Copy of Lap Pkl Ibnu Revisi
-
Upload
vistiajeng -
Category
Documents
-
view
69 -
download
6
Transcript of Copy of Lap Pkl Ibnu Revisi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit dalam pengertian umum dapat dinyatakan sebagai penyimpangan dari kondisi
normal dari seekor hewan, penyakit juga dapat dikatakan sebagai perubahan kondisi normal
dari seekor hewan yang disebabkan oleh jasad hidup. Bentuk pengobatan terpenting adalah
pencegahan (preventif), yaitu suatu tindakan untuk melindungi individu terhadap serangan
penyakit atau menurunkan keganasannya (Akoso, 1998).
Kesehatan ternak merupakan kunci penentu keberhasilan suatu usaha peternakan,
sehingga perlu pencegahan dan pengobatan pada unggas yang sakit. Melakukan penanganan
seperti sanitasi, vaksinasi dan pelaksanaan biosekuritas di lingkungan peternakan secara
konsisten merupakan solusi terbaik sebelum melakukan pengobatan. Akan tetapi dalam
pengobatan tidak selalu mendapatkan hasil yang maksimal bila tidak di imbangi dengan
pengamplikasian yang benar dan terprogram dengan baik, agar membuahkan hasil.
Pengobatan terhadap suatu penyakit tidak membuahkan hasil, hal ini dikarenakan tidak
semua penyakit dapat diobati, seperti penyakit virus. Sedangkan penyakit-penyakit non
infeksius harus diatasi dengan memperbaiki tatalaksana budidaya yang baik dan benar.
Berdasarkan pemikiran tersebut sangat perlu untuk diketahui adanya faktor-faktor yang dapat
menyebabkan penyakit pada ternak, sehingga dapat dilakukan metode penanggulangan
penyakit yang efisien dan efektif.
Pada manajemen pemeliharaan unggas, pemberian antibiotik, antimikroba dan zat
kemoterapeutik mutlak diperlukan, dikarenakan perubahan lingkungan yang fluktuatif akan
berpengaruh terhadap kondisi tubuh unggas dan menyebabkan tubuh unggas menjadi rentan
terhadap infeksi penyakit yang kemudian akan berimbas pada penurunan tingkat
produktivitas dari unggas. Pemberian Antibiotik, antimikroba dan kemoterapeutik dalam
penggunaanya dapat diaplikasikan sebagai tindakan pencegahan ataupun untuk pengobatan
dan terapi. Hal ini dilakukan untuk membuat hewan tetap produktif meskipun mereka hidup
dalam kondisi berdesakan dan tidak higienis.(Doyle, 2006).
Umumnya pemberian antibiotika yang diberikan pada ayam lebih banyak diberikan
secara massal dibandingkan pemberian secara individual (Doyle, 2006). Sehingga
berpengaruh terhadap tingkat kegagalan, dikarenakan tidak terkonsumsinya antibiotik dengan
dosis yang tidak merata meskipun dengan dosis pengenceran yang benar.Pada pengobatan
hendaknya telah melewati serangkaian evaluasi dan analisis mengenai teknik maupun
aplikasi pengobatan yang telah dilakukan. Cara pengobatan mempunyai andil yang besar
terhadap efektivitas pengobatan.Obat dengan kualitas yang bagus tidak akan bisa bekerja
secara optimal jika terdapat kesalahan pada teknik aplikasinya. (http://info.medion.co.id)
Berdasarkan hal-hal yang di paparkan di atas, maka dalam manajemen peternakan
khususnya pada pullet, sangat dibutuhkanya penataan dalam kegiatan pencegahan,
pengobatan dan terapi yang tersusun dalam program medikasi dan kemoterapeutik yang
tertulis, sehingga dalam mengetahui tatalaksananya di peternakan maka program PKL ini
dilaksanakan.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana pengamplikasian program medikasi dan kemoterapeutik pada pullet di
peternakan Satwa Unggul PS?
1.2.2 Bagaimana cara pengaturan program medikasi dan kemoterapeutik pada pullet di
peternakan Satwa Unggul PS?
