Cuplikan Sriwijaya
-
Upload
luqmanraharjo -
Category
Documents
-
view
132 -
download
12
description
Transcript of Cuplikan Sriwijaya
enapa mayoritas orang
Palembang di Sumatra
Selatan mirip China, walau
ia beragama Islam? Itulah sebagian
‗sisa hidup‘ peninggalan Kerajaan
Sriwijaya yang pernah berjaya di
kawasan Asia. Kerajinan tenun
songket khas Palembang, pakaian
adat Palembang yang mirip
China, dan tari-tarian tradisional,
termasuk peninggalan Sriwijaya
yang hingga kini masih dapat
kita nikmati. Apakah empek-
empek juga termasuk jenis kudapan yang
sudah dikenal pada masa Sriwijaya berjaya? Mungkin saja begitu.
Pada abad ke 7 hingga 13 M, Sriwijaya mengalami zaman keemasan. Sebagai kerajaan maritim,
namanya dikenal hingga ke mancanegara. Kekuatan maritim dapat dilacak dari peninggalan
kemudi kapal Sriwijaya yang ditemukan di Sungai Buah, Palembang, pada 1960-an. Kemudi
yang terbuat dari kayu onglen hitam itu panjangnya mencapai delapan meter. Tak heran kalau
armada kapal milik Sriwijaya mampu berlayar ke China dengan membawa komoditas
perkebunan, seperti cengkeh, pala, lada, timah, rempah-rempah, emas, dan perak. Barang-barang
itu dibeli atau ditukar dengan porselin, kain katun, atau kain sutra. Pada masa kegemilangannya,
banyak pendatang dari mancanegara singgah ke Sriwijaya sekadar untuk tetirah atau berniaga.
Beragam jenis kapal bertambat di pelabuhan Sungai Musi. Mereka juga bermukim di kerajaan
yang dulunya menjadi pusat pendidikan ajaran Budha dan ilmu pengetahuan. Beberapa
bangsawan dan orang kebanyakan menikah dengan pendatang dari China. Tak heran kini
mayoritas orang Palembang kebanyakan berkulit kuning langsat dan bermata sipit. Apabila para
bangsawan Sriwijaya tak dibantai habis pasukan Majapahit, kemungkinan mereka adalah
keturunannya. Nasib ribuan pendeta Budha juga tak jelas hingga kini. Apakah mereka dihabisi
pasukan Majapahit atau menyingkir ke Tanah Jawa, Thailand, China, dan India? Atau mereka
harus berganti agama kala Islam masuk ke bekas kerajaan Sriwijaya? Tapi yang jelas, sebagian
dari mereka adalah keturunan para pedagang China, dan juga para bajak laut asal China yang
menguasai jalur sungai dan laut selama 200 tahun lamanya, usai Sriwijaya hancur lebur diserbu
Majapahit. Keganasan para perompak itu berakhir setelah Panglima Perang Chengho yang diutus
penguasa China datang dan memerangi mereka.
Sebagian perompak yang selamat dari serbuan Chengho, lalu alih usaha di daratan, beranak
pinak, dan membentuk koloni tersendiri. Mereka memutus tradisi dan nilai-nilai yang
berkembang di tanah leluhur bangsa China, dan sebaliknya menanamkan kehidupan khas
perompak yang berangasan. Sebuah tugu prasasti di Kampung Kapiten, Kelurahan Tujuh Ulu,
Kecamatan Seberang Ulu I, Palembang, menunjukkan pemujaan kepada Dewa Samudra, sebagai
peringatan adanya komunitas China yang menetap di Palembang. Adakah kaitan antara mereka
dan ‗Preman Palembang‘ yang kini tersohor itu? Sepertinya perlu ada penelitian yang lebih
mendalam. Kalau di Palembang ada Kampung Jawa, bisa jadi mereka adalah keturunan pasukan
Majapahit yang menetap disana.
Secuil peninggalan berbentuk benda mati seperti arca kini masih bisa Anda simak di Museum
Bala Putradewa, Palembang, Sumatra Selatan. Tercatat ada 2 museum lagi di Palembang, yaitu
Museum Situs Taman Purbakala Sriwijaya (TPKS) dan Museum Sultan Badaruddin II, namun
semuanya tak terawat dengan baik. Perlu ada upaya pemerintah untuk menyatukan ketiganya,
dan menamai museum itu ‗Museum Sriwijaya‘.
Sejak penjajahan Belanda hingga kini, sisa-sisa kejayaan Sriwijaya berupa barang antik telah
pindah tangan ke luar negeri. Palembang, Jambi, dan Lampung adalah padang perburuan
bagi kolektor dan pedagang barang antik. Kini tak lagi tersisa.
Dimanakah pusat Kerajaan Sriwijaya?
Itulah pertanyaan yang hingga kini masih menggantung, karena belum juga ditemukan
peninggalan istana atau kraton. Kemungkinan besar pada saat penyerbuan pasukan Majapahit,
istana tersebut dibumi hanguskan. Sejumlah manuskrip dan prasasti tentang kerajaan Sriwijaya
juga banyak yang telah rusak, hilang, atau masih terkubur dalam tanah. Ketidak lengkapan
temuan arkeologis tersebut menyebabkan para peneliti kesulitan menyusun sejarah kemunculan
dan pertumbuhan Kerajaan Sriwijaya secara lengkap dan runtut.
Sejarah Sriwijaya justru banyak disusun berdasarkan berita-berita dari pengelana asing, seperti
dari China, India atau Arab. Setidaknya ada 18 situs dari masa Sriwijaya di Palembang. Empat
situs diantaranya memiliki penanggalan sekitar abad ke-7 sampai ke-9, yaitu situs Candi
Angsoka, prasasti Kedukan Bukit, situs Kolam Pinishi, dan Situs Tanjung Rawa. Beberapa
prasasti juga telah ditemukan, yang isinya menceritakan keberadaan Sriwijaya dan kutukan bagi
para pembangkang. Beberapa peninggalan Sriwijaya juga ditemukan di Jambi, Lampung, Riau,
dan Thailand.
Kebesaran Sriwijaya juga terlacak dari peninggalan di India dan Jawa. Prasasti Dewapaladewa
dari Nalanda, India, abad ke-9 Masehi menyebutkan, Raja Balaputradewa dari Swarnadipa
(Sriwijaya) membuat sebuah biara. Prasasti Rajaraja I tahun 1046 mengisahkan pula, Raja
Kataha dan Sriwiyasa Marajayayottunggawarman dari Sriwijaya menghibahkan satu wilayah
desa pembangunan biara Cudamaniwarna di kota Nagipattana. India. Manuskrip sejarah, seperti
Kitab Sejarah Dinasti Song dan Dinasti Ming, berada di China. Raja Sriwijaya juga mendukung
penuh pembangunan Candi Borobudur di Pulau Jawa yang terbuat dari batu gunung. Sedangkan
candi-candi peninggalan Sriwijaya di Sumatra semuanya terbuat dari batu bata yang cepat aus
dimakan zaman. Kenapa? Karena lokasinya jauh dari gunung.
