Css Rhinosinusinitis
-
Upload
dikie-mustofadijaya -
Category
Documents
-
view
241 -
download
1
description
Transcript of Css Rhinosinusinitis
BAB II
ANATOMI
2.1. Hidung
2.1.1. Anatomi Hidung
Hidung terdiri dari dua bagian, yaitu:
Hidung luar dan hidung dalam, hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang
rawan, sedangkan hidung bagian dalam dimulai dari os internum di bagian anterior
hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dengan nasofaring.
a. Tulang
Kedua os nasale, processus frontalis maxillae, pars nasalis ossis frontalis.
b. Tulang rawan
2 cartilagines nasi laterales, 2 cartilagines alares, 1 cartilagines septi nasi.
Pada permukaan inferior terdapat 2 lubang yaitu nares anterior yang terpisah satu dari
yang lain oleh septum nasi.
1. Septum nasi
Sebagian berupa tulang dan sebagian lagi berupa tulang rawan.
Membagi cavitas nasi menjadi 2 rongga kanan dan kiri.
Terdiri dari:
a. Lamina perpendicularis ossis ethmoidalis membentuk bagian atas septum
nasi.
b. Vomer membentuk bagian posteroinferior septum nasi.
c. Cartilago septi nasi
Gambar 2.1. Anatomi tulang hidung
2. Cavitas nasi
Dapat dimasuki lewat nares anterior berhubungan dengan nasofaring melalui
kedua choana.
Dilapisi oleh membrane mukosa kecuali vestibulum nasi dilapisi oleh kulit.
- 2/3 inferior membrane mukosa area respiratori
- 1/3 superior membrane mukosa area olfactory.
Batas-batas
- Atap dibedakan 3 bagian frontonasal, ethmoidal, sphenoidal.
- Dasar processus palatines maxillae dan lamina horizontal ossis palatine.
- Dinding medial septum nasi.
- Dinding lateral concha nasalis.
3. Concha nasalis
Dibagi menjadi concha nasalis superior, media, dan inferior.
Membagi cavitas nasi menjadi 3 lorong, yaitu:
a. Meatus nasalis superior
- Sebuah lorong sempit antara concha nasalis superior dan media.
- Tempat bermuaranya sinus ethmoidalis superior melalui 1 atau lebih
lubang.
b. Meatus nasalis media
- Bagian anterosuperior berhubungan dengan infundibulum (jalan
penghantar ke sinus frontalis) melalui duktus frontonasalis.
- Sinus maxillaries juga bermuara ke meatus ini.
c. Meatus nasalis inferior
- Sebuah lorong horizontal yang terletak inferolateral terhadap concha
nasalis inferior.
- Ductus nasolacrimalis bermuara di bagian anterior meatus ini.
Gambar 2.2 Hidung bagian dalam.
4. Vaskularisasi dan Persarafan
a. Perdarahan dinding medial dan lateral cavitas nasi terjadi melalui:
- Cabang arteri sphenopalatina, arteri ethmoidalis anterior, arteri palatine major,
arteri labialis superior (area Kiesslbach), arteri ethmoidalis posterior, rami
lateralis arterial facialis.
- Plexus venosus menyalurkan darah kembali ke vena sphenopalatina, vena
facialis, vena ophthalmica.
Gambar 2.3. Pembuluh darah hidung
b. Persarafan
- 2/3 inferior membrane mukosa nerve nasopalatinus cabang maxillary.
- Bagian anterior nerve ethmoidalis anterior cabang nerve nasociliaris yang
merupakan cabang ophthalmica.
- Dinding lateral cavitas nasi melalui rami nasals nervi maxillary, nerve
palatines major, nerve ethmoidalis anterior.
Gambar 2.3. Persarafan hidung
2.1.2. Fisiologi Hidung
Hidung memiliki beberapa fungsi yaitu
1. Sebagai jalan napas.
2. Pengatur kondisi udara dengan mengatur kelembaban udara (dilakukan oleh palut
lendir) dan mengatur suhu.
3. Sebagai penyaring dan pelindung rambut, silia, dan palut lender.
4. Indra penghidu.
5. Resonansi suara.
6. Proses bicara pada pembentukan konsonan nasal (m,n,ng) rongga mulut tertutup
dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.
7. Refleks nasal bersin.
BAB III
RINITIS
3.1. Rinitis Alergik
3.1.1. Definisi
Rhinitis alergi merupakan penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopik yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta terjadi
pelepasan mediator kimia ketika paparan ulangan dengan allergen spesifik tersebut (Von
Pirquet, 1986)
Rinitis alergi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) tahun
2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan
tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
3.1.2. Epidemiologi
Terdapat 10-25 % populasi dengan prevalensi yang semakin meningkat sehingga
berdampak pada kehidupan sosial, kenerja di sekolah serta produktivitas kerja. Diperkirakan
biaya yang dihabiskan baik secara langsung maupun tidak langsung akibat rinitis alergi ini
sekitar 5,3 miliar dolar Amerika pertahun.
Di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 40 juta orang menderita rinitis alergi atau
sekitar 20% dari populasi. Secara akumulatif prevalensi rinitis alergi sekitar 15% pada laki-
laki dan 14% pada wanita, bervariasi pada tiap negara. Ini mungkin diakibatkan karena
perbedaan geografik, tipe dan potensi alergen.
