Daksina Adalah Tapakan Dari Hyang Widhi

21
Daksina adalah tapakan dari Hyang Widhi, dalam berbagai manifestasi-Nya dan juga merupakan perwujudan-Nya. Daksina juga merupakan buah daripada yadnya. Hal ini dapat kita lihat pada berbagai upacara yang besar, di mana kita lihat banyak sekali ada daksina. Kalau kita lihat fungsi daksina yang diberikan kepada yang muput karya (Pedanda atau Pemangku), sepertinya daksina tersebut sebagai ucapan tanda "terima kasih" kepada sekala-niskala. Begitu pula kalau daksina itu kita haturkan kehadapan Hyang Widhi sebagai pelengkap aturan kita dan sembah sujud kita atas semua karunia-Nva. Tempat untuk daksina disebut bedogan atau clekontong. Pada dasar daksina diisi tetampak dari janur sebagai tanda Swastika, yang mempunyai makna semoga baik, juga sebagai dasar dari pengider. Ke atas menuju Ida Sang Hyang Widhi dan ke samping menuju arah kehidupan alam sekitar, tetampak dibubuhi beras sejumput. Di atas beras diletakkan sebutir kelapa yang telah dikupas halus tempurungnya, dihilangkan sabutnya.

Transcript of Daksina Adalah Tapakan Dari Hyang Widhi

Page 1: Daksina Adalah Tapakan Dari Hyang Widhi

Daksina adalah tapakan dari Hyang Widhi, dalam berbagai manifestasi-Nya dan juga merupakan perwujudan-Nya. Daksina juga merupakan buah daripada yadnya. Hal ini dapat kita lihat pada berbagai upacara yang besar, di mana kita lihat banyak sekali ada daksina. Kalau kita lihat fungsi daksina yang diberikan kepada yang muput karya (Pedanda atau Pemangku), sepertinya daksina tersebut sebagai ucapan tanda "terima kasih" kepada sekala-niskala. Begitu pula kalau daksina itu kita haturkan kehadapan Hyang Widhi sebagai pelengkap aturan kita dan sembah sujud kita atas semua karunia-Nva.

Tempat untuk daksina disebut bedogan atau clekontong. Pada dasar daksina diisi tetampak dari janur sebagai tanda Swastika, yang mempunyai makna semoga baik, juga sebagai dasar dari pengider. Ke atas menuju Ida Sang Hyang Widhi dan ke samping menuju arah kehidupan alam sekitar, tetampak dibubuhi beras sejumput. Di atas beras diletakkan sebutir kelapa yang telah dikupas halus tempurungnya, dihilangkan sabutnya.

Bahan pokok pengisi daksina

1. Pesel-peselan.2. Gegantusan.3. Sebutir telur.4. Satu tampelan.5. Satu kojong lagi diisi irisan pisang mas dan tebu.6. Benang tukelan putih di atas kelapa.

 

Daksina AlitIsinya adalah satu porsi dari masing- masing unsur, banyak sekali dipergunakan, baik sebagai pelengkap banten yang lain, maupun berdiri sendiri sebagai banten tunggal.

 

Daksina Pekala-kalaanIsi daksina dilipatkan dua kali dengan ditambah dua tingkih dan dua pangi. Digunakan pada waktu ada perkawinan dan untuk upacara bayi / membuat peminyak-penyepihan.

Page 2: Daksina Adalah Tapakan Dari Hyang Widhi

 

Daksina KrepaDaksina yang isinya dilipatkan tiga kali. Kegunaannya lebih jarang, kecuali ada penebusan oton / menurut petunjuk rohaniwan atau sesuai petunjuk lontar khusus misalnya guna penebusan oton atau mebaya oton.

Daksina Gede atau Daksina Galakan atau Pemopog

Isinya dilipatkan 5 (lima) kali, juga dilengkapi dengan tetandingan-tetandingan yang lain yaitu:Dasar tempat daksina sebuah sok yang berisi srobong dan pada dasarnya diberi tetampak taledan bundar. Masukkan :

5 x coblong beras 5 butir kelapa yang di atasnya berisi

benang putih tukelan kecil

5 kojong tampelan letakkan berkeliling

5 kojong pesel-peselan

5 kojong gegantusan

5 kojong tebu

5 kojong pisang

1 cepér berisi 5 buah pangi

5 buah kemiri (tingkih)

1 cepér berisi 5 butir telur bébékSampiyannya : basé ambungan (kekojong dari janur berisi basé lembaran dan sampiyan sreyok - lihat gambar sebelah)

   

MAKNA SIMBOLIK DAKSINAPosted by Ni Made Wiratini, S.ag on 2006-10-12 [ print artikel ini | beritahu teman | dilihat 1644 kali ]

DAKSINA adalah salah satu jenis sarana upacara yang dibuat dengan daun kelapa sehingga menyerupai suatu wadah seperti bakul yang dalam bahasa bali di sebut wakul daksina. Dan didalam wakul ini di isi berbagai macam benda yang merupakan perlengkapan dari daksina

