contoh pasca laarva.pdf
-
Upload
aan-didian -
Category
Documents
-
view
43 -
download
0
Transcript of contoh pasca laarva.pdf
PENGARUH PEMBERIAN BAKTERI PROBIOTIK Vibrio SKT-b
MELALUI Artemia DENGAN DOSIS YANG BERBEDA
TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP
PASCA LARVA UDANG WINDU Penaeus monodon
ASRI SUTANTI
SKRIPSI
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :
PENGARUH PEMBERIAN BAKTERI PROBIOTIK Vibrio SKT-bMELALUI Artemia DENGAN DOSIS YANG BERBEDA TERHADAPPERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP PASCA LARVAUDANG WINDU Penaeus monodon
adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan merupakan bagian dari penelitianHibah Bersaing dengan judul: Bakteri probiotik dalam budidaya udang:seleksi, mekanisme aksi, karakterisasi dan aplikasinya sebagai agenbiokontrol. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip darikarya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkandalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, September 2009
ASRI SUTANTIC14104064
RINGKASAN
ASRI SUTANTI. Pengaruh Pemberian Bakteri Probiotik Vibrio SKT-b Melalui
Artemia dengan Dosis yang Berbeda terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan
Hidup Pasca Larva Udang Windu Penaeus monodon. Dibimbing oleh
WIDANARNI dan YANI HADIROSEYANI
Udang windu Penaeus monodon merupakan salah satu komoditas ekspor
unggulan sektor perikanan. Namun dalam perkembangannya, produksi udang
windu di Indonesia mengalami penurunan karena menurunnya kualitas
lingkungan budidaya dan meningkatnya serangan penyakit. Salah satu penyakit
yang sering menyerang dan dapat menyebabkan kematian masal pada udang
windu adalah penyakit vibriosis atau penyakit udang menyala yang disebabkan
oleh bakteri Vibrio harveyi. Penggunaan antibiotik dan bahan kimia tidak
selalu efektif untuk mengatasi masalah tersebut bahkan dapat menimbulkan
masalah baru yang lebih berbahaya. Upaya yang akhir-akhir ini banyak
dilakukan adalah dengan aplikasi probiotik karena dianggap lebih aman dan
ramah lingkungan. Salah satu bakteri probiotik yang telah diuji mampu
meningkatkan kelangsungan hidup larva udang windu dalam melawan serangan
bakteri patogen V. harveyi adalah Vibrio SKT-b yang diisolasi dari
Skeletonema. Pemberian bakteri probiotik dapat diberikan langsung ke dalam
media pemeliharaan udang, melalui pakan buatan atau pakan alami seperti
Artemia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian bakteri
probiotik Vibrio SKT-b melalui Artemia dengan dosis yang berbeda terhadap
pertumbuhan dan kelangsungan hidup pasca larva udang windu.
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen
Budidaya Perairan pada bulan Juli-Desember 2008. Hewan uji yang digunakan
adalah udang windu stadia pasca larva (PL) 10. Penelitian ini dilakukan
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 3
ulangan yaitu PL udang diberi pakan Artemia yang telah diberi bakteri probiotik
Vibrio SKT-b dengan dosis yang berbeda. Pemberian pakan dilakukan 4 kali
sehari yaitu pada pukul 06.00, 12.00, 18.00, dan 24.00 WIB. Pakan yang
diberikan adalah naupli Artemia yang telah diperkaya dengan bakteri probiotik
Vibrio SKT-b. Pengkayaan dilakukan dengan cara menambahkan bakteri
probiotik Vibrio SKT-b pada naupli Artemia dalam media air laut. Kepadatan
naupli adalah 100 individu/ml. Lama pengkayaan adalah 4 jam. Dosis bakteri
probiotik yang digunakan adalah 0 CFU/ml (sebagai kontrol), 103 CFU/ml (A),
104 CFU/ml (B), 105 CFU/ml (C), dan 106 CFU/ml (D). Untuk mengetahui
kandungan nutrisi pada naupli Artemia yang telah diperkaya dilakukan analisis
proksimat. Pemeliharaan pasca larva udang windu dilakukan pada wadah
berbentuk tabung yang terbuat dari kaca dan diisi dengan air laut 2 liter serta
kepadatan 10 ekor/liter. Pada awal dan akhir pemeliharaan dilakukan pengukuran
panjang dan bobot larva udang windu, penghitungan jumlah bakteri pada tubuh
larva udang windu dan air media pemeliharaan, serta pengukuran kualitas air.
Data pertumbuhan dan kelangsungan hidup dianalisis dengan uji ANOVA dan
diuji lanjut dengan Uji Duncan jika hasil uji berbeda nyata.
Laju pertumbuhan panjang dan bobot pasca larva udang windu
memperlihatkan peningkatan dengan semakin meningkatnya dosis bakteri
probiotik pada pakan yang diberikan. Laju pertumbuhan panjang dan bobot pada
perlakuan kontrol, A, B, C, dan D secara berturut-turut adalah 4.59 %, 4.84 %,
4.90 %, 5.16 %, 5.59 % untuk laju pertumbuhan panjang dan 18.69 %, 19.23 %,
19.45 %, 20.75 % , 22.53 % untuk laju pertumbuhan bobot. Tingkat kelangsungan
hidup pada perlakuan kontrol, A, B, C, D secara berturut-turut adalah 98.3 %, 100
%, 96.7 %, 95 % dan 95 %. Hasil uji statistik pada selang kepercayaan 95 %
menunjukkan bahwa pemberian bakteri probiotik Vibrio SKT-b melalui Artemia
dengan dosis yang berbeda berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan panjang
dan bobot, namun tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kelangsungan hidup.
Hasil yang terbaik diperoleh pada perlakuan D (106 CFU/ml) dibandingkan
dengan kontrol dan perlakuan lainnya.
PENGARUH PEMBERIAN BAKTERI PROBIOTIK Vibrio SKT-b
MELALUI Artemia DENGAN DOSIS YANG BERBEDA
TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP
PASCA LARVA UDANG WINDU Penaeus monodon
ASRI SUTANTI
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana PerikananPada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
SKRIPSI
Judul : Pengaruh Pemberian Bakteri Probiotik Vibrio SKT-bMelalui Artemia dengan Dosis yang Berbeda terhadapPertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Pasca LarvaUdang Windu Penaeus monodon
Nama Mahasiswa : Asri Sutanti
Nomor Pokok : C14104064
Disetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Widanarni Ir. Yani Hadiroseyani, MMNIP: 19760927 199403 2 001 NIP: 19600131 198603 2 002
Diketahui,Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya. M.ScNIP: 19610410 198601 1 002
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi dengan judul
”Pengaruh Pemberian Bakteri Probiotik Vibrio SKT-b Melalui Artemia dengan
Dosis yang Berbeda terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Pasca Larva
Udang Windu Penaeus monodon” ini dapat diselesaikan dengan baik.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: Dr.
Widanarni selaku dosen pembimbing pertama dan pembimbing akademik yang
telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan bantuan kepada penulis selama
penelitian dan penyusunan skripsi ini; Ir. Yani Hadiroseyani, MM selaku dosen
pembimbing kedua yang banyak memberikan bimbingan dan arahan dalam
penyusunan skripsi ini; Julie Ekasari, S.Pd, M.Sc selaku dosen penguji tamu yang
telah memberikan banyak masukan dalam penyusunan skripsi ini. Tidak lupa
penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orangtua dan keluarga besar
penulis atas doa dan kasih sayang serta dukungan yang diberikan selama penulis
menyelesaikan skripsi. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada Bapak
Ranta selaku teknisi laboratorium, teman-teman BDP ’41, serta rekan-rekan di
Laboratorium Kesehatan Ikan yang telah banyak membantu penulis atas segala
hal.
Penulis menyadari bahwa hasil karya ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu penulis berharap adanya kritikan dan masukan dari semua pihak demi
kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi kita semua. Amin.
Bogor, September 2009
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kulon Progo 16 Maret 1985. Penulis merupakan
anak ke-lima dari lima bersaudara dari Ayah Sagi Ranuwiryanto dan Ibu Suparti.
Pendidikan formal yang dilalui penulis adalah SMU Negeri 1 Wates lulus
tahun 2003. Penulis memasuki Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB
(Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) pada tahun 2004 dan memilih Program
Studi Teknologi dan Manajemen Akuakultur, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan.
Penulis telah melakukan praktek lapang pembenihan ikan mas Cyprinus
carpio di Balai Benih Ikan Sentral (BBIS) Punten, Malang dan pembesaran udang
vanname Penaeus vannamei di Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo,
Jawa Timur pada tahun 2007. Penulis juga menjadi asisten praktikum pada mata
kuliah Dasar-Dasar Mikrobiologi Akuatik (2006-2008), Nutrisi Ikan (2006-2008),
dan Teknologi Produksi Pakan Alami (2007-2008).
Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
penulis melakukan penelitian dengan judul ”Pengaruh Pemberian Bakteri
Probiotik Vibrio SKT-b Melalui Artemia dengan Dosis yang Berbeda
terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Pasca Larva Udang
Windu Penaeus monodon ”.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iDAFTAR TABEL............................................................................................... iiiDAFTAR GAMBAR .......................................................................................... ivDAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... v
I. PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1 11.2 Tujuan....................................................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA2.1 Biologi Udang Windu Penaeus monodon ............................................... 32.2 Artemia ..................................................................................................... 52.3 Probiotik dalam Akuakultur ..................................................................... 62.4 Vibrio SKT-b............................................................................................ 72.5 Kualitas Air .............................................................................................. 8
III. BAHAN DAN METODE3.1 Waktu dan Tempat ................................................................................... 103.2 Alat dan Bahan ......................................................................................... 10
3.2.1 Alat .................................................................................................. 103.2.2 Bahan............................................................................................... 10
3.2.2.1 Media Pemeliharaan Udang Windu ......................................... 103.2.2.2 Udang Windu ........................................................................... 103.2.2.3 Bakteri ...................................................................................... 113.2.2.4 Artemia ..................................................................................... 113.2.2.5 Media Kultur Bakteri ............................................................... 11
3.3 Metode Penelitian..................................................................................... 123.3.1 Pengukuran Konsentrasi Bakteri ..................................................... 123.3.2 Pengkayaan Artemia dengan Bakteri Vibrio SKT-b ....................... 123.3.3 Percobaan Probiotik pada Udang .................................................... 133.3.4 Penghitungan Total Vibrio .............................................................. 13
3.3.4.1 Vibrio pada Udang Windu........................................................ 133.3.4.2 Vibrio pada Media Pemeliharaan Udang ................................. 133.3.4.3 Vibrio pada Artemia ................................................................. 14
3.4 Parameter Pengamatan ............................................................................. 143.4.1 Pertumbuhan Udang (α) .................................................................. 143.4.2 Tingkat Kelangsungan Hidup Udang.............................................. 143.4.3 Kualitas Air ..................................................................................... 153.4.4 Analisis Proksimat Artemia............................................................. 153.4.5 Jumlah Total Bakteri Vibrio ............................................................ 15
3.5 Rancangan Percobaan .............................................................................. 15
ii
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN4.1 Hasil ......................................................................................................... 164.2 Pembahasan.............................................................................................. 23
V. KESIMPULAN DAN SARAN4.1 Kesimpulan............................................................................................... 284.2 Saran......................................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 29LAMPIRAN ........................................................................................................ 32
iii
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Hasil analisa proksimat Artemia pada semua perlakuan.............................. 22
2. Nilai parameter kualitas air selama pemeliharaan pasca larva udangwindu Penaeus monodon ............................................................................. 23
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Panjang rata-rata pasca larva udang windu Penaeus monodon pada dosispemberian probiotik yang berbeda selama masa pemeliharaan ................... 16
2. Laju pertumbuhan panjang pasca larva udang windu Penaeus monodonpada dosis pemberian probiotik yang berbeda selama masa pemeliharaan . 17
3. Bobot rata-rata pasca larva udang windu Penaeus monodon pada dosispemberian probiotik yang berbeda selama masa pemeliharaan ................... 18
4. Laju pertumbuhan bobot pasca larva udang windu Penaeus monodonpada dosis pemberian probiotik yang berbeda selama masa pemeliharaan . 19
5. Tingkat kelangsungan hidup pasca larva udang windu Penaeus monodonpada dosis pemberian probiotik yang berbeda selama masa pemeliharaan . 20
6. Jumlah total Vibrio pada media pemeliharaan pasca larva udang winduPenaeus monodon ........................................................................................ 20
7. Jumlah total Vibrio dalam tubuh pasca larva udang windu Penaeusmonodon ...................................................................................................... 21
8. Jumlah total Vibrio pada Artemia................................................................. 22
v
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Lay out wadah pemeliharaan pasca larva udang windu Penaeus monodonselama pemeliharaan .................................................................................... 32
2. Komposisi dan cara pembuatan media untuk kultur bakteri ........................ 33
3. Metode pengenceran serial menggunakan tabung reaksi dan penyebaranpada media agar............................................................................................ 35
4. Prosedur penghitungan bakteri dengan menggunakan metode cawansebar (Hadioetomo,1993) ............................................................................. 36
5. Metode pengkayaan Artemia dengan bakteri probiotik Vibrio SKT-b ........ 37
6. Data sampling pertumbuhan panjang dan bobot pasca larva udang winduPenaeus monodon selama pemeliharaan...................................................... 38
7. Data kelangsungan hidup pasca larva udang windu Penaeus monodonselama pemeliharaan .................................................................................... 39
8. Hasil analisa sidik ragam laju pertumbuhan panjang pasca larva udangwindu Penaeus monodon selama pemeliharaan........................................... 40
9. Hasil uji lanjut laju pertumbuhan panjang pasca larva udang winduPenaeus monodon selama pemeliharaan...................................................... 40
10. Hasil analisa sidik ragam laju pertumbuhan bobot pasca larva udangwindu Penaeus monodon selama pemeliharaan........................................... 41
11. Hasil uji lanjut laju pertumbuhan bobot pasca larva udang winduPenaeus monodon selama pemeliharaan...................................................... 41
12. Hasil analisa sidik ragam kelangsungan hidup pasca larva udang winduPenaeus monodon selama pemeliharaan...................................................... 42
13. Hasil uji lanjut kelangsungan hidup pasca larva udang windu Penaeusmonodon selama pemeliharaan .................................................................... 42
14. Kelimpahan total Vibrio pada air media pemeliharan pasca larva udangwindu Penaeus monodon .............................................................................. 43
15. Kelimpahan total Vibrio pada pasca larva udang windu Penaeusmonodon ........................................................................................................ 44
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Udang windu Penaeus monodon merupakan salah satu komoditas ekspor
unggulan sektor perikanan. Namun dalam perkembangannya, produksi udang
windu di Indonesia mengalami berbagai masalah yang disebabkan oleh
menurunnya kualitas lingkungan budidaya dan meningkatnya serangan penyakit.
