Cedera Laryng

download Cedera Laryng

of 17

Transcript of Cedera Laryng

TRAUMA LARINGI. Anatomi dan Fisiologi Laring Kerangka laring Struktur kerangka laring dibentuk oleh satu tulang dan beberapa kartilago. Di sebelah superior terdapat os hioideum, suatu struktur berbentuk huruf U dan terdiri dari korpus, dua kornu mayor dan dua kornu minor. Permukaan posterior superior hioid merupakan tempat perlekatan membran hioepiglotik dan tirohioid. Perlekatan os hioid ke mandibula dan tengkorak oleh ligamentum stilohioid dan otot-otot digastrikus, stilohioid, milohioid, hioglosus, dan geniohioid akan mempertahankan posisi laring pada leher dan mengangkat laring selama proses menelan dan fonasi.1,2 Kartilago laring dibentuk oleh 3 buah kartilago yang tunggal, yaitu kartilago tiroid, krikoid, dan epiglotik, serta 3 buah kartilago yang berpasangan, yaitu kartilago aritenoid, kartilago kornikulata, dan kuneiform. Satu-satunya tulang pada laring adalah os hioid, dimana dibawahnya dan menggantung pada ligamentam tirohioideum adalah dua sayap kartilago tiroid. Kedua sayap ini bertemu di anterior dan membentuk sudut lancip. Pada pria, bagian superior sudut tersebut membentuk penonjolan subkutan disebut Adams apple. Pada tepi posterior masing-masing sayap, terdapat kornu superior dan inferior dimana kornu inferior berartikulasio dengan kartilago krikoid dan memungkinkan sedikit pergeseran atau gerakan antara kartilago tiroid dan krikoid. 1,3

Gambar 1. Kerangka laring tampak anterior dan lateral. 4

1

Tidak seperti struktur penyokong lain dari jalan nafas, kartilago krikoid berbentuk cincin dengan arkus anterior yang sempit dan lamina kuadratus yang luas di bagian posterior. Di sebelah inferior, kartilago trakealis pertama melekat pada krikoid lewat ligamentum interkartilaginosa. Pada permukaan superior lamina terletak pasangan kartilago aritenoid, masing-masing berbentuk seperti piramid bersisi tiga. Basis piramidalis berartikulasi dengan krikoid pada artikulasio krikoaritenoidea, sehingga dapat terjadi gerakan meluncur dari medial ke lateral dan rotasi. Tiap kartilago aritenoid mempunyai dua prosesus, prosesus vokalis anterior dan prosesus muskularis lateralis.1,3

Gambar 2. Anatomi kerangka laring

5

Ligamentum vokalis meluas ke anterior dari masing-masing prosesus vokalis dan berinsersi ke dalam kartilago tiroid di garis tengah. Prosesus vokalis membentuk dua perlima bagian belakang dari korda vokalis, sementara ligamentum vokalis membentuk bagian membranosa atau bagian pita suara yang dapat bergetar. Ujung bebas dan permukaan superior korda vokalis suara membentuk glotis. 1,2 Terdapat dua pasang kartilago kecil dalam laring yang tidak memiliki fungsi. Kartilago kornikula terletak dalam jaringan di atas menutupi aritenoid. Di sebelah lateralnya, yaitu di dalam plika ariepiglotika terletak kartilago kuneiformis. Kartilago epiglotika merupakan struktur garis tengah tunggal yang berbentuk seperti bat pingpong. Pegangan atau petiolus melekat melalui suatu ligamentum pendek pada kartilago tiroidea tepat di atas korda vokalis, sementara bagian racquet meluas ke atas di belakang korpus hiodeum ke dalam2