1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui tata cara medikasi dan kemoterapeutik pada pullet di peternakan Satwa
Unggul PS
1.2.2 Mengetahui cara dalam pengaturan program medikasi dan kemoterapeutik pada
pullet di peternakan Satwa Unggul PS
1.4 Manfaat
Manfaat yang akan didapatkan dari melaksanakan Praktek Kerja Lapang ini adalah
1.4.1 Dapat meningkatkan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan dan pengalaman
kerja di lapangan dalam hal kesehatan pullet khususnya pada program medikasi dan
kemoterapi pada peternakan Satwa Unggul PS
1.4.2 Dengan pelaksanaan Praktek Kerja Lapang (PKL), diharapkan peternakan Satwa
Unggul PS mampu meningkatkan hubungan kemitraan dengan perguruan tinggi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pullet
Secara ringkas, pullet adalah ayam yang dipelihara di umur 0-16 minggu. Pendapat
lain menyatakan bahwa pullet adalah ayam masa DOC hingga masa bertelur di bawah 5%.
Berdasarkan kebutuhan nutrisi, pullet terbagi dua yaitu starter (0-5 minggu) dan grower (6-
16 minggu).
Pullet memiliki tahapan perkembangan tubuh yang kompleks sesuai periode umurnya
(starter dan grower). Masa starter merupakan masa pembelahan sel (hiperplasia) sehingga
perkembangan organ sangat dominan di masa ini. Oleh karena itu, masa ini mempunyai andil
50% bahkan 90% terhadap keberhasilan pemeliharaan pullet.
Pada periode grower terjadi perkembangan ukuran sel (hipertrofi). Di fase ini frame
size berkembang mencapai bentuk sempurna. Periode grower memiliki 3 waktu kritis yang
harus diperhatikan oleh peternak yaitu umur 6-7 minggu, 12 minggu dan 14 minggu. Antara
minggu 6 dan 7 adalah puncak perkembangan frame size yang mana 80% frame size sudah
mencapai dimensi akhir. Oleh karena itu, saat penimbangan berat badan di minggu kelima,
ayam-ayam yang belum memiliki frame size optimal dipisahkan lalu tetap diberikan ransum
starter dan diberikan multivitamin.
Di minggu ke-12 perkembangan kerangka tubuh telah mencapai maksimal. Maksimal
dalam arti, tidak bisa berkembang lagi sehingga setidaknya ada 2 hal yang perlu diperhatikan
peternak. Pertama adalah dianjurkan mengejar ketinggalan frame size (berat badan) sebelum
minggu ke-12. Kedua mempertahankan berat badan yang sudah sama atau 10% di atas
standar untuk menghadapi masa awal bertelur. Selain tercapainya berat badan yang sesuai
dan perkembangan frame size yang optimal, tingkat keseragaman ayam juga perlu tetap
diperhatikan.
Di minggu ke-14 terjadi perkembangan pesat organ reproduksi dan juga medulary
bone (bagian tulang yang menyimpan cadangan kalsium untuk cangkang telur pada ayam).
Pada periode ini, ketersediaan vitamin D dan kalsium sangat dibutuhkan. Bascal (1993)
menyebutkan bahwa rendahnya asupan kalsium dan vitamin D saat awal bertelur akan
menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas telur saat puncak produksi sehingga
sebaiknya peternak perlu menyediakan kalsium dan vitamin D dalam jumlah yang cukup.
2.2 Medikasi dan Kemoterapeutik
Kemoterapi adalah obat atau zat yang berasal dari bahan kimia yang dapat
memberantas dan menyembuhkan penyakit atau infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus,
amoeba, fungi, protozoa, cacing, tanpa merusak jaringan tubuh manusia.
