Colitis

31
BAB I PENDAHULUAN Kolitis merupakan suatu peradangan akut atau kronik yang terjadi pada kolon. Dapat diketahui bshwa, kolon memiliki berbagai fungsi, dimana yang terpenting adalah absorbsi air dan elektrolit. Terdapat klasifikasi colitis ditinjau berdasarkan penyebabnya, yakni kolitis infeksi dan non-infeksi. Colitis infeksi, misalkan: 1) shigelosis, 2) colitis tuberkulosa, 3) colitis amebic, 4) colitis pseudomembranosa. Sedangkan, colitis non-infeksi, seperti: 1) colitis ulseratif, 2) penyaikt Chron’s, 3) colitis radiasi, 4) colitis iskemik, 5) colitis mikroskopik. Jenis colitis yang paling sering ditemukan di Indonesia adalah colitis infeksi. Untuk menegakkan diagnosis colitis perlu dilakukan anamnesis terlebih dahulu. Anamnesis dilakukan dengan terperinci dan dengan cermat, selanjutnya dilakukan dengan melakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Namun, jika berbicara mengenai gejala dari penyakit colitis sebenarnya tidak jauh berbeda dengan penyakit Crohn’s ataupun colitis ulseratif. Maka dari itu, pemeriksaan penunjang sangatlah perlu dilakukan untuk mendiagnosis penyakit colitis. Selanjutnya, akan dibahas mengenai colitis ulseratif dan colitis iskemik.

description

Colitis Ulseratif dan Colitis Iskemik

Transcript of Colitis

Page 1: Colitis

BAB I

PENDAHULUAN

Kolitis merupakan suatu peradangan akut atau kronik yang terjadi pada kolon.

Dapat diketahui bshwa, kolon memiliki berbagai fungsi, dimana yang terpenting

adalah absorbsi air dan elektrolit.

Terdapat klasifikasi colitis ditinjau berdasarkan penyebabnya, yakni kolitis

infeksi dan non-infeksi. Colitis infeksi, misalkan: 1) shigelosis, 2) colitis tuberkulosa,

3) colitis amebic, 4) colitis pseudomembranosa. Sedangkan, colitis non-infeksi,

seperti: 1) colitis ulseratif, 2) penyaikt Chron’s, 3) colitis radiasi, 4) colitis iskemik, 5)

colitis mikroskopik. Jenis colitis yang paling sering ditemukan di Indonesia adalah

colitis infeksi.

Untuk menegakkan diagnosis colitis perlu dilakukan anamnesis terlebih

dahulu. Anamnesis dilakukan dengan terperinci dan dengan cermat, selanjutnya

dilakukan dengan melakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Namun,

jika berbicara mengenai gejala dari penyakit colitis sebenarnya tidak jauh berbeda

dengan penyakit Crohn’s ataupun colitis ulseratif. Maka dari itu, pemeriksaan

penunjang sangatlah perlu dilakukan untuk mendiagnosis penyakit colitis.

Selanjutnya, akan dibahas mengenai colitis ulseratif dan colitis iskemik.

Page 2: Colitis

BAB II

ISI

A. Kolitis Ulseratif

Kolitis ulseratif merupakan bagian dari colitis non-infeksi, dimana colitis

ulseratif merupakan penyakit peradangan kronis yang terjadi pada

gastrointestinal, dan disebut juga sebagai penyakit radang usus (IBD) (National

Digestive Diseases Information Clearinghouse, 2014). Dimana, kolitis ulseratif

hanya terjadi pada usus besar (kolon) dan rektum. Peradangan yang terjadi

hanya pada lapisan paling dalam dari lapisan usus, biasanya dimulai dari rektum

dan usus besar yang lebih rendah, akan tetapi dapat menyebar terus menerus

dari waktu ke waktu untuk melibatkan seluruh bagian kolon (Chron’s & Colitis

Foundation of America. 2014) sehingga akan memperburuk perjalanan penyakit

ini (National Digestive Diseases Information Clearinghouse, 2014).

Gejalanya mulai dari ringan sampai berat. Kebanyakan orang memiliki

periode remisi saat ketika gejala hilang dan dapat berlangsung selama beberapa

minggu atau tahun (National Digestive Diseases Information Clearinghouse,

2014). Berdasarkan hasil tinjauan di negara maju di dunia bahwa kolitis ulseratif

merupakan penyakit berkepanjangan yang timbul melalui interaksi

antara faktor genetik dan lingkungan. Etiologi colitis ulseratif belum diketahui

dengan pasti, sehingga terapi yang tepat untuk menyembuhkan penyakit ini pun

belum tersedia (Dignass A.,et al., 2012).

Di Amerika Serikat, dperkirakan sekitar satu sampai dua juta orang

mengalami colitis ulseratif dengan insidensi kurang lebih sekitar 70-150

kasus/100.000 individu. Di Eropa, kurang lebih insidennya sekitar 7,3

kasus/100.000 penduduk. Sedangkan, di Indonesia sampai saat ini belum

didapatkannya studi epidemiologi mengenai angka kejadian inflammatory bowel

disease (IBD), dan masih atas dasar laporan dari rumah sakit (hopital based).

Pada tahun 2002 di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta, dilaporkan terdapat 5,2

kasus penyakit corhn’s dan colitis ulseratif. Secara global dikatakan bahwa

insidensi IBD adalah 10 kasus/100.000 penduduk dan untuk colitis ulseratif

Page 3: Colitis

sekitar 2,2-14,3 kasus/100.000 penduduk. Kolitis ulseratif banyak dijumpai di

Asia Selatan dengan faktor genetik (ras Kaukasia). Di India, angka kejadiannya

kurang lebih hanya 6/100.000 orang tiap tahunnya dengan prevalensi sekitar

42-44/100.000 orang tiap tahun. Kolitis ulseratif lebih banyak dijumpai di Asia

seperti Jepang dan Korea dibandingkan dengan India, dan juga lebih sering terjadi

pada wanita daripada laki-laki (Puri A.S. 2013).

