critical thinking guidelines
-
Upload
itamartheani -
Category
Documents
-
view
15 -
download
2
description
Transcript of critical thinking guidelines
TUGAS MODUL 1 B
CRITICAL THINKING GUIDELINES BAGI STAF AKADEMIK
Oleh:
Endang Lestari
FK Unissula
Pendahuluan
Dunia mengalami perubahan, demikian yang disampaikan oleh Paul dan Elder
(2002). Kita tidak akan bisa mengikuti perubahan tersebut tanpa merubah cara berfikir
kita secara revolusioner. Dahulu, pola berfikir kita didesain untuk menghadapai dan
melakukan hal-hal yang rutin, dan dengan prosedur yang baku. Kita mempelajari
pekerjaan kita, kemudian melakukannya berulang-ulang apa yang telah kita pelajari
tersebut. Akan tetapi, kompleksitas persoalan yang kita hadapi saat ini membutuhkan
pola berfikir yang lebih kompleks, lebih adaptis, dan lebih sensitive terhadap perbedaan
sudut pandang. Kita membutuhkan critical thinking.
Kondisi tersebut juga terjadi pada bidang kedokteran dan praktek dokter. Tradisi
clinical reasoning, yang menerapkan pattern recognition disadari tidak relevan untuk
selalu dipergunakan, karena kompleksitas persoalan yang dihadapi dari satu pasien ke
pasien lainnya mengharuskan dokter befikir menyeluruh dengan menerapkan prinsip-
prinsip critical thinking. Kompleksitas persoalan pasien juga mengharuskan dokter untuk
terus berkembang menyesuaikan dengan perkembangan ilmu dan teknologi serta keadaan
lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu seorang dokter dituntut bersikap fleksible
beradaptasi dengan perubahan yang ada dengan terus belajar sepanjang hayat.
Kemampuan generik critical thinking sangat dibutuhkan dalam konteks ini, agar dokter
dapat menentukan kelayakan rujuk material yang dikaji dalam kegiatan belajar sepanjang
hayatnya.
1
Proses pendidikan kedokteran tradisional yang mengandalkan kuliah teacher
centered, yang cenderung menekankan pada transfer pengetahuan, bukan pada
pemfasilitasan pembelajaran, diyakini sangat tidak memberikan kesempatan kepada
siswa untuk mengembangkan kemampuan berfikirnya. Oleh karena itu, proses
pendidikan kedokteran yang ada selama ini dilaksanakan harus ditinjau kembali, karena
sudah tidak cocok dengan tuntutan keadaan. Mahasiswa kedokteran harus dididik dan
dilatih menggunakan keterampilan berpikir kritis untuk menghubungkan konsep dasar
dengan situasi yang sebenarnya di lapangan. Institusi penyelenggara pendidikan dokter
harus mampu membangun suatu bentuk pendidikan yang mengasah kemampuan berpikir
kritis dan membantu mahasiswa untuk mengembangkan kemampuan berfikir kritisnya,
baik untuk menyelesaikan persoalan pasien, maupun untuk berkontribusi memberikan
penyelesaian persoalan masyarakat terkait dengan masalah kesehatan. Seluruh proses
pendidikan yang dilaksanakan harus mengarahkan siswa pada pencapaian kemampuan
critical thinking tersebut. Peran dosen / tutor /dan instruktur sangat penting, untuk
memastikan pelaksanaan dan ketercapaian tujuan tersebut. Untuk itu, perlu disusun
guidelines atau panduan bagi staf akademik dalam memfasilitasi pengembangan critical
thinking mahasiswa pada berbagai kegiatan akademik.
Definisi critical Thinking
- Schafersman (1991) menyatakan bahwa berfikir kritis adalah berfikir dengan
benar berdasarkan pengetahuan yang relevan dan reliable, atau cara fikir yang
beralasan, relfektif, bertanggungjawab, dan mahir. Seorang yang berfikir kritis
dapat menanyakan suatu hal dengan tepat, mencari informasi dengan tepat yang
akan dipergunakannya untuk menyelesaikan masalah, dapat mengelola informasi
tersebut dengan logis, efisien dan kreatif sehingga dia dapat membuat simpulan
yang logis dan dapat memecahkan masalah yang dihadapinya dengan tepat
berdasarkan analisis informasi dan pengetahuan yang dimilikinya.
- John Dewey, dikutip oleh Fisher (2001) menjelaskan bahwa critical thinking
adalah pertimbangan yang aktif dan tepat serta berhati-hati atas keyakinan dan
keilmuan untuk mendukung kesimpulan.
2
- Selain itu, Fisher (2001) juga mengambil pendapat Ennis, yang menyatakan
bahwa critical thinking adalah kegiatan berfikir yang beralasan dan reflektif yang
memfokuskan pada apa yang diyakini dan apa yang akan dilakukan.
- The APA Concensus Definition (dalam Facione, 1996) memberikan definisi
berfikir kritis sebagai keputusan yang memiliki tujuan dan dilakukan sendiri oleh
pelaku kegiatan berfikir, sebagai hasil dari kegiatan interpretasi, analisis, evaluasi
dan inferensi serta penjelasan dari pertimbangan yang didasarkan pada bukti,
konsep, metodologi, kriteriologi dan kontekstual, yang kemudian melandasi
keputusan yang dibuat oleh orang tersebut.
- Dari definisi tersebut, Facione (2004) menjelaskan bahwa sebagai cognitive skill,
bagian penting dalam kegiatan berfikir kritis adalah interpretasi, analisis, evaluasi,
inferensi, penjelasan dan pengaturan/pengelolaan diri.