Zat kemoterapeutik ialah zat kimia yang digunakan untuk mengobati penyakit
menular (kemoterapi) atau mencegah penyakit (kemoprofilaksis). Zat ini diperoleh dari
mikroorganisme atau tumbuhan atau disintesis di dalam laboratorium kimia. Secara umum,
zat kimia demikian yang terdapat di alam dapat dibedakan dari persenyawaan sintetik dengan
digunakannya nama antibiotik .(Pelczar, 2008 : 508)
Suatu zat kimia harus memiliki toksisitas yang selektif untuk dapat sebagai zat
kemoterapeutik. Artinya, zat tersebut harus dapat menghambat atau mematikan parasit (sel
ganas), dan juga mengurangi terjadinya kerusakan terhadap sel inang atau sama sekali tidak
merusak sel inang. Persyaratan lain bagi zat kemoterapeutik adalah harus mampu menembus
sel dan jaringan inang serta tidak mengubah mekanisme pertahanan alamiah sel inang
tersebut. (Pelczar,2008:508)
Pada medikasi secara luas yang digunakan meliputi antibiotik dan antimikroba.
Berdasarkan pengertianya Antibiotika adalah suatu substansi kimia yang dihasilkan oleh
mikroorganisma secara alamiah. Fungsi utamanya adalah melawan pertumbuhan atau
kehidupan mikroorganisma yang lain, contoh: penisilin, kloramfenikol, tetrasiklin.
Antimikroba adalah semua bahan kemoterapetik yang digunakan untuk melawan efek
mikroorganisme. Sulfonamida, isoniazid, dan kuinin termasuk dalam kelompok antimikroba.
Secara lengkapnya pengertianya adalah sebagai berikut :
2.2.1 Antimikroba dan Antibiotik
Antimikroba (AM) ialah obat pembasmi mikroba, khususnya mikroba yang
merugikan manusia, yang dimaksud dengan mikroba terbatas pada jasad renik yang tidak
termasuk kelompok parasit, sedangkan antibiotik adalah senyawa kimia yang dihasilkan oleh
berbagai jasad renik bakteri, jamur dan aktinomises, yang dapat berkhasiat menghentikan
pertumbuhan atau membunuh jasad renik lainnya (Subronto dan Tjahajati, 2001).
Antibiotika yang diperoleh secara alami dari mikroorganisme disebut antibiotika
alami, antibiotika yang disintesis di laboratorium disebut antibiotika sintetis. Antibiotika yang
dihasilkan oleh mikroorganisme dan dimodifikasi di laboratorium dengan menambahkan
senyawa kimia disebut antibiotika semisintetis (Subronto dan Tjahajati, 2011).
Berdasrkan aktifitas toksisitas selektif, ada antimikroba bersifat menghambat
pertumbuhan mikroba, dikenal sebagai aktifitas bakteriostatik; dan ada yang bersifat
membunuh mikroba dikenal sebagai aktivitas bakterisidik. Kadar minimal yang diperlukan
untuk menghambat pertumbuan mikroba atau membunuhnya, masing-masing dikenal sebagai
kadar hambat minimal (KHM) dan kadar bunuh minimal (KBM).
Sifat antimikroba dapat berbeda satu dengan lainya. Umpamanya, penisilin G bersifat
aktif terutama terhadap gram-postif, dan bakteri gram-negatif pada umumnya tidak peka
(resisten) terhadap penisilin G; streptomisin memiliki sifat sebaliknya; tetrasiklin aktif
terhadap beberapa bakteri gram-positif maupun bakteri gram-negatif dan juga terhadap
ricketsia dan Chlamydia. Berdasarkan perbedaan sifat ini antimikroba dibagi menjadi dua
klompok, yaitu spectrum sempit, umpamanya benzyl penisilin dan streptomisin, dan
sepektrum luas umpamanya tetrasiklin dan kloramfenikol.
Walaupun suatu antimikroba berspektrum luas, efektifitas kliniknya belum tentu
seluas spektrumnya sebab efektifitas maksimal diperoleh dengan menggunakan obat terpilih
oleh untuk infeksi yang sedang dihadapi terlepas dari efeknya terhadap mikroba lain. Di
samping itu antimikroba berspektrum luas cenderung menimbulkan superinfeksi oleh kuman
atau jamur yang resisten. Dilain pihak pada septikimia yang penyebabnya belum diketahui
diperlukan antimikroba berspektrum luas sementara menunggu hasil pemerikaan
mikrobiologik.