Faktor resiko : (National Digestive Diseases Information Clearinghouse,

2014)

- Umur: kolitis ulseratif dapat terjadi pada semua kalangan umur, meskipun

ada puncak pada usia 15 sampai 30 tahun, dan lebih dari 60 tahun.

- Riwayat penyakit IBD pada keluarga

- Ras : kolitis ulseratif adalah lebih sering terjadi pada kulit putih

dibandingkan dengan kulit hitam.

Penyebab pasti penyakit ini belum diketahui, akan tetapi penyakit ini

merupakan penyakit multifaktorial dan polygenic. Faktor keturunan (genetik), faktor

lingkungan dan respon sistem kekebalan tubuh yang terlalu aktif di usus, diduga

berperan dalam terjadinya kolitis ulseratif. Faktor infeksi dan psikologis sampai saat

ini masih dalam tahap penelitian.

Respon sistem kekebalan tubuh yang terlalu aktif di usus

Para ilmuwan yakin salah satu penyebab colitis ulseratif ialah reaksi sistem

tersebut melindungi tubuh dari infeksi dengan cara mengidentifikasi dan

Para peneliti percaya bahwa bakteri atau virus pada usus khususnya dapat

memicu sistem kekebalan tubuh untuk menyerang lapisan dalam dari usus

besar (kolon). Apabila, sistem kekebalan yang terjadi sangat aktif atau

bahkan terlalu aktif maka akan terjadi peradangan pada usus tersebut

(National Digestive Diseases Information Clearinghouse, 2014).

Reaksi sistem kekebalan tubuh yang abnormal ini terjadi pada orang

yang telah mewarisi gen yang membuat mereka rentan

untuk IBD (Chron’s & Colitis Foundation of America. 2014).

Page 4: Colitis

Genetik

Kolitis ulseratif diduga didapat dari keluarga yang juga menderitanya. Studi

penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa gen abnormal

tertentu dapat ditemukan pada penderita kolitis ulseratif. Akan tetapi,

peneliti belum dapat menunjukkan atau menjelaskan hubungan pasti

antara gen yang abnormal dengan kolitis ulseratif. Penyakit ini lebih sering

dijumpai pada orang kulit putih daripada orang kulit hitam, oleh karena itu hal

ini yang dapat juga genetik berperan terhadap perkembangan penyakit ini.

Faktor lingkungan

Ada hubungan terbalik antara operasi apendiktomi dan penyakit colitis ulseratif

berdasarkan analisis bahwa insiden penyakit colitis ulseratif menurun secara

signifikan pada pasien yang menjalani operasi apendiktomi pada decade ke-3.

Beberapa penelitian sekarang menunjukkan penurunan risiko penyakit colitis

ulseratif di antara perokok dibandingkan dengan yang bukan perokok.

Disamping itu, mengonsumsi obat obat anti-inflamasi, antibiotik, dan obat

kontraseosi oral dapat meningkatkan terjadinya kolitis ulseratif. Diet tinggi

lemak juga diduga dapat sedikit menyebabkan colitis ulseratif (National

Digestive Diseases Information Clearinghouse, 2014).

Mengenai patofisiologinya, penyebab kolitis ulseratif tidak diketahui, namun

faktor keturunan dan respon sistem kekebalan tubuh yang terlalu aktif di usus, diduga

berperan dalam terjadinya kolitis ulseratif. Kolitis ulseratif merupakan proses

peradangan pada lapisan mukosa dan submukosa kolon. Atropi mukosa dan abses

pada kripta sering ditemukan. Kolitis ulseratif dapat mengenai rektum, kolon sigmoid,

Page 5: Colitis

dan seluruh bagian kolon, namun tidak mengenai intestinal. Pada stadium ringan

ditemukan mukosa eritem, edem dan mengalami granulasi. Pada stadium sedang dan

berat kolon tampak mengalami ulserasi, erosi, friability dan perdarahan spontan

(Bamias G., et al. 2005).

Sistem kekebalan tubuh innate adalah sistem pertahanan tubuh nonspesifik

terhadap patogen. Dimana, tubuh akan merespon segera atau dalam beberapa jam

pertama setelah bereaksi dengan patogen yang ada. Hal ini dianggap baris pertama

reaksi pertahanan tubuh terhadap patogen dan termasuk barier fisik seperti kulit dan

mukosa usus serta sel-sel kekebalan yang mengidentifikasi patogen dalam tubuh

(Bamias G., et al. 2005).

Kolitis ulseratif dihubungkan dengan meningktanya produksi IgG1 (oleh

limfosit Th2) dan IgG3, sub tipe yang respon terhadap protein dan antigen T-cell

dependent. Ada juga peningkatan produksi sitokin proinflamasi (IL-1, IL-6, IL-8 dan

tumor necrosis factor-α (TNF- α), terutama pada aktivasi makrofag di lamina propria.

Sitokin yang lain (IL-10, TGF-β) menurunkan imun respon. Defek produksi sitokin

ini menghasilkan inflamasi yang kronis (Bamias G., et al. 2005).