Salah satu penyakit yang sering menyerang dan dapat menyebabkan kematian
masal pada udang windu adalah penyakit vibriosis atau penyakit udang menyala
yang disebabkan oleh bakteri patogen Vibrio harveyi (Lavilla-Pitogo et al.,
1990).
Beberapa cara pengendalian sudah dilakukan seperti yang telah umum
diterapkan yaitu penggunaan antibiotik dan bahan kimia, namun cara ini tidak
selalu efektif untuk mengatasi masalah tersebut bahkan dapat menimbulkan
masalah baru yang lebih berbahaya. Menurut Moriarty (1999) penggunaan
antibiotik untuk membunuh bakteri menimbulkan strain patogen yang resisten
terhadap antibiotik.
Upaya yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah dengan aplikasi
probiotik karena dianggap lebih aman dan ramah lingkungan. Menurut
Verschuere et al., (2000) probiotik merupakan agen mikrob hidup yang
memberikan pengaruh menguntungkan pada inang dengan memodifikasi
komunitas mikrob atau berasosiasi dengan inang, menjamin perbaikan dalam
penggunaan pakan atau memperbaiki nutrisinya, memperbaiki respon inang
terhadap penyakit, atau memperbaiki kualitas air lingkungan ambangnya.
Salah satu bakteri probiotik yang telah diuji mampu meningkatkan
kelangsungan hidup udang windu dalam melawan serangan bakteri patogen V.
harveyi adalah Vibrio SKT-b (Widanarni et al., 2003). Bakteri Vibrio SKT-b
juga telah diuji mampu meningkatkan respon imun (Syahailatua, 2009) dan
pertumbuhan udang (Widanarni et al., 2008a; Praditia, 2009).
Aplikasi pemberian bakteri probiotik dapat diberikan langsung ke dalam
media pemeliharaan udang (Haryanti et al., 2000; Muliani et al., 2003), melalui
2
pakan buatan (Rengpipat et al., 1998a; Rengpipat et al., 2000) atau pakan alami
seperti Artemia (Rengpipat et al., 1998b; Widanarni et al., 2008a).
Bakteri kandidat probiotik yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah bakteri Vibrio SKT-b yang diisolasi dari Skeletonema oleh Widanarni et
al., (2003). Penelitian sebelumnya mengenai aplikasi penggunaan bakteri Vibrio
SKT-b langsung ke media pemeliharaan pada dosis tertentu terbukti mampu
meningkatkan kelangsungan hidup larva udang windu (Widanarni et al., 2008b).
Aplikasi penggunaan bakteri Vibrio SKT-b yang dicampur dengan pakan buatan
oleh Praditia (2009) dan melalui pakan alami seperti Artemia (Widanarni et al.,
2008a) mampu meningkatkan pertumbuhan udang windu. Akan tetapi, dosis
penggunaan bakteri probiotik Vibrio SKT-b melalui Artemia yang efektif
terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva udang windu belum begitu
jelas. Sehingga hal inilah yang melatarbelakangi dilakukannya penelitian ini.
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian bakteri
probiotik Vibrio SKT-b melalui Artemia dengan dosis yang berbeda terhadap
pertumbuhan dan kelangsungan hidup pasca larva udang windu Penaeus
monodon.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biologi Udang Windu Penaeus monodon
Sistem klasifikasi udang windu menurut Fabricus (1798) diacu dalam
Barnes (1980) adalah sebagai berikut:
Phylum : Arthropoda
Class : Crustacea
Sub class : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Sub ordo : Natantia
Family : Panaeidae
Genus : Penaeus
Species : Penaeus monodon
Secara morfologi, tubuh udang windu terbagi menjadi dua bagian yaitu
bagian kepala hingga dada dan abdomen yang meliputi bagian perut dan ekor.
Bagian kepala dada disebut cephalothorax, dibungkus kulit kitin yang tebal yang
disebut carapace. Bagian ini terdiri dari kepala dengan 5 segmen dan dada dengan
8 segmen. Bagian abdomen terdiri atas 6 segmen dan 1 telson (Murtidjo, 2003).
Bagian kepala-dada terdapat anggota-anggota tubuh lain yang berpasang-
pasangan berturut-turut dari muka ke belakang adalah sungut kecil (antennulla),
sirip kepala (Scophocerit), sungut besar (antenna), rahang (mandibulla), alat-alat
pembantu rahang (maxilla) yang terdiri dari dua pasang maxilliped yang terdiri
atas tiga pasang, dan kaki jalan (periopoda) yang terdiri atas lima pasang, tiga
pasang kaki jalan yang pertama ujung-ujungnya bercapit yang dinamakan chela
(Suyanto dan Mudjiman, 2003). Di bagian perut terdapat lima pasang kaki renang
(pleopoda). Pada ruas ke enam kaki renang mengalami perubahan bentuk menjadi
ekor kipas (uropoda). Ujung ruas ke enam ke arah belakang membentuk ekor
(telson) (Suyanto dan Mudjiman, 2003).
Udang windu termasuk hewan heterosexual yaitu mempunyai jenis
kelamin jantan dan betina yang dapat dibedakan dengan jelas. Jenis udang windu
betina dapat diketahui dengan adanya telikum pada kaki jalan ke-4 dan ke-5.
Telikum berupa garis tipis dan akan melebar setelah terjadi fertilisasi. Sementara,
4
jenis kelamin udang windu jantan dapat diketahui dengan adanya petasma yaitu
tonjolan di antara kaki renang pertama (Murtidjo, 2003).
Selama siklus hidupnya, larva udang windu mengalami beberapa
perubahan bentuk atau pergantian stadia. Perkembangan larva diawali dari stadia
nauplius yang terjadi setelah telur menetas. Menurut Shigueno (1975) telur udang
akan menetas menjadi naupli setelah 14-15 jam. Naupli masih mengandalkan
kuning telur sebagai sumber energi dan belum mengambil pakan dari luar.
Selanjutnya 30-35 jam kemudian naupli bermetamorfosis menjadi zoea. Naupli
yang baru menetas memiliki panjang tubuh 0.31-0.33 mm dengan proses
pergantian kulit sebanyak 6 kali (Martosudarmo dan Ranoemihardjo, 1983).
Kuning telur mulai menipis pada stadia zoea, sehingga dibutuhkan diatom sebagai
makanannya. Setelah melalui 3 kali molting (4-5 hari), zoea berubah menjadi
mysis. Pada stadia mysis mengalami 3 kali molting (3-5) hari sampai mencapai
stadia pasca larva. Pasca larva mulai makan hewan kecil yang aktif berenang dan
pergerakannya lambat seperti Artemia. Larva udang sampai PL-5 masih bersifat
planktonik dan mulai besifat bentik pada stadia PL-6.
Udang windu bersifat omnivora dan seringkali bersifat kanibal karena
memakan udang yang sedang molting. Udang windu tergolong hewan nocturnal
karena sebagian besar aktifitasnya seperti makan dilakukan pada malam hari
(Murtidjo, 2003). Kulit udang windu tidak elastis dan akan berganti kulit selama
pertumbuhan. Frekuensi pergantian kulit ditentukan oleh jumlah dan kualitas
makanan yang dikonsumsi, usia dan kondisi lingkungan. Setelah kulit lama
terlepas udang windu dalam kondisi lemah karena udang baru belum mengeras.
Pada saat ini udang mengalami pertumbuhan sangat pesat diikuti dengan
penyerapan sejumlah besar air. Semakin cepat udang berganti kulit maka
pertumbuhannya semakin cepat pula (Murtidjo, 2003).
5
2.2 Artemia
Artemia merupakan pakan alami yang sering digunakan sebagai pakan
larva organisme budidaya. Sistem klasifikasi Artemia menurut Barnes (1963)
adalah sebagai berikut:
Phylum : Arthropoda
Class : Crustacea
Sub class : Branchiopoda
Ordo : Anostraca
Family : Artemidae
Genus : Artemia
Species : Artemia salina
Artemia banyak ditemukan di danau-danau yang kadar garamnya sangat
tinggi sehingga disebut juga dengan brine shrimp. Secara umum Artemia dapat
hidup pada kisaran suhu 25 – 30 oC (Isnanstyo, 1995) dengan pH air yang netral
atau sedikit basa berkisar antara 7,5 – 8,5 (Mudjiman, 1989). Artemia juga
termasuk hewan euroksibion yaitu hewan yang mempunyai kisaran toleransi yang
lebar akan kandungan oksigen bahkan pada kandungan oksigen 1 mg/l masih
dapat bertahan hidup. Selain itu Artemia juga masih bertahan hidup pada
kandungan amonia yang tinggi hingga 90 mg/l (Isnanstyo, 1995).
Menurut cara reproduksinya Artemia dibagi menjadi dua yaitu Artemia
yang bersifat biseksual dan Artemia yang bersifat partenogenetik. Reproduksi
secara biseksual terjadi dengan pembuahan dan partenogenetik terjadi tanpa
pembuahan. Perkembangbiakan secara biseksual maupun partenogenetik dapat
terjadi secara ovovivipar dan ovipar tergantung kondisi lingkungan terutama
salinitas. Pada ovovivipar yang dihasilkan induk adalah anak yang disebut
nauplius dan biasa terjadi pada kondisi lingkungan yang cukup baik. Sedangkan
dengan cara ovipar yang dihasilkan induk adalah berupa telur yang bercangkang
tebal yang disebut siste dan biasa terjadi bila kondisi lingkungan memburuk
(Isnanstyo, 1995).
