CONTOH REFERAT
-
Upload
selvi-leasa -
Category
Documents
-
view
84 -
download
10
description
Transcript of CONTOH REFERAT
REFERAT GINJAL HIPERTENSI
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
SINDROM HEPATORENAL
Oleh :
dr. Shirly Elisa Tedjasaputra
NPM. 0706311176
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
RUMAH SAKIT CIPTO MANGUNKUSUMO
AGUSTUS 2010
1
DAFTAR ISI
Halaman
Daftar isi ………………………………………………………………………….. i
Bab I. Pendahuluan …………………………………………………………….. 1
Bab II. Diagnosis dan penatalaksanaan sindrom hepatorenal ..………………..... 2
2.1. Definisi …………………………………………………………………… 2
2.2. Patogenesis ……………………..……………………………………….... 2
2.3. Faktor risiko ………………………………………………………..…….. 7
2.4. Klasifikasi ………………………………………………………………... 7
2.5. Manifestasi klinis ………………………………………………………… 8
2.6. Diagnosis dan diagnosis banding ………………………………………… 9
2.7. Pencegahan ………………………….………...…………………………. 11
2.8. Penatalaksanaan …………...………………………………….………….. 12
2.9. Prognosis …………………………………………………………………. 17
Bab III. Kesimpulan ……………………………………………………………… 18
Daftar Pustaka ……………………………………………………………………. 19
2
BAB I
Pendahuluan
Pasien dengan penyakit hati berat, misalnya sirosis hepatis dengan asites sering
berkembang menjadi gagal ginjal, yaitu sindrom hepatorenal. Sindrom hepatorenal adalah
kegagalan faal ginjal yang terjadi pada pasien dengan penyakit hati berat (akut atau kronik)
tanpa disertai kelainan patologi ginjal.1,5 Sindrom hepatorenal disebabkan oleh terjadinya
vasokonstriksi pada sirkulasi ginjal. Gambaran histologi biasanya normal dan fungsi ginjal
akan kembali menjadi normal atau mendekati normal setelah transplantasi hati. Di samping
perubahan pada fungsi ginjal, pasien dengan sindrom hepatorenal juga menunjukkan kelainan
dari sirkulasi pembuluh darah sistemik dan aktivitas sistem vasoaktif endogen yang berperan
penting pada timbulnya hipoperfusi ginjal.
Pasien dengan sirosis hati dekompensata yang sering mengalami gangguan fungsi
ginjal ini umumnya akan memperburuk prognosis pasien. Gangguan fungsi ginjal pada pasien
sirosis hepatis dapat disebabkan adanya gangguan hemodinamik, terutama vasodilasi perifer,
yang akan diikuti aktivasi hormon vasokonstriksi, sistem neurohormonal seperti renin-
aldosteron, vasopresin, endotelin dan peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis, sehingga
akan menyebabkan terjadinya retensi air dan natrium di ginjal dan penurunan laju filtrasi
glomerulus ginjal. Kelainan fungsi ginjal pada pasien sirosis hepatis ini bersifat fungsional,
yaitu tanpa disertai perubahan morfologi ginjal.
Walaupun sindroma hepatorenal terutama terjadi pada sirosis hepatis tahap lanjut
tetapi mungkin juga terjadi pada penyakit hati menahun lainnya yang disertai hipertensi
portal dan gagal hati berat, seperti hepatitis alkoholik atau pada gagal hati akut.6 Sindrom
hepatorenal didiagnosis setelah menyingkirkan penyebab gagal ginjal lainnya pada pasien
dengan penyakit hati, misalnya hipovolemia, nefrotoksisitas akibat obat, sepsis,
glomerulonefritis dan lain-lain.
Pada stadium awal gangguan fungsi ginjal bersifat reversibel, yaitu dapat membaik
dengan intervensi medis. Stadium akhir dari gangguan fungsi ginjal pada sirosis hepatis
adalah sindrom hepatorenal yang umumnya bersifat ireversibel. Sekitar 18-20 % pasien
sirosis hepatis dengan asites mempunyai fungsi ginjal yang normal akan mengalami sindrom
hepatorenal setelah 1 tahun dan 39-40 % setelah 5 tahun perjalanan penyakit.1,5,28 Prognosis
3
sindrom hepatorenal umumnya buruk. Tanpa transplantasi hati atau pengobatan dengan
vasokonstriktor yang tepat, rata-rata angka harapan hidup kurang dari 2 minggu.
Sindrom hepatorenal terjadi pada sekiter 4-10 % pasien rawat inap dengan sirosis
hepatis dekompensata dengan kemungkinan terjadinya sindrom hepatorenal adalah 18-20 %
dalam waktu 1 tahun dan 39-40 % dalam waktu 5 tahun.5,6 Studi retrospektif menunjukkan
sindrom hepatorenal terjadi pada 17 % pasien sirosis hepatis dengan asites yang dirawat di
rumah sakit dan > 50 % pasien sirosis meninggal karena gagal hati.5 Penulis lain melaporkan
sindrom hepatorenal terjadi pada 28 dari 101 pasien dengan gagal hati akut (hepatitis
alkoholik).29
Penyebab tersering gagal ginjal pada pasien sirosis hepatis adalah peritonitis bakterial
spontan (SBP/Spontaneus bacterial peritonitis). Sekitar 30 % pasien SBP berkembang ke
arah gagal ginjal.5,7
Diagnosis sindrom hepatorenal ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang sedangkan penatalaksanaan sindrom hepatorenal meliputi
penatalaksanaan umum, pengobatan medikamentosa dan tindakan invasif.
Pada makalah ini akan dibahas mengenai diagnosis dan penatalaksanaan sindrom
hepatorenal.
