persen dan Kabupaten Kampar seluas 1.229 hektar atau 6.40 persen. Sedangkan Kabupaten yang mempunyai areal produksi yang paling kecil untuk tanaman jagung adalah Kota Pekanbaru seluas 114 hektar atau 0.59 persen, diikuti Kabupaten Bengkalis seluas 175 hektar atau 0.91 persen. Sedangkan untuk jumlah areal produksi jumlah areal produksi pada masing-masing Kabupaten/Kota, Kabupaten Indragiri Hilir mempunyai jumlah produksi yang paling besar untuk tanaman jagung sebanyak 22.444 ton atau 53.55 persen dari total keseluruhan produksi tanaman jangung. Urutan kedua adalah Kabupaten Kampar sebanyak 2.688 ton atau 6.41 persen dan Kabupaten Rokan Hulu sebanyak 2.000 ton atau 4.77 persen. Sedangkan Kabupaten yang paling sedikit hasil produksinya untuk tanaman jagung adalah Kota Pekanbaru seluas 228 ton atau 0.54 persen, diikuti Kabupaten Bengkalis seluas 374 ton atau 0.89 persen. Untuk singkong dan umbi-umbian, Kabupaten/Kota mempunyai areal produksi yang paling luas adalah Kabupaten Kampar seluas 1.158 hektar atau 28.88 persen, diikuti Kabupaten Rokan Hulu seluas 460 hektar atau 11.47 persen dan Bengklalis seluas 366 hektar atau 9.12 persen. Sedangkan untuk kabupaten/kota yang mempunyai areal produksinya sedikit untuk singkong dan umbi-umbian adalah Kota Pekanbaru seluas 154 hektar atau 3.84 persen diikuti Kabupaten Pelalawan seluas 182 hektar atau 4.53 persen. Jumlah produksi untuk singkong dan umbi-umbian, Kabupaten Kampar mempunyai produksi yang terbanyak, yaitu 12.625 ton atau 29.10 persen, diikuti oleh Kabupaten Rokan Hulu sebanyak 4.998 ton atau 11.52 persen dan Kabupaten Bengkalis sebanyak 3.954 ton atau 9.11 persen. Sedangkan kabupaten yang paling sedikit jumlah produksi untuk singkong dan umbi-umbian adalah Kota Pekanbaru sebanyak 1.624 ton atau 3.74 persen dari jumlah total produksi keseluruhan dan diikuti oleh Kabupaten Pelalawan sebanyak 1.949 ton atau 4.49 persen. Dari hasil analisa data diatas memberikan gambaran kepada kita bahwa kabupaten yang potensial untuk dikembangkan menjadi lumbung pertanian adalah Kabupaten Indragiri Hilir dan Rokan Hilir. Sedangkan Kabupaten/Kota yang tidak potensial untuk dikembangkan menjadi areal pertanian adalah Kota Pekanbaru dan Dumai. 3.2.2. Sub Sektor Perkebunan Perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Rokan Hulu memiliki areal yang paling luas bila dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya, 8

Executive Summary

diikuti oleh Kabupaten Kampar seluas 241.486 hektar dan Kabupaten Pelalawan seluas 163.903 hektar. Sedangkan kabupaten yang paling sedikit areal untuk perkebunan kelapa sawit adalah Kota Dumai seluas 17.760 hektar disamping Kota Pekanbaru yang tidak mempunyai areal perkebunan kelapa sawit. Untuk perkebunan kelapa, kabupaten Indragiri Hilir mempunyai areal perkebunan yang paling luas, Kabupaten Indragiri Hilir dari dulu terkenal dengan daerah penghasil kopra. Luas areal perkebunan kelapa di Kabupaten Indragiri Hilir seluas 377.263 hektar, diikuti oleh bengkalis seluas 53.092 hektar dan Kabupaten Kuantan Singingi seluas 4.450 hektar. Sedangkan Kota Pekanbaru dan Dumai tidak mempunyai areal perkebunan kelapa sama sekali. Untuk perkebunan karet, Kabupaten Kuantan Singingi mempunyai areal yang paling luas dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya, yaitu seluas 153.101 hektar, Kabupaten Kampar menempati posisi kedua seluas 93.166 hektar, dan Kabupaten Bengkalis seluas 75.973 hektar. Sedangkan Kabupaten/Kota yang paling sedikit areal perkebunan karetnya adalah Kota Dumai seluas 1.415 hektar disamping Kota Pekanbaru yang tidak mempunyai areal perkebunan karet. Disamping perkebunan kelapa sawit, kelapa dan karet, Provinsi Riau juga daerah potensial untuk tanaman kopi, meskipun sampai saat ini arealnya hanya sebatas industri rumah tangga. Untuk tanam kopi, Kabupaten Indragiri Hulu mempunyai luas areal 4.104 hektar dari luas areal keseluruhan tanaman kopi yang ada di Provinsi Riau. Kabupaten Indragiri Hilir menempati posisi kedua yaitu 4.015 hektar dan Kabupaten Bengkalis seluas 2.467 hektar. Sedangkan kabupaten/kota yang mempunyai areal yang paling sedikit adalah Kota Dumai seluas 55 hektar disamping Kota Pekanbaru yang tidak mempunyai areal untuk perkebunan kopi. Untuk tanaman kelapa, jumlah produksi yang terbanyak dihasilkan oleh Kabupaten Indragiri Hilir, yaitu sebanyak 402.950 ton atau 68.24 persen dari jumlah total keseluruhan produksi kelapa di Provinsi Riau tahun 2005. Kabupaten Kuantan Singingi menempati urutan kedua yaitu sebanyak 108.087 ton atau 18.30 persen, diikuti oleh Kabupaten Bengkalis sebanyak 46.314 ton atau 7.84 persen. Sedangkan Kabupaten yang jumlah produksi kelapanya paling sedikit adalah Kabupaten Indragiri Hulu sebanyak 1.773 ton atau 0.30 persen di samping Kota Pekanbaru yang tidak mempunyai produksi kelapa sawit sama sekali. 3.2.3. Sub Sektor Kehutanan Perbandingan luas penggunaan hutan berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan masing-masing kabupaten/kota berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Riau 2001-2015, untuk hutan lindung, Kabupaten Rokan Hulu mempunyai areal yang paling luas, yaitu 67.574,05 hektar atau 29.53 persen dari total luas keseluruhan, Kabupaten Singingi seluas 49.040,66 hektar atau 21.43 persen dan Kabupaten Kampar 9

Executive Summary

seluas 41.697,04 hektar atau 18.22 persen. Sedangkan Kabupaten Pelalawan, Siak dan kota Pekanbaru dan Dumai tidak mempunyai areal hutan lindung sama sekali. Hutan suaka alam dan wisata bertujuan untuk melindungi keanekeragaman tumbuh-tumbuhan dan satwa tertentu yang memerlukan upaya konservasi serta ekosistemnya yang berfungsi sebagai sistem penyangga kehidupan bagi kepentingan ilmu pengetahuan dan pembangunan pada umumnya. Bila dilihat luas hutan suaka alam dan wisata pada masing-masing kabupaten/kota yang ada da Provinsi Riau, Kabupaten Indragiri Hulu mempunyai areal yang paling luas, yaitu 147.304,99 hektar atau 27.82 persen dari total luas keseluruhan, diikuti Kabupaten Kampar seluas 102.097,33 hektar atau 19.28 persen dan Kabupaten Bengkalis seluas 94.184,28 hektar atau 17.78 persen. Sedangkan kabupaten/kota yang paling sedikit areal hutan suaka alam dan wisata adalah Kota Pekanbaru seluas 749 hektar atau 0,14 persen disamping Kabupaten Rokan Hulu yang tidak mempunyai areal sama sekali. Bila dilihat luas hutan produksi terbatas pada masing-masing kabupaten/kota, maka Kabupaten Pelalawan mempunyai areal yang paling luas yaitu 424.456,69 hektar atau 28.91 persen dari total luas keseluruhan, Kabupaten Indragiri Hilir seluas 217.634,62 hektar atau 14.82 persen dan Kabupaten Bengkalis seluas 212.767,32 hektar atau 14.49 persen. Sedangkan Kabupaten Kuantan Singingi dan Kota Pekanbaru tidak mempunyai areal sama sekali. Untuk Hutan Produksi Terbatas (HPTb), Kabupaten Bengkalis mempunyai areal yang paling luas, yaitu 347.591,18 hektar atau 17.69 persen dari total luas keseluruhan. Kabupaten Kampar menempati posisi kedua seluas 304.072,31 hektar atau 15.72 persen dan Kabupaten Pelalawan seluas 297.018,16 hektar atau 15.35 persen. Sedangkan kabupaten/kota yang mempunyai areal untuk hutan produksi terbatas yang paling sedikit adalah kota Pekanbaru dan Dumai masing-masing 15.024 hektar atau 0.77 persen dan 644.86 hektar atau 0.03 persen. Sedangkan untuk hutan bakau, tidak semua kabupaten/kota di Provinsi Riau mempunyai hutan bakau, hanya kabupaten/kota yang berbatasan dengan laut yang memiliki hutan bakau, seperti Kabupaten Indragiri Hilir, Pelalawan, Siak, Bengkalis, Rokan Hilir, dan Kota Dumai. Kabupaten Indragiri Hilir mempunyai areal hutan bakau yang paling luas yaitu seluas 63.534,01 hektar atau 45.89 persen dari luas total keseluruhan, diikuti Kabupaten Bengkalis seluas 47.600,02 hektar atau 45.89 persen dan Kota Dumai seluas 11.582,79 hektar atau 8.36 persen. 3.2.4. Sub Sektor Peternakan Usaha peternakan di Provinsi Riau pada umumnya merupakan usaha rakyat bersifat sambilan dan berskala kecil (sapi, kerbau, kambing, dan unggas), namun cukup memberikan harapan dalam hal pengembanganya. Ternak kambing mempunyai jumlah yang paling banyak di Provinsi Riau, yaitu sebanyak 206.352 ekor, diikuti populasi 10