Page 3: Daksina Adalah Tapakan Dari Hyang Widhi

tersebut. Jika kita melihat isi dari dasarnya, didalam wakul sebuah daksina selalu dialasi dengan janur yang dirangkai membentuk tanda tambah ( + ) yang disebut dengan Tapak Dara, yang secara berturut-turut diatasnya diisi beras dan kelapa, diatas kelapa diisi dengan kojong yang masing-masing diisi dengan telur, peselan, gantusan, pisang, base tampel tingkih dan pangi, diatas kelapa diisi dengan benang tatebus warna putih. Dan diatasnya ditambahkan dengan canang payasan yang sering juga disebut dengan pasucian/pangresikan. Daksina juga diisi sasari/uang. Daksina secara utuh dalam penggunaannya biasanya dirangkaikan dena jenis upakara yang lain seperti : peras, ajuman dan yang lainnya. Namun daksina juga bisa berdiri sendiri apabila daksina tersebut berfungsi sebagai daksina linggih. Namun biasanya daksina linggih ini ditambahka dengan cili yang bermakna sebagai simbol wajah.

Setiap bahan pelengkap dalam daksina ini mempunyai makna simbolik :

1. Tapak Dara (+) yang berbentuk seperti tanda tambah, merupakan dasar dari lamban agama Hindu yaitu Swastika. Dimana lambang tapak dara ini merupakan simbol dari hubungan yang harmonis secara vertical dan horisontal. Yaitu hubungan yang harmonis antara manusia dengan pencipta/ Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa dan hubungan yang harmonis antara manusia dengan sesama manusia dan alam sekitarnya. Karena dengan terjalinnya hubungan yang harmonis tersebut maka kehidupan dapat berjalan dengan seimbang.

2. Beras adalah merupakan sumber pokok kehidupan, dan sebagai simbol benih yaitu benih-benih kehidupan.

3. Kelapa merupakan buah yang serba guna disimbulkan sebagai bumi dan juga sebagai kepala.

4. Telur yang digunakan dalam daksina diusahakan menggunakan telur itik. Mengapa bukan telur ayam saja?. Jika kita melihat dari sifat-sifat yang dimiliki oleh itik, maka itik dapat kita kelompokkan dalam jenis makhluk yang tergolong memiliki sifat satwam. Sedangkan ayam dapat dikelompokkan dalam jenis makhluk yang memiliki sifat rajas. Itik digolongkan memiliki sifat satwam karena, itik bisa memilah-milah makanan. Walaupun makanannya itu ada didalam Lumpur. Sehingga itik selalu di identikkan dengan binatang yang memiliki sifat satwam berkat kemampuan yang dimilikinya. Sedangkan ayam dikatakan memiliki sifat rajas, karena ayam ini bersifat aktif dan sering dijadikan ajang sabungan yaitu sabungan ayam. Bukan sabungan itik. Karena itulah telur itik yang digunakan dalam daksina. Telur itik disini mengantarkan jiwa yang suci, karena itik mampu memilih makanan yang bisa atau yang tidak bisa dimakan, itik juga sangat rukun dengan sesamanya dan dapat menyesuaikan hidupnya baik di darat, air dan juga udara

5. Peselan. Pesela ini terdiri dari lima jenis dedaunan yang mewakili lima warna yaitu : 1). Daun mangga mewakili warna hijau-hitam, 2). Daun durian mewakili warna putih, 3). Daun langsat mewakili warna kuning, 4). Daun manggis mewakili warna merah, dan 5). Daun salak mewakili warna brumbun. Kelima macam warna daun ini dipergunakan sebagai simbul dari Panca Dewata yaitu warna hitam adalah warna dari Dewa Wisnu, putih adalah Iswara, kuning adalah Mahadewa, merah adalah Brahma dan brumbun (Panca warna) adalah Siwa. Namun demikian, masih banyak yang mempergunakan jenis daun yang lain untuk mewakili kelima daun tersebut seperti daun rambutan, endongan dan sebagainya tanpa mengurangi makna simbolik yang

Page 4: Daksina Adalah Tapakan Dari Hyang Widhi

terkandung didalamnya. Karena selain berpatokan pada tattwa setiap upacara juga selalu berpatokan pada Desa (tempat), Kala (waktu), dan Patra (Kondisi).

6. Gantusan yaitu yang dibungkus daun pisang (2 bungkus). Yang masing-masing diisi dengan segala jenis ikan teri, bumbu (yang melambangkan isi darat dan laut) serta biji-bijian (5 macam) yang mempunyai warna (hitam, putih, merah, kuning dan campuran).

7. Pisang mentah, ditinjau dari segi warnanya adalah hijau/hitam. Dalam tandingan melambangkan jari.

8. Tingkih dari segi warnanya adalah putih yang melambangkan kesucian.

9. Pangi dari warnanya adalah merah, dalam tandingan pangi ini melambangkan dagu.

10. Base/sirih tampel menyimbolkan orang yang sedang sembahyang.

11. Penggunaan Benang dalam setiap pelaksanaan upcara keagamaan memiliki makna simbolik sebagai tali penghubung antara yang memuja dan yang dipuja, sebagai pengikat spiritualitas kita dan juga pada upakara-upakara tertentu benang melambangkan usus. **

Daksina, Satu Syarat Satwika Yadnya

Ketika kita menyebut daksina, dalam benak orang Bali yang awam akan terbayang satu bentuk jejahitan yang berbentuk serobong (silinder) terbuat dari daun kelapa yang sudah tua, dan isinya berupa beras, uang, kelapa, telur itik dan lain-lain. Ya, daksina tersebut

adalah sesajen yang dibuat untuk tujuan kesaksian spiritual. Daksina adalah lambang Hyang.Guru (Dewa Siwa) dan karena itu digunakan sebagai saksi Dewata.

