Chapter I

13
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Batak merupakan salah satu suku yang ada di Indonesia yang mana sebagian besar bermukim di Sumatera Utara. Suku yang dikategorikan sebagai Batak yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak dan Batak Mandailing, kategori tersebut dibagi berdasarkan nama daerah asalnya misalnya Batak Toba mendiami daerah Toba, Batak Karo mendiami daerah Karo, Batak Simalungun mendiami daerah simalungun begitu juga dengan yang lainnya (Koentjaraningrat, 2007). Beberapa kategori yang ada pada suku Batak memiliki kesamaan berupa marga. Asal usul keluarga dari masyarakat suku Batak dapat ditelusuri dari marga yang dimiliki masyarakat Batak semenjak lahir. Menurut Vergouwen (1986), marga dalam masyarakat Batak merupakan sekelompok masyarakat yang keturunan dari kakek bersama dimana keturunan tersebut di turunkan dari marga bapak atau patrilineal. Maka dari itu semua orang Batak membubuhkan nama marga dari ayahnya di belakang nama kecilnya (Koentjaraningrat, 2007). Kepemilikan marga dibelakang nama menjadi sesuatu hal yang penting ketika sesama masyarakat Batak bertemu dan mereka saling menanyakan marga terlebih dahulu dengan tujuan untuk mengetahui sistem tutur poda (sebutan/panggilan). Menurut Anwar (2009) melalui sistem tutur poda setiap orang secara langsung mengetahui hubungan kekerabatan dan silsilah seorang Universitas Sumatera Utara

description

kedokteran

Transcript of Chapter I

Page 1: Chapter I

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Batak merupakan salah satu suku yang ada di Indonesia yang mana sebagian

besar bermukim di Sumatera Utara. Suku yang dikategorikan sebagai Batak yaitu

Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak dan Batak Mandailing,

kategori tersebut dibagi berdasarkan nama daerah asalnya misalnya Batak Toba

mendiami daerah Toba, Batak Karo mendiami daerah Karo, Batak Simalungun

mendiami daerah simalungun begitu juga dengan yang lainnya (Koentjaraningrat,

2007).

Beberapa kategori yang ada pada suku Batak memiliki kesamaan berupa

marga. Asal usul keluarga dari masyarakat suku Batak dapat ditelusuri dari marga

yang dimiliki masyarakat Batak semenjak lahir. Menurut Vergouwen (1986),

marga dalam masyarakat Batak merupakan sekelompok masyarakat yang

keturunan dari kakek bersama dimana keturunan tersebut di turunkan dari marga

bapak atau patrilineal. Maka dari itu semua orang Batak membubuhkan nama

marga dari ayahnya di belakang nama kecilnya (Koentjaraningrat, 2007).

Kepemilikan marga dibelakang nama menjadi sesuatu hal yang penting

ketika sesama masyarakat Batak bertemu dan mereka saling menanyakan marga

terlebih dahulu dengan tujuan untuk mengetahui sistem tutur poda

(sebutan/panggilan). Menurut Anwar (2009) melalui sistem tutur poda setiap

orang secara langsung mengetahui hubungan kekerabatan dan silsilah seorang

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Chapter I

dengan yang lainnya, tanpa harus bertanya atau menelusuri secara sengaja tentang

hubungan keturunan dan kekerabatannya. Misalnya jika ada seseorang perempuan

memanggil orang lain dengan tutur “amang boru (sebutan untuk laki-laki) namboru

(sebutan untuk perempuan)”, maka secara otomatis masyarakat akan mengerti bahwa

orang yang memanggil tutur “amang boru atau namboru” tadi, berkedudukan

sebagai taraf menantu (maen), yakni anak dari kakak atau adik perempuan dari ayah,

baik kandung maupun tidak. Sedangkan orang yang dipanggil “amang boru atau

namboru” tadi, berkedudukan sebagai adik atau kakak perempuan dengan suaminya,

baik kandung maupun tidak. Dalam tutur semacam ini, si “maen” akan bisa dan sah

secara adat untuk menikah dengan anak namborunya. Sebab menurut pandangan adat

bahwa silsilah darah antara maen dengan namborunya adalah hubungan yang

bertalian dengan ibunya. Tutur poda memunculkan suatu solidaritas marga atau

antar marga yang di dalam maupun di luar kampung halaman tetap kuat terlihat

dengan adanya punguan (perkumpulan), perkumpulan marga dohot boruna (laki-

laki dan perempuan), dan perkumpulan huta (asal/ kampung) yang anggotanya

terdiri dari berbagai marga (Harahap dan Siahaan, 1987). Solidaritas marga yang

kuat hingga saat ini terlihat dari pada suku bangsa Batak Toba dan sudah cukup

dikenal secara luas.

