CV Pd Pasca Menopause
Click here to load reader
-
Upload
anugerah-eka-purwanti -
Category
Documents
-
view
19 -
download
1
Transcript of CV Pd Pasca Menopause
I. PENDAHULUAN
Sudah menjadi hukum alam, bahwa setiap manusia pasti akan menjadi tua. Sejak
manusia dilahirkan, telah berlangsung proses penuaan yang terjadi terus menerus
sepanjang hidupnya. Berbeda dengan kaum pria proses penuaan pada perempuan
berlangsung lebih dramatis, karena adanya beban proses reproduksi dalam
kehidupannya 1.
Fase kehidupan seorang perempuan secara kontinyu dari mulai lahir sampai
akhir hayatnya akan melalui bebrapa fase yaitu : fase neonatus, bayi, kanak-
kanak, masa pubertas, masa reproduksi, masa klimakterium ( pramenopause-
menopause-pasca menopause), prasenium, berakhir dengan senium1,2.
Usia harapan hidup akan terus meningkat seiring dengan perbaikan kualitas
dan kuantitas pelayanan kesehatan di negara-negara berkembang, dengan
demikian akan semakin banyak didapatkan perempuan berusia lanjut yang dapat
menikmati kehidupan setelah menopause atau setelah masa reproduksinya selesai.
Secara biologis telah ditetapkan, bahwa perempuan yang hidup sampai usia
antara 45-55 tahun akan mengalami menopause. Di negara maju menopause
terjadi sekitar umur 51 tahun. Kita harus memikirkan konsekwensi fisiologis pada
perempuan menopause akibat kekurangan hormon estrogen yang dihasilkan oleh
ovarium, yaitu keluhan-keluhan dan gejala –gejala klimakterium sampai penyakit
yang serius1,2.
Masalah kesehatan yang sangat penting pada perempuan pasca menopause
adalah meningkatnya angka kejadian Penyakit Jantung Koroner ( PJK) dan
tingginya angka kejadian patah tulang ( osteoporosis). Di negara industri
penyebab terbanyak kematian pada perempuan diatas usia 50 tahun adalah akibat
PJK. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan
Republik Indonesia tahun 1972, PJK merupakan penyebab kematian urutan
nomor 11, tetapi hasil SKRT 1992, telah menempati urutan pertama dalam
deretan penyebab kematian di Indonesia. Dalam periode 1994-1995, dari 118
perempuan yang dirawat karena miokard infark akut di RS Jantung Harapan Kita,
Jakarta, terdapat 105 orang (89%) di antaranya adalah usia menopause dan tidak
satupun dari mereka yang mendapat Terapi Sulih Hormon (TSH)3.
Telah terbukti dari penelitian bahwa pemberian estrogen bersama-sama
progesterone ( Hormon Replacement Therapy) mengurangi angka kejadian PJK
dan stroke sampai 50-70 % pada perempuan pasca menopause. Pemberian terapi
hormon ini selain menghilangkan keluhan klimakterium yang dapat mencegah
terjadinya osteoporosis, penyakit jantung koroner, maupun dimensia, tapi juga
dapat meningkatkan kualitas hidup1,2,3.
Pada perempuan usia antara 45 dan 64 tahun, prevalensi penyakit
kardiovaskuler adalah 14 % dan usia 65 tahun sebanyak 33 %. Pada perempuan
pasca menopause dengan kelompok umur 50 – 70 tahun dijumpai penyakit
kardiovaskuler per tahun 100 -150 orang dan mortalitasnya 50 per 10.000
perempuan /tahun. Pada perempuan yang menjalani ooforektomi bilateral angka
kejadiannya akan lebih besar3.
Pada refrat ini pembahasan akan dibatasi pada penyakit kardiovaskuler pada
perempuan menopause dan pasca menopause serta pemberian sulih hormon
sebagai terapinya.
II. PERUBAHAN HORMONAL PADA MENOPAUSE DAN PASCA
MENOPAUSE
Pada kehidupan perempuan, ovarium memegang peranan penting dalam
endokrinologi reproduksiperempuan tersebut, dimana ovarium memiliki dua
fungsi utama yaitu :
1. Fungsi proliferatif ( generatif) sebagai sumber ovum selama masa reproduksi.
2. Fungsi sekretorik ( vegetatif) sebagai tempat pembentukan dan pengeluaran
hormone steroid 4.