Executive Summary

sapi potong sebanyak 111.198 ekor, kerbau 49.654 ekor dan domba 3.349 ekor. Bila kita bandingkan populasi ternak pada masing-masing kabupaten/kota, Kabupaten Indragiri Hulu mempunyai populasi sapi potong yang paling banyak , yaitu 26.063 ekor atau 23.45 persen dari total populasi keseluruhan sapi potong di Provinsi Riau. Kabupaten Kuantan Singingi menempati posisi kedua yaitu sebanyak 18.853 ekor atau 16.95 persen dan Kabupaten Rokan Hulu sebanyak 15.056 atau 13.54 persen. Sedangkan kabupaten/kota yang paling sedikit jumlah populasi sapi potong adalah Kabupaten Pelalawan yaitu sebanyak 1.726 ekor atau 1.55 persen dan Kota Dumai sebanyak 2.443 ekor etau 2.19 persen. Untuk ternak kerbau, Kabupaten Kampar mempunyai populasi kerbau yang paling banyak, yaitu 21.274 ekor atau 42.84 persen dari total jumlah keseluruhan populasi kerbau Provinsi Riau sebanyak 49.654 ekor. Kabupaten Kuantan Singingi posisi kedua sebanyak 14.061 ekor atau 28.31 persen dan Kabupaten Indragiri Hulu 4.149 ekor atau 8.35 persen. Sedangkan kabupaten/kota yang paling sedikit jumlah populasi kerbaunya adalah Indragiri Hilir sebanyak 7 ekor atau 0.01 persen, Kota Dumai 65 ekor atau 0.13 persen. 3.2.5. Sub Sektor Perikanan Budidaya perikanan laut lebih memberikan prospek untuk sub sektor perikanan di Provinsi Riau, hal ini terlihat jumlah produksi sebanyak 127.186,0 kg, sedangkan kolam keramba hanya mempunyai produksi 9.430.03 kg dan perairan umum 14.713.8 kg. untuk masingmasing kabupaten/kota, produksi perikanan untuk budidaya perikanan laut, Kabupaten Rokan Hilir lebih mendominasi, yaitu sebanyak 74.625.3 kg atau 58.67 persen dari total jumlah keseluruhan produksi budidaya perikanan laut di Provinsi Riau. Kabupaten Indragiri Hilir menempati posisi kedua yaitu sebanyak 34.503,3 kg atau 27.12 persen. Kabupaten/kota yang paling sedikit produksinya adalah kabupaten/kota yang tidak berbatasan dengan laut seperti, Kabupaten Kuantan Singingi, Indragiri Hulu, Kampar, Rokan Hulu dan Kota Pekanbaru. Untuk perairan umum produksi perikanan di Provinsi Riau, kabupaten/kota yang paling banyak produksinya adalah Kabupaten Indragiri Hilir sebanyak 2.804.8 kg atau 19.06 persen dari total jumlah keseluruhan produksi perairan umum di Provinsi Riau. Posisi kedua adalah Pelalawan adalah sebanyak 2.332,1 kg atau 15.84 persen dan Kabupaten Rokan Hulu sebanyak 2.001.2 kg atau 13.60 persen. Sedangkan kabupaten/kota yang poaling sedikit hasil produksinya adalah Kabupaten Bengkalis dan Kota Dumai yang tidak ada sama sekali. Dari hasil produksi perikanan di perairan umum tidak ada kabupaten/kota yang mendominasi, karena rata-rata hasil produksinya sama. Kabupaten Kampar pada tahun 2004 mendominasi untuk hasil perikanan kolam keramba, namun untuk tahun 2005 hasil perikanan 11

Executive Summary

kolam/keramba didominasi oleh kabupaten Rokan Hulu yaitu sebanyak 3.025.29 kg atau 32.08 persen. Hal ini berarti hasil produksi kolam/keramba Kabupaten Kampar menurun. Kabupaten Kampar menempati posisi kedua yaitu sebanyak 2.779.60 kg atau 29.47 persen dan Kabupaten Siak sebanyak 1.355.89 kg atau 14.37 persen. Sedangkan kabupaten/kota yang paling sedikit hasil produksinya adalah Kabupaten Bengkalis hanya sebnayak 120.63 kg atau 1.27 persen dan Kota Dumai sebanyak 121.60 kg atau 1.28 persen. 3.2.6. Sub Sektor Pertambangan Perkembangan pertambangan umum di Provinsi Riau relatif cukup pesat, ditandai dengan banyaknya perusahaan yang bergerak dibidang ini yang ikut serta dalam mengusahakan beberapa hasil pertambangan antara lain bahan galian pasir laut, granit, bauksit, timah, emas, batu bara, gambut, pasir kwarsa dan andesit. Jenis Izin Kuasa Pertambangan (KP) diberikan kepada perusahaan swasta nasional. Sedangkan bagi perusahaan asing yang berminat diberikan jenis izin lainnya berupa Kontrak Karya (KK) yang diberikan oleh pemerintah dengan persetujuan DPR. Sebagian saham dalam kontrak ini harus dimiliki oleh perusahaan nasional. Peluan untuk menanamkan investasi disektor pertambangan di Provinsi Riau terbuka lebar, baik investor lokal maupun investor asing. Wilayah batu bara yang telah dicadangkan untuk dikeloka pemerintah, bila diminati oleh pihak swasta dapat diberikan dalam bentuk PKP2B. Perusahaan pemegang izin PKP2B ini diwajibkan menyetor 13,5 persen dari hasil produksinya ke pemerintah melalui kas menteri keuangan. Produksi gambut di hasilkan oleh PT. Arara Abadi di daerah Perawang dan Siak. Sedangkan batu bara merupakan produksi PT. Nusa Riau Kencana Cocal di Kabupaten Kuantan Singingi. Untuk setiap perusahaan pemegang izin tahap ekploitasi dikenakan iuran, yaitu iuran tetap/landrent dan iuran produksi/royalti. Sedangkan untuk iuran tetap yang besarnya tergantung kepada luas wilayah pertambangannya. Disamping iuran tersebut perusahaan pertambangan juga diwajibkan membayar iuran dan pajak-pajak lainnya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Perusahaan pertambangan migas yang beroperasi di Provinsi Riau tercatat sebanyak 9 (sembilan) perusahaan yang merupakan operator Pertamina dengan Sistem Kontrak Production Sharing/Bagi Hasil (KPS) dan Joint Operating Body (JOB). PT Caltex Pacific Indonesia (CPI) merupakan perusahaan minyak terbesar di Riau bahkan di Indonesia. Luas Wilayah Kuasa Pertambangan (WKP) migas perusahaan ini mencapai 31.641 Km2 yang terbagi dalam 4 (empat) Blok, yaitu Rokan Blok (9.898 Km2), Siak Blok (8.314 Km2), Coastal Plain Pekanbaru (CPP) Blok (9.996 Km2) dan Mountaint Front Kuantan (MFK) Blok (3.344 Km2). Untuk mengoptimalkan produksinya, PT CPI dalam melakukan pengeboran menerapkan teknologi lanjutan (advanced tecnology) yaitu

12

Executive Summary

seperti EOR ( Enhanced Oil Recovery), LOSF (Light Oil Steam Flood) dan DSF (Duri Steam Flood). Penambangan minyak bukanlah salah satu yang menjadi andalan pertambangan di Daerah Riau tetapi masih banyak perusahaan lainnya yang mempunyai andil dalam mengeksplorasi hasil penambangan di Daerah Riau, antara lain minyak mentah untuk tahun 2003 sebanyak 221.356,35 barel, gas alam sebanyak 112.356,680 MMSCF dan timah sebanyak 2.542.899 M3. 3.2.7. Sub Sektor Kelistrikan Meskipun Provinsi Riau memiliki sumber energi listrik yang cukup besar (PLTD dan PLTA) namun balum semua menyentuh kelapisan masyarakat bawah, khususnya di daerah-daerah terisolir, kerena masih banyak penduduk di desa-desa menggunakan lampu petromak dan pelita sebagai lampu untuk penerangan. Untuk tahun 2005 berdasarkan data sementara yang ada, sebanyak 61.076 rumah tangga masih menggunakan lampu petromak sebagai penerangan keluarga dan 201.110 rumah tangga menggunakan pelita sebagai penerangan. Dari data ini memberikan gambaran bahwa masih banyak keluarga di Riau yang belum tersentuh oleh penerangan yang menggunakan listrik. Hanya sekitar 582.545 rumah tangga di Provinsi Riau yang baru menggunakan listrik PLN sebagai penerangan rumah tangganya, dan 209.753 rumah tangga menggunakan listrik non PLN. Listrik PLN tidak saja berfungsi sebagai penerangan dalam kehidupan keluarga, tapi fungsi lain bisa digunakan untuk usaha lain baik yang bersifat home industri maupun usaha skala menengah keatas. Untuk penggunaan listrik PLN, Kota Pekanbaru merupakan kabupaten/kota yang sudah banyak menggunakanya, yaitu sebanyak 155.142 rumah tangga atau 26.63 persen, Kabupaten Bengkalis sebanyak 93.379 rumah tangga atau 16.02 persen dan Kabupaten Kampar sebanyak 83.550 rumah tangga atau 14.34 persen. Sedangkan Kabupaten yang masih sedikit menggunakan jasa listrik PLN adalah Kabupaten Pelalawan, yaitu sebanyak 15.292 rumah tangga atau 2.62 persen dan Kabupaten Kuantan Singingi sebanyak 22.252 rumah tangga atau 3.81 persen. Bagi penduduk yang jauh dari jangkauan PLN, alternatif lain untuk penerangan adalah menggunakan listrik diesel (non PLN), cara ini masih banyak digunakan oleh penduduk Provinsi Riau. Untuk tahun 2004 jumlah rumah tangga yang menggunakan listrik diesel adalah sebanyak 209.753 rumah tangga. Kabupaten Rokan Hilir merupakan Kabupaten yang paling banyak menggunakan listrik diesel untuk penerangan, yaitu sebanyak 37.705 rumah tangga atau 17.97 persen, diikkuti Kabupaten Kampar sebanyak 29.898 rumah tangga atau 14.25 persen. Dari 61.076 rumah tangga yang menggunakan petromak sebagai lampu penerangan, Kabupaten Indragiri hilir merupakan rumah tangga yang paling banyak, yaitu 20.159 atau 33.00 persen dari jumlah total keseluruhanya. Sedangkan kabupaten/kota yang paling sedikit 13