Tujuan dan dasar pemikiran pengajaran critical thinking
Schafersman (1991) menjelaskan bahwa tujuan utama pengajaran critical thinking
adalah meningkatkan kemampuan berfikir siswa, agar mereka siap meraih kesuksesan di
dunia yang semakin kompleks persoalannya ini. Sesungguhnya ketika staf akademik
mengajarkan mata kuliahnya maka bersamaan itu pula diharapkan mereka juga
mengajarkan siswanya untuk berfikir kritis. Akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa
sebagian besar dosen hanya mengajarkan ’what to think’ ’apa yang harus difikirkan’
(yakni materi kuliah) dan bukan ’how to think’ ’bagaimana cara berfikir’ (yakni cara
memahami material tersebut, hingga materi tersebut dapat dipelajarinya sendiri). Banyak
dosen yang dapat melakukan tugas transfer materi dengan baik, akan tetapi tidak banyak
dosen yang berhasil untuk mengajarkan bagaimana berfikir kritis untuk memahami
materi tersebut dan bagaiman cara mengevaluasi pemahamannya terhadap material
tersebut secara mandiri.
Alasan lainnya adalah karena riset menunjukkan bahwa lebih dari 70% siswa
yang berusia 17 tahun tidak memiliki kemampuan ’high order intelectual skill’. 40% dari
mereka tidak dapat melakukan inferensi dari teks tulis yang dibacanya, hanya seperlima
dari mereka yang mampu menulis essay persuasif , dan hanya sepertiga dari mereka yang
dapat menyelesaikan soal matematika yang mengharuskan dipergunakannya banyak
3
langkah (Schafersman,1991). Fenomena ini terjadi juga karena sistem pendidikan
tradisional yang lebih menekankan pada transfer pengetahuan sebanyak mungkin kepada
siswa, dan bukan mendidik mereka agar dapat berfikir kritis tentang subjek yang sedang
dipelajarinya (Pithers, 2000). Harus disadari bahwa agar dapat mengikuti perkembangan
ilmu, siswa tidak diharuskan memiliki kemampuan menghafal seluruh ilmu tersebut, akan
tetapi diharuskan memiliki kemampuan untuk menguasai metode (yakni critical thinking)
agar dapat memahami ilmu, menguasainya dan mengevaluasi informasi yang terkait
dengan keilmuan tersebut.
Alasan lainnya, adalah terkait dengan pendapat Dam dan Volman (2004), yang
menekankan bahwa critical thinking adalah kompetensi wajib bagi seorang warga negara
yang baik. Oleh karena itu, penguasaan kompetensi berfikir kritis ini harus menjadi
tujuan pendidikan bagi setiap warganegara. Dijelaskan bahwa seorang yang selalu
berfikir kritis adalah orang yang memiliki kepribadian yang baik dan hubungan social
yang baik pula. Dengan kata lain, orang yang berfikir kritis tidak akan melakukan hal-
hal yang tidak procedural, dan hal-hal yang merugikan/agregatif. Seorang yang berfikir
kritis selalu berusaha menjadi anggota masyarakat yang baik, yang selalu memecahkan
persoalan masyarakat dengan akurat menggunakan kemampuan critical thinking-nya.
Ketika dia menyelesaikan masalah dalam komunitasnya, dia selalu menggunakan
reflective thinking-nya yakni system berfikir yang mendasarkan pada alasan yang jelas
dan bukti yang akurat, melalui tahap-tahap interpretasi masalah, analisis masalah,
evaluasi, menjelaskan, dan introspeksi diri. Sistem ini membutuhkan kejujuran
intelektual, dan antisipatif terhadap apa yang akan terjadi di kemudian hari, kedewasaan
dalam memberikan penilaian, keadilan, meminimalkan bias, dan sikap selalu mencari
kebenaran. critical thinking harus diarahkan sampai pada critical participation, yakni
kemampuan berfikir kritis dalam keikutsertaannya sebagai warga masyarakat yang
bertanggungjawab atas persoalan di lingkungannya.
Bertolak dari pendapat tersebut, maka critical thinking wajib diajarkan, bahkan
harus sampai pada tujuan untuk menstimulasi siswa agar memberikan partisipasi dalam
seluruh kegiatan dan permasalahan masyarakat dengan menerapkan kemampuan berfikir
kritisnya. Seluruh partisipasi yang diberikan dan ditawarkan hendaknya dilandasi dengan
analisis dan reflective thinking, berpendapat dengan alasan (reasoning) yang jelas dan
4
masuk akal dan berdasarkan bukti. Siswa dituntut untuk mampu melihat masalah dari
berbagai sudut pandang (perspective), menentukan isu pokok di masyarakat, dan asumsi-
asumsi masyarakat, kemudian menganalisisnya. Selain itu, siswa juga dituntut untuk
mampu memberikan pendapat berdasarkan norma dan nilai-nilai yang berkembang di
masyarakat, prinsip-prinsip umum yang ada di masyarakat, budaya, dan lain sebagainya.