Selain untuk mengetahui tutur poda, marga juga memiliki pengaruh

terhadap kehidupan sosial masyarakat Batak. Vergouwen (1986) pengaruh

tersebut adalah pengaruh terhadap identitas sosial orang Batak, status sosial

masyarakat Batak, hukum adat perkawinan masyarakat Batak, sistem sosial

masyarakat Batak, relasi sosial dan pergantian marga. Kepemilikan marga

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Chapter I

menjadikan seseorang dapat menentukan kedudukannya dan hubungan sosialnya

dengan orang lain dalam pergaulan dengan masyarakat setempat.

Penentuan kedudukan yang ditimbulkan berdasarkan marga membuat

seseorang dapat menempatkan dirinya dalam adat istiadat yang disebut dengan

dalihan na tolu (tungku nan tiga) yang dianggap dalam kehidupan masyarakat

bagi seluruh warga masyarakat Batak (Siahaan, 1982). Sistem kekebarabatan

dalihan na tolu yang menjelaskan hubungan antara manusia menjadi ciri khas

kebudayaan Batak (Harahap dan Siahaan, 1987). Segala sesuatu yang menyangkut

kehidupan suku Batak Toba akan terlaksana dan berlangsung dengan damai dan

sejahtera apabila berlangsung sesuai dengan Dalihan Natolu. Dalihan Na Tolu

terdiri dari 3 (tiga) unsur atau bagian yang merupakan suatu kesatuan yang tidak

dapat dipisahkan (dongsa, 2007), yaitu pertama Hula-Hula atau Tondong

merupakan kelompok orang-orang yang posisinya “di atas”, terdiri dari keluarga

marga pihak istri sehingga di sebut Somba-Somba Marhula-hula yaitu harus

hormat kepada keluarga pihak istri agar memperoleh keselamatan dan

kesejahteraan. Kedua Dongan Tubu, yaitu kelompok orang-orang yang posisinya

“sejajar”, yaitu teman/ saudara semarga sehingga disebut Manat Mardongan

Tubu, artinya menjaga persaudaraan agar terhindar dari perseteruan. Ketiga, Boru

yaitu kelompok orang-orang yang posisinya “di bawah”, yaitu saudara perempuan

kita dan pihak marga suaminya, keluarga perempuan pihak ayah sehingga dalam

kehidupan sehari-hari disebut Elek Marboru artinya agar selalu saling mengasihi

supaya mendapat berkat.

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Chapter I

Keberadaan dalihan na tolu menunjukan adat istiadat merupakan jati diri

dari masyarakat suku Batak (Siahaan, 1982). Pada setiap acara adat istiadat

masyarakat Batak toba memiliki peran masing-masing sesuai dengan posisinya

dalam dalihan na tolu, sebagai hula-hula, dongan tubu dan boru. Di dalam

struktur sosial dalihan na tolu mengatur tata cara dalam berperilaku masyarakat

Batak Toba, hal tersebut dapat dilihat dari berbagai acara-acara adat seperti acara

kematian, acara kelahiran, memasuki rumah baru, acara perkawinan, dan

sebagainya.