Ovarium membentuk hormone steroid estrogen, progesterone, dan sedikit
androgen dengan kolesterol sebagai bahan baku. Secara enzimatik sebenarnya
tak ada perbedaan antara ovarium dengan organ lain dalam hal pembentukan
hormone steroid, hanya pada ovarium berada dibawah kendali sistem
hipotalamus-hipofisis. Pengaruh steroid seks terhadap hipotalamus-hipofisis
disebut juga sebagai pengaruh umpan balik (feed back). Profil hormon yang
seimbang dari suatu siklus yang baik ditentukan oleh keberhasilan sistem umpan
balik antara ovarium dan poros hipotalamus-hipofisis.
Diperkirakan lebih kurang 380.000 oosit didapatkan pada folikel dalam
ovarium pada saat menars, dengan tiap siklus jumlah tertentu dari struktur folikel
ini distimulasi untuk berkembang selanjutnya mengalami atresia, dimana hanya
satu folikel yang dominan yang mengalami ovulasi 5.
Setelah umur 35 tahun, ovarium manusia mulai menurun dalam hal berat dan
ukurannya, serta mengandung lebih sedikit oosit dan struktur folikel, kemudian
menjadi atresia dan folikel yang degeneratif. Kehilangan dari oosit dan struktur
folikel akan menyebabkan penyusutan yang bertahap dari estrogen dan inhibin.
Beberapa tahun sebelum menopause penurunan dari inhibin akan menyebabkan
peningkatan dari folikel stimulating hormon (FSH), dimana FSH ini adalah
indikator pertama laboratorium pada perimanopause serta kenaikan luteinizing
hormone (LH) 3 kali lipat, peningkatan kadar FSH dan LH ini bermakna jika
dibandingkan dengan kadar sebelum menopause. Penurunan estrogen dan
progesteron oleh ovarium menyebabkan perubahan endokrin pada perempuan.
Sherman dan Korenman tahun 1975 menemukan kadar FSH dan LH dalam
sirkulasi mulai meningkat beberapa tahun sebelum berhentinya produksi
estrogen oleh ovarium 2,4,5,6.
Produksi estrogen pada perempuan menopause dan pasca menopause
berkurang, tetapi tidak hilang sama sekali. Siiteri dan MacDonald tahun 1973
menemukan bahwa produksi estrogen pada perempuan menopause dan pasca
menopause tetap terjadi melalui mekanisme yang diketahui sebagai aromatisasi
perifer dan ektraglandular.husaini Stroma ovarium sebagaimana sel adrenal
mempunyai kapasitas steroidogenesis untuk memproduksi androstenedion yang
bersirkulasi lalu dikonversi oleh kulit dan anggota badan seperti tulang, otot,
hati, rambut, dan otak menjadi estrone5. Perempuan menopause yang tidak
gemuk menghasilkan kira-kira 40 mg/hari estron melalui mekanisme
ektraglandula. Bila kadar estron 70-75 mg/ hari maka akan terjadi perdarahan
uterus. Produksi estrogen pada perempuan menopause dan pasca menopause
tidaklah statis. Produksi estron meningkat secara bermakna jika kapasitas enzim
aromatase meningkat, seperti pada proses penuaan tubuh perempuan, penyakit
hati, hipertiroidisme, payah jantung kongestif terkompensasi atau kelaparan 7.
III. PENYAKIT KARDIOVASKULER PADA MENOPAUSE DAN PASCA
MENOPAUSE
Penyakit kardiovaskuler memegang peran yang utama dalam menyebabkan
kematian perempuan pada negara-negara industri , lebih dari 50 % perempuan
pasca menopause meninggal karena penyakit kardiovaskuler.Estrogen diduga
merupakan faktor protektif untuk terjadinya arteriosklerosis karena angka
kejadian penyakit kardiovaskuler rendah sebelum menopause 2,8,9.
Perempuan dalam kehidupan masa usia subur dengan kadar estrogen yang
cukup tinggi, tidak diserang penyakit tersebut seolah-olah estrogen melindungi
perempuan terhadap penyakit pembuluh darah yang ganas itu. Dari kenyataan
hidup, diperoleh bahwa penyakit jantung koroner amat jarang dijumpai pada
perempuan dengan kurun usia 25-35 tahun. Pada usia tersebut perbandingan pria
dan perempuan yang terkena Penyakit Jantung Koroner ( PJK ) adalah 3 : 1,
tetapi kemudian angka itu akan mendekati menjadi 1,7 : 1 pada usia antara 36-49
tahun dan akhirnya menjadi sama ketika usia telah mencapai 80 tahun2,8.