Ketika kita menyebut daksina, dalam benak orang Bali yang awam akan terbayang satu bentuk jejahitan yang berbentuk serobong (silinder) terbuat dari daun kelapa yang sudah tua, dan isinya berupa beras, uang, kelapa, telur itik dan lain-lain. Ya, daksina tersebut adalah sesajen yang dibuat untuk tujuan kesaksian spiritual. Daksina adalah lambang Hyang.Guru (Dewa Siwa) dan karena itu digunakan sebagai saksi Dewata.

Sebenarnya pengertian daksina secara umum adalah suatu penghormatan dalam bentuk upacara dan harta benda atau uang kepada pendeta/pemimpin upacara. Penghormatan ini haruslah dihaturkan secara tulus ikhlas. Persembahan ini sangat penting dan bahkan merupakan salah satu syarat mutlak agar yadnya yang diselenggarakan dapat disebut berkwalitas (satwika yadnya).

Akhir-akhir ini, kita dipaksa untuk mengkerutkan jidat dengan diisukannya beberapa sulinggih dalam geria yang "rajin" melayani Sisyanya dengan menjual banten. Harga bantenpun bervariasi sesuai dengan besar kecil atau tingkat kerumitannya. Satu hal yang paling membuat trenyuh adalah harga banten telah menggigit umat yang ekonominya lemah. Hal itu rupanya akan tetap berlangsung jika tidak ada ketegasan dari pihak lembaga umat kita. Sulinggih berbisnis ? lni tentu sudah melanggar sasana kepanditaan. Terhadap sulinggih "matre" seperti ini sudah pada

Page 5: Daksina Adalah Tapakan Dari Hyang Widhi

tempatnya jika PHDI memberikan teguran (kalau tidak bisa disebut sangsi).

Tetapi tunggu dulu, terlepas dari sasana kepanditaan yang telah dilanggar, kita perlu introspeksi diri mungkin sekali kita ikut andil dalam menciptakan. keadaan seperti itu. Tidakkah karena kita, para pendeta yang mestinya pensiun mencari nafkah, tetapi karena tuntutan kesejahteraan terpaksa kembali berbisnis ? Ya .... kita lalai untuk menyucikan dan memuliakan beliau-beliau semua.

Sebagai contoh di desa pakraman (secara umum) apabila ada yang menyelenggarakan yadnya, kita sangat jarang melihat kenyataan bahwa ada persembahan kepada pemimpin upacara (pendeta/pemangku) yang sedikit istimewa dalam pengertian cukup layak jika dibandingkan dengan tingkat kerumitan dan kemegahan yadnya tersebut. Misalnya, sebuah yadnya yang diselenggarakan dengan menelan biaya sepuluh juta rupiah, tetapi daksina. untuk para pemimpin yadnya itu tidak ada, atau kalau ada paling besar sepuluh ribu rupiah. Apakah itu cukup proporsional ? Tidakkah kita sadar kerja memuput yadnya itu cukup menyita energi dan waktu?

 

Sebagai perbandingan misalnya, seorang karyawan sebuah perusahaan yang bekerja sepuluh jam per hari, ia sudah dapat dipastikan mendapat upah tiga puluh ribu rupiah. Sedang pandita yang kerja sehari penuh hanya memperoleh daksina sepuluh ribu rupiah. Nah, kita tahu secara vertikal spiritual atau apapun pandita lebih terhormat dibandingkan yang lainnya. Lalu dimana penghormatan kita kepada Beliau yang konon sebagai perwujudan Dewa ? Yaaa, kita belum berbhakti kepada pendeta.

Dalam Mahabharata diceritakan tentang betapa pentingnya daksina dalam upacara yadnya. Dikisahkan setelah perang Bharatayuda usai, Sri Krishna menganjurkan kepada Pandawa untuk menyelenggarakan upacara yadnya yang disebut Aswamedha yadnya. Upacara korban kuda itu berfungsi untuk menyucikan secara ritual dan spiritual negara Hastinapura dan Indraprastha karena dipandang leteh (kotor) akibat perang besar berkecamuk. Di samping itu rakyat Pandawa bisa diliputi rasa angkuh dan sombong akibat menang perang.

Atas anjuran Sri Krishna, di bawah pimpinan Raja Dharmawangsa, Pandawa melaksanakan Aswamedha Yadnya itu. Sri Krishna berpesan agar yadnya yang besar itu tidak perlu dipimpin oleh pendeta agung kerajaan tetapi cukup dipimpin oleh seorang pendeta pertapa keturunan sudra yang tinggal di hutan.

Pandawa begitu taat kepada segala nasi hat Sri Krishna, Dharmawangsa mengutus patihnya ke

Page 6: Daksina Adalah Tapakan Dari Hyang Widhi

tengah hutan untuk mencari pendeta pertapa keturunan sudra. Setelah menemui pertapa yang dicari, patih itu menghaturkan sembahnya, "Sudilah kiranya Anda memimpin upacara agama yang benama Aswamedha Yadnya, wahai pendeta yang suci". Mendengar permohonan patih itu, sang pendeta yang sangat sederhana lalu menjawab, "Atas pilihan Prabhu Yudhistira kepada saya seorang pertapa untuk memimpin yadnya itu saya ucapkan terima kasih. Namun kali ini saya tidak bersedia untuk memimpin upacara tersebut. Nanti andaikata kita panjang umur, saya bersedia memimpin upacara Aswamedha Yadnya yang diselenggarakan oleh Prabhu Yudistira yang keseratus kali.