Artemia bersifat pemakan segala atau omnivora. Artemia dalam
mengambil makanan bersifat penyaring tidak selektif ( non-selective filter feeder),
sehingga apa saja yang dapat masuk mulut Artemia menjadi makanannya
6
(Isnanstyo, 1995). Artemia dapat memakan makanan dengan ukuran makanannya
sampai 50 mikron. Di perairan alam, yang menjadi makanan Artemia antara lain
detritus bahan organik (sisa-sisa jasad hidup), ganggang-ganggang renik
(ganggang hijau, ganggang biru, dan ganggang merah), diatome, bakteri dan
cendawan (ragi laut) (Mudjiman, 1989).
Artemia yang baru menetas disebut juga dengan naupli. Naupli berwarna
orange, berbentuk bulat lonjong dengan panjang 400 mikron dan lebar 170 mikron
(Isnanstyo, 1995) sedangkan Artemia dewasa hampir menyerupai udang kecil
dengan ukuran 10 – 20 mm (Harefa, 2003). Siste Artemia akan menetas setelah
diaerasi selama 20 jam, naupli tersebut mempunyai bagian tubuh berwarna kuning
kecoklatan, sepasang mata berwarna merah terletak disekitar kepala, dan 3 pasang
apendiks, antena I (berfungsi sebagai sensor), antena II (sebagai alat gerak dan
penyaring makanan). Naupli Artemia yang baru menetas akan memasuki fase
instar I. Pada fase ini naupli Artemia belum makan karena sistem pencernaan
belum berkembang sempurna sehingga makanan masih berasal dari kuning telur.
Setelah 8 jam naupli akan berkembang menjadi fase instar II dimana naupli sudah
dapat menyaring makanan yang berukuran 1-50 mikron (Strottup dan Lesley,
2003).
Naupli Artemia memiliki kandungan gizi yang tinggi. Menurut Garcia-
Otega (1998) dalam Strottup dan Lesley (2003) hasil proksimat naupli Artemia
mengandung 56.2 % protein, 17.0% lemak, 3.6% karbohidrat, 0% serat kasar,
7.6% abu. Kandungan protein yang tinggi ini menyebabkan Artemia digunakan
sebagai pakan alami yang sulit digantikan dengan pakan yang lain.
2.3 Probiotik dalam Akuakultur
Probiotik menurut Fuller (1992) merupakan mikroba hidup yang
ditambahkan ke dalam pakan yang dapat memberikan efek menguntungkan bagi
hewan inang dengan cara memperbaiki keseimbangan mikrob ususnya. Pada
hewan akuatik, selain saluran pencernaan, air disekeliling organisme tersebut
memegang peranan penting. Dengan demikian probiotik untuk hewan akuatik
adalah agen mikro hidup yang memberikan pengaruh menguntungkan pada inang
dengan memodifikasi komunitas mikrob atau berasosiasi dengan inang, menjamin
7
perbaikan dalam penggunaan pakan atau memperbaiki nutrisinya, memperbaiki
respon inang terhadap penyakit, atau memperbaiki kualitas air lingkungan
ambangnya (Verschuere et al., 2000).
Menurut Verschuere et al., (2000) mekanisme kerja probiotik meliputi;
produksi senyawa inhibitor, kompetisi untuk senyawa atau sumber energi yang
tersedia, kompetisi untuk pelekatan, peningkatan respon imun (kekebalan),
perbaikan kualitas air, interaksi dengan fitoplankton, sumber makro dan mikro
nutrien, dan kontribusi enzim untuk pencernaan.
Pada awalnya probiotik hanya diaplikasikan pada manusia dan hewan
ternak yang diberikan sebagai suplemen makanan. Namun, pada akhir tahun 1980
muncul aplikasi pertama mengenai kontrol biologi dalam akuakultur, dan sejak itu
penelitian tentang probiotik dalam akuakultur terus meningkat. Aplikasi
pemberian probiotik dapat ditambahkan dalam pakan atau tangki kultur dan kolam
untuk mencegah serangan infeksi atau patogen, dan seringkali diperoleh
keuntungan dari segi nutrisinya terutama jika diaplikasikan untuk organisme filter
feeder (Verschuere et al., 2000).
Beberapa peneliti telah mengaplikasikan penggunaan probiotik dalam
kegiatan budidaya udang baik diberikan langsung ke dalam media pemeliharaan
udang (Haryanti et al., 2000; Muliani et al., 2003), melalui pakan buatan
(Rengpipat et al., 1998a; Rengpipat et al., 2000) atau pakan alami seperti
Artemia (Rengpipat et al., 1998b; Widanarni et al., 2008a). Dari hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa penggunaan bakteri probiotik pada usaha budidaya
udang windu dapat meningkatkan laju pertumbuhan harian, kelangsungan hidup
dan menekan pertumbuhan bakteri patogen sehingga diperoleh kualitas produksi
udang windu yang lebih baik.
2.4 Vibrio SKT-b
Bakteri Vibrio SKT-b merupakan salah satu bakteri yang efektif
menghambat pertumbuhan Vibrio harveyi. Bakteri ini diisolasi dari Skeletonema
di Labuan, Banten dan bersifat gram negatif, berbentuk batang pendek, koloninya
berwarna kuning dengan tekstur lengket menempel pada media TCBS, berwarna
putih krem dan menyebar pada media SWC-agar, motil, dapat memanfaatkan
8
glukosa dan sukrosa, tapi tidak laktosa serta memproduksi protease dan amilase,
tapi tidak memproduksi kitinase. Hasil karakterisasi fisiologi dan biokimia serta
analisa sekuen sebagian gen 16S-rRNA menunjukkan bahwa isolat SKT-b
termasuk spesies Vibrio alginolyticus. (Widanarni et al., 2003).
Vibrio alginolyticus telah banyak digunakan sebagai probiotik pada panti
pembenihan di Ekuador (Verschuere et al., 2000). Vibrio alginolyticus yang telah
diseleksi secara nyata tidak patogen diinokulasikan setiap hari ke dalam bak-bak
pemeliharaan larva Litopenaeus vannamei. Hasilnya tingkat kelangsungan hidup
dan berat larva udang lebih tinggi dibandingkan dengan larva udang yang diberi
perlakuan antibiotik oxytetracycline dan kontrol. Widanarni et al., (2008a) dalam
penelitiannya menggunakan Vibrio SKT-b yang diberikan melalui Artemia
hasilnya juga dapat meningkatkan laju pertumbuhan harian pada larva udang
windu. Selain itu hasil pengujian terhadap patogenisitas Vibrio SKT-b pada
Artemia dan pasca larva udang windu mendapatkan hasil bahwa penggunaan
Vibrio SKT-b aman bagi individu tersebut.
2.5 Kualitas Air
Dalam budidaya udang air memegang peranan yang sangat penting baik
kualitas maupun kuantitasnya. Faktor lingkungan utama yang mempengaruhi
kehidupan udang windu antara lain oksigen terlarut (DO), suhu, pH, salinitas,
amoniak, dan nitrit.
Suhu merupakan faktor pembatas bagi kegiatan budidaya karena mampu
mempengaruhi berbagai reaksi fisika dan kimia di lingkungan dan tubuh udang.
Untuk tumbuh dan berkembang udang windu memiliki batas toleransi. Batas atas
toleransi udang windu adalah 37.5 oC dan batas bawah toleransi nya adalah 12 oC
(Pillay dan Kutty, 2005). Menurut Sumeru dan Suzy Anna (1992) suhu optimum
untuk pertumbuhan udang windu adalah 28-300 C.
Udang windu bersifat euryhaline sehingga bisa hidup pada kisaran
salinitas yang cukup luas, yaitu 3-45 ppt. Namun pada salinitas >40 ppt udang
mengalami pengerasan eksoskeleton yang dapat mengakibatkan gagal molting
(ganti kulit) (Kordi dan Tancung, 2007). Larva udang sebaiknya dipelihara dalam
9
air yang bersalinitas 28-35 ppt untuk mendapatkan pertumbuhan optimalnya
(Boyd, 1991).
Persediaan oksigen yang cukup dalam air sangat menentukan kehidupan
udang. Menurut Boyd (1991) konsentrasi oksigen kurang dari 1 mg/l akan
mengakibatkan kematian apabila berlangsung dalam beberapa jam. Kelarutan
oksigen dalam air dipengaruhi oleh suhu dan slinitas, semakin tinggi suhu dan
salinitas maka kelarutan oksigen akan berkurang (Boyd, 1991). Kandungan
oksigen terlarut yang optimal untuk pertumbuhan udang adalah 5 mg/l (Heryadi,
1993).
pH memiliki peranan yang penting dalam proses fisiologi udang windu.
Kisaran pH antara 7-8.5 merupakan kisaran pH yang optimal untuk kehidupan
udang (Sumeru dan Suzy Anna, 1992). Nilai pH yang rendah menyebabkan udang
sulit untuk ganti kulit (moulting) karena karapas lunak sehingga tidak dapat
membentuk kulit baru dan mempengaruhi pertumbuhan udang.
Sumber ammonia yang terdapat di perairan adalah nitrogen organik
(protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat di dalam tanah dan air,
yang berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota organik yang
telah mati) oleh mikroba dan jamur. Kandungan ammonia yang baik untuk
budidaya udang windu kurang dari 0.1 mg/l. Menurut Wickins (1976) dalam
Guntur (2006) kandungan ammonia 0.1 mg/l dapat menurunkan pertumbuhan 1-2
% dan pada konsentrasi 0.45 mg/l pertumbuhan menurun hingga 50%.
Nitrit biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit di perairan
alami. Nitrit merupakan senyawa peralihan antara ammonia dengan nitrat dan
antara nitrat dan gas nitrogen, sehingga nitrit diperairan bersifat tidak stabil.
Udang memiliki toleransi yang cukup besar terhadap keberadaan nitrit (NO2).
Kadar nitrit yang aman bagi pertumbuhan udang tidak lebih dari 4.5 mg/l.
Konsentrasi nitrit yang mematikan 50% populasi (LC50) udang adalah 45 mg/l
dalam waktu 96 jam (Boyd, 1990). Nitrit beracun karena mengoksidasi Fe2+ di
dalam hemoglobin, dimana dalam bentuk ini kemampuan darah untuk mengikat
oksigen sangat menurun dan berpengaruh terhadap transpor oksigen dalam darah
dan kerusakan jaringan (Kordi dan Tancung, 2007).
III. BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli hingga Desember 2008,
bertempat di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi wadah pemeliharaan
udang berbentuk tabung yang terbuat dari kaca bervolume 3 liter (toples kaca),
peralatan aerasi, selang siphon, akuarium, bak fiber 1,5 ton, Hi-blow, pemanas
(heatter), termometer, refraktometer, serokan, botol plastik, timbangan digital,
aluminium foil, pipet mikro, tabung reaksi, eppendorf, mikrotip, cawan petri,
gelas ukur, gelas piala, corong, tabung reaksi, vorteks, batang penyebar, rak
eppendorf (mikroplate), autoclave, shaker waterbath, millimeter block, botol
plastik 1.5 l, sendok plastik, dan penggerus.
3.2.2 Bahan
3.2.2.1 Media Pemeliharaan Udang
Media pemeliharaan udang berupa air laut bersalinitas 30 g/l diperoleh
dari toko ikan hias di Sindangbarang Loji dan ditampung pada bak fiber 1.5 m3.
Air laut tersebut sebelumnya disterilkan dengan menggunakan kaporit dengan
dosis 30 mg/l kemudian dinetralkan dengan Na-Thiosulfat sebanyak 10 mg/l. Air
laut diaerasi kuat selama 3 hari untuk menghilangkan residu kaporit.