Executive Summary

menggunakan petromak adalah Kota Pekanbaru, yaitu sebanyak 468 rumah tangga atau 0.76 persen. Untuk jenis penerangan pelita, Kabupaten Indragiri Hilir juga yang paling banyak manggunakanya, yaitu 73.374 rumah tangga (36.48 persen) dari total jumlah keseluruhanya. Kabupaten Rokan Hulu menempati urutan kedua, yaitu sebanyak 23.227 rumah tangga (11.544 persen). Potensi pengembangan energi di Provinsi Riau sebenarnya relatif besar, namun untuk pangembanganya dihadapkan kepada aspek pembiayaan maupun investasi. Oleh karenanya pembangunan energi di Provinsi Riau harus dicarikan jalan keluarnya untuk mengatasi segala permasalahan penyediaan energi yang cepat dan murah, terutama untuk pengembangan industri serta pemerataanya keseluruh daerah. 3.2.8. Sub Sektor Pariwisata Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Provinsi Riau berfluktuasi, tahun 2002 jumlah wisatawan sebanyak 1.914.882 orang, tahun 2003 mengalami kenaikan dengan jumlah wisatawan sebanyak 1.945.697 orang, tahun 2004 kembali terjadi peningkatan jumlah wisatawan sebanyak 2.291.599 orang dan tahun 2005 sebanyak 2.739.193 orang. Dari 1.945.697 orang wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Provinsi Riau tahun 2003, sebanyak 1.632.064 orang atau 83.88 persen adalah dari negara Asean, ini berarti dominasi kunjungan wisatawan yang datang ke Provinsi Riau adalah dari negara Asean. Dari benua Asia sebanyak 174.251 orang atau 8.95 persen, Amerika sebanyak 16.248 orang atau 0,8 persen, Eropa sebanyak 56.316 orang atau 2.89 persen, Australia dan New Zealand sebanyak 17.467 orang atau 0.89 persen dan lainnya sebanyak 49.351 orang atau 2.5 persen. Tantangan kedepan bagi Provinsi Riau setelah berpisah dengan Provinsi Kepulauan Riau adalah bagaimana bisa menarik wisatawan sebanyak mungkin, karena dari data tersebut kebanyakan wisatawan masuk melalui Provinsi Kepulauan Riau yang dulu masih menjadi satu kasatuan dengan Provinsi Riau. Meskipun wisata bahari belum begitu optimal dikembangkan di Provinsi Riau, namun wisata lainya sudah mulai dikenal baik dimancanegara maupun nusantara. Kabupaten Kuantan Singingi misalnya telah menjadikan kesenian tradisional rakyat pacu jalur sebagai event nasional yang setiap tahunnya bisa mendatangkan wisatawan untuk berkunjung ke daerah ini. Kabupaten Kampar memiliki wisata sejarah yaitu candi muara takus dan Masjid Jamik, namun belum begitu di promosikan sehingga kunjungan wisatawan untuk melihatobyek tersebut masih terbatas. Begitu juga dengan Kabupaten Siak yang memiliki istana Siak, namun hanya terbatas pada kunjungan wisatawan lokal. Masih banyak lagi tempat wisata di kabupaten/kota yang ada di Provinsi Riau untuk bisa dijadikan daya tarik wisatawan untuk mengunjunginya, namun belum di kelola secara profesional. 14

Executive Summary

4.1. Perkembangan Ekonomi Provinsi Riau Rata-rata pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau selama periode 2001-2005 berdasarkan harga konstan tahun 2000 adalah 8,34 persen. Angka tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan angka rata-rata pertumbuhan ekonomi secara nasional yang berkisar 6 persen. Tingginya angka pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau tersebut berkaitan erat dengan tingkat dan iklim investasi di Provinsi Riau yang selalu meningkat dari tahun ke tahun. Dengan tingginya nilai realisasi investasi dalam negeri (PMDN) maupun investasi dari luar negeri (PMA), dan juga campuran PMDN dan PMDN, mengakibatkan pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau terus terjaga dalam kondisi yang menggairahkan. Dengan pertumbuhan ekonomi yang mencapai 8,34 persen tersebut, PDRB Perkapita tanpa migas berdasarkan harga konstan tahun 2000 sebesar Rp.6.832.402,60 pada tahun 2004. Sedangkan pada tahun 2005 PDRB Perkapita meningkat menjadi Rp.7.262.393,87. Hal ini berarti terjadi peningkatan kondisi perekonomian atau berarti terjadi peningkatan kemakmuran penduduk di Provinsi Riau. Berdasarkan PDRB dan Pendapatan perkapita berdasarkan harga berlaku selama periode 20012005 terlihat adanya kecenderungan peningkatan. Sementara secara riil (harga konstan 2000) terlihat adanya kecenderungan penurunan terutama pada periode 2002-2003. Hal ini secara langsung maupun tidak, turut dipengaruhi oleh gejolak migas yang tidak stabil sehingga Provinsi Riau sebagai salah satu penghasil migas Indonesia yang cukup besar turut terpengaruh oleh kondisi tersebut. Sementara itu konstribusi sektoral PDRB Provinsi Riau masih didominasi oleh sektor pertanian, walaupun pada kenyataannya terjadi penurunan persentase konstribusi dibanding sektor lainnya. Pada tahun 2001-2005 sektor pertanian masih memberikan konstribusi rata-rata 41,48 persen terhadap PDRB Provinsi Riau, namun sejak tahun 2005 turun menjadi 39,71 persen. Adapun gambaran konstribusi sektoral terhadap

15

Executive Summary

struktur ekonomi Provinsi Riau berdasarkan harga konstan 2000 pada tahun 2005, dapat dilihat pada gambar berikut ini.2.30 5.91 39.71 9.92

1. Pertanian, Peternakan, Kehutanan & Perikanan 2. Pertambangan dan Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 5. Bangunan 6. Perdagangan, Hotel & Restorant 7. Pengangkutan dan Komunikasi 8. Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan 9. Jasa-jasa

16.83

6.60

0.49

17.02

1.20

Gambar 1. Konstribusi Sektoral pada Struktur Perekonomian Provinsi Riau (PDRB Tahun 2005) Berdasarkan Harga Konstan 2000. 4.2. Sektor Ekonomi Basis (Unggulan) Untuk Investasi Sektor ekonomi basis (unggulan) merupakan sektor yang memiliki peranan dalam suatu perekonomian wilayah sehingga kemajuan dan kemunduran sektor ini akan mampu membawa pengaruh terhadap perekonomian wilayah tersebut. Teori basis ekonomi yang melandasi pemahaman terhadap sektor basis dalam pembangunan wilayah dipergunakan untuk mengetahui potensi atau peranan suatu sektor dalam perekonomian wilayah dan efek yang ditimbulkannya (Richardson, 2002). Aktifitas-aktifitas pada sektor basis (unggulan) akan menghasilkan pendapatan basis, sedangkan aktifitas-aktifitas non basis akan menghasilkan pendapatan non basis. Penjumlahan pendapatan basis dan non basis merupakan pendapatan total dari daerah/wilayah yang bersangkutan (Sukirno, 1986). Implikasi dari aktifitas sektor basis adalah dengan bertambahnya aktifitas sektor basis dalam suatu daerah maka akan menambah arus pendapatan ke dalam daerah tersebut, sehingga peningkatan pendapatan sebagai akibat peningkatan sektor basis tersebut akan mengakibatkan peningkatan permintaan barang dan jasa pada daerah itu. Richardson (2001), mengemukakan bahwa metode kuosien lokasi paling lazim digunakan dalam mengidentifikasi aktifitas basis dan non basis. Hal ini disebabkan karena metode ini mempunyai beberapa kebaikan, antara lain adalah: 1) modelnya sederhana, 2) memperlihatkan penjualan barang-barang antara, 3) dapat diterapkan untuk data historis guna melihat kecenderungan, (4) mudah diterapkan, dan (5) relatif murah dalam mengoperasikannya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka perbandingan sektor basis (unggulan) antar daerah kajian dilakukan dengan menggunakan data PDRB persektor berdasarkan harga konstan tahun 2000, dimana Provinsi Riau merupakan daerah referensi bagi analisis LQ pada lokasi kajian. Adapun analisis dilakukan terhadap data series 5 (lima) tahun, yakni dari tahun 2001-2005. 16

Executive Summary

4.2.1. Sektor Basis (Unggulan) Kota Pekanbaru Dari data PDRB per sektor tahun 2001 2005 diperoleh rata-rata persentase kontribusi sektor yang terbesar yaitu sektor perdagangan, hotel dan restoran; dan sektor penyumbang rata-rata terkecil adalah sektor pertambangan dan penggalian dan tidak mengalami perkembangan dari tahun ke tahun. Berdasarkan analisis terhadap sektor dalam struktur perekonomian yang ada dalam PDRB Kota Pekanbaru, maka sektor yang menonjol peranannya secara berurut berdasarkan hasil analisis LQ adalah Sektor Listrik, Gas, dan Air Minum, Sektor Bangunan, Sektor Pengangkutan dan Komunikasi, Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan, Sektor Jasa-Jasa, dan Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran. Walaupun angka LQ untuk Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih paling besar, namun kontribusi terbesar dalam struktur perekonomian Kota Pekanbaru selama periode 2001-2005 diberikan oleh Sektor 6 (Perdagangan, Hotel dan Restoran), dimana kontribusi rata-rata sektor ini adalah 27,87 persen pertahun selama kurun waktu tersebut. Dalam struktur perekonomian Kota Pekanbaru, peranan sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran memang paling besar. Akan tetapi nilai LQ terbesar adalah pada sektor Listrik, Gas dan Air Bersih, hal ini dapat dipahami karena kegiatan sektor basis lainnya di Kota Pekanbaru dan posisi Kota Pekanbaru sebagai ibu Kota Provinsi Riau merupakan daerah pemusatan bagi kegiatan sektor 4 tersebut. Namun bila ditinjau dan dianalisis per subsektor PDRB untuk lebih merinci sektor yang menjadi basis ekonomi sebenarnya berada pada subsektor apa, maka diperoleh hasil sebagai berikut: Sektor Listrik, Gas dan air bersih; Listrik (3,08), Air Bersih (2,84). Sektor Bangunan (2,52), Sektor Pengangkutan dan Komunikasi; Angkutan Jalan Raya (2,54), Angkutan Udara (5,59), Jasa penunjang angkutan (2,48), Pos dan telekomunikasi (4,46), Sektor Keuangan, persewaaan dan jasa perusahaan, Bank (4,78), Lembaga Keuangan Non Bank (2,40), Sewa bangunan (1,36), Jasa perusahaan (4,15). Sektor Jasa Jasa; Adm Pemerintahan dan Pertahanan (2,09), Sosial Kemasyarakatan (2,57), Hiburan dan Rekreasi (2,38) , Perorangan dan Rumah Tangga (2,42). Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran; Perdagangan besar dan eceran (1,56), Hotel (3,38), Restoran (2,84). Dikaitkan dengan prospektif pengembangan aktifitas ekonomi di Kota Pekanbaru, maka potensi yang ada di daerah ini menunjukkan bahwa aktifitas yang berdaya saing untuk dikembangkan adalah yang secara langsung berhubungan dengan sektor basis daerah terutama perdagangan dan jasa. Hal ini sejalan dengan visi dan misi Kota Pekanbaru sebagai pusat perdagangan dan jasa dan seiring dengan berkembangnya perkebunan (terutama sawit) disekitar kota Pekanbaru, maka juga membuka peluang bagi pengembangan usaha perdagangan dan jasa bagi produk dan alat-alat pertanian.