 

Mendengar jawaban itu, sang utusan terperanjat kaget luar biasa. Ia langsung mohon pamit dan segera melaporkan segala sesuatunya kepada Raja. Kejadian ini.kemudian diteruskan kepada Sri Krishna. Setelah mendengar laporan itu, Sri Krishna bertanya, siapa yang disuruh untuk menghadap pendeta, Dharmawangsa menjawab "Yang saya tugaskan menghadap pendeta adalah patih kerajaan".

Sri Krishna menjelaskan, upacara yang akan dilangsungkan bukanlah atas nama sang patih, tetapi atas nama sang Raja. Karena itu tidaklah pantas kalau orang lain yang memohon kepada pendeta. Setidak-tidaknya permaisuri Raja yang harus datang kepada pendeta. Kalau permaisuri yang datang, sangatlah tepat karena dalam pelaksanaan upacara agama, peranan wanita lebih menonjol dibandingkan laki-laki. Karena upacara agama bertujuan untuk membangkitkan prema atau kasih sayang, dalam hal ini yang paling tepat adalah wanita.

 

Nasihat Awatara Wisnu itu selalu dituruti oleh Pandawa. Dharmawangsa lalu memohon sang permaisuri untuk mengemban tugas menghadap pendeta di tengah hutan. Tanpa mengenakan busana mewah, Dewi Drupadi dengan beberapa iringan menghadap sang pendeta. Dengan penuh hormat memakai bahasa yang lemah lembut Drupadi menyampaikan maksudnya kepada pendeta. Di luar dugaan, pendeta itu bersedia untuk memimpin upacara yang agung itu. Pendeta itu kemudian dijemput sebagaimana tatakrama yang berlaku.

Drupadi menyuguhkan makanan dan minuman ala kota kepada pendeta. Karena tidak perah hidup dan bergaul di kota, sang Pendeta menikmati hidangan tersebut menurut kebiasaan di hutan yang jauh dengan etika di kota. Pendeta kemudian segera memimpin upacara.

Ciri-ciri upacara itu sukses menurut Sri Krishna adalah apabila turun hujan bunga dan terdengar suara genta dari langit. Nah, ternyata setelah upacara dilangsungkan tidak ada suara genta maupun hujan bunga dari langit. Terhadap pertanyaan Darmawangsa, Sri Krishna menjelaskan bahwa tampaknya tiadak ada "daksina" untuk dipersembahkan kepada pendeta. Kalau upacara

Page 7: Daksina Adalah Tapakan Dari Hyang Widhi

agama tidak disertai dengan daksina untuk pendeta, berarti upacara itu menjadi milik pendeta. Dengan demikian yang menyelenggarakan upacara berarti gagal melangsungkan yadnya. Selain itu gagal atau suksesnya yadnya ditentukan pula oleh sikap yang beryadnya. Kalau sikap ini. tidak baik atau tidak tulus menerima pendeta sebagai pemimpin upacara maka gagalah upacara itu. Sikap dan perlakuan kepada pendeta yang penuh hormat dan bhakti merupakan salah satu syarat yang menyebabkan upacara sukses.

Setelah mendengar wejangan itu, Drupadi segera menyiapkan Daksina untuk pendeta. Setelah pendeta mendapat persembahan daksina, tidak ada juga suara genta dan hujan bunga dari langit. Melihat kejadian itu, Sri Krishna memastikan bahwa di antara penyelenggara yadnya ada yang bersikap tidak baik kepada pendeta. Atas wejangan Sri Krishna itu, Drupadi secara jujur mengakui bahwa ia telah mentertawakan walau dalam hati, yaitu pada saat pendeta menikmati hidangan tadi.

Memang dalam agama Hindu, Pendeta mendapat kedudukan yang paling terhormat bahkan dipandang sebagai perwujudan Dewa. Karena itu akan sangat fatal akibatnya kaliu ada yang bersikap tidak sopan kepada pendeta.

Beberapa saat kemudian setelah Drupadi berdatang sembah dan mohon maaf kepada pendeta, jatuhlah hujan bunga dari langit dan disertai suara genta yang nyaring membahana. lni pertanda yadnya Aswamedha itu sukses. Demikianlah, betapa pentingnya "daksina" dalam upacara yadnya***

BantenBhagawadgita Bab IX tentang Raja Vidyaraja Guhya Yoga, Sloka ke 26 menyatakan:

PATTRAM PUSHPAM PHALAM TOYAM, YO ME BHAKTYA PRAYACHCHHATI, TAD AHAM BHAKTYUPAHRITAM, ASNAMI PRAYATATMANAH

artinya: Siapa yang sujud kepada-Ku dengan persembahan setangkai daun, sekuntum bunga, sebiji buah-buahan, atau seteguk air, Aku terima sebagai bakti persembahan dari orang yang berhati suci.