Hal-hal yang harus diajarkan dalam critical thinking
Kemampuan yang harus dimiliki oleh critical thinker, bertolak dari definisi APA
Concensus Definition adalah interpretasi, analisis, evaluasi dan inferensi. Facione (2004)
menambahkan dua kemampuan lain yakni expalining dan self regulation. Saya
sependapat dengan Duldt-Battey (1997) yang menyatakan bahwa kemampuan-
kemampuan tersebut dapat diperoleh dengan membiasakan siswa untuk debat dan
menjelaskan. Menurutnya, jika seseorang mampu menerangkan sebuah fenomena,
mampu memberikan label pada setiap kejadian dan hal-hal yang terkait dengannya, maka
sesungguhnya dia sudah menguasai sebagian kecil dari ilmu tersebut. Selanjutnya, jika
dia telah mampu menghubungkan dua atau lebih konsep yang terkait dengan suatu
kejadian serta menjelaskan bagaimana hubungan konsep-konsep tersebut, sehingga dia
harus menyusun argumentasi yang menjelaskan logika hubungan antar konsep tersebut,
dan mempertahankannya posisi dan pandangannya dalam debat, maka dia sudah berada
pada posisi pemahaman yang lebih tinggi. Proses internal untuk mendefinisikan
fenomena, menyusun kriteria, emngevaluasi informasi yang dikumpulkannya, memilih
informasi mana yang relevan, memilih pendapat yang benar dan aman untuk diyakini,
adalah kegiatan penting dalam melatih critical thinking. Duldt-Battey (1997) juga
menjelaskan bahwa terdapat tiga tingkatan berpikir kritis
1. Tahap verbal – tahap ini adalah tahap yang paling superfisial, karena mahasiswa
hanya menyatakan atau memberi definisi atas sesuatu. Mahasiswa menyampaikan
pengetahuan yang difahaminya dan definisi-definisi tersebut dengan kata-kata. Dosen
yang baik harus mendengarkan apa yang dikatakan oleh mahasiswa mengenai definisi
dan pemahaman siswa terhadap materi.
2. Tahap membaca- tahap ini agak lebih sulit dari tahap verbal, karena pada tahap ini
siswa diharuskan untuk memahami bagaimana orang lain menjelaskan sesuatu.
5
Sebagai dosen harus mengetahui bagaimana siswa menginterpretasikan apa yang
telah dibacanya. Dalam membaca terjadi proses kombinasi antara apa yang dibaca,
pengetahuan pembaca sebelumnya dan pembaca menginterpretasikan, memeriksa dan
mengoragnisasikan bahan yang dibaca untuk membentuk suatu pengertian yang baru.
Cognitive learning theory menjelaskan bahwa proses belajar terjadi jika informasi
baru tersebut dapat disisipkan pada informasi lama yang tersimpan dalam long term
memory (Simon, 2001).
3. Tahap menulis – tahap yang paling sulit adalah menjelaskan dengan menulis. Pada
tahap ini, mahasiswa harus mampu menuliskan apa yang difikirkannya dan
mempresentasikannya dalam bentuk kalimat yang harus bisa difahami oleh orang
lain. Dosen harus memeriksa struktur dan isi substansi tulisan serta presentasi
mahasiswa atas tulisan tersebut secara oral.
Oleh karena itu, jika pendidikan berorientasi untuk mencetak sumber daya yang mampu
bekerja pada level profesional, maka kemampuan menulis, membaca, dan berbicara ini
harus diajarkan juga. Konsekuensinya adalah intruksional juga harus didesain untuk
mengajarkan kemampuan ketiga kemampuan tersebut. Sayangnya, di banyak institusi
pendidikan tinggi, ketrampilan menulis tidak banyak disentuh. Siswa umumnya memiliki
kesempatan untuk menulis hanya ketika menyusun tugas akhir, baik dalam bentuk Karya
Tulis Ilmiah atau skripsi.
Kegiatan akademik yang dapat dimanfaatkan untuk pengajaran critical thinking
Ada beberapa pendekatan instruksional yang dapat meningkatkan berpikir kritis menurut
Cotton (1991), yaitu
1. Redirecting/probing/reinforcement.
Redirecting artinya bila mahasiswa dalam diskusi keluar dari topik yang dibahas,
maka tutor mengarahkan kembali.
Probing artinya rasa keingintahuan mahasiswa hendaknya dibangkitkan atau
dimotivasi, dan Reinforcement artinya bila mahasiswa dapat menjawab dengan baik
dan berani berargumentasi, tutor memberikan pujian atau diberikan tepuk tangan.
6
2. Mengajukan pertanyaan yang bersifat higher-order , terutama dalam mengevaluasi,
tidak hanya untuk level recall tetapi sampai pada jawaban analisa dan sintesis.
3. Memberikan waktu yang cukup bagi mahasiswa untuk menjawab pertanyaan.
Sedangkan menurut Resnick (1990), beberapa program peningkatan critical
thinking yang dapat dilakukan adalah:
1. general problem solving skill. Program ini difungsikan untuk melatih kemampuan
reasoning dan penyelesaian masalah. Ada dua jenis program yang biasa dipakai,
yakni CoRT Thinking Program yang disusun oleh De Bono, dan Productive
Thinking Program yang disusun oleh Covington.
2. Reading and study strategy . program ini umum dipergunakan, dan yang paling
banyak diterapkan. Pada program ini, critical thinking diajarkan sebagai context
dependent.
3. Informal logic and critical thinking. Program ini lebih bernuansa filsafat
ketimbang psikologi. Pembelajaran mengenai logika biasanya diajarkan pada
level perguruan tinggi, dan lebih difokuskan untuk penyusunan argumentasi dan
penalaran (reasoning).
Karena penguasaan kemampuan critical thinking dapat dipelajari sekalipun
membutuhkan waktu yang cukup lama, maka critical thinking sebaiknya diajarkan dalam
seluruh kegiatan pendidikan di perguruan tinggi, sejak semester 1 hingga akhir
pendidikan. Pada semester awal, kegiatan dapat berupa pembiasaan berfikir logis, debat,
dan peningkatan kemampuan berbicara. Pada semester-semester akhir dalam kegiatan
rotasi klinik bagi mahasiswa fakultas kedokteran, misalnya, critical thinking dapat
diajarkan melalui kegiatan ’clinical problem solving’, yang mengharuskan mereka untuk
berfikir kritis terhadap informasi holistik yang mereka gali dari pasien, baik melalui
anamnesis maupun dari pemeriksaan fisik dan penunjang.