Berdasarkan angka kejadian PJK yang meningkat sejalan dengan
bertambahnya usia yang memasuki usia menopause, maka dapat dilihat adanya
hubungan yang nyata antara PJK dan menopause. Pada usia tertentu resikonya
lebih besar bagi perempuan `postmenopause dibanding usia subur yang haidnya
masih teratur. Jumlah perempuan yang meninggal dunia oleh penyakit jantung
koroner ternyata jauh melebihi kematian yang diakibatkan oleh semua penyakit
kanker ginekologik.Mereka kehilangan daya tahan terhadap penyakit jantung
koroner akibat berkembangnya menopause, dan meningkatnya insiden penyakit
ini bukan karena perubahan gaya hidup atau faktor resiko tetapi karena perubahan
lipoprotein yang terjadi pada menopause. Biaya penanggulangan penyakit juga
tidak sedikit. Di Amerika Serikat sebanyak 60 milyar dollar per tahun dihabiskan
untuk Penyakit Jantung Koroner dan 58 % dari jumlah itu adalah untuk
perempuan 2.
Gambar 1. Kejadian penyakit kardiovaskuler Dikutip dari Baziad 3
Penyakit Jantung Koroner atau sering disebut sebagai Penyakit Pembuluh
Darah Koroner dan Penyakit Jantung Iskhemik terjadi oleh karena timbulnya
gangguan pada pembuluh darah arteri yang melayani jantung. Pembuluh arteri
koroner mengalami penyempitan atau bahkan penyumbatan sehingga otot jantung
tidak memperoleh suplai darah yang cukup, akhirnya rusak iskhemik dan
mengalami infak. Tanda-tanda klinik dari iskemia jantung ataupun infark
tergantung pada berat ringannya penyempitan pembuluh darah dan luasnya
daerah otot yang terkena. Gejalanya tiba-tiba dan timbul dengan perasaan tidak
enak di dalam dada secara berulang-ulang disebut “ angina pectoris”, kegagalan
jantung dan tidak sadar atau syncope atau bahkan meninggal 2.
Penyebab paling sering dari gangguan pembuluh darah jantung ialah
aterosklerosis yaitu termasuk penyakit ketuaan (degenerative) yang
mempengaruhi dinding pembuluh darah arteri. Dinding pembuluh darah yang
mengalami atherosklrosis akan menebal dan mengeras dan sifat elastisitasnya
akan menghilang, pembuluh darah yang demikian akan menjadikan aliran darah
didalamnya tidak lancar, tetapi akan mengalami turbulensi. Aliran darah yang
mengalami turbulensi ini akan menyebabkan kerusakan atau mencederai selaput
kapsul atheroma dan memecahkannya, yang selanjutnya akan mengundang
trombosit yang akan memacu proses pembekuan darah dan terbentuk trombus.
Trombus yang menempel pada dinding pembuluh darah akan bertambah tebal
lalu menyempitkan lumen dan kemudian menyumbatnya, hal ini tentu dapat
berakibat fatal pada otot-otot jantung yang disuplai oleh pembuluh darah tersebut,
pada tahap awal otot jantung akan mengalami ischemia, lalu akan terjadi nekrosis
yang disebut Miokard Infark. Luasnya otot jantung yang terkena atau mengalami
infark akan mempengaruhi serangan penyakit jantung koroner 2,9.
Gambar 2. Age specific mortality rate untuk penyakit jantung ischemic berdasarkan jenis kelamin.
Dikutip dari Walsh 11.
Bila trombus yang terbentuk terlepas dari dinding pembuluh darah dan dibawa
oleh aliran darah disebut embolus. Embolus dapat dibawa aliran darah kemana-
mana, dan dapat menyumbat pembuluh darah –pembuluh darah arteri dari organ
tubuh, sehingga menganggu aliran darah keorgan tersebut, yang paling terjadi
ialah pada otak, bila terjadi akan menyebabkan sebagian jaringan otak akan
mengalami ischemia dan kemudian nekrosis atau mati, dengan konsekwensi akan
memberikan gejala klinik yang ringan sampai berat. Penyumbatan dapat juga
mengakibatkan pecahnya pembuluh darah di otak yang dapat menimbulkan
perdarahan otak yang hebat. Darah yang banyak itu akan menekan jaringan otak
yang lebih luas menyebabkan nekrosis dan terjadilah apopleksi serebri atau
stroke2.
