Danau Tempe

2
1 PENGARUH PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG SEKITAR DANAU TEMPE TERHADAP EUTROFIKASI PERAIRAN (Studi Kasus pemanfaatan ruang di kawasan Danau Tempe Kabupaten Wajo) Sukardi Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas 45 Makassar Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Danau Tempe adalah landmark pariwisata Kabupaten Wajo dan Branding Equator Of Asia yang dinyatakan pada pertemuan tingkat tinggi 4 negara di Asia timur (Brunei, Philipina, Malaysia dan Indonesia) yang tergabung dalam Forum East Asia Growth Area (EAGA) pada tgl 26 Maret 1994 di Dava City Philipina, melalui penandatanganan Agred Minutes. Sebagai tujuan wisata, Danau Tempe menyajikan beragam keunikan alam yang dikelilingi oleh jajaran gunung dan bukit, keunikan budaya komunitas nelayan tradisional dengan rumah terapung dan teknik pemanfaatan Danau Tempe secara tradisional, serta tempat persinggahan sekelompok unggas/pelikan yang melintas dari Australia-Afrika ketika negara tersebut dalam musim gugur. Selain sebagai destinasi tujuan pariwisata danau Tempe, juga memegang peran penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan sebagai laboratorium alam yang tidak pernah habis untuk dikaji secara mendalam. Danau Tempe merupakan salah satu danau terbesar kedua di Pulau Sulawesi yang berpotensi untuk di kembangkan di Propinsi Sulawesi Selatan, terletak pada ketinggian 10 meter di atas permukaan laut dengan luas daerah tangkapan air (catchment area) sekitar seluas 4.587 km2 menjadikan Danau Tempe di urutan ke delapan dari 10 danau terbesar di Indonesia. Danau Tempe dikelilingi oleh 3 kabupaten, yaitu Kabupaten Sidrap, Kabupaten Wajo, dan Kabupaten Soppeng. Danau Tempe menurut Christian Pelras dalam bukunya Manusia Bugis (2006) digambarkan sebagai poros dua jalur pelayaran strategis di Sulawesi Selatan, yaitu jalur yang menghubungkan Selat Makassar dengan Teluk Bone serta jalur Teluk Bone hingga hulu Sungai Walanae. Jalur pelayaran dari Selat Makassar melalui Parepare, Danau Sidenreng, Danau Tempe, melalui Sungai Cenranae akan sampai di Teluk Bone. Sedangkan jalur kedua yaitu dari Teluk Bone melalui Sungai Cenranae akan sampai hulu Sungai Walanae yang berada di daerah pegunungan Soppeng,Bone, dan Maros. Merujuk dari hal tersebut diatas, tempat-tempat yang kini sudah berubah menjadi danau, rawa, pesawahan, perkampungan, atau sudah berubah menjadi perkotaan, semula kawasan sepanjang 120 km itu merupakan jalur pelayaran. Bila diurut dari arah tenggara sampai barat laut di Selat Makassar, dimulai dari Teluk Bone, Bone, Tokaseng, Cenrana, Uleo, Watangtimurung, Barrere, Sailong, Tella, Paria, Pompana, Maroangin, Taparang Penru, Taparang Latamperu, Taparang Palisu, Taparang Alicopenge, Taparang Selako Taparang Lasepang, Sengkang, Danau Tempe, Tancung, Sabangparu, Batubatu, Belawa, Wajo, Danau Sidenreng, Wattangpalu, Amparita, Sidenreng, Billoka, Baranti, Piurang, Teluk Parepare, Soreang, Mattirosompe, Langgo, Selat Makassar. Melalui kawasan inilah Kerajaan-kerajaan yang berada di Teluk Bone dapat berhubungan dengan Kerajaan-kerajaan yang berada di pantai-pantai barat Sulawesi Selatan dan dengan kerajaan-kerajaan di pantai-pantai Kalimantan Timur. Karena proses tektonik, terjadi pengangkatan kulit bumi secara evolutif, ditambah pendangkalan yang berjalan cepat mulai abad ke 14, kawasan yang sangat luas itu mulai menyempit. Pada abad ke-17 sampai abad ke-18, menyisakan empat sub danau, yaitu: Danau Alitta, Danau Sidenreng, Danau Tempe, dan Danau Lapong pakka. Pada tahap ini juga terbentuk beberapa danau kecil lainnya, salah satunya adalah Danau Lampulung. Dua, tiga abad kemudian, Danau Alitta telah menghilang. Danau yang tersisa adalah: Danau Tempe, Danau Sidenreng, Danau Lapongpakka, dan Danau Lampulung. Salah satu upaya adalah penerapan Rencana Umum Tata Ruang Kabupaten/Kota/Wilayah (RUTRK/W) yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah peraturan daerah setempat. Kawasan Sekitar Danau/Waduk merupakan salah satu kawasan yang harus dilindungi melalui Peraturan Daerah dengan tujuan untuk melindungi danau/waduk tersebut dari kegiatan-kegiatan yang dapat mengganggu kelestarian fungsi danau/waduk (Karmisa dkk. 1990). Menurut Keputusan Presiden RI Nomor 32 Tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung, pasal 18 menyatakan bahwa kawasan sekitar danau adalah daratan sepanjang tepi danau/waduk yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik danau/waduk antara 50-100m dari titik pasang tertinggi ke arah darat.