4
BAB II
Diagnosis dan Penatalaksanaan Sindroma Hepatorenal
2.1. Definisi
Sindrom hepatorenal adalah gangguan fungsi ginjal sekunder pada penyakit hati berat,
baik yang akut maupun kronik.1,2,4,23,24 Definisi sindom hepatorenal lainnya adalah terjadinya
gagal ginjal akut pada pasien-pasien dengan penyakit hati stadium lanjut, yaitu sirosis
hepatis, hepatitis alkoholik berat dan metastasis tumor (lebih jarang) serta dapat juga terjadi
pada pasien-pasien dengan gagal hati fulminan dengan berbagai penyebab.23,24 Sindrom
hepatorenal bersifat fungsional dan progresif. Sindrom hepatorenal merupakan gangguan
fungsi ginjal prerenal, yaitu disebabkan adanya hipoperfusi ginjal akibat kerusakan hati yang
berat, namun hanya dengan perbaikan volume plasma tidak dapat memperbaiki gangguan
fungsi ginjal.4
2.2. Patogenesis
Patogenesis sindrom hepatorenal sampai saat ini belum diketahui secara jelas.
Hipotesis patogenesis sindrom hepatorenal adalah akibat sirosis hati atau penyakit hati berat
dan bersama-sama dengan hipertensi portal akan mengakibatkan terjadinya vasodilatasi arteri
splanknik. Vasodilatasi tersebut akan mengakibatkan hipovolemia arterial sentral sehingga
merangsang aktivasi sistim saraf simpatis, renin-angiotensin-aldosteron dan hormon
antidiuretik yang akan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah ginjal. Di ginjal
seharusnya akan terjadi mekanisme kompensasi, namun dengan penyebab yang belum jelas
terjadi ketidakseimbangan mekanisme kompensasi tersebut, yaitu meningkatnya
vasokonstriktor disertai penurunan vasodilator.
Beberapa penelitian melaporkan beberapa perubahan biokimiawi pada pasien sirosis
hepatis dengan sindrom hepatorenal yaitu4 :
1) Hati
- Penurunan sintesis angiotensinogen dan kininogen
- Penurunan pemecahan renin, angiotensin II, aldosteron, endotoksin dan vasopresin
5
2) Plasma
- Peningkatan kadar renin, angiotensin II, aldosteron, endotoksin noradrenalin,
vasopresin, endotelin 2 dan 3, leukotrien C4 dan D4, kalsitonin peptida dan hormon
antidiuretik
- Penurunan kadar kalikrein, bradikinin dan faktor natriuretik arterial
3) Ginjal
Peningkatan renin, angiotensin II, aldosteron, endotelin, tromboksan A2, leukotrien
E4, prostaglandin E2, prostasiklin, bradikinin
6
Gambar 1. Patogenesis sindroma hepatorenal pada penyakit hati berat1
7
Kelainan fungsi ginjal utama pada pasien sirosis hepatis stadium lanjut yaitu
menurunnya kemampuan ginjal untuk ekskresi natrium dan air, penurunan perfusi ginjal dan
laju filtrasi glomerulus.10 Beberapa mekanisme yang diduga berperan pada patogenesis
sindrom hepatorenal, yaitu gangguan hemodinamik sistemik, peningkatan aktivitas sistem
vasokonstriktor dan penurunan aktivitas sistem vasodilator. Pada sirosis hepatis stadium
lanjut, vasodilatasi arterial splanknik bertambah berat (peripheral arterial vasodilatation
hypothesis), mengakibatkan penurunan volume darah arteri dan penurunan tekanan arterial.
Sebagai akibatnya, tekanan arteri dipertahankan oleh aktivasi homeostatik vasokonstriktor
dan faktor antinatriuretik sehingga terjadi retensi air dan natrium. Adanya hipertensi portal
dan vasodilatasi arteri splanknik mengubah permeabilitas dan tekanan kapiler intestinal
sehingga mempermudah akumulasi cairan di rongga peritoneum. Bila sirosis hepatis menjadi
stadium lanjut akan terjadi gangguan ekskresi air oleh ginjal dan vasokonstriksi ginjal
sehingga mengakibatkan terjadinya hiponatremia dilusional dan sindrom hepatorenal.1,25
Penyebab vasokonstriksi ginjal tidak diketahui dengan pasti tetapi mungkin mencakup
meningkatnya vasokonstriktor dan menurunnya vasodilator yang mengatur sirkulasi ginjal.
Faktor-faktor yang berperan pada patogenesis sindrom hepatorenal, yaitu perubahan
hemodinamik yang menurunkan tekanan perfusi ginjal, sistem saraf simpatis ginjal yang
terstimulasi dan peningkatan sintesis mediator vasoaktif humoral dan renal.1,3
Teori vasodilatasi arteri perifer pada penderita sirosis hepatis diawali dengan dilatasi
arteri splanknik, diikuti stimulasi sistem saraf simpatis (peningkatan noradrenalin) dan sistem
renin-angiotensin-aldosteron. Pada tahap awal, meskipun terjadi perubahan vasokonstriktor
dan vasodilator, fungsi ginjal masih dapat dipertahankan. Pada tahap lanjut, mekanisme
kompensasi ginjal akhirnya gagal dengan kemungkinan penyebabnya adalah
ketidakseimbangan antara mekanisme vasokonstriksi dan vasodilatasi sistemik dan intrarenal.
Beberapa bukti yang menyokong teori tersebut, misalnya ketidakseimbangan derivat asam
arakidonat, yaitu meningkatnya metabolit tromboksan B2 pada urine pasien sindrom
hepatorenal, suatu metabolit tromboksan A2 yang merupakan vasokonstriktor poten.