Pada wanita menopause HDL kolesterol adalah satu indikator yang dapat
dipakai untuk melihat terjadinya penyakit jantung koroner, dimana untuk setiap
peningkatan 10 mg/dL resiko akan menurun sampai 50%. Trigliserida juga
merupakan faktor resiko penting untuk penyakit jantung koroner, dimana terjadi
peningkatan penyakit jantung jika kadar trigliserida meningkat dan kadar HDL
yang rendah.
IV. FAKTOR RISIKO PENYAKIT JANTUNG KORONER PADA MENOPAUSE
DAN PASCA MENOPAUSE
Ada dua alasan utama untuk adanya hubungan defisiensi estrogen dengan
penyakit jantung arteriosklerotik;
1. Terdapat perbedaan yang kontras antara perempuan dan laki-laki
terhadap serangan penyakit kardiovaskuler sampai masa menopause
2. Penurunan estrogen dihubungkan dengan perubahan rasio kolesterol-
fosfolipid, dan pemberian estrogen dapat membalikkan rasio kolestrol –
fosfolipid.
Sejumlah penelitian mendukung bahwa penurunan fungsi ovarium dan
kehilangan estrogen ada hubungannnya dengan berkembangnya aterosklerosis,
sebagai contoh, pada laki-laki yang berumur kurang dari 55 tahun 5- 8 kali
kemungkinan akan menderita penyakit arteri koroner dibandingkan dengan
perempuan dengan umur yang sama.
A. Efek lipid darah terhadap penyakit jantung
Peningkatan usia mempunyai pengaruh terhadap kadar lipid yang beredar.
Konsentrasi kolesterol maupun trigliserida akan meningkat sesuai dengan
umur dan hal ini akan menambah resiko dari penyakit arteri koroner yang
berhubungan dengan peningkatan konsentrasi Low –Density Lipoprotein (
LDL), dan peningkatan trigliserida yang berhubungan dengan peningkatan
Very Low-Density Lipoprotein ( VLDL ). Tingginya kadar LDL atau kadar
kolestrol LDL, akan memperbesar resiko untuk terjadinya penyakit jantung
koroner 5,9,10,11,12,13.
High-Density Lipoprotein (HDL), mengikat lebih kurang 20 % kolesterol
sehingga melindungi terhadap berkembangnya aterosklerosis, hal ini terlihat
pada penelitian yang dilakukan Framingham, dimana rendahnya kadar HDL
adalah resiko yang besar dibandingkan konsentrasi yang tinggi dari kolesterol
atau LDL. Dua subfraksi utama dari kolestrol HDL, seperti fraksi HDL2
diyakini berhubungan dengan penurunan resiko penyakit kardiovaskuler.
Tingginya kadar HDL pada perempuan umumnya adalah karena tingginya
konsentrasi HDL2, sebaliknya penurunan kadal HDL pada pasien dengan
penyakit jantung koroner terlihat disebabkan menurunnya kadar fraksi HDL2 5,9,10,11,12,13.
Lipid darah akan mengalami perubahan sehubungan dengan pemberian
estrogen yang ditandai dengan peningkatan HDL2 dan penurunan LDL.
Estrogen memiliki sifat antioksidatif, sehinga pada kekurangan estrogen
oksidasi LDL oleh radikal bebas di intima meningkat. Akibatnya, terjadi
pembentukan sel-sel busa dalam jumlah besar. Proses pembentukan ini dipicu
pleh kadar LDL serum yang tinggi dan peningkatan pembentukan molekul
pelekat oleh endotel, sehingga mempermudah migrasi monosit dan makrofag.
Kekurangan estrogen juga menurunkan HDL, padahal HDL sangat
penting untuk mencegah penyakit jantung koroner, menstabilkan prostasiklin,
memiliki khasiat vasodilatasi, menghambat reaksi radang endotel,
mengurangi aktivitas koagulstorik, dan menekan proliferasi sel-sel otot polos.
Peningkatan HDL setelah terapi estrogen terutama sekali ditandai pada pasien
dengan angka kolesterol yang tinggi5. Sejumlah peneliti mengobsevasi
penurunan dari CVD pada pengguna estrogen dibandingkan dengan yang
tidak menggunakan estrogen dapat menjelaskan karena tingginya kadar HDL
dan rendahnya kadar LDL, jadi estrogen dapat mengurangi CVD melalui
jalan perubahan pada kadar lipoprotein 5,9,10,11.