3.2.2.2 Udang Windu
Udang windu stadia pasca larva (PL) 10 diperoleh dari panti pembenihan
skala rumah tangga di daerah Tanjung Pasir, Tangerang, Banten. Udang tersebut
sebelum ditebar kedalam wadah pemeliharaan, diaklimatisasi terlebih dahulu ke
dalam akuarium selama 24 jam. Kemudian ditebar kedalam wadah pemeliharaan.
Dalam penelitian ini digunakan PL udang sebanyak 300 ekor yang dipelihara
11
dalam 15 wadah secara terpisah. Kepadatan udang yang digunakan adalah 10
ekor/l atau 20 ekor/wadah. Untuk menjaga supaya suhu pada setiap wadah dalam
kondisi yang sama (homogen) dan stabil maka semua wadah diletakkan dalam
satu bak fiber yang didalamnya diisi air tawar dan dipasang alat pemanas
sebanyak 2 buah yang diatur pada suhu 280 C. Wadah pemeliharaan pasca larva
udang windu tersebut diletakkan secara acak yang dapat dilihat pada Lampiran 1.
3.2.2.3 Bakteri
Bakteri yang digunakan sebagai probiotik adalah Vibrio SKT-b yang
diisolasi dari media pemeliharaan Skeletonema sp. di lingkungan pembenihan
udang windu, Labuan Banten (Widanarni et al., 2003).
3.2.2.4 Artemia
Artemia yang digunakan dalam penelitian ini adalah Artemia dengan
merek dagang INVE, diperoleh dalam bentuk siste dalam kemasan kaleng. Siste
Artemia ditetaskan sebanyak 2 g/l air laut bersalinitas 30 g/l, diaerasi kuat, dan
dipanen setelah 24 jam. Penetasan Artemia dilakukan setiap hari selama masa
pemeliharaan larva udang windu. Jumlah Artemia yang ditetaskan disesuaikan
dengan kebutuhan makanan larva udang windu untuk semua perlakuan dalam satu
hari. Panen naupli Artemia dilakukan pada wadah pemanenan yang dibuat dari
botol plastik yang bagian luarnya ditutup dengan plastik gelap dan seperempat
bagian bawah wadah tidak ditutup. Cara pemanenan Artemia tersebut adalah
dengan mematikan aerasi selama 10 menit sehingga akan terlihat cangkang
Artemia mengapung diatas permukanaan air, naupli Artemia berkumpul di bagian
botol yang tembus cahaya (tidak tertutup plastik) dan cyste yang tidak menetas
akan tenggelam di dasar wadah. Naupli Artemia kemudian diambil dengan selang
aerasi melalui bagian bawah wadah.
3.2.2.5 Media Kultur Bakteri
Bakteri Vibrio SKT-b dipelihara dalam media Sea Water Complete (SWC-
agar) dan dikultur dalam media SWC cair. Sedangkan untuk penghitungan bakteri
12
digunakan media Thiosulphate Citrate Bile-salt Sucrose (TCBS-agar). Komposisi
bahan untuk membuat media tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2.
3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Pengukuran Konsentrasi Bakteri
Metode pengukuran konsentrasi bakteri Vibrio SKT-b dengan
menggunakan metode cawan sebar. Masing-masing isolat diambil sebanyak satu
ose dan dikultur pada media SWC cair secara aseptik, kemudian diinkubasi pada
alat shaker waterbath selama 18 jam yang diatur pada suhu 290 C dan kecepatan
140 rpm (rotation per menit) sehingga pertumbuhan bakteri optimal. Setelah 18
jam konsentrasi bakteri diukur kepadatannya dengan metode cawan sebar. Biakan
bakteri diencerkan dengan pengenceran serial dan disebar sebanyak 100 µl pada
media TCBS-agar. Cara pengenceran serial dan penyebaran bakteri pada media
agar dapat dilihat pada Lampiran 3. Cara penghitungan bakteri dengan
menggunakan metode cawan sebar dapat dilihat pada Lampiran 4. Kemudian
jumlah koloni yang tumbuh dihitung.
3.3.2 Pengkayaan Artemia dengan Bakteri Vibrio SKT-b
Naupli Artemia yang telah dipanen langsung dilakukan pengkayaan
dengan bakteri probiotik Vibrio SKT-b. Pengkayaan Artemia dengan Vibrio SKT-
b dilakukan pada wadah yang berbeda yaitu masing-masing dengan dosis A (103
CFU/ml), B (104 CFU/ml), C (105 CFU/ml), D (106 CFU/ml) dan kontrol (0
CFU/ml). Pengkayaan dilakukan selama 4 jam (Widanarni et al., 2008a) dengan
kepadatan Artemia pada masing-masing perlakuan adalah 100 individu/ml
(Achmat, 2002 dalam Guntur, 2006). Selanjutnya Artemia yang telah diperkaya
dipanen dengan cara disaring menggunakan plankton net dan dibilas dengan air
laut steril. Artemia yang telah dipanen langsung diberikan pada pasca larva udang
dan selebihnya disimpan di lemari pendingin pada suhu 40 C untuk penggunaan
selanjutnya pada hari yang bersangkutan.
13
3.3.3 Percobaan Probiotik pada Udang
Penelitian ini terdiri dari 5 perlakuan dengan 3 ulangan yaitu pasca larva
udang windu yang diberi pakan sebagai berikut:
K: Artemia tanpa pengkayaan (Kontrol)
A: Artemia yang diperkaya dengan Vibrio SKT-b dengan dosis 103CFU/ml
B: Artemia yang diperkaya dengan Vibrio SKT-b dengan dosis 104CFU/ml
C: Artemia yang diperkaya dengan Vibrio SKT-b dengan dosis 105CFU/ml
D: Artemia yang diperkaya dengan Vibrio SKT-b dengan dosis 106CFU/ml
Percobaan probiotik dilakukan selama 15 hari dan pemberian pakan 4 kali
sehari, yaitu pada pukul 06.00, 12.00, 18.00, dan 24.00 WIB. Naupli Artemia
yang diberikan sebanyak 5 individu/ml setiap hari selama perlakuan. Pada awal
pemeliharaan (t0) dan akhir pemeliharaan (t15) diamati panjang dan bobot pasca
larva udang windu. Jumlah total Vibrio pada udang dan media pemeliharaan
diamati pada hari ke-1 (t1) dan akhir pemeliharaan (t15), serta kelangsungan hidup
pasca larva udang windu.
3.3.4 Penghitungan Total Vibrio
3.3.4.1 Vibrio pada Pasca Larva Udang Windu
Penghitungan jumlah total Vibrio pada pasca larva udang yaitu udang
sebanyak 1 ekor dari setiap ulangan pada masing-masing perlakuan digerus
kemudian dilarutkan dalam 1 ml air laut steril dan diencerkan, kemudian hasil
pengenceran diambil sebanyak 100 µl untuk disebar pada media TCBS-agar.
Inkubasi dilakukan selama 24 jam pada suhu ruang (±280C) dan selanjutnya
jumlah koloni bakteri yang tumbuh dihitung.
3.3.4.2 Vibrio pada Media Pemeliharaan Udang
Penghitungan jumlah total Vibrio pada air media pemeliharaan udang
yaitu air media pemeliharaan udang dari setiap ulangan pada masing-masing
perlakuan diambil sebanyak 1 ml dan diencerkan sebanyak 2 kali pengenceran,
kemudian hasil pengenceran diambil sebanyak 100 µl untuk disebar pada media
TCBS-agar. Inkubasi dilakukan selama 24 jam pada suhu ruang (±28oC) dan
selanjutnya jumlah koloni bakteri yang tumbuh dihitung.
14
3.3.4.3 Vibrio pada Artemia
Penghitungan jumlah total Vibrio yang dilakukan pada Artemia yang telah
diperkaya dengan bakteri probiotik dengan dosis yang berbeda maupun pada
kontrol ditimbang masing-masing sebanyak 0.1 gram, kemudian digerus dan
ditambah dengan 1 ml air laut steril serta diencerkan sebanyak 2 kali pengenceran.
Hasil pengenceran tersebut kemudian diambil sebanyak 100 µl untuk disebar pada
media TCBS-agar. Inkubasi dilakukan selama 24 jam pada suhu ruang (±28oC)
dan selanjutnya jumlah koloni bakteri yang tumbuh dihitung.
3.4 Parameter Pengamatan
3.4.1 Pertumbuhan Udang (α)
Laju pertumbuhan udang dihitung berdasarkan pertumbuhan bobot dan
panjang udang, dengan rumus sebagai berikut (Huisman, 1987):
%1001t
Lo
Lt dan
%1001t
Wo
Wt
Keterangan : α = Laju pertumbuhan harian udang (%)
t = Lama waktu pemeliharaan udang (hari)
Lt = Panjang rata-rata akhir udang (cm)
Lo = Panjang rata-rata awal udang (cm)
Wt = Bobot rata-rata akhir udang (mg)
Wo = Bobot rata-rata awal udang (mg)
3.4.2 Tingkat Kelangsungan Hidup Udang
Penghitungan jumlah udang yang hidup dilakukan pada akhir minggu
kedua. Tingkat kelangsungan hidup udang dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut (Effendi,1997):
%100No
NtSR
Keterangan : SR=Tingkat kelangsungan hidup (%)
Nt =Jumlah udang yang hidup pada akhir perlakuan (ekor)
No=Jumlah udang yang hidup pada awal perlakuan (ekor)
15
3.4.3 Kualitas Air
Parameter kualitas air yang diukur antara lain suhu, oksigen terlarut (DO),
salinitas, pH, NH3, dan NO2.
3.4.4 Analisa Proksimat Artemia
Artemia yang sudah diperkaya dengan Vibrio SKT-b dengan dosis 103
CFU/ml, 104 CFU/ml, 105 CFU/ml, 106 CFU/ml, dan 0 CFU/ml (Kontrol)
dianalisa proksimat untuk mengetahui kadar protein, air, lemak, serat kasar dan
abu.
3.4.5 Jumlah Total Bakteri Vibrio
Jumlah total bakteri Vibrio pada pasca larva udang dan air media
pemeliharaan selama masa pemeliharaan dihitung dengan menggunakan metode
cawan sebar dengan perhitungan sebagai berikut (Hadioetomo, 1993):
101
fpNoNi
Keterangan: Ni = Jumlah sel bakteri (CFU/ml)
No = Jumlah koloni bakteri yang tumbuh
fp = Faktor pengenceran
3.5 Rancangan Percobaan
Percobaan ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) karena
kondisi percobaan yang digunakan relatif homogen dan hanya ada satu faktor
yang mempengaruhi hasil percobaan (Mattjik dan Sumertajaya, 2002).
Hasil penelitian yang meliputi pertumbuhan dan kelangsungan hidup pasca
larva udang dianalisis dengan uji ANOVA, karena data hanya dibedakan oleh
perlakuan yang diterapkan sehingga perlakuan yang diberikan berasal dari faktor
tunggal dan unit contoh diasumsikan homogen (Mattjik dan Sumertajaya, 2002).
Pengujian dilakukan menggunakan perangkat data SPSS 15.0 kemudian dilakukan
uji lanjut Duncan jika hasil uji berbeda nyata. Uji lanjut dilakukan untuk
mengetahui perbedaan dari tiap perlakuan yang diberikan.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Pertumbuhan Panjang Pasca Larva Udang Windu
Pertumbuhan panjang pasca larva udang windu selama pemeliharaan
diperoleh dari hasil pengukuran panjang pasca larva pada awal (t0) dan akhir
pemeliharaan (t15). Panjang rata-rata pasca larva udang windu pada kontrol dan
perlakuan pemberian bakteri probiotik Vibrio SKT-b melalui Artemia dengan
dosis yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 1. Panjang rata-rata pasca larva
udang windu pada semua perlakuan meningkat seiring dengan bertambahnya
masa pemeliharaan dan dosis probiotik yang diberikan. Nilai panjang rata-rata
pasca larva udang windu bertambah dari 0.95 cm pada awal pemeliharaan menjadi
1.87-2.15 cm pada akhir pemeliharaan. Nilai rata-rata panjang pasca larva udang
windu untuk setiap ulangan pada semua perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 6.
