Chrons Disease
description
Transcript of Chrons Disease
PENDAHULUAN
Inflammatory bowel disease (IBD) adalah kondisi intestinal kronik yang dimediasi imun. Kolitis ulseratif (KU/ulcerative colitis) dan penyakit Crohn (PC/Crohn’s disease) adalah 2 tipe utama dari IBD. Penyakit Crohn mengambil nama Burril B. Crohn seorang dokter ahli dari New York yang pada tahun 1932 pertama kali menemukan peradangan pada usus kecil.
DEFENISI
PC adalah gangguan peradangan yang terus menerus dan melibatkan semua lokasi pada traktus digestivus (traktus gastrointestinalis). Dapat didefenisikan berdasarkan lokasi (ileum terminal, kolonik, ileokolik, gastrointestinal atas) atau berdasarkan bentuk penyakit (inflamasi, fistula, atau striktura). Umumnya mengenai bagian akhir usus halus, yakni ileum sehingga sering juga disebut sebagai ileitis atau enteritis.
EPIDEMIOLOGI
Insidensi IBD beragam bergantung area geografiknya. PC dan KU, keduanya memiliki insidensi tertinggi di Eropa, United Kingdom, dan Amerika Utara. Di Amerika Utara, insidensi memiliki rentang dari 2,2 sampai 14,3 kasus per 100.000 orang-tahun untuk KU dan dari 3,1 sampai 14,6 kasus per 100.000 orang-tahun untuk PC.
Dari sebuah studi systemic review di Singapura dan Malaysia dengan membandingkan tiga populasi: ras Malaysia, Cina dan India. Ras India ternyata memiliki prevalensi tertinggi terhadap KU, dan prevalensi PC tidak ada perbedaan signifikan di Singapura, sedangkan Malaysia memiliki prevalensi tertinggi pada ras India.
Dari data di Unit Endoskopi pada beberapa Rumah Sakit di Jakarta (RSCM, ES Tebet, RS Siloam Gleneagles, RS Jakarta) didapatkan kesan bahwa kasus IBD terdapat pada 12,2% dari kasus yang dikirim dengan diare kronik, 3,9% dari kasus dengan hematokhezia, 25,9% dari kasus dengan diare kronik + berdarah + nyeri perut. Sedangkan kasus dengan nyeri perut didapatkan sebesar 2,8%.
Efek merokok berbeda pada KU dan PC. Risiko dari KU pada perokok adalah 40% dibandingkan non-perokok. Sebagai tambahan, mantan perokok memiliki risiko 1,7 kali lipat lebih tinggi untuk terkena KU dibandingkan mereka yang belum pernah merokok. Sebaliknya, merokok dihubungkan dengan peningkatan dua kali lipat terkena PC.
Tabel 1. Epidemiologi IBD1
EPIDEMIOLOGI DARI IBD
Kolitis Ulseratif Penyakit Crohn
Insidensi (Amerika Utara) orang/tahun
Onset usiaRasio pria : wanita Merokok Apendiktomi
2,2-14,3/100.000
15-30 & 60-80 1 : 1Dapat mencegah penyakit Mencegah
3,1-14,6/100.000
15-30 & 60-80 1,1-1,8 : 1Dapat menyebabkan penyakit Tidak mencegah
IBD merupakan penyakit keturunan. Jika pasien memilki IBD, risiko seumur hidup pada turunan pertama adalah 10%. Jika kedua orang tua memiliki IBD, setiap anak memiliki kemungkinan 36% terkena.
ETIOLOGI DAN PATOGENESA
Suatu hipotesa konsensus bahwasanya pada individu yang secara genetik terpapar, kedua faktor eksogen (mis. flora luminal normal) dan faktor inang (mis. fungsi sawar sel epitel intestinal, fungsi innate dan imun adaptif) menyebabkan keadaan kronik dari disregulasi fungsi imun mukosa yang selanjutnya dimodifikasi oleh faktor lingkungan (mis. merokok).