lumen faring, memisahlan pangkal lidah dari laring. Fungsi epiglotis adalah menutup jalan napas saat menelan makanan agar tidak terjadi aspirasi.1,3 Otot-otot laring Otot-otot yang menyusun laring terdiri dari otot-otot ekstrinsik dan otot-otot intrinsik. Otot-otot ekstrinsik berfungsi menggerakkan laring dan digolongkan menurut fungsinya. Otot-otot depresor atau otot leher (omohioideus, sternotiroideus, sternohioideus) berasal dari bagian inferior. Otot elevator (milohioideus, genohioideus, genioglosus, hioglosus, digastrikus dan stilohioideus) meluas dari os hioideum ke mandibula, lidah dan prosesus stiloideus pada kranium. Otot tirohioideus walaupun digolongkan sebagai otot leher, terutama berfungsi sebagai elevator. Melekat pada os hioideum dan ujung posterior sayap kartilago tiroidea adalah otot konstriktor medius dan inferior yang melingkari faring di sebelah posterior dan berfungsi pada saat menelan. Serat-serat paling bawah dari otot konstriktor inferior berasal dari krikoid, membentuk krikofaringeus yang kuat, yang berfungsi sebagai sfingter esofagus superior. 3 Sedangkan otot-otot intrinsik berfungsi membuka rima glotis sehingga dapat dilalui oleh udara respirasi. Serat-serat otot interaritenoideus transversus dan oblikus meluas di antara kedua kartilago aritenoidea. Bila berkontraksi, kartilago aritenoidea akan bergeser ke arah garis tengah, mengadduksi plika vokalis. Otot krikoaritenoideus posterior meluas dari permukaan posterior lamina krikoidea untuk berinsersi ke dalam prosesus muskularis aritenoidea; otot ini menyebabkan rotasi ke arah luar dan mengabduksi plika vokalis. Antagonis utama otot ini, yaitu otot krikoaritenoideus lateralis berorigo pada arkus krikoidea lateralis; insersinya juga pada prosesus muskularis dan menyebabkan rotasi aritenoid ke medial, menimbulkan adduksi. 2,3

Gambar 3. Otot-otot intrinsik pada laring dan arah vektornya. 6 3

Gambar 4. Otot-otot yang menyusun laring 5

Yang membentuk tonjolan plika vokalis adalah otot vokalis dan tiroaritenoideus yang hampir tidak dapat dipisahkan; kedua otot ini ikut berperan dalam membentuk tegangan plika vokalis. Otot-otot laring utama lainnya adalah pasangan otot krikotiroideus, yaitu otot yang berbentuk kipas berasal dari arkus krikoidea di sebelah interior dan berinsersi pada permukaan lateral sayap tiroidea yang luas. Kontraksi otot ini menarik kartilago tiroidea ke depan, meregang dan menegangkan plika vokalis. Otot-otot intrinsik ini selain menutup rima glotis dan vestibulum laringis, mencegah bolus makanan masuk ke dalam laring (trakea) pada waktu menelan, juga mengatur ketegangan (tension) plika vokalis ketika berbicara. Kedua fungsi yang pertama diatur oleh medula oblongata secara otomatis, sedangkan yang terakhir oleh korteks serebri secara volunter.1,3 Persarafan, vaskularisasi, dan drainase limfatik Dua pasang saraf mengurus laring dengan persarafan sensorik dan motorik (Gambar 5). Dua saraf laringeus superior dan dua inferior atau laringeus rekurens, saraf laringeus merupakan cabang-cabang saraf vagus. Saraf laringeus superior meninggalkan trunkus vagalis tepat dibawah ganglion nodosum, melengkung ke anterior dan medial di bawah arteri karotis eksterna dan interna, dan bercabang dua menjadi suatu cabang sensorik interna dan cabang motorik eksterna. Cabang interna menembus membrana tirohioidea untuk mengurus persarafan sensorik valekula, epiglotis, sinus piriformis, dan seluruh mukosa laring superior interna. Masing-masing cabang eksterna merupakan suplai motorik untuk satu otot saja, yaitu otot krikotiroideus. Di sebelah inferior, saraf rekurens berjalan naik dalam alur di antara trakea dan esofagus, masuk ke dalam laring tepat di belakang artikulasio krikotiroideus. Saraf rekurens juga mengurus sensasi jaringan di bawah korda vokalis sejati (regio subglotis) dan trakea superior. 1, 24

Gambar 5. Persarafan pada laring.