Seluruh kegiatan akademik pada dasarnya dapat dimanfaatkan oleh dosen untuk
mengajarkan kemampuan critical thinking pada mahasiswa. Berikut penjelasannya:
a. perkuliahan
Banyak ahli yang menyatakan bahwa tidak perlu mengajarkan topik khusus mengenai
critical thinking secara langsung pada siswa (Schafersman, 1991, Kee dan Bicle
7
2001, Pithers, 2000). Mereka menjelaskan bahwa pengajaran critical thinking akan
lebih tepat jika dilakukan dalam context-dependent. Bahkan dalam laporan
penelitiannya, Abraham dkk (2004) menyatakan bahwa critical thinking dapat
diajarkan secara efektif jika diterapkan dalam konteks atau situasi sesungguhnya
(real-world context) dan sesuai dengan kebutuhan siswa. Meskipun demikian, saya
sepakat dengan pendapat Winch (2006) yang menyatakan bahwa critical thinking
dapat pula diajarkan dalam context independent. Pada kondisi ini, konsep-konsep
critical thinking, reasoning, arguing, dll. dapat diajarkan kepada siswa, sekalipun
contoh-contoh, misal contoh argumentasi, logika, evaluasi terhadap sesuatu, dll., yang
diberikan atau yang dibuat oleh siswa tetap didasarkan pada kasus atau peristiwa atau
konteks tertentu.
Pada kegiatan perkuliahan hal yang dapat dilakukan oleh dosen agar dapat
meningkatkan kemampuan critical thinkingnya adalah dengan:
- memberikan pertanyaan yang tidak hanya mengharuskan siswa untuk memahami
material, tetapi juga mengharuskan mereka untuk menganalisa dan menerapkan
pada contoh yang lain (Schafersman, 1991)
- Dosen harus dapat mengajar secara multiperspektif dan berfokus pada keterkaitan
dan kesamaan dari materi. Mahasiswa harus aktif; mengajukan pertanyaan,
mencari informasi, menghubungkan dengan pertanyaan yang relevan.
- memberikan pertanyaan terbuka yang menuntut siswa untuk memberikan
penjelasan yang mengharuskannya berfikir sebelum memberikan jawaban
(Abraham, 2004)
- memberikan tugas kepada siswa, baik perorangan maupun kelompok untuk
membuat dan menyampaikan simpulan dari kegiatan perkuliahan yang baru saja
dilakukan, sebelum perkuliahan ditutup (Brown dan Monague, 2001)
Kegiatan tersebut dapat dilakukan jika kuliah yang diberikan oleh dosen
menggunakan komunikasi dua arah, dan menekankan learning oriented, tidak sekedar
content oriented.
b. Praktikum di laboratorium
Kegiatan ini juga dapat dimanfaatkan oleh dosen untuk meningkatkan kemampuan
critical thinking mahasiswa, karena ilmu yang dipelajari di laboratorium tersebut
8
adalah sains yang pada umumnya membutuhkan penalaran. Dosen dapat meminta
siswa menjelaskan penalarannya atas kejadian atau fenomena yang dipraktekkan di
laboratorium dengan menggunakan logika ilmu yang dikajinya. Kegiatan seperti ini
dapat meningkatkan kemampuan reasoning.
c. Pekerjaan rumah
Pada pola pembelajaran tradisional, PR sama sekali tidak diorientasikan untuk
meningkatkan critical thinking. Umumnya, kegiatan ini hanya diorientasikan untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang disediakan oleh dosen ataupun yang tersedia
di teksbook. PR sebaiknya diawali dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang
harus mereka jawab sebelum mereka membaca teks. Selanjutnya, perintahkan juga
kepada siswa untuk membuat tulisan baru dengan bahasa mereka sendiri untuk
menjelaskan topik yang ditulis oleh pengarang tulisan yang dikajinya tersebut
(membuat parafrase), membuat ringkasan, atau membuat bagan-bagan yang
menjelaskan hubungan topik-topik yang dibacanya tersebut, atau bahkan
mengharuskan mereka untuk melakukan critical appraisal atas tulisan yang
dibacanya. Kegiatan-kegiatan tersebut diyakini dapat menumbuhkan kemampuan
critical thinking mereka. Hasil pekerjaan mereka selanjutnya diberi bobot nilai
sebagai penghargaan.
d. Term paper
Cara terbaik untuk mengembangkan critical thinking adalah mengharuskan siswa
untuk menulis, karena menulis dapat mendorong siswa untuk mengorganisir
pemikirannya, melakukan kontemplasi atas topik-topik yang ditulisnya, mengevaluasi
data dan logika penyampaiannya, dan menyampaikan simpulan dalam bentuk
persuasif.
