Css Rhinosinusinitis

37
BAB II ANATOMI 2.1. Hidung 2.1.1. Anatomi Hidung Hidung terdiri dari dua bagian, yaitu: Hidung luar dan hidung dalam, hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan, sedangkan hidung bagian dalam dimulai dari os internum di bagian anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dengan nasofaring. a. Tulang Kedua os nasale, processus frontalis maxillae, pars nasalis ossis frontalis. b. Tulang rawan 2 cartilagines nasi laterales, 2 cartilagines alares, 1 cartilagines septi nasi. Pada permukaan inferior terdapat 2 lubang yaitu nares anterior yang terpisah satu dari yang lain oleh septum nasi.

description

koas

Transcript of Css Rhinosinusinitis

Page 1: Css Rhinosinusinitis

BAB II

ANATOMI

2.1. Hidung

2.1.1. Anatomi Hidung

Hidung terdiri dari dua bagian, yaitu:

Hidung luar dan hidung dalam, hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang

rawan, sedangkan hidung bagian dalam dimulai dari os internum di bagian anterior

hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dengan nasofaring.

a. Tulang

Kedua os nasale, processus frontalis maxillae, pars nasalis ossis frontalis.

b. Tulang rawan

2 cartilagines nasi laterales, 2 cartilagines alares, 1 cartilagines septi nasi.

Pada permukaan inferior terdapat 2 lubang yaitu nares anterior yang terpisah satu dari

yang lain oleh septum nasi.

1. Septum nasi

Sebagian berupa tulang dan sebagian lagi berupa tulang rawan.

Membagi cavitas nasi menjadi 2 rongga kanan dan kiri.

Terdiri dari:

a. Lamina perpendicularis ossis ethmoidalis membentuk bagian atas septum

nasi.

b. Vomer membentuk bagian posteroinferior septum nasi.

Page 2: Css Rhinosinusinitis

c. Cartilago septi nasi

Gambar 2.1. Anatomi tulang hidung

2. Cavitas nasi

Dapat dimasuki lewat nares anterior berhubungan dengan nasofaring melalui

kedua choana.

Dilapisi oleh membrane mukosa kecuali vestibulum nasi dilapisi oleh kulit.

- 2/3 inferior membrane mukosa area respiratori

- 1/3 superior membrane mukosa area olfactory.

Batas-batas

- Atap dibedakan 3 bagian frontonasal, ethmoidal, sphenoidal.

- Dasar processus palatines maxillae dan lamina horizontal ossis palatine.

- Dinding medial septum nasi.

- Dinding lateral concha nasalis.

3. Concha nasalis

Dibagi menjadi concha nasalis superior, media, dan inferior.

Membagi cavitas nasi menjadi 3 lorong, yaitu:

a. Meatus nasalis superior

- Sebuah lorong sempit antara concha nasalis superior dan media.

- Tempat bermuaranya sinus ethmoidalis superior melalui 1 atau lebih

lubang.

b. Meatus nasalis media

Page 3: Css Rhinosinusinitis

- Bagian anterosuperior berhubungan dengan infundibulum (jalan

penghantar ke sinus frontalis) melalui duktus frontonasalis.

- Sinus maxillaries juga bermuara ke meatus ini.

c. Meatus nasalis inferior

- Sebuah lorong horizontal yang terletak inferolateral terhadap concha

nasalis inferior.

- Ductus nasolacrimalis bermuara di bagian anterior meatus ini.

Gambar 2.2 Hidung bagian dalam.

4. Vaskularisasi dan Persarafan

a. Perdarahan dinding medial dan lateral cavitas nasi terjadi melalui:

- Cabang arteri sphenopalatina, arteri ethmoidalis anterior, arteri palatine major,

arteri labialis superior (area Kiesslbach), arteri ethmoidalis posterior, rami

lateralis arterial facialis.

- Plexus venosus menyalurkan darah kembali ke vena sphenopalatina, vena

facialis, vena ophthalmica.

Page 4: Css Rhinosinusinitis

Gambar 2.3. Pembuluh darah hidung

b. Persarafan

- 2/3 inferior membrane mukosa nerve nasopalatinus cabang maxillary.

- Bagian anterior nerve ethmoidalis anterior cabang nerve nasociliaris yang

merupakan cabang ophthalmica.

- Dinding lateral cavitas nasi melalui rami nasals nervi maxillary, nerve

palatines major, nerve ethmoidalis anterior.

Gambar 2.3. Persarafan hidung

Page 5: Css Rhinosinusinitis

2.1.2. Fisiologi Hidung

Hidung memiliki beberapa fungsi yaitu

1. Sebagai jalan napas.

2. Pengatur kondisi udara dengan mengatur kelembaban udara (dilakukan oleh palut

lendir) dan mengatur suhu.

3. Sebagai penyaring dan pelindung rambut, silia, dan palut lender.

4. Indra penghidu.

5. Resonansi suara.

6. Proses bicara pada pembentukan konsonan nasal (m,n,ng) rongga mulut tertutup

dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.

7. Refleks nasal bersin.

Page 6: Css Rhinosinusinitis

BAB III

RINITIS

3.1. Rinitis Alergik

3.1.1. Definisi

Rhinitis alergi merupakan penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada

pasien atopik yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta terjadi

pelepasan mediator kimia ketika paparan ulangan dengan allergen spesifik tersebut (Von

Pirquet, 1986)

Rinitis alergi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) tahun

2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan

tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.

3.1.2. Epidemiologi

Terdapat 10-25 % populasi dengan prevalensi yang semakin meningkat sehingga

berdampak pada kehidupan sosial, kenerja di sekolah serta produktivitas kerja. Diperkirakan

biaya yang dihabiskan baik secara langsung maupun tidak langsung akibat rinitis alergi ini

sekitar 5,3 miliar dolar Amerika pertahun.