Rinitis alergi dapat terjadi pada semua ras, prevalensinya berbeda-beda tergantung
perbedaan genetik, faktor geografi, lingkungan serta jumlah populasi. Dalam hubungannya
dengan jenis kelamin, jika rinitis alergi terjadi pada masa kanak-kanak maka laki-laki lebih
tinggi daripada wanita namun pada masa dewasa prevalensinya sama antara laki-laki dan
wanita. Dilihat dari segi onset rinitis alergi umumnya terjadi pada masa kanak-kanak, remaja
dan dewasa muda. Dilaporkan bahwa rinitis alergi 40% terjadi pada masa kanak-kanak. Pada
laki-laki terjadi antara onset 8-11 tahun, namun demikian rinitis alergi dapat terjadi pada
semua umur.
3.1.3. Etiologi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik
dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada
ekspresi rinitis alergi.
Alergen yang menyebabkan rhinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau
jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) : debu tungau, Dermatophagoides farinae dan
Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan, kecoa dan binatang pengerat.
Berdasarkan masuknya alergen dibagi atas:
1. Alergen inhalan: masuk bersamaan dengan udara pernapasan.
Contoh: tungau debu rumah (D. pteronyssinus, D. farinae, B. tropicalis), kecoa,
serpihan epitel kulit binatang (kucing, anjing), rerumputan (Bermuda grass), jamur
(Aspergillus, Altermaria).
2. Alergen ingestan: masuk melalui saluran cerna melalui makanan.
Contoh: susu sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting, kacang.
3. Alergen injektan: masuk melalui suntikan atau tusukan.
Contoh: penisilin dan sengatan lebah.
4. Alergen kontaktan: masuk melalui kontak kulit/jaringan mukosa.
Contoh: bahan kosmtik, perhiasan.
3.1.4. Klasifkasi
Berdasarkan sifat berlangsungnya, rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam, yaitu:
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis).
Gejala klinik: hidung (rinore) dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).
Biasanya terdapat di negara yang memiliki 4 musim.
Alergen: tepungsari (pollen) dan spora jamur.
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial).
Gejala timbul intermiten atau terus-menerus, tanpa variasi musim.
Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative ARIA
(Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu:
1. Intermitten (kadang-kadang): gejala < 4 hari/minggu atau < 4 minggu
2. Persisten/menetap: gejala > 4 hari/minggu atau > 4 minggu.
Berdasarkan tingkat berat-ringan penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
1. Ringan: bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yg mengganggu.
2. Sedang-berat: bila terdapat 1 atau lebih dari gangguan tsb di atas.
3.1.5. Patofisiologi
Terdapat 3 fase yang terjadi pada proses alergi. Fase sensitisasi, fase aktivasi dan fase
efektor. Pada fase sensitisasi, awal terjadinya reaksi alergi dimulai dengan respon pengenalan
alergen/antigen oleh sel darah putih yang dinamai sel makrofag, monosit dan atau sel dendrit.
Sel-sel tersebut berperan sebagai sel penyaji (antigen presenting cell/sel APC), dan berada di
mukosa saluran pernafasan. Antigen yang menempel pada permukaan mukosa tersebut
ditangkap oleh sel-sel APC, kemudian dari antigen terbentuk fragmen peptida imunogenik.
Fragmen pendek peptida ini bergabung dengan MHC-II yang berada pada permukaan sel
APC. Komplek peptida-MHC-II ini akan dipresentasikan ke limfosit T yang diberi nama
Helper-T cells (TH0). Apabila sel TH0 memiliki reseptor spesifik terhadap molekul komplek
peptida-MHC-II tersebut, maka akan terjadi penggabungan kedua molekul tesebut.
Sel APC akan melepas sitokin yang salah satunya adalah IL-1. IL-1 akan
mengaktivasi TH0 menjadi TH1 dan TH2. Sel TH2 melepas sitokin antara lain IL-3,IL-4, IL-5 dan
IL-13. IL-4 dan IL-13 akan ditangkap resptornya pada permukaan limfosit-B, akibatnya akan
terjadi aktivasi limfosit-B. Limfosit-B aktif ini memproduksi IgE. Molekul IgE beredar dalam
sirkulasi darah akan memasuki jaringan dan ditangkap oleh reseptor IgE pada permukaan sel
mast melalui FcεR.
Pada fase aktivasi, terjadi ikatan silang antara dua atau lebih IgE melalui FcεR yang
mengakibatkan aktivasi sel mast dan basofil. Maka akan terjadi degranulasi sel mast dengan
akibat terlepasnya mediator alergis. Mediator yang terlepas terutama histamin. Histamin
menyebabkan kelenjar mukosa dan goblet mengalami hipersekresi, sehingga hidung
beringus. Histamin juga merangsang nervus vidianus sehingga terjadi gatal hidung dan
bersin-bersin. Histamin juga menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas
kapiler sehingga mengakibatkan pembengkakan mukosa dan terjadi gejala sumbatan hidung.
Fase efektor terdiri dari reaksi fase akut cepat dan reaksi fase akut lambat. Reaksi
alergi yang segera terjadi akibat histamin tersebut dinamakan reaksi alergi fase cepat
(RAFC), yang mencapai puncaknya pada 15-20 menit pasca paparan alergen dan berakhir
pada sekitar 60 menit kemudian. Sepanjang RAFC sel mast juga melepas molekul-molekul
kemotaktik yang terdiri dari ECFA (eosinophil chemotactic factor of anaphylatic) dan NCEA
(neutrophil chemotactic factor of anaphylatic). Kedua molekul tersebut menyebabkan
penumpukkan sel eosinofil dan neutrofil di organ sasaran.
