Chapter I
-
Upload
madeputra30 -
Category
Documents
-
view
17 -
download
0
description
Transcript of Chapter I
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Batak merupakan salah satu suku yang ada di Indonesia yang mana sebagian
besar bermukim di Sumatera Utara. Suku yang dikategorikan sebagai Batak yaitu
Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak dan Batak Mandailing,
kategori tersebut dibagi berdasarkan nama daerah asalnya misalnya Batak Toba
mendiami daerah Toba, Batak Karo mendiami daerah Karo, Batak Simalungun
mendiami daerah simalungun begitu juga dengan yang lainnya (Koentjaraningrat,
2007).
Beberapa kategori yang ada pada suku Batak memiliki kesamaan berupa
marga. Asal usul keluarga dari masyarakat suku Batak dapat ditelusuri dari marga
yang dimiliki masyarakat Batak semenjak lahir. Menurut Vergouwen (1986),
marga dalam masyarakat Batak merupakan sekelompok masyarakat yang
keturunan dari kakek bersama dimana keturunan tersebut di turunkan dari marga
bapak atau patrilineal. Maka dari itu semua orang Batak membubuhkan nama
marga dari ayahnya di belakang nama kecilnya (Koentjaraningrat, 2007).
Kepemilikan marga dibelakang nama menjadi sesuatu hal yang penting
ketika sesama masyarakat Batak bertemu dan mereka saling menanyakan marga
terlebih dahulu dengan tujuan untuk mengetahui sistem tutur poda
(sebutan/panggilan). Menurut Anwar (2009) melalui sistem tutur poda setiap
orang secara langsung mengetahui hubungan kekerabatan dan silsilah seorang
Universitas Sumatera Utara
dengan yang lainnya, tanpa harus bertanya atau menelusuri secara sengaja tentang
hubungan keturunan dan kekerabatannya. Misalnya jika ada seseorang perempuan
memanggil orang lain dengan tutur “amang boru (sebutan untuk laki-laki) namboru
(sebutan untuk perempuan)”, maka secara otomatis masyarakat akan mengerti bahwa
orang yang memanggil tutur “amang boru atau namboru” tadi, berkedudukan
sebagai taraf menantu (maen), yakni anak dari kakak atau adik perempuan dari ayah,
baik kandung maupun tidak. Sedangkan orang yang dipanggil “amang boru atau
namboru” tadi, berkedudukan sebagai adik atau kakak perempuan dengan suaminya,
baik kandung maupun tidak. Dalam tutur semacam ini, si “maen” akan bisa dan sah
secara adat untuk menikah dengan anak namborunya. Sebab menurut pandangan adat
bahwa silsilah darah antara maen dengan namborunya adalah hubungan yang
bertalian dengan ibunya. Tutur poda memunculkan suatu solidaritas marga atau
antar marga yang di dalam maupun di luar kampung halaman tetap kuat terlihat
dengan adanya punguan (perkumpulan), perkumpulan marga dohot boruna (laki-
laki dan perempuan), dan perkumpulan huta (asal/ kampung) yang anggotanya
terdiri dari berbagai marga (Harahap dan Siahaan, 1987). Solidaritas marga yang
kuat hingga saat ini terlihat dari pada suku bangsa Batak Toba dan sudah cukup
dikenal secara luas.
Selain untuk mengetahui tutur poda, marga juga memiliki pengaruh
terhadap kehidupan sosial masyarakat Batak. Vergouwen (1986) pengaruh
tersebut adalah pengaruh terhadap identitas sosial orang Batak, status sosial
masyarakat Batak, hukum adat perkawinan masyarakat Batak, sistem sosial
masyarakat Batak, relasi sosial dan pergantian marga. Kepemilikan marga
Universitas Sumatera Utara
menjadikan seseorang dapat menentukan kedudukannya dan hubungan sosialnya
dengan orang lain dalam pergaulan dengan masyarakat setempat.