Manifestasi klinis dari colitis ulseratif, ditinjau dari lapisan usus yang meradang

dan mengalami ulserasi, maka usus akan kehilangan kemampuannya untuk

memproses makanan ataupun menyerap air, sehingga akan menyebabkan diare dan

pada akhirnya akan didapatkan penurunan berat badan pada kasus berat. Kebanyakan

pada pasien colitis ulseratif maupun penyakit Corhn’s, akan mengalami urgensi dan

nyeri pada abdomen. Peradangan yang terjadi dapat menimbulkan luka kecil pada

usus dan rektum. Hal ini dapat terjadi bersamaan dan menjadi bisul yang bersar serta

berdarah, sehingga feses yang dihasilkan akan disertai dengan darah, tetapi dapat pula

disertai dengan lendir maupun pus pada feses. Kehilangan darah tersebut akan

berdampak pada terjadinya anemia. Dimana, gejala utama colitis ulseratif adalah diare

berdarah dan nyeri abdomen, seringkali dengan demam dan penurunan berat badan

pada kasus berat (Chron’s & Colitis Foundation of America. 2014). Disamping

adanya anemia, diare, dan penurunan nafsu makan, gejala lain yang dapat ditemukan

pada penyakit ini adalah adanya rasa mual dan pasien akan mudah merasa lelah yang

dapat disebabkan oleh anemia (National Digestive Diseases Information

Clearinghouse, 2014)

Page 6: Colitis

Derajat klinik colitis ulseratif dapat dibagi atas berat, sedang dan ringan,

berdasarkan frekuensi diare, ada/tidaknya demam, derajat beratnya anemia yang

terjadi. Perjalanan penyakit colitis ulseratif dapat dimulai dengan serangan pertama

yang berat ataupun dimulai ringan yang bertambah berat secara gradual setiap

minggu. Berat ringannya serangan pertama sesuai dengan panjangnya kolon yang

terlibat. Pada colitis ulseratif, terdapat reksi radang yang secara primer mengenai

mukosa kolon. Secara makroskopik,, kolon tampak berulserasi, hiperemik, dan

biasanya hemoragik. Gambaran mencolok dari radang adalah bahwa sifatnya seragam

dan kontinu dengan tidak ada daerah tersisa mukosa yang normal. Perjalanan klinis

colitis ulseratif bervariasi. Mayoritas pasien akan mendertia relaps dalam waktu 1

tahun dari serangan pertama, mencerminkan sifat rekuren dari penyakit. Namun

demikian, bisa terdapat periode remisi yang berkepanjangan hanya dengan gejala

minimal. Didapatkan sekitar 48% pasien colitis ulseratif mengalami remisi, 30%

dengan manifestasi ringan, 20% mederate, dan 1-2% berat (Chron’s & Colitis

Foundation of America. 2014).

Temuan fisik pada colitis ulseratif biasanya nonspesifik, bisa terdapat distensi

abdomen atau nyeri sepanjang perjalanan kolon. Pada kasus ringan, pemeriksaan fisik

umum akan normal. Demam, takikardia dan hipotensi postural biasanya berhubungan

dengan penyakit yang lebih berat.

Didalam menegakkan diagnosis, perlu dilakukan beberapa hal. Gold standard

untuk menegakkan diagnosis penyakit ini tidak tersedia. Diagnosis harus ditetapkan

melalui anamnesis dengan cermat terlebih dahulu, meliputi kapan timbulnya gejala

yang dirasakan pasien, apakah sebelumnya pernah mengalami keluhan serupa, jika iya

ditanyakan lebih dalam mengenai kapan timbulnya gejala sebelumnya tersebut. Lalu

ditanyakan pula apakah pasien mengalami diare dan bagaiaman warna dari fesesnya,

berlendir atau tidak, atau apakah disertai pus. Ada nyeri perut atau tidak. riwayat

sosisal (kebiasaan merokok, mengonsumsi obat-obatan, riwatat operasi) dan riwayat

keluarga juga perlu ditanyakan. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik, meliputi: 1)

kesadaran umum pasien 2) tanda vital; tekanan darah, nadi, pernafasan, suhu tubuh,

berat badan, dan tinggi badan untuk mengetahui status gizi pasien 3) pemeriksaan

abdomen; mengetahui adanya nyeri tekan pada abdomen dan adanya distensi 4)

pemeriksaan rectal touche untuk mengetahui keadaan rektum pasien dan melihat

Page 7: Colitis

apakah terdapat darah, melena, pus, maupun lendir. Pasien dengan penyakit yang

berat akan didapatkan demam, takikardia, hipotensi, penurunan berat badan,

nyeri kolon, distensi abdomen, atau bising usus yang kurang dari normal.

Kemudian, dilanjutkan dengan pemeriksaan penunjang, meliputi : (Dignass A., et al.,

2012)

Pemeriksaan Radiologi

1. Foto polos abdomen

Pada foto polos abdomen, cenderung terfokus pada kolon. Gambaran kolon

sendiri terlihat memendek dan struktur haustra menghilang. Sisa feses pada daerah

inflamasi tidak ada, sehingga, apabila seluruh kolon terkena maka materi feses tidak

akan terlihat di dalam abdomen yang disebut dengan empty abdomen. Kadangkala

usus dapat mengalami dilatasi yang berat (toxic megacolon) yang sering

menyebabkan kematian apabila tidak dilakukan tindakan emergensi. Apabila terjadi

perforasi usus maka dengan foto polos dapat dideteksi adanya pneumoperitoneum,

terutama pada foto abdomen posisi tegak atau left lateral decubitus (LLD) maupun

pada foto toraks tegak.

Terdapat kelainan lain yang sering menyertai penyakit ini, seperti batu ginjal,

sakroilitis, spondilitis ankilosing dan nekrosis avaskular kaput femur. Foto polos

abdomen merupakan pemeriksaan awal untuk melakukan pemeriksaan barium enema.

Jika didapatkan tanda-tanda perforasi pada pemeriksaan foto polos abdomen, maka

pemeriksaan barium enema tidak boleh dilakukan (kontra indikasi).