e. Tutorial atau small group discussion
Tutorial sangat mendidik siswa untuk berfikir kritis dan komprehensif. Dalam
kegiatan ini, siswa dibiasakan untuk mengkaji masalah dan menyelesaikannya dengan
menggunakan langkah-langkah yang terorganisir. Duldt-Battey (1997) mengambil
contoh metode Chubinski yang mengembangkan strategi mengajar berdasarkan teori
berpikir kritis Richard Paul yaitu dengan menggunakan langkah-langkah sebagai
berikut:
9
1. Mengidentifikasi masalah
2. Menentukan tujuan
3. Mengungkapkan asumsi
4. Mengenal dan menggunakan paradigma yang berbeda
5. Demonstrasi berbagai metoda penalaran (reasoning)
6. Menguji data
7. Membuat berbagai pemecahan alternatif
8. Mengevaluasi pendapat orang lain
Chubinski menggunakan permainan ’pemilik sepatu’ ia memberikan sekumpulan
sepatu dan mahasiswa ditugaskan untuk menjelaskan siapa pemiliknya. Pertama-
tama, mahasiswa bekerja secara individual, kemudian dalam kelompok kecil dan
kelompok kelas. Pada sesi terakhir, Chubinski mengungkapkan pemilik sepatu yang
sebenarnya. Langkah-langkah tersebut sebenarnya hampir sama dengan 7 langkah
yang dipergunakan dalam kegiatan tutorial atau biasa disebut dengan seven jump step
yang saat ini dipergunakan di Maastrich University, yang saat ini dipergunakan di FK
Unissula. Diskusi pada keseluruhan step, terutama di step 2 (penyusunan masalah), 3
(analisis masalah), step 4 (brain storming untuk menentukan jawaban tentative dan
penyusunan skema yang menjelaskan jawaban tentative tersebut) serta step 7 (sharing
hasil belajar) adalah kegiatan yang mengharuskan siswa mengaktifkan kemampuan
berfikir kritisnya. Tutor, yang bertindak sebagai fasilitator dalam kegiatan diskusi
tersebut, harus benar-benar meyakinkan bahwa siswa menggunakan dan
mengaktifkan kemampuan critical thinkingnya dalan seluruh step. Memberikan
tantangan pertanyaan-pertanyaan terbuka yang mendorong siswa berfikir kritis dan
mendalam terhadap topik tertentu, memberikan topik atau kasus baru yang
mengharuskan siswa berfikir lebih mendalam, evaluasi terhadap kelayakan rujuk
sumber pustaka yang diambil oleh siswa, dan lain sebagainya adalah contoh aktivitas
yang dapat dilakukan tutor selama kegiatan tutorial berlangsung. Dengan kata lain,
dalam seluruh kegiatan tersebut, tutor harus memfasilitasi penyusunan hipotesa,
interpretasi, informasi atau data, menentukan kriteria atau membantu mahasiswa
untuk memahami penerapan prinsip dalam situasi baru atau dalam membuat prediksi.
10
Mahasiswa harus dibantu dalam membuat pertanyaan, mengumpulkan informasi,
diskusi, dan menentukan jenis dan validitas data dan membuat kesimpulan tentatif.
f. Belajar mandiri
Kegiatan belajar mandiri yang dilakukan siswa untuk mencari bahan belajar,
mengkajinya dan memahaminya agar dapat disampaikan dalam kegiatan tutorial pada
step 7 sangat mendidik siswa untuk menjadi independent learner dan pada gilirannya
akan mengarahkan mereka pada independent thinker. Harus diingat bahwa
independent thinking adalah tujuan utama dari transformational learning (Meriam,
2004). Mezirow (1997) menjelaskan bahwa mengembangkan kemandirian dalam
berfikir adalah tujuan dan metode pembelajaran orang dewasa, dan memperoleh
kemandirian dalam berfikir adalah produk dari transformative learning. Bertolak dari
pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan belajar mandiri juga
bagian yang harus mendapat porsi perhatian bagi tutor/dosen. Dosen harus
meyakinkan bahwa kegiatan belajar mandiri yang dilakukan siswa benar-benar
kegiatan belajar aktif, yang mengharuskan mereka menkaji dan mempertimbangkan
berbagai sumber belajar, dan bukan sekedar copy and paste pendapat atau tulisan dari
teksbook ini dan itu. Dalam kegiatan belajar mandiri, siswa diharuskan untuk
mengkritisi berbagai bahan yang dikumpulkan dan dibacanya, mengaitkan pendapat
satu dengan lainnya sehingga memberikan penjelasan yang logis. Jika ditemukan
pendapat yang saling bertentangan atau sulit difahami, siswa dapat berkonsultasi pada
ahli (dosen mata kuliah terkait).
g. skill lab
Kegiatan pelatihan penguasaan ketrampilan klinik atau biasa disebut dengan skill lab
juga dapat dipergunakan untuk meningkatkan critical thinking. Pada kegiatan ini,
siswa tidak hanya diajarkan untuk melakukan kegiatan tersebut, akan tetapi mereka
juga harus diajak berfikir mengapa aktivitas tersebut harus dilakukan. Oleh karena
itu, instruktur ketrampilan klinik harus rajin menanyakan kepada siswa, ”menurut
anda mengapa aktivitas (misal resusitasi) ini harus dilakukan, mengapa dilakukan
seperti ini, mengapa bagiam yang diperiksa sebelah sini (misal pada pemeriksaan
fisik), mengapa jika terjadi ini maka yang anda lihat atau yang anda dengar seperti itu
(misal pada pemeriksaan thorax, suara perkusi pekak jantung karena ada kelainan
11
tertentu) dan lain sebagainya, untuk membiasakan siswa melakukan kegiatan
reasoning.
h. rotasi klinik
Seluruh kegiatan dalam rotasi klinik harus diorientasikan pada peningkatan
kemampuan reasoning dan critical thinking, karena pada fase ini siswa sudah harus
menghadapi pasien, sehingga sejak memilih pertanyaan yang harus diajukan pada
pasien dalam anamnesis, memilih pemeriksaan fisik yang arus dilakukan,
menentukan pemeriksaan penunjang yang harus disarankan pada pasien, serta
menentukan diagnosis, dan menentukan penatalaksanaan penyakit pasien,
keseluruhannya harus menggunakan critical thinking. Selain itu, kegiatan refleksi,
yang semestinya dilakukan oleh siswa untuk mengevaluasi seluruh kegiatan yang
dilakukannya dalam menangani pasien (Branch dan Paranjape, 2002) sejak
melakukan anamnesis hingga menatalaksa penyakit pasien, juga merupakan kegiatan
critical thinking. Perlu diingat bahwa selain mampu melakukan interpretasi, analisis,
evaluasi, dan eksplanasi, seorang critical thinker juga harus dapat melakukan self
regulation, yang ditandai dengan kemampuannya untuk mengkaji ulang kegiatan
berfikir yang telah dilakukannya (Facione, 2004).
i. ujian
Ujian, baik oral, praktek maupun tertulis, keseluruhannya harus diarahkan pada
peningkatan kemampuan berfikir kritis siswa. Oleh karena itu, pada ujian tulis, soal
dalam bentuk esay yang menjelaskan pemikiran kritis siswa perlu juga diberikan. Jika
bentuk soal pilihan ganda yang dipergunakan, maka bentuk-bentuk soal yang
membutuhkan analisis, sintesis dan evaluasi serta problem solving (atau yang
memenuhi kriteria C4, C5, dan C6 dalam konsep Bloom dan problem solving dalam
konsep Gagne) harus dipergunakan.