Penyakit Crohn
Meskipun PC biasanya muncul sebagai inflamasi usus akut atau kronik, proses inflamasi berkembang ke arah satu dari 2 bentuk penyakit: bentuk obstruksi-fibrostenotik atau bentuk penetrasi-fistula, masing-masing dengan pengobatan dan prognosa yang berbeda. Lokasi penyakit mempengaruhi manifestasi klinis.
Ileokolitis
Karena lokasi terbanyak, sekitar 40% dari inflamasi adalah ileum terminal, gambaran umum dari ileokolitis adalah riwayat kronik dari episode rekuren dari nyeri perut kuadran kanan bawah dan diare. Terkadang gambaran awal menyerupai apendisitis dengan nyeri perut kuadran kanan bawah, teraba massa, demam, dan lekositosis. Nyeri biasanya bersifat kolik; berkurang dengan defekasi.
Demam yang tidak terlalu tinggi biasanya dijumpai. Penurunan berat badan umum dijumpai—biasanya 10-20% dari berat badan—dan muncul sebagai konsekuensi dari diare, anoreksia, dan ketakutan untuk makan.
Sebuah massa inflamasi dapat terpalpasi pada quadran kanan bawah abdomen. Massa berisikan usus yang terinflamasi, mesenterika mengeras, dan pembesaran kelenjar limfa abdominal. Perluasan massa dapat menyebabkan obstruksi dari ureter kanan dan inflamasi kandung kemih, dengan manifestasi dysuria dan demam. Edema, penebalan dinding usus, dan fibrosis dinding usus untuk tanda radiografi “string sign” dari lumen intestinal yang sempit. Obstruksi usus dapat terjadi dalam beberapa bentuk. Pada stadium awal dari penyakit, dinding usus mengalami edema dan spasme dengan manifestasi obstruksi intermiten dan meningkatkan gejala-gejala nyeri postprandial. Setelah beberapa tahun inflamasi persisten akan menjadi penyempitan fibrostenosis dan striktura. Diare akan berkurang dan digantikan dengan obstruksi usus kronis
Inlamasi berat dari regio ileosekal dapat mengakibatkan penebalan dinding lokal, dengan mikroperforasi dan fistula. Fistula enterovesikel umumnya dijumpai sebagai nyeri buang air kecil, infeksi kandung kemih berulang atau, lebih jarang, sebagai pneumaturia atau fecaluria.
Tabel 4. Kriteria klinis untuk aktivitas penyakit Crohn10
Ringan-ke-Sedang
Rawat Jalan, tanpa abdominal tenderness, massa yang nyeri, atau obstruksi
Sedang-ke-Berat Tidak respon terhadap pengobatan untuk stadium ringan-sedang atau demam yang menonjol, penurunan berat badan, anemia, nyeri perut, atau mual -muntah
Berat-ke-Fulminan
Gejala yang persisten dengan kortikosteroid dengan demam tinggi, kaheksia, atau abses
Remisi Asimtomatik, tanpa inflamasi sequelae, tidak membutuhkan korikosteroid sistemik
LABORATORIUM, ENDOSKOPI, DAN GAMBARAN RADIOGRAFI
Penyakit aktif dapat dihubungkan dengan peningkatan fase reaktan akut [C-reactive protein (CRP)], jumlah platelet, dan rasio sedimen eritrosit [erythrocyte sedimentation rate (ESR)], dan penurunan hemoglobin. Pada pasien-pasien dengan penyakit berat, level albumin serum akan jatuh secara cepat. Leukositosis dapat dijumpai namun bukan merupakan indikator spesifik terhadap aktivitas penyakit. Proktitis atau proktosigmoiditis jarang menyebabkan kenaikan CRP. Diagnosa bergantung pada riwayat pasien; gejala klinis; pemeriksaan feses yang negative terhadap bakteri, toksin C. difficile, dan ova dan parasit; gambaran sigmoidoskopi; dan histologi spesimen biopsi rektal dan kolon.
Calprotectin, sebuah neutrophilic calcium-binding protein, dinilai pada serum dan feses dan dilaporkan memiliki sensitivitas dan spesifisitas 90% dan 83%, masing-masing, untuk IBD aktif. Aadland dan Fagerhol menunjukkan penurunan konsentrasi fecal calprotein pada pasien IBD setelah mendapatkan pengobatan infliximab, sesuai dengan perbaikan aktivitas klinis penyakit.