Sebaliknya ekskresi prostaglandin E2 (suatu vasodilator) di urine menurun. Kadar endotelin
(vasokonstriktor) plasma pada pasien sindrom hepatorenal juga meningkat.1
Patogenesis sindrom hepatorenal diduga disebabkan oleh vasokonstriksi ginjal dan
gangguan perfusi glomerulus yang diperantarai oleh endotelin-1. Penelitian menunjukkan
bahwa pada hepar pasien sirosis terjadi peningkatan ekspresi reseptor endotelin yaitu
endotelin A dan B (ET-A dan B).11 Gagal ginjal merupakan sekunder akibat kegagalan faal
8
hati dan secara histologis ginjal normal namun aliran darah ke ginjal menurun. Peranan
endotelin 1 (ET-1) penting dalam patogenesis gagal ginjal. Karena kadar ET-1 dalam plasma
meningkat maka reseptor ET-A pada korteks ginjal juga meningkat. Dengan demikian
pemberian antagonis reseptor ET-1 dapat memperbaiki fungsi ginjal.3
2.3. Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya sindrom hepatorenal yaitu3 :
- Adanya komplikasi SBP (spontaneous bacterial peritonitis)/Peritonitis bakterial
spontan
- Kondisi malnutrisi
- Volume hati yang mengecil
- Perdarahan gastrointestinal
- Adanya varises esofagus
- Terapi diuretik yang kurang tepat
- Gangguan elektrolit
- Obat-obatan nefrotoksik, misalnya OAINS
- Peningkatan tekanan intraabdomen karena asites masif
- Pungsi asites yang kurang tepat (berlebihan)
- Penyebab lain yang berhubungan dengan penurunan volume plasma, misalnya diare
menetap dan restriksi cairan berlebihan
Faktor risiko terjadinya sindrom hepatorenal yang terpenting adalah adanya
komplikasi SBP. Translokasi bakteri dari intestinal dapat memperburuk endotoksinemia dan
mempunyai efek langsung terhadap ginjal pada pasien sirosis melalui perantaraan tumor
necrosis factor dan interleukin.3
2.4. Klasifikasi
Secara klinis, sindrom hepatorenal diklasifikasikan dalam 2 tipe, yaitu2,23,26,27 :
1) Sindrom hepatorenal tipe 1
- merupakan bentuk akut sindrom hepatorenal
- Manifestasi klinis yang sangat progresif, yaitu terjadi peningkatan kreatinin serum
sekurang-kurangnya 2 kali lipat (kadar kreatinin serum awal mencapai > 2,5 mg/dl)
atau penurunan bersihan kreatinin sekurang-kurangnya 50 % dari nilai awal sehingga
mencapai < 20 ml/menit dalam waktu < 2 minggu
9
- Prognosis umumnya sangat buruk, yaitu sekitar 80 % akan meninggal dalam
2 minggu dan hanya 10 % yang bisa bertahan hidup > 3 bulan
- Sering dijumpai pada pasien gagal hati akut, hepatitis alkoholik atau dekompensasi
akut pada pasien dengan sirosis
- Pasien biasanya dengan gagal hati berat, seperti ikterik, koagulopati dan ensefalopati
hepatik
- biasanya terjadi setelah ada faktor presipitasi, misalnya infeksi bakteri berat,
perdarahan saluran cerna, parasentesis terapeutik tanpa pemberian albumin
- Penyebab kematian adalah gagal sirkulasi, gagal hati, gagal ginjal, ensefalopati
hepatik atau perdarahan varises
2) Sindrom hepatorenal tipe 2
- merupakan bentuk kronik sindrom hepatorenal
- biasanya terjadi pada pasien dengan asites yang resisten terhadap diuretik
- Pasien memenuhi kriteria diagnosis sindrom hepatorenal tetapi gagal ginjal tidak
berkembang progresif
- ditandai dengan penurunan laju filtrasi glomerulus yang lebih lambat. Gagal ginjal
berlangsung perlahan-lahan dan dapat berlangsung selama berbulan-bulan
- ditandai dengan penurunan fungsi ginjal derajat sedang (kreatinin serum antara 1,5-
2,5 mg/dL) dan tidak ada penyebab potensial lain dari gagal ginjal
- Bila terjadi perburukan akut fungsi sirkulasi, misalnya adanya SBP atau perdarahan
saluran cerna bagian atas akan memperburuk hipoperfusi ginjal sehingga dapat
berkembang ke arah sindrom hepatorenal tipe 1
- Kondisi klinis pasien biasanya lebih baik dibandingkan sindroma hepatorenal tipe 1
dengan angka harapan hidup yang lebih lama dibandingkan sindrom hepatorenal
tipe 1
- Prognosis umumnya buruk, yaitu angka harapan hidup 5 bulan adalah 50 % dan
1 tahun sebesar 20 %
2.5. Manifestasi Klinis
Pada pasien sirosis hepatis, 80 % kasus sindrom hepatorenal disertai asites, 75 %
disertai ensefalopati hepatik dan 40 % disertai ikterus pada pasien sebelumnya tidak pernah
menderita penyakit ginjal.
10
Gejala klinis yang dijumpai antara lain anoreksia, lesu dan mudah lelah. Kadar ureum
dan kreatinin darah meningkat dan kadar hiponatremia darah bervariasi. Natrium diserap
kembali di tubulus renalis dan osmolaritas urine meningkat. Ekskresi natrium menurun.
Hiperkalemia jarang dijumpai. Sindrom hepatorenal stadium lanjut ditandai dengan azotemia
progresif, bisanya dengan gagal hati dan asites yang sulit dikendalikan. Keluhan mual,
muntah, rasa haus sering terjadi. Pasien tampak mengantuk sehingga gambarannya sulit
dibedakan dengan ensefalopati hepatik. Pada stadium terminal, koma bertambah dalam,
tekanan darah menurun, penurunan volume urine (oligouria) bertambah. Stadium terminal
berlangsung beberapa hari sampai lebih dari 6 minggu.1
2.6. Diagnosis dan Diagnosis Banding
Diagnosis didasarkan terutama adanya kelainan pemeriksaan faal ginjal, penurunan
nyata laju filtrasi glomerulus, tidak dijumpai penyebab lain kegagalan faal ginjal, tidak
dijumpai perbaikan menetap faal ginjal setelah terapi diuretik dihentikan dan terapi cairan
pada pasien dengan penyakit hati akut atau kronik dengan kegagalan hati tingkat lanjut dan
hipertensi portal.3
Menurut The International Ascites Club (tahun 1996), kriteria untuk menegakkan
diagnosis sindrom hepatorenal terdiri dari 5 kriteria mayor dan 5 kriteria tambahan.
Diagnosis sindrom hepatorenal ditegakkan bila ditemukan seluruh kriteria mayor.