Reaksi alergi fase cepat ini dapat berlanjut terus sebagai reaksi alergi fase lambat
(RAFL) sampai 24 bahkan 48 jam kemudian. Tanda khas RAFL adalah terlihatnya
pertambahan jenis dan jumlah sel-sel inflamasi yang berakumulasi di jaringan sasaran dengan
puncak akumulasi antara 4-8 jam. Sel yang paling konstan bertambah banyak jumlahnya
dalam mukosa hidung dan menunjukkan korelasi dengan tingkat beratnya gejala pasca
paparan adalah eosinofil.
3.1.6. Diagnosis
Bagian ini terutama membahas alergi dalam kaitannya dengan jaringan hidung dan
sinus paranasalis. Respon alergi biasanya ditandai oleh bersin, kongesti hidung, dan renore
yang encer dan banyak. Tidak ada demam dan sekret biasanya tidak mengental ataupun
menjadi purulen seperti yang terjadi pada rhinitis infeksiosa. Awitan gejala timbul cepat
setelah paparan alergen, dapat berupa mata atau palatum yang gatal berair. Biasanya dapat
terungkap suatu pola musiman atau kaitan dengan bulu binatang, debu, asap, atau inhalan
lain. Gejala penyerta seperti mual, bersendawa, kembung, diare, somnolen atau insomnia
dapat juga memberi kesan suatu alergen yang ditelan, serta membedakan pasien-pasien ini
dari penderita rhinitis virus. Perbedaan penting lainnya adalah rhinitis alergika umumnya
berlangsung lebih lama dari rhinitis virus. Pada pasien dengan diatesis alergika, sering kali
terdapat alergi atau asma dalam keluarga. Seperti pada rinitis virus, maka sinusitis bakterialis
akut juga dapat timbul sekunder akibat sumbatan ostia dan pengumpulan sekret.
Diagnosis alergi hidung harus ditegakkan dengan pemeriksaan sistematik termasuk
anamnesis yang teliti serta sebagian atau semua hal-hal berikut ini :
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting karena hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari
anamnesis saja dan sering kali serangan tidak terjadi dari hasil pemeriksaan fisik.
Anamnesis dimulai dengan menanyakan riwayat penyakit alergi dalam
keluarga. Pasien juga perlu ditanya mengenai gangguan alergi selain yang menyerang
hidung seperti asma, ekzema, urtikaria atau sensitivitas obat. Saat-saat dimana gejala
sering timbul dapat membantu menentukan alergi musiman. Juga perlu mengaitkan
awitan gejala dengan perubahan lingkungan ditempat kerja atau di rumah. Sangat
penting untuk mengetahui riwayat pengobatan sebelumnya dan riwayat alergi
makanan.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Wajah
- Allergic shiners yaitu dark circles di sekitar mata dan berhubungan dengan
vasodilatasi atau obstruksi hidung.
- Nasal crease yaitu lipatan horizontal (horizontal crease) yang melalui setengah
bagian bawah hidung akibat kebiasaan menggosok hidung keatas dengan
tangan.
b. Hidung
- Pada rhinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau
livid disertai adanya banyak sekret yang encer, konka tampak membengkak.
- Jika terdapat infeksi penyerta, sekret dapat bervariasi mulai dari encer dan
mukoid hingga kental dan purulent. Dan pada saat yang sama mukosa menjadi
merah dan meradang, terbendung atau bahkan kering sama sekali.
- Tentukan karakteristik dan kuantitas mukus hidung. Pada rinitis alergi mukus
encer dan tipis. Jika kental dan purulen biasanya berhubungan dengan
sinusitis. Namun, mukus yang kental, purulen dan berwarna dapat timbul
pada rinitis alergi.
- Periksa septum nasi untuk melihat adanya deviasi atau perforasi septum yang
dapat disebabkan oleh rinitis alergi kronis, penyakit granulomatus.
- Periksa rongga hidung untuk melihat adanya massa seperti polip dan tumor.
Polip berupa massa yang berwarna abu-abu dengan tangkai. Dengan
dekongestant topikal polip tidak akan menyusut. Sedangkan mukosa hidung
akan menyusut.
c. Telinga, mata dan orofaring
- Dengan otoskopi perhatikan adanya retraksi membran timpani, air-fluid level,
atau bubbles. Kelainan mobilitas dari membran timpani dapat dilihat dengan
menggunakan otoskopi pneumatik. Kelaianan tersebut dapat terjadi pada
rinitis alergi yang disertai dengan disfungsi tuba eustachius dan otitis media
sekunder.
- Pada pemeriksaan mata Akan ditemukan injeksi dan pembengkakkan
konjungtiva palpebral yang disertai dengan produksi air mata.
d. Leher. Perhatikan adanya limfadenopati
e. Paru-paru. Perhatikan adanya tanda-tanda asma
f. Kulit. Kemungkinaan adanya dermatitis atopi
3. Pemeriksaan Sitologi Hidung
Pemeriksaan laboratorium (in–vitro), pemeriksaan sitologi hidung, walaupun
tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan penyaring atau
pelengkap terhadap pemeriksaan lain. Ditemukan eosinofil dalam jumlah banyak
menunjukkan kemungkinan alergi inhalen. Jika basofil mungkin disebabkan alergi
makanan, sedangkan jika ditemukan PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.