Kabar terakhir datang dari Malaysia. Raimy Che-Ross, peneliti Malaysia, pada tahun lalu
menemukan sebuah kota yang hilang di pedalaman Johor. Rahasia itu terkuak berawal dari
sebuah naskah kuno milik Stamford Raffles. Ia memperkirakan reruntuhan puing itu berasal dari
kota Gelanggi yang pada 1025 M diserbu pasukan Chola dari India Selatan pimpinan Raja
Rajendra Cholavarman. Kota itu dulunya terkait erat dengan Kerajaan Sriwijaya. Pada 1612, Tun
Seri Lanang, bendahara Royal Court di Johor, menyebut kota Gelanggi yang hilang sebagai
Perbendaharaan Permata (Treasury of Jewels). Sebagai catatan, pasukan Cola bergabung dengan
Kerajaan Majapahit untuk menyerbu Sriwijaya pada 1377 hingga ludes. Palembang pun lalu jadi
kota mati, dan tak lama kemudian dikuasai para perompak dari China. Para bajak laut itu
digempur pasukan China pimpinan Chengho, armada Majapahit dengan dukungan Raja
Aditiawarman dari Kerajaan Melayu.
Sriwijaya telah hilang ditelan zaman
Menurut budayawan dan ketua Dewan Kesenian Sumatra Selatan (DKSS) Djohan Hanifah
kepada Kompas, kebesaran Sriwijaya benar-benar terputus oleh kekuasaan Kerajaan Palembang
Darussalam dan Belanda, yang membangun budaya jauh berbeda. ―Beberapa candi dan
peninggalan Sriwijaya sempat dihancurkan dan dikubur dalam tanah dengan alasan teologis.
Estetika, ilmu pengetahuan, dan seni yang berkembang pada masa Sriwijaya tak lagi tumbuh
pada masa berikutnya sampai sekarang,‖ ujarnya.
Kebesaran Sriwijaya memang benar-benar telah hilang dimakan nafsu para penjarah,
perselingkuhan politik kekuasaan, penyebaran agama baru, dan lalu musnah ditelan zaman. Kota
Palembang yang kini kian metropolis dan hingar bingar membuat peninggalan masa lalu jadi
bertambah kesepian. Pertanyaan penting: Masih adakah spirit untuk membangkitkan kembali
kebesaran masa lalu di hati sanubari masyarakat Sumatra Selatan, khususnya penduduk
Palembang? Walahualam.
=============================================== Runtutan Waktu (Timeline)
_________________
400
Hindu dan Budha telah berkembang di Indonesia dilihat dari sejarah kerajaan-kerajaan dan
peninggalan-peninggalan pada masa itu antara lain candi, patung dewa, seni ukir, barang-barang
logam.
_________________
650 Kerajaan Sriwijaya mampu mengendalikan Selat Malaka selama 640 tahun, sejak 650 hingga
ditaklukkan Singosari pada 1290.
——
Raimy Che-Ross, peneliti Malaysia, pada 2004 menemukan sebuah kota yang hilang di
pedalaman Johor (bertarikh 650 M). Berawal dari sebuah naskah kuno milik Stamford Raffles. Ia
memperkirakan reruntuhan puing itu berasal dari kota Gelanggi yang pada 1025 diserbu pasukan
Chola dari India Selatan pimpinan Raja Rajendra Cholavarman.
_________________
671
I Tsing, seorang pendeta Budha dari Cina, berangkat dari Kanton ke India. Ia singgah di
Sriwijaya untuk belajar tatabahasa Sansekerta, kemudian ia singgah di Melayu selama dua bulan,
dan baru melanjutkan perjalanannya ke India.
_________________
682 Dapunta Hyang Sri Jayanasa bersama balatentaranya mendirikan wanua (tempat tinggal)
Sriwijaya.
__________________
684 Pembangunan Taman Sriksetra oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa.
__________________
685
I-Tsing kembali ke Sriwijaya, disini ia tinggal selama empat tahun untuk menterjemahkan kitab
suci Budha dari bahasa Sanskerta ke dalam bahasa Cina.
_________________
692
Salah satu kerajaan Hindu di Indonesia yaitu Sriwijaya tumbuh dan berkembang menjadi besar
dan pusat perdagangan yang dikunjungi pedagang Arab, Parsi, Cina. Yang diperdagangkan
antara lain tekstil, kapur barus, mutiara, rempah-rempah, emas, perak. Sebagian dari
Semenanjung Malaya, Selat Malaka, Sumatera Utara, Sunda, Jambi termasuk kekuasaaan
Sriwijaya. Pada masa ini perkembangan kerajaan Sriwijaya berkaitan dengan masa ekspansi
Islam di Indonesia dalam periode permulaan. Sriwijaya dikenal juga sebagai kerajaan maritim.
_________________
800
Candi Borobudur dibangun kerabat dan rakyat wangsa/dinasti Cailendra (750-842) yang
berkuasa pada saat itu. Borobudur dibangun 300 tahun sebelum Angkor Wat, Kamboja.
Borobudur tersusun dari batu lahar seluas 55 ribu m2 dan berada di atas bukit. Candi ini sempat
dipugar atas bantuan UNESCO, pada Agustus 1983 ditetapkan sebagai tempat bersejarah dunia.
—-
Prasasti Dewapaladewa dari Nalanda, India, abad ke-9 Masehi menyebutkan, Raja
Balaputradewa dari Swarnadipa (Sriwijaya) membuat sebuah biara.
_________________
1100 Islam diperkirakan mulai masuk ke Indonesia pertama kali melalui Aceh pada abad 11-12 M
(Samudra Pasai).
_________________
1025 Pasukan Chola dari India pimpinan Raja Rajendra Cholavarman menggempur kota Gelanggi
(kini Johor pedalaman). Sebelumnya menggempur kota Gangga Negara (kini Beruas di Perak).
__________________
1046 Raja Kataha dan Sriwiyasa Marajayayottunggawarman dari Sriwijaya menghibahkan satu
wilayah desa pembangunan biara Cudamaniwarna di kota Nagipattana, India.
_________________
1270 – 1297 Malikussaleh, raja Kerajaan Islam Samudera Pasai yang pertama kali membawa masuk ajaran
Islam ke Asia Tenggara. Di samping makamnya yang sederhana, terdapat juga makam putranya,
Malikuddhahir (1297-1326 M).
_________________
1290
Kerajaan Singosari menaklukkan Sriwijaya.
_________________
1345 – 1346 Musafir Maroko, Ibn Battuta melewati Samudra Pasai dalam perjalanannya ke dan dari China.
Diketahui juga bahwa Samudra merupakan pelabuhan yang sangat penting, tempat kapal-kapal
dagang dari India dan Cina. Ibn Battuta mendapati bahwa penguasa Samudra Pasai adalah
seorang pengikut Mahzab Syafi‘i salah satu ajaran dalam Islam.
_________________
1350 – 1389
Puncak kejayaan Majapahit dibawah pimpinan Raja Hayam Wuruk dan patihnya Gajah Mada.
Majapahit menguasai seluruh kepulauan Indonesia bahkan Jazirah Malaka sesuai dengan
―Sumpah Palapa‖ Gajah Mada yang ingin Nusantara bersatu.
____________________
1377 Kerajaan Sriwijaya runtuh sebagai akibat pemisahan negara penghibah upeti dan penyerbuan
massal oleh Kerajaan Cola dari India Selatan dan Kerajaan Majapahit. Akhirnya, Sriwijaya
ditaklukkan armada bajak laut China. Palembang kemudian dikuasai secara berturut-turut oleh
para perompak dari China, Kesultanan Palembang Darussalam, dan pemerintah kolonial
Belanda.
_________________
?
Perompak asal China menguasai jalur sungai dan laut di Sumatra selama 200 tahun lamanya.
Keganasan para perompak itu berakhir setelah Panglima Perang Chengho yang diutus penguasa
China datang dan memerangi mereka.