1.87 1.93 1.95 2.02 2.15
0.950.950.950.950.95
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
K A B C D
Perlakuan
Rat
aan
panj
ang (
cm)
Awal Akhir
Keterangan:- K= 0 CFU/ml, A=103 CFU/ml, B=104 CFU/ml, C= 105 CFU/ml, D= 106 CFU/ml
Gambar 1. Panjang rata-rata pasca larva udang windu Penaeus monodonpada dosis probiotik yang berbeda selama masa pemeliharaan
Laju pertumbuhan panjang pasca larva udang windu pada kontrol dan
perlakuan pemberian bakteri probiotik Vibrio SKT-b melalui Artemia dengan
dosis yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 2. Laju pertumbuhan panjang pasca
larva udang windu semakin tinggi seiring dengan peningkatan dosis probiotik
yang diberikan. Nilai rata-rata laju pertumbuhan panjang pada kontrol hingga
perlakuan dosis 106 CFU/ml berturut-turut adalah 4.59 %, 4.84 %, 4.90 %, 5.16
17
%, dan 5.59 %. Sedangkan nilai rata-rata laju pertumbuhan panjang untuk setiap
ulangan pada semua perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 6. Laju pertumbuhan
panjang tertinggi adalah pada perlakuan D (pengkayaan Artemia dengan probiotik
dosis 106 CFU/ml) dengan nilai rata-rata sebesar 5.59 %. Sedangkan pertumbuhan
panjang terendah adalah pada kontrol.
Hasil uji statistik pada selang kepercayaan 95 % terdapat perbedaan nyata
antara perlakuan kontrol (0 CFU/ml), A (103 CFU/ml), B (104 CFU/ml), C (105
CFU/ml), dan D (106 CFU/ml). Perlakuan D (106 CFU/ml) memiliki nilai laju
pertumbuhan panjang yang paling baik dan berbeda nyata dengan perlakuan
kontrol (0 CFU/ml), namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan A, B, dan C.
5.594.904.84 5.16
4.59
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
K A B C D
Perlakuan
Per
tum
buha
n pa
njan
g (%
)
a bab ab ab
Keterangan:- Huruf kecil dalam bar yang berbeda menunjukkan ada perbedaan (p<0.05) antar perlakuan- K= 0 CFU/ml, A=103 CFU/ml, B=104 CFU/ml, C= 105 CFU/ml, D= 106 CFU/ml
Gambar 2. Laju pertumbuhan panjang pasca larva udang windu Penaeusmonodon pada dosis probiotik yang berbeda selama masapemeliharaan
4.1.2 Pertumbuhan Bobot Pasca Larva Udang Windu
Pertumbuhan bobot pasca larva udang windu selama pemeliharaan
diperoleh dari hasil pengukuran bobot pasca larva pada awal (t0) dan akhir
pemeliharaan (t15). Bobot rata-rata pasca larva udang windu pada kontrol dan
perlakuan pemberian bakteri probiotik Vibrio SKT-b melalui Artemia dengan
dosis yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 3. Bobot rata-rata pasca larva
udang windu pada semua perlakuan meningkat seiring dengan bertambahnya
masa pemeliharaan dan dosis probiotik yang diberikan. Nilai bobot rata-rata pasca
18
larva udang windu bertambah dari 0.0025 gram pada awal pemeliharaan menjadi
0.03-0.05 gram pada akhir pemeliharaan. Nilai rata-rata bobot pasca larva udang
windu untuk setiap ulangan pada semua perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 6.
0.00250.00250.00250.00250.0025
0.034 0.035 0.0360.042
0.053
0.00
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
K A B C D
Perlakuan
Rat
aan
bobo
t (g)
Awal Akhir
Keterangan:- K= 0 CFU/ml, A=103 CFU/ml, B=104 CFU/ml, C= 105 CFU/ml, D= 106 CFU/ml
Gambar 3. Bobot rata-rata pasca larva udang windu Penaeus monodonpada dosis probiotik yang berbeda selama masapemeliharaan
Laju pertumbuhan bobot pasca larva udang windu pada kontrol dan
perlakuan pemberian bakteri probiotik Vibrio SKT-b melalui Artemia dengan
dosis yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 4. Laju pertumbuhan bobot pasca
larva udang windu semakin tinggi seiring dengan peningkatan dosis probiotik
yang diberikan. Nilai rata-rata laju pertumbuhan bobot pada kontrol hingga
perlakuan dosis 106 CFU/ml berturut-turut adalah 18.69 %, 19.23 %, 19.45 %,
20.75 %, dan 22.53 %. Sedangkan nilai rata-rata laju pertumbuhan bobot untuk
setiap ulangan pada semua perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 6. Pertumbuhan
bobot pasca larva udang windu tertinggi adalah pada perlakuan D (pengkayaan
Artemia dengan probiotik dosis 106 CFU/ml) dengan nilai rata-rata sebesar 22.53
%. Sedangkan pertumbuhan bobot terendah adalah pada kontrol.
Hasil uji statistik dengan selang kepercayaan 95 %, terdapat perbedaan
nyata antara pelakuan kontrol (0 CFU/ml), A (103 CFU/ml), B (104 CFU/ml), C
(105 CFU/ml), dan D (106 CFU/ml). Perlakuan D (106 CFU/ml) memiliki nilai
pertumbuhan bobot yang paling baik dan berbeda nyata dengan perlakuan kontrol
19
(0 CFU/ml), perlakuan A (103 CFU/ml), dan perlakuan B (104 CFU/ml), namun
tidak berbeda nyata dengan perlakuan C (105 CFU/ml).
2 2 .5 31 9 .4 51 9 .2 31 8 .6 9
2 0 .7 5
0 .0 0
5 .0 0
1 0 .0 0
1 5 .0 0
2 0 .0 0
2 5 .0 0
K A B C D
Pe rl a k u a n
Per
tum
bu
ha
n b
ob
ot
(%)
aba a ba
Keterangan:- Huruf kecil dalam bar yang berbeda menunjukkan ada perbedaan (p<0.05) antar perlakuan- K= 0 CFU/ml, A=103 CFU/ml, B=104 CFU/ml, C= 105 CFU/ml, D= 106 CFU/ml
Gambar 4. Laju pertumbuhan bobot pasca larva udang windu Penaeusmonodon pada dosis probiotik yang berbeda selama masapemeliharaan
4.1.3 Kelangsungan Hidup Pasca Larva Udang Windu
Tingkat kelangsungan hidup pasca larva udang windu selama 15 hari masa
pemeliharaan, pada kontrol dan perlakuan pemberian bakteri probiotik Vibrio
SKT-b melalui Artemia dengan dosis yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 5.
Nilai rata-rata tingkat kelangsungan hidup pasca larva udang windu pada
perlakuan hingga dosis 106 CFU/ml berkisar antara 95-100 % (tidak berbeda
nyata). Sedangkan nilai rata-rata tingkat kelangsungan hidup pasca larva udang
windu untuk setiap ulangan pada semua perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 7.
20
95.00 95.0096.67100.0098.33
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
120.00
K A B C D
Perlakuan
Kel
angs
unga
n hi
dup
(%)
a a a aa
Keterangan:- Huruf kecil dalam bar yang berbeda menunjukkan ada perbedaan (p<0.05) antar perlakuan- K= 0 CFU/ml, A=103 CFU/ml, B=104 CFU/ml, C= 105 CFU/ml, D= 106 CFU/ml
Gambar 5. Tingkat kelangsungan hidup pasca larva udang windu Penaeusmonodon pada dosis probiotik yang berbeda selama masapemeliharaan
4.1.4 Jumlah Total Bakteri Vibrio pada Media Pemeliharaan
Penghitungan jumlah total Vibrio pada media pemeliharaan dilakukan
pada awal (t1) dan akhir pemeliharaan (t15). Hasil penghitungan jumlah total
Vibrio pada media pemeliharaan disajikan pada Gambar 6.
3.50 3.35 3.36 3.33
1.631.93
2.332.59
1.84
3.19
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
K A B C D
Perlakuan
Jum
lah
Tot
alV
ibri
oL
og (C
FU
/ml)
Awal Akhir
Keterangan:- K= 0 CFU/ml, A=103 CFU/ml, B=104 CFU/ml, C= 105 CFU/ml, D= 106 CFU/ml
Gambar 6. Jumlah total Vibrio pada media pemeliharaan pasca larvaudang windu Penaeus monodon
21
Jumlah total bakteri Vibrio pada media pemeliharaan pasca larva udang
windu pada awal dan akhir perlakuan cenderung sama baik pada kontrol maupun
pada perlakuan pemberian bakteri probiotik Vibrio SKT-b melalui Artemia
dengan dosis yang berbeda.
4.1.5 Jumlah Total Bakteri Vibrio pada Pasca Larva Udang Windu
Penghitungan jumlah total Vibrio pada pasca larva udang windu dilakukan
pada awal (t1) dan akhir pemeliharaan (t15). Hasil penghitungan jumlah total
Vibrio pada pasca larva udang windu pemeliharaan disajikan pada Gambar 7.
0.57
3.86 4.05 4.20 4.25
3.433.21
2.562.84
3.81
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
K A B C D
Perlakuan
Jum
lah
Tot
alV
ibri
oL
og (C
FU
/ml)
Awal Akhir
Keterangan:- K= 0 CFU/ml, A=103 CFU/ml, B=104 CFU/ml, C= 105 CFU/ml, D= 106 CFU/ml
Gambar 7. Jumlah total Vibrio dalam tubuh pasca larva udang winduPenaeus monodon
Jumlah total bakteri Vibrio pada pasca larva udang windu pada awal
perlakuan cenderung sama untuk semua perlakuan kecuali kontrol dan pada akhir
perlakuan sedikit menurun pada perlakuan C (105 CFU/ml) dan D (106 CFU/ml).
4.1.6 Analisa Proksimat dan Jumlah Total Bakteri Vibrio pada Artemia
Analisa proksimat Artemia dilakukan pada Artemia kontrol maupun pada
Artemia yang diperkaya dengan bakteri Vibrio SKT-b untuk mengetahui
kandungan nutrisinya. Analisa proksimat yang dilakukan meliputi kadar protein,
air, abu, lemak, serat kasar, dan BETN (Tabel 1). Sedangkan jumlah total bakteri
22
Vibrio pada Artemia yang digunakan pada masing-masing perlakuan dapat dilihat
pada Gambar 8.
Hasil proksimat Artemia kontrol dan Artemia yang diberi bakteri probiotik
Vibrio SKT-b dengan dosis 103-106 CFU/ml berbeda kandungan nutrisinya
terutama kadar protein Artemia.
Jumlah total Vibrio pada Artemia yang diperkaya dengan bakteri probiotik
Vibrio SKT-b dengan dosis 103-106 CFU/ml cenderung meningkat.