Meskipun demikian, Sternberg (dalam Pithers, 2000) menyatakan bahwa kegiatan
pengajaran critical thinking sebagai generic skill tidak pernah berhasil. Selanjutnya Raths
dkk. (dalam Pithers, 2000) menjelaskan bahwa kegagalan tersebut disebabkan oleh
berbagai kendala, diantaranya adalah:
12
1. Dosen merasa tidak perlu belajar sesuatu dari mahasiswa: dalam berpikir kritis, dosen
adalah pembelajar yang perlu mendapatkan ide-ide baru, salah satunya adalah dari
mahasiswa.
2. Dosen hanya memberikan kuliah: seharusnya dosen menanggapai respon dari
mahasiswa dan menyajikan kuliah dengan lancan dan menggunakan teknologi. Dalam
konteks problem- based learning yang difungsikan untuk meningkatkan kemampuan
berfikir kritis mahasiswa, dosen harus terlibat aktif dalam proses belajar mengajar
sebagai fasilitator dan bukan sebagai instruktur.
3. Program yang tepat untuk meningkatkan kemampuan critical thinking. Dalam
berpikir kritis, program tergantung pada tujuan dan isi, serta tergantung pada konteks
dan kultur tempat siswa melaksanakan kegiatan berfikir.
4. Pilihan program berpikir kritis berdasarkan pilihan biner (holistic or processed-based,
flexible delivery vs face to face); program akan lebih efektif jika dilakukan dengan
pendekatan gabungan.
5. Hal yang terpenting adalah jawaban ’benar’, seharusnya yang perlu diketahui justru
adalah proses berpikir yang terjadi untuk dapat menjawab dengan benar.
6. Diskusi merupakan alat untuk meraih penyelesaian akhir. Dalam konsep criticl
thinking, seharusnya, critical thinking itulah yang harus menjadi alat penyelesaian
akhir.
7. Penguasaan materi, jika mahasiswa dapat menjawab 90% benar, berarti telah belajar
dalam 90% waktu. Padahal, seharusnya thinking dan performa dpat ditingkatkan terus
menerus.
8. Peran pembelajaran berpikir kritis adalah mengajar berpikir kritis, yakni mengajarkan
tentang konsepr dan teori berfikir kritis, bukannya melatih kemampuan berfikir kritis.
Untuk menjamin berlangsungnya kegiatan critical thinking mahasiswa pada seluruh
kegiatan pembelajaran, Fakultas harus mendorong tertanamnya sikap dosen yang baik
yang mampu menciptakan suasana kondusif untuk perkembangan kemampuan critical
thinking mahasiswa. Cotton (1991) memberikan saran beberapa sikap yang dimiliki
dosen agar dapat membuat iklim yang kondusif bagi peningkatan critical thinking:
1. Menetapkan peraturan-peraturan yang baik dalam proses belajar mengajar
13
2. Membuat perencanaan kegiatan dengan baik
3. Menghormati setiap mahasiswa
4. Melaksanakan kegiatan yang tidak mengancam, baik secara fisik maupun mental
5. Fleksibel
6. Menerima perbedaan tiap-tiap individu
7. Menunjukkan sikap positif
8. Menjadi model / contoh dalam berpikir kritis
9. Menanggapi setiap respon
10. Memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk berpartisipasi aktif
11. Menciptakan pengalaman yang mungkin akan berguna bagi kesuksesan tiap
mahasiswa
12. Menggunakan berbagai jenis metode pengajaran
Fakultas juga harus tegas terhadap perilaku dan sikap dosen yang bisa menghambat
mahasiswa berpikir kritis. Perilaku dosen yang hanya mendemonstrasikan dan
menjelaskan, tidak menanggapi respon mahasiswa, lebih banyak mencela daripada
memuji, menggoyahkan kepercayaan diri mahasiswa, menggunakan pertanyaan yang
hanya pada tingkat mengingat, harus ditegur dan diarahkan agar tidak menghambat
mahasiswa untuk berpikir kritis.
Mahasiswa juga harus dipersiapkan dalam pembelajaran berpikir kritis. Pithers (2000)
mengadopsi pendapat Raths menjelaskan bahwa sikap mahaiswa yang dapat menghambat
berpikir kritis diantaranya adalah:
1. Bertindak tanpa berpikir (impulsive)
2. Memerlukan bantuan pada setiap tahap (over dependent)
3. Menggunakan strategi yang tidak sesuai dengan tujuan (tidak memahami hubungan
sebab-akibat)
4. Mengalami kesukaran dalam pemahaman (miss meaning)
5. Merasa yakin ‘benar’ (dogmatism)
6. Kaku / tidak fleksibel (rigidity / infleksibility)
7. Tidak percaya diri (not confident)
14
8. Beranggapan berpikir kritis sebagai membuang waktu (anti intellectual)
Aplikasi critical thinking pada kurikulum pendidikan dokter Indonesia
Telah dijelaskan di atas bahwa penumbuhan dan peningkatan kemampuan critical
thinking mahasiswa harus dialakukan pada seluruh tahap pendidikan. Oleh karena itu,
dalam aplikasinya pada kurikulum pendidikan kedokteran, critical thinking juga harus
dilatihkan di setiap tahapan pendidikan tersebut, dengan penjelasan sebagai berikut:
Tahap Generic Skill Education (Semester I):
Pada tahap ini, mahasiswa diberi bekal keterampilan umum (generic skill) untuk belajar
di perguruan tinggi, yaitu belajar presentasi, membaca dan menulis artikel dengan kritis.