4. Hitung eosinofil dalam darah tepi
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat meningkat atau normal. Begitu juga
dengan pemeriksaan IgE total (Prist-paper radio immunosorbent test) seringkali
menunjukkan nilai normal. Kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu
penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria.
Pemeriksaan ini berguna untuk predileksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak
kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah
pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (radio-immunosorbent test) atau ELISA
(Enzyme-linked immunosorbent assay test)
5. Uji kulit
Alergen penyebab dapat juga dicari secara invivo dengan uji kulit. Ada
beberapa cara, yaitu uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (skin
end-point titration/SET), uji cukit (Prick Test), dan uji gores (Scratch Test).
Kedalaman kulit yang dicapai pada kedua uji kulit (uji cukit dan uji gores) sama. SET
dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai
konsentrasi yang bertingkat kepekaannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab,
juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. Untuk alergi
makanan, uji kulit seperti tersebut di atas kurang dapat diandalkan. Diagnosis
biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (“challenge test”). Alergen
ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada
“challenge test”, makanan yang dicurigai diberikan pada penderita setelah berpantang
selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan
setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang
dengan meniadakan suatu jenis makanan. Uji kulit untuk alergi makanan yang akhir-
akhir ini banyak dilakukan adalah provocative neutralization test atau intra cutaneus
provocative food test. (IPFT). Dengan lengkapnya pemeriksaan ini, selain jenis
alergen penyebab, juga dapat diketahui besarnya konsentrasi alergen yang dapat
menetralkan reaksi akibat alergen tersebut.
6. Tes penunjang lainnya
Yang lebih bermakna namun tidak selalu dikerjakan adalah tes IgE spesifik
dengan RAST (Radio Immunosorbent test) atau ELISA (Enzyme linked immuno
assay). IgE total > 200 IgE RAST untuk alergen –alergen dengan tingkat skor 1+ s/d
4+.
3.1.7. Penatalaksanaan Penatalaksanaan
Menurut ARIA penatalaksanaan rinitis alergi meliputi :
a. Penghindaran alergen.
Merupakan terapi yang paling ideal. Cara pengobatan ini bertujuan untuk
mencegah kontak antara alergen dengan IgE spesifik dapat dihindari sehingga
degranulasi sel mast tidak berlangsung dan gejalapun dapat dihindari. Namun, dalam
praktiknya sangat sulit mencegah kontak dengan alergen tersebut. Masih banyak data
yang diperlukan untuk mengetahui pentingnya peranan penghindaran alergen.
b. Pengobatan medikamentosa
Cara pengobatan ini merupakan konsep untuk mencegah dan atau
menetralisasi kinerja molekul-molekul mediator yang dilepas sel-sel inflamasi alergis
dan atau mencegah pecahnya dinding sel dengan harapan gejala dapat dihilangkan.
Obat-obat yang digunakan untuk rinitis pada umumnya diberikan intranasal atau oral.
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja secara
inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat
farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rinitis
alergi. Antihistamin diabsorbsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif untuk
mengatasi gejala pada respons fase cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak
efektif untuk mengatasi obstruksi hidung pada fase lambat.
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai
dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi denfgan antihistamin atau
topikal. Namun pemakaian secara topiukal hanya boleh untuk beberapa hari saja
untuk menghindari terjadinya rinitis alergi medikamentosa.
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala sumbatan hidung akibat respons fase
lambat tidak dapat diatasi dengan obat lain. Kortikosteroid topikal bekerja untuk
mengurangi jumlah sel mast pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein
sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit.
Preparat antikolinergik topikal bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena
aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor. Pengobatan baru
lainnya untuk rinitis alergi di masa yang akan datang adalah anti leukotrien, anti IgE,
DNA rekombinan.
Obat-obat tidak memiliki efek jangka panjang setelah dihentikan. Karenanya
pada penyakit yang persisten, diperlukan terapi pemeliharaan.
Tabel 3.1. Efek terapi terhadap gejala-gejala rinitis
Bersin Rinorea Sumbatan hidung
Gatal hidung Keluhan mata
H1-antihistamin- oral - intranasal - intaokular
++++0
++++0
++0
+++++0
++0+++
Kortikosteroid- intranasal ++++ +++ +++ ++ ++Kromolin-Intranasal-Intraokular
+0
+0
+0
+0
0++
Dekongestan- Intranasal- Oral
00
00
+++++
00
00
Antikolinergik 0 ++ 0 0 0Anti-leukotrin 0 + ++ 0 ++
c. Imunoterapi spesifik
Imunoterapi spesifik efektif 80-90% jika diberikan secara optimal.
Imunoterapi subkutan masih menimbulkan pertentangan dalam efektifitas dan
keamanan. Oleh karena itu, dianjurkan penggunaan dosis optimal vaksin yang diberi
label dalam unit biologis atau dalam ukuran masa dari alergen utama. Dosis optimal
untuk sebagian besar alergen utama adalah 5 sampai 20 g. Imunoterapi subkutan
harus dilakukan oleh tenaga terlatih dan penderita harus dipantau selama 20 menit
setelah pemberian subkutan.
Indikasi imunoterapi spesifik subkutan
- Penderita yang tidak terkontrol baik dengan farmakoterapi konvensional
- Penderita yang gejala-gejalanya tidak dapat dikontrol baik dengan
antihistamin H1 dan farmakoterapi
- Penderita yang tidak menginginkan farmakoterapi
- Penderita dengan farmakoterapi yang menimbulkan efek samping yang tidak
diinginkan
- Penderita yang tidak ingin menerima terapi farmakologis jangka panjang.