Penentuan kedudukan yang ditimbulkan berdasarkan marga membuat
seseorang dapat menempatkan dirinya dalam adat istiadat yang disebut dengan
dalihan na tolu (tungku nan tiga) yang dianggap dalam kehidupan masyarakat
bagi seluruh warga masyarakat Batak (Siahaan, 1982). Sistem kekebarabatan
dalihan na tolu yang menjelaskan hubungan antara manusia menjadi ciri khas
kebudayaan Batak (Harahap dan Siahaan, 1987). Segala sesuatu yang menyangkut
kehidupan suku Batak Toba akan terlaksana dan berlangsung dengan damai dan
sejahtera apabila berlangsung sesuai dengan Dalihan Natolu. Dalihan Na Tolu
terdiri dari 3 (tiga) unsur atau bagian yang merupakan suatu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan (dongsa, 2007), yaitu pertama Hula-Hula atau Tondong
merupakan kelompok orang-orang yang posisinya “di atas”, terdiri dari keluarga
marga pihak istri sehingga di sebut Somba-Somba Marhula-hula yaitu harus
hormat kepada keluarga pihak istri agar memperoleh keselamatan dan
kesejahteraan. Kedua Dongan Tubu, yaitu kelompok orang-orang yang posisinya
“sejajar”, yaitu teman/ saudara semarga sehingga disebut Manat Mardongan
Tubu, artinya menjaga persaudaraan agar terhindar dari perseteruan. Ketiga, Boru
yaitu kelompok orang-orang yang posisinya “di bawah”, yaitu saudara perempuan
kita dan pihak marga suaminya, keluarga perempuan pihak ayah sehingga dalam
kehidupan sehari-hari disebut Elek Marboru artinya agar selalu saling mengasihi
supaya mendapat berkat.
Universitas Sumatera Utara
Keberadaan dalihan na tolu menunjukan adat istiadat merupakan jati diri
dari masyarakat suku Batak (Siahaan, 1982). Pada setiap acara adat istiadat
masyarakat Batak toba memiliki peran masing-masing sesuai dengan posisinya
dalam dalihan na tolu, sebagai hula-hula, dongan tubu dan boru. Di dalam
struktur sosial dalihan na tolu mengatur tata cara dalam berperilaku masyarakat
Batak Toba, hal tersebut dapat dilihat dari berbagai acara-acara adat seperti acara
kematian, acara kelahiran, memasuki rumah baru, acara perkawinan, dan
sebagainya.
Keberadaan tiap peran dalam dalihan na tolu akan menjadi tumpang tindih
bila pihak perempuan dan pihak laki-laki bermarga sama sehingga tidak bisa
menentukan mana pihak parboru dan pihak paranak pada setiap acara adat yang
ada termasuk acara adat perkawinan. Perkawinan pada masyarakat Batak Toba
merupakan perkawinan antar marga, dimana menghubungkan dua pihak yakni
pihak parboru atau sebagai pihak pemberi wanita dengan pihak paranak atau
sebagai pihak pembeli wanita (Simanjuntak, 2006). Proses perkawinan eksogami
(perkawinan di luar kelompok marga) menjadi ciri khas proses perkawinan
masyarakat Batak Toba (Bushar, 2004). Sehingga masyakat Batak Toba sangat
melarang keras adanya pernikahan semarga sebab pernikahan semarga
(namariboto) dianggap sebagai pernikahan sedarah/ incest. Untuk masyarakat
Batak toba tidak sah perkawinan mereka bila perkawinan tersebut tidak
melaksanakan adat (Friston, 2000).