Karena kegiatan critical thinking akan diterapkan dan dilaksanakan pada keseluruhan
tahap pendidikan, maka konsep critical thinking ini perlu diajarkan dan dilatihkan pada
modul awal, yakni pada modul 1, bersamaan dengan modul ketrampilan pembelajaran.
Pengajaran critical thinking pada level ini jelas context independen, karena yang
dipelajari khusus kemampuan critical thinking saja, tdak dikaitkan dengan conten subjek
lain. Inilah yang menjadi alasan bahwa pengajaran critical thinking dalam context
independent tetap perlu diberikan seprti pendapat Winch (2006). Meskipun demikian,
dalam memberikan dan membuat contoh, siswa tetap harus mengaitkannya dengan
kontek sesuatu. Pada modul-modul selanjutnya, critical thinking lebih ditingkatkan
dengan diskusi kelompok, dan debat dalam collaborative learning (Gokjale, 1995), yaitu
suatu metoda instruksi dimana mahasiswa belajar bersama dalam kelompok kecil untuk
mencapai tujuan bersama. Belajar bersama dapat melibatkan mahasiswa dalam diskusi,
bertanggungjawab untuk diri sendiri, dan menjadi orang yang berpikir kritis. Belajar
secara kolaboratif secara bermakna hasilnya lebih baik dibandingkan belajar individual.
Tahap Biomedik (Semester II – VII):
Pada tahap ini, mahasiswa masuk pada fase biomedik. Integrasi vertikal dan horisontal
ilmu biomedik harus mereka hadapi. Karena pendekatan yang dipergunakan adalah
problem based learning, maka mahasiswa diharapkan menguasai ilmu dasar untuk
15
membantu penegakkan diagnosis atau penyusunan hipotesis atas kasus klinis yang
diberikan kepada mereka. Problem-based learning merupakan salah satu metode yang
baik untuk mengembangkan berpikir kritis. Mahasiswa belajar berawal dari kasus sebagai
trigger dan tidak langsung ke materi (body of knowledge). Dengan masalah, mahasiswa
belajar bagaimana caranya memecahkan masalah, bagaimana mengevaluasinya dan
pengetahuan apa yang dibutuhkan.
Dengan belajar basic science mahasiswa terbantu untuk membuat hipotesa yang tepat dan
dapat melakukan diagnosis lebih akurat. Metode yang bisa diberikan misalnya Clinically
Oriented Physiology Teaching (COPT), yaitu pembelajaran fisiologi yang diintegrasikan
dengan kasus klinis dalam setiap pembelajaran (Abraham, 2004). Skenario, yang
bertindak sebagai pemicu diskusi, didisain sedemkian rupa sehingga memotivasi
mahasiswa untuk berpikir kritis, yaitu dengan membahas apa masalah intinya, informasi
apa yang harus dipelajari dan dikumpulkan agar dapat disusun hipotesis penyakinya, dan
lain sebagainya. Skenario juga harus diberikan dalam bentuk yang kompleks dan
komponen pengetahuannya multidimensional, sehingga membuat mahasiswa dapat
menyesuaikan diri untuk mencapai tujuan manajemen pasien yang efektif. Kegiatan
perkuliahan, praktikum, dan skill lab juga harus mengarahkan siswa untuk
mengembangkan reasoning dan critical thinking. Sekali lagi, proses collaborative
learning dan independent learning, yang mendorong tercapainya critical thinking
dilaksanakan dalam seluruh tahap
Tahap Rotasi klinik (semester VIII – X):
Pada tahap ini mahasiswa menjalani rotasi klinik, dan praktek sesuai dengan kasus nyata,
dengan pasien sesungguhnya dalam pengawasan dosen. Menghadapi kasus nyata dengan
kategori multipel dan dalam bentuk kombinasi akan mambuat mahasiswa mendapatkan
hasil belajar yang optimal. Pemikiran inilah yang kemudian mendorong dilaksanakannya
integrasi dalam pelaksanaan kepaniteraan klinik, bukan lagi departemental based yang
cenderung terkotak-kotak. Kemampuan Clinical reasoning untuk menegakkan diagnosis
merupakan implikasi nyata untuk mengevaluasi kemampuan critical thinking mahasiswa.
Penilaian tidak hanya didasarkan diagnosa yang tepat atau rencana manajemen yang baik
pada suatu kasus, serta pemahaman mekanisme patofisiologi penyakit tersebut, akan
tetapi yang terpenting adalah mahasiswa dapat mendiagnosa dengan tepat pada kasus
16
lain, dan dengan reasoning yang jelas. Struyf dkk (2005) menjelaskan bahwa Evidence-
based medicine (EBM) juga diajarkan pada semesteri ini. Dengan EBM, mahasiswa
diaktifkan untuk berpikir kritis, meningkatkan pembelajaran sosial dan proses kelompok,
serta meningkatkan sikap mencari informasi secara mandiri dan terus menerus dan
critical appraisal. Selain itu, mahasiswa juga dapat diajarkan problem solving clinical
seminars (PSCS), yaitu seminar mengenai kasus klinis yang terdiri dari deskripsi masalah
pasien yang relevan dan diikuti dengan pertanyaan setengah terbuka agar dapat fokus
pada proses clinical reasoning. Sebelum seminar, mahasiswa mempelajari kasus secara
individual, kemudian didiskusikan dalam kelompok kecil untuk menjawab pertanyaan
setengah terbuka (half-open question). Selama persiapan ini, masalah dipresentesaikan
untuk dilakukan identifikasi, dianalisa dan dipecahkan dengan mengaktifkan pengetahuan
sebelumnya, mencari informasi yang dibutuhkan dan mendiskusikan pemecahan tersebut.