Tabel 1. Hasil analisa proksimat Artemia pada semua perlakuan
Kandungan Nutrisi (%)Perlakuan
Protein Air Abu LemakSeratKasar
BETN
Kontrol 57.70 85.91 1.62 2.22 0.00 38.46
A (103 CFU/ml) 61.27 86.65 1.35 2.39 0.98 34.01
B (104 CFU/ml) 62.23 86.47 1.51 2.12 0.92 33.22
C (105 CFU/ml) 66.39 86.55 1.56 2.22 0.89 28.94
D (106 CFU/ml) 69.44 86.50 1.28 2.42 0.60 26.26
6.976.37
6.025.24
5.94
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
8.00
K A B C D
Perlakuan
Jum
lah
Tot
alV
ibri
oL
og (C
FU
/ml)
Keterangan:- K= 0 CFU/ml, A=103 CFU/ml, B=104 CFU/ml,C= 105 CFU/ml, D= 106 CFU/ml
Gambar 8. Jumlah total Vibrio pada Artemia
23
4.1.7 Kualitas Air
Pengukuran kualitas air dilakukan pada awal (t0) dan akhir pemeliharaan
(t15). Beberapa parameter kualitas air yang diukur meliputi, suhu, salinitas,
oksigen terlarut (DO) , nitrit, ammonia, dan pH seperti terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai parameter kualitas air selama pemeliharaan pasca larva udangwindu Penaeus monodon
AkhirParameter AwalK (Kontrol) A B C D
Suhu (˚C) 28.0±0.0 29.0±0.0 29.0±0.0 29.0±0.0 29.0±0.0 29.0±0.0
Salinitas (ppt) 30.0±0.0 30.0±0.0 32.0±1.4 33.0±0.0 34.0±2.8 34.0±0.0
DO (ppm) 7.0±0.9 5.0±0.3 6.4±0.7 5.3±0.3 5.5±0.3 5.7±0.1
Nitrit (ppm) 0.78±0.10 0.75±0.04 0.75±0.18 0.82±0.10 0.34±0.40 0.36±0.01
Amonia (ppm) 0.02±0.00 0.02±0.01 0.02±0.00 0.01±0.00 0.02±0.01 0.02±0.00
pH 8.0±0.0 8.0±0.0 8.0±0.0 8.0±0.0 8.0±0.0 8.0±0.0
Keterangan:- K= 0 CFU/ml, A=103 CFU/ml, B=104 CFU/ml, C= 105 CFU/ml, D= 106 CFU/ml
4.2 Pembahasan
Pertumbuhan merupakan pertambahan ukuran panjang atau bobot dalam
suatu waktu (Effendi, 1997). Oleh karena itu, untuk mengetahui laju pertumbuhan
harian pasca larva udang windu selama penelitian dilakukan pengukuran panjang
dan bobot pada awal (t1) dan akhir pemeliharaan (t15) (Lampiran 6). Selama masa
pemeliharaan, panjang dan bobot pasca larva udang windu mengalami
peningkatan seiring dengan bertambahnya masa pemeliharaan dan dosis probiotik
yang diberikan. Pemberian bakteri probiotik Vibrio SKT-b melalui Artemia
dengan dosis 0-106 CFU/ml menghasilkan kisaran laju pertumbuhan panjang rata-
rata antara 4.59-5.59 % (Gambar 2) dan laju pertumbuhan bobot 18.69-22.53 %
(Gambar 4). Nilai laju pertumbuhan panjang dan bobot tertinggi diperoleh pada
pemberian bakteri Vibrio SKT-b dengan dosis 106 CFU/ml yaitu 5.59 % untuk
pertumbuhan panjang dan 22.53 % untuk pertumbuhan bobot. Nilai ini berbeda
nyata (p<0.05) dengan kontrol (tanpa pemberian probiotik) yang hanya
menghasilkan pertumbuhan panjang 4.59 % dan bobot 18.69 %.
Peningkatan laju pertumbuhan disebabkan karena bakteri Vibrio SKT-b
yang diberikan melalui Artemia mampu memperbaiki kandungan nutrisi dalam
24
Artemia (terutama protein). Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa pemberian
probiotik melalui Artemia dengan dosis 106 CFU/ml dapat meningkatkan
kandungan protein dalam Artemia sebesar 11.53 % dari kontrol. Hal ini sesuai
dengan mekanisme aksi bakteri probiotik dimana bakteri probiotik yang diberikan
dapat sebagai sumber makro dan mikro nutrien (Verschuere et al., 2000).
Peningkatan laju pertumbuhan pasca larva udang windu juga diduga
karena bakteri probiotik Vibrio SKT-b yang diberikan melalui Artemia dapat
meningkatkan keseimbangan mikrob dalam saluran pencernaan. Menurut
Rengpipat et al., (1998b) bakteri probiotik memiliki kemampuan dalam
memproduksi senyawa inhibitor yang dapat menekan pertumbuhan bakteri
merugikan dalam saluran pencernaan. Selain itu, peningkatan pertumbuhan
diduga karena bakteri probiotik Vibrio SKT-b mampu memberikan kontribusi
enzim untuk pencernaan yang menyebabkan udang dapat mencerna Artemia
dengan lebih baik, sehingga nutrisi yang dapat diserap oleh tubuh juga lebih
banyak, yang akhirnya akan memberikan pertumbuhan yang lebih baik.
Kelangsungan hidup merupakan persentase organisme yang hidup pada
akhir pemeliharaan dari jumlah awal seluruh organisme yang dipelihara dalam
suatu wadah (Effendie, 1997). Pemberian probiotik melalui Artemia dengan dosis
0-106 CFU/ml menghasilkan kisaran nilai kelangsungan hidup antara 95-100%
(Gambar 5). Hasil uji statistik pada selang kepercayaan 95 % menunjukkan tidak
ada perbedaan nyata antara kontrol dengan perlakuan pemberian probiotik dengan
dosis yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian bakteri Vibrio SKT-b
hingga dosis tertinggi (106 CFU/ml) tidak mengganggu kondisi fisiologis pasca
larva udang windu sehingga tidak mempengaruhi nilai kelangsungan hidupnya.
Tingginya nilai kelangsungan hidup pada semua perlakuan juga didukung oleh
kisaran kualitas air yang berada pada kisaran optimal bagi pertumbuhan pasca
larva udang windu (Tabel 2).
Jumlah total Vibrio pada media pemeliharaan relatif sama untuk semua
perlakuan dan kontrol (Gambar 6). Pada awal perlakuan, jumlah total Vibrio
sekitar 103 CFU/ml dan sedikit mengalami penurunan pada akhir perlakuan
menjadi 102 CFU/ml. Hal ini menunjukkan bahwa Vibrio SKT-b yang diberikan
ke larva udang melalui Artemia diduga dapat dicerna dan dimanfaatkan oleh pasca
25
larva udang dan tidak dilepaskan sehingga tidak terakumulasi pada media
pemeliharaan.
Hasil penghitungan jumlah total Vibrio pada tubuh pasca larva udang di
awal perlakuan relatif sama untuk perlakuan pemberian Vibrio SKT-b dengan
dosis 103-106 CFU/ml yaitu berkisar antara 103-104 CFU/ml dan berbeda dengan
kontrol yang hanya 101 CFU/ml (Gambar 7). Hal ini terjadi karena pada kontrol
tidak diberikan bakteri Vibrio SKT-b sehingga Vibrio yang ada merupakan Vibrio
yang secara alami ada pada pasca larva udang windu. Pada akhir pemeliharaan,
jumlah total Vibrio berkisar antara 103-104 CFU/ml pada semua perlakuan
termasuk kontrol. Namun pada perlakuan penambahan Vibrio SKT-b, dari total
Vibrio yang diamati diduga didominasi oleh bakteri Vibrio SKT-b. Hal ini tampak
dari ciri-ciri koloni yang tumbuh pada media selektif TCBS (Thiosufate Citrate
Bile Salts Sucrose) yaitu koloni berwarna kuning dan juga adanya pertumbuhan
yang lebih tinggi dibandingkan kontrol.
Dari Gambar 8 terlihat bahwa jumlah total bakteri Vibrio pada Artemia
setelah dilakukan pengkayaan dengan bakteri probiotik Vibrio SKT-b dengan
dosis 0-106 CFU/ml cenderung meningkat. Pada Artemia kontrol (tanpa
pengkayaan) ditemukan adanya bakteri yang tumbuh. Pada penelitian ini air laut
yang digunakan untuk menetaskan siste Artemia adalah air laut steril karena telah
disterilisasi dengan menggunakan kaporit. Air laut tersebut juga telah uji dengan
menyebar pada media selektif TCBS dan hasilnya tidak terdapat koloni bakteri
yang tumbuh. Sehingga bakteri yang tumbuh pada media selektif TCBS pada
Artemia kontrol diduga berasal dari cyste Artemia. Menurut Lopez-Torres dan
Lizarraga-Partida (2009) yang telah mengisolasi bakteri pada media TCBS dari
siste Artemia yang telah ditetaskan di laboratorium (kondisi steril) dan di hatchery
udang (kondisi tidak steril) ditemukan adanya koloni bakteri Vibrio pada kisaran
106–107 CFU/ml. Hasil penelitian Widanarni et al., (2008a) menunjukkan bahwa
penghitungan bakteri Vibrio pada Artemia kontrol pada media TCBS yang telah
ditambah rifampisin (50 µg/ml) tidak terdapat koloni bakteri yang tumbuh.
Sedangkan, pada Artemia yang diperkaya dengan bakteri probiotik Vibrio SKT-b
RfR terdapat koloni Vibrio sebanyak ~106 CFU/ml. Dengan demikian koloni
26
bakteri yang tumbuh pada Artemia kontrol adalah bakteri yang secara alami ada
pada media penetasan Artemia.
Setelah diperkaya dengan bakteri Vibrio SKT-b jumlah total bakteri Vibrio
pada Artemia cenderung semakin meningkat seiring dengan peningkatan dosis
probiotik yang diberikan. Peningkatan jumlah total Vibrio sampai dosis pemberian
probiotik tertinggi disebabkan oleh adanya akumulasi bakteri probiotik Vibrio
SKT-b dalam tubuh Artemia. Akumulasi bakteri Vibrio SKT-b dalam tubuh
Artemia berkorelasi positif terhadap kandungan nutrisi Artemia yang diperkaya
dengan bakteri probiotik Vibrio SKT-b dengan dosis 0-106 CFU/ml. Dimana
semakin tinggi dosis probiotik yang diberikan akan meningkatkan kandungan
protein Artemia. Hal ini disebabkan karena bakteri Vibrio SKT-b merupakan salah
satu sumber protein mikrobial yang kemudian terakumulasi dalam tubuh Artemia
sehingga dapat meningkatkan kandungan protein Artemia dan kemudian dimakan
oleh pasca larva udang windu sehingga pertumbuhannya meningkat seiring
dengan peningkatan dosis probiotik yang diberikan. Peran probiotik dalam
meningkatkan laju pertumbuhan hewan akuatik juga telah dibuktikan oleh
Riquelme et al., (1997), Haryanti et al., (2000), dan Rengpipat et al., (1998a,
1998b)
Kualitas air pemeliharaan sangat menentukan pertumbuhan dan
kelangsungan hidup larva udang windu. Pengukuran berbagai parameter kualitas
air dilakukan pada awal (t0) dan akhir pemeliharaan (t15). Hasil pengukuran suhu
semua perlakuan selama masa pemeliharaan berkisar antara 28-30 oC. Kisaran
nilai suhu tersebut merupakan kondisi yang optimum untuk pertumbuhan udang
(Sumeru dan Suzy Anna, 1992). Salinitas air pemeliharaan selama masa
pemeliharaan berkisar antara 30-34 g/l. Menurut Boyd (1991) larva udang
memiliki pertumbuhan optimal apabila dipelihara dalam air yang bersalinitas 28-
35 g/l. Nilai DO selama penelitian berkisar antara 5.00-6.92 mg/l. Heryadi (1993)
menyatakan bahwa kandungan oksigen terlarut yang optimal untuk pertumbuhan
udang adalah 5 mg/l atau lebih. Nilai pH air pemeliharaan dari awal sampai akhir
pemeliharaan pada kontrol dan semua perlakuan adalah 8. Nilai pH yang optimal
berada pada kisaran 7-8.5 (Sumeru dan Suzy Anna, 1992). Nilai nitrit air
pemeliharaan dari awal sampai akhir pemeliharaan berkisar antara 0.34-0.82 mg/l.
27
Kadar nitrit yang aman bagi pertumbuhan udang tidak lebih dari 4.5 mg/l.