Imunoterapi spesifik nasal dan sublingual dosis tinggi-imunoterapi spesifik
oral
- Dapat digunakan dengan dosis sekurang-kurangnya 50-100 kali lebih besar
dari pada yang digunakan untuk imunoterapi subkutan.
- Pada penderita yang mempunyai efek samping atau menolak imunoterapi
subkutan
- Indikasinya mengikuti indikasi dari suntikan subsukatan
Pada anak-anak, imunoterapi spesifik adalah efektif. Namun tidak
direkomendasikan untuk melakukan imunoterapi pada anak dibawah umur 5 tahun.
d. Imunoterapi non-spesifik
Imunoterapi non-spesifik menggunakan steroid topikal. Hasil akhir sama
seperti pengobatan imunoterapi spesifik-alergen konvensional yaitu sama-sama
mampu menekan reaksi inflamasi, namun ditinjau dari aspek biomolekuler terdapat
mekanisme yang sangat berbeda.
Glukokortikosteroid (GCSs) berikatan dengan reseptor GCS yang berada di
dalam sitoplasma sel, kemudian menembus membran inti sel dan mempengaruhi
DNA sehingga tidak membentuk mRNA. Akibat selanjutnya menghambat produksi
sitokin pro-inflammatory.
e. Edukasi
Pemeliharaan dan peningkatan kebugaran jasmani telah diketahui berkhasiat
dalam menurunkan gejala alergis. Mekanisme biomolekulernya terajadi pada
peningkatan populasi limfosit TH yang berguna pada penghambatan reaksi alergis,
serta melalui mekanisme imunopsikoneurologis.
f. Operatif
Tindakan bedah dilakukan sebagai tindakan tambahan pada beberapa
penderita yang sangat selektif. Seperti tindakan konkotomi (pemotongan konka
inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil
dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau triklor asetat.
3.1.8. Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah :
1. Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor
penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung. Polip hidung
biasanya tumbuh di meatus medius dan merupakan manifestasi utama akibat proses
inflamasi kronis yang menimbulkan sumbatan sekitar ostia sinus di meatus medius.
Polip memiliki tanda patognomonis : inspisited mucous glands, akumulasi sel-sel
inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih-lebih eosinofil dan limfosit T CD4+),
hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa. Ditemukan juga
mRNA untuk GM-CSF, TNF-alfa, IL-4 dan IL-5 yang berperan meningkatkan reaksi
alergis.
2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak
3. Sinusitis paranasal
Merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi akibat edema
ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa. Edema mukosa ostia menyebabkan
sumbatan ostia. Penyumbatan tersebut akan menyebabkan penimbunan mukus
sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut
akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob. Selain dari itu,
proses alergi akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat
dekstruksi mukosa oleh mediator-mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil
(MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah.
Pengobatan komplikasi rinits alergi harus ditujukan untuk menghilangkan obstruksi
ostia sinus dan tuba eustachius, serta menetralisasi atau menghentikan reaksi humoral
maupun seluler yang terjadi lebih meningkat. Untuk tujuan ini maka pengobatab rasionalnya
adalah pemberian antihistamin, dekongestan, antiinflamasi, antibiotia adekuat, imunoterapi
dan bila perlu operatif.
3.2. Rinitis Non-Alergika
3.2.1. Rhinitis Vasomotor
Gangguan vasomotor hidung adalah didapatkannya gangguan fisiologik lapisan
mukosa hidung yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis.
Etiologi belum diketahui secara pasti, namun diduga sebagai akibat gangguan
keseimbangan fungsi vasomotor. Saraf otonom mukosa hidung berasal dari nerve vidianus
yang mengandung serat saraf simpatis dan parasimpatis menyebabkan dilatasi pembuluh
darah dalam konka serta meningkatkan permeabilitas kapiler dan sekresi kelenjar. Sedangkan
rangsangan pada serat saraf simpatis menyebabkan efek sebaliknya.
Keseimbangan vasomotor ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berlangsung
kontemporer, seperti emosi, posisi tubuh, kelembaban udara, perubahan suhu luar, latihan
jasmani dan sebagainya, yang pada keadaan normal faktor-faktor tadi tidak dirasakan sebagai
gangguan oleh individu tersebut. Pada pasien rhinitis vasomotor, mekanisme pengaturan ini
hiperaktif dan cenderung saraf parasimpatis lebih aktif.
Faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor adalah :
a. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis seperti ergotamine,
clorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokontrktor topical.
b. Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang
tinggi dan bau yang merangsang dan makanan yang pedas dan panas.
c. Faktor endokrin, seperti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti hamil dan
hipotiroidisme.
d. Faktor psikis, seperti cemas, tegang.
3.2.1.1 Manifestasi Klinis
Hidung tersumbat tergantung posisi pasien (bergantian kiri dan kanan), rinore yang
mucus/serus, jarang disertai bersin dan gatal pada mata, gejala memburuk pada pagi hari atau
baru bangun tidur(perubahan suhu, udara lembab, asap rokok dan sebagainya). Berdasarkan
gejala yang menonjol, kelainan dibedakan mejadi dua golongan, yaitu golongan obstruksi dan
golongan rinore. Prognosis golongan obstruksi lebih baik daripada rinore.
