Cpt 2001 Keren

download Cpt 2001 Keren

If you can't read please download the document

description

Baguslah

Transcript of Cpt 2001 Keren

Nomor : D/KPP-PRD/stat/XII-01/01

Perihal : PERNYATAAN SIKAP

Catatan Politik Akhir Tahun 2001 KPP PRD

Naiknya Megawati, Restorasi Orde Baru

Ringkasan

Sebuah gerakan yang akan bertahan dan maju adalah gerakan yang belajar dari pengalaman dan sejarah, sebagai rujukan dan tuntunan kerja-kerja menggalang perubahan di masa yang akan datang. Belajar dari sejarah, pahami sejarah, karena ia bukanlah sebatas urutan kejadian dan tanggal yang diabadikan dalam catatan dan buku. Belajar dari sejarah juga berarti memahami relasi-relasi atau hubungan-hubungan antar beberapa kejadian, dan esensi dari sebuah kejadian.

Tahun 2001 seolah mengulang tahun 1998 dan 1999, ketika presiden berganti dengan paksaan dan penolakan. Tapi penampakkan yang sama bukanlah berarti beresensi yang sama. Penyingkiran Soeharto dan Habibie, adalah buah hasil, meski sangat minimal, dari gerak maju demokratisasi Indonesia.

Namun pergantian Gus Dur ke Megawati, lebih berisikan restorasi Orde Baru, kembalinya militerisme, dan meredupnya pancaran demokratisasi.

Naiknya Megawati adalah penjumlahan dari kerja-kerja politik agen-agen Orde Baru, kelompok-kelompok konservatif (dan reaksioner), serta tekanan dari kapitalisme global, yang memiliki satu kepentingan: menyempitkan ruang-ruang demokrasi dan perlawanan rakyat tertindas untuk melanggengkan perampokkan negara-negara industri maju terhadap rakyat Indonesia.

Ada beberapa dosa terbesar Megawati dalam hal ini. Pertama, Megawati berkolaborasi dengan musuh-musuh gerakan perlawanan demokratik. Padahal gerakan demokratik itulah yang dahulu memberi perlindungan dan memperbesar kekuatan politik Megawati, sebelum dan setelah Peristiwa 27 Juli 1996. Demi kursi kepresidenan, Megawati mengadakan perjanjian dengan elemen-elemen Orde Baru dan kelompok-kelompok konservatif anti-demokrasi. Tak kurang taufik Kiemas, suami Megawati, menangani perjanjian tersebut.

Berapa biaya yang dikeluarkan Megawati dalam memperoleh posisi kepresidenan? Banyak, kita bisa lihat dari daftar tagihan yang kini mulai dibayar Megawati kepada kelompok-kelompok tersebut.

Tim ekonomi Megawati saat ini adalah bekas arsitek-arsitek ekonomi Orde Baru. Orang-orang itu seharusnya dijebloskan ke penjara karena bertanggung jawab menciptakan sebuah sistem ekonomi yang menyengsarakan rakyat dan memprovokasi kerusuhan karena nasihat mereka untuk menaikkanBBM di saat-saat terakhir kekuasaan Soeharto. Mereka juga membangun penipuan dengan mengatakan ekonomi Indonesia berbasiskan swasembada pangan, dengan memajukan sektor pertanian. Kenyataannya, mereka membangun VOC ala Indonesia (Bulog) yang membeli paksa produk-produk pertanian, tanpa pernah membangun industrialisasi pertanian. Saat ini kaum tani Indonesia berada dalam posisi sekarat, dengan produktivitas yang menurun hampir 2 % setahunnya. Resep mereka, perluasan investasi asing dan menggenjot ekspor, juga dengan segera diadopsi Megawati.

Kabinet dan posisi-posisi penting lainnya juga banyak diberikan kepadaorang-orang Orde Baru, seperti MA Rachman, Jaksa Agung yang kini mengusulkan abolisi terhadap kasus korupsi Soeharto. Orang-orang pendukung Dwifungsi ABRI juga diberikan kursi di kabinet oleh Megawati, satu paket dengan kebijakan represif mereka untuk melindungi kepentingan politik pemerintah. Benar-benar paket hemat! Angka-angka represivitas pun seperti melonjak. Aktivis-aktivis pro demokrasipun pada paruh kedua tahun 2001 mulai kembali dijebloskan ke dalam sel, terutama yang berasal dari kelompok buruh ataupun para pendukungnya. Penggunaan premanisme dan kriminalisasipun tak dilupakan dalam menangani kasus-kasus perburuhan.

Megawati menjual jiwanya tak hanya kepada iblis Orde Baru. Dosa kedua Megawati adalah menjual jiwanya juga kepada drakula kapitalisme internasional, yaitu IMF, Bank Dunia, IFC, CGI, dan berbagai kreditor internasional lainnya. Megawati tidak sedikitpun berupaya untuk melepaskan diri dari jeratan utang luar negeri yang kini melampaui jumlah Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Ia malah tunduk dan patuh kepada para rentenir tersebut yang bernafsu untuk membuka ruang investasi baru di Indonesia. Megawati tidak peduli kalau para rentenir internasional tersebut merebut aset-aset yang dapat mensejahterakan rakyat Indonesia.

Yang terpenting baginya adalah bagaimana dirinya, dan barisan penghisap rakyat yang diwakilinya dapat selamat dalam kemewahan. Sedikitpun ia tidak menghargai hak-hak ekonomi orang-orang yang telah mencoblos PDI-P, kaum miskin kota, yang telah membawanya ke puncak kekuasaan politik di tahun 1999.

Apa yang akan dilakukan Megawati untuk keluar dari krisis yang berkepanjangan ini? Tampaknya ia mencoba meramu resep pertumbuhan ekonomi Orde Baru dan resep penghematan anggaran IMF. Benar-benar ramuan yang akan membawa bencana kepada rakyat! Harapan-harapan yang mengikuti kenaikan Megawati, tentang perbaikan ekonomi Indonesia dalam pemerintahan Megawati, akan terbukti menjadi omong kosong belaka.

Tim ekonomi mafia Berkeley yang berlumur darah rakyat itu pasti telah mengucapkan mantra-mantranya kepada Megawati: ".pertumbuhan ekonomi hanya dapat dicapai dengan membuka investasi dan menggenjot ekspor. Karena itu, Megawati, kamu harus menjilat kaki para drakula yang bernama IMF, Bank Dunia, dan kawan-kawannya, supaya mereka tetap mau meminjamkan uang kepada Pemerintah Indonesia. Kamu juga harus represif, karena untuk menciptakan iklim investasi maka upah buruh harus tetap rendah. Kalau buruh melawan, jebloskan mereka ke penjara. Kalau penjara penuh, bantai saja. Soal tani? Biarkan saja mereka miskin, jangan diberi kredit apapun.

Kalau kurang beras, ya impor saja! Pokoknya jilat terus kaki IMF dan Bank Dunia."

Dari para tuan barunya yang di Washington, Megawati akan dititahkan:

".kamu pokoknya harus bayar utang! Apa? Tidak punya uang? Ya sudah. Jual saja BUMN-BUMN-mu itu. Iya, dong, sehatkan dulu itu perusahaan-perusahaan debitor. Kami hanya mau beli murah-murah. Nah, ini ada sedikit uang. Kamu pakai hemat-hemat, ya. Jangan dipakai untuk mensubsidi gembel-gembel miskin itu lagi. Jangan juga dipakai untuk stimulus ekonomi. Suku bunga BI kalau bisa tinggi, biar hemat. Utang ini biar pemerintahanmu punya uang untuk bayar utang-utang yang lama. Nah supaya kamu tetap aman dari amarah rakyat, sisihkan sebagian utang ini untuk Jenderal-jenderal kesayangan kami di TNI/Polri. Mereka perlu senjata baru buatan kami yang bagus-bagus ini. Oh ya, kami sedang ada proyek. Namanya Perang Anti Terorisme. Yah, bisnis kecil-kecilan. Biar ekonomi kami keluar dari resesi. Bantu-bantu ya?"

Begitulah kira-kira apa yang ada di kepala Megawati saat ini. Mantra ekonom Orde Baru dan titah dari IMF. Dalam APBN 2002, Megawati benar-benar mengikuti saran keduanya. BBM dan Listrik naik 30% dan 17%.

Sekitar Rp 80 trilyun dihabiskan untuk membayar cicilan pokok dan bunga utang luar negeri. Kebijakan moneter ketat hanya akan memiskinkan rakyat, karena hanya ketat kepada rakyat miskin tapi boros kepada para rentenir dunia dan para obligor/debitor yang menyebabkan besarnya utang luar negeri Indonesia.

Apa mau dikata, Megawati bukanlah pemerintahan rakyat miskin, dan bukan juga pemimpin yang akan membawa keluar rakyat Indonesia dari krisis kapitalisme peninggalan Orde Baru. Rakyat miskin, yaitu kaum buruh, kaum tani, dan kaum miskin kota sudah harus berani mendirikan pemerintahan baru, pemerintahan mereka sendiri, pemerintahan yang secara jelas dan pasti mengeluarkan mereka dari jerat pemiskinan neoliberalisme. Bukan Mega, Bukan Orde Baru, Bukan TNI, Bukan IMF, tapi Pemerintahan Rakyat Miskin!!!

Catatan Pertama

Jalan Keluar Penyelesaian Kasus Penyelewengan Dana Nonbuggeter Bulog Yang Melibatkan Partai Golkar

Pasca kejatuhan Soeharto, banyak kejahatan yang dilakukan oleh kekuatanlama mulai terungkap, namun sulit diseret ke meja pengadilan, dikarenakan kuatnya dominasi kekuatan lama di struktur hukum formal kita (Mahkamah Agung, Jaksa Agung, Departemen Kehakiman, Polri). Karena itu, dalam kejahatan penyelewengan dana nonbuggeter bulog yang melibatkan partai golkar, sudah saatnya kita harus mulai mendiskusikan, tidak semata fakta atau data kejahatan partai Golkar, walaupun hal tersebut tetap penting dilakukan, tetapi jalan keluar untuk sesegera mungkin membawa Partai Golkar ke meja pengadilan. Hal tersebut penting, lantaran sevalid apapun data yang ditemukan, baik oleh LSM maupun pers, terhadap kejahatan partai golkar, tetap akan mengalami jalan buntu bila jaksa penyidiknya adalah kejaksaan agung atau Mahkamah Agung. Kedua lembaga formal hukum yang agung dan maha agung ini sudah berulangkali mengaburkan bahkan membebaskan berbagai kejahatan yang dilakukan kekuatan lama, diantaranya adalah kejahatan yang dilakukan oleh Partai Golkar, Soeharto dan kroninya.

Karenanya, pemerintahan Megawati harus bertanggungjawab untuk secepat mungkin mengambil tindakan hukum luarbiasa untuk mengadili partai golkar secara institusi dengan membentuk Jaksa Ad Hoc dan Hakim Ad Hoc untuk menyidik dan mengadili Partai Golkar. Ada dua alasan kenapa penyidikan dan pengadilan partai golkar harus menggunakan alat hukum Jaksa Ad Hoc dan Hakim ad hoc:

Pertama, yang berwenang untuk menyidik dan mengadili partai golkar sebagai institusi, bila Partai Golkar terkena pelanggaran terhadap UU Pemilu tahun 1999 tentang dana Partai adalah Mahkamah Agung. Sementara mahkamah agung sendiri sudah tidak dapat dipercaya lagi untuk menangani berbagai kejahatan yang dilakukan oleh kekuatan lama.

Kedua, memang pembentukkan jaksa ad hoc dan hakim ad hoc tidak diatur dalam tata hukum kita, namun bila pemerintahan Megawati bertanggungjawab untuk menuntaskan agenda reformasi dengan menghancurkan kekuatan lama, maka pemerintahan Megawati dapat saja membentuk jaksa dan hakim ad hoc untuk, dengan alasan bahwa lembaga hokum formal saat ini tidak akan mampu karena masih dikuasai oleh kekuatan lama, yang akan terus menerus melindungi kejahatan partai golkar.

Pembentukkan Jaksa ad hoc dan hakim ad hoc tersebut harus terdiri dari tokoh-tokoh hokum yang tidak cacat moral. PRD mengusulkan beberapa namauntuk segera disahkan oleh pemerintahan Megawati sebagai Jaksa ad hoc dan hakim ad hoc: Ahmad Ali, Munir, Bambang Widjoyanto, Harun Alrasyid, Soetandyo Wignyowiyoto, Jhonson Panjaitan, Hendardi.