Di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 40 juta orang menderita rinitis alergi atau

sekitar 20% dari populasi. Secara akumulatif prevalensi rinitis alergi sekitar 15% pada laki-

laki dan 14% pada wanita, bervariasi pada tiap negara. Ini mungkin diakibatkan karena

perbedaan geografik, tipe dan potensi alergen.

Rinitis alergi dapat terjadi pada semua ras, prevalensinya berbeda-beda tergantung

perbedaan genetik, faktor geografi, lingkungan serta jumlah populasi. Dalam hubungannya

dengan jenis kelamin, jika rinitis alergi terjadi pada masa kanak-kanak maka laki-laki lebih

tinggi daripada wanita namun pada masa dewasa prevalensinya sama antara laki-laki dan

wanita. Dilihat dari segi onset rinitis alergi umumnya terjadi pada masa kanak-kanak, remaja

dan dewasa muda. Dilaporkan bahwa rinitis alergi 40% terjadi pada masa kanak-kanak. Pada

laki-laki terjadi antara onset 8-11 tahun, namun demikian rinitis alergi dapat terjadi pada

semua umur.

3.1.3. Etiologi

Page 7: Css Rhinosinusinitis

Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik

dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada

ekspresi rinitis alergi.

Alergen yang menyebabkan rhinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau

jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) : debu tungau, Dermatophagoides farinae dan

Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan, kecoa dan binatang pengerat.

Berdasarkan masuknya alergen dibagi atas:

1. Alergen inhalan: masuk bersamaan dengan udara pernapasan.

Contoh: tungau debu rumah (D. pteronyssinus, D. farinae, B. tropicalis), kecoa,

serpihan epitel kulit binatang (kucing, anjing), rerumputan (Bermuda grass), jamur

(Aspergillus, Altermaria).

2. Alergen ingestan: masuk melalui saluran cerna melalui makanan.

Contoh: susu sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting, kacang.

3. Alergen injektan: masuk melalui suntikan atau tusukan.

Contoh: penisilin dan sengatan lebah.

4. Alergen kontaktan: masuk melalui kontak kulit/jaringan mukosa.

Contoh: bahan kosmtik, perhiasan.

3.1.4. Klasifkasi

Berdasarkan sifat berlangsungnya, rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam, yaitu:

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis).

Gejala klinik: hidung (rinore) dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).

Biasanya terdapat di negara yang memiliki 4 musim.

Alergen: tepungsari (pollen) dan spora jamur.

2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial).

Gejala timbul intermiten atau terus-menerus, tanpa variasi musim.

Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative ARIA

(Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu:

1. Intermitten (kadang-kadang): gejala < 4 hari/minggu atau < 4 minggu

2. Persisten/menetap: gejala > 4 hari/minggu atau > 4 minggu.

Berdasarkan tingkat berat-ringan penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:

Page 8: Css Rhinosinusinitis

1. Ringan: bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai,

berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yg mengganggu.

2. Sedang-berat: bila terdapat 1 atau lebih dari gangguan tsb di atas.

3.1.5. Patofisiologi

Terdapat 3 fase yang terjadi pada proses alergi. Fase sensitisasi, fase aktivasi dan fase

efektor. Pada fase sensitisasi, awal terjadinya reaksi alergi dimulai dengan respon pengenalan

alergen/antigen oleh sel darah putih yang dinamai sel makrofag, monosit dan atau sel dendrit.

Sel-sel tersebut berperan sebagai sel penyaji (antigen presenting cell/sel APC), dan berada di

mukosa saluran pernafasan. Antigen yang menempel pada permukaan mukosa tersebut

ditangkap oleh sel-sel APC, kemudian dari antigen terbentuk fragmen peptida imunogenik.

Fragmen pendek peptida ini bergabung dengan MHC-II yang berada pada permukaan sel

APC. Komplek peptida-MHC-II ini akan dipresentasikan ke limfosit T yang diberi nama

Helper-T cells (TH0). Apabila sel TH0 memiliki reseptor spesifik terhadap molekul komplek

peptida-MHC-II tersebut, maka akan terjadi penggabungan kedua molekul tesebut.

Sel APC akan melepas sitokin yang salah satunya adalah IL-1. IL-1 akan

mengaktivasi TH0 menjadi TH1 dan TH2. Sel TH2 melepas sitokin antara lain IL-3,IL-4, IL-5 dan

IL-13. IL-4 dan IL-13 akan ditangkap resptornya pada permukaan limfosit-B, akibatnya akan

terjadi aktivasi limfosit-B. Limfosit-B aktif ini memproduksi IgE. Molekul IgE beredar dalam

sirkulasi darah akan memasuki jaringan dan ditangkap oleh reseptor IgE pada permukaan sel

mast melalui FcεR.

Pada fase aktivasi, terjadi ikatan silang antara dua atau lebih IgE melalui FcεR yang

mengakibatkan aktivasi sel mast dan basofil. Maka akan terjadi degranulasi sel mast dengan

akibat terlepasnya mediator alergis. Mediator yang terlepas terutama histamin. Histamin

menyebabkan kelenjar mukosa dan goblet mengalami hipersekresi, sehingga hidung

beringus. Histamin juga merangsang nervus vidianus sehingga terjadi gatal hidung dan

bersin-bersin. Histamin juga menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas

kapiler sehingga mengakibatkan pembengkakan mukosa dan terjadi gejala sumbatan hidung.