_________________
1512 – 1515 Tome Pires, seorang ahli obat-obatan dari Lisbon menghabiskan waktunya di Malaka dan
membuat buku yang berjudul Suma Oriental. Menurut Pires pada masa itu sebagian besar raja-
raja Sumatra beragama Islam, mulai dari Aceh sebelah utara terus menyusur ke pesisir timur
hingga Palembang para penguasanya beragama Islam.
_________________
1600 Kerajaan Palembang Darussalam tumbuh sejak abad ke-16, namun tidak meneruskan kebesaran
Sriwijaya.
_________________
1612 Tun Seri Lanang, bendahara Royal Court di Johor, menyebut kota Gelanggi yang hilang sebagai
Perbendaharaan Permata (Treasury of Jewels). Kota ini konon masih ada kaitan erat dengan
Kerajaan Sriwijaya.
_________________
1682
Pasukan VOC dipimpin Francois Tack dan Isaac de Saint Martin berlayar menuju Banten guna
menguasai perdagangan di Banten. VOC merebut dan memonopoli perdagangan lada di Banten.
Orang-orang Eropa yang merupakan saingan VOC diusir. Orang-orang Inggris mengundurkan
diri ke Bengkulu dan Sumatera Selatan satu-satunya pos mereka yang masih ada di Indonesia.
_______________
?
Sultan Mahmud Badaruddin I
__________________
? Sultan Mahmud Badaruddin II
__________________
1700 – 1900
Kekuasaan Belanda merasuki daerah Palembang sejak awal abad ke-18 sampai dengan
pertengahan abad ke-20 M. Lebih bercorak Kristiani, dan menekankan perdagangan untuk
mengembangkan wilayah jajahan. Kondisi itu semakin menjauhkan kemegahan Sriwijaya.
__________________
1851 Kesultanan Palembang Darussalam runtuh.
__________________
1892
Desember – JK van der Meulen menemukan prasasti Kota Kapur di dekat Sungai Mendo,
Bangka. Prasasti di atas tanggul batu itu berisi kutukan bagi mereka yang tidak taat kepada Raja
Sriwijaya.
__________________
1918 Nama Sriwijaya mulai dikenal sebagai kerajaan sejak G. Coedes menerbitkan artikel berjudul
‗Le Royaume de Crivijaya‘.
__________________
1920 17 November – Ditemukan prasasti Talangtuo di Desa Gandus, Palembang. Berisi tulisan
huruf palawa berbahasa Melayu Kuno bertarikh 684 H, menyebutkan tentang pembangunan
Taman Sriksetra oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa.
—
30 Desember – Ditemukan prasasti Kedukan Bukit di tepi Sungai Kedukan Bukit, Palembang.
Prasasti bertarikh 682 M yang dipahat batu kali itu menceritakan perjalanan Dapunta Hyang
bersama balatentaranya untuk mendirikan wanua (tempat tinggal) Sriwijaya.
*disadur langsung dari:
http://osdir.com/ml/culture.region.indonesia.ppi-india/2005-03/msg00922.html -Artikel lain-
The Rise of Sriwijaya Empire
Pada tahun 600 Masehi terdapat suku di pedalaman Sumatera Selatan yang di kenal dengan nama
suku Sakala Bhra (purba) yang berarti Titisan Dewa, suku ini mendiami daerah pegunungan dan
lembah bagian utara di sekitar gunung Seminung daerah perbatasan Sumatera Selatan dengan
Lampung.
Suku ini terpecah menjadi dua kelompok masyarakat, yang pertama yang mendiami kawasan
sekitar gunung Seminung dan turun ke lembah bagian utara sampai ke Lampung kemudian
sebagian lagi turun ke daerah bawah dengan mengikuti aliran sungai di daerah huluan sumatera
selatan yang kemudian di kenal dengan suku SAMANDA DI WAY yang berarti orang yang
mengikuti aliran sungai dan berakhir di Minanga ( Purba ), suku ini yang kelak kemudian asal
mula suku Daya, Komering dan Ranau. (Van Royen -1927)
Minanga karena kedudukannya di tepi Pantai ditinjau dari berbagai segi memikul beban sebagai
ibukota negara. Adapun bahasa yang mereka pergunakan adalah Bahasa Malayu Kuno atau Proto
Malayu yang merupakan cikal bakal bahasa komering, di daerah uluan sumatera selatan.
Kerajaan tersebut di pimpin oleh seorang Raja yang hebat dan sakti, yang bernama JAYA
NAGA kemudian oleh masyarakat pedalaman di beri Gelar DA PUNTA HYANG yang berarti
Maha Raja yang Keramat, sekarang pun di daerah uluan sumatera selatan masih dapat kita kenal
gelar Pu-Yang untuk orang yang kita anggap sesepuh maupun orang yang mempunyai kesaktian
tinggi.
Kerajaan ini kemudian di kenal dengan negeri kedatuan SRIWIJAYA disebut juga dalam kronik
(tulisan) di negeri China yaitu kerajaan Shi Li Fo Shih. Kerajaan ini setiap tahunnya mengirim
utusan ke negeri China tercatat sejak tahun 670 s/d 742 yang pada saat itu di negeri China sedang
berkuasa Dinasti Tang ( 618–907 ). Disebut pada dalam satu tulisan di negeri China bahwa ada
kerajaan dari Laut China Selatan yang selalu mengirim utusannya ke Tiongkok. Kerajaan itu
bernama Shi-Li-Fo-Shih yang di terjemahkan menjadi Sriwijaya. Pada tahun 671 Masehi seorang
pendeta China yang bernama It-Tsing mengunjungi kerajaan ini dalam perjalanannya menuju
India untuk memperdalam ajaran Budha. It-Tsing menetap 6 bulan di Minanga ibukota kedatuan
Sriwijaya untuk memperdalam bahasa Sansekerta, dengan bantuan Dapunta Hyang Sri Jaya
Naga, It-Tsing Berangkat menuju tanah Melayu (Jambi) dan menetap selama 2 bulan sebelum
melanjutkan perjalanan melalui Keddah terus keutara menuju India.
Dapunta Hyang Sri JayaNaga sangat disayangi dan disanjung oleh rakyatnya karena selain
mempunyai kesaktian tinggi juga merupakan pemimpin yang arif, bijaksana dan adil terhadap
rakyatnya. Jaya Naga juga seorang penganut Budha yang taat. Dengan Kesaktiannya ia dapat
mengetahui dan membaca gerak gerik alam, langit, matahari, bulan, bintang, hawa, hujan, angin,
batu, tanah dan hewan, sehingga penduduk kedatuan ini menganggap Jaya Naga merupakan
sosok titisan Dewa diatas Brahmana yang merupakan perantara manusia dengan sang Ghaib
yang diturunkan ke bumi untuk menjaga dan melindungi pulau surga (Swarna Dwipa). Setiap
kata yang diucapkannya merupakan petunjuk, setiap petuah dan nasehat menjadi adat dan
istiadat, kebaikannya merupakan anugerah dan kebahagian bagi penduduk dan kemarahan beliau
merupakan malapetaka.
Setiap daerah taklukkannya Jaya Naga selalu menunjuk pemimpin setempat yang di ambil dari
Jurai Tua (sesepuh masyarakat) untuk menjadi Datu (Ratu – pemimpin) di daerahnya sendiri
tetapi tetap terikat sebagai bagian dari daerah kedatuan Sriwijaya. Jaya Naga juga mampu
menyatukan beberapa rumpun suku yang ada di daerah pedalaman atau uluan sumatera selatan
yang awalnya semua penduduk berasal dari tiga rumpun suku yang mendiami tiga gunung yang
ada yaitu Gunung Seminung, Gunung Dempo dan Bukit Kaba. Sistem pemerintahan inilah yang
kelak menjadi asal mula sistem pemerintahan Marga yang ada di daerah uluan Sumatera Selatan.