Sementara tindakan politik untuk mengungkap kejahatan Partai Golkar melalui pembentukkan Pansus tetap harus dilakukan, walaupun hasilnya sudah dapat diduga, tidak akan mampu mengungkap dan memberi sangsi kepadapartai Golkar. Fungsi pansus jelas adalah fungsi politik untuk mempermudah proses hukum yang dilakukan oleh hakim dan jaksa ad hoc.

Pansus berfungsi untuk memanggil atau menerima masukan dari masyarakat tentang kejahatan partai golkar. Masukan tersebut ditindaklanjuti secara hokum ke Jaksa ad hoc yang menjadi tim penyidik.

Catatan Kedua

PEMUKULAN GERAKAN PRO DEMOKRASI, KEMBALINYA HAATZAI ARTIKELLEN

Tahun 2001 adalah tahun dimana gerakan pro demokrasi harus merasakan pahitnya pukulan balik dari sisa sisa kekuatan Orde Baru yang kembali mendominasi lembaga-lembaga negara baik eksekutif, legislatif dan yudikatif. Penangkapan dan pemenjaraan aktivis pro demokrasi terjadi di berbagai kota.

Di Jakarta, Aktivis buruh Ngadinah ditangkap dan ditahan akibat memimpin rekan-reknnya dalam unjuk rasa menuntut kenaikan upah. Bulan Juni, Aktivis Forum Kota Mixil dan Aris ditangkap setelah aksi penolakan kenaikan harga BBM yang mereka pimpin berakhir dengan bentrokan dengan aparat keamanan. Mixil dan Aris harus mendekam 5 bulan dalam penjara.

Di Bandung , pertengahan Juni belasan aktivis diantaranya berasal dari LMND dan FNPBI harus rela diseret ke meja hijau setelah mereka tertangkap pasca aksi puluhan ribu buruh menolak Kepmenakertrans 78 tahun 2001.Aksi itu sendiri sempat diwarnai dengan bentrokan antara massa buruh denganaparat keamanan yang bertindak sangat represif. Para aktivs yang tertangkap itu saat ini masih dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Bandung dengan ancaman tuntutan rata-rata diatas 5 tahun penjara.

Di Jawa Timur tanggal 31 Juli 2001, aparat Polres Bondowoso menangkap 8 aktivis pro-demokrasi di Bondowoso (2 di antaranya anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa DPRD Bondowoso) dan penangkapan Ketua Partai Rakyat Demokratik Jawa Timur, Eusebius Purwadi, pada tanggal 9 agustus 2001 oleh Polda Jawa Timur.Kesembilan aktivis tersebut dituduh telah menghasut, menyebarkan rasa permusuhan, kebencian, atau menghina pemerintah yang sah.

Di Aceh, tanggal 20 Juli Ketua Front Perjuangan Demokratik Rakyat Aceh (FPDRA), Kautsar bin Mohammed Yus ditangka petugas hanya karena di dalam mobil yang dikendarainya ditemukan selebaran yang berisi seruan untuk menolak beroperasinya kembali Exxon Mobil Oil di Aceh. Walaupun akhirnya hakim yang mengadili perkara ini memutuskan bahwa Kautsar dinyatakan tidak bersalah, namun tak urung Kautsar sudah sempat merasakan nikmatnya mendekam dalam tahanan selama lebih dua bulan.

Penagkapan dan pemenjaraan dalam skala yang kurang lebih sama juga terjadi di Semarang,Lampung, Solo dan Medan.

Yang ironis adalah hampir seluruh aktivis yang ditangkap dan ditahan itu dijerat dengan pasal-pasal karet (160 KUHP-170 KUHP) atau lebih dikenal sebagai pasal "penyebar kebencian atau haatzai artikellen" (lihat tabel 1). Pasal-pasal ini adalah warisan kolonial Belanda yang juga amat digemari oleh pemerintahan Orde Baru untuk membungkam setiap potensi yang mengancam kekuasaaanya. Sejak tumbangnya Orde Baru, pasal-pasal ini sudah sangat jarang sekali dipergunakan, namun di tahun 2001 ekskalasi penggunaan pasal ini meningkat sangat tajam .Dalam RUU KUHP yang baru sebenanrnya pasal-pasal ini sudah tidak ada, ini artinya baik pemerintah sendiri maupun DPR telah menganggap bahwa pasal-pasal ini memang tidaksesuai dengan nilai-nilai reformasi serta rasa keadilan masyarakat.

Namun nampaknya pemerintah memang tidak malu untuk memakai segala fasilitas yang mungkin untuk membungkam gerakan pro demokrasi yang dianggap mengancam kekuasaannya.

Catatan Ketiga

PEMBERANTASAN KKN

Tekad pemerintah untuk memberantas Kolusi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) nampaknya hanyalah omong besar belaka. Koruptor di Indonesia tetap saja duduk di tempat terhormat. Kalau toh tidak berhasil menghindari jeratan hukum, para koruptor itu hanya mendapat vonis yang sangat ringan yang sangat tidak sesuai dengan kerugian yang diderita negara akibat perbuatannya.

Awal tahun 2001, tepatnya di bulan Februari diwarnai dengan keputusan memalukan dari Majelis hakim PN Jakpus yang diketuai oleh Subardi akhirnya menjatuhkan vonis 2 tahun penjara terhadap Bob Hasan , salah satu orang dekat Soeharto dalam kasus kasus penggelapan dana Departemen Kehutanan yang dilakukan oleh PT Mapindo Parama. Padahal Jaksa Penuntut Umum menuntut Bob dengan pidana penjara 8 tahun. Pada bulan yang sama pula Status tahanan kota mantan penguasa Orde Baru, H. Moh. Soeharto, secara resmi dicabut oleh Majelis Mahkamah Agung (MA). Majelis hakim agung yang diketuai Syaifuddin Kartasasmita dengan hakim anggota, Sunu Wahadi dan Artidjo Alkostar juga memerintahkan JPU untuk melakukan pengobatan mantan Presiden Soeharto hingga sembuh.

Pemerintah Megawati sama sekali tidak memiliki konsep pemberantasan KKNyang jelas, Bahkan sebaliknya pemerintah Megawati terkesan bermain mata dengan para pelaku KKN. Seperti kita ketahui bahwa naiknya Megawati menjadi Presiden adalah karena mendapat dukungan penuh dari sisa kekuatan Orde Baru, dalam hal ini Golkar. Golkar adalah kekuatan politk paling utama di masa Orde Baru dimana para koruptor kelas kakap tergabung didalamnya. Jadi jelaslah bahwa kegagalan Mega memberantas KKN bukanlah semata-mata kegagalan secara teknis saja tetapi berlatar belakang konspirasi politik yang kental antara Mega dan para pelaku KKN tersebut.

Dapat kita lihat betapa pemerintahan Mega sama sekali tidak bisa bersikap tegas terhadap mantan Presiden Soeharto serta para kroninya (lihat tabel 2).Mega justru nampak protektif sekali terhadap Soeharto. Sewaktu Soeharto sakit akhir tahun ini, Mega buru-buru mengeluarkan pernyataan akan memberikan jaminan bahwa Soeharto akan mendapatkan perlakuan yang layak sebagai mantan presiden, padahal semestinya jaminan yang harus diberikan oleh Mega bukanlah jaminan yang seperti itu, seharusnya sejak jauh-jauh hari Mega memberikan jaminan kepada rakyat bahwa Soeharto akan mendapat perlakuan yang layak sebagai seorang raja KKN.

Perkembangan terakhir malah, Kasus Soeharto akan segera ditutup dengan alasan bahwa sakit Soeharto adalah sakit yang permanen.Begitu juga anak kesayangannya Tommy, akhirnya mendapat anugerah berupa PK dari MA yang membebaskannya setelah sempat buron lebih satu tahun.Anak-anak Soeharto lainnya sampai saat ini belum ada yang dapat diseret ke meja hijau.

Padahal indikasi keterlibatan mereka sangat kuat, seperti halnya Tutut yang diduga keras terlibat dalam kasus korupsi pada proyek pipanisasi pengangkutan di BBM di pulau Jawa Pertamina, Sigit Soeharto yang diduga keras terlibat dalam kasus Mark Up pada proyek kilang minyak Balongan milik Pertamina. Begitu juga dengan Titiek Prabowo yang didugaterlibat dalam kasus Jakarta Outer Ring Road (JORR).

Bukan hanya itu, terhadap kasus kasus korupsi lainnyapun pemerintah Mega juga bersikap tidak tegas. Seperti dalam kasus penyuapan yang melibatkan dua orang hakim agung yaitu Supraptini Sutarto dan Marnis Kahar dan seorang pensiunan hakim agung,Yahya Harahap. Dalam kasus ini Hakim meneghentikan proses persidangan dan membebaskan para tersangka dengan alasan yang sangat formil yaitu dakwaan yang dibuat oleh Jaksa penntu umum tidak syah karena menggunakanUU No 3 tahun 1971 yang sudah dicabut sebagai dasarnya. Dalam kasus ini justru sang pelapor, Endin Wahyudin akhirnya divonis bersalah karena mencemarkan nama baik para hakim agung tersebut.

Bukti ketidakseriusan Mega dalam memberantas KKN semakin nampak ketika pada akhirnya Kejaksaan Agung (Kejagung) secara resmi, Senin (20/8), membubarkan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).

Pembubaran itu menuruti Mahkamah Agung yang dalam putusan atas permohonan judicial review (uji meteriil) menyatakan Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 tahun 2000 tentang Pembentukan TGPTPK tidak sah.

Fakta-fakta yang terjadi selama tahun 2001 diatas memang mengingatkan kepada kita untuk tidak percaya begitu saja dengan bualan pemerintah untuk segera memberantas KKN. Pemberantasan KKN nampaknya tidak bisa kita gantungkan pada pemerintah saja tetapi justru yang paling penting adalah partisipasi rakyat secara luas.

Catatan Keempat

Pemerintahan Mega Momentum Restorasi Militerisme

Tidak ada kemajuan apapun yang dihasilkan pemerintahan Megawati dalam menyelesaikan tugas transisional menuju Demokratisasi, Pelanggaran HAM dalam benntuk kejahatan kemanusian yang dilakukan militer belum satupun terselesaiakan lewat pengadilan yang memenuhi rasa keadilan Rakyat.

Represivitas militer yang masih terus dipraktekan militer pada masa pemerintahan Gusdur, sampai terjadinya pergantian kekuasaan ketangan Megawati eskalasinya semakin meningkat .

Penangkapan terhadap aktifis Pro Demokrasi kembali dilakukan dengan menggunakan alasan sama seperti Orde Baru, menghasut, menyebarkan rasa permusuhan, kebencian, menghina pemerintahan yang sah., dalam menghadapi aksi-aksi Rakyat selalu ditanggapi dengan sikap represif hanya karena alasan tidak memyampaikan surat izin berunjuk rasa.

Masih terjadi peningkatan eskalasi kekerasan di Aceh dan Papua.

Dicabutnya DOM di Aceh tidaklah merubah penindasan militer disana, karena setelah DOM dicabut operasi militer kembali di legitimasi dengan inpres no. 4 tahun 2000 dimasa pemerintahan Gusdur sampai pemerintahan Mega saat ini, ribuan tentara dikirim silih berganti. Bahkan di Papua terjadi pembunuhan terhadap ketua presidium Dewan Papua Theys Eluway sepulang menghadiri peringatan hari pahlawan yang diduga didalangi oleh militer, peristiwa itu terjadi justru disaat pemerintah sedang gencarnya merayu Rakyat Papua untuk menerima UU Otonomi Khusus sebagai sogokan ataspenindasan militer selama ini.

Rentetetan teror BOM masih saja terus terjadi tanpa ada satupun terungkap dengan jelas, tanpa rasa malu militer masih menjadi alat kekusaan melakukan penggusuran terhadap kehidupan ekonomi Rakyat miskin.

Semua itu menjadi telanjang dimata kita dan semakin mengabsahkan ketidak mampuan militer mengemban peran dan fungsi yang sesungguhnya, sehingga patut untuk dipertanyakan; apakah itu adalah hasil reformasi internal militer ? seperti yang selama ini digembar gemborkan oleh militer ketika tidak kuat lagi menghadapi hujatan Rakyat.