Fase efektor terdiri dari reaksi fase akut cepat dan reaksi fase akut lambat. Reaksi

alergi yang segera terjadi akibat histamin tersebut dinamakan reaksi alergi fase cepat

(RAFC), yang mencapai puncaknya pada 15-20 menit pasca paparan alergen dan berakhir

pada sekitar 60 menit kemudian. Sepanjang RAFC sel mast juga melepas molekul-molekul

kemotaktik yang terdiri dari ECFA (eosinophil chemotactic factor of anaphylatic) dan NCEA

Page 9: Css Rhinosinusinitis

(neutrophil chemotactic factor of anaphylatic). Kedua molekul tersebut menyebabkan

penumpukkan sel eosinofil dan neutrofil di organ sasaran.

Reaksi alergi fase cepat ini dapat berlanjut terus sebagai reaksi alergi fase lambat

(RAFL) sampai 24 bahkan 48 jam kemudian. Tanda khas RAFL adalah terlihatnya

pertambahan jenis dan jumlah sel-sel inflamasi yang berakumulasi di jaringan sasaran dengan

puncak akumulasi antara 4-8 jam. Sel yang paling konstan bertambah banyak jumlahnya

dalam mukosa hidung dan menunjukkan korelasi dengan tingkat beratnya gejala pasca

paparan adalah eosinofil.

3.1.6. Diagnosis

Bagian ini terutama membahas alergi dalam kaitannya dengan jaringan hidung dan

sinus paranasalis. Respon alergi biasanya ditandai oleh bersin, kongesti hidung, dan renore

yang encer dan banyak. Tidak ada demam dan sekret biasanya tidak mengental ataupun

menjadi purulen seperti yang terjadi pada rhinitis infeksiosa. Awitan gejala timbul cepat

setelah paparan alergen, dapat berupa mata atau palatum yang gatal berair. Biasanya dapat

terungkap suatu pola musiman atau kaitan dengan bulu binatang, debu, asap, atau inhalan

lain. Gejala penyerta seperti mual, bersendawa, kembung, diare, somnolen atau insomnia

dapat juga memberi kesan suatu alergen yang ditelan, serta membedakan pasien-pasien ini

dari penderita rhinitis virus. Perbedaan penting lainnya adalah rhinitis alergika umumnya

berlangsung lebih lama dari rhinitis virus. Pada pasien dengan diatesis alergika, sering kali

terdapat alergi atau asma dalam keluarga. Seperti pada rinitis virus, maka sinusitis bakterialis

akut juga dapat timbul sekunder akibat sumbatan ostia dan pengumpulan sekret.

Diagnosis alergi hidung harus ditegakkan dengan pemeriksaan sistematik termasuk

anamnesis yang teliti serta sebagian atau semua hal-hal berikut ini :

1. Anamnesis

Anamnesis sangat penting karena hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari

anamnesis saja dan sering kali serangan tidak terjadi dari hasil pemeriksaan fisik.

Anamnesis dimulai dengan menanyakan riwayat penyakit alergi dalam

keluarga. Pasien juga perlu ditanya mengenai gangguan alergi selain yang menyerang

hidung seperti asma, ekzema, urtikaria atau sensitivitas obat. Saat-saat dimana gejala

sering timbul dapat membantu menentukan alergi musiman. Juga perlu mengaitkan

awitan gejala dengan perubahan lingkungan ditempat kerja atau di rumah. Sangat

penting untuk mengetahui riwayat pengobatan sebelumnya dan riwayat alergi

makanan.

Page 10: Css Rhinosinusinitis

2. Pemeriksaan Fisik

a. Wajah

- Allergic shiners yaitu dark circles di sekitar mata dan berhubungan dengan

vasodilatasi atau obstruksi hidung.

- Nasal crease yaitu lipatan horizontal (horizontal crease) yang melalui setengah

bagian bawah hidung akibat kebiasaan menggosok hidung keatas dengan

tangan.

b. Hidung

- Pada rhinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau

livid disertai adanya banyak sekret yang encer, konka tampak membengkak.

- Jika terdapat infeksi penyerta, sekret dapat bervariasi mulai dari encer dan

mukoid hingga kental dan purulent. Dan pada saat yang sama mukosa menjadi

merah dan meradang, terbendung atau bahkan kering sama sekali.

- Tentukan karakteristik dan kuantitas mukus hidung. Pada rinitis alergi mukus

encer dan tipis. Jika kental dan purulen biasanya berhubungan dengan

sinusitis. Namun, mukus yang kental, purulen dan berwarna dapat timbul

pada rinitis alergi.

- Periksa septum nasi untuk melihat adanya deviasi atau perforasi septum yang

dapat disebabkan oleh rinitis alergi kronis, penyakit granulomatus.

- Periksa rongga hidung untuk melihat adanya massa seperti polip dan tumor.

Polip berupa massa yang berwarna abu-abu dengan tangkai. Dengan

dekongestant topikal polip tidak akan menyusut. Sedangkan mukosa hidung

akan menyusut.

c. Telinga, mata dan orofaring

- Dengan otoskopi perhatikan adanya retraksi membran timpani, air-fluid level,

atau bubbles. Kelainan mobilitas dari membran timpani dapat dilihat dengan

menggunakan otoskopi pneumatik. Kelaianan tersebut dapat terjadi pada

rinitis alergi yang disertai dengan disfungsi tuba eustachius dan otitis media

sekunder.