Kedatuan Sriwijaya merupakan kerajaan yang dikenal makmur dengan hasil alamnya berupa
kayu kamper, kayu gaharu, pinang, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah yang
membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India. Selain itu juga kerajaan Sriwijaya merupakan
pusat kebudayaan agama Budha Mahayana yang mana daerah ini merupakan perlintasan
perjalanan para pendeta budha yang ingin memperdalam pertapaannya dari India ke China
maupun sebaliknya, dan dalam perkembangannya kerajaan Sriwijaya merupakan pusat Studi
agama Budha di kawasan Asia tenggara terutama daerah semenanjung Selat Malaka dan Selat
Sunda terbukti dari catatan It-Tsing, kerajaan Sriwijaya mempunyai 1.000 pendeta Budha,
pendeta Budha yang cukup terkenal dari Kedatuan Sriwijaya ini bernama Sakyakirti.
Penduduk kerajaan ini sebagian merupakan petani dan sebagian lagi merupakan saudagar yang
melakukan perdagangan dengan India, Melayu dan China. Pedagang dari Tiongkok dagang ke
Sriwijaya dengan membawa keramik, porselein dan sutra untuk di tukarkan dengan emas,
permata dan komoditas lain dari negeri ini yang merupakan tempat dimana komoditas penting
pada jaman itu sampai dengan sekarang merupakan kekayaan alam pulau ini sehingga orang
pada masa itu menyebut pulau ini dengan Pulau Surga (Swarna Dwipa).
Kerajaan ini di aliri oleh sungai-sungai (kanal-kanal) kecil yang memasuki perkotaan karena
perahu merupakan sarana transportasi penting masyarakat kota tersebut sehingga kerajaan ini
terkenal dengan armada kapal–kapal yang kuat dan rapi yang kemudian dapat menguasai seluruh
kawasan pelayaran di selat Malaka dan selat Sunda.
Pada saat itu pelabuhan Palembang yang merupakan pintu masuk ke perairan sungai-sungai yang
ada di uluan Sumatera selatan banyak di kuasai perompak-perompak. Kondisi seperti ini
membuat kapal kapal yang berlayar di pantai timur Pulau Sumatera berlabuh di pelabuhan
Melayu (Jambi) kemudian melanjutkan pelayaran tanpa memasuki pelabuhan Palembang.
Kisah perkembangan kerajaan Sriwijaya ini dimulai dari apa yang diutarakan dalam Prasasti
Kedukan Bukit. Pada Hari kesebelas bulan terang bulan Wai Saka tahun 605, Dapunta Hyang
Jayanaga berperahu kembali ke Minanga selepas melakukan pertapaan di gunung Seminung.
Dalam pertapaannya Jaya Naga meminta restu dan memohon petunjuk dan kekuatan dari sang
Ghaib di Gunung Seminung untuk menaklukkan tempat-tempat yang strategis agar dapat
menguasai jalur pelayaran di Laut Cina Selatan di karenakan pada waktu itu Minanga (ibukota
kerajaan) terletak dalam suatu teluk dimana sungai komering bermuara kurang strategis di
pandang dari sudut perdagangan.
Untuk Mewujudkan cita – citanya tersebut Dapunta Hyang Sri Jaya Naga melakukan konsolidasi
dengan daerah belakang yang satu rumpun yaitu rumpun Sakala Bhra (Purba). Kemudian
Dapunta Hyang Sri Jaya Naga menaklukan daerah yang juga satu Rumpun tersebut yang terletak
di sekitar bukit Pesagih di Hujung Langit Lampung Barat dan kemudian semua penduduk di ikat
oleh Sumpah setia kepada Dapunta Hyang Sri Jaya Naga untuk menjadi bagian dari kerajaan
Sriwijaya. (Prasasti Hujung Langit – Lampung Barat) Sepulang dari penaklukan daerah belakang
makin kuatlah pasukan kerajaan Sriwijaya yang di dukung oleh pasukan tambahan dari satu
rumpun, pasukan atau laskar sriwijaya terkenal akan keberanian, dan kekuatannya.
Dapunta Hyang Sri Jaya Naga mulai melakukan ekspansi pertamanya yaitu dia harus
menaklukan Tanjung Palembang dan menunjuk Mukha Upang ( Kedukan Bukit ) di daerah
Palembang sebagai titik temu. Palembang pada jaman itu merupakan kota di pinggir pantai di
mana bukit Sigiuntang merupakan tanjung Palembang yang menjorok ke laut. Tempat ini adalah
dataran tinggi yang merupakan mercusuar atau tempat pintu masuk ke tanjung Palembang yang
merupakan akses laut menuju ke sungai sungai yang ada di Sumatera Selatan.
Pada peta pantai timur Sumatra purba di tepi pantai timur teluk purba terdapat 2 tanjung yang
menjorok jauh ke arah laut, kearah utara dengan Jambi di ujungnya, dan yang timur menjorok
kearah tenggara dengan Palembang berada diujungnya. Tanjung Palembang terbentuk oleh Bukit
Siguntang sedang di selatan bukit ini terdapat teluk yang menjorok dalam lagi di mana sungai
komering bermuara.
Kemudian Dapunta Hyang Sri Jaya Naga membawa 20.000 ( Dua Puluh Ribu ) pasukannya
dengan 1.312 berjalan kaki melalui daratan atau hutan belantara dan sebagian lagi membawa
perahu mengikuti perairan. Selama dalam perjalanan terjadilah pertempuran–pertempuran kecil
yang tidak terlalu berarti yang merupakan perlawanan dari daerah-daerah yang di lintasi oleh
laskar Kerajaan Sriwijaya.
Pada tanggal 16 Juni 683 Masehi atau sekitar tujuh hari perjalanan sampailah rombongan
pasukan yang di pimpin Dapunta Hyang Sri Jaya Naga di Muka Uphang. Perjalanan pasukan
Sriwijaya mendapat kemenangan besar sehingga memberikan kepuasan bagi Sang Raja Dapunta
Hyang Sri Jaya Naga, kemudian Sang Raja memerintahkan untuk membuat bangunan atau
rumah (barak) untuk tempat para laskar Sriwijaya yang berjumlah 2 laksa laskar Sriwijaya, untuk
mengabadikan kemenangan tersebut di pahatlah Prasati Kedukan Bukit.