3.2.1.2 Diagnosis
1. Anamnesis dicari factor yang memepengaruhi keseimbangan vasomotor, dan
disingkirkan kemungkinan rhinitis alergi
2. Rhinoskopi anterior gambaran klasik berupa mukosa hidung edema, konka merah
gelap tetapi dapat juga pucat, permukaan konka licin atau berbenjol, sekret mukoid
biasanya sedikit. Namun pada golongan rinore, secret yang ditemukan secret serosa
yang banyak jumlahnya.
3. Laboratorum dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rhinitis alergi. Kadang
ditemukan juga eosinofil pada secret hidung akan tetapi dalam jumlah sedikit.
4. Tes Kulit biasanya negatif
3.2.1.3 Penatalaksanaan
1. Menghindari penyebab
2. Pengobatan simtomatis
a. dekongestan oral
b. kauterisasi konka yang hipertrofi dengan memakai AgNO3 25% atau triklor
asetat,
c. kortikosteroid topikal seperti budesonide 2x1 dengan dosis 100-200 mikrogram
sehari. Dosis dapat ditingkatkan sampai 400 mikrogram sehari. Hasilnya akan
terlihat setelah pemakaian paling sedikit 2 minggu. Saat ini terdapat kortikosteroid
topical baru dalam larutan aqua seperti flutikason proprionat dengan pemakaian
cukup satu kali sehari dengan dosis 200 mcg.
3. Operasi
Dengan bedah beku, elektrokauterisasi dan konkotomi konka inferior
4. Neurektomi n. Vidianus.
Melakukan pemotongan pada nerve vidianus, bila dengan cara diatas tidak
memberikan hasil. Operasi ini tidaklah mudah, dapat menimbulkan komplikasi seperti
sinusitis, diploplia, buta, gangguan lakrimasi, neuralgia, anestesis infraorbital dan
anestesis palatum.
3.2.2. Rhinitis Medikamentosa
3.2.2.1 Definisi
Rhinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung berupa gangguan respon
normal vasomotor, sebagai akibat pemakaian vasokonstriktor topikal (obat tetes hidung atau
obat semprot hidung) dalam waktu lama dan berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan
hidung yang menetap.
3.2.2.2 Etiologi
Hal ini disebabkan oleh pemakaian obat yang berlebihan (drug abuse).
3.2.2.3 Patofisiologi
Mukosa hidung merupakan organ yang sangat peka terhadap rangsangan (iritant),
sehingga harus berhati-hati memakai vasokonstriktor topikal. Obat vasokonstriktor topikal
dari golongan simpatomimetik akan menyebabkan siklus nasal terganggu dan akan berfungsi
kembali apabila pemakaian obat itu dihentikan. Pemakaian vasokonstriktor topikal yang
berulang dan dalam waktu lama akan menyebabkan terjadinya fase dilatasi berulang (rebound
dilatation) setelah vasokonstriksi, sehingga timbul obstruksi. Dengan adanya gejala obstruksi
hidung ini menyebabkan pasien lebih sering dan lebih banyak lagi memakai obat tersebut,
sehingga efek vasokonstriksi berkurang, pH hidung berubah, dan aktivitas silia terganggu,
sedangkan efek balik akan menyebabkan obstruksi hidung lebih hebat dari keluhan
sebelumnya. Bila pemakaian obat diteruskan, maka akan terjadi dilatasi dan kongesti
jaringan. Kemudian terjadi pertambahan mukosa jaringan dan rangsangan sel-sel mukoid,
sehingga sumbatan akan menetap dengan produksi sekret yang berlebihan.
Oleh karena itu, obat vasokonstriktor topikal sebaiknya yang isotonik dengan sekret
hidung yang normal, dengan pH antara 6,3 dan 6,5 serta pemakaiannya tidak lebih dari satu
minggu.
Kerusakan yang terjadi pada mukosa hidung pada pemakaian obat tetes hidung dalam
waktu lama, ialah:
1. silia rusak,
2. sel goblet berubah ukurannya,
3. membrane basal menebal,
4. pembuluh darah melebar,
5. stroma tampak edema,
6. hipersekresi kelenjar mukus, dan
7. lapisan periosteum menebal.
3.2.2.4 Gejala dan Tanda
Pasien mengeluh hidungnya tersumbat terus-menerus dan berair. Pada pemeriksaan
tampak edema konka dengan sekret hidung yang berlebihan. Apabila diuji dengan adrenalin,
edema konka tidak berkurang.
3.2.2.5 Terapi
1. Hentikan pemakaian obat tetes atau obat semprot hidung.
2. Untuk mengatasi sumbatan berulang (rebound congestion) beri kortikosteroid secara
penurunan bertahap (tapering off) dengan menurunkan dosis sebanyak 5 mg setiap
hari, (misalnya hari ke-1 = 40 mg, hari ke-2 = 35 mg, dan seterusnya).
3. Obat dekongestan oral (biasanya mengandung pseudoefedrin).
Apabila dengan cara ini tidak ada perbaikan setelah 3 minggu, pasien dirujuk ke
dokter THT.
3.2.3. Rinitis Hipertrofi
3.2.3.1 Etiologi
Rinitis hipertrofi dapat timbul akibat infeksi berulang dari rhinitis alergi dan
vasomotor.
3.2.3.2 Gejala dan Tanda
Gejala utama adalah sumbatan hidung. Sekret biasanya banyak, mukopurulen, dan
sering ada keluhan nyeri kepala.