Kriteria mayor1,8,9,26,27
1. Penyakit hati akut atau kronik dengan kegagalan hati tingkat lanjut dan hipertensi
portal
2. Laju filtrasi glomerulus yang rendah (kreatinin serum > 1,5 mg/dl (130 µmol/l) atau
bersihan kreatinin < 40 ml/menit)
3. Tidak ada syok, infeksi bakterial yang sedang berlangsung, kehilangan cairan
berlebihan (misalnya perdarahan gastrointestinal) atau penggunaan obat-obatan
nefrotoksik (misalnya OAINS atau aminoglikosida)
4. Tidak ada perbaikan fungsi ginjal (penurunan kreatinin serum < 1.5 mg/dl atau
peningkatan bersihan kreatinin > 40 ml/menit) sesudah pemberian cairan salin
isotonik 1,5 liter atau penghentian diuretik
5. Proteinuria < 500 mg/hari, tanpa obstruksi saluran kemih (uropati obstruktif) atau
penyakit parenkim ginjal pada pemeriksaan USG (ultrasonografi)
11
Kriteria minor (tidak harus ada untuk menegakkan diagnosis) 1,8,9
1. Volume urine < 500 ml/hari
2. Natrium urin < 10 mEq/liter
3. Osmolaritas urin > osmolaritas plasma
4. Eritrosit urine < 50/lapangan pandang (high power field)
5. Natrium serum < 130 mEq/liter
Sindrom hepatorenal perlu dibedakan dari adanya penyakit hati bersamaan dengan
penyakit ginjal atau penurunan fungsi ginjal. Pada beberapa keadaan, diagnosis sindrom
hepatorenal dapat dibuat setelah menyingkirkan (ruled out) pseudo-hepatorenal syndrome.
Pseudohepatorenal syndrome adalah suatu keadaan terdapatnya kelainan fungsi ginjal
bersamaan dengan gangguan fungsi hati yang tidak mempunyai hubungan satu sama lain.
Beberapa penyebab pseudohepatorenal syndrome adalah penyakit kongenital
(misalnya penyakit polikistik ginjal dan hati), penyakit metabolik (diabetes melitus,
amiloidosis, Penyakit Wilson), penyakit sistemik (SLE, artritis rematoid, sarkoidosis),
penyakit infeksi (leptospirosis, sepsis, malaria, hepatitis virus), gangguan sirkulasi (syok,
insufisiensi jantung), intoksikasi (endotoksin, bahan kimia, gigitan ular, luka bakar),
medikamentosa (metoksifluran, halotan, sulfonamid, parasetamol, tetrasiklin, iproniazid) dan
tumor (hipernefroma, metastasis).
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam menegakkan diagnosis sindrom hepatorenal
adalah menyingkirkan kemungkinan penyebab gagal ginjal lainnya, terutama gagal ginjal
prerenal yang diakibatkan deplesi volume, nekrosis tubular akut (ATN), nefrotoksistas akibat
induksi obat dan glomerulonefritis. OAINS (obat anti inflamasi non steroid) mengurangi
produksi prostaglandin ginjal, menurunkan laju filtrasi glomerulus dan klirens air.
Penggunaan obat-obatan nefrotoksik harus diidentifikasi, misalnya aminoglikosida, media
kontras dan lain-lain. Adanya sepsis bakterial, terutama peritonitis bakterial spontan dapat
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal reversibel. Hepatitis B dan C berhubungan dengan
glomerulonefritis yang diperantarai mekanisme imun. Kelainan tersebut didiagnosis dengan
adanya proteinuria, hematuria mikroskopik dan silinder (cast). Azotemia prerenal biasanya
akibat kehilangan cairan, misalnya pada terapi diuretik berlebihan, restriksi air dan natrium
berat, parasentesis tanpa diikuti pemberian infus albumin atau plasma ekspander lainnya,
diare berat dan frekuen, muntah dan perdarahan gastrointestinal. Azotemia prerenal akibat
12
diinduksi obat diuretik terjadi pada 15-25 % pasien sirosis hepatis dengan asites. Nekrosis
tubular akut biasanya terjadi akibat syok pada perdarahan gastrointestinal berat, infeksi
bakterial berat dan pemberian obat-obatan nefrotoksik.
2.7. Pencegahan
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya sindrom hepatorenal
pada pasien dengan penyakit hati yaitu5 :
1) Pencegahan infeksi bakterial
- Infeksi bakterial terjadi pada ± 50 % pasien dengan perdarahan varises dan pemberian
antibiotika profilaksis memperbaiki survival ± 10 %
- Pasien yang pernah mengalami SBP mempunyai kemungkinan ± 68 % kekambuhan
infeksi dalam waktu 1 tahun dan kemungkinan ± 35 % untuk terjadinya gagal ginjal
- Pemberian antibiotik profilaksis direkomendasikan pada dua keadaan, yaitu adanya
perdarahan varises dan riwayat SBP sebelumnya
2) Pemberian albumin
- Untuk mencegah terjadinya gagal ginjal pada pasien SBP, direkomendasikan
pemberian infus albumin 20 % (1-1,5 gram/kgBB selama 1-3 hari) untuk mencegah
disfungsi sirkulasi, gangguan ginjal dan mortalitas
- Pemberian infus albumin sebagai cairan pengganti pada parasentesis volume besar
(8 gram untuk setiap 1 liter cairan asites yang dikeluarkan) dapat mencegah disfungsi
sirkulasi akibat parasentesis
3) Pemakaian diuretik secara hati-hati
- Gangguan fungsi ginjal akibat diuretik terjadi pada ± 20 % pasien sirosis hepatis
dengan asites sehingga perlu dilakukan identifikasi dosis efektif terendah diuretik
untuk setiap individu pasien
- Gangguan fungsi ginjal akibat diuretik terjadi apabila kecepatan diuresis melebihi
kemampuan reabsorpsi cairan asites sehingga terjadi penurunan volume intravaskular
- Gangguan ginjal akibat diuretik biasanya sedang dan akan segera kembali normal
setelah diuretik dihentikan
4) Menghindari pemakaian obat-obatan nefrotoksik
Pasien dengan sirosis hepatis dan asites merupakan predisposisi terjadinya komplikasi
nekrosis tubular akut selama pemakaian aminoglikosida dan obat-obatan nefrotoksik
13
lainnya dimana gagal ginjal terjadi pada ± 33 % pasien dibandingkan 3-5 % pada
populasi umum. Obat lain yang sering menyebabkan gagal ginjal adalah OAINS.
2.8. Penatalaksanaan
a. Penalaksanaan umum1,8,9
Pada umumnya, sindroma hepatorenal disebabkan oleh ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit pada pasien sindrom hepatorenal. Pada pasien sirosis hepatis mudah terjadi
perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga perlu dihindari pemakaian diuretik
yang berlebihan, parasentesis asites dan restriksi cairan yang berlebihan.