Konsentrasi nitrit yang mematikan 50% populasi (LC50) udang adalah 45 mg/l
dalam waktu 96 jam (Boyd, 1990). Nilai ammonia selama pemeliharaan pada
semua perlakuan dari awal sampai akhir pemeliharaan berkisar antara 0.01-0.02
mg/l. Kondisi ini masih aman untuk kehidupan dan pertumbuahan larva udang
windu karena kandungan ammonia yang baik untuk budidaya udang windu
kurang dari 0.1 mg/l. Menurut Wickins (1976) dalam Guntur (2006) kandungan
ammonia 0.1 mg/l dapat menurunkan pertumbuhan 1-2 % dan pada konsentrasi
0.45 mg/l pertumbuhan menurun hingga 50%. Kisaran nilai-nilai parameter
kualitas air media pemeliharaan larva udang windu secara umum masih dalam
kisaran toleransi udang windu sehingga faktor ini tidak membatasi pertumbuhan
dan kelangsungan hidup larva udang windu.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian bakteri probiotik
Vibrio SKT-b melalui Artemia dengan dosis yang berbeda pada pasca larva udang
windu dapat meningkatkan pertumbuhan panjang dan bobot, tetapi tidak
mempengaruhi tingkat kelangsungan hidupnya. Pemberian bakteri probiotik
Vibrio SKT-b dengan dosis 106 CFU/ml memberikan hasil yang lebih baik
dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan lainnya.
5.2 Saran
Untuk meningkatkan pertumbuhan panjang dan bobot pasca larva udang
windu bakteri Vibrio SKT-b dapat digunakan sebagai probiotik melalui Artemia
dengan dosis 106 CFU/ml.
DAFTAR PUSTAKA
Barnes RD. 1963. Invertebrate Zoology. Philadelphia: WB Saunders Company.
Barnes RD. 1980. Invertebrate Zoology 4rd ed. Philadelphia: WB SaundersCompany.
Boyd CE. 1990. Water Quality in Pond for Aquaculture. Alabama: BirminghamPublishing Co.
Boyd CE. 1991. Water Quality Management and Aeration In Shrimp Farming.Pedoman Teknis dari Proyek Pengembangan Perikanan. Jakarta: PusatPenelitian Pengembangan Perikanan
Effendi R. 1997. Biologi Perikanan. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama
Fuller R. 1992. History and Development of Probiotics. Di dalam: Fuller R,editor. Probiotic the Scientific Basis. London: Chapman and Hall. Hlm 1-8.
Gatesoupe, F.J. 1999. The Use Probiotics in Aquaculture. Aquaculture . 180:147-165
Guntur. 2006. Pengaruh Pemberian Bakteri Probiotik Vibrio SKT-b MelaluiArtemia terhadap Kelangsungan Hidup Pasca Larva Udang Windu (Penaeusmonodon, Fab.) yang Diinfeksi Vibrio harveyi. Skripsi. DepartemenBudidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut PertanianBogor.
Hadioetomo RS. 1993. Mikrobiologi Dasar dalam Teknik dan Prosedur DasarLaboratorium. Jakarta: PT. Gramedia.
Harefa, F. 2003. Pembudidayaan Artemia untuk Pakan Ikan dan Udang. Jakarta:Penebar Swadaya.
Haryanti, Sugama K, Tsumura S, Nishijima T. 2000. Potentiality of BacteriaIsolated From- Seawater as Biological Control Agent for Vibriosis in BlackTiger Shrimp Penaeus monodon Larvae. Di dalam: Hardjito L (editor).Proceedings of International Symposium on Marine biotechnology. Jakarta,29-31 Mei 2000. hlm 182-189.
Heryadi D, Sutadi.1993. Back yard: Usaha Pembenihan Udang Skala RumahTangga. Jakarta: Penebar Swadaya.
Huisman E.A. 1987. Principles of Fish Production. Departement of Fish Cultureand Fisheries. Wageningen Agriculture University. Netherlands. 170p.
Insanstyo A, Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton Dan Zooplankton;Pakan Alami untuk Pembenihan Organisme Laut. Yogyakarta: Kanisius.
30
Kordi MGH, Tancung AB. 2007. Pengelolaan Kualitas Air dalam BudidayaPerairan. Jakarta:Rineka Cipta.
Lavilla-Pitogo, C.R., Cruz-Lacierda, E.R. and De La Pena, L.D. 1990. Occurenceof Luminous Bacteria Disease of Penaeus monodon Larvae in thePhilippines. Aquakultur, 91:1-13.
Lopez-Torres dan Lizarraga-Partida. 2009. Bacteria Isolated on TCBS MediaAssociated with Hatched Artemia Cysts of Commercial Brands.www.coastalaqua.com/files/TCBS.doc [1 September 2009]
Martosudarmo, B dan Ranoemihardjo BS. 1983. Biologi Udang Penaeid. Didalam: Pedoman Pembenihan Udang Penaeid. Direktorat Jendral Perikanan,Departemen Pertanian.
Mattjik AA, Made S. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS danMinitab: Jilid 1. Bogor: IPB Press.
Mudjiman, A. 1989. Udang Renik Air Asin Artemia salina. Jakarta: PenerbitBhatara.
Muliani, A. Suwano, dan Y. Hala. 2003. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri AsalLaut Sulawesi untuk Biokontrol Penyakit Vibriosis pada Larva UdangWindu (Penaeus monodon). Hayati, 10:6-11.
Murtidjo, BA. 2003. Benih Udang Windu Skala Kecil. Yogyakarta: PenerbitKanisius.
Moriarty. 1999. Disease Control in Shrimp Aquaculture with Probiotic Bacteria.Microbial Interaction in Aquaculture. Biomanagement Systems Pty.Department of Chemical Engineering, The University of Queensland.Australia. www.ag.arizona.edu/azaqua/tilapia/tilapia_shrimp/moriarty. PDF[13 Januari 2009]
Pillay TVR, Kutty MN. 2005. Aquaculture: Principles and Practice SecondEdition. England: Blackwell Publishing Ltd.
Praditia, F.P. 2009. Pengaruh pemberian bakteri probiotik melalui pakan terhadappertumbuhan dan kelangsungan hidup udang windu Penaeus monodon.Skripsi. Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan IlmuKelautan, Institut Pertanian Bogor.
Sumeru, SU dan Suzy Anna. 1992. Pakan Udang Windu Penaeus monodon.Yogyakarta: Kanisius.
Suyanto SR, Mujiman A. 2003. Budidaya Udang Windu. Jakarta: PenebarSwadaya.
31
Rengpipat S, Rukpratanporn S, Piyatiratitivorakul S, Menavesta P. 1998a.Probioticn aquaculture: A Case Study of Probiotics for Larvae of the TigerShrimp Peanaeus monodon. Di dalam: Flegel TW (editor) Advances inShrimp Biotechnology. National Center for Genetic Engineering andBiotechnology, Bangkok. 177-181p
Rengpipat S, Rukpratanporn S, Piyatiratitivorakul S, Menavesta P. 1998a. Effectof probiotic bacterium on black tiger shrimp Peanaeus monodon survivaland growth. Aquaculture,167: 303-313
Rengpipat S, Rukpratanporn S, Piyatiratitivorakul S, Menavesta P. 2000.Immunity Enhancement in Black Tiger Shrimp Peanaeus monodon byAprobiant Bacterium Bacillus S11. Aquaculture,191: 271-288
Riquelme C, Araya R, Vergara N, Rojas A, Quaita M, Candina M. 1997. PotentialProbiotic Strains in the Culture of the Chilean Scallop Argopectenpurpuratus (Lamarck, 1891). Aquaculture, 154: 17-26
Shigueno, K. 1975. Shrimp Culture in Japan. Association for InternationalTechnical Promotion Tokyo. Japan. 153 p.
Strottrup, JG dan Lesley A. McEvoy (editor). 2003. Live Feeds in MarineAquaculture. Garsington Road Oxford: Blackwell publishing
Syahailatua, D.P. 2009. Seleksi Bakteri Probiotik sebagai Stimulator Sistem ImunPada Udang Vaname Litopenaeus vannamei. Thesis. Sekolah Pasca Sarjana.Institut Pertanian Bogor.
Verschuere L, Rombaut G, Sorgeloos P, Verstraete W. 2000. Probiotic Bacteria asBiological Control Agents in Aquaculture. Microbiology and MolecularReviews (64) 4: 655-671
Widanarni,Suwanto A, Sukenda, Lay B.W. 2003. Potency of Vibrio Asolates forBiocontrol of Vibriosis in Tiger Shrimp Penaeus monodon. Biotropia,20:11-23
Widanarni, Elly, D.T. Soelistyowati dan A. Suwanto. 2008a. Pemberian BakteriProbiotik Vibrio SKT-b pada Larva Udang Windu Melalui PengkayaanArtemia. Jurnal Akuakultur Indonesia, 7(2): 129-137.
Widanarni, M.A Lidaenni, D. Wahjuningrum, 2008b. Pengaruh PemberianBakteri Probiotik Vibrio SKT-b Dengan Dosis yang Berbeda TerhadapKelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Larva Udang Windu Penaeusmonodon.
Lampiran 1. Lay out wadah perlakuan pasca larva udang windu Penaeusmonodon selama pemeliharaan
Keterangan :K = Wadah perlakuan KontrolA = Wadah perlakuan A (dosis 103 CFU/ml)B = Wadah perlakuan B (dosis 104 CFU/ml)C = Wadah perlakuan C (dosis 105 CFU/ml)D = Wadah perlakuan D (dosis 106 CFU/ml)1,2,3 = Ulangan dari setiap perlakuanH = Hi-blowP = Pemanas air (heater)S1-2 = Akuarium stok pasca larva udang winduBA = Batu aerasiPLN = Sumber listrik dari PLNT = Tandon air lautBF = Bak fiber
PLN
D1
A2
B1
K3
C2
D2
C3
A1
D3
B3
K2
B2
X
K1
C1
A3
T
H
S1 S2
BA
P
BF
BF
33
Lampiran 2. Komposisi dan cara pembuatan media untuk kultur bakteri
1. Media Sea Water Complete (SWC)
- Komposisi bahan-bahan SWC Agar
Bacto peptone 0.5 gr/100 ml
Yeast extract 0.1 gr/100 ml
Bacto agar 2.0 gr/100 ml
Glyserol 0.3 ml/100 ml
Air laut 75 ml
Akuades 25 ml
- Cara Pembuatan Media SWC
Seluruh bahan diatas dicampur dan dipanaskan sampai larut, kemudian
disterilkan dengan menggunakan autoklaf pada suhu 1210C selama 15
menit. Setelah itu bahan siap dituang dalam cawan petri atau siap
digunakan. Untuk membuat SWC-cair Bacto agar tidak disertakan
pada komposisi di atas.
2. Media Thiosulphate Citrate Bile-Salt Sucrose (TCBS-agar)
- Komposisi bahan-bahan TCBS Agar
Media TCBS 8.9 gr/100 ml
Formulasi TCBS:
Yeast extract 0.5 gr
Proteose peptone No. 3 1.0 gr
Sodium citrate 1.0 gr
Sodium thiosulfate 1.0 gr
Oxgall 0.8 gr
Saccharose 2.0 gr
Sodium chloride 1.0 gr
Ferric ammonium citrate 0.1 gr
Bromthymol blue 0.004 gr
Thymol blue 0.004 gr
Agar 1.5 gr
Akuades steril 100 ml
34
- Cara Pembuatan Media TCBS
Akuades disterilkan dalam autoklaf dengan suhu 121oC selama 15
menit. Kemudian media TCBS dimasukkan ke dalam akuades steril
dan dipanaskan hingga larut. Media didinginkan hingga suhu hangat
(±500C) dan siap untuk digunakan.
35
Lampiran 3. Metode pengenceran serial menggunakan tabung reaksi danpenyebaran pada media agar
10 ml 1 ml 1 ml 1 ml 1 ml 1 ml 1 ml 1 ml
1 :101 1 :102 1 :103 1 :104 1 :105 1 :106 1 :1071 :100
(Masing-masing tabungtelahberisi 9 ml larutanfisiologis (NaCl) 0,85 %)
0,1 ml 0,1 ml 0,1 ml 0,1 ml 0,1 ml 0,1 ml0,1 ml
BiakanVibrioSKT-b
36
Lampiran 4. Prosedur penghitungan bakteri dengan menggunakan metodecawan sebar (Hadioetomo, 1993)
1. Eppendorf disiapkan dengan jumlah yang sesuai dengan jumlah serial
pengenceran, kemudian masing-masing eppendorf diisi dengan air laut steril
sebanyak 0.9 ml.