Megawati tidak bergeming sedikitpun atas realitas kekerasan militer tersebut, tidak punya empedu lagi terhadap penderitaan Rakyat miskin, yang selama ini kebanyakan menjadi konstituennya (massa PDIP). Sikappemerintahan semacam itu menunjukan ketidak berdayaan terhadap keinginan-keinginan militer yang ingin merostarsi kemabli kekuasaan politiknya, karena pilihan militer saat ini hanya ada dua, pertama;

membiarkan reformasi total berjalan memproses militer menjadi alat Negara yang profesional dengan konsekwensi transisonal hilangnya akses militer di parlemen dan diadilinya jenderal-jenderal pelanggar HAM atau kedua;

menghindari semua konsekwensi itu dengan kembali merebut kekuasaan, dalam tahap transisional menggunakan pemerintahan sipil yang berada dibawa kendali mereka. Pilihan kedualah yang paling mungkin bagi militer yang jajaran pimpinanya masih di pegang jenderal konservatif peninggalan Orde Baru, jatuhlah pilihan dukungan militer pada aliansi kekuatan politik oportunis borjuis dengan Golkar untuk menjatuhkan Gusdsur sebagai presiden dengan mendukung SI dan menolak dekrit

Sikap oportunisme kekuatan politik borjuasi yang masih membiarkan 38kursi militer dan Golkar diparlemen, berakibat sangat buruk terhadap masa depan demokrasi, kekuatan politik borjuis yang sebelumnya diharapkan rakyat menjadi kenderaan yang akan menghantarkan perubahan kearah demokratisasi ternyata hanya berkonflik antara faksi yang satu denganyang lain memperebutkan kekuasaan, tanpa rasa malu militerlah sandaran kemenangan kepentingan politik mereka, tidak mungkin militer memberikan dukungan begitu saja tanpa ada konsesi yang menguntungkan posisinya , terjadilah kesepakatan antara militer dan aliansi politik yang ingin menjatuhkan Gusdur maka jadilah Megawati sebagai penguasa baru tunggangan Militer.

Tabel 1. Kasus Kejahatan Kemanusiaan yang meliabatkan Militer Tidak yg jelas statusnya

No

Kasus

Status Kasus

1

Pelanggaran HAM oleh operasi militer di Aceh (selama 10 tahun DOM dan sesudahnya) Walaupun DOM

sudah dicabut, kekerasan masih berlangsung, 10 tahun DOM belum terungkap.

2

Tragedi Pembunuhan warga Tanjung Priok (12/9/1984) Pada masa pemerintahan Gusdur dibentuk KPP

HAM, saat ini jaksa agung telah menyelediki tapi tidak ada tindkan selanjutnya, sogokanpun dating pada

korban dengan tawaran islah dari Tri Sutrisno sebagai salah satu jenderal yang bertanggung jawab. 18 tahun

kasus ini belum terungkap.

3

Pembantaian waraga Talangsari, lampung pengikut Anwar Warsidi yang di tuduh GPK (6/12/1989) Masa

pemerintahan Gusdur Komnas HAM membentuk KPP HAM, namun saat ini warga melapor ke Komnas

HAM (7/9/2001) bahwa mereka mendapat terror dan intimidasi. 12 tahun kasus ini belum terungkap.

4

Tragedi 27 Juli

Masa pemerinthan Gusdur TNI/POLRI membentuk tim koneksitas tidak ada satupun tentara yang dinyatakan

sebagai sebagai tersangka kecuali 6 orang sipil.

Saat ini walaupun Mega sebagai Presiden yang juga menjadi korban berasama para pendukungnya pada

peroistiwa itu tidak ada tindakan untuk mengadili para pelaku dalam peristiwa tersebut, bahkan Gugatan PRD

terhadap orang-orang yang betanggung jawab dalam peristwa tersebut di tolak pengadilan.

5

Pembunuhan Mahasiswa Trisakti, Semanggi I dan II

Pansus DPR hanya memtuskan peristiwa tersebut merupakan pelanggaran HAM biasa.

Walaupun KPP HAM berhasil menemukan dugaan pelanggaran HAM berat dalam kasus ini, namun tidak

ada tindakan selanjutnya.

6

Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, Solo, Medan yang mengakibatkan pemerkosaan pada perempuan dan usaha

pemusnaan etnis Cina.

7.

Penculikan Aktifis Pro Demokrasi (1997-1980 )

Tidak ada keinginan pemerintah terhadap kelanjutan proses penyeledikan, walapun sebelumnya tim gabungan

pencari fakta (TPGF) pada 23/7/1998 merekomendasikan pemerintah untuk mengungkap kasus ini.

Walaupun 11 anggota kopasus (tim mawar) telah diadili, Prabowo telah diberhentikan, tapi motif dan pelaku

belum terungkap, Tidak ada sedikitpun respon pemerintah dan DPR

Tabel 2. Represivitas terhadap aksi-aksi Rakyat

No

Peristiwa

Alasan

1.

Bandung pertengahan Juni, Pembubaran aksi ribuan buruh yang menolak Kepmenaker 78/01, berakhir dengan

penangkapan aktivis FNPBI dan LMND. Melakukan penghasutan,menyebarkan rasa permusuhan,kebencianatau

menghina pemerintahan yang sah, dengan mengedarkan selbaran,pamphlet pemilu dipercepat

2

Jawa Timur ,penagkapan 8 aktivis Pro Demokrasi di Bondowoso (31/7/01), Penangkapan Purwadi (ketua KPW PRD)

di Surabaya (9/8/01 Melakukan penghasutan,menyebarkan rasa permusuhan,kebencian atau menghina pemerintahan

yang sah, dengan mengedarkan selbaran,pamphlet pemilu dipercepat

3

Jakarta bulan Juni, Pembubaran aksi mahasiswa menolak BBM, berakhir penagkapan terhadap Mixil dan Aris.

Melanggar UU No.09 tahun 1999 dan Melakukan penghasutan,menyebarkan rasa permusuhan,kebencian atau

menghina pemerintahan yang sah, dengan mengedarkan selbaran,pamphlet pemilu dipercepat

4

Jakarta Bulan juni, Pengkapan aktifis buruh Ngadinah setelah

memimpin aksi buruh menuntut kenaikan upah. Melakukan penghasutan,menyebarkan rasa permusuhan,kebencian

atau menghina pemerintahan yang sah, dengan mengedarkan selbaran,pamphlet pemilu dipercepat

5

Penangkapan Kautsar bin Mujammad Yus ketua FPDRA (20/7/01)

Melakukan penghasutan,menyebarkan rasa permusuhan,kebencian atau menghina pemerintahan yang sah, dengan

mengedarkan selbaran,pamphlet memilu dipercepat

6

Pembubaran demonstrasi anti serangan Amerika ke Afganistan di gedung DPR/MPR, dengan menyatakan Riziq

Syihab ketua FPI sebagai tersangka.

Melanggar UU No.09 tahun 1999

7

Pemburan aksi buruh Matahari dibawah bendera FNPBI dan penagkapan 8 orang aktvis FNPBI termasuk Ketau

Umumnya Dita Inda Sari (8/11/01).

Melanggar UU No.09 tahun 1999

8

Pembunuhan terhadap Teys Eluay ketua Presidium Dewan Papua (11/11/01) Aktifitasnya Ingin Memerdekakan

Papua

9

Pembubaran aksi menuntut pengsutan tuntas kasus pembunuhan Teys Eluay dan referendum untuk Papua

Melanggar UU No.09 tahun 1999

Apa yang dihasilkan Pemerintahan Megawati hanyalah membuat UU Pertahanan Negara (UUPN) dan UU kepolisian untuk mengatur peran dan fungsi TNI/POLRI menjadi kekuatan yang profesional, sebagai penjabaran kongkrit dari TAP MPR No. VII tahun 2000. Ada catatan kritis secara umum dan khusus kepada dua UU tersebut, yang nantinya akan mengahntarkan kita pada pertanyaan;

Apakah dua UU tersebut sebagai solusi dari Militerisme ?.

Catatan umum : Dua UU tersebut menjadi hal yang ironis dan kontradiktif dengan cita yang diembannya memprofesionalkan TNI dan POLRI karena militer masih di biarkan bermain diwilayah politik dan ekonomi, dalam pengalaman sejarah telah mendistorsi profesionalitas militer sendiri dari kekuatan pelindung Rakyat menjadi pembantai Rakyat.

Wilayah politik yang dimaksud adalah, Dwi Funsi TNI belum dicabut secara total dengan Masih bercokolnya 38 kursi tentara dan Polisi di Parlemen, Masih dibiarkan struktur territorial organisasi TNI yang merupkan pelaksanaan doktrin Sitem Pertahanan Rakyat Semesta dengan tidak menganggap ancaman dating dari luar tapi justru datang dari dalam atau rakyatnya sendiri. Sementara yang dimaksud dengan wilayah Ekonomi adalah masih dibiarkannya tentara mengurusi bisnis dengan menguasai 270 unit ekonomi dalam bentuk yayasan yang pengololaanya diluar control Rakyat. 70 % anggaran militer berasal dari hasil unit ekonomi tersebut, institusi tentara merasa membiayai dirinya sendiri, maka selalu menolak dibawa supermasi sipil.

Catatan Khusus UUPN; yang menjadi catatan dalam UU pertahanan Negara (UUPN) adalah Di internal Militer khususnya di jajaran pimpinan TNI AD, terjadi perdebatan tentang defenisi ancaman (treat) yang nantinya akan menentukan wilayah kewenagan TNI. Kecenderungan pertama ingin mengadopsi model Amerika yang ingin memishkan dengan tegas ancaman dari luar (external treat) dan gangguan kemanan dari dalam (internal insurgenci).

Konsep ini menegaskan pihak TNI bertanggung jawab mempertahankan eksistensi Negara dari anacaman luar (external defens) sedangkan POLRI bertanggung jawab atas gangguan keamanan dari dalam (internal affairs).

Sementara kecendrungan kedua tidak sepakat dengan keinginan mengadopsi sepenuhnya konsep Amerika, dengan alasan tidak cocok dengan kondisi Indonesia karena alas an ancaman dis integrasi. Lahirlah jalan tengah sebagai kompromi dua kecendrungan keinginan tersebut dengan konsepsi TNI melindungi Negara dari ancaman bersenjata (Pasal 21), itu berarti bisa dari dalam dan dari luar, yang berarti tidak berubaa dengan konsepsi militer dimasa Orde Baru sebagai perwujudan doktrin Sistem Pertahanan Rakyat Semesta.. Dis integrasi yang akar histories masalahnya disebabkan karena ketidak adilan ekonomi dan politik, oleh Orde Baru gugatan terhadap ketidak adilan tersebut justru dibalas dengan represif (Aceh dan Papua) menjadi jastifikasi militer menolak professionalitas fungsinya.

Catatan Khusus UU POLRI ; Pertama, dalam penjelasan RUU halaman 1, Kepolisian adalah "Sebagai salah satu penyelenggara fungsi pemerintahan negara bahwa "kepolisian tidak dapat ditempatkan pada salah satu departemen atau tidak dapat juga ditempatkan pada salah satu lembaga eksekutif. Sementara penjelasan pada halaman 2, "bahwa kepolisian negara RI sebagai lembaga yang bertugas dan bertanggungjawab atas pelaksanaan fungsi kepolisian . Konsepsi tentang Fungsi dan kelembagaan kepolisian dalam UU POLRI tersebut tidak jelas dan sangat bertentangan dengan konsepsi fungsi Polisi dalam masyarakat demokratis yaitu sebagai alat eksekutif dalam penyelenggaraan keamnan negara yang seharusnya diatur dalam konstitusi (UUD) negra. Kedua, tidak adanya sebuah lembaga pengontrol secra external (external control) dari rakyat selain control internal yang diatur dalam UU POLRI tersebut akan menjadikan Polisi sebagai alat bersenjata yang mempunyai kewenangan untuk mengkap danmenahan bertindak sewenag-wenaang, hal itu akan semakin diperburuk dengan kenytaan Polisi sekarang yang masih mempraktekan praktek-praktekmiliteristik.

Dengan melihat catatan kritis diatas maka, kedua UU tersebut bukanlah jawaban dari solusi Militerisme, bahkan akan jadi momentum restorasi Militerisme.