Penutup
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Critical thinking adalah kemampuan penting yang harus dimiliki oleh setiap
pembelajar agar dapat eksis di dunia global yang berubah dengan cepat ini.
Kemampuan berfikir kritis akan menuntun pembelajar untuk selalu ingin tahu,
meningkatkan kualitas diri agar dapat menganalisis, mengevaluasi dan
menginferensi dari berbagai hal yang dibaca dan dialaminya untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Oleh karena itu, dengan kemampuan
critical thinking, seseorang akan selalu termotivasi untuk melakukan kegiatan
belajar sepanjang hayat, memperbarui pemahamannya sesuai dengan konteks
zaman.
2. Kemampuan critical thinking sebaiknya diberikan seawal mungkin dan diajarkan
terus selama pendidikan di perguruan tinggi. Ada 3 tahap berpikir kritis , yaitu
tahap verbal, membaca dan menulis. Oleh karena itu, instruksional harus didesain
sedemikian rupa sehingga mencakup ketiga tahap tersebut.
3. Seluruh kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan baik kuliah, praktikum di
laboratorium, skill lab, tutorial, rotasi klinik, Collaborative-learning, problem-
17
based learning (PBL), clinically oriented physiology teaching (COPT), evidence-
based medicine (EBM), problem solving clinical seminars (PSCS) semua dapat
dimanfaatkan untuk menumbuh kembangkan kemampuan critical thinking.
4. Dosen sebagai staf akademik harus memastikan agar siswa dapat
menumbuhkembangkan critical thinking skill dalam seluruh kegiatan
pembelajaran. Oleh karena itu, hal-hal yang dapat menumbuhkan iklim critical
thinking harus diciptakan oleh dosen, dan menghindari hal-hal yang menjadi
kendala tumbuhnya skill tersebut.
Panduan ini, jika difahami dan dilaksanakan sebagaimana mestinya, diharapkan dapat
bermanfaat bagi peningkatan kemampuan critical thinking mahasiswa.
DAFTAR PUSTAKA
Abraham, R R, Upadhnya, S, Torke, S, and Ramnarayan, K. 2004. Clinically oriented physiology teaching: strategy for developing critical-thinking skills in undergraduate medical students, Adv Physiol Educ, 2004; 28, 102-104
Branch, William and Paranjape, Anuradha. 2002. Feedback adn Reflection:Teaching Method for Clinical Settings. Journal of Academic Medicine Vol. 77 No. 12 December 2002.
Brown, George dan Monague, Michael. 2001. AMEE: Medical Education Guide: 22, Refreshing Lecturing: a Guide for lecturers. Medical Teacher, Vol 23 No. 3, 2001, 231-244
Cotton K. 1991. Teaching thinking skills. NW Regional Educational Laboratory. http://www.nwrel.org/scpd/sirs/6/cu11.html
Dam, Geert ten dan Volman, Monique. 2004. Critical Thinking as Citizanship Competence: teaching strategy. Learning and Instruction. 14 (2004) 359-378.
Duldt-Battey, B.W. 1997. “Teaching winners: How to teach critical thinking” in Critical thinking accoss curriculum project: Longview Community College, Lee’s Summit, Missouri.
Facione NC, Facione PA. 1996. Externalizing the critical thinking in knowledge development and clinical judgment. Nursing Outlook, 44, 129-36.
18
Facione NC.2004. Critical Thinking what it is and why it counts. California Academic Press.
Fisher, Alec, 2001, Critical Thinking an Introduction, UK: Cambridge University Press.
Gokjale A A. 1995. Collaborative learning enhances critical thinking, Journal of Technology Education, 1995; 7(1). (http://scholar.lib.vt.edu/ejournals/JTE/jte-v7n1/gokhale.jte-v7n1.html)
Kee, F dan Bickle I. 2004. Critical thinking and Critical Appraisal: the chicken and the Egg? QMJ, 97, 609-614
Merriam, Sharan B. 2004. The Role of Cognitive Development in Mezirow’s Trnaformational Learning Theory. Jurnal of Adult Education Quartely Vol 55. No.1 November 2004.
Mezirow, Jack. 1997. Cognitive Process: Contemporary Paradigms of Learning. Adult Learning: a Reader. Edited by Sutherland, Peter. London: Kogan Page.
Paul, Richard, W and Elder Linda. 2002. Critical Thinking. USA: Pearson Education Inc.
Pithers RT, Soden R. 2000. Critical thinking in education: A review. Educational Research, 42(3), 237-49.
Resnick, L. 1990. “Instruction and the cultivation of thinking” in Handbook of Educational Ideas and Practice, N Enwistle (ed), Routledge.
Schafersman, Steven D. 1991. An Introduction to critical thinking.
Simon, Scott D. 2001. From Neo Behaviorism to Social Contructivism? The Paradigmatic Non-Evolution of Albert Bandura. Thesis submitted to Emory University. Downloaded at 24-11-2006.
Struyf E, Beullens J, Van Damme B, Janssen P, Jaspaert H. 2005. A new methodology for teaching clinical reasoning skills: problem solving clinical seminars, Katholieke Universiteit Leuven, Faculty of medicine, Centre for Medical Education, Leuven: Belgium
Winch, Cristopher. 2006. Education, Anatomy and Critical Thinking. New York: Routledge.
19