description

eutrofikasi danau

Transcript of Danau Tempe

  • 1

    PENGARUH PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG SEKITAR DANAU TEMPE TERHADAP EUTROFIKASI PERAIRAN

    (Studi Kasus pemanfaatan ruang di kawasan Danau Tempe Kabupaten Wajo)

    Sukardi Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas 45 Makassar

    Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota

    Danau Tempe adalah landmark pariwisata Kabupaten Wajo dan Branding Equator Of

    Asia yang dinyatakan pada pertemuan tingkat tinggi 4 negara di Asia timur (Brunei, Philipina, Malaysia dan Indonesia) yang tergabung dalam Forum East Asia Growth Area (EAGA) pada tgl 26 Maret 1994 di Dava City Philipina, melalui penandatanganan Agred Minutes. Sebagai tujuan wisata, Danau Tempe menyajikan beragam keunikan alam yang dikelilingi oleh jajaran gunung dan bukit, keunikan budaya komunitas nelayan tradisional dengan rumah terapung dan teknik pemanfaatan Danau Tempe secara tradisional, serta tempat persinggahan sekelompok unggas/pelikan yang melintas dari Australia-Afrika ketika negara tersebut dalam musim gugur. Selain sebagai destinasi tujuan pariwisata danau Tempe, juga memegang peran penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan sebagai laboratorium alam yang tidak pernah habis untuk dikaji secara mendalam.

    Danau Tempe merupakan salah satu danau terbesar kedua di Pulau Sulawesi yang berpotensi untuk di kembangkan di Propinsi Sulawesi Selatan, terletak pada ketinggian 10 meter di atas permukaan laut dengan luas daerah tangkapan air (catchment area) sekitar seluas 4.587 km2 menjadikan Danau Tempe di urutan ke delapan dari 10 danau terbesar di Indonesia. Danau Tempe dikelilingi oleh 3 kabupaten, yaitu Kabupaten Sidrap, Kabupaten Wajo, dan Kabupaten Soppeng. Danau Tempe menurut Christian Pelras dalam bukunya Manusia Bugis (2006) digambarkan sebagai poros dua jalur pelayaran strategis di Sulawesi Selatan, yaitu jalur yang menghubungkan Selat Makassar dengan Teluk Bone serta jalur Teluk Bone hingga hulu Sungai Walanae. Jalur pelayaran dari Selat Makassar melalui Parepare, Danau Sidenreng, Danau Tempe, melalui Sungai Cenranae akan sampai di Teluk Bone. Sedangkan jalur kedua yaitu dari Teluk Bone melalui Sungai Cenranae akan sampai hulu Sungai Walanae yang berada di daerah pegunungan Soppeng,Bone, dan Maros.

    Merujuk dari hal tersebut diatas, tempat-tempat yang kini sudah berubah menjadi danau, rawa, pesawahan, perkampungan, atau sudah berubah menjadi perkotaan, semula kawasan sepanjang 120 km itu merupakan jalur pelayaran. Bila diurut dari arah tenggara sampai barat laut di Selat Makassar, dimulai dari Teluk Bone, Bone, Tokaseng, Cenrana, Uleo, Watangtimurung, Barrere, Sailong, Tella, Paria, Pompana, Maroangin, Taparang Penru, Taparang Latamperu, Taparang Palisu, Taparang Alicopenge, Taparang Selako Taparang Lasepang, Sengkang, Danau Tempe, Tancung, Sabangparu, Batubatu, Belawa, Wajo, Danau Sidenreng, Wattangpalu, Amparita, Sidenreng, Billoka, Baranti, Piurang, Teluk Parepare, Soreang, Mattirosompe, Langgo, Selat Makassar. Melalui kawasan inilah Kerajaan-kerajaan yang berada di Teluk Bone dapat berhubungan dengan Kerajaan-kerajaan yang berada di pantai-pantai barat Sulawesi Selatan dan dengan kerajaan-kerajaan di pantai-pantai Kalimantan Timur. Karena proses tektonik, terjadi pengangkatan kulit bumi secara evolutif, ditambah pendangkalan yang berjalan cepat mulai abad ke 14, kawasan yang sangat luas itu mulai menyempit. Pada abad ke-17 sampai abad ke-18, menyisakan empat sub danau, yaitu: Danau Alitta, Danau Sidenreng, Danau Tempe, dan Danau Lapong pakka. Pada tahap ini juga terbentuk beberapa danau kecil lainnya, salah satunya adalah Danau Lampulung. Dua, tiga abad kemudian, Danau Alitta telah menghilang. Danau yang tersisa adalah: Danau Tempe, Danau Sidenreng, Danau Lapongpakka, dan Danau Lampulung.