- Pada pemeriksaan mata Akan ditemukan injeksi dan pembengkakkan

konjungtiva palpebral yang disertai dengan produksi air mata.

d. Leher. Perhatikan adanya limfadenopati

e. Paru-paru. Perhatikan adanya tanda-tanda asma

f. Kulit. Kemungkinaan adanya dermatitis atopi

Page 11: Css Rhinosinusinitis

3. Pemeriksaan Sitologi Hidung

Pemeriksaan laboratorium (in–vitro), pemeriksaan sitologi hidung, walaupun

tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan penyaring atau

pelengkap terhadap pemeriksaan lain. Ditemukan eosinofil dalam jumlah banyak

menunjukkan kemungkinan alergi inhalen. Jika basofil mungkin disebabkan alergi

makanan, sedangkan jika ditemukan PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.

4. Hitung eosinofil dalam darah tepi

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat meningkat atau normal. Begitu juga

dengan pemeriksaan IgE total (Prist-paper radio immunosorbent test) seringkali

menunjukkan nilai normal. Kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu

penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria.

Pemeriksaan ini berguna untuk predileksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak

kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah

pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (radio-immunosorbent test) atau ELISA

(Enzyme-linked immunosorbent assay test)

5. Uji kulit

Alergen penyebab dapat juga dicari secara invivo dengan uji kulit. Ada

beberapa cara, yaitu uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (skin

end-point titration/SET), uji cukit (Prick Test), dan uji gores (Scratch Test).

Kedalaman kulit yang dicapai pada kedua uji kulit (uji cukit dan uji gores) sama. SET

dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai

konsentrasi yang bertingkat kepekaannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab,

juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. Untuk alergi

makanan, uji kulit seperti tersebut di atas kurang dapat diandalkan. Diagnosis

biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (“challenge test”). Alergen

ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada

“challenge test”, makanan yang dicurigai diberikan pada penderita setelah berpantang

selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan

setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang

dengan meniadakan suatu jenis makanan. Uji kulit untuk alergi makanan yang akhir-

akhir ini banyak dilakukan adalah provocative neutralization test atau intra cutaneus

provocative food test. (IPFT). Dengan lengkapnya pemeriksaan ini, selain jenis

alergen penyebab, juga dapat diketahui besarnya konsentrasi alergen yang dapat

menetralkan reaksi akibat alergen tersebut.

Page 12: Css Rhinosinusinitis

6. Tes penunjang lainnya

Yang lebih bermakna namun tidak selalu dikerjakan adalah tes IgE spesifik

dengan RAST (Radio Immunosorbent test) atau ELISA (Enzyme linked immuno

assay). IgE total > 200 IgE RAST untuk alergen –alergen dengan tingkat skor 1+ s/d

4+.

3.1.7. Penatalaksanaan Penatalaksanaan

Menurut ARIA penatalaksanaan rinitis alergi meliputi :

a. Penghindaran alergen.

Merupakan terapi yang paling ideal. Cara pengobatan ini bertujuan untuk

mencegah kontak antara alergen dengan IgE spesifik dapat dihindari sehingga

degranulasi sel mast tidak berlangsung dan gejalapun dapat dihindari. Namun, dalam

praktiknya sangat sulit mencegah kontak dengan alergen tersebut. Masih banyak data

yang diperlukan untuk mengetahui pentingnya peranan penghindaran alergen.

b. Pengobatan medikamentosa

Cara pengobatan ini merupakan konsep untuk mencegah dan atau

menetralisasi kinerja molekul-molekul mediator yang dilepas sel-sel inflamasi alergis

dan atau mencegah pecahnya dinding sel dengan harapan gejala dapat dihilangkan.

Obat-obat yang digunakan untuk rinitis pada umumnya diberikan intranasal atau oral.

Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja secara

inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat

farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rinitis

alergi. Antihistamin diabsorbsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif untuk

mengatasi gejala pada respons fase cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak

efektif untuk mengatasi obstruksi hidung pada fase lambat.

Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai

dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi denfgan antihistamin atau

topikal. Namun pemakaian secara topiukal hanya boleh untuk beberapa hari saja

untuk menghindari terjadinya rinitis alergi medikamentosa.

Page 13: Css Rhinosinusinitis

Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala sumbatan hidung akibat respons fase

lambat tidak dapat diatasi dengan obat lain. Kortikosteroid topikal bekerja untuk

mengurangi jumlah sel mast pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein

sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit.

Preparat antikolinergik topikal bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena

aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor. Pengobatan baru

lainnya untuk rinitis alergi di masa yang akan datang adalah anti leukotrien, anti IgE,

DNA rekombinan.

Obat-obat tidak memiliki efek jangka panjang setelah dihentikan. Karenanya

pada penyakit yang persisten, diperlukan terapi pemeliharaan.

Tabel 3.1. Efek terapi terhadap gejala-gejala rinitis

Bersin Rinorea Sumbatan hidung

Gatal hidung Keluhan mata

H1-antihistamin- oral - intranasal - intaokular

++++0

++++0

++0

+++++0

++0+++

Kortikosteroid- intranasal ++++ +++ +++ ++ ++Kromolin-Intranasal-Intraokular

+0

+0

+0

+0

0++

Dekongestan- Intranasal- Oral

00

00

+++++

00

00

Antikolinergik 0 ++ 0 0 0Anti-leukotrin 0 + ++ 0 ++

c. Imunoterapi spesifik

Imunoterapi spesifik efektif 80-90% jika diberikan secara optimal.

Imunoterapi subkutan masih menimbulkan pertentangan dalam efektifitas dan

keamanan. Oleh karena itu, dianjurkan penggunaan dosis optimal vaksin yang diberi

label dalam unit biologis atau dalam ukuran masa dari alergen utama. Dosis optimal

untuk sebagian besar alergen utama adalah 5 sampai 20 g. Imunoterapi subkutan

harus dilakukan oleh tenaga terlatih dan penderita harus dipantau selama 20 menit

setelah pemberian subkutan.