Dua antibodi yang dapat dideteksi pada serum pasien IBD adalah perinuclear antineutrophil cytoplasmic antibodies (pANCAs) dan anti-Saccharomyces cerevisiae antibodies (ASCAs). Positif pANCA ditemukan pada 60-70% dari pasien KU dan 5-10% dari pasien PC. Positif pANCA umumnya dihubungkan dengan pancolitis, tindakan bedah yang awal, pouchitis, dan primary sclerosing cholangitis (PSC). ASCA antibodi ditemukan pada 60-70% pasien PC,10-15% pasien KU, dan sampai 5% non-IBD memiliki ASCA positif. Sensitivitas dan spesifisitas pANCA/ASCA beragam bergantung pada prevalensi IBD di populasi. Pada populasi pasien dengan kombinasi prevalensi KU dan PC dari 62%, serologi pANCA/ASCA menunjukkan sensitivitas 64% dan spesifisitas 94%. Positive dan negative predictive value (PPV dan NPV) untuk pANCA/ASCA juga beragam bergantung prevalensi IBD. Untuk populasi pasien dengan prevalensi IBD dari 62%, PPV 94% dan NPV 63%.
PERBEDAAN GAMBARAN KLINIS, ENDOSKOPIK DAN RADIOGRAFI
Kolitis ulseratif Penyakit Crohn
KlinisDarah pada feses LendirGejala sistemik NyeriMassa di abdomen Penyakit perineal signifikan FistulaObstruksi usus halus Obstruksi kolonRespon terhadap antibiotik
Ya YaTerkadang Terkadang Jarang Tidak Tidak Tidak Jarang
Terkadang Terkadang Sering SeringYa Sering Ya Sering Sering
Rectal sparing Penyakit kontinyu “Cobblestoning” Granuloma pada biopsi
Jarang Ya Tidak Tidak
Sering Terkadang Ya T
Ket: ANCA, antineurophil cytoplasm antibody; ASCA, anti-Saccharomyces cerevisiae antibody
PENGOBATANRencana terapeutik lebih ditekankan kepada penghambatan kasakde
proses inflamasi (kalau tidak dapat dihilangkan sama sekali) karena etiologi dan patogenesis IBD belum jelas. Mengacu kepada konsep pengobatan umum serta prinsip terapi medikamentosa pada IBD, yakni: (1) Mengobati keradangan aktif IBD dengan cepat sampai tercapai remisi; (2) Mencegah keradangan berulang dengan mempertahankan remisi selama mungkin; dan (3) Mengobati serta mencegah komplikasi.
5-Aminosalicylic acid (5-ASA)Terapi utama untuk KU dan PC ringan ke sedang adalah sulfasazine dan
agen 5-ASA lainnya. Agen ini efektif dalam menginduksi remisi pada kedua KU dan PC dan mempertahankan remisi pada KU; namun masih belum jelas apakah dapat mempertahankan remisi pada PC. Meskipun sulfasalazine lebih efektif pada dosis yang lebih tinggi, pada 6 atau 8 g/hari sampai 30% pasien mengalami reaksi
alergi atau efek samping seperti nyeri kepala, anoreksia, mual dan muntah.1
Preparat baru dari aminosalisilat bebas-sulfa meningkatkan jumlah kandungan aktif sulfasalazine secara farmakologis (5-ASA, mesalamine) ke area aktif dari penyakit usus selagi menghambat toksisitas sistemik. Peroxisome proliferator activated receptor γ (PPAR- γ) dapat memediasi kerja terapi 5-ASA dengan
regulasi NF-κB.1 Sekitar 50-70% pasien dengan KU dan PC ringan sampai sedang membaik ketika diterapi dengan 2g/hari dari 5-ASA; respon dosis dapat dinaikkan hingga 4,8 g/hari. Dosis 1,5-4g/hari untuk mempertahankan remisi pada
50-75% pasien dengan KU.1,4 Mesalamine enema topikal efektif pada KU dan PC ringan sampai sedang. Respon klinis dijumpai sampai 80% pasien KU dengan kolitis distal sampai fleksura splenik. Kombinasi terapi mesalamine bentuk oral dan enema lebih efektif jika dibandingkan dengan terapi tunggal baik untuk KU distal maupun ekstensif. Mesalamin suppositoria efektif dalam mengobati