Masyarakat Batak Toba juga melarang keras adanya pernikahan marpadan
(janji/ sumpah). Marga tersebut tidak sama lagi dalam rumpun marga atau
Universitas Sumatera Utara
paradaton (adat) melainkan marga-marga tersebut diikat dalam janji atau ikrar
(padan) dimana keturunannya tidak diperbolehkan untuk menikah. Marga-marga
yang mempunyai padan khusus untuk tidak saling kawin, antara lain Sihotang
dengan Naipospos (Marbun), Nainggolan dengan Siregar, Tampubolon dengan
Silalahi dan lain sebagainya. Seperti menurut Warneck dalam Hutauruk (2006)
membenarkan bahwa hampir semua suku memiliki cerita asal muasal dimana
tidak memiliki hubungan sama sekali dalam marga-marga yang marpadanpun
memiliki cerita tersendiri jadi marpadan. Seperti cerita Nainggolan dan Siregar di
anggap semarga karena dulunya marga Nainggolan memiliki keturunan yaitu
hanya anak laki-laki berlainan sisi siregar hanya memiliki anak perempuan saja
sehingga kedua nenek moyang Nainggolan dan Siregar melakukan pertukaran
anak. Berbeda dengan asal usul cerita pernikahan marpadan yang dilarang,
termasuk juga pernikahan marpadan yang merupakan semarga.
“Jadi dulu itu opung-opung kita dulu Nainggolan sama Siregar tukaran
anaklah, Parhusip itu dulu semua anaknya laki-laki trus Siregar peremuan
semuak. Nah..supaya lengkap anak mereka masing-masing jadi mereka
saling memberikan agar anaknya ada laki-laki sama perempuan. makanya
kalo kita ini lebih baik nainggolan sama nainggolan daripada Nainggolan
sama Siregar, jadi semargakan”
(Sumber: komunikasi personal, 8 agustus 2011)
Adanya larangan menikah semarga telah berlaku sejak dulu kala meskipun
begitu adanya pernikahan semarga juga sudah ada sejak dahulu kala. Susahnya
untuk pergi kekampung lain untuk mencari pasangan yang berbeda marga
menyebabkan masyarakat didaerah tersebut menikah dan terjadilah pernikahan
semarga. Meskipun sejak dulu sudah ada tetapi hal tersebut tetaplah hal yang
cukup tabu untuk dilakukan dan menjadi lebih ketat untuk masa sekarang karena
Universitas Sumatera Utara
tidak adanya kesulitan yang dialami seperti masa dulu. Hal tersebut dapat dilihat
dari komunikasi personal dibawah ini.
“sebenarnyakan pernikahan semarga ini itu udah ada dari dulu, malah lebih
banyakpun dulu. Soalnya kan gini kalo dululah misalnyakan inilah kampung
siahaan untuk kekampung misalnya simanjuntakkan itu jauh kali mana dulu
itukan musti jalan lewat hutan-hutan, jadi marsibuatan (saling menikah) lah
merekakan. Kalo sekarangnya yang udah gak pala susah kendaraan jadi
makanya nggak pala ada jadi masalah buat saling marsibuatan.
Sekarangnya dek yang nikah semarga itu agak yang keras kali soalnyakan
sekarang udah gampang kemana-mana.”
(Sumber : Wawancara Personal, 13 Februari 2011)
Pernikahan melanggar adat ini yang sudah ratusan tahun lalu pada
dasarnya memang ditentang. Namun, melihat pasangan yang menikah semarga
bisa hidup sukses dan punya keturunan, lambat-laun corak hidup ini tak dianggap
tabu lagi. Apalagi pada kejadian pertamanya sudah dilakukan pesta adat. Jadi,
generasi berikutnya menganggap sah saja meneruskannya. Namun apa yang
dianggap wajar bagi warga dan wilayah desa yg melakukannya, ternyata, belum
bisa diterima penduduk di luar desa itu. Dan akibatnya penduduk daerah lain akan
mengisolasi mereka yg melakukannya, sebab menurut pandangan mereka
menikah dengan marga lain bisa memperluas sistem kekerabatan (Risma
Simajuntak, punguan naimarata, 2010).
