CRS THT

45
BAB I PENDAHULUAN Tonsil dan adenoid merupakan bagian dari sistem daya pertahanan tubuh manusia. Semua orang sejak dari kecil sampai dewasa mempunyai tonsil dan adenoid. Hanya dalam kondisi tertentu bisa ditemukan tonsil dan adenoid dalam keadaan patologis, seperti adenotonsilitis kronis yang merupakan peradangan dari tonsil palatina dan tonsil faringeal (adenoid) yang kronis dan dapat menimbulkan gangguan sumbatan jalan pernapasan 1 . Adenotonsilitis kronis yang disertai obstruksi pada malam hari disebut sebagai Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS). Proses peradangan oleh infeksi dapat menimbulkan pembesaran tonsil, sedangkan pembesaran tonsil dan adenoid dapat mengakibatkan obstruksi jalan napas atas. Obstruksi jalan napas terutama yang terjadi waktu tidur dapat menyebabkan hipoksia. Kondisi hipoksia tersebut dapat menurunkan ketahanan imunologis, sehingga rentan terkena penyakit infeksi. Peningkatan frekuensi sakit pada penderita dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan terutama pada masa anak 1 . Pada kasus yang tidak tertangani dengan baik, tonsilitis kronis hipertrofi secara keseluruhan akan 1

description

laporan kasus

Transcript of CRS THT

Page 1: CRS THT

BAB I

PENDAHULUAN

Tonsil dan adenoid merupakan bagian dari sistem daya pertahanan tubuh

manusia. Semua orang sejak dari kecil sampai dewasa mempunyai tonsil dan adenoid.

Hanya dalam kondisi tertentu bisa ditemukan tonsil dan adenoid dalam keadaan

patologis, seperti adenotonsilitis kronis yang merupakan peradangan dari tonsil

palatina dan tonsil faringeal (adenoid) yang kronis dan dapat menimbulkan gangguan

sumbatan jalan pernapasan1.

Adenotonsilitis kronis yang disertai obstruksi pada malam hari disebut

sebagai Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS). Proses peradangan oleh infeksi

dapat menimbulkan pembesaran tonsil, sedangkan pembesaran tonsil dan adenoid

dapat mengakibatkan obstruksi jalan napas atas. Obstruksi jalan napas terutama yang

terjadi waktu tidur dapat menyebabkan hipoksia. Kondisi hipoksia tersebut dapat

menurunkan ketahanan imunologis, sehingga rentan terkena penyakit infeksi.

Peningkatan frekuensi sakit pada penderita dapat mengganggu pertumbuhan dan

perkembangan terutama pada masa anak1.

Pada kasus yang tidak tertangani dengan baik, tonsilitis kronis hipertrofi

secara keseluruhan akan mempengaruhi kualitas hidup anak, baik fisik maupun

psikis. Kualitas anak dalam prestasi belajar akan terganggu. Hal ini diperkuat oleh

penelitian Farokah dkk (2007) yang membuktikan adanya perbedaan yang bermakna

antara prestasi belajar siswa yang menderita tonsilitis kronis dan yang tidak. Dampak

lainnya adalah meningkatnya permasalahan psikologi yang mencakup gangguan

emosional, gangguan perilaku, dan neurokognitif1.

Faktor predisposisi tonsillitis kronis adalah rangsangan kronis (rokok,

makanan), pengaruh cuaca, pengobatan radang akut yang tidak adekuat, dan higiene

mulut yang buruk.2 Hal tersebut masih menjadi hal yang sulit untuk diatasi dan

banyak terjadi di masyarakat, bila tidak segera ditangani maka dapat memperburuk

prognosis dari tonsillitis kronis dan menyebabkan terjadinya komplikasi.

1

Page 2: CRS THT

BAB II

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : An.RG

Umur : 4 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Alamat : RT 01 Sarolangun

Agama : Islam

Pekerjaan : -

Pendidikan : PAUD

Register : 76-75-29

Pekerjaan ayah/ibu : Pegawai Swasta

Pendidikan ayah/ibu : D3

II. ANAMNESIS

(Autoanamnesis dan Alloanamnesis, Tgl : 21 Juni 2014 )

Keluhan Utama

Sakit menelan sejak ± 2 tahun yang lalu.

Riwayat Perjalanan Penyakit

± 2 tahun yang lalu os mengeluh sakit menelan yang hilang timbul, dan

semakin lama semakin bertambah berat. Sakit menelan biasanya mulai

timbul jika os demam dan jajan makanan yang di jual di luar sekolahnya

yang mengandung pewarna dan pemanis buatan. Sakit menelan disertai

dengan demam, dan pilek. Keluhan ini menghilang beberapa hari setelah

os diberi obat turun panas dan antibiotic dari Dokter. Keluhan ini

berulang ± 4 kali dalam setahun. Ibu os juga mengatakan bahwa os

mengeluh sering terbangun pada tengah malam karena merasa sesak. Os

2

Page 3: CRS THT

juga tidur mendengkur. Rasa ngganjal ditenggorokan (-), rasa kering

ditenggorokan (-), rasa berlendir di tenggorokan (-), nafas berbau (-).

Riwayat Pengobatan

Riwayat pengobatan ke dokter dan diberi Antibiotik dan obat penurun

panas.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat alergi makanan (-), riwayat alergi obat (-), riwayat asma (-).

riwayat TB (-)

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit yang sama

dengan pasien.