17

Executive Summary

4.2.2. Sektor Basis (Unggulan) Kabupaten Kampar Analisis potensi daerah, menunjukkan hasil perhitungan bahwa potensi perekonomian Kabupaten Kampar sangat besar pada Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan dan Sektor Pertambangan dan Penggalian, namun dalam kehidupan dan struktur perekonomian masyarakat di daerah Kabupaten Kampar yang paling berperan adalah sektor pertanian. Lebih separuh kegiatan perekonomian (rata-rata 60,60 persen) di daerah ini berasal dari Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan pada periode 2005. Sebaliknya Sektor Sektor Listrik, Gas dan Air minum dapat dikatakan tidak berkembang dan merupakan sektor yang paling rendah peranannya dalam perekonomian Kabupaten Kampar. Selama periode yang sama, komposisi sektor ini tidak beranjak dari angka 0,11 persen setiap tahunnya. Berdasarkan analisis sektor dalam struktur perekonomian yang ada dalam PDRB kabupaten Kampar, maka sektor yang menonjol peranannya secara dominan berdasarkan hasil analisis LQ adalah Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan; dan sektor Pertambangan dan penggalian. Kabupaten Kampar juga menjadi daerah utama bagi Sektor Penggalian di Provinsi Riau, hal ini dikarenakan kondisi geografis alam yang lebih memiliki potensi bahan galian dibandingkan daerah lainnya di Provinsi Riau. Kabupaten Kampar memiliki bermacam jenis bahan galian, namun yang telah diusahakan secara ekonomis terutama bahan galian yang berkaitan dengan konstruksi/bangunan, antara lain pasir kuarsa, kerikil, tanah timbunan, dan batuan alam lainnya. Sedangkan batu bara juga merupakan potensi alam yang dimiliki Kabupaten Kampar, tetapi masih belum diusahakan secara ekonomis. Batu bara yang terdapat di Kabupaten Kampar merupakan salah satu cadangan bagi Provinsi Riau sebagai bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Namun sektor pertanian yang juga merupakan sektor basis (unggulan) selain sektor tersebut diatas menjadi salah satu peluang bagi pengembangan perekonomian masyarakat yang memang dari dahulu merupakan masyarakat agraris. Untuk itu berbagai pihak mempunyai peluang untuk berperan dalam pengembangan aktifitas ekonomi masyarakat. Selanjutnya bila ditinjau dan dianalisis per subsektor PDRB untuk lebih merinci sektor yang menjadi basis ekonomi sebenarnya berada pada subsektor apa, maka diperoleh hasil Sektor Pertanian; Tanaman Pangan (1,53), Perkebunan (2,09), Peternakan (1,59), Kehutanan (1,30). Sektor Pertambangan dan Penggalian non migas; Penggalian (4,40). 4.2.3. Sektor Basis (Unggulan) Kabupaten Bengkalis Rata-rata persentase kontribusi masing-masing sektor dalam struktur perekonomian Kabupaten Bengkalis dari data time series PDRB tahun 2001 2005 terlihat bahwa konstribusi terbesar masih pada sektor 18

Executive Summary

pertanian, peternakan, perikanan dan perkebunan, namun terlihat kecenderungan penurunan konstribusi dari waktu ke waktu, meskipun secara nominal tetap terjadi peningkatan positif dari tahun ke tahun. Tahun 2005 konstribusi sektor ini adalah 30,98 persen, mengalami penurunan dibanding konstribusi sektoral sebelumnya pada tahun 2004 sebesar 31,45 persen. Berbeda dengan daerah lainnya maka konstribusi sektor pertanian hampir memiliki konstribusi yang sama besar dengan konstribusi pada sektor perdagangan. Selanjutnya berdasarkan analisis terhadap sektor dalam struktur perekonomian yang ada dalam PDRB Kabupaten Bengkalis tersebut, maka sektor yang menonjol peranannya secara berurut berdasarkan hasil analisis LQ adalah Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran; Sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih; Sektor Jasa-Jasa; dan Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan. Walaupun angka LQ untuk Perdagangan, Hotel dan Restoran paling besar, namun kontribusi terbesar dalam struktur perekonomian Kabupaten Bengkalis selama periode 2001-2005 diberikan oleh Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan & Perikanan, dimana kontribusi rata-rata sektor ini adalah 32,26 persen pertahun selama kurun waktu tersebut. Namun bila ditinjau dan dianalisis per subsektor PDRB untuk lebih merinci sektor yang menjadi basis ekonomi sebenarnya berada pada subsektor apa, maka diperoleh hasil Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran; Perdagangan besar dan eceran (1,97), Hotel (1,08). Sektor Listrik, Gas dan air bersih; Listrik (1,58), Air Bersih (1,25). Sektor Jasa Jasa; Swasta/ Perorangan dan Rumah Tangga (1,10), Sektor Keuangan, persewaaan dan jasa perusahaan, Sewa bangunan (1,28). Sedangkan sektor lain yang subsektornya menjadi potensi ekonomi basis adalah subsektor pertanian; tanaman pangan (1,18), perkebunan (1,14), perikanan (1,13) dan kehutanan (1,14). Dikaitkan dengan prospektif pengembangan ekonomi di Kabupaten Bengkalis dan dikaitkan dengan kondisi wilayah yang cukup luas dan dibatasi perairan maka potensi yang ada di daerah ini menunjukkan bahwa aktifitas perdagangan dan jasa memiliki daya saing untuk dikembangkan guna mendukung aktifitas ekonomi pada sektor basis tersebut. 4.2.4. Sektor Basis (Unggulan) Kabupaten Rokan Hulu Untuk kabupaten Rokan Hulu, hasil penghitungan nilai LQ dari data series PDRB perlapangan usaha berdasarkan harga konstan tahun 2000 pada periode tahun 2001 2005; yang menjadi sektor basis (unggulan) didaerah ini adalah Sektor Pertanian dan Sektor Industri Pengolahan. Rata-rata persentase kontribusi sektor ini dalam struktur perekonomian Kabupaten Rokan Hulu per sektor tahun 2005 menunjukkan bahwa kontribusi sektor yang terbesar yaitu sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan, dan sektor penyumbang rata-rata terkecil adalah sektor Listrik, Gas dan Air Bersih. 19

Executive Summary

Selanjutnya sektor ekonomi basis (unggulan) di Kabupaten Rokan Hulu yang dilihat dari perhitungan nilai LQ terhadap rata-rata konstribusi PDRB Sektoral selama periode tahun 2001-2005 adalah Sektor Pertanian yang merupakan sektor basis dan menjadi sektor yang potensial didaerah ini juga mempunyai kontribusi terbesar dalam struktur perekonomian Kabupaten Rokan Hulu selama periode 2001-2005 yang berkonstribusi rata-rata sebesar 59,83 persen pertahun selama kurun waktu tersebut. Selama 5 (lima) tahun terakhir sektor pertanian mengalami penurunan walaupun secara perlahan. Bila ditinjau dan dianalisis per subsektor PDRB untuk lebih merinci sektor yang menjadi basis ekonomi sebenarnya berada pada subsektor apa, maka diperoleh hasil Sektor Pertanian; Tanaman Pangan (2,64), Perkebunan (1,79), Peternakan (1,84), Kehutanan (1,02). Sektor Industri Pengolahan; Sektor Industri Pengolahan (non migas) (1,11). Ditinjau dari aktifitas ekonomi di Kabupaten Rokan Hulu, memang Sektor Pertanian di daerah ini menjadi penggerak aktifitas ekonomi utama penduduknya, dan sektor pertanian dan industri pengolahan yang juga merupakan sektor basis (unggulan) menjadi peluang bagi pengembangan aktifitas ekonomi yang berdaya saing bagi kegiatan ekonomi masyarakat. 4.2.5. Sektor Basis (Unggulan) Kabupaten Rokan Hilir Rata-rata persentase kontribusi masing-masing sektor dalam struktur perekonomian Kabupaten Rokan Hilir dari data time series PDRB per sektor tahun 2001-2005 menunjukkan bahwa kontribusi sektor yang terbesar yaitu sektor pertanian, dan sektor penyumbang rata-rata terkecil adalah sektor Listrik, Gas dan Air Bersih. Sektor yang menonjol peranannya secara berurut berdasarkan hasil analisis LQ adalah Sektor Pertanian, Sektor dan Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran. Dalam struktur perekonomian Kabupaten Rokan Hilir, peranan sektor Pertanian memang paling besar dan ternyata sektor ini juga menjadi sektor basis (unggulan) didaerah ini diikuti sektor Perdagangan. Selanjutnya bila ditinjau dan dianalisis per subsektor PDRB untuk lebih merinci sektor yang menjadi basis ekonomi sebenarnya berada pada subsektor apa, maka diperoleh hasil Sektor Pertanian; Tanaman Pangan (1.18), Perkebunan (1,79), Peternakan (1,13). Sektor Perdagangan, Hotel dan restoran; Perdagangan besar dan eceran (1.42). Dikaitkan dengan pengembangan ekonomi di Kabupaten Rokan Hilir, maka potensi yang ada di daerah ini menunjukkan bahwa aktifitas yang berdaya saing untuk dikembangkan adalah yang secara langsung berhubungan dengan sektor basis daerah. Sektor pertanian utama di Kabupaten Rohil adalah perkebunan, dan sektor basis berikutnya adalah perdagangan.

20

Executive Summary

4.2.6. Sektor Basis (Unggulan) Kabupaten Indragiri Hilir Selanjutnya, analisis terhadap sektor basis (unggulan) di Kabupaten Indragiri Hilir yang dikenal dengan negeri seribu parit, menunjukkan bahwa rata-rata persentase kontribusi masing-masing sektor dalam struktur perekonomian Kabupaten Indragiri Hilir dari data time series PDRB tahun 2001 2005 berdasarkan harga konstan tahun 2000, maka konstribusi sektor pertanian terhadap perekonomian daerah masih dominan. Selanjutnya berdasarkan analisis terhadap sektor dalam struktur perekonomiannya, maka sektor yang menonjol peranannya sekaligus berdasarkan hasil analisis LQ adalah sektor dominan adalah Pertanian. Angka LQ untuk Pertanian yang merupakan sektor basis, sejalan dengan kontribusi sektor ini yang terbesar dalam struktur perekonomian Kabupaten Indragiri Hilir selama periode 2001-2005, dimana kontribusi rata-rata sektor ini adalah 50,22 persen. Namun bila ditinjau dan dianalisis per subsektor PDRB untuk lebih merinci sektor yang menjadi basis ekonomi sebenarnya berada pada subsektor apa, maka diperoleh hasil Sektor Pertanian; Tanaman Pangan (1.43), Perkebunan (1,51), Perikanan (1,85). Sektor Perdagangan, Hotel dan restoran; Perdagangan besar dan eceran (1.42). 4.2.7. Sektor Basis (Unggulan) Kabupaten Indragiri Hulu Rata-rata persentase kontribusi masing-masing sektor dalam struktur perekonomian Kabupaten Indragiri Hulu dari data time series PDRB tahun 2001 2005 sebagaimana di daerah kajian lainnya, dijadikan dasar bagi penghitungan nilai LQ untuk mengetahui sektor mana yang menjadi ekonomi basis (unggulan) di Kabupaten Indragiri Hulu. Konstribusi sektor pertanian paling besar di daerah ini dan diikuti oleh sektor Industri Pengolahan. Selanjutnya berdasarkan analisis terhadap sektor dalam struktur perekonomian yang ada dalam PDRB Kabupaten Indragiri Hulu tersebut, maka sektor yang menonjol peranannya dan sekaligus menjadi leading sector bagi perekonomian daerah ini berdasarkan hasil analisis LQ adalah Sektor Pertanian, yang diikuti oleh Industri Penggolahan yang dalam kenyataannya juga berbasis bahan baku pada sektor pertanian. Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan mengalami perlambatan dalam pertumbuhannya namun masih tetap memberikan kontribusi rata-rata terbesar yakni 53,29 persen pertahun selama kurun waktu tersebut. Selanjutnya bila ditinjau dan dianalisis per subsektor PDRB untuk lebih merinci sektor yang menjadi basis ekonomi sebenarnya berada pada subsektor apa, maka diperoleh hasil Sektor Pertanian; Peternakan (1,05), Kehutanan (2.26). Sektor Pertambangan Non Migas (11,39). Sektor Industri pengolahan; Industri pengolahan (non migas) (1,12). Sejak tahun 2005 kegiatan penambangan batu bara di Kabupaten Indragiri Hulu telah berproduksi (beroperasi), sehingga berkonstribusi terhadap PDRB Kabupaten Indragiri Hulu dan 21