5

Suplai arteri dan drainase venosus dari laring paralel dengan suplai sarafnya. Arteri dan vena laringea superior merupakan cabangcabang arteri dan vena tiroidea superior, dan keduanya bergabung dengan cabang interna saraf laringeus superior untuk membentuk pedikulus neurovaskular superior. Arteri dan vena laringea inferior berasal dari pembuluh tiroidea inferior dan masuk ke laring bersama saraf laringeus rekurens. 1,2

Gambar 6. Vaskularisasi pada laring 5

Struktur dalam laring Rongga di dalam laring dibagi menjadi tiga yaitu, vestibulum laring, dibatasi oleh aditus laringis dan rima vestibuli. Lalu ventrikulus laringis, yang dibatasi oleh rima vestibuli dan rima glotidis. Di dalamnya berisi kelenjar mukosa yang membasahi plika vokalis. Yang5

ketiga adalah kavum laringis yang berada di sebelah kaudal dari plika vokalis dan melanjutkan diri menjadi kavum trakealis. 1,3 Fisiologi laring Laring memiliki tiga fungsi utama yaitu proteksi jalan napas, respirasi, dan fonasi. Secara filogenetik, laring mula-mula berkembang sebagai suatu sfingter yang melindungi saluran pernapasan, sementara perkembangan suara merupakan peristiwa yang terjadi belakangan. 1,7 Perlindungan jalan napas selama aksi menelan terjadi melalui mekanisme yang berbeda. Aditus laringis sendiri tertutup oleh kerja sfingter dari otot tiroaritenoideus dalam plika ariepiglotika dan korda vokalis palsu, di samping aduksi korda vokalis sejati dan aritenoid yang ditimbulkan oleh otot intrinsik lainnya. Di sampin itu, respirasi juga dihambat selama proses menelan melalui suatu refleks yang diperantarai reseptor pada mukosa daerah supraglotis, hal ini mencegah inhalasi makanan dan saliva. 1,3 II. Etiologi Trauma pada laring dapat berupa trauma tumpul, trauma tajam ataupun luka tembak. Trauma tumpul pada derah leher selain dapat menghancurkan struktur laring juga

menyebabkan cedera pada jaringan lunak seperti otot, saraf, pembuluh darah, dan lain-lain. Hal ini sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari seperti leher terpukul oleh tangkai pompa air, leher membentur dashboard dalam kecelakaan waktu mobil berhenti tiba-tiba,

tertendang atau terpukul waktu berolahraga bela diri, dicekik, atau usaha bunuh diri dengan gantung diri.8 Ballenger membagi penyebab trauma laring atas: A. Trauma mekanik 1. Eksterna a. Kecelakaan mobil b. Trauma tumpul leher lainnya c. Komplikasi trakeostomi d. Krikotirotomi 2. Interna a. Tindakan endoskopi b. Intubasi endotrakea c. Pemasangan pipa hidung-lambung6

B. Luka bakar laring 1. Luka bakar termal a. Tertelan makanan atau minuman panas b. Terhirup udara atau gas panas 2. Luka bakar kimia a. Basa kuat (NaOH. KOH) b. Amonia c. Natrium hipoklorit (Clorox) d. Orthophenylphenol (Lisol) C. Trauma penyinaran D. Trauma autogen (penggunaan suara yang berlebihan)3,8 Penyebab tersering adalah trauma tumpul akibat benturan leher dengan setir atau dash board saat kecelakaan mobil. Insidens trauma akibat tindakan endoskopi dan pemasangan pipa hidung-lambung saat ini berkurang, karena teknik dan peralatan yang lebih baik dan kesadaran akan kemungkinan terjadinya trauma. Trauma penyinaran pada laring masih sering terjadi terutama pada pemberian dosis penyinaran yang lebih besar dalam pengobatan karsinoma. Trauma autogen pada laring biasanya akibat penyalahgunaan suara. 3 III. Mekanisme trauma laring akut Cedera laring jarang terjadi karena beberapa alasan. Bagian infeior dari mandibula memberikan perlindungan terhadap benturan dari depan. Sedangkan di belakang, laring dilindungi oleh vertebra cervical yang rigid. Mekanisme trauma pada laring dapat dibedakan atas: trauma tumpul, trauma penetrasi/tembus, trauma inhalasi, dan trauma akibat bahan kaustik. 6,9,10 Trauma tumpul anterior seringkali terjadi akibat kecelakaan kendaraan bermotor. Meskipun dalam keadaan normal mandibula dan sternum melindungi laring, pada keadaan tertentu leher dapat mengalami hiperekstensi yang menyebabkan kartilago laring dapat terbentur oleh objek dari luar. Misalnya saat terjadi kecelakaan, pengemudi yang menggunakan seat belt akan terdorong ke depan akibat deselerasi yang cepat dengan leher yang mengalami hiperekstensi. Posisi ini menyebabkan proteksi mandibula terhadap laring hilang sehingga laring terpapar dan dapat mengalami benturan dari depan. Jika laring membentur stir atau dashboard, laring dapat terkompresi antara objek tersebut dengan