Catatan Ekonomi Akhir Tahun 2001 KPP PRD

Tahun 2001: Utang Luar Negeri Membawa Kemelaratan

Catatan Pertama

"Capitalism in Crisis"

Pada awal abad XXI ini, "Kapitalisme" dengan segala hukum kontradiksi internalnya diambang kehancuran. Krisis kapitalisme yang ditandai oleh excess supply -melimpahnya barang produksi yang tidak disertai dengan daya beli masyarakat-semakin menyebar luas ke berbagai belahan penjuru dunia. Krisis ekonomi yang manghantam Asia -kasus Thailand, Korea, Malaysia, Philiphinna dan Indonesia- berdampak pada perekonomian Uni Soviet. Bersamaan dengan terjadinya krisis di Asia, Amerika Latin -Mexico, Argentina dan Brasil-juga mengalami krisis serupa. Kebijakan Neo-liberalisme yang ditawarkan oleh IMF dan WB untuk mengatasi krisis ekonomi di negara-negara tersebut, ternyata hingga saat ini belum menunjukan perubahan yang cukup berarti. Ketergantungan negara-negara tersebut -khususnya kasus Indonesia dan Amerika latin-terhadap uluran tangan IMF dan WB, berakibat pada semakin besar hutang luar negeri, yang berarti semakin dalam kesengsaraan rakyat. Cicilan pokok Hutang Luar Negeri dan bunganya harus dibayar oleh Negara-negara tersebut melalui anggaran belanja. Dalam kasus Indonesia, sekitar 40 % dari anggaran Negara dipakai untuk membayar cicilan pokok hutang dan bunga. Pemotongan subsidi pemerintah dalam bidang yang tidak produktif -Anggaran Pendidikan dan Kesehatan, Listrik, Minyak dan Gas- berakibat pada naiknya harga barang-barang produksi. Di sisi lain -untuk menambah pemasukan Negara-pemerintah menerapkan berbagai kenaikan pajak. Untuk menekan laju inflasi, pemerintah menekan upah buruh sedemikian rupa. Melimpah ruahnya barang-barang produksi di dalam masyarakat, yang tidak disertai dengan naiknya daya beli masyarakat -ingat pemerintah menekan kenaikan upah buruh, sehingga secara riel upah masyarakat menurun- inilah yang disebut dengan excess supply.

Tingkat pertumbuhan ekonomi Amerika dan Jepang -yang selama ini dikenal sebagai induk imperialis- mengalami pertumbuhan ekonomi yang stagnan, bahkan bisa dikatakan negative. Menurut perkiraan yang dikeluarkan pada bulan Agustus 2001, GDP Amerika Serikat dalam paruh pertama tahun ini sebesar 0 % atau bahkan negative, turun sekitar 0,7 % dari rata-rata sebelumnya. Turunya order pesanan barang-barang elektronik sebesar 32 % sampai bulan Juni, merupakan salah satu signal belum pulihnya perekonomian Amerika Serikat. Tingkat pengangguran diperkirakan naik sebesar 0,6 % sejak akhir Oktober, dari 3,9 % pada tahun kemarin menjadi 5,2 % pada tahun 2002 mendatang. Defisit neraca transaksi berjalan Amerika Serikat mendekati 3 % dari Produk Domestik Produk (PDB)-nya.

Perekonomian Amerika Serikat bisa bertahan dari krisis kapitalisme, hanya dikarenakan tingkat konsumsi dalam negeri. Akibatnya -sebagai dampak "efek kemakmuran" yang terjadi pada akhir tahun 1991 dan awal tahun 1998-konsumen Amerika Serikat mengalami saldo negative. Dengan kata lain, rata-rata keluarga Amerika Serikat lebih banyak membelanjakan uangnya daripada penghasilan mereka. Pasca serangan teroris ke gedung WTC, pada bulan Oktober tingkat pengangguran Amerika Serikat mencapai 5,4 % --angka pengangguran tertinggi selama lima tahun belakangan ini. Sejak Perang Dunia II, saat ini Jepang mengalami resesi terparah. Tingkat pengangguran di Jepang mencapai 4, 1 % --sebuah angka yang jarang terdengar dari Negara yang selama ini terkenal dengan kemampuannya menyediakan lapangan kerja seumur hidup. Dunia perbangkan Jepang mengalami kredit macet sebesar US$ 1 trilliun.Pada tanggal 7 September, Goldman Sach memperkirakan tingkat GDP Jepang mengalami penurunan sebesar 6 % dari rata-rata tahunan pada paruh kedua tahun ini.

Ketergantungan pendapatan Negara-negara di kawasan Asia pada pasar Amerika -terutama ekspor peralatan Informasi Tehnologi-- berdampak pada menurunya GDP masing-masing Negara. GDP Singapura mengalami penurunan rata-rata sebesar 11 % dalam pertengahan awal tahun ini. Sementara Taiwan mengalami penurunan rata-rata sebesar 6 % pada pertengahan awal tahun ini. Sementara total ekspor-nya mengalami penurunan sebesar 28 % hingga bulan Juli. Pertumbuhan ekonomi Korea, Thailand dan Malaysia juga mengalami penurunan yang mengarah pada resesi.

Kawasan Amerika Latin tidak luput dari badai krisis kapitalisme global tersebut -Mexico, Brazil dan Argentina. Hiperinflasi dan instabilitas financial yang selalu melanda Argentina serta beratnya beban hutang luar negeri -tercatat pada tahun 1982-1984 sebesar US$ 60-75 milyar -- hingga awal tahun 1990-an, coba diatasi oleh Presiden Carlos Menem melalui kebijakan fixed exchange rate -mematok harga US$ 1 setara dengan 1 peso Argentina-yang mulai diberlakukan dibawah menteri ekonomi Domingo Cavallo pada tahun 1991. Untuk sementara waktu -dari tahun 1991-1998-currency system board dengan memberlakukan fixed exchange rate tersebut mampu menekan laju inflasi dan menopang stabilitas moneter Argentina, hingga Negara tersebut mampu menikmati pertumbuhan ekonomi sebesar 5,7 % rata-rata pertahunnya dari tahun 1991-1998. Income rata-rata penduduk mencapai US$ 8.000, sebuah income yang cukup tinggi -bandingkan dengan income Indonesia sebelum terjadi krisis sebesar US$ 1.000,. Pada tahun1995 ketika terjadi krisis moneter di Amerika Latin -terkenal dengan tequila crisis yaitu krisis yang diakibatkan oleh jatuhnya mata uang peso Mexico-- Argentina masih mampu bertahan dari efek krisis tersebut.

Kurang dari satu dasawarsa sejak diberlakukannya fixed exchange system, Argentina kembali mengalami hantaman krisis -baik akibat dari krisis kapitalisme global-- yang memaksa Negara tersebut mengalami default Hutang luar negeri. Pada tahun 1998, ketika mata uang US$ mengalami penguatan serta terjadinya devaluasi mata uang yang dilakukan oleh Brazil dan Argentina, perekonomian Argentina-pun mengalami goncangan berat dikarenakan tidak kompetitifnya harga-harga produk barang Argentina di pasaran dunia. Berbagai upaya telah dilakukan oleh Presiden Fernando de la Rua untuk menyelamatkan Negara tersebut dari krisis hutang, dari tingkatan tehnis -berupa pergantian menteri ekonomi-- hingga politis yaitu mengikuti kebijakan dan saran dari IMF. Structural Adjustment Program (program penyesuaian structural) mulai dijalankan oleh Presiden de la Rua. Pemerintah mulai memberlakukan kebijakan menaikan tariff pajakserta melakukan pemotongan anggaran subsidi kepada masyarakat hingga mencapai US$ 900 juta. Pada bulan Desember tahun lalu mulai mucul rumor bahwa Argentina akan mengalami default hingga memaksa Menteri Ekonomi Machinea -menteri ekonomi Argentina yang diberhentikan oleh Presiden de la Rua dan digantikan oleh Lopez Murphy-melakukan negosiasi untuk mendapatkan kredit baru dari IMF sebesar US$ 39,7 milliar. Sementara beban hutang luar negeri yang harus dibayar oleh rakyat Argentina hingga detik-detik akhir jatuhnya Presiden Fernando de la Rua sebesar US$ 132 milliar.

Excess supply, suatu kondisi dimana barang-barang melimpah ruah namun tidak diikuti oleh naiknya daya beli masyarakat, adalah hukum kontradiksi internal yang terjadi dalam tubuh kapitalisme, suatu hukum sejarah yang tidak bisa disangkal lagi. Kasus Argentina dan kasus Indonesia adalah contoh sejarah yang berharga bagi semua pemerintahan yang mencoba keluar dari krisis dengan meminta bantuan IMF dan WB. Kejatuhan Presiden de la Rua hanyalah persoalan waktu, hanya persoalan sampai seberapa jauh rakyat mampu bertahan akibat krisis dan seberapa jauh pemerintahan tersebut didukung oleh kapiatlis internasional --ingat kasus jatuhnya Soeharto di tahun 1998 yang dipicu oleh krisis moneter yang melanda Indonesia sejak tahun 1997.

Amerika sebagai salah satu Negara induk imperialis, dengan berbagai cara mencoba melakukan kebijakan yang dianggap dapat menuntun Negara tersebut keluar dari krisis (yang bahkan saat ini dikategorikan resesi). Krisis kapitalisme saat ini adalah krisis yang akan selalu terjadi dan akan selalu terulang dalam waktu tertentu. Krisis kapitalisme pada tahun 1930-an dan 1945-an diselesaikan dengan jalan menciptakan PD II untuk memacu pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat, dan menghancurkan kekuatan-kekuatan produktif negara-negara kapitalis saingannya (Eropa Barat). Semenjak jatuhnya pemerintahan Sosialis Uni Soviet dan beberapa Negara Sosialis Eropa Timur, Amerika mulai kehilangan "public enemy".

Perang Israel vs Palestina di kawasan Timur Tengah, serangan Amerika ke Irak pada tahun 1990-an serta serangan Amerika ke Afghanistan, haruslah kita lihat sebagai salah satu upaya yang dijalankan oleh Amerika untuk keluar dari krisis. Dengan legitimasi melawan teroris, Amerika mampu melakukan konsolidasi diantara borjuis internasional serta menekan negara-negara berkembang untuk patuh dan taat pada arahan Washington.

Dengan menyatakan perang terhadap terorisme, dimulai dengan serangan ke Afghanistan, Amerika mampu membangkitkan industri militernya (salah satunya proyek Joint Strike Aircraft yang menghabiskan dana US$ 200 milyar) hingga menciptakan lapangan kerja pada masyarakat untuk menggairahkan kembali perekonomiannya.

Catatan Kedua

Pemerintahan Megawati dan Utang Luar Negeri

Resesi ekonomi Amerika yang merembet ke berbagai negara maju dan dunia ketiga, paling tidak telah menghancurkan impian ekonomi Megawati. Yang ia impikan ketika menunjuk tim ekonomi sisa Orde Baru (para mafia Berkeley) dan mendorong penandatanganan LoI dengan IMF pada bulan Agustus adalah pertumbuhan ekonomi 5% dan menyepakati desakan IMF untuk mengurangi defisit APBN sampai 2,5% dari GDP. Sementara itu, untuk membiayai APBN tersebut dana akan dtargetkan diperoleh dari penjualan aset BPPN dan privatisasi sebesar US$ 650 juta, dan pinjam lebih banyak lagi. Entah karena tidak bisa membaca situasi perekonomian dunia (mau saja ditipu oleh IMF) atau memang mau cari selamat dengan mengorbankan kepentingan rakyat, LoI yang ditanda tangani menyangkut kenaikan harga BBM sampai 30%, kenaikan Tarif Dasar Listrik hingga 17%, memberikan kompensasi kenaikan BBM untuk keluarga miskin (perkotaan) dengan skema subsidi beras (yang artinya semakin menghancurkan kaum tani), serta penahanan kenaikan upah. Padahal, pemerintah sangat bergantung pada penjualan minyak mentah yang diharapkan dengan harga US$ 22 per barel (yang dalam kenyataannya kini hanya US$ 17-18 per barel) dan dari ekspor non migas senilai US$ 50 milyar atau sepertiga dari GDP Indonesia, yang sebagian besar ditujukan ke AS, Jepang, dan Singapura, tiga negara yang sedang dilanda resesi ekonomi[1].