2.2.2 Mekanisme Kerja Antibiotik dan Antimikroba
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antimikroba dibagi dalam 5 kelompok:
1. Antimikroba dan antibiotik yang menghambat metabolisme sel mikroba
Antimikroba yang termasuk dalam kelompok ini ialah sulfonamid, trimetoprim, asam p
aminosalisilat (PAS) dan sulfon. Dengan mekanisme kerja ini diperoleh efek bakteriostatik.
Mikroba membutuhkan asam folat untuk kelangsungan hidupnya. Berbeda dengan
mamalia yang mendapatka asam folat dari luar, kuman patogen harus mensintesis sendiri
asam folat dari asam amino benzoat (PABA) untuk kebutuhan hidupnya. Apabila Sulfonamid
dan sulfon menang bersaing dengan PABA untuk diikutsertakan dalam pembentukan asam
folat, maka terbentuk analog asam folat yang nonfungsional. Akibatnya kehidupan mikroba
akan terganggu. Berdasarkan sifat kompetisi, efek sulfonamide dapat diatasi dengan
meningkatkan kadar PABA.
2. Antimikroba dan antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel mikroba
Obat yang termasuk dalam kelompok ini ialah penisilin, sefalosporin, basitrasin,
vankomisin, berturut-turut oleh basitrasin, vankomisin dan diakhiri oleh penisilin dan
sefalosporin, yang menghambat reaksi terakhir (transpeptidasi) dalam rangkaian reaksi
tersebut. Oleh karena tekanan osmotik dalam sel kuman lebih tinggi dari pada diluar sel maka
kerusakan dinding sel kuman akan menyebabkan terjadinya lisis, yang merupakan dasar efek
bakterisidal pada kuman yang peka.
3. Antimikroba dan antibiotik yang mengganggu keutuhan membrane sel mikroba
Obat yang termasuk dalam kelompok ini ialah polimiksin, golongan polien serta berbagai
antimikroba kemoterapeutik, umpamanya antiseptic surface active agents. Polimiksin
seabagai senyawa ammonium-kuartener dapat merusak membrane sel setelah bereaksi
dengan fosfat pada fosfolipid membrane sel mikroba. Polimiksin tidak efektif terhadap
kuman gram-positif karena jumlah fosfor bakteri ini rendah. Kuman garam-negatif yang
menjadi resisten terhadap polimiksin, tenyata jumlah fosfornya menurun. Antibiotik polien
bereaksi dengan struktur sterol yang terdapat pada membran sel fungus sehingga
mempengaruhi permeabilitas selektif membrane tersebut.
Bakteri tidak sensitif terhadap antibiotik polien, karena tidak memiliki struktur sterol pada
membrane selnya. Antiseptik yang mengubah tegangan permukaan (suface-aktive agents),
dapat merusak permeabilitas selektif dari membrane sel mikroba. Kerusakan membrane sel
dapat menyebabkan keluarnya berbagai komponen penting dari dalam sel mikroba yaitu
protein, asam nukleat, nukleotida, dan lain-lain.
4. Antimikroba dan antibiotik yang menghambat sintesis protein sel mikroba
Obat yang termasuk dalam kelompok ini adalah golongan aminoglikosi, makrolid,
linkomisin, tetrasiklin dan kloramfenikol. Untuk kehidupanya, sel mikroba perlu mensintesis
berbagi protein. Sintesis protein berlangsung di ribosom dengan bantuan mRNA dan tRNA.
Pada bakteri, ribosom terdiri dari dua sub unit, yang berdasar subtanta sedimentasi
dinyatakan sebagai ribosom 30S dan 50S. Untuk berfungsi pada sintesis protein, kedua
komponen ini akan bersatu pada pangkal rantai mRNA menjadi ribosom 70S.
2.2.3 Penggolongan Antibiotik dan Antimikroba Berdasar Struktur Kimia
Aminoglikosida : Diantaranya amikasin, dibekasin, gentamisin, kanamisin,
neomisin, netilmisin, paromomisin, sisomisin, streptomisin, tobramisin.