7

vertebra servikal. Adapun trauma tumpul pada leher bagian anterior seringkali diikuti dengan fraktur kartilago tiroid. serak. 7,9,11 Trauma tumpul laring dapat menimbulkan hematom

submukosa. Gejalanya berupa nyeri daerah laring, batuk, gangguan menelan, dan suara

Gambar 7. Mekanisme cedera laring pada kecelakaan lalu lintas

9

Subluksasi ataupun dislokasi kartilago arytenoid dapat menyebabkan perubahan pada pita suara. Fraktur kartilago krikoid dapat terjadi sendiri atau bersamaan dengan trauma lainnya, terutama setelah trauma vertebra servikal bagian bawah. integritas struktural dari kartilago cricoid penting dalam memelihara jalan napas. Trauma pada laring juga dapat menyebabkan robekan pada otot vocalis dan perikondrium internal. Hal ini menyeybakan robekan pada mukosa endolaryngeal, edem, atau hematoma. Trauma yang lebih berat dapat menimbulkan fraktur kartilago laring ataupun kerusakan ligamen laring. 11 Kasus trauma penetrasi cukup tinggi akibat meningkatnya kekerasan akhir-akhir ini. Penyebab tersering adalah luka tembak akibat senjata api dan luka tusuk akibat benda tajam. Cedera yang ditimbulkan tergantung dari jenis senjata api yang digunakan. cedera yang timbul dapat bervariasi mulai dari laserasi minor sampai kerusakan yang hebat pada mukosa, jaringan lunak, saraf, dan struktur lainnya. Kematian dapat terjadi akibat kerusakan total pada laring, edema masif pada jaringan lunak, ataupun kerusakan pada neurovaskular.9,11

8

Gambar 8. Trauma penetrasi akibat senjata api berkecepatan tinggi. 9

IV. Patofisiologi trauma laring Struktur dan lokasi laring sedemikian rupa, sehingga trauma terhadap organ ini akan diikuti oleh perkembangan lesi yang menghasilkan gejala dan tanda tersendiri. Kemampuan jaringan submukosa laring untuk meregang terutama pada bagian supraglotik, memungkinkan pengumpulan cairan atau darah dengan cepat, sehingga menimbulkan edema atau hematoma laring yang khas mengenai plika ariepiglotika dan pita suara palsu. Karena cairan atau darah mengumpul dengan cepat, gejala obstruksi laring dapat muncul dengan tiba-tiba. Lapisan mukosa laring faring mudah robek akibat trauma dan dapat diikuti dengan timbulnya emfisema subkutis dengan segera. 3 Berbagai variasi fraktur dan dislokasi tulang rawan dan sendi laring dapat terjadi dan cenderung lebih berat pada orang usia lanjut, karena tulang rawannya telah berkalsifikasi sehingga kurang lentur. Trauma perikondrioum sering menyebabkan hematoma subperikondrium, devaskularisasi dan nekrosis tulang rawan hialin. 3 Penyembuhan trauma laring ialah dengan terbentuknya jaringan granulasi dan jaringan fibrosis. Karena luka biasanya mengalami infeksi sekunder, proses epitelisasi sering terlambat, yang menghasilkan terbentuknya jaringan granulasi dan jaringan fibrosis yang berlebihan. Sikatriks akan diikuti oleh deformitas dan perubahan fungsi laring yang jelas menetap dan kelainan yang menetap mungkin terjadi akibat trauma yang relatif ringan.3, 11