Membaca Bhagawadgita, yaitu rangkuman percakapan antara Sri Krisna sebagai awatara Wisnu dengan Arjuna di medan perang Kuruksetra, tidak bisa sepotong-sepotong. Seluruhnya ada delapan belas Bab dan 700 sloka.

Page 8: Daksina Adalah Tapakan Dari Hyang Widhi

Bab ke-17 adalah percakapan mengenai “Sraddhatraya Vibhaga Yoga” di mana Arjuna mengajukan pertanyaan kepada Sri Krisna: Bagaimana kalau seseorang mengadakan upacara dengan penuh khidmat dan kepercayaan tetapi melalaikan petunjuk-petunjuk kitab suci?

Sri Krisnya menjawab bahwa ada tiga macam kepercayaan yang masing-masing tergantung kepada tiap-tiap individu dengan sifat-sifatnya, yaitu baik-mulia (sattwa), aktif bernafsu (rajas), dan gelap-bodoh (tamas).

Yang bersifat sattwa pergi memuja Dewata, makan makanan yang berguna bagi pertumbuhan badan dan kesehatan, mengadakan upacara menurut petunjuk kitab suci, bermeditasi dengan keyakinan mendalam, bersedekah tanpa mengharapkan kembali.

Yang bersifat rajas pergi memuja yaksha dan raksasa makan makanan yang serba banyak rempah, mengadakan upacara dengan harapan akan pahala, bersamadi dengan maksud supaya dipuji dan disegani, bersedekah dengan harapan mendapat kembali.

Yang bersifat tamas pergi memuja roh orang mati dan setan, makan makanan yang tidak sehat, mengadakan upacara tidak menurut peraturan, bertapa beratha dengan pengertian kurang, bersedekah pada waktu dan kesempatan yang salah.

Upacara, sedekah dan tapa beratha yang tidak disertai dengan kepercayaan tidak ada artinya. Segala sesuatu di dunia ini berasal dari Ida Sanghyang Widhi Wasa, apakah yang mungkin kita persembahkan kepada-Nya?

Banten beserta segala perlengkapannya semuanya milik-Nya; tanpa dipersembahkan pun sudah milik-Nya. Jadi yang kita persembahkan hanyalah cinta kasih kita kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa.

Masalahnya, bagaimana kita mewujudkan cinta kasih kita kepada-Nya, karena manusia yang mempunyai keterbatasan pengetahuan ingin semuanya dalam wujud yang nyata.

Manusia mewujudkan perasaan hatinya dengan perilaku yang dimengerti secara nalar. Demikianlah para Maha Rsi atas wahyu-wahyu yang diterima menciptakan banten sebagai “niyasa” atau simbol perwujudan cinta kasih kepada-Nya.

Bhagawadgita-pun memberi peluang ke arah ini: “Demi kepuasanmu engkau memberi nama dan wujud kepada-Ku, tetapi sesungguhnya Aku sama sekali tidak bernama dan tidak berwujud.”

Kita membuat banten untuk membawa perasaan kita setahap demi setahap sujud bhakti kepada-Nya.

Mulai sejak mengumpulkan bahan-bahan, mejejahitan, metanding, menjunjung ke Pura, lalu menaruh banten di palinggih, semua dilakukan dengan hidmat, hati-hati, dan dengan perasaan kasih yang melimpah kehadapan-Nya. Setelah itu banten disucikan dan diantarkan puja-nya oleh Sang Wiku untuk dihaturkan kepada-Nya.

Page 9: Daksina Adalah Tapakan Dari Hyang Widhi

Semua prosesi itu membawa kepuasan bathin yang tiada tara kepada kita, sehingga setelah upacara selesai, perasaan kita lega karena sudah memuja-Nya.

Apakah maknanya? Apakah Ida Sanghyang Widhi Wasa mengharapkan semua persembahan material itu?

Tidak; karena Beliau sudah memiliki semuanya. Beliau hanya memperhatikan cinta kasih yang tulus dan suci yang keluar dari lubuk hati kita dalam menghadap Beliau.

Untuk siapakah cinta kasih yang kita wujudkan itu?

Hanya untuk kita sendiri! Tiada seorang pun yang tahu rahasia hati kita kepada-Nya. Jika kita dekat dengan-Nya maka Beliau pun akan dekat kepada kita; sebaliknya jika kita jauh dari-Nya maka Beliau pun akan jauh dari kita, walaupun Ida Sanghyang Widhi Wasa selalu kasih kepada ciptaan-ciptaan-Nya.

Selanjutnya Bhagawadgita Bab III mengenai Karma Yoga,

Sloka 12:

ISHTAN BHOGAN HI VO DEVA, DASYANTE YAJNA BHAVITAH, TAIR DATTAN APRADAYAI BHYO, YO BHUNKTE STENA EVA SAH

artinya: Dengan pemujaanmu Ida Sanghyang Widhi Wasa akan memberkahi kebahagiaan bagimu, mereka yang tiada membalas rahmat ini kepada-Nya, sesungguhnya adalah pencuri.

Sloka 13:

YAJNA SISHTASINAH SANTO, MUCHYANTE SARVA KILBISHAIH, BHUNJATE TE TV AGHAM PAPA, YE PACHANTY ATMA KARANAT

artinya: Yang baik makan setelah upacara bhakti akan terlepas dari segala dosa, tetapi menyediakan makanan lezat hanya bagi diri sendiri, mereka ini sesungguhnya makan dosa.