    Salah satu upaya adalah penerapan Rencana Umum Tata Ruang Kabupaten/Kota/Wilayah (RUTRK/W) yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah peraturan daerah setempat. Kawasan Sekitar Danau/Waduk merupakan salah satu kawasan yang harus dilindungi melalui Peraturan Daerah dengan tujuan untuk melindungi danau/waduk tersebut dari kegiatan-kegiatan yang dapat mengganggu kelestarian fungsi danau/waduk (Karmisa dkk. 1990). Menurut Keputusan Presiden RI Nomor 32 Tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung, pasal 18 menyatakan bahwa kawasan sekitar danau adalah daratan sepanjang tepi danau/waduk yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik danau/waduk antara 50-100m dari titik pasang tertinggi ke arah darat.

  • 2

    Ruang daratan di kawasan Danau Tempe adalah wadah tempat manusia, flora, dan fauna hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidup di sepanjang tepi danau yang mempunyai fungsi sebagai daerah tangkapan air dan sebagai daerah pelindung kestabilan eutrofikasi danau. Keberhasilan pelestarian dan pengelolaan sumberdaya alam akan menjadi kunci untuk terpenuhinya harkat hidup seluruh masyarakat (Sugandhy 1992). Salah satu pendekatan yang berperan besar dalam penggunaan sumberdaya alam adalah tata ruang, yang pada dasarnya merupakan suatu alokasi sumberdaya alam ruang bagi berbagai keperluan pembangunan agar memberi manfaat yang optimal bagi suatu wilayah (Coutrier 1992).

    Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, pasal 14(2), yang dimaksud dengan pola pemanfaatan ruang adalah bentuk hubungan antar berbagai aspek sumberdaya manusia, sumberdaya alam, sumberdaya buatan, sosial budaya, ekonomi, tekhnologi, pertahanan keamanan; fungsi lindung, budidaya, dan estetika lingkungan; dimensi ruang dan waktu yang dalam kesatuan secara utuh menyeluruh serta berkualitas membentuk tata ruang. Menurut Sugandhy (1995), ruang merupakan suatu wujud fisik wilayah dalam dimensi geografis yang dipergunakan sebagai wadah bagi setiap usaha pemenuhan kehidupan manusia baik pemanfaatannya secara horizontal maupun vertikal. Akibat dari perubahan ruang daratan di sekitar Danau tempet yang disebabkan oleh pemanfaatannya secara terus-menerus dan tidak terkendali maka diduga akan berpengaruh pada daya-dukung, fungsi dan keberadaan danau, serta kehidupan penduduk yang bermukim di sekitar danau tersebut. Dalam usaha mengelola dan menata pemanfaatan ruang daratan di kawasan sekitar Danau tempe Kabupaten Wajo berbagai informasi pendukung sangat diperlukan, informasi yang diperlukan adalah mengenai parameter parameter pertumbuhan dan reproduksi Osteochilus hasselti dan Pontius javanicus (Bataragoa dkk. 1990), relung makanan komunitas ikan (Rondo dkk. 1996), tingkatan tropik (Tasirin 1987; Wantasen dkk. 1993). Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan menganalisis perubahan pola pemanfaatan ruang daratan di kawasan sekitar Danau Tempe. Analisis yang ditampilkan bermanfaat antara lain untuk penyediaan informasi mengenai kondisi ruang daratan dan pola perubahan pemanfaatannya di kawasan sekitar danau tersebut, dan sebagai kontribusi bagi ilmu pengetahuan mengenai pola pemanfaatan ruang daratan di kawasan sekitar Danau tempe Kabupaten Wajo.

    Perubahan pemanfaatan ruang disekitar Danau Tempe diduga sangat erat kaitannya dengan Tingginya produktifitas dan kesuburan Danau Tempe, terlihat dari semakin meningkatnya pertumbuhan gulma air pada perairan danau dimana luas penutupannya mencapai 40 %. Hal ini dapat menjadi ancaman karena membantu mempercepat proses pendangkalan Danau Tempe. Tanaman air yang menjadi gulma di danau adalah didominasi oleh eceng gondok, akar tanaman ini dapat mencapai dasar danau dan menjadi perangkap sedimen kemudian mengendapkan di dasar danau.