III. HAL-HAL PENTING

TELINGA HIDUNG TENGGOROK LARING

Gatal : -/- Rinore : -/- Sukar Menelan : - Suara parau : -

Dikorek :-/- Buntu : -/- Sakit Menelan : + Afonia : -

Nyeri :-/- Bersin Trismus :- Sesak napas

pada malam hari

: +

Bengkak :-/- * Dingin/Lembab : - Ptyalismus : - Rasa sakit : -

Otore :-/- * Debu Rumah : - Rasa Ngganjal : - Rasa ngganjal : -

Tuli :-/- Berbau : -/- Rasa Berlendir : -

Tinitus :-/- Mimisan : -/- Rasa Kering : -

Vertigo :-/- Nyeri Hidung : -/-

Mual : - Suara sengau : -

Muntah : -

3

Page 4: CRS THT

IV. PEMERIKSAAN FISIK

Kesadaran : compos mentis

Pernapasan : 18 i/x

Suhu : 36,5 °C

Nadi : 90 i/x

TD : 110/70 mmHg

Anemia : -/-

Sianosis : -/-

Stridor inspirasi : -/-

Retraksi suprasternal : -

Retraksi interkostal : -/-

Retraksi epigastrial : -/-

BB :16 Kg

a) Telinga

Daun Telinga Kanan Kiri

Anotia/mikrotia/makrotia - -

Keloid - -

Perikondritis - -

Kista - -

Fistel - -

Ott hematoma - -

Liang Telinga Kanan Kiri

Atresia - -

Serumen prop - -

Epidermis prop - -

Korpus alineum - -

Jaringan granulasi - -

Exositosis - -

4

Page 5: CRS THT

Osteoma - -

Furunkel - -

Membrana Timpani Kanan Kiri

Hiperemis - -

Retraksi - -

Bulging - -

Atropi - -

Perforasi - -

Bula - -

Sekret - -

Retro-aurikular Kanan Kiri

Fistel - -

Kista - -

Abses - -

Pre-aurikular Kanan Kiri

Fistel - -

Kista - -

Abses - -

b) Hidung

Rinoskopi Anterior Kanan Kiri

Vestibulum nasiSekret (-), Hiperemis (-),

bisul(-), krusta(-)

Sekret (-), Hiperemis (-),

bisul(-), krusta(-)

Kavum nasiSekret (-), hiperemis (-),

Edema mukosa (-)

Sekret (-), hiperemis (-),

Edema mukosa (-)

Selaput lender Dbn Dbn

Septum nasi Deviasi (-) Deviasi (-)

Lantai + dasar hidung Dbn Dbn

5

Page 6: CRS THT

Konka inferiorHipertrofi (-), hiperemis (-),

udema (-)

Hipertrofi (-), hiperemis

(-) ,udema (-)

Meatus nasi inferior Sekret (-) Sekret (-)

Konka media Hiperemis(-), hipertropi(-) Hiperemis(-), hipertropi(-)

Meatus nasi media Sekret(-) Sekret (-)

Polip - -

Korpus alineum - -

Massa tumor - -

Fenomena palatum

mole- -

Rinoskopi Posterior Kanan Kiri

Kavum nasi

Sulit dinilai Sulit dinilai

Selaput lender

Koana

Septum nasi

Konka superior

Adenoid

Massa tumor

Fossa rossenmuller

Transiluminasi Sinus Kanan Kiri

Tidak dilakukan

c) Mulut

Hasil

Selaput lendir mulut Dbn

Bibir Sianosis (-) raghade (-), sudut bibir

(N), gerakan bibir(N)

Lidah Atropi papil (-),aptae(-),tumor (-),

6

Page 7: CRS THT

parese(-)

Gigi Karies (+) pada M2 Dextra

Kelenjar ludah Dbn

d) Faring

Hasil

Uvula

Bentuk normal, terletak ditengah,

permukaan rata. Edema(-), hiperemis

(-)

Palatum mole hiperemis (-)

Palatum durum Hiperemis (-)

Plika anterior Hiperemis (-)

Tonsil

Dekstra : tonsil hipertropi T4,

hiperemis(-), permukaan tidak rata,

kripta melebar (+),detritus (-)

Mobilitas berkurang

Sinistra : tonsil hipertropi T4,

hiperemis (-), permukaan tidak rata,

kripta melebar (+), detritus (-)

Mobilitas berkurang

Plika posterior Hiperemis (-)

Mukosa orofaring Hiperemis (-), granula (-)

e) Laringoskopi indirect

Hasil

Pangkal lidah Sulit dinilai

Epiglottis

Sinus piriformis

7

Page 8: CRS THT

Aritenoid

Sulcus aritenoid

Corda vocalis

Massa

f) Kelenjar Getah Bening Leher

Kanan Kiri

Regio I Dbn Dbn

Regio II Dbn Dbn

Regio III Dbn Dbn

Regio IV Dbn Dbn

Regio V Dbn Dbn

Regio VI Dbn Dbn

area Parotis Dbn Dbn

Area postauricula Dbn Dbn

Area occipital Dbn Dbn

Area supraclavicula Dbn Dbn

g) Pemeriksaan Nervi Craniales

Kanan Kiri

Nervus III, IV, VI Dbn Dbn

Nervus VII Dbn Dbn

Nervus IX Dbn

Regio XII Dbn

V. PEMERIKSAAN AUDIOLOGI

8

Page 9: CRS THT

Tes Pendengaran Kanan Kiri

Tes rinne + +

Tes weber Tidak ada lateralisasi Tidak ada lateralisasi

Tes schwabach Sama dg pemeriksa/N Sama dg pemeriksa/N

Kesimpulan : Fungsi Pendengaran dalam batas normal

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium : -

Radiologi :Rontgen kepala lateralHipertrofi

adenoid

VII. Rawat Jalan

Sabtu, 21 Juni 2014

S : sakit menelan (+), tidur mendengkur (+), terbangun tengah malam saat

tidur (+).