Adanya pandangan yang berlainan dengan aturan adat namun sebagian
masyarakat masih menggap tabu pernikahan semarga. Hal tersebut dapat dilihat
berbagai macam sanksi yang diterima oleh individu yang melakukan pernikahan
semarga (Andry, 2010). Di beberapa daerah hukuman akibat pernikahan semarga
tidak sama. Ada yang lebih ringan, misalnya hanya dikeluarkan dari masyarakat
marga dan tidak diterima pengaduannya apabila seseorang membutuhkan
Universitas Sumatera Utara
pertolongan dari masyarakat marga yang bersangkutan. Perkawinan seperti itu
dinyatakan batal atau mereka dikucilkan dari lingkungan (Siahaan, 2005). Sanksi
bagi para pelaku perkawinan semarga seperti dihina, dicemooh oleh masyarakat
menimbulkan konflik interpersonal, dimana konflik yang muncul ketika dua
orang/ lebih mengalami ketidaksetujuan. Perselisihan ini dapat disebabkan oleh
kesalahpahaman kecil atau sebagai hasil dari komunikasi yang buruk, perbedaan-
perbedaan yang dirasakan dan orientasi biologis (Max A. Eggert & Wendy
Falzon, 2008).
Ya gitulah dek, dipojokkan dalam setiap acara-acara adat. Setiap ada acara
kami sering nggak diperhitungkan, kami sering dilupakan. Ya walaupun
nggak selalu tapi kan sakit juga ya kan. Untung saja kami mempunyai
keluarga besar yang masih peduli sama kami. Seperti ayah, ibu, abang dan
kakak-kakak kami.
(Sumber : Wawancara Personal, 13 Juni 2011)
Sanksi pernikahan semarga tidak hanya berlaku pada daerah asal
masyarakat Batak melainkan berlaku juga untuk masyarakat Batak Toba berada di
luar daerah asal Batak. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh Andreas (2010) bahwa sanksi perkawinan semarga di kota
Bengkulu yaitu diusir dari kelompok marganya dan tidak diakui lagi, dicemooh
ataupun dihina oleh masyarakat, kekerasan fisik, tidak akan dilaksanakan secara
adat sehingga pasangan yang melakukan perkawinan dilakukan secara agama saja.
“Nggak. Ya dirumah bou pesta nya cuman nggak diadatin. Ya biasa ada
resepsi, nikah, ada wali, ada ceramah. Ya menikah seperti biasa ijab kabul,
ya dibuat secara Islami ya kan. Ada yang ceramah nikah trus acara makan-
makan siap itu ya udah selesai. Bedanya ya nggak ada diadatkan aja.”
(Sumber: Wawancara personal, 3 juni 2011)
Universitas Sumatera Utara
“Kalo saya sih dek nggak terlalu menganggap pusing apa yang masyarakat
bilang yang penting buat bou, kami itu tidak melanggar agama. Karena
untuk masyarakat kan selalu berfikiran agama yang menyesuaikan adat
tapi kan seharusnya adat yang menyesuaikan sama agama.”
(Sumber : Wawancara Personal, 3 Juni 2011)
Sanksi dari pernikahan semarga juga dapat dilihat dari hasil penelitian yang
diperoleh oleh penelitian Hardianto (2011) bahwa perkawinan semarga dalam
masyarakat Padang Sidimpuan masih dianggap sesuatu yang tabu, walaupun
dalam agama islam hal ini sebenarnya tidak dipermasalahkan, tetapi pelaku yang
melakukan perkawinan semarga harus merombak marga sipengantin perempuan
dengan marga dari ibu suaminya agar tutur sapa yang semestinya tidak menjadi
rusak ataupun tumpang tindih dan adapun konsekuensinya bagi pelaku adalah
mereka tidak bisa mengikuti upacara adat setempat apabila ada horja (perayaan
besar) karena mereka melanggar ketentuan yang berlaku yang masih disakralkan
sampai sekarang. Perubahan marga pada pihak perempuan menimbulkan konflik
dalam diri, suatu keadaan dimana dorongan-dorongan dalam individu yang
memiliki kekuatan yang sama besar berlainan arah (Lewin dalam Sarwono, 1998)
“ya bou diganti jadi boru lubis soalnya mamanya amang borunya kan boru
lubis jadi bou diganti jadi boru lubis tapi itulah dek, keluarga banyak yang
nggak setuju, bou sendiripun sebenarnya nggak setuju kali. Kalo bou sih
ditanya bou itu ya boru nasution, tapi mau kek mana lagilah bingungpun
bou”
(Sumber : Wawancara Personal, 3 Juni 2011)
Sanksi dari pelanggaran aturan adat yang dilakukan tidak dapat ditolak oleh
individu sebab adat merupakan sebuah sistem yang mengatur kehidupan manusia.