2. Barium enema

Barium enema merupakan pemeriksaan rutin jika didapatkan kelainan pada

kolon. Sebelumnya, persiapan saluran cerna sangat penting dilakukan, persiapan

tersebut adalah mengonsumsi makanan rendah serat atau rendah residu, ditambah

banyak minum air putih. Persiapan ini dilakukan selama 2 hari berturut-turut. Apabila

diperlukan maka dapat diberikan laksatif peroral.

Setelah persiapan saluran cerna telah dilakukan, barulah kita dapat melakukan

pemeriksaan barium enema. Pemeriksaan ini dilakukan dengan teknik kontras

tunggal (single contrast) maupun dengan kontras ganda (double contrast) yaitu

barium sulfat dan udara. Teknik double contrast cukup sulit, tetapi sangat baik untuk

Page 8: Colitis

menilai mukosa kolon dibandingkan dengan teknik single. Barium enema juga

merupakan kelengkapan pemeriksaan endoskopi atas dugaan pasien dengan colitis

ulseratif.

Gambaran yang didapat pada kasus dengan kolitis ulseratif adalah mukosa

kolon yang granuler dan hilangnya kontur haustra, serta kolon tampak menjadi kaku

seperti tabung. Perubahan mukosa terjadi secara difus dan simetris pada seluruh

kolon. Lumen kolon menjadi lebih sempit akibat spasme. Dapat ditemukan

keterlibatan seluruh kolon. Jika ditemukan lesi yang segmental, maka rektum dan

kolon kiri (desendens) selalu terlibat, karena awalnya colitis ulseratif ini mulai terjadi

di rectum dan menyebar ke arah proksimal secara kontinyu. Sehingga, rektum akan

selalu terlibat, walaupun rectum dapat mengalami inflamasi lebih ringan pada bagian

proksimalnya.

Pada colitis ulseratif kronis, perubahan terjadi pada mukosa ileum terminal yang

menjadi dilatasai dan granuler difus, sekum berbentuk kerucut (cone-shaped caecum)

dan katup ileosekal terbuka sehingga terjadi refluks, yang disebut backwash ileitis.

Pada kasus kronis, terbentuk ulkus yang khas yaitu collar-button ulcers. Pasien

dengan colitis ulseratif juga memiliki potensi menjadi adenokarsinoma kolon.

3. Ultrasonografi

Sebenarnya, pemeriksaan USG untuk kasis IBD sampai saat ini belum

merupakan modalitas pemeriksaan. Terkecuali, merupakan pemeriksaan alternatif

untuk evaluasi keadaan intralumen dan ekstralumen.

Sebelum dilakukan pemeriksaan USG pasien diminta untuk makan makanan

rendah residu dan banyak minum air putih. Persiapan dilakukan selama 24 jam

sebelum pemeriksaan. Sesaat sebelum pemeriksaan sebaiknya kolon diisi dulu dengan

air.

Pada pemeriksaan USG, hasil yang didapatkan ialah penebalan dinding usus

yang simetris dengan kandungan lumen kolon yang berkurang. Mukosa kolon yang

terlibat tampak menebal dan berstruktur hipoekhoik akibat dari edema. Usus menjadi

kaku, berkurangnya gerakan peristalsis dan hilangnya haustra kolon. Dapat ditemukan

target sign atau pseudo-kidney sign pada potongn transversal atau cross-sectional.

Dengan USG Doppler, pada colitis ulseratif selain dapat dievaluasi penebalan dinding

usus dapat pula dilihat adanya hypervascular pada dinding usus tersebut.

Page 9: Colitis

4. CT-Scan dan MRI

Kelebihan CT-Scan dengan MRI adalah mampu untuk mengevaluasi keadaan

intralumen dan ekstralumen secara langsung, serta mengevaluasi sampai sejauh mana

komlikasi ekstralumen kolon yang telah terjadi. Sedangkan kelebihan MRI dengan

CT-Scan adalah mengevaluasi jaringan lunak karena terdapat perbedaan intensitas

(kontras) yang cukup tinggi antara jaringan lunak satu dengan yang lain.

Gambaran CT Scan ialah terlihat dinding usus menebal secara simetris dan

kalau terpotong secara cross-sectional maka terlihat gambaran target sign.

Komplikasi di luar usus dapat terdeteksi dengan baik, seperti adanya abses atau fistula

atau keadaan abnormalitas yang melibatkan mesenterium. MRI dapat dengan jelas

memperlihatkan fistula dan sinus tract-nya.

Pemeriksaan Endoskopi

Pada colitis ulseratif, ditemukan hilangnya vaskularitas mukosa, eritema difus,

kerapuhan mukosa, dan seringkali eksudat dengan mukus, darah maupun nanah.

Kerapuhan mukosa merupakan karakteristik penyakit ini. Ulserasi landai, bisa kecil

atau konfluen namun selalu terjadi pada segmen dengan colitis aktif. Pemeriksaan

kolonoskopik penuh dari kolon pada colitis ulseratif tidak diindikasikan pada pasien

akut. Biopsi rectal bisa memastikan adanya radang pada mukosa. Pada penyakit yang

lebih kronik, didapatkan mukosa granuler dan bisa terdapat pseudopolip.

Pemeriksaan Histopatologi

Kriteria histopatologik adalah perubahan pada mukosa, epitel dan lamina

propria. Pada kolon normal, permukaan datar, kripta tegak, sejajar, bentuknya sama,

jarak antar kripta sama, dan dasar dekat muskularis mukosa. Sel-sel inflamasi,

predominan terletak di bagian atas lamina propria.

Perlu diperhatikan perubahan epitel seperti berkurangnya musin dan metaplasia

sel Paneth serta permukaan viliform. Perubahan lamina propria meliputi penambahan

dan perubahan distribusi sel radang. Granuloma dan sel-sel berinti banyak biasanya

ditemukan.