RadiografiUsus halus secara
signifikan abnormalIleum terminal yang abnormal Kolitis segmentalKolitis asimetris Striktura
Tidak
Terkadag Tidak Tidak Terkadag
Ya
Ya Ya YaSering
proktitis.1
GlukokortikoidPasien dengan KU sedang sampai berat umumnya mengalami perbaikan
setelah mendapatkan terapi glukokortikoid oral maupun parenteral. Prednisone biasanya dimulai dari dosis 40-60 mg/hari untuk KU aktif yang tidak respon terhadap terapi 5-ASA. Sebuah studi melaporkan bahwa oral prednisolon (dimulai dari 40 mg per hari) dapat menginduksi remisi pada 77% dari 118 pasien dengan penyakit ringan sampai sedang dalam 2 minggu, bila dibandingkan 48% diterapi dengan 8 gr/hari dari sulfasalazin. Glukokortikoid parenteral dapat diberikan sebagai hidrokortison intravena, 300 mg/hari, atau
methylprednisolon 40-60 mg/hari.1, 4 Glukokortikoid topikal juga bermanfaat untuk kolitis distal dan dapat berfungsi untuk membantu pada pasien-pasien yang sudah ada keterlibatan penyakit di rektal atau yang lebih proksimal. Namun terapi topikal 5-ASA lebih efektif bila dibandingkan terapi topikal steroid
dalam pengobatan KU distal.1 Glukokortikoid juga efektif untuk pengobatan PC sedang sampai berat dan menginduksi 60-70% remisi bila dibandingkan repon 30% pada plasebo. Budesonide digunakan selama 2-3 bulan dengan dosis 9 mg/hari, kemudian diturunkan. Budesonide 6 mg/hari efektif dalam
menurunkan angka kekambuhan pada 3-6 bulan namun tidak pada 12 bulan.1
Glukokortikoid tidak memiliki peranan dalam terapi rumatan baik pada KU maupun PC. Sekali sudah terjadi remisi, sebaiknya obat diturunkan dosisnya sesuai dengan aktivitas klinis, normalnya tidak lebih dari 5 mg/minggu. Dapat juga diturunkan sampai 20 mg/hari dalam 4-5 minggu namun sering memerlukan
beberapa bulan untuk menghentikan seluruhnya.1 Efek samping dari glukokortikoid cukup beragam, mulai dariretensi cairan, striae abdominal, redistribusi lemak, hiperglikemi, dan lain-lain. Banyak dari efek samping
ini dihubungkan dengan dosis dan durasi dari pengobatan.1
AntibiotikAntibiotik tidak memiliki peranan dalam pengobatan KU aktif maupun
tenang. Namun, pouchitis, yang muncul pada sepertiga pasien KU setelah kolektomi, umumnya respon terhadap pengobatan metronidazole ataupun
ciprofloxacin.1 Metronidazole efektif pada inflamasi aktif, fistula, dan PC perianal dan dapat mencegah kekambuhan setelah reseksi ileum. Dosis paling efektif adalah 15-20 mg/kg per hari dibagi dalam tiga dosis; biasanya dilanjutkan sampai beberapa bulan. Ciprofloxacin (500 mg dua kali per hari) juga bermanfaat untuk PC inflamasi, perianal, dan fistula. Kedua antibiotik ini sebaiknya digunakan sebagai obata lini kedua untuk PC aktif setelah agen 5-
ASA dan obat-obatan lini pertama pada PC perianal dan fistula.1
Azathioprine Dan 6-MercaptopurineAzathioprine dan 6-mercaptopurine (6-MP) adalah analog purin yang
umumnya digunakandalam penanganan glucocorticoid-dependent IBD. Efikasi dapat terlihat pada minggu 3-4. Kepatuhan dapat dimonitor dengan menggunakan level 6-thioguanine dan 6-methyl- mercaptopurine, hasil akhir dari metabolisme 6-MP. Azathiopurine (2,0-3,0 mg/kg per hari) atau 6-MP (1,0-1,5 mg/kg per hari) telah digunakan pada dua per tiga pasien KU dan PC yang sebelumnya tidak dapat menghentikan penggunaan glukokortikoid. Peranan imunomodulator ini sebagai terapi rumatan pada KU dan PC dan sebagai pengobatan aktif perianal dan fistula cukup menjanjikan. Sebagai tambahan, 6-MP atau azathioprine efektif