Sloka 14:

ANNAD BHAVANTI BHUTANI, PARJANYAD ANNASAMBHAVAH, YAJNAD BHAVATI PARJANYO, YAJNAH KARMA SAMUDBHAVAH

artinya: Karena makanan mahluk hidup, karena hujan makanan tumbuh, karena persembahan hujan turun, dan persembahan lahir karena kerja.

Sloka 12-13-14 ini menyimpulkan bahwa wujud bhakti kita kepada-Nya antara lain mempersembahkan “sarin tahun” atau hasil kerja kita terlebih dahulu kepada-Nya setelah itu barulah kita “ngelungsur.”

Page 10: Daksina Adalah Tapakan Dari Hyang Widhi

Ada dua istilah yang dikenal dalam rangkaian Yadnya yaitu “upacara” dan “upakara”.

Istilah upacara terdiri dari dua kata yaitu “upa” artinya “berhubungan dengan” dan “cara” artinya “gerakan/ aktivitas/ kegiatan” Jadi upacara artinya kegiatan/ pelaksanaan suatu yadnya dengan proses tertentu.

Istilah upakara terdiri dari dua kata yaitu “upa” artinya seperti tersebut di atas, dan “kara” artinya “perbuatan/ pekerjaan dengan tangan”. Upakara adalah segala sesuatu berbentuk materi yang dibuat dengan tangan untuk keperluan upacara. Secara visual upakara antara lain berbentuk banten.

Dalam Bhagawadgita Bab II sloka 10 ada dijelaskan tentang landasan Yadnya. Bahwa tujuan kita mengadakan upacara sebagai landasan yadnya adalah untuk mewujudkan hubungan yang harmonis antara Ida Sanghyang Widhi Wasa, manusia, dan alam, dalam keterkaitan sebagai berikut: Ida Sanghyang Widhi Wasa (Prajapati) ber-yadnya menciptakan manusia dan alam; manusia (Praja) ber-yadnya untuk Prajapati dan alam; Kamadhuk (alam) memberikan kemakmuran kepada manusia. Manusia yang melaksanakan upacara Yadnya disebut melaksanakan Karma Yoga.

Lontar Yadnya Prakerti menjelaskan pula bahwa banten adalah “lambang”: Ida Sanghyang Widhi Wasa, manusia, dan alam. Banten berasal dari kata “wanten” sebagai pengembangan kata “wantu” yang artinya dalam Bahasa Indonesia: bantu; jadi banten adalah alat bantu bagi manusia Hindu dalam berkonsentrasi mewujudkan bhakti dan cinta kasihnya kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa.

Oleh karena itu di beberapa daerah di Bali, banten juga disebut sebagai bhakti. Manusia membutuhkan alat bantu dalam berkonsentrasi ke hadapan-Nya, karena keterbatasan pengetahuan (jnana).

Bagi para Maha Rsi yang tingkat jnana-nya sudah tinggi, tidak banyak menggunakan alat bantu dalam berhubungan dengan Ida Sanghyang Widhi Wasa.

Dari lontar Dwijendra Tattwa dapat dibaca bahwa Ida Danghyang Dwijendra (Danghyang Nirartha) yang tinggal di Bali di abad ke-15 Masehi mempunyai tingkat jnana yang sangat tinggi, sehingga beliau digelari pula Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh.

Beliau tidak menggunakan alat bantu dalam berhubungan dengan Yang Maha Kuasa, bahkan ketika sampai waktunya Beliau moksahPura Uluwatu. di suatu tempat yang kini dikenal sebagai

Di zaman kini, belum ada umat Hindu di Bali yang tingkat jnana-nya tinggi, sehingga kita masih memerlukan alat bantu antara lain banten itu tadi.

Menurut fungsinya, banten dapat dikelompokkan menjadi lima bagian yaitu:

1. Banten sebagai palinggih Ida Sanghyang Widhi Wasa atau manifestasi-Nya, misalnya: dewa-dewi, daksina linggih, lingga, sanggahurip, puspa, dll.

Page 11: Daksina Adalah Tapakan Dari Hyang Widhi

2. Banten sebagai pensucian misalnya: banyuawang, prayascita, durmenggala, padudusan, dius kamaligi, dll.

3. Banten sebagai pesaksi, misalnya: suci, ardenareswari, catur, cane, peras, guru, panca saraswati, gana, dll.

4. Banten sebagai ayaban (kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa dan/ atau Manifestasi-Nya) misalnya: sesayut pengambean, dedari, pulagembal, bebangkit, tadah pawitra, tadah sukla, tadah kala, canang meraka, daksina, ajuman, saiban, beakala, caru, gana, jerimpen, sarad, dll.

5. Banten sebagai tataban (kepada manusia) misalnya sambutan. Jenis banten untuk tataban memang sedikit, karena banten untuk ayaban bisa merangkap sebagai tataban dalam pemahaman bahwa manusia ngelungsur tataban dari ayaban Ida Bethara.

Yang perlu dipikirkan sekarang adalah upaya untuk menyederhanakan jumlah dan jenis banten agar upacara dapat diselenggarakan dengan efektif dan efisien, terjangkau oleh umat yang kehidupannya sederhana.