Keberadaan tiap peran dalam dalihan na tolu akan menjadi tumpang tindih

bila pihak perempuan dan pihak laki-laki bermarga sama sehingga tidak bisa

menentukan mana pihak parboru dan pihak paranak pada setiap acara adat yang

ada termasuk acara adat perkawinan. Perkawinan pada masyarakat Batak Toba

merupakan perkawinan antar marga, dimana menghubungkan dua pihak yakni

pihak parboru atau sebagai pihak pemberi wanita dengan pihak paranak atau

sebagai pihak pembeli wanita (Simanjuntak, 2006). Proses perkawinan eksogami

(perkawinan di luar kelompok marga) menjadi ciri khas proses perkawinan

masyarakat Batak Toba (Bushar, 2004). Sehingga masyakat Batak Toba sangat

melarang keras adanya pernikahan semarga sebab pernikahan semarga

(namariboto) dianggap sebagai pernikahan sedarah/ incest. Untuk masyarakat

Batak toba tidak sah perkawinan mereka bila perkawinan tersebut tidak

melaksanakan adat (Friston, 2000).

Masyarakat Batak Toba juga melarang keras adanya pernikahan marpadan

(janji/ sumpah). Marga tersebut tidak sama lagi dalam rumpun marga atau

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Chapter I

paradaton (adat) melainkan marga-marga tersebut diikat dalam janji atau ikrar

(padan) dimana keturunannya tidak diperbolehkan untuk menikah. Marga-marga

yang mempunyai padan khusus untuk tidak saling kawin, antara lain Sihotang

dengan Naipospos (Marbun), Nainggolan dengan Siregar, Tampubolon dengan

Silalahi dan lain sebagainya. Seperti menurut Warneck dalam Hutauruk (2006)

membenarkan bahwa hampir semua suku memiliki cerita asal muasal dimana

tidak memiliki hubungan sama sekali dalam marga-marga yang marpadanpun

memiliki cerita tersendiri jadi marpadan. Seperti cerita Nainggolan dan Siregar di

anggap semarga karena dulunya marga Nainggolan memiliki keturunan yaitu

hanya anak laki-laki berlainan sisi siregar hanya memiliki anak perempuan saja

sehingga kedua nenek moyang Nainggolan dan Siregar melakukan pertukaran

anak. Berbeda dengan asal usul cerita pernikahan marpadan yang dilarang,

termasuk juga pernikahan marpadan yang merupakan semarga.

“Jadi dulu itu opung-opung kita dulu Nainggolan sama Siregar tukaran

anaklah, Parhusip itu dulu semua anaknya laki-laki trus Siregar peremuan

semuak. Nah..supaya lengkap anak mereka masing-masing jadi mereka

saling memberikan agar anaknya ada laki-laki sama perempuan. makanya

kalo kita ini lebih baik nainggolan sama nainggolan daripada Nainggolan

sama Siregar, jadi semargakan”

(Sumber: komunikasi personal, 8 agustus 2011)

Adanya larangan menikah semarga telah berlaku sejak dulu kala meskipun

begitu adanya pernikahan semarga juga sudah ada sejak dahulu kala. Susahnya

untuk pergi kekampung lain untuk mencari pasangan yang berbeda marga

menyebabkan masyarakat didaerah tersebut menikah dan terjadilah pernikahan

semarga. Meskipun sejak dulu sudah ada tetapi hal tersebut tetaplah hal yang

cukup tabu untuk dilakukan dan menjadi lebih ketat untuk masa sekarang karena

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Chapter I

tidak adanya kesulitan yang dialami seperti masa dulu. Hal tersebut dapat dilihat

dari komunikasi personal dibawah ini.

“sebenarnyakan pernikahan semarga ini itu udah ada dari dulu, malah lebih

banyakpun dulu. Soalnya kan gini kalo dululah misalnyakan inilah kampung

siahaan untuk kekampung misalnya simanjuntakkan itu jauh kali mana dulu

itukan musti jalan lewat hutan-hutan, jadi marsibuatan (saling menikah) lah

merekakan. Kalo sekarangnya yang udah gak pala susah kendaraan jadi

makanya nggak pala ada jadi masalah buat saling marsibuatan.

Sekarangnya dek yang nikah semarga itu agak yang keras kali soalnyakan

sekarang udah gampang kemana-mana.”