V. Manifestasi klinik Pada setiap pasien yang mungkin menderita trauma laring, gejala-gejala berikut menunjukkan adanya kelainan pada struktur laring:9

Meningkatnya obstruksi jalan napas dengan adanya sesak napas (dispnea) dan napas berbunyi (stridor) Disfonia atau afonia Batuk Hemoptisis atau hematemesis Nyeri pada leher Disfagia dan odinofagi Gejala-gejala awal mungkin disertai dengan tanda-tanda klinis berikut: Deformitas leher, termasuk perubahan bentuk dan pembengkakan Emfisema subkutis Nyeri tekan laring Laryngeal tenderness Edema, hematom, dan laserasi pada laring Hilangnya prominensia kartilago tiroid Immobilitas pita suara Krepitasi tulang 3,11,12

Gambar 9. Emfisema subkutis pada wajah, dan leher akibat trauma tertutup pada laring. 12

Diagnosa kerusakan struktur laring atau trakea yang berat ditandai oleh adanya obstruksi jalan napas dan emfisema subkutis. VI. Diagnosa Terdapatnya riwayat trauma pada leher disertai satu atau lebih manifestasi klinis di atas merupakan dasar perkiraan adanya trauma pada laring dan merupakan indikasi untuk melakukan pemeriksaan laringoskopi tak langsung, laringoskopi langsung, dan bronkoskopi,10

untuk menentukan adanya edema, hematoma, mukosa dan tulang rawan yang bergeser dan paralisis pita suara. Rontgen foto leher dan dada harus dilakukan untuk mendeteksi adanya fraktur laring, trauma trakea dan pneumotoraks. 3,11 Dari pemeriksaan fisis luar dapat ditemukan fraktur terbuka ataupun fistula laryngocutaneus. Laring dapat dipalpasi untuk mendeteksi adanya krepitasi. Kulit di daerah leher dapat mengalami kontusio atau abrasi akibat trauma tumpul atau berbentuk garis akibat trauma jeratan/strangulasi.9 Stridor yang terdengar dapat membantu memperkirakan lokasi cedera. Stridor inspiratoar menandakan obstruksi jalan napas supraglotik parsial, yang dapat berasal dari edem, hematoma, benda asing, ataupun fraktur kartilago laring. Stridor ekspiratoar menandakan abnormalitas jalan napas bagian bawah yang disebabkan oleh trauma pada trakea. Stridor inspiratoar biasanya ditemukan pada cedera ekstrathoraks, sedangkan stridor ekspiratoar disebabkan oleh cedera intrathoraks.6,11,13

Gambar 10. Tampak memar pada leher depan akibat trauma tumpul pada kecelakaan. 13

Adanya hemoptisis dapat menandakan adanya cedera pada sistem aerodigestif atas, namun sulit dibedakan dengan perdarahan akibat trauma fasial. Trauma laring eksternal seringkali memberikan dampak berupa perubahan suara, bahkan pada trauma berat dapat terjadi afonia. Seringkali suara tetap ada, namun terdapat gangguan arsitektur dari komponen laring. 9

11

Gambar 11. Gambaran CT Scan yang menunjukkan hematom yang melibatkan pita suara kanan (panah hitam), dengan kartilago tiroid yang intak. 9

Xeroradiografi menolong untuk memperlihatkan adanya kolom udara laring dan beratnya trauma pada jaringan lunak. Politomografi sangat penting untuk menentukan beratnya trauma pada suprastruktur tulang rawan laring. Tomografi komputer aksial (CT Scan) dapat memperlihatkan dimensi yang tepat dari obstruksi, selain itu dapat memberikan gambaran yang jelas akan kerusakan jaringan di sekitarnya. Sehingga CT Scan merupakan evaluasi radiologik perioperatif yang selalu dilakukan sebelum mengambil tindakan operasi. Pemeriksaan lain dapat berupa konvensional radiografi, esofagoskopi, dan angiografi.3,9