Penatalaksanaan umum sindrom hepatorenal antara lain :
1) Pemberian cairan optimal
- Fungsi ginjal jarang kembali normal bila faal hati tidak mengalami perbaikan
- Pada keadaan hipovolemia perlu dilakukan pemberian cairan yang cukup sehingga
keadaan tersebut dapat diatasi
- Bila perlu, dilakukan pemasangan kateter vena sentral sehingga dapat dilakukan
pengukuran tekanan vena sentral untuk mengetahui status volume cairan tubuh
2) Mengatasi faktor pencetus dan menghindari penggunaan obat-obatan nefrotoksik
- Pada pasien sirosis hepatis, insufisiensi ginjal sering diakibatkan oleh hipovolemia
(penggunaan diuretik, perdarahan saluran cerna), penggunaan OAINS atau sepsis.
Faktor-faktor pencetus tersebut harus dikenali dan diobati
- Obat-obatan yang bersifat nefrotoksik harus segera dihentikan
3) Mengenali dan mengatasi sepsis (infeksi bakteri berat)
- Pemeriksaan cairan asites untuk menghitung jumlah sel darah putih, pewarnaan gram
dan kultur kuman perlu dilakukan
- Peritonitis bakterial spontan pada sirosis hepatis harus segera diobati sedini mungkin
dan seadekuat mungkin. Antibiotik spektrum luas yang tidak nefrotoksik perlu segera
diberikan
4) Optimalisasi hemodinamik ginjal dan tekanan darah
- Bila tekanan rerata arterial adalah rendah (< 70 mmHg) maka perlu dinaikkan sampai
sekitar 85-90 mmHg atau sampai produksi urine meningkat dengan cara pemberian
obat-obatan vasopresor
14
- Obat-obatan vasopresor yang dapat diberikan antara lain vasopressin, ornipresin,
terlipresin atau noradrenalin dengan ornipresin atau terlipresin sebagai obat lini
pertama
5) Parasentesis
Asites masif perlu dipungsi sehingga dapat memperbaiki hemodinamik ginjal dan
fungsi ginjal dengan cara menurunkan tekanan vena kava inferior dan vena renalis
6) Lain-lain
- Terapi suportif : diet tinggi kalori dan rendah protein
- Koreksi keseimbangan asam basa
- Pencegahan terjadinya ensefalopati hepatik
b. Pengobatan medikamentosa1,8,9
1) Vasodilator
Dopamin secara luas digunakan untuk mengatasi vasokonstriksi ginjal, namun belum
ada bukti pemberian dopamin secara bermakna bermanfaat pada sindrom hepatorenal. Secara
praktis dapat dicoba pemberian dopamin dosis kecil (subpressor dose) selama 12 jam
kemudian dipantau produksi urine. Bila produksi urine tidak meningkat maka pemberian
dopamin sebaiknya dihentikan.5
2) Vasokonstriktor
Rasionalisasi penggunaan vasokonstriktor adalah untuk mengatasi vasodilatasi
splanknik. Pemberian vasokonstriktor akan memberikan dampak positif terutama bila
dikombinasi dengan pemberian infus albumin atau koreksi albumin serum.
Pemberian obat vasokonstriktor selektif sirkulasi splanknik bertujuan mengembalikan
sirkulasi hiperdinamik dan meningkatkan volume darah sirkulasi sentral. Derivat agonis
reseptor vasopresin-1, seperti ornipresin dan terlipresin, mengembalikan aktivitas berlebihan
sistem saraf simpatis, sistem RAA dan merangsang pelepasan ANP (atrial natriuretic
peptide). Obat-obatan tersebut meningkatkan perfusi ginjal, laju filtrasi glomerulus dan
natriuresis pada pasien sirosis hepatis dengan gangguan faal ginjal fungsional (sindrom
hepatorenal).12 Rekurensi sindrom hepatorenal setelah penghentian vasokonstriktor jarang
terjadi.7
Terlipresin merupakan vasokonstriktor yang baik pada sindrom hepatorenal. Okreotid
merupakan vasokonstiktor alternatif bila terlipressin belum atau tidak tersedia.
15
Ornipresin merupakan analog vasopresin yang menyebabkan vasokonstriksi daerah
splanknik sehingga meningkatkan aliran darah dan tekanan perfusi ke ginjal.5 Pemberian
ornipresin intravena jangka pendek menunjukkan perbaikan disfungsi sirkulasi, penekanan
aktivitas sistim renin-angiotensin-aldosteron dan sistim saraf simpatis serta peningkatan laju
filtrasi glomerulus dan ekskresi natrium.1,5 Pada pemakaian ornipresin dan albumin dalam
waktu yang lebih lama, fungsi ginjal membaik pada 4 dari 8 pasien sindrom hepatorenal.
Namun terapi tersebut harus dihentikan karena adanya efek samping, termasuk kejadian
iskemia miokard akibat ornipresin.1 Penelitian lainnya melaporkan adanya manfaat
pemberian jangka panjang (sampai 27 hari) ornipresin intravena dan dopamin pada 7 pasien
sindrom hepatorenal tipe 1 dimana sebanyak 4 pasien mengalami perbaikan dan 1 pasien
mengalami komplikasi iskemia.1
Terlipresin (glipresin) merupakan analog vasopresin sintetik, diubah menjadi
vasopresin secara lambat in vivo dan mempunyai waktu paruh lebih panjang sehingga dapat
diberikan sebagai bolus setiap 4 jam. Efek sampingnya lebih sedikit dibandingkan ornipresin.