Sehingga, orang Batak yang bertindak dan bertingkah laku tidak sesuai dengan adat
disebut dengan na so maradat (orang yang tidak memiliki adat) dan akan ada sanksi
sosial terhadap orang-orang yang melanggar adat. Pelanggaran adat yang dilakukan
Universitas Sumatera Utara
dapat berbentuk perkawinan terlarang. Edward Bruner (1994) berpendapat bahwa
hanya mereka yang telah kawin yang turut dalam upacara-upacara adat Batak,
yang boleh turut bicara dalam urusan-urusan keluarga dan punya hak menjadi
anggota penuh dalam keorganisasian masyarakat di tempatnya. Sehingga pada
individu yang menikah semarga tidak diperkenankan untuk bergabung dalam
kelompok marganya.
“nggak dek..bou nggak ikut gabung dalam perkumpulan marga soalnya ya
itulah secara adatkan bou belum punya”
(Sumber : Wawancara Personal, 3 Juni 2011)
“ya kalo bou sih ditanya pingin kalipun gabung sama temen-temen yang
semarga sama bou, apalagikan temen-temen bou waktu dikampung trus
ketemu lagi disini, kan banyak juga temen-temen yang waktu dikampung
ketemua lagi disini tapi kek manalah kek gini kondisinya”
(Sumber : Wawancara Personal, 3 Juni 2011)
Konflik-konflik yang muncul pada diri inividu merupakan dampak dari
sanksi-sanksi yang akan diperoleh untuk individu yang ingin melangsungkan
pernikahan semarga. Konflik-konflik dapat berupa terhadap diri individu tersebut
serta konflik antara individu dengan individu lainya di luar individu tersebut.
Berlainan arahnya keinginan pelaku pernikahan semarga dengan larangan adat
yang menimbulkan sanksi-sanksi sosial membuat pelaku pernikahan semarga
mengalami konflik.
Lewin dalam Sarwono (2002) membagi konflik intrapersonal yaitu konflik
mendekat – mendekat (Approach-Approach), konflik menjauh – mendekat
(Approach-Avoidance), konflik menjauh - menjauh (Avoidance-Avoidance) dan
konflik menjauh - mendekat ganda (Multiple Aproach-Avoidance).
Universitas Sumatera Utara
Saat seseorang ingin memutuskan menikah semarga dengan pasangan
yang semarga suku Batak Toba bukanlah hal mudah karena di awal sebelum
memutuskan untuk menikah individu sudah mengetahui larangan dan sanksi-
sanksi yang akan diterima bila menikah semarga. Tetapi secara agama pernikahan
semarga tidak lah hal yang salah. Adanya dua kekuatan sama besar mampu
menimbulkan konflik dalam diri individu yang akan menikah semarga.
Banyak hal yang terjadi oleh pasangan yang menikah semarga suku Batak
Toba terutama konflik yang terjadi dalam dalam dirinya maupun konflik antara
dirinya dengan individu lainnya. Dari hal tersebut peneliti tertarik untuk menggali
lebih dalam mengenai konflik intrapersonal dan konflik interpersonal pada
individu yang menikah semarga suku Batak Toba.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan fenomena yang telah diuraikan sebelumnya, maka perumusan
masalah penelitian ini adalah:
1. Bagaimana gambaran konflik interpersonal pada individu yang
menikah semarga suku Batak Toba.