Indikasi imunoterapi spesifik subkutan

- Penderita yang tidak terkontrol baik dengan farmakoterapi konvensional

Page 14: Css Rhinosinusinitis

- Penderita yang gejala-gejalanya tidak dapat dikontrol baik dengan

antihistamin H1 dan farmakoterapi

- Penderita yang tidak menginginkan farmakoterapi

- Penderita dengan farmakoterapi yang menimbulkan efek samping yang tidak

diinginkan

- Penderita yang tidak ingin menerima terapi farmakologis jangka panjang.

Imunoterapi spesifik nasal dan sublingual dosis tinggi-imunoterapi spesifik

oral

- Dapat digunakan dengan dosis sekurang-kurangnya 50-100 kali lebih besar

dari pada yang digunakan untuk imunoterapi subkutan.

- Pada penderita yang mempunyai efek samping atau menolak imunoterapi

subkutan

- Indikasinya mengikuti indikasi dari suntikan subsukatan

Pada anak-anak, imunoterapi spesifik adalah efektif. Namun tidak

direkomendasikan untuk melakukan imunoterapi pada anak dibawah umur 5 tahun.

d. Imunoterapi non-spesifik

Imunoterapi non-spesifik menggunakan steroid topikal. Hasil akhir sama

seperti pengobatan imunoterapi spesifik-alergen konvensional yaitu sama-sama

mampu menekan reaksi inflamasi, namun ditinjau dari aspek biomolekuler terdapat

mekanisme yang sangat berbeda.

Glukokortikosteroid (GCSs) berikatan dengan reseptor GCS yang berada di

dalam sitoplasma sel, kemudian menembus membran inti sel dan mempengaruhi

DNA sehingga tidak membentuk mRNA. Akibat selanjutnya menghambat produksi

sitokin pro-inflammatory.

e. Edukasi

Pemeliharaan dan peningkatan kebugaran jasmani telah diketahui berkhasiat

dalam menurunkan gejala alergis. Mekanisme biomolekulernya terajadi pada

peningkatan populasi limfosit TH yang berguna pada penghambatan reaksi alergis,

serta melalui mekanisme imunopsikoneurologis.

f. Operatif

Tindakan bedah dilakukan sebagai tindakan tambahan pada beberapa

penderita yang sangat selektif. Seperti tindakan konkotomi (pemotongan konka

inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil

dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau triklor asetat.

Page 15: Css Rhinosinusinitis

3.1.8. Komplikasi

Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah :

1. Polip hidung

Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor

penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung. Polip hidung

biasanya tumbuh di meatus medius dan merupakan manifestasi utama akibat proses

inflamasi kronis yang menimbulkan sumbatan sekitar ostia sinus di meatus medius.

Polip memiliki tanda patognomonis : inspisited mucous glands, akumulasi sel-sel

inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih-lebih eosinofil dan limfosit T CD4+),

hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa. Ditemukan juga

mRNA untuk GM-CSF, TNF-alfa, IL-4 dan IL-5 yang berperan meningkatkan reaksi

alergis.

2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak

3. Sinusitis paranasal

Merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi akibat edema

ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa. Edema mukosa ostia menyebabkan

sumbatan ostia. Penyumbatan tersebut akan menyebabkan penimbunan mukus

sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut

akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob. Selain dari itu,

proses alergi akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat

dekstruksi mukosa oleh mediator-mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil

(MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah.

Pengobatan komplikasi rinits alergi harus ditujukan untuk menghilangkan obstruksi

ostia sinus dan tuba eustachius, serta menetralisasi atau menghentikan reaksi humoral

maupun seluler yang terjadi lebih meningkat. Untuk tujuan ini maka pengobatab rasionalnya

adalah pemberian antihistamin, dekongestan, antiinflamasi, antibiotia adekuat, imunoterapi

dan bila perlu operatif.

3.2. Rinitis Non-Alergika

3.2.1. Rhinitis Vasomotor

Gangguan vasomotor hidung adalah didapatkannya gangguan fisiologik lapisan

mukosa hidung yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis.

Page 16: Css Rhinosinusinitis

Etiologi belum diketahui secara pasti, namun diduga sebagai akibat gangguan

keseimbangan fungsi vasomotor. Saraf otonom mukosa hidung berasal dari nerve vidianus

yang mengandung serat saraf simpatis dan parasimpatis menyebabkan dilatasi pembuluh

darah dalam konka serta meningkatkan permeabilitas kapiler dan sekresi kelenjar. Sedangkan

rangsangan pada serat saraf simpatis menyebabkan efek sebaliknya.

Keseimbangan vasomotor ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berlangsung

kontemporer, seperti emosi, posisi tubuh, kelembaban udara, perubahan suhu luar, latihan

jasmani dan sebagainya, yang pada keadaan normal faktor-faktor tadi tidak dirasakan sebagai

gangguan oleh individu tersebut. Pada pasien rhinitis vasomotor, mekanisme pengaturan ini

hiperaktif dan cenderung saraf parasimpatis lebih aktif.

Faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor adalah :

a. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis seperti ergotamine,

clorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokontrktor topical.

b. Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang

tinggi dan bau yang merangsang dan makanan yang pedas dan panas.

c. Faktor endokrin, seperti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti hamil dan

hipotiroidisme.

d. Faktor psikis, seperti cemas, tegang.