Beta-Laktam : Diantaranya golongan karbapenem (ertapenem, imipenem,
meropenem), golongan sefalosporin (sefaleksin, sefazolin, sefuroksim,
sefadroksil, seftazidim), golongan beta-laktam monosiklik, dan golongan penisilin
(penisilin, amoksisilin).
Glikopeptida : Diantaranya vankomisin, teikoplanin, ramoplanin dan dekaplanin.
Polipeptida : Diantaranya golongan makrolida (eritromisin, azitromisin,
klaritromisin, roksitromisin), golongan ketolida (telitromisin), golongan tetrasiklin
(doksisiklin, oksitetrasiklin, klortetrasiklin).
Polimiksin : Diantaranya polimiksin dan kolistin.
Kinolon (fluorokinolon) : Diantaranya asam nalidiksat, siprofloksasin, ofloksasin,
norfloksasin, levofloksasin, dan trovafloksasin.
Streptogramin : Diantaranya pristinamycin, virginiamycin, mikamycin, dan
kinupristin-dalfopristin.
Oksazolidinon : Diantaranya linezolid dan AZD2563.
Sulfonamida : Diantaranya kotrimoksazol dan trimetoprim.
Antibiotika lain yang penting, seperti kloramfenikol, klindamisin dan asam
fusidat.
2.2.3 Jenis – Jenis Antimikroba dan Antibiotik
1. Sulfonamid
Sulfonamid mempunyai spectrum antibakteri yang luas.Golongan obat ini umumnya
hanya bersifat bakteriostatik, spektrum antibakteri meliputi gram (+) maupun (-) seperti.
Pyogenes, E.coli, B. anthracis, v. cholerae, C. trachomatis, C. Diphteriae.
Mekanisme kerja sulfonamide adalah dengan menghabat asam folat yang dibutuhkan
bakteri untuk metabolism sel mikroba, yaitu dengan mengahabat PABA ( p – aminobenzoic )
yang membentuk asam folat, dengan berkopetitifnya sulfonamide untuk menggantikan
PABA, sehingga menyebabkan terbentuknya analog asam folat non fungsional.
2. Kotrimoksazol
Kotrimoksazol merupakan kombinasi 2 macam kemoterapi yakni Trimethoprim dan
Sulfamethoxazole dengan perbandingan 1: 5 yang memberikan efek bakterisid dengan
spektrum luas. Kotrimoksazol menghambat biosintesis asam folat mikroorganisme pada
tahap yang berbeda secara beruntun. Apabila kedua zat aktif tersebut dipergunakan masing-
masing biasanya hanya memberikan hasil yang bakteriostatik.
Berdasarkan kerjanya pada dua tahap yang berrutan dalam reaksi enzimatik untuk membentuk asam
tetrahidrofolat. Sulfonamid menghambat masuknya molekul PABA ke dalam molekul asam folat.
Trimetoprim menghambat terjadinya reaksi reduksi dari hidrofolat menjadi tetrahidrofola Mikroba yang
peka terhadap kotrimoksazol Salmonella pneumoniae, Corynebacterium diphteriae, Streptococcus
pyogenes, Streptococcus viridans , Serratia , E.coli dan Shigella.
3. Penisilin
Penisilin yang digunakan dalam pengobatan terbagi dalam Penisilin alam dan Penisilin
semisintetik. Penisilin semisintetik diperoleh dengan cara mengubah struktur kimia Penisilin
alam atau dengan cara sintesis dari inti Penisilin.
Beberapa Penisilin akan berkurang aktivitas mikrobanya dalam suasana asam sehingga
Penisilin kelompok ini harus diberikan secara parenteral. Penisilin lain hilang aktivitasnya
bila dipengaruhi enzim Betalaktamase (Penisilinase) yang memecah cincin Betalaktam.
Penisilin menghambat pembentukan Mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis dinding
sel mikroba. Terhadap mikroba yang sensitif, Penisilin akan menghasilkan efek bakterisid
(membunuh kuman) pada mikroba yang sedang aktif membelah. Mikroba dalam keadaan
metabolik tidak aktif (tidak membelah) praktis tidak dipengaruhi oleh Penisilin, kalaupun ada
pengaruhnya hanya bakteriostatik (menghambat perkembangan).