VII.Berbagai jenis cedera laring spesifik A. Trauma laring mekanis a. Edema dan hematoma Terbentuknya edem dan hematoma pada jaringan ikat longgar supraglotik dan subglotik biasa terjadi pada hampir semua trauma laring, dan dapat merupakan satu-satunya kelainan patologik yang dapat ditemukan pada beberapa kasus trauma. Namun harus diwaspadai akan adanya trauma terhadap tulang rawan di bawahnya. 3 Biasanya edem dan hematom akan sembuh spontan jika sama sekali tidak ada trauma lain. Tetapi harus termasuk istirahat suara total dan menjaga kelembaban (humidifikasi) udara pernapasan. Penggunaan kortikosteroid sangat bermanfaat untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah perluasan edem. Kadang-kadang trakeostomi sementara perlu dilakukan untuk menghilangkan obstruksi. 3 b. Dislokasi atau luksasi sendi krikotiroid

12

Dapat terjadi akibat trauma leher bagian anterior yang mengakibatkan disartikulasi yang sementara atau menetap. Pada keadaan ini, kornu inferior dari tulang rawan tiroid biasanya bergeser ke bagian posterior dalam hubungannya dengan tulang rawan krikoid dan mengakibatkan pita suara pada sisi trauma kurang meregang. Bila mengenai saraf rekuren laring dapat terjadi paralisis pita suara. Pada beberapa kasus hanya terjadi luksasi sementara yang dirasakan pasien sebagai perasaan seperti ditarik di leher, misalnya saat menelan atau menguap. 3 c. Dislokasi sendi krikoaritenoid Pukulan langsusng mengenai leher yang mendorong tulang rawan krikoid ke posterior, mengenai vertebra servikal, dapat menyebabkan terjadinya dislokasi tulang rawan aritenoid ke anterior. Trauma endoskopi juga menjadi penyebab trauma ini manakala ujung esofagoskop tersangkut dan menggeser tulang rawan aritenoid atau jika dilakukan pemaksaan saat memasukkan bronkoskop atau pipa endotrakea melewati pita suara. Dislokasi anterior dari tulang rawan aritenoid lebih sering terjadi daripada posterior. Gejalanya dapat berupa suara serak, rasa nyeri dan jika ada edem yang berat dapat timbul sesak dan stridor. 3

d. Fraktur tulang hioid Biasanya terjadi bersamaan dengan fraktur dari tulang rawan laring lainnya dan umumnya terjadi pada bagian sentral korpus hioid karena elastisitas kornu. Pada saat trauma akut, terdapat perasaan nyeri dan pembengkakan pada bagian atas leher anterior, krepitasi tulang mungkin dapat diraba pada leher dan pada waktu menelan. Pasien biasanya mengeluh odinofagia, disfagia, rasa nyeri saat menjulurkan lidah dan gangguan akibat tusukan pada tulang. 3 e. Fraktur tulang rawan tiroid dan krikoid Fraktur tulang rawan ini dibagi dalam tiga kelompok, yaitu: supraglotis, glotis, dan infraglotis. Trauma supraglotis sering terjadi pada penumpang mobil ketika terjadi penghentian mendadak pada saat kendaraan bergerak sehingga tubuh bergerak ke depan sedangkan kepala ke belakang serta leher dalam keadaan ekstensi. Laring dan trakea yang terletak superfisial dengan mudah dapat mengalami kompresi. Manifestasi klinis yang timbul dapat berupa emfisema servikal dan obstruksi jalan napas. Yang khas untuk trauma supraglotis adalah (1) suara normal tetapi seakan-akan tertelan karena maluasnya obstruksi jalan napas, (2) batuk dan13