Gambaran mikroskopik berhubungan dengan stadium penyakit (akut,

resolving atau kronik/menyembuh). Gambaran khas untuk colitis ulseratif adalah

adanya abses kripti, distorsi kripti, infiltrasi sel mononuclear dan polimorfonuklear di

lamina propria. Tsang dan Rotterdam (1999), membagi gambaran histologik penyakit

Page 10: Colitis

colitis ulseratif menjadi kriteria mayor dan minor. Sekurang-kurangnya dua kriteria

mayor harus dipenuhi untuk diagnosis colitis ulseratif.

Kriteria mayor colitis ulseratif :

Infiltrasi sel radang yang difus pada mukosa

Basal plasmositosis

Netrofil pada seluruh ketebalan mukosa

Abses kripta

Kriptitis

Distorsi kripta

Permukaan viliformis

Kriteria minor colitis ulseratif :

Jumlah sel goblet berkurang

Metaplasia sel Paneth

Pemeriksaan laboratorium juga perlu dilakukan sebelum melakukan

pemeriksaan penunjang diatas. Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk membantu

menegakkan diagnosa colitis ulseratif. Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan darah

untuk melihat kadar hari Hb pasien yang nantinya akan mengarah ke kondisi pasien

apakah anemia atau tidak. Disamping itu juga melihat adanya peradangan atau

infeksi, melihat kadar dari albumin apakah rendah atau tidak, lalu melihat apakah

terdapat protein dalam darah. Jika ditemukan adanya proteim, biasanya hal tersebut

menunjukkan kondisi kolisitis yang parah/berat. Selain pemeriksaan darah,

pemeriksaan tinja dengan memeriksa sample tinja pasien. pemeriksaan ini dilakukan

untuk menyingkirkan penyakit-penyakit gastrointestinal yang disebabkan oleh infeksi

(National Digestive Diseases Information Clearinghouse, 2014).

Penatalaksanaan colitis ulseratif; meninjau dari etiopatogenesis IBD dan colitis

ulseratif yang masuk didalamnya belumnya, sehingga tidak didapatkan regimen

standard untuk menatalaksanai penderita IBD. Penambahan zat besi bisa

menyembuhkan anemia yang disebabkan oleh hilangnya darah dalam tinja. Faktor

untuk menentukan pengobatan yang akan diberikan, yaitu: 1) keparahan penyakit, 2)

letak anatomi penyakit, 3) respon terhadap pengobatan sebelumnya, 4) efek samping

obat, 5) komorbiditas (penyakit lain yang menyertainya).

Pengobatan dari penyakit ini lebih ditekankan pada penghambatan kaskade

proses inflamasi. Oleh karena terdapat dugaan bahwa adanya agen proinflamasi yang

mencetuskan proses inflamasi kronik pada individu yang rentan terinfeksi maka

Page 11: Colitis

dilakukan oemberian antibiotik untuk mengeliminasi agen tersebut serta

mengistirahatkan kerja usus. Obat lini pertama mengandung komponen 5-acetil

salicylic acid (5-ASA) dan obat kortikosteroid (baik sistemik maupun topikal). Bila

gagal, maka diberikan obat lini kedua yang pada umumnya bersifat imunosupresif

(seperti 6-merkaptopurin, azatriopin, siklosporin dan metotreksat), anti-TNF

(infliximab). Pada kasus tertentu atau terjadi komplikasi perforasi, perdarahan masif,

ileus karena stenosis, megatoksik kolon, maka diperlukan intervensi surgical.

Terdapat lima kategori golongan obat yang dapat digunakan untuk menatalaksanai

IBD :

1. Aminosalisilat

Merupakan senyawa anti-inflamasi yang mengandung 5-ASA, contohnya

adalah sulfasalazine, balsalazide, mesalamine, dan olsalazine. Obat-obat ini

diberikan secara rektal atau rektal, bekerja untuk mengurangi peradangan

yang terjadi pada usus. Obat-obat ini terutama digunakan untuk mengobati

colitis ulseratif dengan mengurangi gejala dan mempertahankan remisi.

Sulfasalazine mempunyai efek anti-inflamasi, bekerja dengan mempertahankan

remisi dan untuk menginduksi remisi pada serangan ringan, serta mengobati

colitis ulseratif ringan-sedang. Bekerja secara lokal pada kolon untuk

menurunkan respon inflamasi dan secara sistemik menghambat sintesis

prostaglandin (Chron’s & Colitis Foundation of America. 2014). Efek samping

dari obat ini adalah nyeri perut, diare, sakit kepala, dan mual (National

Digestive Diseases Information Clearinghouse. 2014).

2. Kortikosteroid

Preparat dari golongan obat ini yang dapat digunakan ialah prednisone,

prednisolon, dan budesonide. Obat-obat ini mengurangi aktivitas sistem imun

yang berlebihan di usus dan mengurangi peradangan yang terjadi. Efektif

penggunaan jangka pendek, dan kurang efektif untuk penggunaan jangka

panjang karena dapat menimbulkan efek samping (infeksi, katarak, kerapuhan

kulit, keropos pada tulang, gangguan tidur, dan perubahan suasana hati)

(Chron’s & Colitis Foundation of America, 2014). Dokter meresepkan

kortikosteroid pada penderita dengan gejala yang lebih berat dan dengan orang

yang tidak berespon dengan aminosalisilat (National Digestive Diseases

Information Clearinghouse, 2014)

Page 12: Colitis

3. Immunomodulator

Golongan obat ini memodifikasi aktivitas sistem kekebalan tubbuh shingga

tidak dapat menyebabkan peradangan yang berkelanjutan. Contoh preparatnya

adalah azathioprone, 6-merkaptopurin (6-MP), dan methotrexate. Obat-obat ini

biasanya digunakan untuk mempertahankan remisi pada pasien yang tidak

berespon dengan obat lain atau hanya merespon steroid.