Penggolongan
Penisilin dapat dibagi dalam beberapa jenis menurut aktivitas dan resistensinya terhadap
laktamase sebagai berikut :
a. Zat-zat dengan sepktrum sempit : benzilpenisilin, penisilin V, dan fenetisin. Zat-zat ini
terutama aktif terhadap kuman Gram-positif dan diuraikan oleh penisilinase.
b. Zat-zat tahan laktamse : metisilin, kloksalin dan flukoksasilin. Zat ini hanya aktif terhadap
stafilokok dan streptokok. Asam clavukanat, sulbaktam dan tazobaktam memblokir
laktamase dan dengan demikian mempertahankan aktivitas penisilin yang diberikan
bersamaan.
c. Zat-zat dengan spektrum luas : ampisilin dan amoksisilin, aktif terhadap kuman-kuman Gram
positif dan sejumlah kuman Gram-negatif kecuali antara lain Pseudomonas, Klebsiella dan
B.fragilis. tidak tahan laktamase, maka sering digunakan terkombinasi dengan suatu
laktamase-blocker, umumnya klavulanat.
d. Zat-zat anti Pseudomonas : tikarsilin dan piperasilin. Antibiotika berspektrum luas ini
meliputi lebih banyak kuman Gram-negatif, termasuk Pseudomonas, Proteus, Klebsiella, dan
Bacteoides fragilis. Tidak tahan laktamase dan umumnya digunakan bersamaan dengan
laktamse-blocker.
4. Sefarosporin, Tetrasiklin, Kloramfenikol, Aminoglikosid, Tuberkulostatik, Isoniazid,
Rifampisin, Etambutol, dan Leprostatik.
2.3 Prinsip Medikasi dan Kemoterapeutik
Prinsip medikasi dan kemoterapeutik menjadi parameter yang harus diketahui dan
dipahami saat melakukan pengobatan. Penerapan salah satu prinsip medikasi ini yang kurang
sesuai akan berpengaruh pada tingkat keberhasilan pengobatan, tidak menutup kemungkinan
akan mengakibatkan kegagalan pengobatan. Jenis obat yang sesuai dengan penyakit, obat
mampu mencapai lokasi kerja atau organ sakit, obat tersedia dalam kadar yang cukup dan
obat berada dalam waktu yang cukup, merupakan 4 prinsip yang akan dibahas di bawah.
2.2.1 Obat sesuai dengan jenis penyakit yang menyerang
Setiap obat mempunyai efek yang berbeda dan spesifik terhadap setiap penyakit.
Pemilihan obat yang tepat menjadi tahapan pertama yang menentukan keberhasilan
pengobatan. Bagaimanapun baiknya cara pemberian obat, tetapi bila kita salah dalam
memilih jenis obat, maka bukan suatu keniscayaan efek pengobatan tidak akan optimal.
Sebagai contoh yaitu tidak semua obat dapat digunakan untuk mengatasi serangan
CRD. Contohnya pemberian ampisilin atau amoksilin tidak dapat mengatasi serangan CRD.
Hal ini disebabkan bakteri CRD, Mycoplasma gallisepticum tidak mempunyai dinding sel
yang berperan sebagai reseptor ampisilin. Sebaliknya, obat yang cocok untuk mengobati
penyakit CRD ialah doksisiklin yang memiliki kemampuan menghambat sintesis protein pada
reseptor yang terdapat pada M. gallisepticum (ribosom 30S).
2.2.2 Obat mampu mencapai lokasi kerja atau organ sakit
Obat yang diberikan harus mampu mencapai target organ, lokasi kerja atau organ
sakit sehingga obat bisa berkerja secara tepat dan optimal. Pemilihan rute pengobatan
menjadi hal yang penting untuk memastikan obat dapat mencapai organ atau lokasi kerja
yang diinginkan. Untuk mengobati penyakit infeksi pernapasan yang parah dengan efek
pengobatan yang segera maka rute parenteral, secara suntikan atau injeksi menjadi pilihan
utama. Namun bila tidak tersedia sediaan parenteral maka sediaan oral melalui cekok atau air
minum dengan kandungan obat yang memiliki efek sistemik dapat menjadi alternatif pilihan,
seperti obat dari golongan fluoroquinolon atau penisilin. Melalui pemilihan dan
pengaplikasian rute pengobatan yang benar akan meminimalisasi kemungkinan obat rusak
maupun tereliminasi dari tubuh ayam sebelum mencapai organ target.
2.2.3 Obat tersedia dalam kadar yang cukup
Obat akan menghasilkan efek pengobatan yang optimal saat konsentrasi atau
kadarnya di dalam tubuh ayam mencapai kadar minimum atau Minimum Inhibitory
Concentration (MIC). Sebelum obat mencapai kadar MIC, obat tidak akan bekerja
menghasilkan efek pengobatan.
Kadar obat di dalam tubuh dipengaruhi oleh kondisi alamiah tubuh ayam sendiri,
dimana ayam mempunyai respon yang berbeda terhadap obat yang dimasukkan ke dalam
tubuhnya. “Nasib” obat di dalam tubuh ayam dapat diketahui melalui uji farmakokinetik.
Hasil uji farmakokinetik tersebut digunakan oleh apoteker dan dokter hewan sebagai dasar
penentuan dosis sehingga obat dapat mencapai organ target dalam jumlah yang cukup melalui
rute pengobatan tertentu.
2.2.4 Obat berada dalam waktu yang cukup
Secara alami, kadar obat di dalam tubuh akan berkurang dalam jangka waktu tertentu.
Ada parameter penting yang berhubungan dengan kecepatan eliminasi obat, yaitu waktu
paruh.
Waktu paruh yang diberi simbol T1/2 merupakan waktu yang diperlukan tubuh untuk
mengeliminasi obat sebanyak 50% dari kadar semula. Obat dengan T1/2 pendek akan berada
di dalam tubuh lebih singkat dibanding dengan yang mempunyai T1/2 panjang. Pada
aplikasinya, obat dengan T1/2 pendek perlu diberikan dengan interval waktu lebih pendek,
misalnya diberikan 2-3 kali sehari untuk mempertahankan kadar efektif di dalam darah.
Sulfadimethoxine dan sulfamonomethoxine merupakan antibiotik dengan T1/2 yang panjang
sedangkan antibiotik lainnya seperti tetrasiklin, penisilin memiliki T1/2 yang pendek.
PROPOSAL PRAKTEK KERJA LAPANGAN
MENEJEMEN PROGRAM MEDIKASI DAN KEMOTERAPEUTIK PADA PULLET DI SATWA UNGGUL
P.S, SRENGAT, KAB BLITAR, JAWA TIMUR
Oleh:IBNUL RIFA’I DANO
NIM.0911313025
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER HEWANPROGRAM KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYAMALANG
2012
LEMBAR PENGESAHANPROPOSAL PRAKTEK KERJA LAPANGAN
SATWA UNGGUL P.S SRENGAT,KABUPATEN BLITAR, JAWA TIMURMANAJEMEN PROGRAM MEDIKASI DAN KEMOTERPEUTIK PADA PULLET
Malang, 27 November 2012
Oleh :
I BNUL RIFA’I DANO NIM. 0911313025
MenyetujuiKomisi Pembimbing PKL
Pembimbing I Pembimbing II
drh. Analis Wisnu Wardhana drh. Dyah Ayu Oktavianie AP., M.Biotech NIP. 198009042008122004 NIP.198410262008122004
Mengetahui,Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Hewan
Universitas Brawijaya
Prof. Dr. Aulanni’am, drh., DESNIP. 19600903 198802 2 001
BAB III
METODE KEGIATAN
3.1 Waktu dan Lokasi Kegiatan
Kegiatan Praktek Kerja Lapangan akan dilaksanakan di Satwa Unggul P.S,
Srengat, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Pelaksanaan PKL direncanakan akan
dilaksanakan selama 6 minggu dimulai dari bulan November 2012- Desember 2012.