aspirasi ketika berusaha menelan makanan dan cairan, (3) adanya makanan atau cairan yang ditemukan pada saat trakeostomi tanpa disertai batuk dan tanda-tanda tersedak, (4) bentuk leher bagian atas menjadi datar dan jakun sukar diraba. Trauma glotis. Pada trauma ini, tulang rawan tiroid fraktur pada daerah perlekatan pita suara dan biasanya terjadi pergeseran fragmen yang dapat menyebabkan pita suara ikut bergeser bahkan putus. Mukosa sering robek. Emfisema subkutis dapat terjadi dan biasanya ditemukan perubahan suara dan obstruksi laring. Trauma infraglotis lebih sering terjadi pada laki-laki yang mengalami kecelakaan mobil. Di sini terlihat remuknya tulang rawan krikoid dan cincin trakea bagian atas akibat trauma. Terjadi potongan-potongan tulang rawan yang devaskularisasi yang berakibat timbulnya perikondritis tulang rawan krikoid dan memperlambat penyembuhan serta dapat timbul stenosis. 3 f. Trauma akibat pemasangan pipa hidung-lambung yang lama Pipa ini harus melewati bagian posterior lamina krikoid dan akibat proses menelan yang terus-menerus serta gerakan fonasi, trauma pada mukosa postkrikoid merupakan komplikasi yang sering terjadi. Ulserasi mukosa pada daerah postkrikoid merupakan lesi yang paling sering terjadi, dan jika berlangsung lama dapat timbul infeksi pada tulang rawan krikoid dan perikondrium. Pasien mengeluh ada rasa nyeri yang tajam di daerah leher bagian bawah dan makin bertambah hebat bila menelan. 3 g. Trauma laring akibat trakeostomi letak tinggi Merupakan penyebab stenosis laring kronis yang paling sering saat ini terutama pada anak-anak karena krikoid sering sukar dibedakan dengan cincin trakea. Trauma ini sendiri tidak berbahaya jika kanul trakeostomi dikeluarkan dalam 24 jam. Tetapi sumber utama kesulitan adalah perikondritis pada tulang krikoid, yang mulai timbul 48 jam pasca bedah. Gejala dan tanda obstruksi laring biasanya tidak jelas sampai saat melakukan dekanulasi. Jika pangkal kanul trakeostomi setelah tindakan trakeostomi terletak pada bagian tengah leher, kecurigaan akan adanya trakeostomi yang tidak pada tempatnya harus timbul. Terapi primer adalah mengeluarkan dan menempatkan kanul pada letak yang lebih rendah. Semakin cepat terdeteksi maka hasilnya akan lebih baik. 3

14

B. Luka bakar pada laring Luka bakar pada mukosa laring terjadi setelah menghirup gas panas atau uap panas dan biasanya terjadi pada petugas pemadam kebakaran ataupun akibat menelan makanan atau minuman yang sangat panas. Seperti halnya luka bakar eksternal, terdapat derajat luka bakar, derajat I, II, dan III. Luka bakar derajat I menyebabkan edem supraglotik dengan obstruksi jalan napas. Gejala yang timbul dapat berupa suara serak, rasa nyeri, stridor, dan bahkan dapat terjadi obstruksi jalan napas. Laringoskopi tak langsung memperlihatkan pita suara palsu berwarna merah dan bengkak. Pada keadaan darurat, trakeostomi mungkin diperlukan untuk suatu obstruksi akibat edema laring. Pada jenis luka bakar ini, penyembuhan luka biasanya cepat dankomplikasi stenosis kronis biasanya jarang terjadi. 3 C. Trauma radiasi pada laring Karena terapi harus diberikan melalui bagian yang tumpang tindih pada tiap sisi leher, kemungkinan untuk timbulnya titik panas dekat kommisura anterior dapat terjadi. Daerah ini mungkin menerima dosis radiasi jauh lebih besar dari taksiran dosis tumor. Akibat penggunaan radiasi sinar gamma yang berlebihan akan menyebabkan nekrosis avaskuler pada tulang rawan dan bila terdapat infeksi sekunder dapat terjadi perikondritis. 3 Efek awal radiasi biasanya mengenai epitel dimana epitel yang bersilia terhenti fungsinya dan epitel kelenjar menghilang. Dalam hal ini, terjadi laringitis sikka dan biasanya bersamaan dengan mukositis pada daerah tersebut. Selanjutnya edema jaringan subepitel dapat timbul akibat obstruksi vena dan aliran limfe. Sebagian besar pasein yang mendapat radiasi di daerah laring akan mengalami suara serak, nyeri tenggorok, rasa kering di tenggorok, dan batuk akibat mukositis yang terjadi pada akhir terapi. Gejala-gejala ini biasanya berkurang setelah terapi dihentikan. 3 D. Trauma Laring Autogen Laringitis traumatik Adalah proses inflamasi akut yang tidak disertai infeksi sebagai reaksi terhadap trauma laring. Penyebabnya dapat karena penggunaan suara yang berlebihan, seperti berteriak-teriak, yang merupakan penyebab tersering. Penyebab15