Pemberian terlipresin pada pasien sindroma hepatorenal tipe 1 selama 2 hari (2 mg/hari)
menunjukkan peningkatan tekanan darah, perbaikan laju filtrasi glomerulus, penurunan kadar
kreatinin serum dan peningkatan produksi urine.15,33 Perbaikan sindrom hepatorenal juga telah
dilaporkan pada 7 dari 9 pasien yang mendapat terapi terlipresin dan albumin intravena
jangka panjang (5-15 hari) tanpa efek samping.16 Pemberian terlipresin dan infus albumin
pada pasien hepatitis alkoholik berat disertai sindrom hepatorenal menunjukkan penurunan
kreatinin serum, perbaikan fungsi sirkulasi, termasuk tekanan rerata arterial dan penekanan
aktivitas sistim renin angiotensin.17 Terlipresin sebagai vasokonstriktor bermanfaat diberikan
pada pasien sindrom hepatorenal tipe 1 sebelum dilakukan transplantasi hati dan sedikit
diketahui manfaat obat vasokonstriktor untuk sindrom hepatorenal tipe 2 yang akan
dilakukan transplantasi hati.18 Namun terlipresin dapat menyebabkan komplikasi iskemia,
terutama pada pasien syok hipovolemik berat dan kontraindikasi pada pasien dengan penyakit
kardiovaskular.19 Penelitian Restuccia dkk (2004) melaporkan 9 pasien sindrom hepatorenal
(3 SHR tipe 1 dan 6 SHR tipe 2) yang mendapat terapi vasokonstriktor sebelum transplantasi
hati dibandingkan dengan kontrol 27 pasien transplantasi hati yang tidak menderita sindrom
hepatorenal didapatkan outcome yang sama baik, baik dari segi prognosis maupun terjadinya
komplikasi. Ketahanan hidup 3 tahun setelah transplantasi hati pada pasien sindrom
hepatorenal yang mendapat terapi vasokonstriktor sebelum transplantasi ternyata tidak
banyak berbeda dengan pasien yang tidak menderita sindrom hepatorenal (100 % vs 83 %)
16
sehingga manfaat terapi vasokonstriktor sebelum transplantasi hati untuk pasien sindrom
hepatorenal tipe 1 dan tipe 2 telah terbukti.20
Okreotid merupakan analog somatostatin jangka panjang yang mempunyai efek
terhadap hemodinamik splanknik, yaitu sebagai inhibitor pelepasan vasodilator endogen.
Midodrin merupakan suatu obat simpatomimetik / vasokonstriktor sistemik (agonis α-1
adrenergik).5 Pemberian okreotid sebagai obat tunggal kurang memberikan manfaat pada
pasien sindrom hepatorenal sehingga pemberian okreotid jangka panjang perlu
dikombinasikan dengan midodrin dan albumin intravena.21 Pemberian midodrin dan okreotid
dapat memperbaiki hemodinamik ginjal dan sistemik.32 Penelitian pada 8 pasien sindrom
hepatorenal tipe 1 didapatkan perbaikan fungsi ginjal dan tidak didapatkan efek samping.
Ketahanan hidup cukup lama pada 4 dari 8 pasien sehingga memungkinkan dilakukan
transplantasi hati.1,22
Pada suatu penelitian tidak terkontrol dilakukan pemberian Norepinefrin dan albumin
pada 12 pasien dengan sindrom hepatorenal tipe 1 dan didapatkan penurunan kadar kreatinin
serum pada 83 % pasien. Pemberian norepinefrin dapat memperbaiki tekanan darah pada
pasien sindrom hepatorenal dengan target peningkatan MAP (mean arterial pressure)
sekurang-kurangnya 10 mmHg.35
Rekomendasi terapi vasokonstriktor pada sindrom hepatorenal, yaitu7 :
1) Pemberian salah 1 obat berikut atau kombinasinya :
- Norepinefrin : 0,5 – 3 mg/jam intravena
- Midodrin : 3 x 7,5 mg po, ditingkatkan menjadi 3 x 12,5 mg (bila diperlukan)
dikombinasikan dengan okreotid 3 x 100 µgr subkutan dan dapat ditingkatkan 3 x 200
µgr subkutan (bila diperlukan)
- Terlipresin : 0,5 – 2 mg intravena setiap 4-12 jam
2) Pemberian albumin secara bersamaan (1 gr/kgBB iv hari pertama, diikuti 20-40 gram
setiap hari)
3) Lama terapi : 5-15 hari
4) Target terapi : penurunan kadar kreatinin serum < 1,5 mg/dl
3) Terapi antioksidan
Pada penelitian pendahuluan tanpa kontrol didapatkan terjadinya perbaikan pada
fungsi ginjal setelah pemberian n-acetyl cystein intravena. Tujuh dari 12 pasien bertahan
17
hidup selama 3 bulan, termasuk 2 pasien yang menjalani transplantasi hati.1 Pada penelitian
lain, N-acetyl cystein intravena diberikan pada 12 pasien sindrom hepatorenal selama 5 hari
dan didapatkan hasil peningkatan laju filtrasi glomerulus (24 menjadi 43 ml/menit),
peningkatan produksi urine dan peningkatan bermakna dari ekskresi natrium.5,34 Pengobatan
ini dapat ditoleransi dengan baik tanpa efek samping dan mempunyai efek antioksidan.
Peningkatan ketahanan hidup 1 bulan (67 %) dan 3 bulan (58 %) juga dijumpai.5
c. Tindakan invasif1,8,9
1) Transplantasi hati
Angka harapan hidup sindrom hepatorenal tipe 1 umumnya pendek, yaitu dari
beberapa hari atau < 2 minggu sehingga transplantasi hati pada sindrom hepatorenal tipe 1
sulit dilaksanakan.
Pada sindrom hepatorenal tipe 2, transplantasi hati terbukti bermanfaat pada 90 %
kasus dengan angka harapan hidup yang lebih kurang sama dengan transplantasi hati pada
pasien tanpa sindrom hepatorenal.
2) TIPS (Transjugular intrahepatic portosystemic shunt)
TIPS dapat memperbaiki perfusi ginjal dan menurunkan aktivitas sistim RAAS (renin
angiotensin aldosteron system). Pada pasien sindrom hepatorenal yang tidak dilakukan
transplantasi hati, TIPS bermanfaat pada 75 % kasus, dengan angka harapan hidup sindrom
hepatorenal tipe 2 lebih baik dibandingkan tipe 1 (70 % vs 20 %).