B. Faktor homosistein
Sedikit saja terjadi peningkatan kadar homosistein telah meningkatkan risiko
penyakit kardiovaskuler. Peningkatan kadar homosistein biasanya disertai
dengan kekurangan asam folat dan vitamin B. Pascamenopaus terjadi
peningkatan kadar homosistein, dan pemberian estrogen kadarnya menjadi
normal kembali. Setelah usia 65 tahun dijumpai peningkatan kadar
homosistein darah dan penurunan kadar asam folat. Merokok tidak memiliki
pengaruh terhadap homosistein, tetapi dapat menurunkan kadar asam folat,
vitamin B6, dan vitamin B12. Penambahan gestagen mengurangi efek positif
estrogen. Hiperhomosisteinemia dapat terjadi akibat kekurangan 3 enzim,
sistation intetase, homosisteinmetil transferase, dan metilentetrahidrofolat
reduktase. Kekurangan enzim-enzim ini sudah dapat terjadi sejak usia muda.
Aktivitas enzim ini sangat bergantung pada vitamin B6, B12, dan asam folat,
sehingga bila terjadi kekurangan salah satu faktor tersebut akan mudah terjadi
hiperhomosisteinemia. Nikotin, hipertensi, hiperkolesterolemia, pil
kontrasepsi oral, dan usia lanjut merupakan faktor resiko terjadinya
hiperhomosisteinemia. Pada perempuan dengan hipotiroid sering dijumpai
hiperhomosisteinemia. Pada penderita penyakit jantung koroner, iskemik
serebral, atau penyakit trombosis perifer terjadi peningkatan kadar
homosistein hingga 15-40%. Kadar normal homosistein pada perempuan
adalah < 16 u mol/l plasma, pada laki-laki 8-12 u mol/plasma 3.
C. Faktor risiko lain terhadap penyakit kardiovaskuler
Diketahui bahwa estrogen mempunyai sifat tromboembolik , sehingga wanita
dengan kemungkinan mendapat penyakit arteri koroner akan beresiko dengan
pemberian terapi estrogen. Rusaknya pembuluh darah mudah mendapat
trombosis. Estrogen juga terlihat menyebabkan hipertensi pada beberapa
individu yang rentan, hal ini dihubungkan dengan efek dari system renin
angiotensin. Pada pasien-pasien yang mendapat terapi estrogen, tekanan
darahnya harus dimonitor dengan hati-hati, dan hal ini sangat diperhatikan
pada pasien-pasien dengan riwayat hipertensi dalam keluarga.
Diabetes mellitus pada perempuan merupakan merupakan factor risiko
yang paling utama pada perempuan menopause. Resisten insulin dan
hiperinsulinemia meningkatkan risiko kardiovaskuler dan memiliki efek tidak
menguntungkan terhadap metabolisme lemak, dan berperan penting pada
angina pectoris. Estrogen memiliki pengaruh positif terhadap toleransi
glukosa dan memiliki efek positif terhadap pasien-pasien dengan angina.
pectoris 3
V. TERAPI SULIH HORMON PADA MENOPAUSE DAN PASCA MENOPAUSE
Terapi sulih hormon pada saat ini mempunyai dua tujuan yaitu :
1. Pengobatan simptomatik yang bertujuan terutama untuk menghilangkan
gejala akut menopause yaitu gangguan vasomotor dan psikologik.
2. Mencegah gejala menahun yang mengakibatkan osteoporosis, penyakit
jantung koroner dan perdarahan otak ( apopleksi serebri)
Penelitian metaanalisis menunjukkan bahwa pada perempuan yang
menggunakan TSH pascamenopause terjadi penurunan penyakit kardiovaskuler.
Pada perempuan dengan aterosklerosis, TSH memberikan hasil yang baik,
dibandingkan dengan perempuan tanpa aterosklerosis. Pada perempuan
pascamenopause dengan aterosklerosis berat, pemberian TSH meningkatkan
kelangsungan hidup hingga 97%, sedangkan pada perempuan yang tidak diberi
TSH, kelangsungan hidup hanya 60%.3
Terapi sulih hormon ini diberikan selama 2-3 tahun dengan tujuan untuk
menghilangkan gejala akut, sesudah itu dapat dihentikan dan dipantau
perkembangan endometrium dengan USG, namun bila gejalanya kambuh
kembali, maka terapinya dapat diulang dan diteruskan sampai tak berulang lagi.