Kesalahan seperti inilah yang kemudian akan menjebak Indonesia ke dalam jerat utang luar negeri yang lebih dalam. Sampai saat ini saja, utang luar negeri Indonesia mencapai 110% dari GDP. Jerat ini semakin terlihat dari komitmen pinjaman yang diberikan CGI sebesar US$ 3 milyar, di mana sepertiganya dikaitkan dengan program-program reformasi tertentu, terutama dalam hal privatisasi. Padahal proporsi terbesar dari utang tersebut adalah yang dibuat oleh para pengusaha, yang kini asetnya dinaungi BPPN alias ditanggung pemerintah (yang biaya penanggungan, pembayaran cicilan utang dan bunganya, tersebut memotong subsidi kebutuhan rakyat). Pemerintahan Megawati, seperti halnya pemerintahan sebelumnya, lebih memilih dibangkrutkan dengan mensubsidi para pengusaha dibandingkan meneteskan sedikit kesejahteraan untuk buruh, tani, dan kaum miskin kota.

Tanggal 10 September 2001 yang lalu IMF telah menyetujui pencairan pinjaman 395 juta dollar AS ke Indonesia. Pengucuran utang tahap II ini merupakan bagian dari paket utang sebesar 4,73 milyar $ AS. Komitmen pemerintah Indonesia untuk menjalankan semua resep-resep reformasi neo-liberal yang disarankan oleh IMF telah mendorong IMF menyetujui pencairan utang. IMF juga masih menunggu agar pemerintah meyepakati melepaskan saham (divestasi) di BCA sebesar 51 %. Tentu saja ini dimaksudkan, agar BCA dapat secara total dikuasi oleh investor asing ketika saham mereka menjadi mayoritas (diatas 50%).

Sementara itu ADB juga telah menyatakan kesiapannya untuk memberikan pinjaman ke Indonesia sebesa 600 juta US dollar hingga 1,2 milyar US dollar tiap tahunnya, dengan syarat liberalisasi aturan investasi di dalam negeri, sehingga ada kemudahan pengurusan ijin usaha asing, kemudahan pajak, devisa bebas, PMA boleh menggunakan dana dari bank lokal atau lembaga dana internasional serta perbaikan infrastruktur yang dibutuhkan investor: air, listrik, transportasi dan infrastruktur

lainnya.

Pemerintah Megawati juga menyatakan komitmen tegasnya untuk menjual Indonesia baik untuk mendapatkan utang luar negeri maupun dipergunakan untuk membayar utang yang saat ini telah mencapai angka 146 milyar dollar AS. Dari total utang sebesar ini, dalam tahun 2002 nanti pemerintah harus mengalokasikan pembayaran utang pemerintah beserta bunganya yang mencapai angka 128,5 trilyun (terdiri dari pembayaran pokok atas pinjaman jatuh tempo tahun 2002 sebesar 41,5 trilyun dan bunga utang sebesar 87 trilyun). Artinya lebih dari 40% total rencana pendapatan negara di tahun 2002 akan dipergunakan untuk membayar utang luar negeri. Pemerintah harus membayar sebesar 41,5 trilyun.

Dari APBN 2002 yang telah disahkan DPR pada tanggal 24 Oktober yang lalu, pemerintah mentargetkan pendapatan Negara sebesar Rp. 301,87 trilyun.

Pendapatan negara didapatkan dari penerimaan hasil pajak yaitu sebesar Rp. 219,63 trilyun dan non pajak Rp. 82,24 trilyun. Pemerintah juga akan melakukan swastanisasi terhadap sembilan BUMN[2], meningkatkan pendapatan negara dari pajak (pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai).

Catatan Ketiga

Utang Luar Negeri: Pintu Masuk Kebijakan Neoliberal Penyengsara Rakyat

Secara umum, kesejahteraan rakyat akan menurun. Biarpun pemerintah kini berkoar-koar soal penghematan, tapi kenyataan bahwa sebagian besar anggaran negara dipakai untuk bayar utang luar negeri yang dibuat oleh kapitalis Orde Baru tidak dapat ditutupi. Pemotongan subsidi bukan karena diperlukan penghematan, tapi membagi beban utang kepada rakyat yang tidak ikut menikmati utang tersebut. Dengan kenaikan BBM dan Listrik, tidak dapat dipungkiri akan mendorong inflasi yang sudah diperkirakan IMF dalam LoI sebesar rata-rata 10-11 persen. Daya beli rakyat semakin berkurang, dan justru dengan sistem kapitalisme, ekonomi Indonesia akan semakin terseret dalam spiral resesi akibat kombinasi berkurangnya daya beli, kehancuran industri menengah (para pengekspor sepatu dan tekstil) yang mendorong PHK, dan hilangnya basis industri terutama di sektor pertanian.

Sementara itu bila target pertumbuhan ekonomi sebesar 5% tercapaipun tidak akan mampu menampung lapangan kerja bagi pencari kerja baru yang setiap tahunnya mencapai angka 2,7 juta orang. Belum lagi mengatasi angka penganguran yang ada saat ini yang diperkirakan lebih dari 40 juta (bahkan kini banyak data yang menyebutkan jumlah pengangguran mencapai angka lebih dari 60 juta orang).

Untuk meningkatkan investasi seperti yang ditargetkan oleh pemerintah maka kebijakan upah murah tetap dipertahankan. Kenaikan upah yang terjadi selama ini tidak ada artinya dibandingkan dengan kenaikan harga barang-barang kebutuhan hidup. Menurut data BPS, upah nominal buruh memang naik tajam dalam lima tahun terakhir yaitu dari Rp. 178.286 pada tahun 1996 menjadi Rp 462.429 pada triwulan I/2001. Tetapi bila dibandingkan dengan kenaikan harga barang-barang dan jasa, maka upah riil buruh saat ini mengalami penurunan sebesar 25%, sehingga tidak memenuhi kebutuhan hidup minimum kaum buruh[3]. Selain itu penggunaan buruh dengan status buruh kontrak akan semakin meningkat, yang setiap saat dapat diberhentikan tanpa perlu mengeluarkan uang pesangon sepeser pun. Akibat serangan kebijakan neo-liberal yang dijalankan oleh Megawati, PHK terhadap buruh akan terus berlanjut[4]. Semua ini telah mengakibatkan menurunkan tingkat daya beli rakyat pekerja, meningkatnya anak-anak mereka yang putus sekolah dan mengikuti jejak bapaknya menjadi buruh anak, meningkatnya jumlah buruh akibat terphk yang menjadi buruh informal. Pemerintah dalam APBN 2002 juga telah menetapkan untuk tidak menaikkan gaji PNS di tahun 2002.

Kebijakan neoliberalisme yang dihasilkan pemerintahan Megawati juga menyerang kaum tani. Megawati tetap melanjutkan kebijakan neo-liberal yang telah dijalankan pada pemerintahan Suharto. Misalnya kebijakan untuk pembukaan pasar bebas bagi produk-produk hasil pertanian yang telah disepakati Suharto dengan IMF pada pertengahan Januari 1998 yang berisi bahwa mulai 1 Februari 1998, komoditas-komoditas pertanian seperti gula, kedelai tepung terigu (kecuali beras) yang selama ini dikelola Bulog diserahkan kepada pasar bebas. Sebelum adanya kesepakatan dengan IMF, memang ada kebijakan pemerintah yang menguntungkan kaum tani. Misalnya Pemerintah memberi subsidi pupuk dan benih serta kredit murah, hingga ongkos produksi lebih rendah. Begitu pula dengan pengamanan harga gabah, pemerintah Orde Baru sangat ketat. Begitu ada laporan harga gabah anjlok di suatu daerah, maka aparat langsung melakukan pembelian. Tetapi sejak adanya kesepakatan dengan IMF, subsidi dan kredit murah itu harus diakhiri (sebagai bagian dari reformasi neo-liberal). Perkembangan kemudian impor beraspun tidak dapat lagi dimonopoli oleh Bulog. Tidak ada lagi perlindungan terhadap kaum tani.

Sejak saat itu impor bahan-bahan produk pertanian mulai masuk ke Indonesia dan semakin besar jumlahnya. Misalnya saja nilai impor enam komoditas gandum, jagung, beras, biji kedelai, bungkil kedelai dan kacang tanah saat ini telah mencapai angka 11,8 trilyun rupiah. Produksi kedelai terus turun sekitar 0,8% pertahun. Sementara kebutuhan terus meningkat 2,41% pertahun. Impor gula mencapai 1,5 juta ton pertahun. Padahal dulu, pada masa kolonial, Indonesia menjadi pengimpor gula no. 2 di dunia[5].

Bahkan kondisi saat ini menjadi lebih buruk lagi karena adanya tekanan dari imperialisme untuk menghapuskan pajak impor, sebagai bagian dari perdagangan bebas dunia. Di tengah dominasi produk hasil-hasil pertanian oleh negeri-negeri imperialis[6], maka kebijakan untuk membuka pasar produk hasil-hasil pertanian jelas akan menyengsarakan kaum tani.

Produksi hasil pertanian dari kaum tani Indonesia tidak akan mampu bersaing dengan produksi hasil pertanian dari negeri imperialis ini, yang akhirnya menyebabkan harganya produksi mereka menjadi rendah.

Semua penderitaan kaum tani tidak mendapat perhatian dari pemerintahan Megawati saat ini Lihat saja dari anggaran RAPBN untuk sektor pertanian (termasuk perkebunan, kehutanan dan perikanan) yang hanya berjumlah 4,6 % dari total anggaran (3,2 trilyun rupiah). Bandingkan misalnya dengan anggaran keamanan dan pertahanan yang mencapai nilai 7,2 % dari total APBN. Padahal hingga kini di pedesaanlah jumlah tenaga kerja yang paling besar yaitu mencapai 43% lebih dari total seluruh tenaga kerja[7].

Pemerintah tidak peduli pada problem-problem yang dihadapi kaum tani saat ini. Tidak ada modal, tidak ada teknologi, harga produksi pertanian yang rendah, harga pupuk yang mahal, ditambah lagi masuknya impor bahan-bahan hasil pertanian dari negeri-negeri maju Persoalan kaum tani masih harus ditambah dengan adanya gangguan hama dan penyakit. Semua ini telah menyebabkan tingkat produktivitas pertanian menjadi rendah. Saat ini banyak tanah-tanah kering dibiarkan, tidak ditanami. Wajar kemudian bila para petani akhirnya lebih memilih untuk bekerja di kota, atau menjual tanahnya. Yang masih bertahanpun harus menghadapi kendala dari merosotnya harga produksi mereka. Kesengsaraan dan kemiskinan kaum tani (pedesaan) dapat dilihat dari angka pengangguran di pedesaan saat ini yang mencapai angka 6 juta dengan 27 juta jiwa penduduk desa saat ini yang mengalami kekurangan gizi akibat kemiskinan.

Oleh karena itu wajar kemudian jika kaum tani tidak memiliki gairah untuk meningkatkan hasil pertanian atau memperluas area lahan mereka. Justru sebaliknya, produksi pertanian (diluar perkebunan) dan areal-areal sawah semakin hari semakin berkurang. Seperti terlihat dalam tabel berikut ini :

Sumber : berita Resmi Statistik No. 19/IV/2 Juli 2001.

Industrialisasi yang digalakkan oleh pemerintah Orde Baru (yang dijadikan andalan ekspor non migas) tidak dibarengi dengan kemajuan di sektor pertanian. Penghancuran produksi pertanian dan penyusutan lahan-lahan persawahan justru disebabkan oleh pemerintah sendiri. Banyak lahan-lahan pertanian telah beralih fungsinya. Misalnya saja BPS mencatat bahwa selama periode 1983 -1993 sekitar satu juta ha areal persawahan di Jawa hilang berubah fungsi menjadi lahan non pertanian[8]. Atau rata-rata setiap tahunnya ada sekitar 100.000 ha lahan pertanian yang berubah fungsi. Penyusutan areal-areal pertanian terus terjadi hingga saat ini.

Yang kacaunya justru pada saat panen raya, ketika pasokan beras dari dalam negeri melimpah, pemerintahan Megawati justru mengimpor beras yang mengakibatkan harga beras petani anjlok. Hal tersebut dilakukan untuk menjamin harga beras di perkotaan, sehingga gejolak sosial akibat kemiskinan perkotaan (yang lebih disebabkan karena kebijakan potong subsidi BBM dan TDL) dapat diredam. Pemerintah jelas sangat bertanggung jawab atas hubungan yang eksploitatif dari kota terhadap desa.