Brensing dkk melaporkan studi prospektif sekitar 20 bulan terhadap 31 pasien sirosis
hepatis dengan sindrom hepatorenal yang bukan kandidat transplantasi hati untuk meneliti
efektivitas TIPS. Setelah 2 minggu pemasangan TIPS terjadi perbaikan faal ginjal (penurunan
kadar kreatinin serum dan peningkatan laju filtrasi glomerulus) dan peningkatan ekskresi
natrium urine.30 Ketahanan hidup setelah pemasangan TIPS dalam waktu 3 bulan, 6 bulan, 12
bulan dan 18 bulan adalah masing-masing 81 %, 71 %, 48 % dan 35 %. Dengan analisis
regresi multivariat dididapatkan bahwa kadar bilirubin dan tipe sindrom hepatorenal
merupakan prediktor ketahanan hidup yang independen.13 TIPS dapat memperbaiki fungsi
ginjal dan dapat dilakukan sebelum transplantasi hati.12
18
3) Extracorporeal albumin dyalisis
Metode ini merupakan modifikasi dialisis dengan menggunakan albumin untuk
mengikat dialisat. Metode ini dikenal sebagai MARS (molecular absorbent recirculating
system). Penelitian masih dilakukan terbatas. Pada sindrom hepatorenal MARS tampaknya
cukup bermanfaat dan umumnya digunakan untuk persiapan transplantasi hati. Penurunan
kadar hormon aldosteron sebesar 40 % dan aktivitas renin plasma sebesar 11 % setelah
dialisis albumin diduga berperan terhadap perbaikan klinis yang dijumpai pada pasien
sindrom hepatorenal.14
Hemodialisis belum pernah secara jelas diteliti pada pasien sindrom hepatorenal,
namun tampaknya kurang efektif dan efek samping tindakan cukup berat, misalnya hipotensi,
koagulopati, sepsis dan perdarahan gastrointestinal sehingga hemodialisis tidak disarankan
sebagai terapi rutin pada pasien sindrom hepatorenal. Namun hemodialisis dapat dilakukan
sebelum transplantasi hati pada pasien-pasien yang tidak respons terhadap terapi medis atau
bila terdapat kemungkinan terjadinya perbaikan fungsi hati. Dialisis juga dapat dilakukan
pada pasien-pasien dengan kerusakan hati akut dan berpotensi reversibel karena fungsi ginjal
akan membaik bersamaan dengan perbaikan fungsi hati.31
2.9. Prognosis
Pasien-pasien yang memberikan respons dengan terapi vasokonstriktor mempunyai
angka harapan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien-pasien yang tidak
memberikan respons terhadap pengobatan tersebut sehingga terapi dengan obat
vasokonstriktor mungkin memperbesar kemungkinan pasien dengan sindroma hepatorenal
akan bertahan hidup lebih lama sambil menunggu transplantasi hati.7
Faktor-faktor prediksi yang digunakan untuk meramalkan prognosis penderita sirosis
hepatis dengan sindrom hepatorenal adalah adanya asites yang masif, sensitivitas rendah
terhadap terapi diuretik, rekurensi cepat asites setelah parasentesis, kadar natrium urine
menurun, hiponatremia serta peningkatan ureum dan kreatinin serum secara progresif.
19
BAB III
Kesimpulan
Sindrom hepatorenal adalah gangguan fungsi ginjal sekunder pada penyakit hati berat,
baik yang akut maupun kronik serta bersifat fungsional dan progresif. Patogenesis sindrom
hepatorenal adalah akibat penyakit hati berat dan adanya hipertensi portal akan
mengakibatkan terjadinya vasodilatasi arteri splanknik yang akan mengakibatkan
hipovolemia arterial sentral sehingga merangsang aktivasi sistim saraf simpatis, renin-
angiotensin-aldosteron dan hormon antidiuretik. Di ginjal terjadi ketidakseimbangan
mekanisme kompensasi, yaitu peningkatan vasokonstriktor disertai penurunan vasodilator.
Faktor risiko terjadinya sindrom hepatorenal antara lain SBP, malnutrisi, volume hati
yang mengecil, perdarahan gastrointestinal, varises esofagus, terapi diuretik, gangguan
elektrolit, obat-obatan nefrotoksik, pungsi asites yang kurang tepat dan adanya penurunan
volume plasma, misalnya diare menetap dan restriksi cairan berlebihan.
Sindrom hepatorenal diklasifikasi menjadi tipe 1 dan tipe 2. Sindrom hepatorenal tipe
1 merupakan bentuk akut dengan manifestasi klinis yang sangat progresif, sedangkan
sindrom hepatorenal tipe 2 merupakan bentuk kronik, biasanya terjadi pada pasien dengan
asites yang resisten terhadap diuretik dan ditandai dengan penurunan GRF yang lebih lambat.
Diagnosis didasarkan terutama adanya kelainan pemeriksaan faal ginjal, penurunan
laju filtrasi glomerulus, tidak dijumpai penyebab lain kegagalan faal ginjal, tidak dijumpai
perbaikan menetap faal ginjal setelah terapi diuretik dihentikan dan terapi cairan pada pasien
dengan penyakit hati akut / kronik dengan kegagalan hati tingkat lanjut dan hipertensi portal.
Pencegahan terjadinya sindrom hepatorenal antara lain pencegahan infeksi bakterial,
pemberian albumin, pemakaian diuretik secara hati-hati dan menghindari pemakaian obat-
obatan nefrotoksik. Penatalaksanaan sindrom hepatorenal meliputi penatalaksanaan umum,
pengobatan medikamentosa (vasodilator, vasokonstriktor dan n-acetyl cystein) dan tindakan
invasif (transplantasi hati, TIPS dan Extracorporeal albumin dyalisis).
Pasien-pasien yang memberikan respons dengan terapi vasokonstriktor mempunyai
angka harapan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien-pasien yang tidak
memberikan respons terhadap pengobatan tersebut sehingga terapi dengan obat
vasokonstriktor mungkin memperbesar kemungkinan pasien dengan sindroma hepatorenal
akan bertahan hidup lebih lama sambil menunggu transplantasi hati.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Sherlock S, Dooley J. Disease of the liver and biliary system. 11 th edition. Oxford:
Blackwell Science Ltd; 2002. p. 140-6.
2. Bacon BR. Cirrhosis and Its Complications. In: Braunwald E, Fauci AS, Kasper
DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editors. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. 17th ed. New York: McGraw Hill; 2008: p. 1971-80.
3. Wibawa IGN. Sindrom Hepatorenal. In : Sulaiman HA, Akbar HN, Lesmana LA,
Noer HMN, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. 1st ed. Jakarta: Jayabadi; 2007:
p. 389-99.
