cerpen

4
Persahabatan yang Tak Ternilai Kami sudah bersahabat sejak 5 tahun yang lalu. Waktu itu, saat aku masih duduk di kelas 6 SD. Aku tidak akrab dengan Jenny dan Riane. Namun, semua itu tidak berubah ketika aku tidak sengaja menumpahkan jus jeruk di seragam Jenny. Aku sangat merasa bersalah saat itu. Sehingga aku pun meminta maaf pada Jenny dan akan mencuci seragamnya sepulang sekolah nanti. Mulai saat itulah kami mulai akrab. Hingga saat ini, kami pun masih bersahabat. “Liv! Oooo, Olivee!” teriakan itu membuatku terkejut dari lamunanku. “Kamu lagi mikirin apa? Sampai omongan aku dan Riane gak didengerin. Mikirin sapa tuwh?? Hahaha..” “Iyaa nihh. Lagi mikirin Irvan ya?” kata Riane. “Bukan! Aku cuma lagi mikirin persahabatan kita. Gak terasa sudah 5 tahun lebih kita bersahabat. Padahal dulu, kita tidak saling kenal,” jawabku. Memang benar. Aku begitu senang dengan keadaan kami sekarang. Kami begitu dekat sehingga tidak ada satu pun rahasia yang kami sembunyikan. Kami saling terbuka satu sama lain. “Tuh kan.. melamun lagi dia,” jengkel Jenny. “Ya sudahlah, kita ke kelas aja yuk! Biarin aja si Olive melamun di sini. Hehe ..” Riane memang yang paling jahil di antara kami bertiga. Dan aku adalah orang yang paling sering dijahili oleh Riane. Itu sudah menjadi makanan sehari-hariku selama 5 tahun belakangan ini. Aku sangat kesal setelah menyadari bahwa aku DITINGGAL sendirian oleh dua sahabatku yang sangat amat baik hati itu! Sehingga aku harus berjalan menelusuri koridor sekolah menuju kelasku seorang diri. Jujur, aku termasuk orang yang tidak percaya diri bila berjalan sendirian tanpa ditemani seorangpun. “Kalian kenapa tinggalin aku di kantin tadi? Gak bilang-bilang sama aku!” “Salah kamu sendiri kamu melamun melulu dari tadi. Emang kamu tahu apa yang aku dan Jenny bicarakan tadi di kantin?” Aku terdiam. “Pasti gak ..” kata Jenny. “Maaf dehh.. aku kan tadi lagi bernostalgia. Hehe..”

description

Cerpen

Transcript of cerpen

Page 1: cerpen

Persahabatan yang Tak Ternilai

Kami sudah bersahabat sejak 5 tahun yang lalu. Waktu itu, saat aku masih duduk di kelas 6 SD. Aku tidak akrab dengan Jenny dan Riane. Namun, semua itu tidak berubah ketika aku tidak sengaja menumpahkan jus jeruk di seragam Jenny. Aku sangat merasa bersalah saat itu. Sehingga aku pun meminta maaf pada Jenny dan akan mencuci seragamnya sepulang sekolah nanti. Mulai saat itulah kami mulai akrab. Hingga saat ini, kami pun masih bersahabat.

“Liv! Oooo, Olivee!” teriakan itu membuatku terkejut dari lamunanku. “Kamu lagi mikirin apa? Sampai omongan aku dan Riane gak didengerin. Mikirin sapa tuwh?? Hahaha..”

“Iyaa nihh. Lagi mikirin Irvan ya?” kata Riane.

“Bukan! Aku cuma lagi mikirin persahabatan kita. Gak terasa sudah 5 tahun lebih kita bersahabat. Padahal dulu, kita tidak saling kenal,” jawabku. Memang benar. Aku begitu senang dengan keadaan kami sekarang. Kami begitu dekat sehingga tidak ada satu pun rahasia yang kami sembunyikan. Kami saling terbuka satu sama lain.

“Tuh kan.. melamun lagi dia,” jengkel Jenny.

“Ya sudahlah, kita ke kelas aja yuk! Biarin aja si Olive melamun di sini. Hehe ..” Riane memang yang paling jahil di antara kami bertiga. Dan aku adalah orang yang paling sering dijahili oleh Riane. Itu sudah menjadi makanan sehari-hariku selama 5 tahun belakangan ini.

Aku sangat kesal setelah menyadari bahwa aku DITINGGAL sendirian oleh dua sahabatku yang sangat amat baik hati itu! Sehingga aku harus berjalan menelusuri koridor sekolah menuju kelasku seorang diri. Jujur, aku termasuk orang yang tidak percaya diri bila berjalan sendirian tanpa ditemani seorangpun.

“Kalian kenapa tinggalin aku di kantin tadi? Gak bilang-bilang sama aku!”

“Salah kamu sendiri kamu melamun melulu dari tadi. Emang kamu tahu apa yang aku dan Jenny bicarakan tadi di kantin?”

Aku terdiam.

“Pasti gak ..” kata Jenny.

“Maaf dehh.. aku kan tadi lagi bernostalgia. Hehe..”

Bel tanda masuk pun berbunyi. Pak Ferdi telah menampakkan batang hidungnya di depan pintu. Kulitnya yang hitam itu menghalangi sinar matahari pagi untuk masuk dalam ruangan kami itu. Beberapa detik kemudian, pelajaran yang sungguh kubenci pun dimulai, FISIKA. Huh!