2. Bagaimana gambaran konflik interpersonal pada individu yang
menikah semarga suku Batak Toba.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memperoleh
pemahaman mengenai bagaimana gambaran konflik pada perkawinan semarga
suku Batak toba.
Universitas Sumatera Utara
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk dapat menambah perluasan
teori dibidang ilmu psikologi mengenai konflik intrapersonal dan konflik
interpesonal pada perkawinan semarga suku Batak Toba. Selain itu juga penelitian
ini diharapkan dapat memperkaya sumber kepustakaan penelitian dibidang
psikologi khususnya psikologi sosial.
2. Manfaat praktis
Manfaat praktis penelitian ini diharapkan dapat :
a. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan informasi mengenai
konflik intrapersonal dan konflik interpersonal pada invividu yang menikah
semarga suku Batak Toba sehingga dapat menjadi acuan bagi yang tertarik
meneliti dengan perkawinan semarga pada toba.
b. Bagi Orang Tua
Pihak-pihak yang terkait seperti pasangan yang sedang berpacaran
semarga, orang tua, pihak sekitar dapat melakukan antisipasi ketika indikasi
perilaku muncul sehingga dapat mencegah munculnya hal-hal yang bersifat
penarikan diri dalam lingkungan sosial.
c. Bagi Individu
Memberikan wacana dan informasi tentang fenomena pernikahan semarga
suku Batak Toba dengan tujuan agar individu yang akan menikah dengan
pasangan yang semarga mampu mengenali dampak-dampak yang akan timbul
Universitas Sumatera Utara
apabila melakukan perkawinan semarga sehingga tidak adanya suatu penyesalan
dikemudian hari dan serta mampu mengatasi konflik yang akan timbul nantinya.
d. Bagi Institusi
Adanya dampak secara psikolgis bagi individu yang menikah semarga di
harapkan memberikan informasi bagi instansi psikologi dari penelitian ini dapat
digunakan untuk penanganan individu yang bersifat suportif terhadap pelaku
pernikahan semarga suku Batak Toba.
E. Sistematika Penulisan
Penelitian ini disajikan dalam beberapa bab dengan sistematika penelitian
sebagai berikut :
BAB I : Pendahuluan
Bab I berisi tentang uraian singkat mengenai latar
belakang masalah, pertanyaan penelitian, tujuan dan
manfaat penelitian, dan sistematika penelitian.
BAB II : Landasan Teori
Bab II berisi uraian teori yang menjadi acuan dalam
pembahasan masalah. Teori-teori yang digunakan
dalam penelitian ini adalah teori tentang konflik yang
terdiri dari definisi, konsep-konsep dasar teori lapangan
konflik intrapersonal, konflik interpersonal. Dalihan na
tolu dan pernikahan suku Batak Toba.
BAB III : Metode Penelitian
Universitas Sumatera Utara
Dalam bab ini akan dijelaskan metode penelitian yang
digunakan oleh peneliti dalam hal ini adalah metode
penelitian kualitatif, partisipan dan lokasi penelitian,
metode pengumpulan data, subjek penelitian, teknik
pengambilan sampel, alat bantu pengumpulan data,
lembar observasi partisipan, kredibilitas (validitas)
penelitian, prosedur penelitian serta teknik dan proses
pengolahan data.
BAB IV : Deskripsi Data Dan Pembahasan
Deskripsi data dan pembahasan berisi pendeskripsian
data responden, deskripsi dan pembahasan data yang
dperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan dan
pembahasan data-data penelitian sesuai dengan teori
yang relevan dan diskusi.
BAB V : Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan, dan Saran yang menjelaskan kesimpulan
dari penelitian ini, diskusi mengenai hasil penelitian
yang ada serta saran-saran yang dianjurkan mengenai
penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara