Chapter I

7
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit infeksi dan kurang gizi merupakan penyebab kematian balita di negara maju maupun di negara berkembang. Penyakit infeksi yang sering terjadi pada balita adalah Diare, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), Infeksi telinga, Radang tenggorokan, dan Tetanus. Dari antara penyakit ini, kasus ISPA adalah kasus yang paling tinggi. Kasus ISPA merupakan 50% dari seluruh penyakit pada anak berusia dibawah 5 tahun, dan 30% pada anak 5-12 tahun. Kasus ISPA di negara berkembang 2-10 kali lebih banyak dari pada di negara maju. Perbedaan ini berhubungan dengan etiologi dan faktor resiko. Dinegara maju, ISPA di dominasi oleh virus, sedangkan dinegara berkembang ISPA sering disebabkan oleh bakteri seperti S. Pneumonia dan H. Influenza. Di negara berkembang, ISPA dapat menyebabkan 10%-25% kematian dan bertanggung jawab terhadap 1/3-1/2 kematian pada balita (Raharjoe, 2008; WHO, 2003). Di Indonesia, ISPA sering disebut sebagai ”pembunuh utama”. Kasus ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien kesarana kesehatan yaitu 40%-60% dari seluruh kunjungan ke Puskesmas dan 15%-30% dari seluruh kunjungan rawat jalan dan rawat inap Rumah Sakit. Diperkirakan kematian akibat ISPA khususnya Pneumonia mencapai 5 kasus diantara 1000 balita. Ini berarti ISPA mengakibatkan 150.000 balita meninggal tiap tahunnya, atau 12.500 korban perbulan, atau 416 kasus perhari, atau 17 anak perjam atau seorang bayi tiap 5 menit (Depkes, 2004). Universitas Sumatera Utara

description

ijvler

Transcript of Chapter I

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit infeksi dan kurang gizi merupakan penyebab kematian balita di

negara maju maupun di negara berkembang. Penyakit infeksi yang sering terjadi

pada balita adalah Diare, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), Infeksi telinga,

Radang tenggorokan, dan Tetanus. Dari antara penyakit ini, kasus ISPA adalah

kasus yang paling tinggi. Kasus ISPA merupakan 50% dari seluruh penyakit pada

anak berusia dibawah 5 tahun, dan 30% pada anak 5-12 tahun. Kasus ISPA di

negara berkembang 2-10 kali lebih banyak dari pada di negara maju. Perbedaan

ini berhubungan dengan etiologi dan faktor resiko. Dinegara maju, ISPA di

dominasi oleh virus, sedangkan dinegara berkembang ISPA sering disebabkan

oleh bakteri seperti S. Pneumonia dan H. Influenza. Di negara berkembang, ISPA

dapat menyebabkan 10%-25% kematian dan bertanggung jawab terhadap 1/3-1/2

kematian pada balita (Raharjoe, 2008; WHO, 2003).

Di Indonesia, ISPA sering disebut sebagai ”pembunuh utama”. Kasus

ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien kesarana kesehatan

yaitu 40%-60% dari seluruh kunjungan ke Puskesmas dan 15%-30% dari seluruh

kunjungan rawat jalan dan rawat inap Rumah Sakit. Diperkirakan kematian akibat

ISPA khususnya Pneumonia mencapai 5 kasus diantara 1000 balita. Ini berarti

ISPA mengakibatkan 150.000 balita meninggal tiap tahunnya, atau 12.500 korban

perbulan, atau 416 kasus perhari, atau 17 anak perjam atau seorang bayi tiap 5

menit (Depkes, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Kematian pada penderita ISPA terjadi jika penyakit telah mencapai derajat

ISPA yang berat. Paling sering kematian terjadi karena infeksi telah mencapai

paru-paru. Keadaan ini disebut sebagai radang paru mendadak atau pneumonia.

Sebagian besar keadaan ini terjadi karena penyakit ringan (ISPA ringan) yang

diabaikan. Sering kali penyakit dimulai dengan batuk pilek biasa, tetapi karena

daya tahan tubuh anak lemah maka penyakit dengan cepat menjalar ke paru-paru.

Jika penyakitnya telah menjalar ke paru-paru dan anak tidak mendapat

pengobatan serta perawatan yang tepat, anak dapat meninggal. Perawatan yang

dimaksud adalah perawatan dalam pengaturan pola makan balita, menciptakan

lingkungan yang nyaman sehingga tidak mengganggu kesehatan, menghindari

faktor pencetus seperti asap dan debu serta menjaga kebersihan diri balita.

(Depkes, 2002).

Angka kejadian ISPA yang masih tinggi pada balita disebabkan oleh

tingginya frekuensi kejadian ISPA pada balita. Dalam satu tahun rata-rata seorang

anak di pedesaan dapat terserang ISPA 3-5 kali, sedangkan di daerah perkotaan

sampai 6-8 kali. Penyebab tingginya kekambuhan ISPA pada balita terkait dengan

banyaknya faktor yang berhubungan dengan ISPA. Beberapa faktor yang

berkaitan dengan ISPA pada balita antara lain usia, keadaan gizi yang buruk,

status imunisasi yang tidak lengkap serta kondisi lingkungan yang buruk seperti

ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat, kepadatan hunian rumah yang terlalu

padat, pencemaran udara (asap dan debu) di dalam rumah maupun di luar rumah

(Arsyad, 2000; Raharjoe, 2008; Yuwono, 2007; Warouw, 2002). Pencemaran

udara di dalam rumah berasal dari dari asap rokok, asap dapur dan asap dari obat

Universitas Sumatera Utara

nyamuk yang digunakan di dalam rumah, sementara polusi udara di luar rumah

berasal dari gas buangan trasportasi, asap dari pembakaran sampah dan asap dari

pabrik (Astuti, 2006).

Thamrin (2001) mengatakan bahwa ISPA pada balita berhubungan dengan

status gizi balita yang buruk. Balita yang memiliki status gizi yang buruk sekitar

71,50% mengalami ISPA, hal ini berhubungan dengan daya tahan tubuh yang

berkurang. Penelitian ini juga diperkuat oleh penelitian Arsyad (2003) yang

menyatakan bahwa status gizi merupakan faktor resiko yang paling dominan

mempengaruhi ISPA pada balita. Keadaan lingkungan balita juga behubungan

dengan ISPA pada balita. Peluang balita yang tinggal dalam rumah dengan

pencemaran dalam ruangan akan terkena ISPA sebesar 6,09 kali dibandingkan

dengan balita tanpa pencemaran ruangan. Balita yang tinggal dilingkungan rumah

dengan penggunaan bahan bakar biomassa mempunyai resiko 10,9 kali menderita

ISPA dibandingkan dengan anak yang tinggal di lingkungan rumah tanpa

menggunakan bahan bakar biomassa (Chin, 2000 dalam Agustama, 2005).

Disamping itu paparan asap rokok juga sangat mempengaruhi timbulnya ISPA

pada balita. Dewa (2001) mengatakan balita yang terpapar asap rokok mempunyai

resiko 7,1 kali lebih besar untuk terkena ISPA. disamping itu, keadaan sanitasi

fisik rumah (suhu, kelembaban penerangan, ventilasi dan kepadatan hunian)

berhubungan dengan ISPA pada balita. Balita yang tinggal di dalam lingkungan

rumah dengan keadaaan sanitasi fisik rumah yang buruk mempunyai resiko

terkena ISPA 1,23 kali dibandingkan dengan balita yang tinggal dilingkungan

rumah dengan sanitasi fisik rumah yang baik.

Universitas Sumatera Utara

Untuk menghilangkan atau mengurangi kemungkinan yang dapat

meningkatkan potensi anak terkena ISPA, maka diperlukan upaya pencegahan.

Upaya pencegahan yang dapat dilakukan adalah meningkatkan pengetahuan

mengenai penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), mengatur pola makan

dengan tujuan memenuhi nutrisi balita, menciptakan lingkungan yang nyaman

serta menghindari faktor pencetus.

Keluarga atau rumah tangga adalah unit masyarakat terkecil. Oleh sebab

itu untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang baik harus dimulai dari

keluarga. Orang tua (ayah dan ibu) merupakan sasaran utama dalam pencegahan

suatu penyakit. Orang tua yang memiliki peran yang buruk dalam menjaga

kesehatan keluarga akan mempengaruhi angka kesehatan anggota keluarga

terutama anggota keluarga yang masih balita (Notoadmojo, 2003).

Salah satu periode pertumbuhan dan perkembangan yang cukup mendapat

perhatian bidang kesehatan adalah usia balita. Upaya pembangunan dan

pembinaan kesehatan pada usia balita merupakan periode transisi tumbuh

kembang. Secara fisik usia balita merupakan usia pertumbuhan dimana usia ini

semua sel termasuk sel-sel yang sangat penting seperti sel otak mengalami

pertumbuhan yang sangat pesat. Sedangkan secara psikologis usia balita

merupakan usia perkembangan mental, emosional dan intelektual yang pesat juga.

Pertumbuhan dan perkembangan pada usia balita ini akan berjalan secara optimal

dan serasi jika kondisi kesehatan balita dalam keadaan optimal pula (Depkes,

2005).

Universitas Sumatera Utara

Anak adalah aset bagi orang tua dan ditangan orang tua anak dapat tumbuh

dan berkembang secara sehat baik fisik maupun mental. Secara sosiologis anak

balita sangat tergantung pada lingkungan, karena itu keterlibatan orang tua

diperlukan sebagai mekanisme untuk menurunkan dampak masalah kesehatan

pada anak dan keluarganya (Nelson, 2003). Anak adalah individu yang masih

bergantung pada orang dewasa dan lingkungannya, artinya membutuhkan

lingkungan yang dapat memfasilitasi dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan

untuk belajar mandiri, lingkungan yang dimaksud adalah orang tua (Supartini,

2004)

Dari survei awal yang dilakukan pada tanggal 7 Mei 2009 di Puskesmas

Martubung menunjukkan angka kejadian ISPA pada tahun 2008 di wilayah kerja

puskesmas ini terjadi sebanyak 10.735 kasus (57,90%) dan sebanyak 4849 kasus

terdiri dari balita (Laporan tahunan puskesmas Martubung, 2008)

Berdasarkan data yang di dapat dan pentingnya peran orang tua dalam

pencegahan kejadian ISPA maka peneliti tertarik untuk meneliti hubungan peran

orang tua dalam pencegahan ISPA dengan kekambuhan ISPA pada balita di

wilayah kerja puskesmas Martubung Medan.

1.2 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan judul penelitian, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana peran orang tua dalam pencegahan ISPA di wilayah kerja

Puskesmas Martubung Medan.

Universitas Sumatera Utara

2. Bagaimana kekambuhan ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas

Martubung Medan.

3. Apakah ada hubungan peran orang tua dalam pencegahan ISPA dengan

kekambuhan ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Martubung

Medan

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Adapun tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan

peran orang tua dalam pencegahan ISPA dengan kekambuhan ISPA pada balita di

wilayah kerja puskesmas Martubung.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui peran orang tua dalam pencegahan ISPA di wilayah kerja

puskesmas Martubung Medan

2. Mengetahui kekambuhan ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas

Martubung Medan

3. Menguji hubungan peran orang tua dalam pencegahan ISPA dengan

kekambuhan ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Martubung

Medan

Universitas Sumatera Utara

1.4 Hipotesis Penelitian

Hipotesa yang digunakan dalam penelitian ini adalah Hipotesa Alternatif

(Ha) yaitu ada hubungan peran orang tua dalam pencegahan ISPA dengan

kekambuhan ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas Marubung Medan

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:

1.5.1 Praktek Keperawatan

Sebagai masukan dan informasi bagi tenaga kesehatan khususnya perawat

dalam pemberian penyuluhan dan asuhan keperawatan terhadap upaya

pencegahan ISPA.

1.5.2 Pendidikan Keperawatan

Sebagai bahan masukan dan informasi bagi pendidikan keperawatan

khususnya keperawatan anak dalam memberikan asuhan keperawatan yang terkait

dengan peran orang tua terhadap pencegahan ISPA pada balita dan sebagai

informasi bagi mahasiswa untuk mengetahui pentingnya peran orang tua terhadap

upaya pencegahan ISPA.

1.5.3 Peneliti Keperawatan

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data dan bahan

perbandingan bagi penelitian sejenis seperti hubungan karakteristik balita dan

orang tua terhadap kejadian ISPA pada balita

Universitas Sumatera Utara