Sementara itu, di kalangan semi proletariat perkotaan atau yang sering disebut sebagai rakyat miskin perkotaan juga mengalami tindakan kekerasan yang nyata. Hak ekonomi rakyat miskin semakin ditiadakan. Penggusuran telah menjadi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah lokal, yang merupakan turunan dari kebijakan di tingkat nasional. Baru-baru ini misalnya pemerintah DKI melalui Perda No.11 telah melakukan sejumlahoperasi penertiban terhadap rakyat miskin perkotaan (pengemis, pengamen, anak jalanan, pedangan asongan, WTS, penderita cacat, gubuk liar dan becak) yang bagi pemda DKI disebut sebagai sebagai PMKS (Penyandang Masalah kesejahteraan Sosial)[9]. Dari data yang ada misalnya tercatat sampai 7 September 2001 terdapat 603 bangunan liar semi permanen, gubuk-gubuk rakyat miskin di Jakarta telah "ditertibkan" alias dihancurkan[10]. Semua ini dilakukan dalam program yang bernama indah, City Without Slump.

Harus diperhatikan, bahwa yang menjadi korban dari program tersebut adalah rakyat yang sebelumnya menjadi korban PHK, yang menganggur karena tidak ada lapangan pekerjaan, yang terhempas ke kota karena hancurnya pertanian di desanya, ataupun korban dari dampak-dampak kebijakan neoliberalisme lainnya.

Catatan Keempat

Jalan Keluar dari Krisis

Pertama, telah terlihat jelas bahwa persoalan seputar utang luar negerilah yang menjadi pangkal persoalan pemelaratan rakyat Indonesia.

Tak ada jalan lain kecuali menuntut penghapusan utang luar negeri dan semua syarat-syarat yang mengikuti utang-utang tersebut. IMF dan para pendukungnya di Indonesia menutupi kenyataan atas adanya "udang di balik utang", yaitu perluasan pasar dari negara-negara kapitalis maju. Modal mereka yang sulit berputar di negeri-negeri industri maju membutuhkan jalan keluar, terutama ke negeri-negeri yang belum jenuh modal (baca: negara dunia ketiga). Dengan memberikan utang kepada pemerintahan negeri-negeri tersebut, mereka berupaya untuk menggerogoti benteng-benteng pertahanan (Negara) modal dalam negeri tersebut. Kita sudah lihat sendiri bagaimana Orde Baru ditundukkan oleh IMF dan Bank Dunia. Para pemodal dalam negeri dan para pejabat pemerintahan (dari partai politik kapitalis manapun) kemudian lebih mencari selamat sendiri, dengan mengorbankan buruh, tani, dan kaum miskin kota. Semua kebijakan austerity (seperti menghapuskan subsidi, menaikkan harga konsumsi, dsb) didasarkan bahwa APBN akan banyak digunakan untuk mebayar utang (pada APBN 2002 sebesar Rp 88,75 trilyun untuk bunganya saja, sedangkan cicilan pokok sebesar hampir Rp 45 trilyun). Kebijakan moneter yang dilakukannya juga justru hanya diarahkan kepada penjualan aset dalam negeri kepada investor asing (baca: kapitalisme interansional). Lihat saja kebijakan Bank Indonesia dengan suku bunga tingginya (di atas 15%) justru memastikan macetnya usaha dalam negeri dan memperlancar PMA[11], apapun pembenaran melalui argumen kebijakan moneter ketat karena tingginya inflasi.

Untuk membiayai pembangunan, sebagai pengganti utang luar negeri, maka diperlukan perencanaan ekonomi yang tersentral secara demokratik sehingga kontrol terhadap arah investasi dapat dimungkinkan, dan efisiensi modal dapat dimungkinkan. Perencanaan ekonomi tersentral ini juga membutuhkan sentralisasi perbankan melalui Bank Indonesia yang sudah dibersihkan dari unsur-unsur Orde Baru dan para koruptor.

Kedua, kehancuran lebih lanjut dari sektor pertanian akan menyebabkan ketergantungan yang besar akan impor bahan-bahan pangan, dan hal ini hanya akan nilai impor. Liberalisasi pertanian yang diinginkan IMF harus ditolak, dan Indonesia harus mendorong industrialisasi pertanian dengan mengarahkan arus modal dan teknologi ke sektor pertanian, peternakan, dan perikanan laut. Kaum tani dan nelayan harus diorganisasikan dalam sebuah organisasi produksi industrialis, sehingga produk mereka dapat memenuhi kebutuhan pangan Indonesia. Dalam hal ini terdapat dua syarat. Pertama, proteksi terhadap semua produk pangan dalam negeri. Kedua, pembersihan jalur distribusi pangan dari para spekulan dan tengkulak.

Ketiga, untuk memperlancar gerak dari berbagai sektor ekonomi maka infrastruktur ekonomi seperti BBM, Listrik, Air Minum, dan lain-lain harus dapat dibuat semurah mungkin. Kebijakan austerity neoliberal hanya akan memperlemah daya beli masyarakat dan berdampak besar pada industri kebutuhan pokok rakyat. Selain dibuat murah, juga harus didorong investasi untuk perluasan jangkauan dari infrastruktur ekonomi tersebut sampai pedesaan di seluruh pelosok Indonesia.

Keempat, ketangguhan sistem ekonomi tersebut juga harus ditopang dengan jaminan dan layanan kesehatan untuk tenaga kerja Indonesia. Hal ini harus dibangun agar terpeliharanya tenaga produktif manusia Indonesia. Tak akan berguna sedikitpun sebuah sistem ekonomi jika para buruhnya mudah sakit-sakitan, bahkan dapat menurunkan tingkat produktivitas kerja.

Kelima, salah satu penghambat perkembangan industri di Indonesia adalah lemahnya perhatian dan dana yang disediakan pemerintah dalam persoalan pendidikan. Parahnya, tenaga kerja yang dihasilkan oleh sistem pendidikan warisan Orde Baru tidak dapat langsung diserap dunia industri karena kurikulumnya dapat dikatakan basi, tidak bermanfaat, dan sama sekali tidak ada perencanaan yang tepat (lebih cenderung mengikuti trend dan membiarkan sekolah-sekolah swasta membuka program-program pendidikan yang dianggap "laku"). Pendidikan (sampai perguruan tinggi) harus disediakan secara gratis untuk menjamin kesamaan kesempatan dalam memperoleh pendidikan, seluruh rakyat berhak mendapatkan pendidikan. Kaitannya dengan ekonomi adalah bagaimana menciptakan jutaan tenaga-tenaga kerja terampil, baik baru ataupun dengan melatih yang sudah bekerja, yang kemudian dapat mengisi kerja-kerja pembangunan industri, sektor pertanian, maupun perikanan laut.

Catatan Perjuangan Sektor-Sektor Rakyat Akhir Tahun 2001 KPP PRD

Tahun 2001: Awal Kebangkitan Kaum Buruh

Otonomi daerah merugikan kaum buruh

UU otonomi daerah (UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999) mulai diberlakukan secara penuh mulai 1 Janiari 2001. UU ini telah merugikan kaum buruh baik secara ekonomi dan politik. Kerugian itu adalah sebab berikut :

Pertama, istilah UMR diganti menjadi UMP (upah minimum Propinsi), dimana penentuannya tidak lagi oleh Menakertrans tapi oleh gubernur. Akibatnya upah di propinsi satu dengan yang lainnya bereda-beda sampai tingkat kabupaten dan kotamadya. Sehingga ada istilah UMK (upah minimum kotamadya/kabupaten). Salah satu dasar penentuan UMK adalah PAD (pendapatan asli daerah) dan bukan atas dasar kebutuhan hidup layak.

Dengan otonomi daerah ini membuka peluang bagi pemerintah kota, kabupaten maupun propinsi untuk melakukan manipulasi upah. Padahal kebutuhan hidup manusia pada dasarnya sama tingginya. Kedua, perjuangan kaum buruh menjadi terjebak pada sebatas daerahnya saja. Sehingga solidaritas antara kaum buruh di daerah satau dengan yang lainnya sulit terbangun. Kondisi ini pada akhirnya memperlemah posisi kaum buruh didaerah-daerah yang langsung berhapadapan dengan pemerintah dan kapitalis di daerah tersebut.

Ketiga, kebijakan otonomi daerah juga merupakan kebijakan neoliberalisme dimana para kapitalis tidak lagi berurusan dengan pemerintah pusat untuk menanamkan modalnya di daerah. Dalam hal ini para pengusaha dapat dengan mudah menekan besarnya upah disuatu daerah demi keuntungan yang besar.

Perburuhan tahun 2001, Pasca UU No. 21 tahun 2000

Dapat dikatakan tahun 2001 adalah tahun kebangkitan serikat buruh karena pada tahun ini bermunculan serikat buruh sampai rartusan. Baik yang berskala nasional maupun lokal. Hal ini terjadi terutama sejak UU No. 21 tahun 2000 tentang serikat pekerja/serikat buruh disahkan. Tercatat ada 43 serikat buruh tingkat nasional yang tercatat di Depnaker yang jumlahnya terus bertambah sampai akhir tahun ini. Namun diantara sekian banyak itu hanya beberapa serikat buruh yang benar-benar memperjuangkan kaum buruh. Setidaknya terlihat dari respon serikat buruh tersebut terhadap setiap kebijakan pemerintah yang berdampak pada kehidupan buruh.

UU No. 21/2000 sebenarnya juga masih belum memberikan kebebasan penuh pada kaum buruh untuk mendirikan serikat buruh. Masih banyak pasal yang mengharuskan serikat buruh mencacatkan diri pada pemerintah. Campurtangan poemerintah dalam masalah internal serikat buruh masih dominan dsb. Dalam pelaksanaannya pun masih merugikan kaum buruh. Sepanjang 2001 misalnya, sangsi terhadap pengusaha atau pihak-pihak yang menghalangi kegiatan serikat buruh tidak diberi sangsi dengan tegas. Sehingga banyak serikat buruh tingkat perusahaan yang dibubarkan atau tidak diijinkan oleh pengusaha, sekalipun serikat buruh tersebut sudah dicatatkan di Depnaker.

Banyak serikta buruh yang tidak bisa menjalnkan fungsinya di tingkat perusahaan karena masih ada pembatasan oleh pihak pengsaha dengan berbagai cara. Misalnya pengusaha menggunakan aparat keamanan (TNI/POLRI) dan preman untuk mengintimidasi pengurus atau anggota serikat buruh. Atau dengan cara mendirikan serikat buruh tandingan. Lebih parah lagi, dibeberapa daerah serikat buruh yang baru tidak dijinkan oleh pemerintah daerah (disnaker) karena serikat buruh itu dianggap berhaluan kiri, seperti yang terjadi di Medan. Ketidakseriusan pemerintah menerapkan UU ini ikut mendorong adanya premanisme dalam kasus perbusuhan. Pengusaha juga dengan leluasa mengalihkan persoalan pemogokan menjadi persoalan kriminal. Sehingga buruh yang melakukan mogok kerja dilaporkan ke polisi dengan tuduhan kriminal.

Tentang Kepmen 78/2001

Setelah terjadi gelombang PHK dimana-mana pada tahun 2000 pemerintah mengeluarkan keputusan menteri tenaga kerja tentang PHK dan Pesangon.

Keputusan itu tertuang dalam Kepmen : Nomor 150/MEN/2000 atau lebih dikenal dengan kepmen 150. Dalam kepmen ini diatur tentang tatacara PHK dan penghitungan pesangon. Yang pada dasarnya juga masih memberatkan kaum buruh, karena masih membenarkan terjadinya PHK.

Namun pada kenyataanya para pengusaha justru keberatan atas kepmen tersebut terutama mengenai penghitungan pesangon atau ganti rugi.

Sehingga pada tahun 2001 pengusaha mendesak untuk dilakukan revisi atas Kepmen tersebut. Tepatnya pada 4 Mei 2001 Menaker Al Hilal Hamdi mengeluarkan Kepmenakertrans No. 78/MEN/2001. Revisi itu dilakukan karena desakan pengusaha lewat APINDO didukung oleh para menteri bidang ekonomi.

Alasannya adalah untuk melindungi dan menarik para investor.

Perbedaan mandasar antara kepmen 150 dengan kepmen 78 terletak pada persoalan pesangon atau ganti rugi. Misal menurut Kepmen 150 buruh yang mengundurkan diri masih mendaptkan uang ganti rugi namun menurut kepmen 78 tidak. Hal ini mendorong para mengusaha untuk mem PHK buruhnya atas dasar pengunduran diri, memperkerjakan buruh dengan sistem kerja kontrak dsb.