Setelah Mengadakan konsolidasi di daerah Mukha Upang ( Kedukan Bukit ) dan kemudian
menguasai pelabuhan palembang, maka pada hari kedua bulan terang bulan Caitra tahun 606
Saka (23 Maret 684 M) Dapunta Hyang Sri Jaya Naga sangat puas akan kesetiaan rakyat
setempat. Oleh karena itu di bangunlah Taman Sriksetra dengan pesan agar semua hasil yang di
dapat di dalam taman ini seperti Nyiur, Pinang, Enau, Rumbia dan semua yang dapat
dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, demikian pula halnya dengan tebat dan telaga agar
dapat di pelihara sehingga berguna bagi sekalian makhluk. Untuk itu Dapunta Hyang Sri Jaya
Naga memohon restu agar ia selalu sehat sentosa terhindar dari para penghianat yang tidak setia,
termasuk para abdi bahkan oleh istri-istri beliau. Karena beliau tidak akan menetap lama beliau
menambah pesannya, ―Walaupun dia tidak berada di tempat dimanapun dia berada janganlah
hendaknya terjadi curang, curi, bunuh dan zinah di situ. Akhirnya di harapkan doa agar beliau
mendapatkan Anuttara bhisayakasambodhi.― (Parasasti Talang Tuo)
Setahun kemudian terjadilah pemberontakan yang di pimpin oleh Perwira Lokal yaitu Kandra
Kayet sehingga menimbulkan korban termasuk salah satu Panglima Perang Sriwijaya terbunuh
yang bernama Tan Drun Luah, walaupun demikian Kandra Kayet yang gagah perkasa dapat di di
bunuh oleh Dapunta Hyang Sri Jaya Naga dan mati sebagai penghianat. Untuk mengingat hal ini
maka di buatlah suatu prasasti persumpahan untuk mengikat setiap para pejabat lokal yang ada di
daerah taklukan agar dapat tetap setia kepada Dapunta Hyang Sri Jaya Naga kalau tidak maka
akan terkutuklah dan di makan sumpah ( Prasasti Telaga Batu ).
Batu persumpahan yang dimaksud antara lain berbunyi, ―Kamu sekalian, seperti kamu
semuanya, anak raja, bupati, panglima besar, hakim, pengadilan kamu sekalian akan dimakan
sumpah yang mengutuk kamu. Apabila kamu sekalian tidak setia kepada kami kamu akan
dimakan sumpah.‖ (1-6)
Apabila kamu berhubungan dengan pendurhaka yang menghianati kami , orang yang tidak
tunduk kepada kami serta kedatuan kami, kamu akan dibunuh oleh sumpah kutuk ini.‖ (7-8)
― Apabila kamu menabur emas permata untuk meruntuhkan kedatuan kami atau menjalankan
tipu muslihat dan apabila kamu tidak tunduk kepada negara kedatuan kami maka terkutuklah
kamu akan dimakan dibunuh sumpah kutuk.‖ (11-12)
―Demikian pula apabila kamu melawan kepada kami di daerah-daerah perbatasan negara
kedatuan kami kamu akan dimakan, di bunuh.‖ (13-14)
―Lagi pula kami tetapkan pengangkatan menjadi datu dan mereka yang melindungi sekalian
daerah negara kedatuan kami putra mahkota, putra raja kedua, dan pangeran lain yang didudukan
dengan pengangkatan menjadi datu, kamu akan dihukum apabila kamu tidak tunduk kepada
kami.‖ (19-20)
Secara Geografis palembang adalah tempat yang strategis untuk menguasai lalu lintas pelayaran
di Laut China Selatan. Namun kebanyakan pada waktu itu kapal–kapal berlayar singgah di
kerajaan Melayu (Jambi) yang juga merupakan pelabuhan strategis di pantai timur Sumatera
kemudian kapal kapal tersebut melanjutkan perjalanannya ke utara tanpa singgah lagi di
pelabuhan palembang. Melihat kondisi seperti ini Dapunta Hyang Jaya Naga berencana untuk
menaklukan kerajaan Melayu Jambi) untuk di jadikan wilayah kekuasaan kedatuan Sriwijaya.
Dapunta Hyang Sri Jaya Naga bersama pasukannnya segera menuju Melayu, yang dari semula
tanah Melayu sudah di rencanakan untuk di tundukkan.
Pada tahun 685 di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang Sri Jaya Naga, Kerajaan Melayu takluk
di bawah imperium Sriwijaya. Penguasaan atas Melayu yang kaya emas telah meningkatkan
prestise kerajaan. Di abad ke-7, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan di
Sumatera dan tiga kerajaan di Jawa menjadi bagian imperium Sriwijaya.
Untuk meneruskan perjalanan ke Selatan dengan tujuan akhir adalah bumi Jawa tentu saja
Melayu harus segera pula di tinggalkan. Peristiwa pemberontakan Kandra Kayet terus saja
terbayang oleh sri baginda dan ini di jadikan sebagai contoh oleh Sri Baginda Dapunta Hyang Sri
Jaya Naga kepada setiap pejabat lokal bahwa setiap penghianatan, walau di lakukan oleh seorang
perkasa sekalipun dapat ditumpas. Kemudian penduduk kerajaan Melayu pun di ikat dengan
sumpah maka dipahatlah prasasti Karang Brahi.
Dapunta Hyang Sri Jaya Naga kembali berangkat dengan melalui lautan berarti harus melalui
selat Bangka. Oleh karena itu kerajaan Bangka harus pula di tundukkan lebih dahulu. Setelah
menaklukan kerajaan Bangka, Dapunta Hyang Jaya Naga bersiap melanjutkan perjalanannya ke
Bumi Jawa, namun sebelum keberangkatan Sri Baginda, penguasa lokal dan rakyatnya harus di
beri peringatan dan diikat dengan persumpahan untuk selalu setia kepada Dapunta Hyang Sri
Jaya Naga. Demikianlah pada akhirnya, pada hari pertama bulan terang Waiseka tahun 608 Saka
atau tahun 686 Masehi Sri Baginda Dapunta Hyang Sri Jaya Naga meninggalkan Batu Prasasti
Persumpahan yang kita kenal sebagai Parasasti Kota Kapur dan segera menuju Bumi Jawa yang
tidak mau tunduk kepada Sriwijaya. Dalam perjalanan Sri Baginda menuju Bumi Jawa masih ada
daerah yang berdiri sendiri di pantai timur Sumatera bagian selatan. Untuk kepentingan
keamanan penguasaan laut selatan, kerajaan itu harus pula ditundukan. Kerajaan itu sebenarnya
berasal dari satu rumpun wangsa Sakala Bhra. Kerajaan itu adalah kerajaan Ye-Po-Ti (Way
Seputih) di Lampung Selatan. Sama dengan peristiwa-peristiwa lainnya, setiap beliau
meninggalkan daerah–daerah yang rawan pemberontakan harus diadakan sumpah setia terlebih
dahulu. Sumpah tersebut terpahat dalam Prasasti Palas Pasemah.
Dari Way Seputih Rombongan langsung menuju Bumi Jawa, Dapunta Hyang Sri Jaya Naga
mengutus salah Satu Panglima terbaiknya yang juga merupakan kerabat dekat kerajaan yaitu
Dapunta Sailendra untuk memimpin pasukan Sriwijaya menuju Bumi Jawa. Dari data yang ada
tampaknya mereka menuju Jawa tengah bagian utara. Pada saat inilah di nyatakan oleh berita di
neger China (Dinasti Tang) bahwa kerajaan Sriwijaya terpecah menjadi dua bagian masing-
masing mempunyai pemerintahan sendiri. (Kronik Dinasti Tang).
Pada periode perkembangan kerajaaan Wangsa Sailendra di Jawa Tengah harus melaksanakan
perintah Sri Baginda Dapunta Hyang Sri Jaya Naga untuk membangun candi di Ligor
(Muangthai). Candi tersebut baru selesai tahun 775 di resmikan oleh raja Wisnu dari Wangsa
Sailendra. Sementara itu Dapunta Hyang Sri Jaya Naga kembali ke Minanga untuk melanjutkan
memerintah Kedatuan Sriwijaya yang menguasai lalu lintas perdagangan di Selat Malaka dan
Laut China Selatan.
Berdasarkan prasasti Kota Kapur, Kerajaan Sriwijaya menguasai bagian selatan Sumatera hingga
Lampung, mengontrol perdagangan di Selat Malaka, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat
Karimata. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan.
akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di
bawah pengaruh Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Budha Sailendra di
Jawa Tengah berada di bawah dominasi Sriwijaya. Masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga,
yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.
Di akhir Abad ke 7 ibukota Minanga telah mengalami malapetaka hingga silap atau hilang secara
misterius di telan bumi. Keadaan ini membuat Sri Baginda Dapunta Hyang Jaya Naga bersedih
sehingga mengasingkan diri ke Gunung Seminung untuk bertapa sampai akhir hayatnya.
(Legenda Minanga Sigonong-Gonong)
Sriwijaya di Swarnabhumi
Sejak pertapaan Dapunta Hyang Sri Jaya Naga di Gunung Seminung sekitar tahun 742 sebagian
besar anggota pasukan dan rombongan yang mengikutinya terpecah masing-masing mencari
tempat sendiri-sendiri, ada yang kemudian mendirikan Minanga baru dan ada juga yang lari ke
pulau Jawa. Sementara kota Minanga sendiri menjadi mitos kota yang hilang yang sampai
sekarang menjadi suatu kawasan yang paling angker yang di namakan penduduk sekitar menjadi
Sigonong-Gonong yang tidak dapat dimasuki oleh sembarang orang tanpa seijin ghaib disana.
Siapa yang masuk ke daerah itu tanpa izin akan ikut hilang tak tampak oleh kasat mata. (Legenda
Minanga Sigonong-Gonong).
Sementara itu menurut analisis Paleografi, teluk Minanga di mana sungai Komering bermuara
telah mengalami pendangkalan akibat dari pengendapan lumpur dari sungai Komering. Pantai
timur di bagian Sumatera Selatan mengalami pendangkalan 125 meter per tahun, dimana sejak
keberangkatan Dapunta Hyang Sri Jaya Naga ke Mukha Upang ( Kedukan Bukit ) pada tahun
683 Masehi sampai dengan kepulangan tahun 742 Masehi Teluk Minanga telah mendangkal
sepanjang 6 kilometer. Membuat kedudukan Minanga sudah jauh dari garis pantai timur
Sumaetra. Dengan posisi seperti itu maka Kerajaan Sriwijaya tidak mungkin lagi mengawasi
daerah-daerah bawahannya secara efektif, sehingga lambat laun daerah yang ditaklukan dan
diikat dengan persumpahan itu menjadi lepas berdiri sendiri.
Daerah daerah tersebut kemudian membentuk pemerintahan lokal yang berdiri sendiri.
Palembang kemudian menjadi kota pelabuhan yang berdiri sendiri yang terkenal dengan nama
Swarna Bhumi, Jambi menjadi kerajaan lokal dan menjadi kota pelabuhan terbesar pada saat itu.
Sementara daerah uluan di Sumatera Selatan mereka membuat kelompok masyarakat
seketurunan (Kepuhyangan) dan hidup menyebar di pedalaman Sumatera Selatan yang dikenal
dengan masyarakat hukum dengan azas pertalian darah (Geneologische Rechtgemeenschap).
Dalam masyarakat hukum dengan azas seperti ini maka kekuasaan dengan sendirinya di pegang
oleh seorang ‗Jurai Tua‘ yang di sebut Pase-lurah atau Pasirah yang dikenal sekarang ini yang
berkedudukan sebagai pemimpin (primus inter pares). Kewajiban pemimpin tidak lebih dari
memelihara dan mempertahankan hukum yang mereka sepakati dan dijadikan adat bagi sesama
mereka, menjaga batas–batas wilayah dan menjaga batas-batas antara yang boleh dan yang
terlarang.
Di daerah Batanghari Komring, kelompok seketurunan ini menempati daerah yang disebut
‗Morga‘ dikepalai oleh seorang sepuh yang berfungsi sebagai Ratu Morga dengan gelar KAI-
PATI. Di daerah Rejang kelompok seketurunan ini dinamai Petulai yang dipimpin seorang
sesepuh dengan sebutan DEPATI. (Marga di Bumi Sriwijaya–H.M.Arlan Ismail, SH–2005).
Masa inilah atau selama 218 tahun terjadi kekosongan pemerintahan di Sriwijaya. Tercatat oleh
berita di negeri China, Sriwijaya tidak pernah lagi mengirim utusan ke negeri China sejak tahun
742 Masehi (Kronik Dinasti Tang) sampai tahun 960 Masehi.
Sementara itu di Jawa Tengah berkembang dinasti Dapunta Sailendra yang merupakan Raja-Raja
dari Bhumi Sriwijaya yang diutus Dapunta Hyang Sri Jaya Naga untuk menaklukan Bhumi Jawa.
Nama Dapunta Sailendra di kumandangkan dimana-dimana sementara Dapunta Hyang Sri Jaya
Naga Raja Sriwijaya tetap di puja-puja oleh Dinasti Sailendra. Pada tahun 775 Masehi terpahat
sebuah prasasti di Ligor ( Muangthai ) menandai peresmian sebuah bangunan candi yang terdiri
beberapa bagian yang intinya adalah pujian terhadap Raja Sriwijaya yang dikatakan laksana
bulan di musim rontok yang sinarnya menyuramkan segala sinar bintang, raja yang berkuasa
gemilang dan yang paling baik di antara segenap raja dipermukaan Bhumi, kemudian
menyatakan bahwa raja Sriwijaya yang memerintahkan untuk membangun batu Trisamaya
Caitya untuk Padmapani, Sakyamuni dan Wajrapani guna di persembahkan kepada semua Jina
yang menduduki sepuluh tempat diangkasa dan memerintahkan Jayanta membangun Stupa
Trayamasi. Kemudian yang terakhir menyatakan raja Wisnu dari Wangsa Sailendra yang
berkuasa pada masa itu kemudian di tutup dengan pujian kembali kepada raja Sriwijaya yang
dikatakan menyerupai Indra. (Prasasti Ligor–Muangthai).
Pangeran Balaputra Dewa merupakan putera bungsu Raja Samaragrawira dari Wangsa Sailendra
kehilangan haknya untuk memerintah negeri di Bhumi Jawa di karenakan putera tertua adalah
Pangeran Samaratungga sehingga Pangeran Samaratungga yang berhak memimpin kerajaan di
Bhumi Jawa, yang kemudian Jatiningrat menikah dengan Pramodawardhani putri Raja
Samaratungga sehingga kemudian mewarisi takhta atas kerajaan di Bhumi Jawa.
Pada tahun 850 Masehi Balaputra Dewa dan pengikutnya kembali ke daerah Sumatera Selatan
untuk malakukan pertapaan di Gunung Seminung guna memperdalam ilmu dan kesaktian.
Sepanjang perjalanan di daerah uluan sumatera selatan sampai ke gunung Seminung Balaputra
Dewa di sambut baik oleh penduduk di wilayah bekas kedatuan Sriwijaya karena Balaputra
Dewa merupakan keturunan dari wangsa Sailendra Raja-Raja di Bhumi Jawa yang berasal dari
Bhumi Sriwijaya yang mereka anggap sebagai titisan Jaya Naga sang Maha Raja yang mereka
puja-puja selama ini. Pada saat selesai dari pertapaannya Balaputra Dewa diangkat oleh para
sesepuh adat yang terdiri dari pemimpin–pemimpin kelompok Marga untuk menjadi Ratu dan
kembali mempersatukan wilayah-wilayah kerajaan Sriwijaya yang telah berdiri sendiri akibat
kekosongan pemerintahan selama periode 117 tahun sejak di tinggal Dapunta Hyang Sri Jaya
Naga bertapa dan menghilang di Gunung Seminung, dimana daerah-daerah itu hanya diikat oleh
sumpah setia yang mereka percayai selama ini sebagai alat pemersatu semua rumpun suku.
Setelah terjadi kekacauan perdagangan di Kanton antara tahun 820 – 850, pemerintahan Jambi
menyatakan diri sebagai kerajaan merdeka dengan mengirimkan utusan ke China pada tahun 853
Masehi. Kemudian Balaputra Dewa dengan cepat dapat membangun kejayaan kerajaan Sriwijaya
kembali yang berpusat di Palembang dengan dukungan oleh masyarakat di bekas wilayah
Kedatuan Sriwijaya. Bahasa yang di pakai oleh kerajaan ini yaitu bahasa Sansekerta. Hal ini
yang kemudian membuat kerajaan di Jambi kawatir akan penguasaan kembali oleh dinasti
Sailendra sehingga kerajaan Jambi mengirim utusan ke negeri China pada tahun 871 untuk
mendapatkan perlingdungan dari Negeri China namun hal ini berlangsung tak lama, kemudian
pasukan Balaputra Dewa dapat menguasai Jambi, adapun politik dalam negeri yang selalu
dipakai sebagai alat persatuan untuk wilayah-wilayah taklukan kerajaan ini memakai nama
Sriwijaya.
Setelah menguasai pulau sumatera sampai ke Langkasuka dan Kedah semakin kuatlah dinasti
Balaputera Dewa di Swarna Bhumi sebagai kerajaan maritim di pantai timur Sumatera. Dinasti
Balaputera Dewa di Swarna Bhumi meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer
Jayawarman II, pendiri imperium Khmer, memutuskan hubungan dengan kerajaan Sriwijaya di
abad yang sama. [16] Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan dinasti
Balaputera Dewa di Swarna Bhumi sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan
perdagangan lokal yang mengenakan biaya atas setiap kapal yang lewat Palembang dan
mengakumulasi kekayaannya sebagai pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar
Tiongkok, Melayu, dan India
.
Dinasti Balaputra Dewa di Swarna Bhumi juga membantu menyebarkan kebudayaan Melayu ke
seluruh Sumatra, Semenanjung Melayu, dan Kalimantan bagian Barat. Dinasti Balaputra Dewa
juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, dan sebuah prasasti tertahun 860
Masehi mencatat bahwa raja Balaputra Dewa mendedikasikan sebuah biara kepada Universitas
Nalanda, Pala.Hubungan dengan dinasti Cola di India selatan di bawah pemerintahan Raja
Kesawariwarman Rajaraja pada mulanya cukup baik dan menjadi buruk setelah terjadi
peperangan di abad ke-11.
Pada tahun 960 Masehi Raja Sri Udayadityawarman yang merupakan keturunan dari Balaputra
Dewa dari Dinasti Sailendra yang pada saat itu memerintah Sriwijaya di SwarnaBhumi mengirim
utusan ke China dan mengirimkan berita telah kembali kerajaan Sriwijaya penguasa laut China
Selatan yang berada di Swarna Dwipa (Pulau Sumatera) dan beribukota di Swarna Bhumi
(Palembang), kerajaan ini kemudian terkenal di China dengan nama San-Fo-Tsi yang di artikan
Sriwijaya di Swarna Bhumi.
Pada tahun 962 datang lagi utusan kerajaan San-Fo-Tsi di bawah dinasti Sailendra yang
merupakan keturunan Raja Balaputra Dewa ke Tiongkok berturut-turut sampai dengan tahun
1097 masehi.
Pada tahun 992 mulai terjadi peperangan antara Dinasti Sailendra di Swarna Bhumi dengan
dinasti Sanjaya penguasa Bhumi Jawa. Pada masa itu yang memerintah di Bhumi Jawa adalah
Raja Dharmawangsa dari dinasti Sanjaya sedang di San-Fo-Tsi yang memerintah adalah Raja Sri
Cudamaniwarmadewa keturunan Balaputra Dewa dari Dinasti Sailendra. Kemudian Armada
pasukan Sriwijaya (San-Fo-Tsi) dapat memukul mundur pasukan Raja Dharmawangsa.
Kemudian pada tahun 1003 Raja Sri Cudamaniwarmadewa dari Sriwijaya San-Fo-Tsi mengirim
dua orang utusan ke negeri China untuk mempersembahkan upeti pada Kaisar. Kedua utusan ini
menceritakan bahwa di negerinya telah selesai di bangun sebuah candi Budha tempat berdoa, dan
mendoakan agar Kaisar di karuniai panjang usia, kemudian kaisar memberikan nama Candi
tersebut dengan Cheng-Tien-Wan-Show dan memberikan hadiah Lonceng untuk Candi tersebut.
Pada tahun 1006 Masehi Raja Sri Cudamaniwarmadewa di gantikan oleh penerusnya yaitu Raja
Sri Marawijaya Tunggawarman dari Dinasti Sailendra dan menghadiahkan sebuah desa sebagai
persembahan kepada Budha dalam Wihara yang di bangun oleh ayahnya Raja Sri
Cudamaniwarmadewa.
Tahun 1012 Raja Kasawariwarman Rajaraja mangkat, kemudian di gantikan putranya yang
bernama Rajendra Cola naik tahta untuk memerintah kerajaan Cola Mandala dari India Selatan,
yang kemudian membuat politik kerajaan Cola Mandala dengan San-Fo-Tsi mulai berubah.
Pada Tahun 1017 Masehi Raja Rajendra Cola mengirim Bala tentara menyerbu Keddah yang
merupakan salah satu pelabuhan yang ada di bawah Kerajaan Sriwijaya (San-Fo-Tsi) serangan
ini dapat di patahkan oleh armada-armada laut kerajaan Sriwijaya (San-Fo-Tsi).
Pada tahun 1025 Masehi Raja Marawijaya Tunggawarman di gantikan oleh Putranya yaitu
Pangeran Sangrama Wijaya Tunggawarman. Pada tahun inilah permusuhan Kerajaan Cola
Mandala dengan Sriwijaya (San-Fo-Tsi) mencapai puncaknya, dimana Kerajaan Cola Mandala
di pimpin oleh Raja Rajendra Cola menyerbu secara besar-besaran terhadap wilayah Sriwijaya
(San-Fo-Tsi). Adapun daerah yang di serbu tersebut antara lain, ibukota Sriwijaya (Palembang),
Melayu (Jambi), Ilamuri (Lamuri–Aceh), Manak Kawarna (Nikobar), Kadaram (Keddah), dan
berhasil menangkap Raja Sanggrama Wijaya Tunggawarman di daerah Keddah. Walaupun
demikian kerajaan Sriwijaya (San-Fo-Tsi) tetap berdiri yang kemudian menunjuk penerus Tahta
Sriwijaya (San-Fo-Tsi) adalah Raja Dewa Kulotungga dari dinasti Sailendra. Meskipun invasi
Raja Rajendra Cola tidak berhasil sepenuhnya, tetapi invasi tersebut telah melemahkan hegemoni
Sriwijaya (San-Fo-Tsi) yang berakibat terlepasnya beberapa wilayah dengan membentuk
kerajaan sendiri seperti Kediri, sebuah kerajaan yang berbasiskan pada pertanian.