Bila penderita sudah merasa ada perbaikan dan tidak mau pengobatan dihentikan
dengan alasan takut timbul gejala menahun, maka terapi harus diteruskan tetapi
harus dibawah pengawasan dokter dengan pemberian selama 3-8 tahun lagi 2,3,
14,15.
Terapi sulih hormon pengganti jangka panjang diberikan paling sedikit 10-15
tahun, ditujukan untuk mencegah terjadinya gejala menahun seperti osteoporosis
dan penyakit jantung menahun. Untuk menghindari timbulnya kembali gejala
yang akut, penghentian terapi dilakukan secara bertahap/gradual yaitu dengan
menurunkan dosis estrogen 2,14.
Obat-obatan untuk terapi hormon pengganti telah banyak beredar dipasaran
yang terdiri dari hormon estrogen dan hormon progesteron alami yan dikemas
dalam bentuk pil. Ada yang mengandung hanya satu hormon estrogen atau
progesteron dan ada yang kombinasi antara estrogen dan progesteron.
Saat ini ada tujuh macam terapi sulih hormon yang dapat diberikan, dimana
secara garis besar dibagi atas dua golongan yaitu golongan monoterapi dan
golongan kombinasi estrogen dan progesteron. Pemberiannya secara siklik yakni
21 hari atau kontinyu terus menerus setiap hari 2,14.
Gambar 3. Beberapa regimen pemberian terapi sulih hormon Dikutip dari Hutapea 2
Terapi sulih hormon pada perempuan yang uterusnya masih utuh sebaiknya
dengan pil kombinasi yaitu pil yang mengandung estrogen dan progesteron,
kecuali bila pasien tak tahan terhadap progesteron, maka pemberiannya terpaksa
hanya memakai pil estrogen tunggal. Pemakaian estrogen tunggal harus dengan
pengawasan ketat, sebab dapat mengakibatkan hiperplasia bahkan keganasan
pada endometrium.2,3,9,12
Meskipun terjadi perdarahan lucut pada penderita yang memakan pil estrogen
secara siklik, namun bukan jaminan keganasan tidak terjadi. Kira-kira 7 – 15 %
wanita yang menggunakan estrogen tunggal mengalami hiperplasia endometrium
dengan resiko keganasan 2-9 kali lebih besar bila dibandingkan dengan yang
tidak mengunakannya. Telah menjadi kesepakatan bersama pemberian estrogen
tunggal hanya diberikan pada penderita yang tidak tahan progesteron tetapi harus
dibawah pengawasan dokter.
Kelemahan terapi sulih hormon dengan menggunakan pil kombinasi secara
siklik tidak disukai wanita menopause adalah timbulnya perdarahan lucut, dimana
hal itu menyebabkan seorang perempuan merasa tidak enak dan perlu
mendapatkan pengobatan cara lainnya untuk menghilangkan perdarahan lucut
tersebut. Disamping itu pemberian TSH pada perempuan yang memang telah
menderita kelainan jantung masih diperdebatkan, sebagian berpendapat bahwa
perempuan yang telah mengalami kelainan jantung dan belum pernah
menggunakan TSH, sebaiknya tidak diberikan TSH, sedangkan pada perempuan
dengan kelainan jantung dan sedang menggunakan TSH, maka TSH nya dapat
diteruskan.3
Estrogen alamiah (natural) yang banyak dipakai pada terapi sulih hormon
adalah estradiol – 17 beta, estriol, estron, dan estrogen konjugasi. Pada
perempuan usia subur yang siklus haidnya teratur, ovarium menghasilkan
estradiol-17 beta sebanyak 60-600 ug sehari dan jumlah ini membuat kadar
hormon dalam darah bervariasi dari 180-1359 p mol/L2,9,12,13,14.
Sesudah menopause fungsi ovarium sangat menurun sehingga
produksinyapun menurun dan estradiol-17 beta yang dihasilkan menjadi sedikit,
tidak lebih dari 20 ug/hari dan dalam sirkulasi juga sangat rendah, kurang dari
150 p mol/L. Estrogen dapat diberikan secara oral, transdermal, ataupun vaginal.