Bila memahami pengelompokan banten seperti yang diuraikan di atas, dengan mudah dapat ditentukan banten-banten apa saja yang diperlukan dalam suatu upacara.

Pertama, tetapkanlah banten pesaksi, karena ini yang dinamakan “hulu” sebagai permohonan kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa untuk menyaksikan/ mensahkan penyelenggaraan upacara.

Setelah itu tetapkan banten pesucian yang berfungsi mensucikan upakara.

Kemudian tetapkan banten palinggih Ida Sanghyang Widhi Wasa atau manifestasi-Nya yang akan dihaturi persembahan.

Selanjutnya tetapkan banten ayaban dan tataban sesuai dengan tujuan upacara.

Perimbangan jenis banten agar sepadan dan berpedoman ke “hulu”. Bila hulu menggunakan suci, yang lain-lainnya (atau “teben”) jangan menggunakan banten yang lebih tinggi dari suci.

Demikian pula mengenai banten ayaban, gunakan hanya ayaban untuk manifestasi-Nya yang sesuai dengan tujuan upacara; misalnya dalam upacara perkawinan, kita tidak perlu memakai banten gana karena yang kita puja dalam upacara itu adalah Sanghyang Semara-Ratih. Demikian seterusnya ke banten-banten lainnya.

Dalam menyelenggarakan upacara, konsep: Desa – Kala – Patra digunakan dengan pemahaman sebagai berikut:

1. Desa, adalah penggunaan upakara yang sesuai dengan bahan-bahan yang tersedia di daerah itu

2. Kala, adalah penyelenggaraan upacara sesuai dengan waktu yang tersedia (misalnya lamanya cuti/ liburan yang bisa dimanfaatkan untuk menyelenggarakan upacara)

Page 12: Daksina Adalah Tapakan Dari Hyang Widhi

3. Patra, adalah kemampuan material yang ada untuk menunjang upacara

Dewasa ini masalah “Patra” inilah yang perlu dikaji dengan tujuan bagaimana caranya menyelenggarakan upacara sesuai dengan kemampuan material, agar tidak sampai berhutang atau menjual barang-barang berharga.

Untuk itu perlu kesadaran “Tri Manggalaning Yadnya”, yaitu:

1. Sang Yajamana yaitu mereka yang beryadnya,2. Sang Widia yaitu tukang banten,

3. Sang Sadaka yaitu Sulinggih yang muput karya.

Kesadaran Sang Yajamana adalah tidak memaksakan diri berupacara secara mewah di luar batas kemampuannya antara lain dengan motif-motif demonstrasi, rasa malu, dll.

Kesadaran Sang Widia adalah tidak menggunakan kesempatan menjual banten dengan harga yang berlipat-lipat dari harga pokok; Sang Widia hendaknya berpikir bahwa profesinya itu adalah di jalan Dharma.

Kesadaran Sang Sadaka adalah tidak menetapkan “tarif” yang tinggi bagi jasanya muput karya; Beliau hendaknya juga berfikir bahwa sasana Kawikon adalah tidak mengejar materi keduniawian, bahkan wajib membantu umatnya yang miskin, sebagaimana kutipan Bhagawadgita Bab XVIII, mengenai Samnyasa Yoga, sloka ke-2:

SRIBHAGAWAVAN UVACHA: KAMYANAM KARMANAM NYASAM, SAMNYASAM KAVAYO VIDUH, SARVAKARMAPHALA TYAGAM, PRAHUS TYAGAM VICHAKSHANAH

artinya: Sri Bhagawan (Sri Krisna) menjawab: Para Pandita menyatakan samnyasa, tidak melaksanakan kerja yang didorong nafsu, dan menolak pahala semua kerja, oleh orang arif bijaksana dikatakan tyaga.

Menurut jumlah dan jenis upakara, maka upacara Yadnya ada tiga tingkat, yaitu: Utama, Madya, dan Kanista.

Pemilihan tingkat itulah berdasarkan konsep desa-kala-patra tadi. Tingkat upacara yang Kanista tidak berarti lebih rendah dari tingkat Madya dan Utama. Demikian pula tingkat yang Utama tidak berarti lebih super dari tingkat Madya dan Kanista.

Kembalilah pada bagian awal dari pembicaraan kita tadi bahwa diterima atau tidak diterimanya persembahan kita kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa, tergantung dari: ketulusan hati, kesucian pikiran/ perkataan/ perbuatan, dan kepasrahan kita kehadirat-Nya.

Bhagawadgita Bab IV, tentang Jnana Yoga, sloka ke-11 berbunyi:

Page 13: Daksina Adalah Tapakan Dari Hyang Widhi

YE YATHA MAM PRAPADYANTE, TAMS TATHAI VA BHAJAMY AHAM, MAMA VARTMA NUVARTANTE, MANUSHYAH PARTHA SARVASAH

artinya: Jalan mana pun ditempuh manusia, kearah-Ku semuanya Ku-terima, dari mana-mana semua mereka, menuju jalan Ku oh Parta.

Dalam sloka ini Sri Krisna menyatakan kepada Arjuna (Parta) betapa Tuhan/ Ida Sanghyang Widhi Wasa menemui tiap orang yang mengharapkan karunia dari-Nya dan menerima mereka yang menempuh jalan-Nya.