Pada pemeriksaan akan ditemukan konka hipertrofi, terutama konka inferior.
Permukaannya berbenjol-benjol ditutupi oleh mukosa yang hipertrofi. Akibatnya saluran
udara sangat sempit. Sekret mukopurulen yang banyak biasanya ditemukan diantara konka
inferior dan septum , dan juga di dasar rongga hidung.
3.2.3.4 Terapi
Harus dicari faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya tinitis hipertrofi dan
kemudian memberikan pengobatan yang sesuai. Untuk mengurangi sumbatan hidung akibat
hipertrofi konka dapat dilakukan kauterisasi konka dengan zat kimia (nitras argenti atau asam
triklorasetat) atau dengan kauter listrik (elektrokauter). Bila tidak menolong, dilakukan
luksasi konka atau bila perlu dilakukan konkotomi.
3.2.4. Rinitis Sika
3.2.4.1 Insidensi
Penyakit ini biasanya ditemukan pada orang tua dan pada orang yang bekerja di
lingkungan yang berdebu, panas, dan kering. Juga ditemukan pada pasien yang menderita
anemia, peminum alcohol, dan gizi buruk.
3.2.4.2 Gejala dan Tanda
Pasien biasanya mengeluh rasa iritasi atau rasa kering di hidung yang kadang-kadang
disertai dengan epistaksis.
Pada rinitis sika ditemukan mukosa yang kering, terutama pada bagian depan septum
dan ujung depan konka inferior. Krusta biasanya sedikit atau tidak ada.
3.2.4.3 Terapi
Pengobatan tergantung pada penyebabnya. Dapat diberikan pengobatan lokal, berupa
obat cuci hidung.
3.2.5. Rinitis Spesifik
Rinitis karena infeksi spesifik, antara lain:
1. Rhinitis difteri
a. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae. Dapat primer pada
hidung atau sekunder dari tenggorok. Dapat akut atau kronik.
b. Gejala
Gejala rhinitis difteri akut ialah demam, toksemia, terdapat limfadenitis, dan
mungkin ada paralisis.
Rinitis difteri kronis gejalanya lebih ringan dan akhirnya dapat sembuh sendiri,
tetapi dalam keadaan kronis masih menular.
c. Tanda
Pada hidung ada sekret yang bercampur darah, mungkin ditemukan
pseudomembran putih yang mudah berdarah, dan krusta coklat di nares dan
kavum nasi.
d. Diagnosis
Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan kuman dari sekret hidung.
e. Terapi
Diberikan ADS (anti difteri serum), penisilin lokal dan intramuskuler. Pasien
harus diisolasi sampai pemeriksaan kuman negatif.
2. Rhinitis atrofi (ozaena)
a. Definisi
Rinitis atrofi merupakan penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya
atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka. Secara klinis mukosa hidung
menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta
yang berbau busuk.
b. Insidensi
Wanita lebih sering terkena, terutama usia dewasa muda. Sering ditemukan pada
masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah dan sanitasi lingkungan
yang buruk.
c. Etiologi
Banyak teori mengenai etiologi dan pathogenesis rhinitis atrofi, antara lain:
- Infeksi oleh kuman spesifik. Yang tersering ditemukan adalah spesies
Klebsiella, terutama Klebsiella ozaena. Kuman lainnya yang juga sering
ditemukan adalah Staphilococcus, Streptococcus, dan Pseudomonas
aeruginosa.
- Defisiensi Fe
- Defisiensi vitamin A
- Sinusitis kronik
- Kelainan hormonal
- Penyakit kolagen, yang termasuk penyakit autoimun.
Mungkin penyakit ini terjadi karena kombinasi beberapa faktor penyebab.
d. Gejala
Keluhan biasanya berupa napas berbau, ada ingus kental yang berwarna hijau, ada
kerak (krusta) hijau, ada gangguan penghidu, sakit kepala, dan hidung tersumbat.
e. Tanda
Pada pemeriksaan THT didapatkan rongga hidung sangat lapang, konka inferior
dan media hipotrofi atau atrofi, secret purulen berwarna hijau, dan krusta
berwarna hijau.
Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan diagnosis adalah
pemeriksaan histopatologi yang berasal dari biopsy konka media, pemeriksaan
mikrobiologi dan ujiresistensi kuman, dan tomografi computer (CT Scan) sinus
paranasal.
f. Terapi
Oleh karena etiologinya multifaktorial, maka pengobatannya belum ada yang
baku. Pengobatan ditujukan untuk mengatasi etiologi dan menghilangkan gejala.
Pengobatan yang diberikan dapat bersifat konservatif, atau kalau tidak dapat
menolong dilakukan pembedahan.
- Terapi konservatif
Diberikan antibiotika spektrum luas atau sesuai dengan uji resistensi kuman,
dengan dosis yang adekuat. Lama pengobatan bervariasi tergantung dari
hilangnya tanda klinis berupa sekret purulen kehijauan.