(Sumber : Wawancara Personal, 13 Februari 2011)

Pernikahan melanggar adat ini yang sudah ratusan tahun lalu pada

dasarnya memang ditentang. Namun, melihat pasangan yang menikah semarga

bisa hidup sukses dan punya keturunan, lambat-laun corak hidup ini tak dianggap

tabu lagi. Apalagi pada kejadian pertamanya sudah dilakukan pesta adat. Jadi,

generasi berikutnya menganggap sah saja meneruskannya. Namun apa yang

dianggap wajar bagi warga dan wilayah desa yg melakukannya, ternyata, belum

bisa diterima penduduk di luar desa itu. Dan akibatnya penduduk daerah lain akan

mengisolasi mereka yg melakukannya, sebab menurut pandangan mereka

menikah dengan marga lain bisa memperluas sistem kekerabatan (Risma

Simajuntak, punguan naimarata, 2010).

Adanya pandangan yang berlainan dengan aturan adat namun sebagian

masyarakat masih menggap tabu pernikahan semarga. Hal tersebut dapat dilihat

berbagai macam sanksi yang diterima oleh individu yang melakukan pernikahan

semarga (Andry, 2010). Di beberapa daerah hukuman akibat pernikahan semarga

tidak sama. Ada yang lebih ringan, misalnya hanya dikeluarkan dari masyarakat

marga dan tidak diterima pengaduannya apabila seseorang membutuhkan

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Chapter I

pertolongan dari masyarakat marga yang bersangkutan. Perkawinan seperti itu

dinyatakan batal atau mereka dikucilkan dari lingkungan (Siahaan, 2005). Sanksi

bagi para pelaku perkawinan semarga seperti dihina, dicemooh oleh masyarakat

menimbulkan konflik interpersonal, dimana konflik yang muncul ketika dua

orang/ lebih mengalami ketidaksetujuan. Perselisihan ini dapat disebabkan oleh

kesalahpahaman kecil atau sebagai hasil dari komunikasi yang buruk, perbedaan-

perbedaan yang dirasakan dan orientasi biologis (Max A. Eggert & Wendy

Falzon, 2008).

Ya gitulah dek, dipojokkan dalam setiap acara-acara adat. Setiap ada acara

kami sering nggak diperhitungkan, kami sering dilupakan. Ya walaupun

nggak selalu tapi kan sakit juga ya kan. Untung saja kami mempunyai

keluarga besar yang masih peduli sama kami. Seperti ayah, ibu, abang dan

kakak-kakak kami.

(Sumber : Wawancara Personal, 13 Juni 2011)

Sanksi pernikahan semarga tidak hanya berlaku pada daerah asal

masyarakat Batak melainkan berlaku juga untuk masyarakat Batak Toba berada di

luar daerah asal Batak. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil penelitian yang

dilakukan oleh Andreas (2010) bahwa sanksi perkawinan semarga di kota

Bengkulu yaitu diusir dari kelompok marganya dan tidak diakui lagi, dicemooh

ataupun dihina oleh masyarakat, kekerasan fisik, tidak akan dilaksanakan secara

adat sehingga pasangan yang melakukan perkawinan dilakukan secara agama saja.

“Nggak. Ya dirumah bou pesta nya cuman nggak diadatin. Ya biasa ada

resepsi, nikah, ada wali, ada ceramah. Ya menikah seperti biasa ijab kabul,

ya dibuat secara Islami ya kan. Ada yang ceramah nikah trus acara makan-

makan siap itu ya udah selesai. Bedanya ya nggak ada diadatkan aja.”

(Sumber: Wawancara personal, 3 juni 2011)

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Chapter I

“Kalo saya sih dek nggak terlalu menganggap pusing apa yang masyarakat

bilang yang penting buat bou, kami itu tidak melanggar agama. Karena

untuk masyarakat kan selalu berfikiran agama yang menyesuaikan adat

tapi kan seharusnya adat yang menyesuaikan sama agama.”