Tuhan/ Ida Sanghyang Widhi Wasa tidak ingin menghapus harapan tiap-tiap orang yang tumbuh menurut kodratnya dan tidak memihak. Hanya pada masing-masing orang menurut jalan dan kepercayaannya sendiri untuk mencapai Tuhanlah terletak perbedaan, yang bukan merupakan pilihan-Nya.

Jalan upacara, jalan sembahyang, jalan falsafah, atau jalan meditasi semuanya menuju Tuhan/ Ida Sanghyang Widhi Wasa yang satu. Di sini Sri Krisna tidak menyebut cara atau jalan yang tertentu untuk mencapai hubungan dengan Tuhan/ Ida Sanghyang Widhi Wasa, sebab semuanya menuju Tuhan Yang Maha Esa. Hanya orang yang belum tinggi tingkat spirituilnya tidak bisa mengakui cara atau jalan orang lain untuk mencapai Tuhan Yang Maha Esa.

Jadi kesimpulannya, sloka ini intinya memberi kebebasan tentang cara atau jalan yang dipilih manusia menuju Tuhan, dalam wujud pemahaman Agama Hindu yaitu: Bhakti Marga, Karma Marga, Jnana Marga, dan Yogi (Raja) Marga, yang dapat dilakukan bersama-sama atau bertahap sesuai dengan kemampuan masing-masing individu.

Menyangkut tatacara nganteb banten atau muput suatu upacara, haruslah diperhatikan kesucian lahir bathin dan tingkat jnana-nya. Kesucian lahir adalah kebersihan fisik dan tata berpakaian yang suci.

Mengenai kesucian bathin, antara lain ada pada Bhagawadgita Bab IV tentang Jnana Yoga, sloka ke-10 berbunyi: “Vita raga bhaya krodha, manmaya mam upasritah, bahavo jnana tapasa, puta madbhavam agatah”. Artinya: “Terbebas dari hawa nafsu takut dan benci, bersatu dan berlindung pada-Ku, dibersihkan oleh kesucian budi pekerti, banyak yang telah mencapai diri-Ku”.

Selanjutnya Bhagawadgita Bab IX, tentang Raja Vidyaraja Guhya Yoga, sloka ke-34 berbunyi:

MANMANA BHAVA MADBHAKTO, MADYAJI MAM NAMASKURU, MAM EVAI SHYASI YUKTVAI VAM, ATMANAM MATPARAYANAH

artinya: Pusatkan pikiranmu pada-Ku berbakti pada-Ku, bersujud pada-Ku sembahlah Aku, dan setelah engkau mendisiplinkan jiwamu, Aku jadi tujuanmu tertinggi kau akan tiba pada-Ku.

Kemudian Bhagawadgita Bab XVII tentang Sraddhatraya Vibhaga Yoga, sloka ke-13 berbunyi:

Page 14: Daksina Adalah Tapakan Dari Hyang Widhi

VIDHIHINAM ASRISHTANNAM, MANTRAHINAM ADAKSHINAM, SRADDHAVIRAHITAM YAJNAM, TAMASAM PARICHAKSHATE

Artinya: Upacara yang tidak menurut peraturan, di mana makanan tidak dihidangkan, tanpa ucapan mantra dan tanpa daksina, dan tanpa kepercayaan dinamakan tamasa. (Tamasa artinya perbuatan yang bodoh dan malas).

Kesimpulannya adalah bahwa seseorang yang bertindak sebagai pemimpin upacara yaitu “nganteb banten” bagi seorang Ekajati atau “muput karya” bagi seorang Dwijati hendaknya memperhatikan sloka-sloka tersebut di atas.

Bukan pakaian atau atribut lain yang menentukan seseorang boleh nganteb atau muput. Pakaian dan atribut yang dikenakan oleh seorang Pemangku atau seorang Pandita bukan untuk ditunjukkan kepada orang lain, tetapi justru untuk diri beliau sendiri.

Misalnya seorang Pandita rambutnya di-prucut, adalah sebagai simbol “ngeret indriya”, berpakaian putih/ kuning sebagai simbol kesucian, membawa tongkat (teteken) sebagai simbol sudah lingsir yang patut menjadi suri tauladan generasi muda.

Dengan berpakaian seperti itu beliau selalu mengingatkan diri sendiri agar waspada, “eling ring raga”, menjaga ucapan pikiran dan perbuatan tidak menyimpang dari Trikaya Parisuda.

Related posts:

DAKSINA

Terdiri atas:

1. serembeng, simbol arda candra2. kelapa dengan sambuk maperucut, simbol brahma dan nada

3. bedogan, simbol swastika

4. kojong pesel-peselan, simbol ardanareswari

5. kojong gegantusan, simbul akasa/ pertiwi

6. telur bebek simbol windu dan satyam

7. tampelan, simbol trimurti

8. irisan pisang, simbol dharma

9. irisan tebu, simbol smara-ratih

10. benang putih, simbol siwa

Page 15: Daksina Adalah Tapakan Dari Hyang Widhi

Dengan demikian maka daksina (baik daksina alit, pekala-kalaan dan krepa) adalah simbol Sanghyang Widhi, stana Sanghyang Widhi, sarana inti yadnya, persembahan terima kasih, dan pesaksi.