Kegiatan yang akan dilaksanakan pada praktek kerja lapangan ini adalah mengenai
manajemen program medikasi dan kemoterapeutik pada pullet.
3.2 Metode Pelaksanaan PKL
Kegiatan Praktek Kerja Lapang menggunakan metode – metode magang di Satwa
Unggul PS, Srengat Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Diantaranya :
Observasi partisipasi yaitu mahasiswa melakukan pengamatan dan pekerjaan
secara langsung Kegiatan ini memperoleh data primer dan data sekunder yang
selanjutnya diolah lebih lanjut dalam laporan Praktek Kerja Lapang. Data primer
diperoleh dari pihak – pihak terkait mengenai manajemen program medikasi dan
kemoterapeutik pada pullet. Data sekunder diperoleh dari pencatatan dan dokumentasi
yang mendukung penyusunan laporan Praktek Kerja Lapang.
Partisipasi merupakan metode pengembangan data dengan ikut aktif dalam
kegiatan yang berhubungan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap
semua aspek yang berkaitan dengan kegiatan pelaksanaan program medikasi dan
kemoterapeutik.
3.3 Biodata Peserta Praktek Kerja Lapang
Peserta yang akan melaksanakan Praktek Kerja Lapangan di Satwa Unggul P.S,
Srengat, Kabupaten Blitar, Jawa Timur adalah :
Nama individu :Ibnul Rifa’i Dano
Program Studi : Pendidikan dokter hewan
Universitas : Brawijaya
Nim : 0911313025
Alamat : Jl. Tidar Utara no. 20 Malang, Jawa Timur.
Nomor telepon : 085646416402
Email : [email protected]
3.4 Jadwal Praktek Kerja Lapangan
No
Waktu Kegiatan
1. November 2012 Pengajuan Proposal Rencana Pelaksanaan Praktek Kerja Lapang di Satwa Unggul P.S Srengat, Blitar Jawa Timur
2. November 2012 – Desember 2012
Pelaksanaan Praktek Kerja Lapang di Satwa Unggul P.S Srengat, Blitar Jawa Timur
3. Desember 2012 Pembuatan Laporan Pelaksanaan Praktek Kerja Lapang di Satwa Unggul P.S, Blitar Jawa Timur
NO KEGIATAN Minggu Ke-
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
1 Penulisan proposal Praktek Kerja Lapang dan bimbingan pembuatan proposal Praktek Kerja Lapang
2 Pengesahan proposal Praktek Kerja Lapang oleh pembimbing dan pimpinan instansi
3 Pelaksanaan PKL
4 Penyusunan laporan PKL
5 Revisi Laporan PKL
6 Presentasi hasil PKL
BAB IV
PENUTUP
Demikian proposal praktek kerja lapang yang dilaksanakan pada tanggal 27 November 2012 sampai dengan tanggal 30 Desember 2012 di KUD Semen Blitar.Saya berharap pada Ibu untuk dapat membantu mewujudkan rencana kegiatan saya tersebut. Atas perhatian dan kerja samanya saya ucapkan terima kasih.Semoga kegiatanPKL kami bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Akoso (1998). Kesehatan Unggas : Panduan bagi petugas teknis, penyuluhan dan
peternakan. Jogyakarta: Kanisius,
Doyle ME. 2006. Veterinary drug residues in processed meats-potensial health risk. Food
Research Institute University of Wisconsin-Madison.
http://fri.wisc.edu/docs/pdf/FRIBrief_VetDrgRes.pdf [21 Nopember 2011].
Info Medion. 2011. Mencermati Prinsip Pengobatan. Info Medion edisi Febuari 2009
Info Medion. 2011. Membentuk Pullet Berkualitas. Info Medion edisi November 2009
Pelczar Michael J, & E.C.S. Chan. 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi Edisi Revisi. UI-Press:
Jakarta
Subronto.1989. Ilmu Penyakit Ternak I. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Subronto dan Tjahjati. 2001. Pedoman Pengobatan pada Hewan Ternak. Bentang Pustaka.
Hal: 137, 145-147.
.