3.2.1.1 Manifestasi Klinis

Hidung tersumbat tergantung posisi pasien (bergantian kiri dan kanan), rinore yang

mucus/serus, jarang disertai bersin dan gatal pada mata, gejala memburuk pada pagi hari atau

baru bangun tidur(perubahan suhu, udara lembab, asap rokok dan sebagainya). Berdasarkan

gejala yang menonjol, kelainan dibedakan mejadi dua golongan, yaitu golongan obstruksi dan

golongan rinore. Prognosis golongan obstruksi lebih baik daripada rinore.

3.2.1.2 Diagnosis

1. Anamnesis dicari factor yang memepengaruhi keseimbangan vasomotor, dan

disingkirkan kemungkinan rhinitis alergi

2. Rhinoskopi anterior gambaran klasik berupa mukosa hidung edema, konka merah

gelap tetapi dapat juga pucat, permukaan konka licin atau berbenjol, sekret mukoid

biasanya sedikit. Namun pada golongan rinore, secret yang ditemukan secret serosa

yang banyak jumlahnya.

Page 17: Css Rhinosinusinitis

3. Laboratorum dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rhinitis alergi. Kadang

ditemukan juga eosinofil pada secret hidung akan tetapi dalam jumlah sedikit.

4. Tes Kulit biasanya negatif

3.2.1.3 Penatalaksanaan

1. Menghindari penyebab

2. Pengobatan simtomatis

a. dekongestan oral

b. kauterisasi konka yang hipertrofi dengan memakai AgNO3 25% atau triklor

asetat,

c. kortikosteroid topikal seperti budesonide 2x1 dengan dosis 100-200 mikrogram

sehari. Dosis dapat ditingkatkan sampai 400 mikrogram sehari. Hasilnya akan

terlihat setelah pemakaian paling sedikit 2 minggu. Saat ini terdapat kortikosteroid

topical baru dalam larutan aqua seperti flutikason proprionat dengan pemakaian

cukup satu kali sehari dengan dosis 200 mcg.

3. Operasi

Dengan bedah beku, elektrokauterisasi dan konkotomi konka inferior

4. Neurektomi n. Vidianus.

Melakukan pemotongan pada nerve vidianus, bila dengan cara diatas tidak

memberikan hasil. Operasi ini tidaklah mudah, dapat menimbulkan komplikasi seperti

sinusitis, diploplia, buta, gangguan lakrimasi, neuralgia, anestesis infraorbital dan

anestesis palatum.

3.2.2. Rhinitis Medikamentosa

3.2.2.1 Definisi

Rhinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung berupa gangguan respon

normal vasomotor, sebagai akibat pemakaian vasokonstriktor topikal (obat tetes hidung atau

obat semprot hidung) dalam waktu lama dan berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan

hidung yang menetap.

3.2.2.2 Etiologi

Hal ini disebabkan oleh pemakaian obat yang berlebihan (drug abuse).

Page 18: Css Rhinosinusinitis

3.2.2.3 Patofisiologi

Mukosa hidung merupakan organ yang sangat peka terhadap rangsangan (iritant),

sehingga harus berhati-hati memakai vasokonstriktor topikal. Obat vasokonstriktor topikal

dari golongan simpatomimetik akan menyebabkan siklus nasal terganggu dan akan berfungsi

kembali apabila pemakaian obat itu dihentikan. Pemakaian vasokonstriktor topikal yang

berulang dan dalam waktu lama akan menyebabkan terjadinya fase dilatasi berulang (rebound

dilatation) setelah vasokonstriksi, sehingga timbul obstruksi. Dengan adanya gejala obstruksi

hidung ini menyebabkan pasien lebih sering dan lebih banyak lagi memakai obat tersebut,

sehingga efek vasokonstriksi berkurang, pH hidung berubah, dan aktivitas silia terganggu,

sedangkan efek balik akan menyebabkan obstruksi hidung lebih hebat dari keluhan

sebelumnya. Bila pemakaian obat diteruskan, maka akan terjadi dilatasi dan kongesti

jaringan. Kemudian terjadi pertambahan mukosa jaringan dan rangsangan sel-sel mukoid,

sehingga sumbatan akan menetap dengan produksi sekret yang berlebihan.

Oleh karena itu, obat vasokonstriktor topikal sebaiknya yang isotonik dengan sekret

hidung yang normal, dengan pH antara 6,3 dan 6,5 serta pemakaiannya tidak lebih dari satu

minggu.

Kerusakan yang terjadi pada mukosa hidung pada pemakaian obat tetes hidung dalam

waktu lama, ialah:

1. silia rusak,

2. sel goblet berubah ukurannya,

3. membrane basal menebal,

4. pembuluh darah melebar,

5. stroma tampak edema,

6. hipersekresi kelenjar mukus, dan

7. lapisan periosteum menebal.

3.2.2.4 Gejala dan Tanda

Pasien mengeluh hidungnya tersumbat terus-menerus dan berair. Pada pemeriksaan

tampak edema konka dengan sekret hidung yang berlebihan. Apabila diuji dengan adrenalin,

edema konka tidak berkurang.

3.2.2.5 Terapi

1. Hentikan pemakaian obat tetes atau obat semprot hidung.

Page 19: Css Rhinosinusinitis

2. Untuk mengatasi sumbatan berulang (rebound congestion) beri kortikosteroid secara

penurunan bertahap (tapering off) dengan menurunkan dosis sebanyak 5 mg setiap

hari, (misalnya hari ke-1 = 40 mg, hari ke-2 = 35 mg, dan seterusnya).

3. Obat dekongestan oral (biasanya mengandung pseudoefedrin).

Apabila dengan cara ini tidak ada perbaikan setelah 3 minggu, pasien dirujuk ke

dokter THT.