O : KU baik

Tanda vital : TD: 110/70 mmHg, HR = 90 x/i, RR = 18 x/i, T = 36,5°C

Status lokalisata :

Faring Hasil

Uvula

Bentuk normal, terletak ditengah,

permukaan rata. Edema(-), hiperemis

(-)

Palatum mole hiperemis (-)

Palatum durum Hiperemis (-)

Plika anterior Hiperemis (-)

Tonsil Dekstra : tonsil hipertropi T4,

9

Page 10: CRS THT

hiperemis(-), permukaan tidak rata,

kripta melebar (+),detritus (-)

Mobilitas berkurang

Sinistra : tonsil hipertropi T4,

hiperemis (-), permukaan tidak rata,

kripta melebar (+), detritus (-)

Mobilitas berkurang

Plika posterior Hiperemis (-)

Mukosa orofaring Hiperemis (-), granula (-)

A : Tonsilitis kronis

P : amoxicilin sirup 3 x 1 cth (125 mg/5 mL)

Parasetamol sirup 3 x 1½ cth (10-15 mg/kgbb) (120 mg/5mL)

Betametason 3x1 cth (5mg/1 mL)

Pseudoefedrin 3x½ cth (30 mg/5mL)

- Senin, 23 Juni 2014

S : Sakit menelan masih ada (+), tidur mendengkur (+), terbangun tengah

malam saat tidur (+), demam (-), pilek (-)

O : KU baik

Tanda vital : TD: 110/70 mmHg, HR = 90 x/i, RR = 18 x/i, T = 36 °C

Status lokalisata :

Faring Hasil

Uvula

Bentuk normal, terletak ditengah,

permukaan rata. Edema(-), hiperemis

(-)

Palatum mole hiperemis (-)

Palatum durum Hiperemis (-)

10

Page 11: CRS THT

Plika anterior Hiperemis (-)

Tonsil

Dekstra : tonsil hipertropi T4,

hiperemis(-), permukaan tidak rata,

kripta melebar (+),detritus (-)

Mobilitas berkurang

Sinistra : tonsil hipertropi T4,

hiperemis (-), permukaan tidak rata,

kripta melebar (+), detritus (-)

Mobilitas berkurang

Plika posterior Hiperemis (-)

Mukosa orofaring Hiperemis (-), granula (-)

Pemeriksaan Radiologi : Hasil Foto Rontgen Terdapat Hipertrofi Adenoid

A : Tonsilitis kronis + Hipertrofi Adenoid

P : amoxicilin sirup 3 x 1 cth (125 mg/5 mL)

Betametason 3x1 cth (5mg/1 mL)

VIII.DIAGNOSIS

Adenotonsilitis Kronis

IX. DIAGNOSIS BANDING

1. Tonsilitis Difteri

2. Tonsilofaringitis kronik

X. PENATALAKSANAAN

Diagnostik

1. Rontgen

2. Pemeriksaan Laboratorium

- Terapi

11

Page 12: CRS THT

amoxicilin sirup 3 x 1 cth (125 mg/5 mL)

Betametason 3x1 cth (5mg/1 mL)

- Monitoring

Sakit menelannya, tidur mendengkurnya, sering terbangun pada tengah malam

- KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi)

1. Memberitahu kepada orang tua pasien tentang penyakit pasien,

pemeriksaan yang diperlukan, komplikasi dari penyakit dan bagaimana

cara menanganinya

2. Menganjurkan pasien untuk menjaga kebersihan mulut

3. Tidak makan dan minum yang merangsang amandel seperti makanan yang

mempunyai bahan penyedap

4. Minum obat secara teratur

5. Menyarankan kepada pasien dan orang tuanya untuk dilakukan operasi

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi dan Fisiologi Adenoid dan Tonsil

3.1.1 Embriologi Tonsil

Tonsil merupakan derivat dari kedua lapisan germinal entoderm dan

mesoderm, dimana entoderm akan membentuk bagian epitel sedangkan mesoderm

akan tumbuh menjadi jaringan mesenkim tonsil.3

12

Page 13: CRS THT

Pada masa perkembangan janin, faring akan tumbuh dan meluas kearah lateral

dimana kantung kedua akan tumbuh kearah dalam dari dinding faring yang

selanjutnya akan menjadi fossa tonsilar primitif yang terletak antara arkus brakialis

kedua dan ketiga. Fossa tonsilaris ini akan terlihat jelas secara makroskopis pada

minggu keenam belas.3

Gambar 3.1. Embriologi Tonsil Palatina

3.1.2 Tonsil Palatina

Tonsil adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fossa tonsil

pada kedua sudut orofaring yang dibatasi oleh pilar anterior (muskulus palatoglosus)

dan pilar posterior (musculus palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang

2-5cm, masing-masingnya mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan

tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fossa tonsilaris. Daerah yang kosong pada

bagian atasnya dikenal sebagai fossa supratonsilar. 2,4

13

Page 14: CRS THT

Tonsil terletak di lateral orofaring. Selanjutnya cekungan yang terbentuk dibagi

menjadi beberapa bagian, yang akan menjadi kripta permanen pada tonsil. Permukaan

dalam atau permukaan yang terpapar, termasuk cekungan pada kripta dilapisi oleh

mukosa, sedangkan permukaan luar atau permukaan yang tertutup dilapisi oleh

selubung fibrosa yang disebut kapsul.2,4

Tonsil terdapat pada daerah permulaan saluran makanan yang memiliki fungsi

melawan kuman yang tertelan atau terhisap. Tonsil dalam kerjanya bersama dengan

tonsil faring (adenoid), tonsil lingual, dan jaringan limfoid tuba Eustachius

(Gerlach’s tonsil) membentuk cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang

mengelilingi ruang faring.

Adapun batas-batas dari tonsil adalah:

a) Lateral : M. Konstriktor faring superior

b) Anterior : M. Palatoglosus

c) Posterior: M. Palatofaringeus

d) Superior : Palatum molle

e) Inferior : Tonsil lingual

Fungsi tonsil yang sesungguhnya belum jelas diketahui tetapi ada beberapa

teori yang dapat diterima antara lain1 :

a. Membentuk zat-zat anti dalam sel plasma pada waktu terjadi reaksi seluler

b. Mengadakan limfositosis dan limfositolisis

c. Menangkap dan menghancurkan benda-benda asing maupun mikroorganisme

yang masuk ke dalam tubuh melalui mulut dan hidung.

Vaskularisasi

Vaskularisasi tonsil berasal dari cabang-cabang a. karotis eksterna yaitu, a.

maksilaris eksterna (a. fasialis) yang mempunyai cabang yaitu a. tonsilaris dan a.

palatina asenden, a. maksilaris interna dengan cabang a. palatina desenden, serta a.

lingualis dengan cabang a. lingualis dorsal dan a. faringeal asenden.5

14

Page 15: CRS THT

Arteri tonsilaris berjalan ke atas pada bagian luar m. konstriktor superior dan

memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole. Arteri palatina asenden

mengirimkan cabang-cabangnya melalui m. konstriktor posterior menuju tonsil.

Arteri faringeal asenden juga memberikan cabangnya ke tonsil melalui bagian luar m.

konstriktor superior. Arteri lingualis dorsal naik ke pangkal lidah dan mengirim

cabangnya ke tonsil, plika anterior dan plika posterior. Arteri palatina desenden atau

a. palatina posterior atau “lesser palatine artery” memberi vaskularisasi tonsil dan

palatum mole dari atas dan membentuk anastomosis dengan a. palatina asenden.

Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari

faring.5

Aliran Getah Bening

Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening

servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus

sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus

torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferen dan tidak memiliki

pembuluh getah bening aferen.4

Persarafan

Persarafan terutama oleh N. IX (Glossopharyngeus) dan juga oleh N. Palatina

Minor (cabang ganglion sphenopalatina). Pemotongan pada N. IX menyebabkan

anestesia pada semua bagian tonsil.5

Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi

dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Limfosit B membentuk kira-kira 50-

60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan limfosit T pada tonsil adalah 40% dan 3% lagi

adalah sel plasma yang matang. Limfosit B berproliferasi di pusat germinal.

Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), komponen komplemen, interferon, lisozim

dan sitokin berakumulasi di jaringan tonsilar. Sel limfoid yang immunoreaktif pada

tonsil dijumpai pada 4 area yaitu epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone

15

Page 16: CRS THT

pada folikel limfoid dan pusat germinal pada folikel ilmfoid. Tonsil mempunyai 2

fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan benda asing; 2) sebagai organ

utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.4

3.1.3 Tonsil Faringeal (Adenoid)

Adenoid merupakan jaringan limfoid yang pada keadaan normal berperan

membantu sistem imunitas tetapi bila telah terjadi infeksi kronis maka akan terjadi

pengikisan dan fibrosis dari jaringan limfoid.2 Adenoid termasuk organ limfoid yang

mengalami invaginasi dalam bentuk lipatan yang dalam, hanya terdiri beberapa kripte

berbeda dengan tonsila palatine yang memiliki jumlah kripte lebih banyak.6

Pada penyembuhan jaringan limfoid tersebut akan diganti oleh jaringan parut

yang tidak berguna2. Secara fisiologik adenoid ini membesar pada anak usia 3 tahun

dan kemudian akan mengecil dan hilang sama sekali pada usia 14 tahun. Bila sering

terjadi infeksi saluran pernapasan atas maka dapat terjadi hipertrofi adenoid. Akibat

dari hipertrofi ini akan timbul sumbatan koana dan sumbatan tuba eustachius2.

