CERPEN

download CERPEN

of 2

description

cerpen

Transcript of CERPEN

Pahlawan CahayaOleh: Tiara Putri Ramadhani

Ibu, kenapa aku tidak punya Ayah?Pertanyaan itu kerap kali kulontarkan pada ibu, yang hanya disambutnya dengan senyuman tipis. Aku selalu bertanya-tanya, ada makna apa dibalik senyumannya itu. Namun, tak pernah terkumpul jawaban yang memuaskan keingintahuanku itu. Tak pernah.Eca, kenapa kamu nggak pernah terlihat dijemput sama Ayahmu? Ayahmu terlampaui sibuk, ya?Aku menoleh, lalu tersenyum getir menanggapi pertanyaan itu. Iya, Ayahku sibuk, sering ke luar kota. Hehe.Ooohh... Tak hanya sekali dua kali saja aku menerima pertanyaan seperti ini, bahkan hampir semua teman dekatku menanyakan hal yang sama. Ayahmu di mana? Kok nggak pernah datang menjemput? Haruskah aku jujur dan memberitahukan kondisi di keluargaku? Kondisi yang bahkan aku sendiri pun tak mengerti?Ibu, kenapa aku tidak punya Ayah? Ayah ke mana, Bu?Lagi-lagi pertanyaan itu yang terucap dari bibir mungilku, menyapa ibu yang tengah telaten menyiapkan makan siang.Ibu tersenyum sembari meletakkan berbagai lauk makan siang di atas meja. Kenapa kamu menanyakan hal itu terus, Sayang?Aku merengut. Habisnya.. teman-temanku terus-terusan saja mengolok-olok dan bertanya, Eca, ayahmu mana? Kok nggak pernah datang menjemput?, begitu! Terus, aku harus jawab apa dong, Bu? rengekku kesal.Ya... jawab saja sesuai kenyataan yang ada, kan? Apa susahnya? jawab ibu santai.Apa? Apa susahnya, Bu? Ibu bisa bilang begitu karena ibu nggak ngerasain gimana rasanya jadi aku! Aku capek Bu, terus-terusan ditanyain sama teman-teman seperti itu! Ibu mengerti sedikit, dong! teriakku kesal pada ibu kemudian berlari menghambur ke dalam kamar, meninggalkan ibu sendirian yang terpaku bengong bersama hidangan makan siang yang terabaikan.Di kamar, aku menangis. Ibu tega! Kok ibu bisa santai, sih, bilang kayak gitu? Ibu bisa bilang begitu karena ibu nggak mengerti kondisiku! Karena ibu nggak berada di posisiku! Coba kalau ibu di posisiku, pasti nggak enak! Aku pun berteriak kesal di dalam hati, menyerukan berbagai gejolak hati yang tak dapat terbendung lagi, bersama beragam sumpah serapah yang menyelimuti ruang hati, kutumpahkan semuanya.Aku bangkit duduk dan menatap wajahku di cermin. Aku benci ibu!21 April, Hari Peringatan Ibu Kartini. Semua orang tahu siapa itu Kartini. Dia adalah pahlawan bangsa, terutama kaum wanita. Pejuang hak-hak wanita dan emansipasi wanita. Seorang putri sejati, yang memerdekakan hak-hak wanita. Yang tak pernah kenal lelah untuk tetap berkarya dan bercita-cita tinggi, menggapai impian terbesarnya.Di tengah hiruk-pikuk kegiatan peringatan tersebut yang diadakan oleh sekolahku, aku hanya bisa terduduk sedih di sudut kelas. Hari ini seharusnya orang tua para murid diundang untuk menghadiri acara tersebut, karena ada perlombaan Best Mom and Dad di hari ini. Tapi, aku sudah terlalu putus asa untuk menanti kedatangan ibu, bahkan ayah. Ayahku saja tak karuan di mana.Lho, Eca? Kamu sedang apa sendirian di sini?Aku menoleh. Terlihat Mika, teman satu kelasku, berdiri tak jauh dariku, menatapku heran. Kamu nggak datang ke aula?Aku tersenyum tipis. Buat apa? Ibuku sepertinya sedang sibuk bekerja, dan ayahku... aku tertawa getir. Aku pun tak tahu di mana ayahku sekarang..Mika mengernyit heran. Apa katamu? Ibumu sibuk? Tapi, barusan saja aku melihatnya berada di podium aula, tengah mengemukakan aspirasinya...Aku tersentak kaget. Apa? Ibu? Ibuku datang? Di mana? Di aula? Kok.. bisa?Iya, tadi aku melihatnya di aula. Coba saja kamu lihat sekarang.Aku pun bergegas berlari memutari sekolah, menuju aula, hendak melihat sendiri hadirnya sosok ibuku di aula, di atas podium....jadi, saya sangat minta maaf atas keterlambatan saya ini.. karena saya diharuskan untuk bekerja dulu pagi ini, yang telah membuat putri semata wayang saya, Eca, menjadi sedih.. sungguh, ibu tak mau melihatmu bersedih, Nak. Semenjak ayahmu pergi dahulu, ibu.. ibu selalu menganggapmu sebagai permata berharga bagi ibu. Cahaya di dalam kehidupan ibu, yang menopang dan memberi semangat pada ibu. Tahukah kau, Nak? Demi melihat senyummu, ibu rela mencari kerja untuk biayamu sekolah, biayamu makan, biayamu untuk beli keperluan sehari-hari. Ibu rela mengantar-jemputmu ke sekolah demi ketepatan waktumu tiba di sekolah dan bercanda dengan teman-temanmu. Ibu rela memasak untukmu di sela-sela waktu kerja ibu yang padat, demi melihat senyummu yang mengatakan, Ibu, masakannya enak!. Ibu rela... karena hanya dirimulah satu-satunya cahaya dalam hidup ibu....Aku terdiam, sebelah tanganku menutup mulutku yang mendadak kelu. Ibu, ibu yang kini kusadari selalu ada di saat aku membutuhkannya. Ibu yang selalu siap sedia mengantar-jemputku ke mana pun aku berada di sela-sela kegiatannya yang sibuk. Ibu, yang selalu menyiapkan masakan lezat dengan bonus senyuman hangat yang selalu mengusir kesedihan di hatiku. Ibu, yang entah mengapa tak kusadari, kini telah menjadi pahlawan bagiku. Ibu, yang kemarin kubentak-bentak dan kusentak.Ibu....Aku tak kuasa menahan gejolak air mata yang hendak luruh ini. Aku terduduk di depan pintu, di sisi aula. Menangis sesenggukan kala menyadari kesalahanku, kekhilafanku.Ibu, kaulah pahlawanku dan impian-impianku, walau tak bersama Ayah.SELESAI