4. Setiawan PB, Kusumobroto H. Sindroma Hepatorenal. Dalam : Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simandibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI; 2009: p. 681-4.
5. Dagher L, Moore K. The hepatorenal syndrome. Gut 2001; 49: 729-37.
6. Gines P, Arroyo V. Hepatorenal syndrome. J Am Soc Nephrol 1999; 10: 1833-9.
7. Gines P, Cardenas A, Arroyo V, Rodes J. Management of cirrhosis and ascites. N
Engl J Med 2004; 350: 1646-54.
8. Wong F. Risk stratification and treatment of ascites and hepatorenal syndrome. In:
Arroyo V, Abraldes JG, Gines P, Tapias JMS, Forns X, Bataller R, editors.
Treatment of Liver Disease. 1st edition. Barcelona: Ars Medica; 2009: p. 179-92.
9. Arroyo V, Gines P, Guevara M, Rodes J. Renal Dysfunction in Cirrhosis :
Pathophysiology, Clinical Features and Therapy. In: Boyer TD, Wright TL,
Manns MP. Hepatology-a Textbook of Liver Disease. 5th edition. New York:
Elsevier Inc; 2006: p. 417-52.
10. Arroyo V, Colmenero J. Ascites and hepatorenal syndrome in cirrhosis:
pathophysiological basis of therapy and current management. J Hepatol 2003; 38:
569-89.
11. Moore K. Endothelin and vascular function in liver disease. Gut 2004; 53: 159-61.
12. Suzuki H, Stanley AJ. Current management and novel therapeutic strategies for
refractory ascites and hepatorenal syndrome. QJ Med 2001; 94: 293-300.
21
13. Brensing KA, Textor J, Prez J. Long term outcome after transjugular intrahepatic
portosystemic stent-shunt in non-transplant cirrhotic with hepatorenal syndrome: a
phase II study. Gut 2000; 47: 288-95.
14. Mitzner SR, Stange J, Klammt. Extracorporeal detoxification using the Molecular
Adsorbent Recirculating System for critically ill patients with liver failure. J Am
Soc Nephrol 2001; 12: 575-82.
15. Hadengue A, Gadano A, Moreau R. Beneficial effect of the 2-day administration
of terlipressin in patients with cirrhosis and hepatorenal syndrome. J Hepatol
1998; 29: 565-70.
16. Uriz J, Cardenas A, Sort P. Terlipressin plus albumin infusion : an effective and
safe therapy of hepatorenal syndrome. J Hepatol 2000; 33: 43-8.
17. Madhotra R, Gilmore IT. Recent developments in the treatment of alcoholic
hepatitis. QJ Med 2003; 96: 391-400.
18. Moreau R. The growing evidence that renal function should be improved in
patients with cirrhosis and hepatorenal syndrome before liver transplantation. J
Hepatol 2004; 40: 159-61.
19. Dib N, Oberti F, Cales P. Current management of the complication of portal
hypertension : variceal bleeding and ascites. CAMJ 2006; 174: 1433-43.
20. Restuccia T, Ortega R, Guevara M. Effect of treatment of hepatorenal syndrome
before transplantation on posttransplantation outcome : a case-control study. J
Hepatol 2004; 40: 140-6.
21. Pomier-Layrargues G, Paquin SC, Hassoun Z. Ocreotide in hepatorenal
syndrome : a randomized, double-blind, placebo controlled, cross-over study.
Hepatology 2003; 38: 238-43.
22. Angeli P, Volpin R, Gerunda G. Reversal of type I hepatorenal syndrome with the
administration of midodrine and ocreotide. Hepatology 1999; 29: 1690-7.
23. Gines, P, Schrier, RW. Renal failure in cirrhosis. N Engl J Med 2009; 361:1279.
24. Gines, P, Guevara, M, Arroyo, V, Rodes, J. Hepatorenal syndrome. Lancet 2003;
362:1819.
25. Wadei, HM, Mai, ML, Ahsan, N, Gonwa, TA. Hepatorenal syndrome:
pathophysiology and management. Clin J Am Soc Nephrol 2006; 1:1066.
22
26. Arroyo, V, Gines, P, Gerbes, AL, et al. Definition and diagnostic criteria of
refractory ascites and hepatorenal syndrome in cirrhosis. International Ascites
Club. Hepatology 1996; 23:164.
27. Salerno, F, Gerbes, A, Gines, P, et al. Diagnosis, prevention and treatment of
hepatorenal syndrome in cirrhosis. Gut 2007; 56:1310.
28. Gines, A, Escorsell, A, Gines, P, et al. Incidence, predictive factors, and treatment
of the hepatorenal syndrome with ascites. Gastroenterology 1993; 105:229.
29. Akriviadis, E, Botla, R, Briggs, W, et al. Pentoxifylline improves short-term
survival in severe acute alcoholic hepatitis: a double-blind, placebo-controlled
trial. Gastroenterology 2000; 119:1637.
30. Brensing, KA, Textor, J, Strunk, H, et al. Transjugular intrahepatic portosystemic
stent-shunt for hepatorenal syndrome. Lancet 1997; 349:697.
31. Arroyo, V, Guevara, M, Gines, P. Hepatorenal syndrome in cirrhosis:
pathogenesis and treatment. Gastroenterology 2002;122:1658.
32. Kalambokis, G, Economou, M, Fotopoulos, A, et al. The effects of chronic
treatment with octreotide versus octreotide plus midodrine on systemic
hemodynamics and renal hemodynamics and function in nonazotemic cirrhotic
patients with ascites. Am J Gastroenterol 2005; 100:879.
33. Gluud, LL, Kjaer, MS, Christensen, E. Terlipressin for hepatorenal syndrome.
Cochrane Database Syst Rev 2006; :CD005162.
34. Holt, S, Goodier, D, Marley, R, et al. Improvement in renal function in
hepatorenal syndrome with N-acetylcysteine. Lancet 1999; 353:294.
35. Duvoux, C, Zanditenas, D, Hezode, C, Chauvat, A. Effects of noradrenalin and
albumin in patients with type I hepatorenal syndrome: a pilot study. Hepatology
2002; 36:374.
23