Vaskularisasi adenoid diperoleh melalui cabang faringeal a.carotiseksternal,

beberapa cabang minor berasal dari a.maxilaris interna dan a.fasialis.Inervasi sensible

merupakan cabang dari n.glosofaringeus dan n.vagus. Anatomi mikro dan

makroskopik dari adenoid menggambarkan fungsinya dan perbedaannya dengan

tonsila palatine.6

Gambar 3.2 Tonsil dan Organ Sekitarnya

16

Page 17: CRS THT

Gambar 3.3 Anatomi Tonsil dan Adenoid yang membentuk cincin waldeyer

3.2 Adenotonsilitis Kronis

3.2.1 Definisi

Tonsillitis adalah peradangan tonsil palatina. Penyebaran infeksi infeksi

melalui udara (air borne droplet), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada semua umur

terutama pada anak. Adenoiditis adalah peradangan pada adenoid. Adenotonsilitis

kronis adalah infeksi yang menetap atau berulang dari tonsil dan adenoid. Definisi

adenotonsilitis kronis yang berulang terdapat pada pasien dengan infeksi 3x atau lebih

per tahun. Ciri khas dari adenotonsilitis kronis adalah kegagalan dari terapi dengan

antibiotik2,7.

3.2.2 Etiologi

17

Page 18: CRS THT

Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari tonsilitis

akut yang mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil atau kerusakan ini dapat

terjadi bila fase resolusi tidak sempurna. Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis

kronis ialah rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, higiene

mulut yang buruk, pengaruh cuaca kelemahan fisik dan pengobatan tonsilitis yang

tidak adekuat kuman penyebabnya sama dengan tonsilitis akut yang paling sering

adalah kuman gram positif tetapi kadang-kadang kuman berubah menjadi kuman

golongan gram negatif2,8.

Penyebab yang tersering pada adenotonsilitis kronis adalah bakteri

Streptococcus ß hemoliticus grup A, selain karena bakteri tonsillitis dapat disebabkan

oleh virus. Kadang-kadang tonsillitis dapat disebabkan oleh bakteri seperti

spirochaeta, dan Treponema Vincent1,9.

3.2.3 Patofisiologi dan Patogenesis

Adenoid merupakan kumpulan jaringan limfoid di sepanjang dinding posterior

dan nasofaring, fungsi utama dari adenoid adalah sebagai pertahanan tubuh, dalam

hal ini apabila terjadi invasi bakteri melalui hidung yang menuju ke nasofaring, maka

sering terjadi invasi sistem pertahanannya berupa sel-sel leucosit. Apabila sering

terjadi invasi kuman maka adenoid semakin lama akan membesar karena sebagai

kompensasi bagian atas maka dapat terjadi hipertrofii adenoid, akibat dari hipertrofi

ini akan timbul sumbatan koana dan sumbatan tuba eustachius.

akibat sumbatan koana pasien akan bernapas melalui mulut sehingga terjadi fasien

adenoid yaitu tampak hidung kecil, gigi incivus ke depan (prominen), arcus faring

tinggi yang menyebabkan kesan wajah pasien tampak seperti orang bodoh; faringitis

18

Page 19: CRS THT

dan bronchitis; gangguan ventilasi dan dreinase sinus paranasal sehingga

menimbulkan sinusitis kronik. Akibat sumbatan tuba Eustachius akan terjadi otitis

media akut berulang, otitis media kronik dan akhirnya dapat terjadi otitis media

supuratif kronik. Akibat hiperplasia adenoid juga akan menimbulkan gangguan tidur,

tidur ngorok, retardasi mental dan pertumbuhan fisik berkurang1,2.

Pada tonsillitis kronis karena proses radang yang berulang maka epitel

mukosa dan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami

pengerutan sehingga kripte melebar. Secara klinik kripte tampak diisi oleh detritus,

proses ini berjalan terus sampai menembus kapsul dan terjadi perlekatan dengan

jaringan sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran

kelenjar limfa submandibula2.

Peradangan pada tonsil yang menimbulkan gejala berupa nyeri menelan atau

disebut juga odinofagia merupakan rasa nyeri di tenggorokan sewaktu gerakan

menelan. Adapun penyakit-penyakit yang berhubungan dengan nyeri menelan dan

sakit tenggorokan adalah10,11.

Tabel : Infeksi Tenggorokan pada Nasofaring dan Orofaring

Penyakit Frekuensi

Faringitis akut

Tonsillitis akut

Tonsillitis lingualis

Abses peritonsilar

Angina Vincent

Difteri

Sangat sering pada semua usia

Sangat sering pada anak-anak

Sedang pada dewasa

Paling sering pada usia 13-20 tahun

Biasa pada dewasa muda

Jarang

3.2.4 Gejala dan Tanda Klinik

19

Page 20: CRS THT

Gejala adenotonsilitis kronis adalah sering sakit menelan, hidung tersumbat

sehingga nafas lewat mulut, tidur sering mendengkur karena nafas lewat mulut

sedangkan otot-otot relaksasi sehingga udara menggetarkan dinding saluran nafas dan

uvula, sleep apnea symptoms, dan maloklusi. Facies adenoid : mulut selalu membuka,

hidung kecil tidak sesuai umur, tampak bodoh, kurang pendengaran karena adenoid

terlalu besar menutup torus tubarius sehingga dapat terjadi peradangan menjadi otitis

media, rhinorrhea, batuk-batuk, palatal phenamen negatif. Pasien yang datang dengan

keluhan sering sakit menelan, sakit leher, dan suara yang berubah, merupakan tanda-

tanda terdapat suspek abses peritonsiler1,12.

Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak

rata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Rasa ada yang

mengganjal ditenggorokan, dirasakan kering ditenggorokan, dan nafas berbau2.

Tonsillitis kronis dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa rhinitis

kronik, sinusitis, atau otitis media secara perkontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi

secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul endokarditis, arthritis, miositis,

nefritis, uveitis, iridosiklitis, dermatitis, pruritus, urtikaria, dan furunkulosis2.

Gambar 3.4 Tonsilitis Kronis

20

Page 21: CRS THT

Gambar 3.5 Hipertrofi adenoid

3.2.5 Diagnosa

Diagnosa ditegakkan berdasarkan :

1. Anamnesis

2. Pemeriksaan Fisik:

a. Pemeriksaan Rinoskopi anterior : untuk melihat tertahannya gerakan palatum

mole pada waktu fonasi.

b. Pemeriksaan Rinoskopi Posterior untuk melihat hipertrofi adenoid.

c. Pemeriksaan tenggorokan, terutama tonsil. Pada pemeriksaan tonsil, mulut

dibuka lebar-lebar, lidah ditarik kedalam, kemudian ditekan ke bawah dengan

tang spatel, penderita disuruh bernapas dan santai. Yang dinilai pada

pemeriksaan tonsil yaitu:

1. Inspeksi warna tonsil, normalnya berwarna merah muda, bila terjadi

infeksi maka akan menjadi hiperemis;

2. Inspeksi muara kripti, apakah ada detritus;

3. Adakah perlengketan dengan pilar, ditentukan dengan lidi kapas;

4. Menilai adakah pembesaran tonsil, berdasarkan rasio perbandingan tonsil

dengan orofaring, dengan mengukur jarak antara kedua pilar anterior

21

Page 22: CRS THT

dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi

pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :

a. T0  : Tonsil masuk di dalam fossa, tonsil sudah diangkat

b. T1  : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring,

Tonsil masih di dalam fossa tonsilaris

c. T2  : 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring,

Tonsil sudah melewati pilar posterior belum melewati garis para

median

d. T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring,

Tonsil melewati garis paramedian belum lewat garis median

(pertengahan uvula)

e. T4  : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring,

Tonsil melewati garis median, biasanya pada tumor

Gambar 3.6 Ukuran Pembesaran Tonsil

3.2.6 Pemeriksaan Penunjang

1. X-foto Soft Tissue Nasofaring radio adenoid, untuk melihat adanya

pembesaran pada adenotonsilitis kronis.

2. Pemeriksaan mikrobiologi

22

Page 23: CRS THT

3.2.7 Penatalaksanaan

Terapi yang dapat diberikan pada tonsillitis kronis berupa terapi local pada

hygiene mulut dengan berkumur atau obat isap dan dapat disertai dengan terapi

simptomatis. Terapi antibiotik pada tonsilitis kronis sering gagal dalam mengurangi

dan mencegah rekurensi infeksi, baik karena kegagalan penetrasi antibiotik ke dalam

parenkim tonsil ataupun ketidaktepatan pemilihan antibiotic. Penatalaksanaan yang

tepat yaitu dengan pemberian antibiotik sesuai kultur. Pemberian antibiotika yang

bermanfaat pada penderita tonsilitis kronis Cephaleksin ditambah Metronidazole,

klindamisin (terutama jika disebabkan mononucleosis atau absees), amoksisilin

dengan asam clavulanat (jika bukan disebabkan mononucleosis). Pada beberapa

keadaan dimana terdapat indikasi pembedahan maka tindakan pembedahan menjadi

pilihan terapi definitive8,9.

Indikasi tonsilektomi menurut The American Academy of Otolaryngology

Head and Neck and Surgery Clinical Indicators Compendium tahun 1995 yaitu2 :

1. Serangan tonsillitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah mendapatkan

terapi yang adekuat.

2. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan

gangguan pertumbuhan orofasial.

3. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan

napas, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan berbicara, dan cor

pulmonale.

4. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak

berhasil hilang dengan pengobatan.

5. Napas berbau yang tidak berhasil dengan pengobatan.

6. Tonsillitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A Streptococcus ß

hemoliticus.

7. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan.

8. Otitis media efusa/otitis media supuratif.

Sedangkan indikasi adenoidektomi yaitu2 :

23

Page 24: CRS THT

a. Sumbatan

1. Sumbatan hidung yang menyebabkan bernapas melalui mulut

2. Sleep apnea

3. Gangguan menelan

4. Gangguan berbicara

5. Kelainan bentuk wajah muka dan gigi (adenoid face)

b. Infeksi

1. Adenoiditis berulang/kronik

2. Otitis media efusa berulang/kronik

3. Otitis media akut berulang

c. Kecurigaan neoplasma jinak/ganas

3.2.8 Komplikasi

Komplikasi adenoiditis kronik dapat berupa faringitis, bronkitis, sinusitis

kronik, otitis media akut berulang, otitis media kronik, dan akhirnya terjadi otitis

media supuratif kronik2,8.

Sedangkan komplikasi Tonilitis kronik dapat berupa Rinitis kronis, sinusitis,

otitis media secara perkotinuitatum, dan komplikasi secara hematogen atau limfogen

(endokarditis, arthritis, miositis, nefritis, uveitis, iridosiklitis, dermatitis,

furunkulosis)2,11.