Executive Summary

Provinsi Riau. Berdasarkan perhitungan nilai LQ, sektor pertambangan non migas di Inhu mempunyai nilai 11,39. Artinya, pada saat ini sektor tersebut menjadi potensi unggulan di kabupaten tersebut. Dikaitkan dengan prospektif pengembangan ekonomi di Kabupaten Indragiri Hulu dan dikaitkan dengan kondisi wilayah yang cukup luas maka potensi yang ada di daerah ini menunjukkan bahwa aktifitas ekonomi yang berkaitan dengan sektor pertanian dan pengolahannya berdaya saing untuk dikembangkan guna mendukung aktifitas ekonomi pada sektor basis tersebut. 4.2.8. Sektor Basis (Unggulan) Kabupaten Kuantan Singingi Rata-rata persentase kontribusi masing-masing sektor dalam struktur perekonomian Kabupaten Kuantan Singingi dari data time series PDRB tahun 2001 2005, maka konstribusi terbesar diberikan oleh sektor Pertanian, dan rata-rata sektor yang memberikan konstribusi paling kecil pada struktur perekonomian Kabupaten Kuantan Singingi pada periode tersebut adalah Sektor Listrik, Gas, dan Air bersih. Selanjutnya berdasarkan analisis terhadap sektor dalam struktur perekonomian yang ada dalam PDRB Kabupaten Kuantan Singingi tersebut, maka sektor yang menonjol peranannya secara berurut berdasarkan hasil analisis LQ berdasarkan rata-rata konstribusi sektoral selama periode 2001 2005 adalah Pertambangan dan Penggalian (non migas) dan Sektor Pertanian. Potensi sumberdaya alam yang ada di kabupaten Kuantan Singingi antara lain adalah batubara yang potensial sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik. Angka LQ untuk sektor Pertambangan dan Penggalian (non Migas) memiliki nilai LQ paling besar, hal ini dapat dipahami dengan potensi batubara yang dimilikinya Kabupaten Kuantan Singingi menjadi salah satu daerah sumber bahan tambang/galian tersebut. Selanjutnya Sektor Pertanian menjadi sektor basis (unggulan) berikutnya di daerah ini dan sejalan dengan kontribusi sektor ini yang juga terbesar dalam struktur perekonomian Kabupaten Kuantan Singingi selama periode 2001-2005, dimana kontribusi rata-rata sektor ini adalah 61,59 persen pertahun selama kurun waktu tersebut. Walaupun secara perlahan terlihat adanya pergeseran penurunan konstribusi sektor pertanian pada struktur perekonomian Kabupaten Kuantan Singingi. Selanjutnya bila ditinjau dan dianalisis per subsektor PDRB untuk lebih merinci sektor yang menjadi basis ekonomi sebenarnya berada pada subsektor apa, maka diperoleh hasil Sektor Pertanian; Tanaman pangan (1,76), Perkebunan (2.33), Peternakan (1,05). Sektor Pertambangan dan Penggalian; Penggalian (3,36). Dikaitkan dengan prospektif pengembangan KUKM di Kabupaten Kuantan Singingi dan dikaitkan dengan kondisi wilayah maka potensi yang ada di daerah ini menunjukkan bahwa aktifitas yang berkaitan dengan pengelolaan dan 22

Executive Summary

distribusi batubara ke daerah lain yang membutuhkan, serta bidang pertanian berdaya saing untuk dikembangkan guna mendukung aktifitas ekonomi pada sektor basis tersebut. 4.2.9. Sektor Basis (Unggulan) Kabupaten Pelalawan Untuk kabupaten Pelalawan, hasil penghitungan nilai LQ dari data series PDRB perlapangan usaha berdasarkan harga konstan tahun 2000 pada periode tahun 2001 2005; yang menjadi sektor basis (unggulan) didaerah ini adalah Industri Pengolahan, dan Sektor Pertanian. Rata-rata persentase kontribusi masing-masing sektor dalam struktur perekonomian Kabupaten Pelalawan per sektor tahun 2001 2005 menunjukkan bahwa kontribusi sektor yang terbesar yaitu sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan, dan sektor penyumbang rata-rata terkecil adalah sektor Pertambangan dan Penggalian. Berdasarkan analisis angka LQ untuk Industri Pengolahan yang merupakan sektor basis didaerah ini berkaitan secara langsung dengan sektor pertanian (khususnya perkebunan dan kehutanan) yang juga mempunyai kontribusi terbesar dalam struktur perekonomian Kabupaten Pelalawan selama periode 2001-2005 yakni berkonstribusi sebesar 58,59 persen pertahun selama kurun waktu tersebut. Namun bila kedua sektor ini dibandingkan antara satu dengan lainnya, akan terlihat bahwa selama 5 (lima) tahun terakhir sektor pertanian secara perlahan mengalami penurunan, sedangkan sektor industri pengolahan terus memberikan pertumbuhan yang positif selama periode ini. Selanjutnya bila ditinjau dan dianalisis per subsektor PDRB untuk lebih merinci sektor yang menjadi basis ekonomi sebenarnya berada pada subsektor apa, maka diperoleh hasil Sektor Pertanian; Kehutanan (2,53). Sektor Industri Pengolahan; Industri Pengolahan (non migas) (1,64). Ditinjau dari aktifitas ekonomi di Kabupaten Pelalawan, memang keberadaan industri pengolahan di daerah ini menjadi penggerak aktifitas ekonomi lainnya. Keberadaan industri kertas di Kabupaten Pelalawan mampu mengerakkan perekonomian masyarakat secara signifikan. 4.2.10. Sektor Basis (Unggulan) Kabupaten Siak Untuk kabupaten Siak, hasil penghitungan nilai LQ dari data series PDRB perlapangan usaha berdasarkan harga konstan tahun 2000 untuk periode waktu tahun 2001 2005; yang menjadi sektor basis (unggulan) didaerah ini adalah industri pengolahan. Rata-rata persentase kontribusi masing-masing sektor dalam struktur perekonomian Kabupaten Siak per sektor tahun 2001 2005 diperoleh rata-rata persentase kontribusi sektor yang terbesar yaitu sektor industri pengolahan, dan sektor penyumbang rata-rata terkecil adalah sektor listrik, gas dan air bersih. 23

Executive Summary

Angka LQ untuk Industri Pengolahan yang merupakan sektor basis (unggulan) dan menjadi sektor yang potensial didaerah ini juga mempunyai kontribusi terbesar dalam struktur perekonomian Kabupaten Siak selama periode 2001-2005, dimana kontribusi rata-rata sektor ini adalah 52,24 persen pertahun selama kurun waktu tersebut. Ditinjau dari aktifitas ekonomi di Kabupaten Siak, memang keberadaan industri pengolahan di daerah ini menjadi penggerak aktifitas ekonomi lainnya. Adapun komoditi ekspor terbesar Kabupaten Siak yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun adalah kelompok komoditi kertas dan barang dari kertas, selanjutnya kelompok komoditi bahan kertas dan kelompok komoditi kayu lapis. Jelas dari komoditi yang menjadi andalan di daerah ini, maka pengembangan aktifitas ekonomi diarahkan pada yang mendukung sektor ekonomi basis (unggulan). 4.2.11. Sektor Basis (Unggulan) Kota Dumai Hasil penghitungan nilai LQ Kota Dumai menunjukkan bahwa sektor potensial didaerah ini adalah yang berkaitan dengan aktifitas jasa dan perdagangan. Lebih jelas, beberapa sektor potensial yang merupakan basis (unggulan) ekonomi daerah ini adalah sektor pengangkutan dan komunikasi; sektor bangunan; sektor Listrik, Gas dan Air Bersih; Perdagangan, Hotel dan Restoran; Jasa-jasa; Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan. Selanjutnya berdasarkan analisis terhadap sektor dalam struktur perekonomian yang ada pada PDRB Kota Dumai, maka sektor yang menonjol peranannya secara berurut berdasarkan hasil analisis LQ adalah Sektor Angkutan dan Komunikasi, Sektor Bangunan, Sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih, Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran, Sektor Jasa-Jasa, dan Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan. Dalam struktur perekonomian Kota Dumai, peranan sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran memang paling besar dan ternyata sektor ini juga menjadi sektor basis (unggulan) didaerah ini. Walaupun di Kota Dumai telah berkembang industri pengolahan ternyata peran sektor ini belum memberikan konstribusi yang besar terhadap struktur ekonomi kota Dumai maupun terhadap potensinya. Bila ditinjau dan dianalisis per subsektor PDRB untuk lebih merinci sektor yang menjadi basis ekonomi sebenarnya berada pada subsektor apa, maka diperoleh hasil Sektor Listrik, Gas dan air bersih; Listrik (2,19), Air Bersih (1,10), Sektor Bangunan (2,79). Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran; Perdagangan besar dan eceran (1,76), Hotel (1,89). Sektor Pengangkutan dan Komunikasi; Angkutan Jalan Raya (1,13), Angkutan Laut (16,88), Jasa penunjang angkutan (3,49), Pos dan telekomunikasi (1,51). Sektor Keuangan, persewaaan dan jasa perusahaan; Lembaga Keuangan Non Bank (1,48), Sewa bangunan (1,24), Jasa perusahaan (1,57). Sektor Jasa Jasa; Adm Pemerintahan dan Pertahanan (1,19), Sosial Kemasyarakatan (1,18), 24

Executive Summary

Hiburan dan Rekreasi (1,55), Perorangan dan Rumah Tangga (1,60). Dikaitkan dengan prospektif pengembangan ekonomi masyarakat di Kota Dumai, maka potensi yang ada di daerah ini menunjukkan bahwa aktifitas yang berdaya saing untuk dikembangkan adalah yang secara langsung berhubungan dengan sektor basis (unggulan) daerah terutama yang berkaitan dengan perdagangan dan jasa. Namun seperti halnya kota Pekanbaru dimana Dumai menjadi salah satu pusat perdagangan dan jasa dan seiring dengan berkembangnya perkebunan (terutama sawit) di Kota Dumai dan sekitarnya, maka hal ini juga membuka peluang bagi usaha dibidang pertanian.