(Sumber : Wawancara Personal, 3 Juni 2011)

Sanksi dari pernikahan semarga juga dapat dilihat dari hasil penelitian yang

diperoleh oleh penelitian Hardianto (2011) bahwa perkawinan semarga dalam

masyarakat Padang Sidimpuan masih dianggap sesuatu yang tabu, walaupun

dalam agama islam hal ini sebenarnya tidak dipermasalahkan, tetapi pelaku yang

melakukan perkawinan semarga harus merombak marga sipengantin perempuan

dengan marga dari ibu suaminya agar tutur sapa yang semestinya tidak menjadi

rusak ataupun tumpang tindih dan adapun konsekuensinya bagi pelaku adalah

mereka tidak bisa mengikuti upacara adat setempat apabila ada horja (perayaan

besar) karena mereka melanggar ketentuan yang berlaku yang masih disakralkan

sampai sekarang. Perubahan marga pada pihak perempuan menimbulkan konflik

dalam diri, suatu keadaan dimana dorongan-dorongan dalam individu yang

memiliki kekuatan yang sama besar berlainan arah (Lewin dalam Sarwono, 1998)

“ya bou diganti jadi boru lubis soalnya mamanya amang borunya kan boru

lubis jadi bou diganti jadi boru lubis tapi itulah dek, keluarga banyak yang

nggak setuju, bou sendiripun sebenarnya nggak setuju kali. Kalo bou sih

ditanya bou itu ya boru nasution, tapi mau kek mana lagilah bingungpun

bou”

(Sumber : Wawancara Personal, 3 Juni 2011)

Sanksi dari pelanggaran aturan adat yang dilakukan tidak dapat ditolak oleh

individu sebab adat merupakan sebuah sistem yang mengatur kehidupan manusia.

Sehingga, orang Batak yang bertindak dan bertingkah laku tidak sesuai dengan adat

disebut dengan na so maradat (orang yang tidak memiliki adat) dan akan ada sanksi

sosial terhadap orang-orang yang melanggar adat. Pelanggaran adat yang dilakukan

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Chapter I

dapat berbentuk perkawinan terlarang. Edward Bruner (1994) berpendapat bahwa

hanya mereka yang telah kawin yang turut dalam upacara-upacara adat Batak,

yang boleh turut bicara dalam urusan-urusan keluarga dan punya hak menjadi

anggota penuh dalam keorganisasian masyarakat di tempatnya. Sehingga pada

individu yang menikah semarga tidak diperkenankan untuk bergabung dalam

kelompok marganya.

“nggak dek..bou nggak ikut gabung dalam perkumpulan marga soalnya ya

itulah secara adatkan bou belum punya”

(Sumber : Wawancara Personal, 3 Juni 2011)

“ya kalo bou sih ditanya pingin kalipun gabung sama temen-temen yang

semarga sama bou, apalagikan temen-temen bou waktu dikampung trus

ketemu lagi disini, kan banyak juga temen-temen yang waktu dikampung

ketemua lagi disini tapi kek manalah kek gini kondisinya”

(Sumber : Wawancara Personal, 3 Juni 2011)

Konflik-konflik yang muncul pada diri inividu merupakan dampak dari

sanksi-sanksi yang akan diperoleh untuk individu yang ingin melangsungkan

pernikahan semarga. Konflik-konflik dapat berupa terhadap diri individu tersebut

serta konflik antara individu dengan individu lainya di luar individu tersebut.

Berlainan arahnya keinginan pelaku pernikahan semarga dengan larangan adat

yang menimbulkan sanksi-sanksi sosial membuat pelaku pernikahan semarga

mengalami konflik.

Lewin dalam Sarwono (2002) membagi konflik intrapersonal yaitu konflik

mendekat – mendekat (Approach-Approach), konflik menjauh – mendekat

(Approach-Avoidance), konflik menjauh - menjauh (Avoidance-Avoidance) dan

konflik menjauh - mendekat ganda (Multiple Aproach-Avoidance).

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Chapter I

Saat seseorang ingin memutuskan menikah semarga dengan pasangan

yang semarga suku Batak Toba bukanlah hal mudah karena di awal sebelum

memutuskan untuk menikah individu sudah mengetahui larangan dan sanksi-

sanksi yang akan diterima bila menikah semarga. Tetapi secara agama pernikahan

semarga tidak lah hal yang salah. Adanya dua kekuatan sama besar mampu

menimbulkan konflik dalam diri individu yang akan menikah semarga.