Komplikasi lain dari tonsilitis kronis yang dapat terjadi secara

perkontinuitatum ke daerah sekitar adalah sebagai berikut :

a. Peritonsilitis, Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa

adanya trismus dan abses;

b. Abses Peritonsilar (Quinsy), kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang

peritonsil. Sumber infeksi berasal dari penjalaran tonsilitis akut yang

mengalami supurasi, menembus kapsul tonsil dan penjalaran dari infeksi gigi.

c. Abses Parafaringeal, infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui

aliran getah beningatau pembuluh darah. Infeksi berasal dari daerah tonsil,

24

Page 25: CRS THT

faring, sinus paranasal, adenoid, kelenjar limfe faringeal, os mastoid dan os

petrosus.

d. Abses Retrofaring, merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring.

Biasanya terjadi pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun karena ruang

retrofaring masih berisi kelenjar limfe.

e. Krista Tonsil, sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh

jaringan fibrosa dan ini menimbulkan krista berupa tonjolan pada tonsil

berwarna putih dan berupa cekungan, biasanya kecil dan multipel.

f. Tonsilolith (Kalkulus dari tonsil), terjadinya deposit kalsium fosfat dan

kalsium karbonat dalam jaringan tonsil yang  membentuk bahan keras seperti

kapur.

Komplikasi tindakan adenotonsilektomi adalah perdarahan bila pengerukan

adenoid kurang bersih. Bila terlalu dalam menguretnya akan terjadi kerusakan

dinding belakang faring. Bila kuretase terlalu ke lateral maka torus tubarius akan

rusak dan dapat mengakibatkan oklusi tuba eustachius dan akan timbul tuli

konduktif2,10.

Nyeri pascaoperasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf

glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus yang menyebabkan

iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot diliputi kembali oleh mukosa, biasanya

14-21 hari setelah operasi. Nyeri tenggorok muncul pada hampir semua pasien

pascatonsilektomi. Nyeri pascabedah bisa dikontrol dengan pemberian analgesik. Jika

pasien mengalami nyeri saat menelan, maka akan terdapat kesulitan dalam asupan

oral yang meningkatkan risiko terjadinya dehidrasi8.

25

Page 26: CRS THT

BAB IV

ANALISA KASUS

Berdasarkan anamnesis yang telah dilakukan pada An.RG 4 tahun dengan

keluhan utama sakit menelan sejak ± 2 tahun yang lalu, dapat dipikirkan beberapa

kemungkinan penyakit. Secara teori, keluhan nyeri menelan atau disebut juga

26

Page 27: CRS THT

odinofagia merupakan rasa nyeri di tenggorokan sewaktu gerakan menelan. Gejala ini

sering dikeluhkan akibat kelainan atau peradangan di daerah faring, adapun penyakit-

penyakit yang berhubungan dengan nyeri menelan dan sakit tenggorokan adalah :

Tabel : Infeksi Tenggorokan pada Nasofaring dan Orofaring8

Penyakit Frekuensi

Faringitis akut

Tonsillitis akut

Tonsillitis lingualis

Abses peritonsilar

Angina Vincent

Difteri

Sangat sering pada semua usia

Sangat sering pada anak-anak

Sedang pada dewasa

Paling sering pada usia 13-20 tahun

Biasa pada dewasa muda

Jarang

Berdasarkan teori tersebut disesuaikan dengan usia timbulnya onset

keluhan pada os yaitu pada usia 2 tahun (anak-anak) mengarah pada diagnose

tonsillitis dan faringitis. Hal ini didukung dengan data pada pemeriksaan fisik

ditemukan kondisi patologis pada tonsil dekstra dan sinistra os berupa pembesaran

tonsil (T4/T4), permukaan tidak rata, kripta melebar, detritus (-), Mobilitas

berkurang.

± 2 tahun yang lalu os mengeluh sakit menelan yang hilang timbul, dan

semakin lama semakin bertambah berat. Sakit menelan biasanya mulai timbul jika os

demam dan jajan makanan yang di jual di luar sekolahnya yang mengandung

pewarna dan pemanis buatan. Keluhan ini menghilang beberapa hari setelah os diberi

obat turun panas dan antibiotic dari dokter. Pada pemeriksaan fisik juga ditemukan

karies pada gigi M2 dextra, yang menunjukkan kondisi hygiene mulut os kurang baik.

Berdasarkan teori, serangan berulang pada os serta adanya factor predisposisi

mengarahkan pada diagnose tonsillitis kronis, dimana etiologi penyakit ini dapat

disebabkan oleh serangan ulangan dari tonsilitis akut yang mengakibatkan kerusakan

permanen pada tonsil atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase resolusi tidak

27

Page 28: CRS THT

sempurna. Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronis ialah rangsangan yang

menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh

cuaca kelemahan fisik dan pengobatan tonsilitis yang tidak adekuat kuman

penyebabnya sama dengan tonsilitis akut yang paling sering adalah kuman gram

positif tetapi kadang-kadang kuman berubah menjadi kuman golongan gram negatif2.

Keluhan sakit menelan disertai dengan demam, dan pilek. Os juga mengeluh

sering terbangun pada tengah malam karena merasa sesak. Os juga tidur mendengkur.