25

Executive Summary

Secara nasional, peringkat nilai realisasi investasi Provinsi Riau sangat menggembirakan. Untuk nilai realisasi investasi PMDN pada tahun 2005 Provinsi Riau menempati urutan pertama nasional, nilai realisasi investasinya jauh di atas Jawa Timur, Banten, Jawa Barat dan DKI Jakarta, meskipun dengan jumlah proyek yang lebih sedikit. Pada tahun 2005 nilai realisasi investai PMDN di Provinsi Riau mencapai Rp 10.230, 8 milyar dengan total proyek 15 buah. Nilai tersebut jauh di atas Jawa Timur yang hanya bernilai Rp 4.056,9 milyar dengan 25 proyek, maupun dengan Banten yang mencapai Rp 3.833,2 milyar dengan jumlah proyek 24. Hal itu berarti bahwa walaupun dari sisi jumlah proyek Provinsi Riau relatif kalah dibandingkan dengan provinsi lainnya, namun dalam nilai realisasi investasinya jauh di atas provinsi lainnya, bahkan boleh dikatakan lebih dari dua kali lipat provinsi lain. Sehingga dapat dikatakan bahwa Provinsi Riau merupakan daerah yang sangat merangsang dan menggairahkan bagi para investor untuk menanamkan modalnya dalam jumlah yang sangat besar. Untuk peringkat nilai realisasi investasi PMA (izin Usaha Tetap) pada tahun 2005, Provinsi Riau berada pada posisi 3 besar secara nasional. Nilai realisasi investasi PMA Provinsi Riau pada tahun 2005 mencapai 795,8 juta US$ dengan jumlah proyek 8 buah. Nilai tersebut memang masih di bawah Jawa Barat yang mencapai 2.567,3 juta US$, yang menempati urutan kedua nasional. Nilai realisasi investasi PMA di Jawa Barat tersebut tentu didukung jumlah proyek yang cukup banyak yaitu 210. Demikian juga dengan DKI Jakarta yang nilai realisasi investasinya mencapai 3.272,4 juta US$ menempati urutan pertama nasional. Nilai tersebut didukung oleh banyaknya proyek PMA di DKI Jakarta yang mencapai 366 buah. Pada tahun 2006, perkembangan investasi di Provinsi Riau jika dibandingkan dengan daerah lain relatif masih lebih stabil, baik untuk PMDN maupun PMA. Pada tahun ini memang muncul daerahdaerah baru seperti Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat yang menempati posisi peringkat pertama dan kedua nasional, namun Riau masih bertahan pada posisi ketiga, turun jika dibandingkan tahun 2005 26

Executive Summary

yang menempati peringkat pertama. Demikian juga halnya dengan peringkat PMA, untuk tahun 2006 peringkat Provinsi Riau justru naik menjadi peringkat kedua jika dibandingkan tahun 2005. Beberapa daerah lain yang masuk ke peringkat lima besar adalah Kalimantan Selatan dan Sumatera Utara. Sedangkan dari realisasi investasi PMDN pada tahun 2006, Provinsi Riau juga masih masuk dalam kategori lima besar, dengan menduduki posisi keempat dengan jumlah proyek yang terealisasi sebanyak 10 buah, dengan nilai investasi mencapai Rp 2.500,9 milyar. Angka ini hanya dibawah Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta. Sementara itu peringkat realiasai PMA pada tahun 2006, posisi Provinsi Riau justru berada pada peringkat ketiga, hanya kalah dibandingkan Jawa Barat dan DKI Jakarta, menggungguli Banten dan Kalimantan Timur. Sedangkan jumlah proyek yang terealisasi mencapai 9 proyek dengan nilai 585,4 juta USD. 5.1. Perkembangan Investasi Tahunan Jika dilihat perkembangan investasi di Provinsi Riau dari tahun ke tahun dapat diketahui bahwa baik dari jumlah persetujuan maupun nilai realisasi dari tahun ke tahun selalu mengalami fluktuasi. Untuk investai PMDN bahkan cenderung menurun dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2003, baru sejak tahun 2004 nilainya kembali naik. Persetujuan investasi PMDN di Provinsi Riau dari tahun 2001 sampai tahun 2003 terlihat menurun. Jika pada tahun 2001 nilai persetujuan investai PMDN mencapai Rp5.302 milyar rupiah, pada tahun 2002 turun menjadi Rp1.606,1 milyar. Tahun 2003 persetujuan PMDN di Provinsi Riau hanya Rp1.695,1 milyar. Dan pada tahun 2004 persetujuan PMDN kembali naik menjadi Rp3.469,4 milyar, namun angka tersebut belum melampaui nilai pada tahun 2001. Demikian juga persetujuan PMDN pada tahun 2005 baru mencapai Rp4.579,5 milyar. Barulah pada tahun 2006 persetujuan PMDN di Provinsi Riau mencapai Rp20.898,2 milyar. Sedangkan nilai realisasi investasi PMDN pada periode 2001-2006 juga cenderung tidak stabil. Jika pada tahun 2001 nilai realisasi PMDN berjumlah Rp387,1 milyar yang menyerap 1.713 orang tenaga kerja. Pada tahun 2002 tercatat tidak ada realisasi. Kemudian pada tahun 2003 tercatat hanya ada realisasi PMDN sebesar Rp160,9 milyar yang menyerap 584 tenaga kerja, angka ini masih di bawah prestasi tahun 2001. Pada tahun 2004 malah terjadi penurunan nilai realiasasi PMDN karena hanya ada realisasi Rp86,1 milyar yang menyerap 703 orang tenaga kerja. Namun nilai realisasi PMDN naik menjadi sangat tinggi pada tahun 2005 yang mencapai Rp10.230,8 milyar yang menyerap 22.795 tenaga kerja. Pada tahun 2006 tercatat nilai realisasi PMDN mencapai Rp2.500 milyar yang menyerap tenaga kerja sebanyak 13.486 orang. Sementara itu perkembangan persetujuan dan realisasi PMA di Provinsi Riau sejak tahun 2001 sampai tahun 2006 juga sangat fluktuatif. 27

Executive Summary

Jika pada tahun 2001 persetujuan investasi mencapai 1,070.7 juta US$ dengan jumlah proyek sebanyak 15 buah, maka pada tahun 2002 turun menjadi 34,2 juta US$ dengan jumlah proyek hanya 7 buah. Dan pada tahun 2003 kembali naik menjadi 1,032.4 juta US$, namun angka tersebut masih dibawah nilai tahun 2001. Pada tahun 2004 kembali turun menjadi 214,9 juta US$. Demikian juga pada tahun 2005 kembali turun menjadi 179,7 juta US$. Dan pada tahun 2006 naik kembali menjadi 1,788,5 juta US$ dengan jumlah proyek yang disetujui sebanyak 30 buah. Sedangkan nilai realisasi investasi PMA sejak 2001-2006 juga selalu berfluktuatif, demikian juga dengan tenaga kerja yang diserapnya. Jika pada tahun 2001 nilai realisasi PMA mencapai 197.60 juta US$ yang mampu menyerap 211 tenaga kerja, maka pada tahun 2002 turun menjadi 1.6 juta US$ yang hanya menyerap tenaga kerja sebanyak 131 orang. Dan pada tahun 2003 kembali sedikit mengalami kenaikan menjadi 80,2 juta US$ yang mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 6.264 orang. Pada tahun 2004 nilai realisasi investasi PMA di Provinsi Riau mengalami kenaikan yang cukup tajam menjadi 514,3 juta US$ yang menyerap tenaga kerja sebanyak 4.900 orang. Kenaikan tertinggi terjadi pada tahun 2005 dengan nilai realisasi investasi PMA mencapai 795.8 juta US$ yang menyerap tenaga kerja sebanyak 2.831 orang. Pada tahun 2006 nilai realisasi investasi mencapai 314.6 juta US$ yang menyerap tenaga kerja sebanyak 12.793 orang. 5.2. Perkembangan Ekspor-Impor Non Migas Provinsi Riau Salah satu indikator ekonomi yang berkaitan dengan iklim dan perkembangan investasi suatu daerah adalah kondisi ekspor dan impor daerah tersebut. Laju pertumbuhan ekspor impor daerah menggambarkan kemampuan perekonomian suatu daerah sebagai refleksi perkembangan investasi yang ada di daerah tersebut. Secara umum perkembangan ekspor non migas Provinsi Riau selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, walaupun tidak semua komoditi mengalami peningkatan, ada komoditi yang mengalami peningkatan sangat tajam, namun sebaliknya ada pula komoditi yang pertumbuhan ekspornya minus. Perdangangan luar negeri Provinsi pada tahun 2006 meningkat dibandingkan dengan tahun 2005. Nilai ekspor non migas Provinsi Riau pada tahun 2006 berjumlah US$ 4.496 juta, meningkat sebesar US$ 1.352 juta atau tumbuh rata-rata 43 persen dibandingkan dengan tahun 2005 yang mencapai US$ 3.144 juta . Sedangkan nilai impor non migas Provinsi Riau pada tahun 2006 berjumlah US $ 558 juta, meningkat US$ 175 juta atau tumbuh rata-rata sebesar 45,69 persen dibandingkan tahun 2005 yang mencapai US $ 383 juta. Berdasarkan jumlah nilai ekspor dan impor tersebut berarti masih terjadi surplus perdagangan luar negeri Provinsi Riau. Peningkatan ekspor non migas Provinsi Riau tersebut didukung oleh beberapa komoditas yang memang menjadi unggulan ekspor di Provinsi Riau. Beberapa komoditas unggulan ekspor Provinsi Riau 28