4. Antibiotik

Temuan klinis pada colitis ulseratif yang berat berhubungan dengan nekrosis

luas pada mukosa kolon dan perforasi dengan sepsis. Antibiotik intravena

diberikan pada pasien yang diduga atau berpotensi terjadi sepsis. Namun, tidak

ada bukti ilmiah yang dapat mendukung penggunaan antibiotik dalam

pengobatan colitis ulseratif.

5. Terapi Biologis

Terapi ini merupakan pengobatan baru untuk kasus IBD. Terapi biologis ini

diindikasikan pada pasien dengan gejala sedang sampai berat/aktif, serta pada

pasien yang tidak berespon dengan pengobatan lain. Terapi ini termasuk

adalimumab, golimumab, infliximab, dan vedolizumab, yang menargetkan

protein yang dibuat oleh sistem kekebalan tubuh yang dikenal dengan tumor

necrosis factor (TNF). Obat-obat ini mengurangi peradangan pada kolon

dengan cara menetralisir TNF. Terapi anti-TNF ini bekerja dengan cepat dan

mempertahankan remisi. Infliximab dan vedolizumab diberikan secara IV,

sedangkan adalimumab dan golimumab diberikan secara injeksi (Chron’s &

Colitis Foundation of America, 2014). Efek samping dari terapi ini adalah

resiko terkena infeksi seperti tuberkulosis atau infeksi jamur lebih tinggi,

kanker kulit, dan psoriasis (National Digestive Diseases Information

Clearinghouse, 2014).

Berdasarkan Crohn’s and Colitis Foundation of America, diet bukan

merupakan faktor utama dalam proses inflamasi. Namun beberapa makanan spesifik,

dapat mempengaruhi gejala dari colitis ulseratif dan ikut berperan dalam proses

inflamasi (Chron’s & Colitis Foundation of America, 2014). Penatalaksanaan diet

pada colitis ulseratif, serat yang insoluble (tinggi serat) tidak baik untuk pasien,

contohnya : kubis, brokoli, jagung manis, kulit buah seperti apel dan anggur), karena

jenis serat ini melewati seluruh traktus digestivus tanpa dicerna, dan dapat menempel

Page 13: Colitis

pada dinding colon ketika inflamasi, semakin mengiritasi kolon dan memperparah

colitis. Serat yang soluble sangat baik untuk pasien karena akan dicerna dalam kolon,

menghasilkan feses yang lunak dan pergerakan usus yang bagus, tidak menempel

pada dinding usus dan tidak menyebabkan inflamasi. Contoh serat yang soluble

adalah buah-buahan dan sayur-sayuran yang sudah dikupas, bubur, dan nasi putih

(Collitis UK, 2011).

Rekomendasi penatalaksanaan colitis ringan-sedang

Pasien dengan penyakit ringan-sedang dapat diobati dengan aminosalisilat

secara oral, mesalamine atau steroid topical. Mesalamine topical lebih unggul

dibandingkan dengan steroid oral maupun aminosalisilat oral. Kombinasi dari

aminosalisilat oral dan topical lebih efektif daripada diberikan secara tunggal. Pasien

yang tidak membaik dengan pengobatan diatas dengan dosis maksimal mungkin dapat

diberikan prednisone oral dengan dosis 40 – 60 mg/hari atau infliximab 5 mg/kgBB

pada minggu 0, 2, dan 6 meskipun belum ada studi spesifik yang membuktikannya.

Aminosalisilat oral dengan dosis yang efektif berbeda pada setiap preparat

(Kornbluth A., et al. 2010).

Rekomendasi penatalaksanaan colitis berat

Pasien dengan refraktori kolitis parah pengobatan oral dengan prednison, obat

aminosalicylate oral, dan obat topikal dapat diobati dengan infliximab 5 mg / kgBB.

Infliximab diberikan jika pasien rawat jalan tapi gejala yang berat tetap berkelanjutan.

Apabila dalam 3-5hari keadaan pasien tidak membaik, maka perlu dilakukan

kolektomi (indikasi kolektomi) atau dapat diberikan cyclosporine secara IV

(Kornbluth A., et al. 2010).

Rekomendasi Pembedahan

Kolitistoksik merupakan suatu keadaan gawat darurat.Segera setelah terditeksi

atau bila terjadi ancaman megakolon toksik, semua obat anti-diare dihentikan,

penderita dipuasakan, selang dimasukan ke dalam lambung atau usus kecil dan semua

cairan, makanan dan obat-obatan diberikan melalui pembuluh darah. Pasien diawasi

dengan ketat untuk menghindari adanya peritonitis atau perforasi. Bila tindakan ini

tidak berhasil memperbaiki kondisi pasien dalam 24-48 jam, segera dilakukan

pembedahan, dimana semua atau hampir sebagian besar usus besar diangkat. Jika

Page 14: Colitis

didiagnosis kanker atau adanya perubahan pre-kanker pada usus besar, maka

pembedahan dilakukan bukan berdasarkan kedaruratan. Pembedahan non-darurat juga

dilakukan karena adanya penyempitan dari usus besar atau adanya gangguan

pertumbuhan pada anak-anak. Alasan paling umum dari pembedahan adalah penyakit

menahun yang tidak sembuh-sembuh, sehingga membuat penderita tergantung kepada

kortikosteroid dosis tinggi. Pengangkatan seluruh usus besar dan rektum, secara

permanen akan menyembuhkan kolitis ulserativa. Penderita hidup dengan ileostomi

(hubungan antara bagian terendah usus kecil dengan lubang di dinding perut) dan

kantong ileostomi. Prosedur pilihan lainnya adalah anastomosa ileo-anal, dimana usus

besar dan sebagian besar rektum diangkat, dan sebuah reservoir dibuat dari usus kecil

dan ditempatkan pada rektum yang tersisa, tepat diatas anus.