Untuk membantu menghilangkan bau busuk akibat hasil proses infeksi serta
sekret purulen dan krusta, dapat dipakai obat cuci hidung. Larutan yang dapat
digunakan adalah larutan garam hipertonik. Larutan tersebut harus diencerkan
dengan perbandingan 1 sendok makan larutan dicampur 9 sendok makan air
hangat. Larutan dihirup (dimasukkan) ke dalam rongga hidung dan
dikeluarkan lagi dengan menghembuskan kuat-kuat atau yang masuk ke
nasofaring dikeluarkan melalui mulut, dilakukan 2 kali sehari. Jika sukar
mendapatkan larutan di atas, dapat dilakukan pencucian rongga hidung dengan
100 cc air hangat tang dicampur dengan 1 sendok makan (15 cc) larutan
betadin atau larutan garam dapur setengah sendok teh dicampur segelas air
hangat. Dapat diberikan vitamin A 3 kali 50.000 unit dan preparat Fe selama 2
minggu.
- Terapi operatif
Jika dengan pengobatan konservatif tidak ada perbaikan, maka dilakukan
operasi. Teknik operasi antara lain penutupan lubang hidung atau penyempitan
lubang hidung dengan implantasi atau dengan jabir osteoperiosteal. Tindakan
ini diharapkan akan mengurangi turbulensi udara dan pengeringan secret,
inflamasi mukosa berkurang, sehingga mukosa akan kembali normal.
Penutupan rongga hidung dapat dilakukan pada nares anterior atau pada koana
selama 2 tahun. Untuk menutup koana dipakai flap palatum
Akhir-akhir ini bedah sinus endoskopik fungsional (BSEF) sering dilakukan
pada kasus rhinitis atrofi. Dengan melakukan pengangkatan sekat-sekat tulang
yang mengalami osteomyelitis, diharapkan infeksi tereradikasi, fungsi
fentilasi, dan drenase sinus kembali normal, sehingga terjadi regenerasi
mukosa.
g. Histopatologi
Tampak metaplasia epitel torak bersilia menjadi epitel kubik atau epitel gepeng
berlapis, silia menghilang, lapian submukosa menjadi lebih tipis, kelenjar-kelenjar
berdegenerasi dan atrofi, serta jumlahnya berkurang dan bentuknya menjadi kecil.
3. Rhinitis sifilis
a. Etiologi
Penyebab rhinitis sifilis ialah kuman Treponema pallidum.
b. Gejala
Rinitis sifilis yang primer dan sekunder gejalanya serupa dengan rhinitis akut
lainnya, hanya mungkin dapat terlihat adanya bercak pada mukosa. Pada rhinitis
sifilis tertier dapat ditemukan gumma atau ulkus, yang terutama mengenai septum
nasi dan dapat mengakibatkan perforasi septum.
c. Tanda
Pada pemeriksaa klinis didapatkan secret mukopurulen yang berbau dan krusta.
Mungkin terlihat perforasi septum atau hidung pelana.
d. Diagnosis
Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan mikrobiologi dan biopsy.
e. Terapi
Diberikan penisilin dan obat cuci hidung. Krusta harus dibersihkan secara rutin.
4. Rhinitis tuberkulosa
a. Definisi
Rinitis tuberkulosa merupakan infeksi tuberkulosa ekstra pulmoner. Sering dengan
peningkatan kasus tuberculosis (new emerging disease) yang berhubungan dengan
kasus HIV-AIDS, penyakit ini harus diwaspadai keberadaannya.
b. Tanda
Tuberkulosis pada hidung berbentuk noduler atau ulkus, terutama mengenai
tulang rawan septum dan dapat mengakibatkan perforasi.
Pada pemeriksaan klinis terdapat secret mukopurulen dan krusta, sehingga
menimbulkan keluhan hidung tersumbat.
c. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya basil tahan asam (BTA) pada sekret
hidung.
d. Histopatologi
Ditemukan sel datia Langerhans dan limfositosis
e. Terapi
Diberikan antituberkulosis dan obat pencuci hidung.
5. Rhinitis jamur
a. Definisi
Rinitis jamur dapat terjadi bersama dengan sinusitis dan bersifat invasif atau non-
invasif. Rinitis jamur invasif dapat menyerupai rinolith dengan inflamasi mukosa
yang lebih berat. Rinolith ini sebenarnya adalah bola jamur (fungus ball).
Biasanya tidak terjadi destruksi kartilago dan tulang.
b. Tanda
Tipe invasif ditandai dengan ditemukannya hifa jamur pada lamina propia. Jika
terjadi invasif jamur pada submukosa dapat mengakibatkan perforasi septum atau
hidung pelana. Jamur sebagai penyebab dapat dilihat dengan pemeriksaan
histopatologi, pemeriksaan sediaan langsung, atau kultur jamur, misalnya
Aspergillus, Candida, Histoplasma, Fussarium, dan Mucor.
Pada pemeriksaan hidung terlihat adanya secret mukopurulen, mungkin terlihat
ulkus atau perforasi pada septum disertai dengan jaringan nekrotik berwarna
kehitaman (black eschar).
c. Terapi
Terapi tipe non-invasif adalah mengangkat seluruh bola jamur. Pemberian obat
jamur sistemik maupun topical tidak diperlukan.
Terapi tipe invasif adalah mengeradikasi agen penyebabnya dengan pemberian
anti jamur oral dan topikal. Cuci hidung dan pembersihan hidung secara rutin
dilakukan untuk mengangkat krusta. Bagian yang terinfeksi dapat diolesi dengan
gentian violet. Untuk infeksi jamur invasif, kadang-kadang disperlukan
debridement seluruh jaringan yang nekrotik dan tidak sehat. Kalau jaringan
nekrotik sangat luas, dapat terjadi destruksi yang memerlukan tindakan
rekonstruksi.