*

Aku berjalan menuju sebuah ruangan yang tidak asing bagiku. Bahkan ruangan bernuansa biru muda ini sudah bagai surga bagiku. Sejenak aku membaringkan diriku di atas tempat tidurku. Aku merasa begitu capek setelah melalui kegiatan satu harian ini. Belum lagi aku sudah janjian dengan Jenny dan Riane untuk berbelanja sore ini.

Page 2: cerpen

Kemudian aku bangkit dari tempat tidurku dan menyambar handuk yang ada di dekat pintu kamar mandiku. Aku membersihkan diri dan berpakaian serapi mungkin menunggu Riane yang akan menjemputku pukul 17.00 nanti.

“Jenny gak bisa ikut. Katanya dia lagi ada masalah keluarga,” begitu kata Riane saat aku duduk di sebelahnya. Ia tetap melihat ke depan dan mengemudi dengan hati-hati.

“Memangnya masalah apa?”

“Aku gak tahu, dia gak ada cerita. Aku kasihan lihat keluarga dia yang kurang mampu dalam perekonomian. Aku harap, aku bisa berbuat sesuatu untuknya,”

“Iya. Aku juga,”

Jenny memang berasal dari keluarga yang kurang berada. Berbanding terbalik denganku dan Riane. Namun selama ini, kami tidak pernah mendiskriminasi Jenny karena perbedaan ekonomi kami tersebut. Malah, kami saling membantu bila Jenny mengalami kesulitan.

*

“Hari ini Jenny gak masuk? Sudah berapa hari dia tidak masuk sekolah?” tanyaku.

“Iya. Rasanya sepi gak ada dia!”

“Pulang sekolah ke rumah dia yuk! Naik mobil aku saja,”

“Boleh! Tapi nanti kita mampir ke toko buah dulu ya? Kita beli buah dulu untuk Jenny,”

“Ok!”

“Olive! Riane! Jangan ribut! Cepat catat apa yang ada di papan tulis!” suara itu membuat aku dan Riane kaget setengah mati.

“Iiii..iyaa, Pak! Maaf!” jawab Riane.

“Galak amat, Pak! Ntar kumisnya copot lho! Haha ..” seruku dengan berbisik.

“Sssttt! Ntar kena hukum mau?”

“Ampun, Buuu..” kataku.

Kami pun menghabiskan waktu pelajaran dengan “menggosip”. Sudah berkali-kali kami ditegur guru. Tapi, namanya juga anak muda. Pasti ada bandelnya sedikit. Kami pun tetap melanjutkan “aksi kesukaan” kami itu sampai bel pulang berbunyi. Kami pun langsung berlari menuju mobilku dan mampir ke toko buah sejenak.

“Rumahnya sepi. Apa gak ada orang?”

Page 3: cerpen

“Mungkin mereka lagi di belakang. Coba kita ketuk dulu pintunya, Liv!”

Tok..! Tok..! Tok..!

“Permisii...”

“Gak ada yang jawab, Liv! Mungkin benar mereka lagi gak di rumah.”

“Olive! Riane! Kalian ngapain di sini?” suara Jenny mengagetkan kami.

“Jenny? Kamu ngapain di sana? Itu, kenapa kamu bawa koran banyak seperti itu?” jawab Riane.

“Mari masuk dulu. Nanti aku jelaskan. Mari!” Jenny membuka pintu dan membiarkan kami duduk di sofanya yang sudah agak usang.

“Sebenarnya ada apa, Ri? Kenapa kamu gak masuk sekolah belakangan ini?” tanyaku dengan heran.

“Aku lagi ada masalah, Liv! Aku lagi kesulitan ekonomi. Aku harus bantu orangtua aku,” raut wajah Jenny yang murung membuatku dan Riane menjadi tidak tega.

“Jadi, kamu berjualan koran?”

Jenny hanya mengangguk.

“Ya ampun, Jen! Kenapa tidak bilang denganku dan Olive? Kami pasti akan membantu kamu.”

“Aku tidak mau merepotkan kalian. Aku sudah terlalu banyak merepotkan kalian. Aku gak mau nanti kalian menjadi terbebani gara-gara aku!”

“Jenny, kita ini sahabat. Bukan Cuma dua atau tiga tahun, tapi lima tahun. Aku dan Riane akan membantu kamu dan keluarga kamu. Ok?!”

“Makasih banyak ya, Liv, Jen. Kalian memang sahabat yang baik banget.”

“Udah donk! Jangan nangis gitu.” Aku pun menjadi ikut-ikut terharu.

Persahabatan kami memang sudah lama. Lima tahun. Namun bagiku, itu sudah seperti satu abad bagiku. Aku sayang sekali dengan Jenny dan Riane. Mereka sudah aku anggap sebagai saudaraku sendiri. Aku tidak tega melihat Jenny atau Riane dalam kesulitan. Aku pasti akan selalu berusaha untuk membantu mereka. Aku bangga memiliki sahabat seperti mereka. Aku juga tidak akan menyia-nyiakan persahabatan kami ini. Persahabatan yang tidak akan tergantikan dengan apa pun juga.