3.2.3. Rinitis Hipertrofi

3.2.3.1 Etiologi

Rinitis hipertrofi dapat timbul akibat infeksi berulang dari rhinitis alergi dan

vasomotor.

3.2.3.2 Gejala dan Tanda

Gejala utama adalah sumbatan hidung. Sekret biasanya banyak, mukopurulen, dan

sering ada keluhan nyeri kepala.

Pada pemeriksaan akan ditemukan konka hipertrofi, terutama konka inferior.

Permukaannya berbenjol-benjol ditutupi oleh mukosa yang hipertrofi. Akibatnya saluran

udara sangat sempit. Sekret mukopurulen yang banyak biasanya ditemukan diantara konka

inferior dan septum , dan juga di dasar rongga hidung.

3.2.3.4 Terapi

Harus dicari faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya tinitis hipertrofi dan

kemudian memberikan pengobatan yang sesuai. Untuk mengurangi sumbatan hidung akibat

hipertrofi konka dapat dilakukan kauterisasi konka dengan zat kimia (nitras argenti atau asam

triklorasetat) atau dengan kauter listrik (elektrokauter). Bila tidak menolong, dilakukan

luksasi konka atau bila perlu dilakukan konkotomi.

3.2.4. Rinitis Sika

3.2.4.1 Insidensi

Penyakit ini biasanya ditemukan pada orang tua dan pada orang yang bekerja di

lingkungan yang berdebu, panas, dan kering. Juga ditemukan pada pasien yang menderita

anemia, peminum alcohol, dan gizi buruk.

3.2.4.2 Gejala dan Tanda

Page 20: Css Rhinosinusinitis

Pasien biasanya mengeluh rasa iritasi atau rasa kering di hidung yang kadang-kadang

disertai dengan epistaksis.

Pada rinitis sika ditemukan mukosa yang kering, terutama pada bagian depan septum

dan ujung depan konka inferior. Krusta biasanya sedikit atau tidak ada.

3.2.4.3 Terapi

Pengobatan tergantung pada penyebabnya. Dapat diberikan pengobatan lokal, berupa

obat cuci hidung.

3.2.5. Rinitis Spesifik

Rinitis karena infeksi spesifik, antara lain:

1. Rhinitis difteri

a. Etiologi

Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae. Dapat primer pada

hidung atau sekunder dari tenggorok. Dapat akut atau kronik.

b. Gejala

Gejala rhinitis difteri akut ialah demam, toksemia, terdapat limfadenitis, dan

mungkin ada paralisis.

Rinitis difteri kronis gejalanya lebih ringan dan akhirnya dapat sembuh sendiri,

tetapi dalam keadaan kronis masih menular.

c. Tanda

Pada hidung ada sekret yang bercampur darah, mungkin ditemukan

pseudomembran putih yang mudah berdarah, dan krusta coklat di nares dan

kavum nasi.

d. Diagnosis

Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan kuman dari sekret hidung.

e. Terapi

Diberikan ADS (anti difteri serum), penisilin lokal dan intramuskuler. Pasien

harus diisolasi sampai pemeriksaan kuman negatif.

2. Rhinitis atrofi (ozaena)

a. Definisi

Rinitis atrofi merupakan penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya

atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka. Secara klinis mukosa hidung

Page 21: Css Rhinosinusinitis

menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta

yang berbau busuk.

b. Insidensi

Wanita lebih sering terkena, terutama usia dewasa muda. Sering ditemukan pada

masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah dan sanitasi lingkungan

yang buruk.

c. Etiologi

Banyak teori mengenai etiologi dan pathogenesis rhinitis atrofi, antara lain:

- Infeksi oleh kuman spesifik. Yang tersering ditemukan adalah spesies

Klebsiella, terutama Klebsiella ozaena. Kuman lainnya yang juga sering

ditemukan adalah Staphilococcus, Streptococcus, dan Pseudomonas

aeruginosa.

- Defisiensi Fe

- Defisiensi vitamin A

- Sinusitis kronik

- Kelainan hormonal

- Penyakit kolagen, yang termasuk penyakit autoimun.

Mungkin penyakit ini terjadi karena kombinasi beberapa faktor penyebab.

d. Gejala

Keluhan biasanya berupa napas berbau, ada ingus kental yang berwarna hijau, ada

kerak (krusta) hijau, ada gangguan penghidu, sakit kepala, dan hidung tersumbat.

e. Tanda

Pada pemeriksaan THT didapatkan rongga hidung sangat lapang, konka inferior

dan media hipotrofi atau atrofi, secret purulen berwarna hijau, dan krusta

berwarna hijau.

Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan diagnosis adalah

pemeriksaan histopatologi yang berasal dari biopsy konka media, pemeriksaan

mikrobiologi dan ujiresistensi kuman, dan tomografi computer (CT Scan) sinus

paranasal.

f. Terapi

Oleh karena etiologinya multifaktorial, maka pengobatannya belum ada yang

baku. Pengobatan ditujukan untuk mengatasi etiologi dan menghilangkan gejala.

Pengobatan yang diberikan dapat bersifat konservatif, atau kalau tidak dapat

menolong dilakukan pembedahan.

Page 22: Css Rhinosinusinitis

- Terapi konservatif

Diberikan antibiotika spektrum luas atau sesuai dengan uji resistensi kuman,

dengan dosis yang adekuat. Lama pengobatan bervariasi tergantung dari

hilangnya tanda klinis berupa sekret purulen kehijauan.