Tentang RUU PPHI/PPK

Tidak berhasil meredam gejolak perburuhan dan melindungi kepentingan kapitalis dengan kepmen 150 dan kepmen 78, pemerintah mengusulkan dibuatnya UU dengan mengajukan RUU PPHI (Penyelesaian perselisihan hubungan industrial) yang akhirnya diubah menjadi PPK (pembinaan dan perlindungan ketenagakerjaan). Yang sampai akhir tahun ini masih dalam pembahasan di DPR. Jika UU ini berhasil dibuat dan disahkan maka seluruh perundangan atau peraturan perburuhan sebelumnya tidak berlaku lagi.

Termasuk UU no. 22/1957 dan UU No. 12/1964 serta Kepmen 150 dengan sendirinya dicabut.

Dalam RUU tersebut memuat pasal-pasal yang merugikan kaum buruh.

Berdasarkan RUU ini, keterlibatan pemerintah dalam dalam hal penyelesaian perburuhan hampir tidak. Tentang penyelesaian konflik perburuhan di limpahkan sepenuhnya dengan mekanisme lembaga peradilan seperti laiknya kasus pidana atau perdata. Sehingga yang menentukan PHK sampai pada pesangonnya adalah pengadilan. Bukan lagi P4D atau P4P. Ini berarti bahwa setiap konflik perburuhan akan dianggap sebagai kasus pidana atau perdata. Kaum buruh yang mogok akan dituduh mencemarkan nama baik perusahaan atau merugikan perusahaan yang dapat dikategorikan tindak pidana. Selain itu kasusnya akan dijadiakan kasus individu buruh dengan pengusaha bukan kasus kolektif kaum buruh dengan perusahaannya.

Fungsi serikat buruh menurut RUU ini juga dibatasi, serikat buruh tidak bisa lagi menjadi pembela kaum buruh yang mengalami kedtidak adilan pengusaha. Serikat buruh tidak bisa mendampingi anggotanya berhadapan dengan pengsaha atau dalam pengadilan. Yang mendampingi buruh harus seorang sarjana yang sudah perpengalaman.

Dalam RUU juga diatur mengenai mengenai pembatasan terhadap kebebasan mogok kerja. Di sana diatur bahwa mogok harus dihentikan jika sudah terjadi perundingan. Sehingga posisi tawar kaum buruh menjadi lemah, tidak punya daya tekan. Sekalipun yang berunding itu serikat buruhnya.

Beberapa poin diatas menunjukkan bahwa RUU tersebut bukalanlah untuk melindungi kepentingan buruh. Namun lebih menguntungkan pengusaha. Esensi dari RUU tiu adalah mengambdi pada kepentingan neolibelralisme, dan untuk mempermudah kapitalis internasional masuk ke Indonesia.

Tentang THR

Tak jauh beda dengan upah, THR tahun 2001 masih sangat kurang jika dibandingkan dengan kebutuhan riil buruh menjelang hari raya. Ketentuan yang dipakaipun masih menggunakan ketentuan tahun 1994; Permenaker No. 04/Men/1994. yang sudah tidak sesuai lagi diterpakan pada saat sekarang, dimana harga-harga barang sudah naik berkali lipat. Dalam peraturan tersebut THR bagi buruh yang masa kerjanya satu tahun keatas mendapatkan THR minmal tau bulan upah dan bagi yang belum satu tahun mendapatkan THR seluan gaji kali masa kerja dibagi 12 bulan.

Kriminalisasi, premanisme: Kembalinya militer dalam kasus perburuhan

Gagalnya pemerintah meredam gerakan buruh lewat berbagai peraturan, merupakan faktor penyebab terjadinya kriminalisasi dan premanisme dalam kasus perburuhan. Seiring dengan itulah maka campurtangan aparat keamanan (polri dan TNI) mulai digunakan oleh pihak pengusaha. Kecenderungan untuk menindak kaum buruh yangs edang mogok dengan cara-cara represif semakin muncul diberbagai kota. Tuduhan kriminal terhadap para tokoh buruh yang melakuakn mogok semakin merbak sepanjang tahun 2001. Kasus Ngadinah (GSBI), Aris (FNBPI semarang), adalah salah satu buktibukti dari tindakan itu. Kasus sengketa perburuhan antara Hotel Sangrilla dengan buruhnya, kasus dibubarkannya demontrasi buruh Matahari Putra Prima termasuk

penagkapan Dita Sari oleh aparat kepolisian Kota Tangerang adalah bukti lainnya. Dan masih banyak bukti lainnya yang terjadi di setiap pemogokan buruh.

Premanisme, kriminalisasi dan intenvensi aparat keamanan dalam kasus perburuhan adalah merupakan cara-cara Orde Baru. Dan ini merupakan akibat dari lambatnya proses reformasi. Pemerintahan Habibie, Gus Dur sampai Megawati saat ini masih tidak serius. Dwi Fungsi TNI masuh belum sepeuhnya dicabut dan dibiarkan kembali ke tengah kehidupan masyarakat.

Kini terlihat dimana-mana spanduk besar atas nama TNI yang berisikan ilusi-ilusi "Damai Itu Indah" dsb. Seiring dengan itu, dan atas dasar itulah aparat keamanan sering mencampuri urusan mogok buruh. Mereka menuduh bawah mogok adalah tindakan yang anarkis dan menganggu ketertiban umum, mencemarkan nama baik perusahaan dan menganggu kedamaian masyarakat.

Daripada mengurusi itu pemerintah lebih mengursi kerjasama (baca: menjadi budak utang) dengan IMF dan World Bank, yang merupakan kepanjangan tangan dari kapitalisme internasional.

Tahun 2001, bangkitnya kaum buruh Indonesia

Diatas telah disebutkan bahwa pada tahun 2001 telah muncul puluhan bahkan ratusan serikat buruh di Indonesia. Kemunculan ini dimulai sejak tahun 2000 setelah UU 21/2000 disahkan. Walaupun sebetulnya sebelum UU itu disahkan serikat buruh sudah banyak yang bermunculan dan baru resmi tercatat di pemerintah setelah UU disahkan. Hal ini dibuktikan pada peringatan May day tahun 2000 dimana hampir seluruh serikat buruh selain SPSI --yang puluhan jumlahnya, memperingatinya. Dengan jumlah massa puluhan ribu.

Di tahun 200, serikat buruh (seperti SBSI, FNPBI, SBMNI, Gaspermindo, GSBI,dll) yang tergabung dalam Komite Aksi Satu Mei di Jakarta, memeperingati hari buruh sedunia dengan mendesakkan tuntutan nataralain Penghancuran politik perburuhan Orde Baru, kenaikkan upah 100%, hapus sistem kerja kontrak, bubarkan IMF, satu mei hari libur nasional, 32 Jam kerja seminggu, adili daq bubarkan Golkar dsb. Peringatan satu meri juga dilakukan serentak di kota-kota besar di Indonesia dengan tuntutan yang hampir sama. Secara nasional kaum buruh yang terlibat dalam peringatan 1 mei 2001 mencapai puluhan ribu orang. Kaum buruh juga banyak yang menggunakan kesempatan peringatan 1 Mei sebagai hari pemogokan mereka untuk menuntut kesejahteraan di pabriknya.

Peringatan 1 Mei tahun 2001 menunjukkan peningkatan kualitatif dan kuantitatif gerakan buruh di Indonesia. Gerakan buruh sudah terwadahi dan terpimpin dalam berbagai serikat buruh. Bahkan SPSI yang akhirnya pecah menjadi dua; FSPSI status quo dan FSPSI Reformasi sudah mulai mengedepankan tuntutan yang bersifat politis, seperti menolak campur tangan aparat keamanan dalam kasus perburuhan. Mereka juga sudah mulai menolak sistem perburuhan Orde Baru. Di lain pihak, serikat buruh yang relatif independen mempunyai program yang lebih maju dengan membawa ide-ide sosialisme dalam setiap gerakannya. Dalam peringatan 1 Mei serikat buruh sudah membuka diri terhadap gerakan prodemokrasi lainnya, seperti organisasi mahasiswa, LSM dll. Hal ini menunjukkan -walau masih pada tahap awal bahwa gerakan buruh pada tahun ini sudah mempunyai watak demokratik dan tidak sektarian.

Peningkatan tersebut mencapai puncaknya pada gerakan buruh menolak kepmen 78/2001 sebagai hasil revisi terhadap kepmen 150/2000. Aksi demontrasi dilancarakan oleh kaum buruh di setiap kawasan industri di seluruh Indonesia. Di bawah kepemimpinan serikat buruh (walau ada yang aksi secara spontan menolak kepmen 78) secara serentak selama kurang lebih dua minggu kaum buruh pada bulan Juni 2001 dengan tegas menolak kepmen 78/2001. Di berbagai kota serikat buruh yang ada, melakukan aksi aliansi dengan membentuk komite-komite demi memperkuat perjuangan mereka menolak

kepmen 78/2001. Gerakan yang didukung oleh banyak pihak seperti pakar, LSM, ormas mahasiswa, dan parpol ini telah membuktikan kekuatan buruh, dengan ditangguhkannya pelaksanaan kepmen 78. Namun sebagai gantinya malh keluar Kepmen No. 111/2001 yang wataknya masih sama dengan kepmen 78.

Sikap pemerintah itu tentu saja langsung direspon oleh serikat buruh dengan turun kejalan di berbagai kota, sampai akhirnya kepmen 78 dan 111 dan kembali ke kepmen 150.

Di Jakarta ---dimana menjadi pusat kekuasaan dan modal, gerakan buruh sudah menemukan bentuk dan metodengan yang lebih maju. Serikat buruh yang rata-rata berskala nasional membentuk sebuah komite yang permanen (cikal bakal front). Komite itu adalah Komite Aksi Satu Mei, yang didalamnya terlibat 13 serikat buruh dan berbagai LSM dan ormas. Komite yang dibentuk menjelang peringatan hari buruh sedunia 2001 ini tidak bubar setalh peringatan selesai. Dalam berbagai momentum ekonomi dan politik nasional komite ini bergerak juga, seperti dalam aksi penolakan kenaikkan BBM dan TDL, meudian mendornag terbentuknya aliansi yang lebih luas dengan membentuk Komite Anti Penindasan Buruh untuk merespon kriminalisasi terhadap kasus perburuhan.

Singkatnya pada tahun 2001 gerakan buruh telah menemukan bentuk dan metodenya yang lebih maju yaitu; front dan aksi massa. Kaum buruh tidak lagi ketakutan untuk turun kejalan setiap ada momentum dan bergabung dengan kelompok prodemokrasi lainnya. Kesadaran untuk terlibat dalam setiap kebijakan pemerintah (terutama dalam bidang perburuhan) sudah menjadi kesadaran rata-rata kaum buruh. Demikian juga kesadaran atas penolakannya terhadap sisa-sia Orde Baru.

Namun dibalik itu semua, masih ada serikat buruh yang pimpinannya masih berwatak konservatif, dan kompromis. Misal dalam soal penolakannya terhadap kepmen 78 serikat buruh yang tergabung dalam FSUI (Forum solidaritas Unionis Indonesia) sebagian besar menuntut hanya penangguhan saja sedangkan ditingkatan massanya sudah pada kesadaran tentang pencabutan kepmen 78. Situasi seperti ini memberikan pelajaran yang baik

bagi buruh indonesia dalam memilih dan mendirikan serikat buruh. Dan bagi serikat buruh yang konssiten dan majulah yang akan dipilih oleh buruh mendatang.

Tabel I -- Populasi dan Jenis Aktivitas

Source: National Labour Force Survey

TYPE OF ACTIVITY

1997

1998

1999

2000

1.

Population 15 +

135,070,350

138,556,198

141,096,417

141,312,722

2.

Labor Force

89,602,835

92,734,932

94,847,178

95,695,979

Labor Force Participation Rate

(66.34)

(66.63)

(67.22)

(67.72)

Working

85,405,529

87,672,449

88,816,859

89,824,023

Looking for Work

4,197,306

5,062,483

6,030,319

5,871,956

Unemployment Rate

(4.68)

(5.46)

(6.36)

(6.14)

3.

Not in Labor Force

45,467,515

45,821,266

46,249,239

45,614,743

Schooling

10,814,356

11,273,682

10,934,731

10,811,539

House Keeping

25,896,013

25,266,906

25,857,621

25,333,554

Others

8,757,146

9,280,678

9,456,887

9,471,650

Tabel II - Pengangguran berdasarkan tingkat pendidikan

Educational Ataintment

1997

1998

1999

2000

1.

Under Primary School

216,495

257,330

278,500

215,898

2.

Primary School

760,172

911,782

1,151,252

1,234,648

3.