Komplikasi yang dapat terjadi 30 hari paska pembedahan, antara lain sekitar

12% mengalami abses, 8% sepsis, dan 4% fistula (Kornbluth A., et al. 2010).

Dalam perjalanan penyakit ini, dapat terjadi komplikasi : (National Digestive

Diseases Information Clearinghouse, 2014).

- Perforasi usus yang terlibat

- Stenosis usus akibat proses fibrosis

- Megakolon toksik: komplikasi serius yang terjadi ketika peradangan

menyebar ke lapisan jaringan dalam usus besar. Megakolon dapat menjadi

komplikasi yang mengancam jiwa dan paling sering membutuhkan operasi.

Megacolon merupakan komplikasi yang jarang dari kolitis ulseratif.

- Perdarahan pada rektum

- Degenerasi maligna; diperkirakan risiko terjadinya kanker pada IBD kurang

lebih 13%. Dapat terjadi jika penderita colitis ulseratif berat yang tidak kunjung

sembuh (8 tahun).

- Dehidrasi dan malabsorpsi oleh karena usus tidak mampu menyerap cairan dan

nutrisi karena diare dan peradangan yang terjadi, sehingga pada beberapa orang

memerlukan cairan IV untuk menggantikan nutrisi dan cairan yang hilang.

- Tulang menjadi keropos, seperti osteoporosis oleh karena penggunaan obat

kortikosteroid jangka panjang; pelayanan kesehatan akan memantau pasien

Page 15: Colitis

dengan osteoporosis dengan merekomendasikan suplemen kalsium dan

vitamin D dan obat-obatan untuk membantu mencegah terjadinya

osteoporosis.

Kematian akibat kolitis ulseratif atau komplikasinya juga jarang.

Kebanyakan pasien kolitis ulseratif tidak memiliki risiko tinggi terhadap

kematian. Namun, jika peradangan yang dialami tersebut luas pada kolon maka

resiko kematian akan menjadi lebih tinggi (Chron’s & Colitis Foundation of

America, 2014).

B. Kolitis Iskemik

Kolitis iskemik adalah inflamasi kolon yang disebabkan oleh inadekuat suplai

darah ke kolon. Meskipun tidak umum, kolitis iskemik banyak terjadi pada usia muda.

Insiden pasti kolitis iskemik sulit ditentukan karena pasien dengan iskemia ringan

jarang mencari pengobatan medis.

Kolitis iskemik melibatkan suplai darah ke kolon tidak memadai. Pada kasus

akut, penyebab paling sering adalah bekuan darah dalam arteri yang memasok darah

ke usus. Sedangkan pada kasus kronis biasanya berhubungan dengan penumpukan

simpanan lemak (aterosklerosis) dalam pembuluh darah yang menuju ke usus. Pada

beberapa orang, kolitis iskemik dapat disebabkan oleh atau berhubungan dengan

kondisi medis lainnya, termasuk:

peradangan (vaskulitis) pembuluh darah

penonjolan organ atau jaringan ke jaringan sekitarnya (hernia),

berhubungan dengan suplai darah arteri serta suplai darah vena ke usus

peningkatan gula (glukosa) dalam darah (diabetes)

mudah terjadi pembekuan darah (hiperkoagulasi)

radiasi abdomen

kanker colon

pembedahan perut, terutama ketika menyangkut perbaikan dinding

arteri yang menggembung (aneurisma) di wilayah tersebut

infeksi, seperti shigella, Escherichia coli dan Clostridium difficile

dehidrasi

Page 16: Colitis

Faktor risiko untuk kolitis iskemik meliputi:

Umur : lebih sering terjadi pada orang dewasa yang lebih tua. Jika itu

terjadi pada orang dewasa muda, mungkin menjadi tanda kelainan

pembekuan darah atau suatu peradangan pembuluh darah (vaskulitis).

Riwayat pernah di operasi sebelumnya, gagal jantung, tekanan darah rendah

dan syok.

Berbicara mengenai patofisiologi penyakit ini, kolitis iskemik dapat

disebabkan karena aliran sistemik yang kurang atau faktor lokal berupa vasokonstriksi

pembuluh darah usus dan trombus. Sehingga penyebab kolitis iskemik dibedakan atas

oklusif dan non oklusif. Pada banyak kasus, penyebab non spesifik banyak ditemukan.

Kolon didarahi oleh arteri mesenterika superior dan arteri meesenterika inferior.

Terbentuk kolateral dari hubungan kedua arteri ini. Namun fleksura splenikus dan

kolon ascenden memiliki sedikit kolateral dari kedua arteri ini sehingga iskemia lebih

mudah terjadi pada daerah ini. Sedangkan rektum mendapat suplai darah dari arteri

mesenterika inferior & arteri iliaka interna sehingga pada rektum jarang terjadi

iskemia. Kolon menerima 10-35% dari total cardiac output. Jika aliran darah ke kolon

menurun lebih dari 50% maka akan terjadi iskemia. Arteri pada kolon sensitif

terhadap vasokonstriktor seperti kondisi stres dan obat-obat vasikonstriktor seperti

ergotamin, kokain atau vasopresin. Kondisi patologis yang bisa ditemukan pada

kolitis iskemik berupa perdarahan dan edem mukosa dan submukosa, nekrosis dan

ulserasi. Pada kondisi yang berat dapat ditemukan gambaran ulserasi kronik, abses

kripta dan pseudopolip serta infark transmural.