Banyak hal yang terjadi oleh pasangan yang menikah semarga suku Batak

Toba terutama konflik yang terjadi dalam dalam dirinya maupun konflik antara

dirinya dengan individu lainnya. Dari hal tersebut peneliti tertarik untuk menggali

lebih dalam mengenai konflik intrapersonal dan konflik interpersonal pada

individu yang menikah semarga suku Batak Toba.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan fenomena yang telah diuraikan sebelumnya, maka perumusan

masalah penelitian ini adalah:

1. Bagaimana gambaran konflik interpersonal pada individu yang

menikah semarga suku Batak Toba.

2. Bagaimana gambaran konflik interpersonal pada individu yang

menikah semarga suku Batak Toba.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memperoleh

pemahaman mengenai bagaimana gambaran konflik pada perkawinan semarga

suku Batak toba.

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Chapter I

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk dapat menambah perluasan

teori dibidang ilmu psikologi mengenai konflik intrapersonal dan konflik

interpesonal pada perkawinan semarga suku Batak Toba. Selain itu juga penelitian

ini diharapkan dapat memperkaya sumber kepustakaan penelitian dibidang

psikologi khususnya psikologi sosial.

2. Manfaat praktis

Manfaat praktis penelitian ini diharapkan dapat :

a. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan informasi mengenai

konflik intrapersonal dan konflik interpersonal pada invividu yang menikah

semarga suku Batak Toba sehingga dapat menjadi acuan bagi yang tertarik

meneliti dengan perkawinan semarga pada toba.

b. Bagi Orang Tua

Pihak-pihak yang terkait seperti pasangan yang sedang berpacaran

semarga, orang tua, pihak sekitar dapat melakukan antisipasi ketika indikasi

perilaku muncul sehingga dapat mencegah munculnya hal-hal yang bersifat

penarikan diri dalam lingkungan sosial.

c. Bagi Individu

Memberikan wacana dan informasi tentang fenomena pernikahan semarga

suku Batak Toba dengan tujuan agar individu yang akan menikah dengan

pasangan yang semarga mampu mengenali dampak-dampak yang akan timbul

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Chapter I

apabila melakukan perkawinan semarga sehingga tidak adanya suatu penyesalan

dikemudian hari dan serta mampu mengatasi konflik yang akan timbul nantinya.

d. Bagi Institusi

Adanya dampak secara psikolgis bagi individu yang menikah semarga di

harapkan memberikan informasi bagi instansi psikologi dari penelitian ini dapat

digunakan untuk penanganan individu yang bersifat suportif terhadap pelaku

pernikahan semarga suku Batak Toba.

E. Sistematika Penulisan

Penelitian ini disajikan dalam beberapa bab dengan sistematika penelitian

sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan

Bab I berisi tentang uraian singkat mengenai latar

belakang masalah, pertanyaan penelitian, tujuan dan

manfaat penelitian, dan sistematika penelitian.

BAB II : Landasan Teori

Bab II berisi uraian teori yang menjadi acuan dalam

pembahasan masalah. Teori-teori yang digunakan

dalam penelitian ini adalah teori tentang konflik yang

terdiri dari definisi, konsep-konsep dasar teori lapangan

konflik intrapersonal, konflik interpersonal. Dalihan na

tolu dan pernikahan suku Batak Toba.

BAB III : Metode Penelitian

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Chapter I

Dalam bab ini akan dijelaskan metode penelitian yang

digunakan oleh peneliti dalam hal ini adalah metode

penelitian kualitatif, partisipan dan lokasi penelitian,

metode pengumpulan data, subjek penelitian, teknik

pengambilan sampel, alat bantu pengumpulan data,

lembar observasi partisipan, kredibilitas (validitas)

penelitian, prosedur penelitian serta teknik dan proses

pengolahan data.

BAB IV : Deskripsi Data Dan Pembahasan

Deskripsi data dan pembahasan berisi pendeskripsian

data responden, deskripsi dan pembahasan data yang

dperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan dan

pembahasan data-data penelitian sesuai dengan teori

yang relevan dan diskusi.

BAB V : Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan, dan Saran yang menjelaskan kesimpulan

dari penelitian ini, diskusi mengenai hasil penelitian

yang ada serta saran-saran yang dianjurkan mengenai

penelitian ini.

Universitas Sumatera Utara