untuk profilaksis pada pasien post operasi dari PC.1
MethotrexateMethotrexate (MTX) menghambat dihidrofolat reduktase, yang
menghasilkan sintesis DNA terganggu. Intramuskular atau subkutaneus MTX (25 mg/minggu) efektif dalam menginduksi remisi dan menurunkan dosis
glukokortikoid; 15 mg/minggu efektif dalam remisi rumatan pada PC aktif.1,4
Pada sebuah studi kontrol, 141 pasien steroid-dependent secara acak diberikan MTX intramuskular 25 mg/minggu atau plasebo selama 16 minggu, dengan dosis harian prednisolone (20 mg saat awal) dan diturunkan dalam periode 3 bulan. Lebih banyak kelompok pasien yang diterapi MTX dapat menghentikan steroid dan remisi bila dibandingkan dengan plasebo (39% v 19%; p = 0.025). Hal ini efektif untuk mencegah kekambuhan setelah remisi yang diakibatkan oleh MTX. Dan belum ada uji coba mengenai peranan
MTX dalam menginduksi atau mempertahankan remisi pada KU.4
CyclosporineCyclosporine (CSA) bekerja lebih cepat bila dibandingkan 6-MP dana
azathioprine. CSA paling efektif bila diberikan pada dosis 2-4 mg/kg per hari secara intravena pada KU berat yang tidak dapat disembuhkan dengan glukokortikoid intravena, dengan 82% pasien respon. CSA intravena efektif pada 80% pasien dengan fistula refrakter, namun 6-MP atau azathioprine tetap harus digunakan untuk mempertahankan remisi. Oral CSA saja hanya efektif pada dosis yang lebih tinggi (7,5 mg/kg per hari) pada penyakit aktif namun
tidak aktif untuk rumatan tanpa 6-MP/azathioprine.1,4
Antibodi Anti-TNFTNF adalah sitokin inflamasi dan mediator dari inflamasi intestinal.
Ekspresi TNF meningkat pada IBD. Pada pasein PC aktif yang tidak sembuh dengan glukokortikoid, 6-MP, atau 5-ASA, 65% akan respon terhadap
infliximab (IFX) intravena (5 mg/kg); sepertiga akan mengalami remisi komplit. Dari pasien yang awalnya respon, 40% akan remisi selama 1 tahun
dengan pengulangan infus infliximab setiap 8 minggu.1 Infliximab juga efektif pada pasien PC dengan fistula perianal dan enterokutaneus yang tidak sembuh, dengan angka respon 68% dan 50% mengalami remisi komplit. Pemasangan infus kembali, setiap 8 minggu, penting untuk melanjutkan manfaat terapi pada
banyak pasien.1 Infliximab juga menunjukkan efikasi pada KU. Pada dua uji acak, uji plasebo-kontrol, 37-49% pasien respon terhadap infliximab dan 22 dan 20% pasien dapat mempertahankan remisi setelah 30 dan 54 minggu, masing-masing. Pasien mendapatkan infliximab pada minggu 0, 2, dan 6 dan selanjutnya setiap 8
minggu sampai akhir dari studi.1 Pada uji acak ganda pada 108 pasien dengan PC sedang sampai berat dan sulit disembuhkan dengan 5-ASA, kortikosteroid, dan/atau imunomodulator, menunjukkan 81% angka respon pada 4 minggu setelah 5 mg/kg IFX dibandingkan dengan 17% yang mendapatkan
plasebo.4
Memperbaiki gaya hidupTidak dapat disangkal bahwa merokok dan kehidupan dengan risiko-tinggi,
seperti pada penderita HIV-AIDS merupakan predisposisi patogenesis IBD disamping gizi buruk (malnutrition). Risiko rekurensi IBD meningkat dua kali lipat pada smokers, merokok juga menurunkan efektifitas infliximab. Memperbaiki gaya hidup membutuhkan kerjasama yang paripurna dari segenap