Untuk membantu menghilangkan bau busuk akibat hasil proses infeksi serta

sekret purulen dan krusta, dapat dipakai obat cuci hidung. Larutan yang dapat

digunakan adalah larutan garam hipertonik. Larutan tersebut harus diencerkan

dengan perbandingan 1 sendok makan larutan dicampur 9 sendok makan air

hangat. Larutan dihirup (dimasukkan) ke dalam rongga hidung dan

dikeluarkan lagi dengan menghembuskan kuat-kuat atau yang masuk ke

nasofaring dikeluarkan melalui mulut, dilakukan 2 kali sehari. Jika sukar

mendapatkan larutan di atas, dapat dilakukan pencucian rongga hidung dengan

100 cc air hangat tang dicampur dengan 1 sendok makan (15 cc) larutan

betadin atau larutan garam dapur setengah sendok teh dicampur segelas air

hangat. Dapat diberikan vitamin A 3 kali 50.000 unit dan preparat Fe selama 2

minggu.

- Terapi operatif

Jika dengan pengobatan konservatif tidak ada perbaikan, maka dilakukan

operasi. Teknik operasi antara lain penutupan lubang hidung atau penyempitan

lubang hidung dengan implantasi atau dengan jabir osteoperiosteal. Tindakan

ini diharapkan akan mengurangi turbulensi udara dan pengeringan secret,

inflamasi mukosa berkurang, sehingga mukosa akan kembali normal.

Penutupan rongga hidung dapat dilakukan pada nares anterior atau pada koana

selama 2 tahun. Untuk menutup koana dipakai flap palatum

Akhir-akhir ini bedah sinus endoskopik fungsional (BSEF) sering dilakukan

pada kasus rhinitis atrofi. Dengan melakukan pengangkatan sekat-sekat tulang

yang mengalami osteomyelitis, diharapkan infeksi tereradikasi, fungsi

fentilasi, dan drenase sinus kembali normal, sehingga terjadi regenerasi

mukosa.

g. Histopatologi

Tampak metaplasia epitel torak bersilia menjadi epitel kubik atau epitel gepeng

berlapis, silia menghilang, lapian submukosa menjadi lebih tipis, kelenjar-kelenjar

berdegenerasi dan atrofi, serta jumlahnya berkurang dan bentuknya menjadi kecil.

3. Rhinitis sifilis

Page 23: Css Rhinosinusinitis

a. Etiologi

Penyebab rhinitis sifilis ialah kuman Treponema pallidum.

b. Gejala

Rinitis sifilis yang primer dan sekunder gejalanya serupa dengan rhinitis akut

lainnya, hanya mungkin dapat terlihat adanya bercak pada mukosa. Pada rhinitis

sifilis tertier dapat ditemukan gumma atau ulkus, yang terutama mengenai septum

nasi dan dapat mengakibatkan perforasi septum.

c. Tanda

Pada pemeriksaa klinis didapatkan secret mukopurulen yang berbau dan krusta.

Mungkin terlihat perforasi septum atau hidung pelana.

d. Diagnosis

Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan mikrobiologi dan biopsy.

e. Terapi

Diberikan penisilin dan obat cuci hidung. Krusta harus dibersihkan secara rutin.

4. Rhinitis tuberkulosa

a. Definisi

Rinitis tuberkulosa merupakan infeksi tuberkulosa ekstra pulmoner. Sering dengan

peningkatan kasus tuberculosis (new emerging disease) yang berhubungan dengan

kasus HIV-AIDS, penyakit ini harus diwaspadai keberadaannya.

b. Tanda

Tuberkulosis pada hidung berbentuk noduler atau ulkus, terutama mengenai

tulang rawan septum dan dapat mengakibatkan perforasi.

Pada pemeriksaan klinis terdapat secret mukopurulen dan krusta, sehingga

menimbulkan keluhan hidung tersumbat.

c. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya basil tahan asam (BTA) pada sekret

hidung.

d. Histopatologi

Ditemukan sel datia Langerhans dan limfositosis

e. Terapi

Diberikan antituberkulosis dan obat pencuci hidung.

5. Rhinitis jamur

a. Definisi

Page 24: Css Rhinosinusinitis

Rinitis jamur dapat terjadi bersama dengan sinusitis dan bersifat invasif atau non-

invasif. Rinitis jamur invasif dapat menyerupai rinolith dengan inflamasi mukosa

yang lebih berat. Rinolith ini sebenarnya adalah bola jamur (fungus ball).

Biasanya tidak terjadi destruksi kartilago dan tulang.

b. Tanda

Tipe invasif ditandai dengan ditemukannya hifa jamur pada lamina propia. Jika

terjadi invasif jamur pada submukosa dapat mengakibatkan perforasi septum atau

hidung pelana. Jamur sebagai penyebab dapat dilihat dengan pemeriksaan

histopatologi, pemeriksaan sediaan langsung, atau kultur jamur, misalnya

Aspergillus, Candida, Histoplasma, Fussarium, dan Mucor.

Pada pemeriksaan hidung terlihat adanya secret mukopurulen, mungkin terlihat

ulkus atau perforasi pada septum disertai dengan jaringan nekrotik berwarna

kehitaman (black eschar).

c. Terapi

Terapi tipe non-invasif adalah mengangkat seluruh bola jamur. Pemberian obat

jamur sistemik maupun topical tidak diperlukan.

Terapi tipe invasif adalah mengeradikasi agen penyebabnya dengan pemberian

anti jamur oral dan topikal. Cuci hidung dan pembersihan hidung secara rutin

dilakukan untuk mengangkat krusta. Bagian yang terinfeksi dapat diolesi dengan

gentian violet. Untuk infeksi jamur invasif, kadang-kadang disperlukan

debridement seluruh jaringan yang nekrotik dan tidak sehat. Kalau jaringan

nekrotik sangat luas, dapat terjadi destruksi yang memerlukan tindakan

rekonstruksi.