Manifestasi dari colitis iskemik adakah nyeri pada abdomen yang biasanya

terlokalisasi ke sisi kiri bawah perut dan dapat secara bertahap, perdarahan saluran

cerna bawah, diare, demam lebih tinggi dari 38oC. Resiko komplikasi berat dari colitis

iskemik meningkat ketika peradangan mengenai sisi kanan usus sehingga bagian dari

usus halis juga tidak menerima suplai darah yang cukup. Nyeri yang dirasakan pasien

cenderung lebih parah. Dimana, terhambatnya aliran darah ke usus halus cepat

mengakibatkan kematian pada jaringan usus (infark atau nekrosis). Akibatnya, dapat

mengancam jiwa pasien sehingga pembedahan sangat diperlukan untuk

membersihkan sumbatan serta menghilangkan bagian dari usus yang telah hancur.

Page 17: Colitis

Diagnosis dini serta penatalaksanaan yang cepat dan tepat dapat mencegah terjadinya

komplikasi yang berta. Secara umum, fase kolitis iskemik progresif dibagi 3, yaitu:

1. Fase hiperaktif, ditandai dengan nyeri perut dan BAB berdarah

2. Fase paralitik, terjadi jika iskemia berlanjut. Pada fase ini neri perut

meluas dan lebih nyeri jika disentuh, motilitas usus berkurang,

kembung, bunyi bising usus berkurang sampai tidak ada.

3. Fase syok, akibat perforasi kolon.

Untuk mendiagnosis penyakit ini sama seperti penyakit lainnya, yaitu dimulai

dari anamnesis dengan cermat, pemeriksaan fisik, pemeriksaan lanjutan. Hasil

laboratorium menunjukkan leukositosis (>15.000/mm3) dan penurunan kadar

bikarbonat <24 mmol/L. Endoskopi berupa kolonoskopi atau fleksibel sigmiodoskopi

merupakan prosedur pilihan jika diagnosis masih belum jelas. Biopsi melalui

endoskopi bermanfaat menyediakan lebih banyak informasi. Visible light

spectroscopic catheter ditempatkan di usus menggunakan endoskopi, berguna untuk

menganalisis kadar oksigen. Spesifitas alat ini adalah 90% atau lebih untuk iskemia

kolon akut dan 83% untuk iskemia mesenterika kronik.

Penatalaksanaan kolitis iskemik yakni berupa terpai suportif : 1) IVFD

(Intravenous fluid drift) untuk mengatasi dehidrasi yang terjadi, 2) puasa, 3)

pemberian antibiotik, 4) Analgesik untuk mengurangi nyeri yang ditimbulkan, 5)

pembedahan; dilakukan jika didapatkan leukositosis berat, demam serta nyeri perut

dan perdarahan yang memburuk. Komplikasi yang dapat terjadi dari penyakit ini

berupa sepsis, gangren intestinal, perforasi kolon, dan dapat pula striktur.

Page 18: Colitis

BAB III

PENUTUP

Kolitis dapat diklasifikasikan menjadi kolitis infeksi dan non infeksi.

Kolitis infektif terdiri dari kolitis amebik, shigelosis, kolitis tuberkulosa, kolitis

pseudomembran dan kolitis oleh parasit serta bakteri lain seperti E. coli. Kolitis

noninfektif antara lain berupa kolitis ulseratif, penyakit Crohn, kolitis radiasi, kolitis

iskemik, kolitis mikroskopik, maupun kolitis nonspesifik. Pemeriksaan endoskopi

dapat membantu dalam menegakkan diagnosis masing-masing kolitis.

Pada kasus ini, evaluasi terhadap kondisi pasien kolitis perlu dilakukan

dengan rutin guna untuk mencegah komplikasi-komplikasi yang serius.

Disamping itu pula, masih perlu dilakukan penelitian epidemiologi mengenai

insidensi dari berbagai macam kolitis khususnya di Indonesia untuk menemukan

etiologi dan patofisiologi yang pasti, sehingga penatalaksanaan terhadap pasien

kolitis pun menjadi pasti.

Page 19: Colitis

DAFTAR PUSTAKA

Bamias G., Myce M.R., Sarah A., et al. 2005. New Concepts in the Pathophysiology

of Inflammatory Bowel Disease. Vol. 143. No. 12. American College of

Physicians Internal Medicine

Chron’s & Colitis Foundation of America. 2014. The Facts About Inflammatory

Bowel Disease. New York

Colitis UK. 2011. The Effects of Diet on Ulcerative Colitis. Available at:

http://www.ulcerativecolitis.org.uk/dietarychanges.htm. Diakses tanggal 17

April 2012. Jam 22.00 WIB.

Dignass A., Eliakim R., Magro F., et al. 2012. Second European Evidenced-Based

Consensus on the Diagnosis and Management of Ulverative Colitis:

Definitions and Diagnosis. No of pages 26. Journal of Crohn’s and Colitis:

Departement of Medicine

Kornbluth A., Sachar D.B., et al. 2010. Ulcerative Colitis Practice Guidelines in

Adults: American College of Gastroenterology, Practice Parameters

Committe. Vol. 105. The American Journal of Gastroenterology

Koutroubakis I.E., editors. 2008. Ischemic colitis: Clinical practice in diagnosis and

treatment. Vol. 14. Np. 48. World Journal of Gastroenterology

National Digestive Diseases Information Clearinghouse. 2014. Ulcerative

Colitis. No. 14. National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney

Disease

Puri A.S. 2013. Epidemiology of Ulcerative Colitis in South Asia. Departement of

Gastroenterology, GB Pant Hospital : New Delhi, India

Page 20: Colitis

PENUGASAN JURNAL

“Colitis”

OLEH :

A.A.A. LIE LHIANNA M.P.

H1A013001

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

NUSA TENGGARA BARAT

2015

Page 21: Colitis