unsul yang terlibat.2
Pengobatan Pencegahan Komplikasi Beberapa faktor penting yang berperan dan terlibat langsung adalah:
Nutrisi, Pembedahan, Health-mentally Social Working Group. Nutrisi yang baik sangat berarti pada penatalaksanaan IBD. Konsultasi Gizi (Dietitian) perlu terlibat aktif memacu perbaikan kondisi malnutrisi (osteoporosis, defisiensi besi) dengan mensuportasi suplemen-mineral dan vitamin (terutama kalsium, zat besi, vit D dan B12). Perubahan diet termasuk meperbaiki/mengurangi diet laktosa dan fruktosa untuk mencegah diare serta diet rendah serat untuk mencegah perburukan PC-strictures and intestinal narrowing. Begitu juga dengan kelompok pekerja sosial-kesehatan, yang secara psikologis mampu
memberikan dukungan yang sesuai dan layak.2 Belum ada bukti yang menunjukkan bahwa mengistirahatkan usus dapat memperbaiki perjalanan penyakit KU yang berat. Sebuah hasil dari studi klinis prospektif kecil (N=27) menunjukkan tidak ada perbedaan outcome klinis pada pasien-pasien yang menjalani istirahat usus dengan total parenteral nutrition (TPN) bila dibandingkan dengan yang diberikan diet oral. Juga, nutrisi enterik total dengan formula polymeric dilaporkan aman dan ditoleransi dengan baik. Restriksi
laktosa mungkin bermanfaat pada individu dengan intoleransi laktosa namun
belum direkomendasikan secara rutin.13 Pada keadaan KU berat dibutuhkan perawatan rumah sakit karena KU secara progresif mengalami komplikasi megakolon toksik, obstruksi intestinal, perforasi dan kematian. Tujuan perawatan RS adalah untuk pengobatan segera dan pengendalian resusitasi cairan, mengistirahatkan kolon, suportasi nutrisi dalam bentuk TPN (total parenteral nutrisi), pemberian kortikosteroid intravena, obat-obat lain, bahkan mungkin persiapan untuk pertimbangan prosedur bedah cito. Demikian pula dengan PC, indikasi rawat inap di RS sama seperti KU, disamping dapat pula akibat adanya fistula dan abses perianal.
TERAPI PEMBEDAHAN
Kolitis Ulseratif Setengah dari pasien dengan KU kronik yang ekstensif menjalani pembedahan dalam 10 tahun penyakitnya. Indikasi pembedahan dapat dilihat pada table berikut. Morbiditas 20% pada elektif, 30% pada urgensi, dan 40% untuk proktokolektomi emergensi.
Tabel 5. Indikasi Pembedahan1
INDIKASI PEMBEDAHAN
Kolitis Ulseratif Penyakit CrohnPenyakit yang sulit disembuhkan Penyakit yang fulminan Megakolon toksikPerforasi kolon Perdarahan masif kolon Penyakit ekstrakolon Obstruksi Kolon Pencegahan kanker kolonDisplasia kolon atau kanker
Usus halusStriktura dan obstruksi yang tidak respon terhadap terapi medis
Perdarahan masifFistula yang sulit ditangani AbsesKolon dan rektumPenyakit yang sulit disembuhkan Penyakit fulminanPenyakit perianal yang tidak
Pada umumnya pasien dengan PC membutuhkan setidaknya pembedahan satu kali selama hidupnya. Kebutuhan pembedahan dihubungkan dengan lamanya penyakit dan tempat keterlibatan. Pasien-pasien dengan penyakit usus kecil memiliki 80% kemungkinan untuk kebutuhan pembedahan. Pasien dengan kolitis saja, memiliki kesempatan sebanyak 50%. Pembedahan hanya pilihan ketika pengobatan medis telah gagal atau
komplikasi yang mengharuskan tindakan bedah.1
KomplikasiHanya 15% pasien dengan KU muncul dengan penyakit katastrofi.