Executive Summary

tersebut antara laian; minyak dan lemak nabati, pulp dan kertas, kertas, kertas karton dan olahannya; olahan minyak dan lemak nabati dan hewani, serta batubara, kokas dan briket batubara. Peningkatan ekspor non migas Provinsi Riau pada perbandingan antara tahun 2005 dan tahun 2006 tersebut menunjukkan peningkatan ekspor pada beberapa komoditas unggulan seperti minyak dan lemak nabati; kertas, kertas karton dan olahannya; serta buah dan sayuran. Apabila dilihat berdasarkan kelompoknya terdapat 3 (tiga) kelompok komoditi utama (primadona) yang memberikan kontribusi (pangsa pasar) yang signifikan dalam menopang kinerja ekspor non migas Provinsi Riau yaitu kelompok minyak dan lemak nabati yang menguasai 58,79 persen ekspor non migas Provinsi Riau. Selanjutnya adalah kelompok komoditi kertas, kertas karton dan olahannya yang menguasai 3,59 persen pangsa pasar ekspor Riau. Kemudian kelompok komoditi pulp dan kertas yang menguasai 18,94 persen pangsa pasar ekspor Riau. Terdapat dua kelompok komoditi yang mengalami pertumbuhan sangat fantastis pada tahun 2006, yaitu kelompok batubara, kokas dan briket yang mencatat pertumbuhan 321,59 persen dan kelompok kertas, kertas karton dan olahannya yang mengalami pertumbuhan 39,00 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sementara itu ekspor kelompok komoditi pulp dan kertas hanya mengalami kenaikan sebesar 19,46 persen dengan nilai US $ 851,60 juta. Sedangkan ekspor kelompok komoditi minyak dan lemak nabati tumbuh 58,15 persen. Jika dilihat berdasarkan komoditi unggulan, maka ekspor kelompok minyak dan lemak nabati mencatat nilai terbesar dengan jumlah US $ 2.643,34 juta. Komoditi ini merupakan ekspor terbesar Provinsi Riau, hal ini mengindikasikan masih tingginya permintaan dunia terhadap minyak dan lemak nabati yang terdiri dari minyak sawit (crude & refined), minyak inti sawit (crude & refined), dan minyak kelapa (crude & refined). Sementara itu ekspor kelompok buah dan sayuran masih tetap didominasi oleh ekspor kelapa dan nenas. Jumlah ekspor kelapa dan nenas tercatat US $ 52,44 juta atau menguasai 93,00 persen kelompok ini. Sedangkan secara keseluruhan nilai ekspor kelompok buah dan saturan menguasai 1,25 persen pangsa ekspor Riau dengan nilai 56,39 persen. Berdasarkan negara pembeli komoditi ekspor non migas Provinsi Riau antara tahun 2005 dan 2006 masih didominasi negara-negara Asia. Kelompok negara-negara Asia tersebut adalah Singapura, RRC, Hongkong, Malaysia, India dan Taiwn. Impor non migas Provinsi Riau pada tahun 2006 mengalami peningkatan jika dibandingkan pada tahun 2005, yaitu dari USD 383,21 juta menjadi USD 558,24 juta atau meningkat 45,67 persen. Hal ini terutama didorong oleh meningkatnya impor pulp dan kertas bekas. Perkembangan lain yang menarik dicermati adalah meningkatnya impor mesin pembangkit tenaga dan perlengkapannya. Perawatan pembangkit29

Executive Summary

pembangkit listrik tenaga diesel yang dimiliki PT. PLN Wilayah Riau diperkirakan menjadi pendorong utama meningkatnya impor tersebut. Kegiatan impor non migas pada tahun 2006 menunjukkan bahwa komoditas utama yang diimpor adalah barang-barang modal dan bahan baku/bahan penolong yang semakin meningkat sehingga akan mendorong kinerja ekspor pada tahun-tahun mendatang. Sedangkan negara asal barang impor utama adalah Singapura, Hongkong, Malaysia, Amerika Serikat, RRC dan Australia. Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, Singapura masih merupakan negara asal barang impor terbesar yaitu sebesar USD 198,95 juta dengan penguasaan pasar sebesar 35,64 persen. 5.3. Peringkat Penanaman Modal Kabupaten/Kota di Provinsi Riau Data tentang peringkat penanaman modal Kabupaten/Kota di Provinsi Riau berdasarkan data sekunder investasi yang ada dimana peringkat penanaman modal yang dimaksud terbagi dua, yaitu berdasarkan persetujuan dan berdasarkan nilai realisasi, baik untuk PMDN maupun PMA. Maka berdasarkan surat persetujuan penanaman modal, total investasi PMDN sejak tahun 2003 sampai dengan tahun 2006, yang terbesar adalah di Kota Pekanbaru dengan nilai Rp12,289.9 milyar. Peringkat kedua ditempati Kabupaten Siak dengan total investasi PMDN mencapai Rp8,107,0 milyar. Posisi ketiga ditempati Kabupaten Pelalawan dengan total investasi mencapai Rp4,231.8 milyar. Sedangkan posisi terakhir adalah Kabupaten Rokan Hilir, dimana dalam periode 2003-2006 belum ada sama sekali persetujuan investasi PMDN di kabupaten tersebut. Sedangkan jika dilihat berdasarkan surat persetujuan investasi untuk Penanaman Modal Asing (PMA), dalam periode tahun 2003 sampai dengan tahun 2006 tersebut, maka peringkat pertama ditempati oleh Kabupaten Pelalawan dengan nilai investasi mencapai 1,372.2 juta USD. Pada posisi kedua ditempati oleh Kota Dumai dengan nilai investasi mencapai 600.9 juta USD. Sementara itu Kabupaten Kampar menempati urutan ketiga dengan surat persetujuan PMA mencapai 865.6 juta USD. Pada posisi keempat adalah Kabupaten Bengkalis dengan nilai investasi mencapai 200.4 juta USD. Sedangkan Kota Pekanbaru yang menempati urutan pertama pada persetujuan PMDN, pada persetujuan PMA ibukota Provinsi Riau tersebut hanya menempati urutan kelima dengan nilai investasi mencapai 78.3 juta USD. Sedangkan urutan terakhir ditempati Kabupaten Indragiri Hilir dengan nilai investasi PMA 7.1 juta USD. Meskipun Kota Pekanbaru unggul dalam jumlah nilai persetujuan investasi PMDN, tetapu untuk realisasi investasi (Izin Usaha Tetap) PMDN, peringkat pertama ditempati Kabupaten Kampar dengan nilai mencapai Rp9,896.5 milyar. Posisi kedua ditempati Kabupaten Siak dengan nilai investasi mencapai Rp890.3 milyar. Pada posisi ketiga barulah ditempat Kota Pekanbaru dengan nilai investasi mencapai 30

Executive Summary

Rp750.4 milyar. Untuk Kabupaten Rokan Hilir yang dalam periode tahun 2003 sampai 2006 tidak ada persetujuan investasi PMDN sama sekali, malah terjadi realisasi investasi PMDN sebesar Rp228,0 milyar, sehingga menempatkan Kabupaten Rokan Hilir pada posisi keenam. Pada posisi terakhir ditempati Kabupaten Kuantan Singingi dan Kabupaten Bengkalis yang sama sekali tidak ada realisasi investasi PMDN di kabupaten tersebut pada periode 2003-2006. Padahal sebenarnya di kedua kabupaten itu terdapat persetujuan investasi yang sudah diberikan dalam periode tersebut. Hanya saja belum ada realisasi investasinya, baik untuk persetujuan yang diberikan pada periode tersebut maupun untuk persetujuan yang sudah diberikan pada tahun-tahun sebelumnya. Untuk nilai realisasi investasi (Izin Usaha Tetap) PMA, peringkat pertama ditempat Kabupaten Pelalawan dengan nilai investasi mencapai 749.9 juta USD pada periode tahun 2003 sampai tahun 2006. Posisi Kabupaten Pelalawan untuk realisasi investasi PMA tersebut sama dengan peringkat persetujuan investasi PMA dalam periode tahun 2003 sampai tahun 2006. Peringkat kedua ditempati Kabupaten Indragiri Hulu dengan investasi PMA mencapai 748.3 juta USD. Jumlah realisasi PMA dan posisi peringkat tersebut jauh melejit dari posisi persetujuan investasi yang menempati rangking keenam pada yang pada periode tersebut dengan nilai hanya 44.7 juta USD. Yang menarik adalah apa yang terjadi di Kabupaten Indragiri Hilir. Jika pada persetujuan investasi PMA pada periode tahun 2003 sampai tahun 2006 hanya ada persetujuan investasi PMA dengan nilai 7.1 juta USD, sehingga menempatkan kabupaten tersebut pada peringkat 11, untuk realisasi investasi PMA Kabupaten Indragiri Hilir justru menunjukkan lonjakan yang sangat tajam, baik jumlah realisasi investasi PMA maupun peringkat realisasi PMA pada periode tersebut. Pada periode tersebut terdapat realisasi investasi PMA sebesar 256.3 juta USD di Kabupaten Indragiri Hilir, sehingga untuk peringkat realisasi investasi PMA menempati rangking ketiga di Provinsi Riau. Pada posisi keempat adalah Kabupaten Bengkalis dengan nilai realisasi investasi PMA mencapai 126.5 juta USD pada periode tahun 2003 sampai tahun 2006. Peringkat kelima adalah Kabupaten Kampar dengan nilai realisasi investasi PMA mencapai 27.3 juta USD. Sedangkan Kota Pekanbaru hanya menempati urutan kesembilan untuk nilai realisasi investasi PMA dengan umlah 10.3 juta USD. Peringkat terakhir adalah Kabupaten Rokan Hulu karena pada periode tersebut tidak ada sama sekali realisasi investasi PMA di kabupaten tersebut.

31

Executive Summary

6.1. Peringkat Daya Saing Kabupaten/Kota Berdasarkan Iklim Investasi Selain peringkat daya saing penanaman modal berdasarkan data sekunder investasi yang sudah ada, maka kajian ini juga melakukan pemeringkatan daya saing penanaman modal daerah di Provinsi Riau berdasarkan data primer yang diperoleh melalui pendapat (persepsi) narasumber/responden. Data primer dari narasumber tersebut berupa pendapat, yang menggambarkan iklim investasi di masing-masing daerah dikaitkan dengan indikator-indikator yang sudah ditetapkan. Untuk keseimbangan pendapat, narasumber terdiri dari stakeholder yang selama ini terlibat dalam kegiatan ekonomi dan investasi di masing-masing kabupaten/kota dengan jumlah 30 orang di setiap kabupaten/kota. Secara umum, hasil dari data primer tersebut merupakan iklim investasi yang selama ini ada di daerah (pandangan internal), yang belum melibatkan pandangan pihak luar (eksternal). Pandangan internal tersebut merupakan persepsi masing-masing responden terhadap pertanyaan/pernyataan (indikator) yang diajukan. Jawaban responden sesuai dengan Metode Skala Likert yang dipakai dalam penelitian ini diberi skor nilai antara 1 sampai dengan 5. Sedangkan jawaban responden dibagi ke dalam lima kelompok yaitu; tidak setuju (1), kurang setuju (2), ragu-ragu (3), setuju (4) dan sangat setuju (5). Setelah dilakukan analisis terhadap pendapat/jawaban narasumber/responden dengan metode Skala Likert, maka hasil akhir peringkat daya saing masing-masing kabupaten/kota adalah Kota Pekanbaru dinilai paling kondusif dan prospektif dalam daya saing penanaman modal dengan total skor penilaian 263 poin, sehingga menempati urutan pertama. Kota Pekanbaru mempunyai prospek investasi yang baik terutama di sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor industri pengolahan, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, sektor bangunan dan properti, sektor jasa-jasa dan pariwisata. Sedangkan Kota Dumai menempati urutan kedua dengan skor 259 poin. Untuk Kota Dumai sektor yang mempunyai prospek sangat baik 32