Penggunaan estrogen vaginal terbatas hanya untuk pengobatan yang sifatnya
lokal. Dosis estrogen oral harian untuk estradiol -17 beta dan estradiol valerat
ialah 1-4 mg sedangkan estrogen konjugasi setara dengan ini adalah 0,625-1,25
mg, dan untuk estron sulfat 1,5-3,0 mg/hari. Hormon yang dipakai secara
transdermal dosis hariannya sangat rendah, sebab langsung memasuki sirkulasi
darah tanpa terlebih dahulu mengalami perubahan di dalam hati seperti estrogen
oral. Untuk estradiol -17 beta dibutuhkan hanya 0,05-0,01 mg/hari. 3,5,8,12,14
Pemakaian progesteron dalam terapi sulih hormon terutama ditujukan untuk
mengurangi efek buruk estrogen seperti perdarahan yang tak teratur, resiko
terjadinya hiperplasia endometrium dan ataupun kanker endometrium. Dosis yang
dipakai haruslah yang tidak mengakibatkan gangguan metabolisme. Beberapa
macam progesteron yang dipilih untuk terapi sulih hormon diantaranya adalah
medroksi progesteron atau didrogesteron dari turunan hidroksi progesterone – 17
atau norethisteron. Lama pemakaian progesteron dalam terapi hormon pengganti
tergantung keadaan, tetapi terbaik 0-13 hari yang banyak dianut karena
meniadakan pertumbuhan endometrium yang abnormal.
Progesteron dapat diberikan secara terpisah atau disatukan dengan estrogen.
Pada terapi sulih hormon , progesteron baru diberikan sesudah beberapa hari
pemberian estrogen ( biasanya hari ke-10), kemudian kedua hormon diberikan
bersama-sama sampai habis.
Progesteron Dosis/hari lama pemakaian
Didrogesteron 10 mg 10-12
Medroksiprogestron 10 mg 12
Norethisteron Asetat 1 mg 10-12
Levonogestrel 75 ug 10-12
Progesteron 200 mg 12
Tabel 1. Lama dan dosis progesteron untuk terapi sulih hormon Dikutip dari Hutapea 2
Penurunan kadar estrogen pada usia menopause dapat mengganggu secara
psikis dan fungsi perempuan. Perubahan tersebut memerlukan kemampuan untuk
beradaptasi, khususnya pada perempuan yang beresiko tinggi untuk terjadinya
kelainan fisik dan mental. Sejak menurunnya kadar estrogen yang berasal dari
ovarium, secara primer dapat menyebabkan perubahan-perubahan tersebut,
dengan memberikan terapi dari kekurangan estrogen, maka kesehatan perempuan
dapat terpelihara. Keluhan yang terjadi selama menopause antara perempuan
yang satu dengan yang lain berbeda-beda. Dari gejala-gejala yang timbul
bervariasi dan dianalisa secara sistematis sebelum memberikan terapi sulih
hormon.
Secara biologis dan rasional, estrogen mempunyai peran pencegahan terhadap
kardiovaskuler. Banyak peneliti yang mendukung penggunaan estrogen dapat
menurunkan resiko penyakit jantung koroner. Pemakaian estrogen secara
bermakna menurunkan 40-60 % resiko penyakit jantung koroner sehubungan
dengan menaopause. Pengaruh menguntungkan seperti pada sirkulasi lemak dan
fraksi lipoprotein, terutama penurunan kolesterol total dan LDL serta kenaikan
HDL, disamping itu mempunyai pengaruh antiaterosklerotik langsung pada arteri,
serta menambah vasodolatasi dan faktor agregasi anti platelet terutama nitrogen
oksida dan prostasiklin 2,3,5,8,9,12,1314.
VI. RINGKASAN
Masalah kesehatan yang sangat penting pada perempuan pasca menopause adalah
meningkatnya angka kejadian Penyakit Jantung Koroner ( PJK) dan tingginya
angka kejadian patah tulang ( osteoporosis).
Telah terbukti dari penelitian bahwa pemberian estrogen bersama-sama
progesterone ( Hormon Replacement Therapy) mengurangi angka kejadian PJK
dan stroke sampai 50-70 % pada perempuan pasca menopause. Pemberian terapi
hormon ini selain menghilangkan keluhan klimakterium yang dapat mencegah
terjadinya osteoporosis, penyakit jantung koroner, maupun dimensia, tapi juga
dapat meningkatkan kualitas hidup1,2,3.
Setelah umur 35 tahun, ovarium manusia mulai menurun dalam hal
berat dan ukurannya, serta mengandung lebih sedikit oosit dan struktur folikel,
kemudian menjadi atresia dan folikel yang degeneratif. Kehilangan dari oosit dan
struktur folikel akan menyebabkan penyusutan yang bertahap dari estrogen dan
inhibin. Beberapa tahun sebelum menopause penurunan dari inhibin akan
menyebabkan peningkatan dari folikel stimulating hormone (FSH), dimana FSH
ini adalah indikator pertama laboratorium pada perimanopause.novak 398.serta
kenaikan luteinizing hormone (LH) 3 kali lipat,
Penyebab paling sering dari gangguan pembuluh darah jantung ialah
aterosklerosis yaitu termasuk penyakit ketuaan (degenerative) yang
mempengaruhi dinding pembuluh darah arteri. Secara biologis dan rasional,
estrogen mempunyai peran pencegahan terhadap kardiovaskuler. Banyak peneliti
yang mendukung penggunaan estrogen dapat menurunkan resiko penyakit
jantung koroner. Pemakaian estrogen secara bermakna menurunkan 40-60 %
resiko penyakit jantung koroner sehubungan dengan menaopause.
VI. RUJUKAN 1. Amran R. Masalah klimakterium. Simposium menghadapi usia lanjut dengan aman,
Palembang 1999; 1-6 2. Hutapea H. Memberdayakan wanita menopause sebagai sumber daya manusia yang tangguh
dalam pembangunan bangsa menyongsong era globalisasi. Maj Obstet Ginekol Indones. 1998; 22: 145 – 157
3. Baziad.A. Menopause dan andropause.ed.1.Jakarta: Yayasan Bina pustaka Sarwono Prawiroharjo, 2003; 101-9
4. Mishell DR, Brener PF. Management of common problems in obstetric & gynecology. 2nd ed. Oradell, New Jersey: Medical Economics Company Inc, 1981; 121-54
5. Wentz AC. Management of the menopause. In: Jones HW, Wentz AC, Burnett LS, eds. Novak’s textbook of gynecology. 11th ed. Baltimore : Williams & Wilkins Company, 1988 ; 397-400
6. Voda AM. Menopause: A normal view, Clin Obstet Gynecol 1992; 35 (4) : 923 -31 7. Jones HW, Wentz AC, Burnett LS. Novak’s textbook of gynecology. 10h ed. Baltimore:
Williams & Wilkins Company, 1981; 21 -54 8. Gorodeski GI. Mechanism of action for estrogen in cardioprotectin. In: Wren BG,eds.
Progress in the management of the menopause, New York: Phartenon Publishing Group, 1996: 402 – 11
9. Walsh BW. Estrogen replacement and heart disease, Clin Obstet Gynecol 1992; 35 (4) : 894 -99
10. Wenger NK. HT and CVD prevention: From myth to reality, Am Soc for Repro Med 2003; 1: 10 -13
11. Wild RA. Risk factors: Assesment and preventive measures, Clin Obstet Gynecol 1998; 41(4) : 966 -75
12. Archer DF. Low-dose hormone therapy for postmenopause women, Clin Obstet Gynecol 1998; 46 (2) : 317 -24
13. Mickelson IH. Selective estrogen receptor modulators in the long term management of postmenopausal women. In: Ransom SB, Dombrowski MP, Evans MI, Kenneth AG,
eds. Contemporary therapy in obstetrics and gynecology, Philadelphia: WB Saunders Company, 2002; 284-85
14. Baziad A.Menopause. dalam. Endokrinologi ginekologi, Jakarta: Media Aeskulapius FKUI, 2003; 82-91
15. Rachman IA. Menopause. Kursus dasar imunoendokrinologi reproduksi. Jakarta, 2002.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR TABEL iii
DAFTAR GAMBAR iv
I. PENDAHULUAN 1
II. PERUBAHAN HORMONAL PADA MENOPAUSE 2
III. PENYAKIT KARDIOVASKULER PADA MENOPAUSE
DAN PASCA MENOPAUSE 4
IV. FAKTOR RISIKO PENYAKIT JANTUNG KORONER
PADA MENOPAUSE DAN PASCA MENOPAUSE 7
A. Efek Lipid darah terhadap penyakit jantung 8
B. Faktor Homosistein 9
C. Faktor Risiko Lain Terhadap Penyakit Kardiovaskuler 10
V. TERAPI SULIH HORMON PADA MENOPAUSE
DAN PASCA MENOPAUSE 10
IX. RINGKASAN 15
X. RUJUKAN 16