Perdarahan masif muncul dengan gejala tiba-tiba dari penyakit sebanyak 1% dari pasien, dan pengobatan untuk penyakit biasanya menghentikan perdarahan. Meskipun demikian, jika pasien memerlukan 6-8 unit darah dalam 24-48 jam, kolektomi diindikasikan. Megakolon toksik didefenisikan sebagai kolon transversum dengan diameter >5-6 cm, dengan hilangnya lipatan haustral pada pasien dengan gejala berat dari KU. Hal ini terjadi pada 5% dari serangan dan dapat dicetuskan oleh abnormalitas elektrolit dan narkotika. Sekitar 50% akut dilatasi akan teratasi dengan terapi medis saja, namun kolektomi urgensi dibutuhkan bila tidak terjadi perbaikan. Perforasi merupakan komplikasi lokal yang paling berbahaya. Dan tanda fisik peritonitis bisa tidak jelas terutama pada pasien-pasien yang mendapatkan glukokortikoid. Meskipun perforasi jarang, angka mortalitas untuk perforasi karena komplikasi megakolon sebesar 15%. Sebagai tambahan, pasien dapat menjadi kolitis toksik dan ulserasi berat sehingga usus dapat perforasi tanpa harus dilatasi awalnya.
Sriktur muncul pada 5-10% pasien dan selalu pertimbangkan KU karena kemungkinan penyebab neoplasia. Meskipun striktur ringan dapat terjadi dari inflamasi dan fibrosis dari KU, striktur yang tidak dapat dilewati dengan kolonoskop sebaiknya diduga malignansi sampai terbukti sebaliknya. Striktur
yang menghambat pasase kolonoskop merupakan indikasi pembedahan.
Pada penyakit Crohn, perforasi muncul pada 1-2% pasien, terutama pada ileum namun terkadang di jejenum atau sebagai komplikasi dari megakolon toksik. Peritonitis dari perforasi bebas, terutama kolon, dapat menjadi fatal. Abses intraabdominal dan pelvik muncul pada 10-30% pasien dengan penyakit Crohn, dan lebih umum dijumpai pada PC dibandingkan pada KU. Drainase perkutaneus dari abses dengan bimbingan CT merupakan standar terapi.
Obstruksi intestinal pada 40%, obstruksi terjadi akibat pembengkakan dan bentuk dari jaringan parut, yang akan mengakibatkan penebalan dinding usus. Komplikasi lainnya meliputi perdarahan masif, malabsorbsi, dan penyakit perianal berat.
KESIMPULAN
1. Inflammatory bowel disease (IBD) adalah kondisi intestinal kronik yang dimediasi imun. Kolitis ulseratif (KU/ulcerative colitis) dan penyakit Crohn (PC/Crohn’s disease) adalah 2 tipe utama dari IBD.
2. Sebagai penyebab (etiologi), terdapat banyak teori, namun sampai saat ini belum ada etiologi yang jelas. Teori yang paling populer adalah bahwa sistem imunitas tubuh pada penderita PC bereaksi abnormal terhadap bakteria, makanan, dan substansi lain yang dianggap sebagai benda asing.
Begitu juga dengan KU, diduga sistem imun mukosa usus besar (SIMUB) yang terpicu oleh intervensi antigen yang berasal dari komponen nutrisi atau agen infeksi.
3. PC melibatkan semua lokasi pada traktus digestivus dari mulut sampai anus. Dimana pada gambaran klinis dapat dijumpai nyeri perut bawah kanan dan diare.
4. Gambaran klinis KU meliputi adanya lendir dan darah saat buang air besar, diare kronis, tenesmus, perut berasa tidak enak serta urgensi.
5. Prinsip terapi medikamentosa pada IBD, yakni: (1) Mengobati keradangan aktif IBD dengan cepat sampai tercapai remisi; (2) Mencegah keradangan berulang dengan mempertahankan remisi selama mungkin; dan (3) Mengobati serta mencegah komplikasi.