Berdasarkan teori, Bila sering terjadi Infeksi saluran pernapasan atas, terjadi invasi

kuman maka adenoid semakin lama akan membesar karena sebagai kompensasi

bagian atas maka dapat terjadi hipertrofi adenoid, dan pada pemeriksaan radiologi

yang telah dilakukan juga terdapat suatu gambaran hipertrofi adenoid. akibat dari

hipertrofi ini akan timbul sumbatan koana dan sumbatan tuba eustachius. Gangguan

tidur pada os berupa sleep apnea , dan tidur ngorok terjadi akibat hipertrofi adenoid.

adenoid terlalu besar menutup torus tubarius sehingga pada pemeriksaan fisik

fenomena palatum mole negatif.

Os tidak mengeluhkan adanya rasa ngganjal ditenggorokan, rasa kering

ditenggorokan, dan nafas berbau. Berdasarkan teori, gejala lain yang dikeluhkan oleh

pasien dengan tonsillitis kronis adalah rasa ada yang mengganjal ditenggorokan,

dirasakan kering ditenggorokan, dan nafas berbau. Namun tidak ditemukan pada os.

Berdasarkan analisa kasus diatas dengan membandingkan kesesuaian antara

teori dan kondisi pasien maka dapat ditegakkan diagnosa adenotonsilitis kronis.

Penatalaksanaan yang telah dilakukan pada os adalah pemberian medikamentosa

seperti antibiotik, antiinflamasi, dan dianjurkan untuk dilakukan tindakan

pembedahan berupa adenotonsilektomi, berdasarkan teori, beberapa indikasi

tonsilektomi yang terdapat pada os yaitu serangan tonsillitis lebih dari tiga kali per

tahun walaupun telah mendapatkan terapi yang adekuat; Sumbatan jalan napas yang

berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan napas, sleep apnea, gangguan

menelan. Sedangkan indikasi adenoidektomi pada os adalah indikasi sumbatan yang

mengakibatkan os mengalami sleep apnea dan gangguan menelan.

28

Page 29: CRS THT

BAB V

KESIMPULAN

1. Telah dilaporkan pasien An.RG,4 tahun dengan diagnose Adenotonsilitis kronis.

2. Adenotonsilitis kronis adalah infeksi yang menetap atau berulang dari tonsil dan

adenoid.

29

Page 30: CRS THT

3. Gejala adenotonsilitis kronis adalah sering sakit menelan, hidung tersumbat

sehingga nafas lewat mulut, tidur sering mendengkur karena nafas lewat mulut

sedangkan otot-otot relaksasi sehingga udara menggetarkan dinding saluran nafas

dan uvula, sleep apnea symptoms, dan maloklusi

4. Penatalaksanaan dapat berupa pemberian terapi local, terapi simptomatis dan

terapi antibiotic, atau pada kondisi tertentu, jika terdapat indikasi, dilakukan

tindakan pembedahan.

5. Terdapat beberapa komplikasi adenotonsilitis kronis baik terhadap organ

disekitarnya maupun organ lain yang jauh.

DAFTAR PUSTAKA

1. Muharjo. Pengaruh adenotonsilektomi pada anak adenotonsilitis kronis obstruksi terhadap imunitas. Surakarta: FK UNS; 2011.

2. Rusmarjono dan Soepardi EA. Faringitis, tonsillitis, dan hepertrofi adenoid dalam buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Editor

30

Page 31: CRS THT

Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Edisi ke-enam. Jakarta: FKUI; 2007. Hal. 217-25.

3. Rohen, Johanes W dan Elke Lutjen-Drecoll. Embriologi Fungsional. Edisi ke 2. Jakarta: EGC, 2009;123-6

4. Adams, George L., dkk, BOEIS, Buku Ajar Penyakit THT, edisi ke-enam, Jakarta: EGC; 1997.

5. Snell, R.S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, bagian 3, edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006.

6. Falguna, feba. Adenotonsilitis Kronis. (diakses 21 Juni 2014). diunduh dari URL: http://id.scribd.com/doc/115010758/Feba-Cbd-Adenotonsilitis-Kronis

7. Gotlieb, J, The Future Risk Of Child Hood Sleep Disordered Breathing, SLEEP, vol 28, No.7, 2005.

8. Zulasvini N. Karakteristik penderita tonsillitis kronis di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2007-2010. (skripsi). Medan: FK USU; 2012.

9. Mozafarinia K. Evaluation Of Growth Indices In Children With Recurrent Pharyngotonsilitis Due To Adenotonsilar Hypertrophy: A Case Control Study. American Journal of Infectious Diseases 4 (2): 92-95. Iran: Department of Ear, Nose, Throat, Head and Neck surgery, Kerman medical sciences university; 2008.

10. Chronic adenotonsilitis. ENT journal (serial online). (diakses 21 Juni 2014). Diunduh dari URL: http://www.hamptonroadsent.com/services/tonsil.html

11. Wright ST, Deskin R. Tonsilitis, tonsillectomy, adenoidectomy. Serial online. (diakses 21 Juni 2014). Diunduh dari URL: http://www.utmbedu/110/Tons-slide-2003-110.html

12. Mansjoer Arief,dkk., Tonsilitis Kronis, dalam Kapita Selekta Kedokteran. Media Aeskulapius, Jakarta: FKUI; 2001, hal. 120-1

31