Pada Tahun 1079 Masehi Raja Dewa Kulotungga sebagai Raja Sriwijaya (San-Fo-Tsi)
memperbaiki Candi Tien Ching di Kota Kuang Cho dekat kanton yang merupakan tempat suci di
sebelah utara Kanton. Pada tahun 1080 Raja Dewa Kulotungga wafat dan di gantikan oleh
puterinya. Kemudian Puteri Raja Dewa Kulotungga menikah dengan salah satu Bangsawan dari
Jambi ini tercatat dalam kunjungan Puteri Raja Dewa Kulotungga pada 1097 sudah di dampingi
oleh wakil dari kerajaan Chan-Pi (Jambi).
Sebagaimana kita ketahui masyarakat di daerah sumatera selatan mempunyai adat bahwa
penerus Jurai atau dinasti itu terletak pada anak laki-laki sebagai penerus tahta kerajaan.
Sehingga kebiasaan masyarakat sumatera selatan adalah tempat atau ibukota kerajaan mengikuti
Jurai penguasa pada saat itu. Pada masa inilah generasi dari wangsa Sailendra di Swarnabhumi
berakhir. Kemudian era selanjutnya adalah kerajaan Sriwijaya (San-Fo-Tsi) berpindah pusat
pemerintahannya ke Jambi ini menunjukan bahwa penguasa pada saat itu di pimpin oleh Jurai
atau dinasti Melayu dengan gelar Mauli Warmadewa yang berasal dari kata Tamil yang berarti
Mahkota Raja-Raja yang menandakan identitas raja-raja dari wangsa Melayu di Jambi.
Sriwijaya di Swarnapura
Pada masa itu sistem pemerintahan tradisional di Sumatera Selatan di mana pusat pemerintahan
biasanya mengikuti tempat di mana Jurai (Dinasti=Wangsa) yang berkuasa itu berasal.
Kemudian raja dari Wangsa Melayu di Sriwijaya (San-Fo-Tsi) yang terkenal pertama adalah
Pangeran Suryanarana yang bergelar Mauli Warmadewa.
Sejak Kepemimpinan Sriwijaya (San-Fo-Tsi) dari wangsa Melayu yang berpusat di Jambi maka
Ibukota Pemerintahan pun pindah ke Jambi yang terkenal pada saat itu dengan nama
Swarnapura. Kemudian pada masa itu nama ibukota lama (Palembang) berubah dari
Swarnabhumi menjadi Po-Lin-fong. Adapun masa pemerintahan Wangsa Melayu di Sriwijaya
(San-Fo-Tsi) dapat mengembalikan hubungan baik dengan kerajaan Cola Mandala dari India
selatan.
Pada Tahun 1178 di bawah pemerintahan Raja Sri Maha Raja (Srimat) Tri Lokaya Mauli
Warmadewa kerajaan Sriwijaya (San-Fo-Tsi) mengirimkan utusan nya ke negeri China yang
selama 59 tahun terhenti sejak tahun 1097 dengan membawa berita seperti tertulis dalam Ling-
Wai-Taiwa yang di beritakan oleh Cu-Ku-Fei bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua
kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni Sriwijaya (San-Fo-Tsi) dan Jawa (Kediri). Di Jawa
dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat
Sriwijaya memeluk Budha. Berdasarkan sumber ini pula dikatakan bahwa beberapa wilayah
kerajaan Sriwijaya ingin melepaskan diri, antara lain Kien-pi (Kampe, di utara Sumatra) dan
beberapa koloni di semenanjung Malaysia. Pada masa itu Sriwijaya (San-Fo-Tsi) telah
membawahi 15 negeri di Laut Selatan antara lain, Pong-Pong (Pahang), Tong Ya Nong
(Trenggano), Ling Ya Si Kia (Langkasuka), Kui Lan Tan (Kelantan), Fo-Lo-An (Dungan), Ji-Li-
Tong (Jelotong), Tsi Len Mai (Semang), Pa Ta (Batak), Tan Ma Ling (Tamalingga), Ki Lo Hi
(Grahi), Po-Lin-Pong (Palembang), Sin –To (Sunda), Kim-Pei (Kampe), Lan-Ma-li (Lamuri–
Aceh), Si-Lan (Sailon). Kemudian berturut turut sejak tahun 1178 sampai dengan 1373 Masehi
Sriwijaya (San-Fo-Tsi) seperti yang di beritakan di negeri China adalah beribukota di Jambi.
Pada akhir tahun 1275 tentara Kerajaan Singosari pada masa kepemimpinan Kartanegara
mengirim utusan ke Sriwijaya (San-Fo-Tsi) untuk mengajak bersama-sama menghadapi pasukan
Kubilai Khan dari Mongol dikarenakan utusan Mongol yang bernama Meng Chi yang di utus ke
Singosari mendapat perlakuan yang memalukan bagi kerajaan Mongol sehingga membuat
Kubilai Khan marah dan bermaksud menyerang kerajaan Singosari. Utusan Singosari mendapat
penolakan dari kerajaan Sriwijaya (San-Fo-Tsi) di karenakan Sriwijaya merupakan sekutu dari
Kerajaan China.
Menghadapi kondisi Sriwijaya (San-Fo-Tsi) yang tidak mau membantu Singosari akhirnya
Singosari memutuskan untuk menyerang dengan maksud dapat merubah sikap Sriwijaya
terhadap kerajaan China. Pada saat yang sama utusan Sriwijaya (San-Fo-Tsi) meminta bantuan
ke negeri China atas serangan dari kerajaan Singosari tersebut. Dan kemudian Kubilai Khan
mulai melancarkan serangan ke Singosari yang membuat pasukan Singosari yang berada di
perairan Sriwijaya yang siap untuk menyerang ditarik mundur sehingga San-Fo-Tsi lepas dari
cengkeraman Singosari. Setelah Singosari meninggalkan Swarna Bhumi, San-Fo-Tsi tidak
mampu lagi mengembalikan kebesaran seperti semula. Dan akhirnya pada tahun 1286 kerajaan
San-Fo-Tsi dapat ditaklukan Singosari.
Pada tahun 1293 dengan kematian Jaya Katwang, San-Fo-Tsi lepas dari Singosari dan kembali
memperoleh kemerdekaannya. Namun sebelum San-Fo-Tsi dapat menunjukan kebesarannnya
kembali telah disusul dengan adanya invasi Patih Gajah mada di bawah kerajaan Majapahit.
Kemudian Majapahit menunjuk Adityawarman untuk memeritah kerajaan Malayupura di
Darmasraya (Prasasti Adityawarman 1347 M).
Pada tahun 1373 datang utusan terakhir dari Sriwijaya (San-Fo-Tsi) ke Tiongkok yang
menyatakan bahwa negerinya telah terpecah menjadi 3 kerajaan :
1. Mahana Po Lin Fong (di Palembang)
2. Kerajaan Minangkabau (di Sumatera Barat)
3. Kerajaan Melayu (di Darmasraya)
Kemudian tahun selanjutnya ketiga kerajaan tersebut berturut turut mengirmkan utusannya ke
negeri China untuk memproklamirkan kerajaan mereka. Pada tahun 1374 datang utusan dari
kerajaan Mahana Po-Lin-Pong (Maharaja Palembang). Pada tahun 1375 datang utusan dari
kerajaan Minagkabau dibawah Raja Adityawarman, dan kemudian pada tahun 1376 datang pula
utusan dari kerajaan Melayu yang berkedudukan di Darmasraya. Dengan demikian, maka
berakhirlah riwayat kerajaan San-Fo-Tsi yang kita anggap sebagai kelanjutan kerajaan Sriwijaya.
Sriwijaya
Berawal di Minanga
Berjaya di Palembang
Berakhir di Jambi
( H.M. Arlan Ismail,SH – 2003 ).