Junior High School

736,375

984,104

1,159,478

1,372,456

4.

Senior High School

2,106,182

2,479,739

2,886,216

2,582,473

5.

Diploma I/II

37,676

47,380

90,230

55,457

6.

Academy/Diploma III

104,054

128,037

153,696

132,314

7.

University

236,352

254,111

310,947

278,710

Total

4,197,306

5,062,783

6,030,319

5,871,956

Tabel III -- DATA REPRESI AKSI - AKSI BURUH YANG MELIBATKAN PREMAN

No

Tanggal

Pabrik / alamat

Tuntutan.

Produksi

Keterangan

1

2 januari 2001

Pt. Asia Carton lestari,Jl. Kasir II/7 Pasir Jaya, Jati Uwung

Tangerang. Uang makan, dan Transport

.Kardus

Mendapat intimidasi dari preman, dan RT.

2

5 Januari 2001

Pt. Nipress.Gunung Putri Bogor

Mogok selama 2 hari menuntut kenaikan upah.

Batterai, Aki.

Mendapat intimidasi dari preman dan kepala desa, menginap di depnakertrans selama 4 bulan.

3

4 Februari 2001

Pt. Paradita Irota Garmen. Jl. Pepaya VII Jagakarsa Jakarta Selatan.

Menolak PHK

Pakaian Jadi.

Mendapat intimidasi dari RT.

4

10 Pebruari 2001

Pt. Sejahtera. Jln. Raya Luewinutung.Kec. Citeurep Bogor.

Kenaikan upah

Makanan, Susu.

Mendapat intimidasi dari preman dan aparat polisi.

5

21 maret 2001

Pt. Mentari Mitra Busana. Komplek Bisnis Pluit Blok.C

Pencabutan PPH, dan pembayaran UMP bulan Januari.

Garment

Mendapat intimidasi dari preman.

6

6 April 2001

Pt. Kapasindo Prima. Jl. Smp 122 No. 16 kapuk Jakarta utara.

Uang makan, Seragam, dan Transport

Kaos kaki, dan Catton but.

Intimidasi dari Preman yang mengatasnamakan dari Baten, dan ketua ketua serikat buruh mendapat ancaman dengan

Golok.

7.

9 April 2001

Pt. Sayap Mas Utama. Jl. Tipar Cakung Kav F5-7. Jakarta Utara Uang makan

Sabun Cream, Soklin. Produk-produk Merk Wings.

Preman tetapi tidak berpengaruh karena jumlah buruh 6000 orang.

8

19-30 maret 2001

Pt. Kadera. Pulogadung.

UMP yang hanya Rp. 390. 000,-

Asecoris mobil.

Preman yang mengatas namakan FMCI, yang mengakibatkan 2 buruh meninggal dan puluhan lainnya luka-luka.

9

Pt. TVM, Pasar Kemis Tangerang.

Penolakan PHK

Layar Monitor

Intimidasi dari banser.

10

Pt. Indo Metal. Daan Mogot

Kesejahteraan

Barang pecah Belah , Kedaung GRoup

Penyerangan Preman dan tembakan aparat saat menginap di Depnakertras. .

11

Pt. Panarub. Tangerang

Kesejahteraan

Sepatu Adidas

Ketua serikat buruh di tahan oleh aparat.

a.. Megawati Bukan Pejuang Emansipasi Perempuan

Pemerintahan Megawati tidaklah jauh berbeda dengan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya dimana pemerintahan Megawati belumlah menaruh perhatian terhadap persoalan-persoalan perempuan. Bahkan ketika Megawati naik menajdi presiden banyak terjadi aksi penolakan terhadap Megawati yang dilakukan oleh organisasi-organsasi perempuan dengan salah satu alasannya karena dukungan dari kekuatan sisa orde baru (GOLKAR dan MILITER), juga selama menjadi wakil presiden Megawati tidak pernah berbicara persoalan-persoalan perempuan. Ketika rakyat Aceh (termasuk perempuannya) memperjuangkan kekerasan yang dilakukan oleh militer terhadap perempuan dan rakyat Aceh, Megawati tidak mengatakan dan melakukan apa-apa.

Kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh pemerintahan Megawati masih melajutkan dari pemerintahan sebelumnya yang menghamba terhadap kebijakan neoliberlisasi. Kebijakan neoliberalisasi dalam sejarahnya telah membuat semakin terpuruknya negara dunia ketiga kedalam kemiskinan yang tiada duanya. Neoliberalisasi selain membagi dunia menjadi dua juga telah membagi perempuan ke dalam dua jurang penindasan. Pertama, perempuanharus menjual tenaganya kepada pemilik modal di negaranya sendiri dan yang kedua perempuan juga menjadi komoditi negara untuk dijual ke negara-negara yang lebih maju.

Dampak dari kebijakan neoliberalisasi sudah terlihat jelas dari data yang ada telah terjadi PHK besar-besaran yang diakibatkan oleh krisis ekonomi yang mengakibatkan :

1. meningkatnya pengiriman TKW karena akibat PHK dan pemerintah tidak mampu memberikan lapangan

pekerjaan.

2. meningkatnya pengalihan kerja dari buruh menjadi penjaja seks komersial.

3. kekerasan dalam rumah tangga meningkat.

Masalah kesehatan juga masih harus dihadapi oleh kaum perempuan dengan dicabutnya subsidi bagi kesehatan, biaya kesehatan menjadi mahal sehingga - terutama - kesehatan ibu dan anak menjadi tidak utama lagi. Dan juga

terjadi peningkatan aborsi di kalangan ibu-ibu terutama ibu miskin dan kaum buruh karena permasalah ekonomi yang tidak mencukupi.

Membangun Gerakan Perempuan: Mengkampanyekan isu-isu perempuan secara massal

Oleh karena itu terlepas dari berbagai perbedaan pandangan kelompok-kelompok gerakan perempuan saat ini banyak hak-hak mendasar kaum perempuan hingga saat ini belumlah diperoleh oleh mayoritas perempuan.

Kesamaan atas upah, atas politik dan sosial, perlindungan terhadap kekerasan, pemaksaan, pelecehan dari kaum laki-laki, hak untuk mengontrol tubuh dan pilihan hidup mereka secara bebas (KB, menjadi ibu rumah tangga, aborsi, dll).

Oleh karena penting untuk sedikit kita mengevaluasi "gerakan perempuan" yang ada saat ini.

Di atas, walaupun telah disebutkan bahwa mulai bermunculan kelompok-kelompok perempuan di berbagai kota, tetapi di tingkat gerakan masihlah sangat terbatas. Beberapa kelompok NGO perempuan lebih banyak memfokuskan aktivitas mereka pada level atas (seperti seminar), dan bukan membangun gerakan massa. Beberapa NGO perempuan juga mulai mengeluarkan alat kampanye mereka dengan membangun publikasi. Tetapi sayangnya publikasi ini tidak menyentuh kaum perempuan di kelas bawah, ibu-ibu miskin, buruh-buruh perempuan.

Memang semua perempuan tertindas sebagai perempuan, tetapi dampak penindasan itu berbeda bagi perempuan pada kelas yang berbeda. Perjuangan perempuan, sama dengan perjuangan dengan sektor lain haruslah juga memiliki agenda untuk membangun gerakan massa yang telah diyakini sebagai satu-satunya cara yang paling efektif (selain perjuangan di parlemen, dalam partai politik) untuk menekan tuntutan-tuntutan perjuangan dapat dipenuhi.

Memang banyak isu-isu perempuan yang dapat kita angkat. Tetapi, ketika berbicara tentang bagaimana sebuah kampanye isu ini harus menghasilkan pengorganisiran sebuah gerakan perempuan massa menyebabkan kita harus menyusun taktik dan sasaran kelompok-kelompok perempuan yang sangat mungkin dan "mudah" dalam pembangunan organisasi dan gerakan massa perempuan.

Posisi perempuan dalam politik hendaklah mengambil posisi yang tetap kritis terhadap pemerintahan baru ini. Untuk itu, posisi yang tepat adalah, perempuan harus menjadi kekuatan oposisi ekstra parlementer.

Untuk itu, tugas kaum perempuan yang utama adalah : pertama, terus-menerus mencermati dan mengevaluasi seluruh kebijakan pemerintah yang menyangkut hajat hidup kaum perempuan; dan kedua, membangun organisasi-organisasi kaum perempuan dari tingkat atas hingga ke tingkat basis-basis massa.

Bukan Pemerintahan Megawati, Bukan IMF, Bukan ORBA, Bukan TNI,

Tapi Pemerintahan Rakyat Miskin!!

Melawan atau Miskin!!

Jakarta, 27 November 2001

Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik

(KPP PRD)

HARIS RUSLY NATALIA SCHOLASTIKA

CH

Ketua Umum Sekretaris

Jendral

[1] Misalnya Pada tahun 2000 rata-rata ekspor Indonesia ke AS mencapai 700 juta US dollar sampai 800 juta US dollar perbulan. Tetapi dengan melambatnya ekonomi AS nilai ekspor Indonesia pada tahun 2001 ke AS turun menjadi rata-rata 500 juta US dollar hingga 600 juta US dollar perbulan.

Bahkan pada akhir Mei 2001 hanya mencapai 107 US dollar. Suara Pembaharuan, 12 September 2001

[2] PT. Angkasa Pura, PT. Atmindo, PT. Cambrics Primissima, PT. Cipta Niaga, PT. Dana Reksa, PT. Industri Gelas, PT. Intirub, PTPN VIII dan PT. Tambang Timah.

[3] Bahkan Yakub Nuwawea, sebelum menjadi Menaker menyatakan bahaw UMP buruh saat ini hanya mampu memenuhi 30-40 persen kebutuhan hidup pokok pekerja.

[4] Menurut catatan depnakertrans, sepanjang tahun 2001 hingga Juni 2001 kasus PHK mencapai jumlah 1.130 dan melibatkan 44.588 pekerja.

Sebab-sebab PHK terutama diakibatkan adanya pabrik bangkrut, pemogokan, dan turunnya order barang produksi dan lain-lain.

[5] Kompas, 12 September 2001.

[6] Dari hasil studi FAO di tahun 1995 terungkap bahwa perdagangan hasil-hasil pertanian didominasi negara-negara maju di antaranya, Amerika Serikat, Eropa Barat, Australia dan Kanada dengan pangsa pasar kurang lebih 86 persen. Sedangkan negara-negara berkembang baru mampu memanfaatkan 14 persen sisanya. Kompas, 23 Juni 1997

[7] Istilah tenaga kerja jangan disamakan dengan buruh. Buruh memang bagian dari tenaga kerja, tetapi tidak semua tenaga kerja (pekerja) adalah buruh. Petani, misalnya tidak termasuk dalam kategori buruh (kecuali buruh tani).

[8] Kompas, 16 Juni 2000.

[9] Data UPC menyebutkan hingga September 1999, telah dirazia sebanyak 454 joki di jalanan. Sementara hingga 21 Juli 2000, di lima wilayah DKI telah dilakukan "penertiban" terhadap 5.465 orang pedagang kaki lima; 113 pedagang asongan; 15 orang pengamen; 108 becak; 252 gubuk liar; 290 wts; 310 gelandang pengemis; 4 orang penderita cacat; 18 orang anak jalanan; 152 joki three in one; 212 pak ogah; PMKS lainnya 257 orang. Sementara dari tanggal 27 November 2000 sampai 16 Januari 2001, berlangsung 51 hari operasi penertiban terpadu menertibkan pedagang kaki lima. Tercatat 9.297 di Jaksel; 1.237 di Jakpus; 1.503 di Jakbar; 8.813 di Jaktim. Sepanjang April 2001 telah ditertibkan sebanyak 17.305 PMKS (16.912 orang PMKS dan 393 preman). Wakil Gubernur DKI pada tanggal 6 Juli 2001 melaporkan pemberantasan becak di Jakarta selama semester I tahun 2001 sebanyak 3.516 becak.

[10] Penertiban atas 27 bangunan semi permanen di Jl. A. Yani, 350 gubuk liar di Marunda, 200 gubuk liar di Pulo Gebang dan DI Panjaitan, terdiri dari 3 gubuk liar, 24 bangunan semi permanen dan satu bengkel bermotor.

[11] Data BKPM menunjukkan pada tahun 2001 terdapat 997 proyek PMA dan hanya 193 proyek PMDN. Dengan suku bunga BI yang tinggi, bank akan memilih menyimpan uangnya dibandingkan mengalirkan ke dalam kredit usaha.