2. Biakan bakteri maupun sampel air pemeliharaan dan udang yang telah digerus
diambil sebanyak 1 ml secara aseptik dan dimasukkan ke dalam eppendorf.
3. Kemudian sampel tersebut dihomogenisasi dengan votex kemudian diambil
sebanyak 0.1 ml secara aseptik dengan menggunakan pipet mikro lalu
diletakkan kedalam eppendorf yang telah berisi air laut steril.
4. Eppendorf yang telah berisi campuran sampel dan air laut steril kemudian
dihomogenisasi menggunakan vortex. Pada tahap ini pengenceran telah
dilakukan sebanyak 1 kali (1:10).
5. Tahap pengenceran diulangi lagi hingga dicapai jumlah serial yang
dikehendaki.
6. Media TCBS-agar disiapkan dalam cawan petri kemudian sebanyak 0.1 ml
larutan hasil pengenceran diambil dan disebar menjadi beberapa titik.
7. Langkah terakhir adalah meratakan larutan sampel diatas media agar
menggunakan batang penyebar yang telah disterilkan dengan cara
mencelupkan kedalam alkohol 96% kemudian dibakar.
8. Media yang telah berisi larutan pengenceran kemudian diinkubasi selama 24
jam pada suhu kamar, setelah itu koloni yang tumbuh dihitung dan dikonversi
ke dalam satuan CFU/ml dengan menggunakan rumus pengenceran.
37
Lampiran 5. Metode pengkayaan Artemia dengan bakteri probiotik Vibrio SKT-b
1. Artemia sebanyak 2 gram/ liter ditetaskan dalam wadah toples kaca yang diisi
air laut sebanyak 2 liter dan diaerasi kuat, setelah 24 jam Artemia akan
menetas menjadi naupli dan kemudian dipanen dengan memisahkan naupli
Artemia dari cangkangnya
2. Naupli Artemia dimasukkan kedalam wadah pengkayaan (botol plastik)
dengan kepadatan 100 individu/ml
3. Biakan bakteri Vibrio SKT-b diencerkan dengan metode pengenceran serial
(Lampiran 3) sehingga diperoleh konsentrasi 103 CFU/ml, 104 CFU/ml,
105CFU/ml, dan 106 CFU/ml, kemudian dimasukkan ke dalam wadah
pengkayaan Artemia dan diberi aerasi.
4. Setelah 4 jam pengkayaan, Artemia dipanen dan disaring dengan
menggunakan plankton net.
5. Artemia tersebut kemudian diberikan ke pasca larva udang windu sebagai
pakan dan sebagian disimpan untuk pemberian pakan selanjutnya.
6. Artemia disimpan pada suhu 40C dan digunakan hanya satu hari.
7. Pengkayaan Artemia dilakukan satu hari sekali untuk empat kali pemberian
pakan per hari.
38
Lampiran 6. Data sampling pertumbuhan panjang dan bobot pasca larva udangwindu Penaeus monodon selama pemeliharaan
PerlakuanPanjang
awal(cm)
Bobotawal(cm)
Panjangakhir(cm)
Bobotakhir
(g)
Pertumbuhanpanjang
(%)
Pertumbuhanbobot(%)
K1 0.9500 0.0025 1.6750 0.0239 3.8531 16.2422K2 0.9500 0.0025 1.9050 0.0343 4.7478 19.0758K3 0.9500 0.0025 2.0250 0.0423 5.1752 20.7517
Rataan 0.9500 0.0025 1.8683 0.0335 4.5920 18.6899SD 0.0000 0.0000 0.1779 0.0092 0.6747 2.2794A1 0.9500 0.0025 1.8300 0.0305 4.4677 18.1474A2 0.9500 0.0025 2.0900 0.0441 5.3970 21.0877A3 0.9500 0.0025 1.8800 0.0317 4.6556 18.4517
Rataan 0.9500 0.0025 1.9333 0.0354 4.8401 19.2289SD 0.0000 0.0000 0.1380 0.0075 0.4914 1.6169B1 0.9500 0.0025 1.9850 0.0375 5.0354 19.7860B2 0.9500 0.0025 1.9650 0.0366 4.9645 19.5922B3 0.9500 0.0025 1.8950 0.0338 4.7110 18.9593
Rataan 0.9500 0.0025 1.9483 0.0360 4.9037 19.4458SD 0.0000 0.0000 0.0473 0.0019 0.1706 0.4323C1 0.9500 0.0025 2.0950 0.0455 5.4138 21.3402C2 0.9500 0.0025 1.9350 0.0389 4.8569 20.0791C3 0.9500 0.0025 2.0350 0.0427 5.2098 20.8275
Rataan 0.9500 0.0025 2.0217 0.0424 5.1602 20.7489SD 0.0000 0.0000 0.0808 0.0033 0.2817 0.6342D1 0.9500 0.0025 2.1700 0.0550 5.6612 22.8839D2 0.9500 0.0025 2.0850 0.0487 5.3802 21.8913D3 0.9500 0.0025 2.1900 0.0545 5.7259 22.8091
Rataan 0.9500 0.0025 2.1483 0.0527 5.5891 22.5281SD 0.0000 0.0000 0.0558 0.0035 0.1838 0.5527
Keterangan :K = Pasca larva udang diberi Artemia tanpa pengkayaan (Kontrol)A = Pasca larva udang diberi Artemia yang diperkaya dengan Vibrio SKT-b 103CFU/mlB = Pasca larva udang diberi Artemia yang diperkaya dengan Vibrio SKT-b 104CFU/mlC = Pasca larva udang diberi Artemia yang diperkaya dengan Vibrio SKT-b 105CFU/mlD = Pasca larva udang diberi Artemia yang diperkaya dengan Vibrio SKT-b 106CFU/ml
39
Lampiran 7. Data kelangsungan hidup pasca larva udang windu Penaeusmonodon selama pemeliharaan
Perlakuan Jumlah PL udangawal (ekor)
Jumlah PL udangakhir (ekor) SR (%) Rataan
K1 20 19 95K2 20 20 100K3 20 20 100
98.33±2.89
A1 20 20 100A2 20 20 100A3 20 20 100
100±0.00
B1 20 20 100B2 20 20 100B3 20 18 90
96.67±5.77
C1 20 20 100C2 20 17 85C3 20 20 100
95.00±8.66
D1 20 20 100D2 20 19 95D3 20 18 90
95.00±5.00
Keterangan :K = Pasca larva udang diberi Artemia tanpa pengkayaan (Kontrol)A = Pasca larva udang diberi Artemia yang diperkaya dengan Vibrio SKT-b 103CFU/mlB = Pasca larva udang diberi Artemia yang diperkaya dengan Vibrio SKT-b 104CFU/mlC = Pasca larva udang diberi Artemia yang diperkaya dengan Vibrio SKT-b 105CFU/mlD = Pasca larva udang diberi Artemia yang diperkaya dengan Vibrio SKT-b 106CFU/ml
40
Lampiran 8. Hasil analisa sidik ragam laju pertumbuhan panjang pasca larvaudang windu Penaeus monodon selama pemeliharaan
SumberKeragaman
dB JK KT Fhitung Ftabel
Perlakuan 4 1.718 .429 2.559 .104
Sisa 10 1.678 .168
Total 14 3.395
Fhitung > Ftabel : Perlakuan berbeda nyataKesimpulan : Perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata
terhadap pertumbuhan panjang pasca larva udangwindu
Lampiran 9. Hasil uji lanjut laju pertumbuhan panjang pasca larva udang winduPenaeus monodon selama masa pemeliharaan
Selang Kepercayaan 95%Perlakuan Jumlah Ulangan
2 1
K 3 4.5920
A 3 4.8401 4.8401
B 3 4.9037 4.9037
C 3 5.1602 5.1602
D 3 5.5891
Sig. .144 .063
41
Lampiran 10. Hasil analisa sidik ragam laju pertumbuhan bobot pasca larvaudang windu Penaeus monodon selama pemeliharaan
SumberKeragaman
dB JK KT Fhitung Ftabel
Perlakuan 4 28.463 7.116 4.087 .032
Sisa 10 17.409 1.741
Total 14 45.872 7.116
Fhitung > Ftabel : Perlakuan berbeda nyataKesimpulan : Perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata
terhadap pertumbuhan bobot pasca larva udangwindu
Lampiran 11. Hasil uji lanjut laju pertumbuhan bobot pasca larva udang winduPenaeus monodon selama masa pemeliharaan
Selang Kepercayaan 95%Perlakuan Jumlah Ulangan
2 1
K 3 18.6899
A 3 19.2289
B 3 19.4458
C 3 20.7489 20.7489
D 3 22.5281
Sig. .105 .130
42
Lampiran 12. Hasil analisa sidik ragam kelangsungan hidup pasca larva udangwindu Penaeus monodon selama pemeliharaan
SumberKeragaman
dB JK KT Fhitung Ftabel
Perlakuan 4 56.667 14.167 .500 .737
Sisa 10 283.333 28.333
Total 14 340.000
Fhitung > Ftabel : Perlakuan tidak berbeda nyataKesimpulan : Perlakuan tidak memberikan pengaruh yang berbeda
nyata terhadap kelangsungan hidup pasca larvaudang windu
Lampiran 13. Hasil uji lanjut kelangsungan hidup pasca larva udang winduPenaeus monodon selama masa pemeliharaan
Selang Kepercayaan 95%Perlakuan Jumlah Ulangan
1
K 3 95.0000
A 3 95.0000
B 3 96.6667
C 3 98.3333
D 3 100.0000
Sig. .313
43
Lampiran 14. Kelimpahan total Vibrio pada air media pemeliharan pasca larvaudang windu Penaeus monodon
Awal AkhirPerlakuan
Total VibrioLog
CFU/ml Total VibrioLog
CFU/ml
K1 1 0.00 6,800 3.83K2 1 0.00 50 1.70K3 50 1.70 1,000 3.00
Rataan 17 0.57 2,617 2.84SD 28 0.98 3,654 1.08A1 6,100 3.79 2,650 3.42A2 7,750 3.89 4,500 3.65A3 8,100 3.91 22,150 4.35
Rataan 7,317 3.86 9,767 3.81SD 1,068 0.07 10,764 0.48B1 13,700 4.14 150 2.18B2 10,050 4.00 12,200 4.09B3 10,000 4.00 10,500 4.02
Rataan 11,250 4.05 7,617 3.43SD 2,122 0.08 6,522 1.08C1 20,100 4.30 1,900 3.28C2 5,550 3.74 1,200 3.08C3 36,500 4.56 1,900 3.28
Rataan 20,717 4.20 1,667 3.21SD 15,484 0.42 404 0.12D1 40,700 4.61 50 1.70D2 12,000 4.08 750 2.88D3 11,850 4.07 1,250 3.10
Rataan 21,517 4.25 683.33 2.56SD 16613.42 0.31 602.77 0.75
44
Lampiran 15. Kelimpahan total Vibrio pada pasca larva udang windu Penaeusmonodon
Awal AkhirPerlakuan
Total Vibrio Log CFU/ml Total Vibrio Log CFU/ml
K1 700 2.85 150 2.18K2 2,100 3.32 500 2.70K3 2,500 3.40 1 0.00
Rataan 1,767 3.19 217 1.63SD 945 0.30 256 1.43A1 1,500 3.18 550 2.74A2 4,950 3.69 1,100 3.04A3 4,250 3.63 1 0.00
Rataan 3,567 3.50 550 1.93SD 1,824 0.28 550 1.68B1 3,500 3.54 50 1.70B2 1,400 3.15 200 2.30B3 2,300 3.36 1,000 3.00
Rataan 2,400 3.35 417 2.33SD 1,054 0.20 511 0.65C1 1,800 3.26 400 2.60C2 2,550 3.41 500 2.70C3 2,600 3.41 300 2.48
Rataan 2,317 3.36 400 2.59SD 448 0.09 100 0.11D1 2,250 3.35 600 2.78D2 1,250 3.10 1 0.00D3 3,400 3.53 550 2.74
Rataan 2,300 3.33 383.67 1.84SD 1075.87 0.22 332.34 1.59