Executive Summary

untuk investasi adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran. Selain itu ada pula sektor jasa-jasa dan juga pariwisata. Kabupaten Kampar menempati peringkat ketiga dengan 256 poin. Kabupaten Kampar sangat prospektif untuk investasi di sektor pertanian (perkebunan, perikanan dan peternakan), sektor industri pengolahan dan kawasan industri. Kabupaten Pelalawan menempati urutan selanjutnya dengan skor 249 poin. Untuk Kabupaten Pelalawan, sektor yang prospektif adalah sektor perkebunan, perikanan, dan juga industri pengolahan. Kabupaten Indragiri Hulu menduduki peringkat lima dengan skor 238 poin. Di Kabupaten Indragiri Hulu sangat prospektif untuk investasi di sektor pertanian (perkebunan, perikanan dan peternakan), sektor industri pengolahan, dan juga sektor pertambangan non migas (penggalian), khususnya batu bara. Selanjutnya Kabupaten Indragiri Hilir menempati peringkat keenam dengan skor 223 poin. Kabupaten Siak menempati urutan ketujuh dengan skor 237 poin. Selain potensial untuk investasi di sektor pertanian (perkebunan, perikanan dan peternakan), Kabupaten Siak juga potensial untuk investasi di industri pengolahan dan pariwisata. Berikutnya adalah Kabupaten Bengkalis menduduki peringkat kedelapan dengan skor 211 poin. Kemudian Kabupaten Rokan Hulu yang menempati peringkat kesembilan dengan skor 204 poin. Kabupaten Kuantan Singingi berada pada peringkat sepuluh dengan skor 197 poin. Dan Kabupaten Rokan Hilir menempati urutan terakhir (kesebelas) dengan skor 187 poin. 6.2. Analisis Daya Saing Kabupaten/Kota Berdasarkan Masing-masing Indikator Sedangkan keunggulan masing-masing kabupaten/kota jika dilihat berdasarkan indikator-indikator utama yang dipakai terlihat bahwa berdasarkan indikator keterbukaan sistem ekonomi, daerah yang mempunyai skor tertinggi adalah Kabupaten Kampar, Kabupaten Pelalawan dan Rokan Hilir masing-masing 19 poin. Sementara itu yang mempunyai skor terendah Kabupaten Indragiri Hulu dengan skor 16 poin. Berdasarkan indikator Sistem Keuangan, daerah yang mempunyai skor tertinggi adalah Kabupaten Kampar, Inhu dan Kota Pekanbaru, masing-masing mempunyai skor 22 poin. Sementara itu yang mempunyai skor terendah adalah Kabupaten Rokan Hulu dengan skor 18 poin. Berdasarkan indikator Infrastruktur dan SDA, daerah yang mempunyai skor tertinggi adalah Inhu dan Kota Pekanbaru. Sementara itu yang mempunyai skor terendah adalah Kabupaten Rokan Hilir. Sedangkan berdasarkan indikator Iptek, daerah yang mempunyai skor tertinggi adalah Kota Dumai dan Kota Pekanbaru. Sementara itu yang mempunyai skor terendah adalah Kabupaten Rokan Hilir dan Kuantan Singingi. Indikator sumber daya manusia, daerah yang mempunyai skor tertinggi adalah Kota Pekanbaru dan Kabupaten Kampar yang masing33

Executive Summary

masing mempunyai skor 20 poin. Sementara itu yang mempunyai skor terendah adalah Kabupaten Kuantan Singingi. Selanjutnya melalui indikator kelembagaan, daerah yang mempunyai skor tertinggi adalah Kota Pekanbaru. Sementara itu yang mempunyai skor terendah adalah Kabupaten Kuantan Singingi. Berdasarkan indikator Governance dan Kebijakan Pemerintah, daerah yang mempunyai skor tertinggi adalah Kota Pekanbaru, Kota Dumai dan Kabupaten Kampar yang masingmasing mempunyai skor 94. Sementara itu yang mempunyai skor terendah adalah Kabupaten Rokan Hilir.

34

Executive Summary

Analisis terhadap komoditas/produk/jenis usaha (KPJu) unggulan berkaitan dengan pengembangan penanaman modal di daerah diuraikan untuk 11 kabupaten/kota di Provinsi Riau yang menjadi lokasi penelitian ini. Seperti yang telah diuraikan pada bagian metodologi, penetapan pengembangan komoditi unggulan dilakukan dengan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) untuk setiap kabupaten/kota di Riau. Penentuan komoditi unggulan ditentukan dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya, dan penentuan kriteria tersebut dilandasi oleh tujuan yang ingin dicapai dalam pengembangan investasi berdasarkan potensi ekonomi yang ada. Untuk memperoleh keseragaman dan konsistensi dalam proses penetapan komoditi unggulan, maka setiap kriteria yang digunakan pada semua kabupaten/kota adalah sama. Hasil penilaian oleh narasumber dijadikan input analisis dengan menggunakan MPE untuk memperoleh nilai skor terbobot berdasarkan kriteria komoditi unggulan. Narasumber untuk metode ini adalah dinas/instansi terkait dan pelaku usaha di masing-masing kabupaten/kota. 7.1. Analisis Komoditas Unggulan Investasi Kota Pekanbaru Berdasarkan analisis sebelumnya yang menunjukkan bahwa sektor yang mempunyai daya saing tinggi di Kota Pekanbaru adalah sektor listrik, gas, dan air minum, sektor bangunan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, serta sektor jasa-jasa, maka selanjutnya dilakukan identifikasi dan penentuan komoditi/produk/jenis usaha unggulan berdasarkan pendapat responden/nara sumber yang selanjutnya dihitung berdasarkan kriteria yang telah ditentukan untuk menentukan rangkingnya dengan menggunakan analisis MPE. Dalam kaitannya dengan upaya pengembangan investasi di Kota Pekanbaru, maka sektor yang direkomendasikan untuk dikembangkan adalah sesuai dengan sektor unggulan berdasarkan nilai LQ-nya, yaitu sektor listrik, gas, dan air minum, sektor bangunan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor 35

Executive Summary

keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, serta sektor jasa-jasa. Melalui analisis MPE dapat diketahui bahwa komoditi unggulan/jenis usaha unggulan untuk investasi pada sektor listrik, gas dan air bersih adalah pembangkit tenaga listrik yang memang masih sangat dibutuhkan masyarakat Pekanbaru, terutama investasi pembangkit tenaga uap/gas. Untuk sektor bangunan, maka investasi yang paling prospektif di Kota Pekanbaru adalah investasi di bidang pembangunan perumahan, ruko/perkantoran, pertamanan/dekorasi interior/eksterior, serta pilar dan pondasi. Sedangkan untuk sektor perdagangan, hotel dan restoran di kota Pekanbaru adalah rumah makan/restoran/kedai kopi/usaha makanan/minuman (780), waserda/minimarket/supermarker/swalayan (779), perdagangan bahan bangunan (710), perdagangan pakaian, tekstil, sepatu, perlengkapan orang/pribadi (709), perdagangan perabot, alat rumah tangga, elektronika (708), perdagangan hasil pertanian, periklanan, peternakan, perkebunan (671), perdagangan ATK/barang cetakan, buku (302), perdagangan buah-buahan (295), perdagangan saprodi/saprotan/pupuk/alat pertanian (294) dan lain-lain. Sektor selanjutnya yang mempunyai daya saing tinggi di Kota Pekanbaru adalah sektor transportasi dan komunikasi. Sedangkan komoditi/jenis usaha yang menjadi unggulan antara lain angkutan barang (780), oplet (769), AKDP/suburban (764), taksi (349), bus kota (339), travel/angkutan khusus (332), AKAP (303. Sektor berikutnya yang mempunyai saya saing tinggi di Kota Pekanbaru adalah sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Sedangkan komoditi/jenis usaha yang menjadi unggulan adalah BPR/BMT/Perbankan (780), koperasi/usaha simpan pinjam (710), pembiayaan konsumen (709), warnet/wartel/rental komputer (339), penyewaan alat transportasi (302), penyewaan alat pesta/event organizer (301), penyewaan alat berat (120), jasa pertanian/perkebunan (108), jasa kebersihan gedung/bangunan/cleaning servis (107), dan penyewaan alat pertanian/perkebunan (101). Sektor selanjutnya yang juga mempunyai daya saing tinggi di Kota Pekanbaru adalah sektor jasa-jasa. Dan komoditi/jenis usaha yang menjadi unggulannnya adalah jasa bengkel mobil (771), jasa bengkel sepeda motor (770), percetakan/fotocopy (341), jasa reklame/advertising/sablon (340), jasa penjahit/konveksi (339), dan jasa kesehatan/poliklinik (338). Beberapa sektor lainnya di Kota Pekanbaru berdasarkan analisis LQ tidak termasuk ke dalam sektor yang mempunyai daya saing tinggi, seperti sektor industri pengolahan dan sektor pertanian. Akan tetapi dalam kaitannya dengan pengembangan investasi, sektor-sektor tersebut layak mendapat perhatian. Untuk sektor industri pengolahan, misalnya, ada beberapa komoditi/produk yang menjadi unggulan investasi di Kota Pekanbaru. Beberapa komoditi/produk tersebut adalah industri roti/kue kering/makanan ringan seperti kue bangkit dll (780), industri kue/makanan basah/tradisional/bolu kemojo dll (779), industri 36

Executive Summary

lempuk/dodol durian (340), industri batubata/paving blok (339), industri terali/canopy/pagar berbahan logam/seng/besi dll (333), industri perabot/mebel dari kayu/rotan (332), industri kripik/krupuk/peyek (331), industri tenun/songket/sulam/bordir (119), industri tahu/tempe/kecap/saos tomat/cabe (114), dan industri kerajinan/ukiran/souvenir. Selanjutnya sub sektor perikanan, komoditi/jenis usaha yang menjadi unggulan antara lain budidaya dalam kolam tanah (764), budidaya dalam kolam plastik (665), pembibitan ikan (663), budidaya dalam karamba (645), pembibitan/budidaya ikan hias (640), dan penangkapan ikan di perairan umum (270). Kemudian untuk sektor tanaman (pangan, buah-buah dan sayur-sayuran), komoditi/jenis usaha yang menjadi unggulan di Kota Pekanbaru adalah nenas (780), sayuran berdaun lebar (770), jagung (719), cabe (708), pepaya (410), (349), seman