lain adalah batuk menetap, trauma endolaring langsung dan menghirup bahan iritatif. Mukosa laring tampak hiperemis dan kadang disertai edeme ringan pada pita suara. Manifetasi klinik berupa disfonia atau afonia setelah pemakaian suara secara berlebihan. Beberapa pasien akan merasakan odinofonia dan rasa kering di

tenggorok yang disertai dengan batuk kering, iritatif, dan menetap. Gejala-gejala tersebut biasanya menghilang secara spontan dalam beberapa hari, kecuali bila trauma berulang. 3 VIII. Penatalaksanaan Penanganan emergensi (untuk pasien yang tidak stabil) Resusitasi awal dimulai dengan tiga langkah, yaitu: (1) mempertahankan jalan napas, (2) memelihara kestabilan hemodinamik sambil mengontrol perdarahan, (3) immobilisasi vertebra servikal. Pilihan yang tepat untuk kontrol jalan napas masih sering diperdebatkan. Intubasi dapat dilakukan dengan aman apabila pita suara dapat terlihat dengan mudah, tidak tampak luka lain, dan dengan menggunakan alat intubasi yang paling kecil. Meskipun begitu, intubasi endotrakeal juga dapat menyebabkan cedera lebih lanjut pada jalan napas yang sudah terganggu sebelumnya, menyebabkan perlunya tindakan emergensi untuk mengontrol jalan napas. Kontrol jalan napas dengan pembedahan seperti trakeostomi ataupun krikotiroidotomi mungkin diperlukan. subglotis).6,11,13 Adapun pada pasien anak-anak biasanya tidak kooperatif dengan trakeostomi saat anak tersebut sadar. Anatomi leher pada anak-anak memiliki posisi laring yang lebih tinggi dan kartilago yang lunak. Oleh karena itu, jalan napas pada anak-anak lebih sering dipertahankan dengan bronkoskop yang rigid dengan tetap mempertahankan napas spontan sebelum trakeostomi dilakukan. Setelah stabilisasi jalan napas, pasien harus diperiksa dan cedera yang dialami diidentifikasi. 13 Terapi definitif untuk trauma laring eksternal Trauma laring diklasifikasikan ke dalam beberapa group berdasarkan berat ringannya gejala dan cedera yang timbul. Selain itu juga memudahkan untuk menentukan tindakan penanganan yang tepat. Trauma laring group I-II (lihat tabel 1) biasanya dapat16

Apabila krikotiroidotomi dilakukan, maka harus

segera dialihkan ke trakeostomi untuk mencegah komplikasi lebih lanjut (misalnya stenosis

ditangani dengan baik. Sedangkan trauma laring group III-V membutuhkan tindakan operatif segera. Kemampuan untuk mengembalikan intergritas laring mempengaruhi prognosis jangka panjang terhadap kualitas suara, jalan napas, dan kualitas hidup penderita. 13Group Group 1 Symptom Minor airway symptoms Sign Minor hematomas Small Lacerations No detectable fractures Edema/hematoma Minor mucosal disruption No cartilage exposure Single nondisplaced laryngeal fractures Massive edema Mucosal tears Exposed cartilage Displaced fractures Vocal cord immobility Massive edema Mucosal tears Exposed cartilage Vocal cord immobility Complete laryngotracheal separation Management Observation Humidified air Head of bed elevation Tracheostomy Direct laryngoscopy Esophagoscopy

Group 2

Airway compromise

Group 3

Airway compromise

Tracheostomy Direct laryngoscopy Esophagoscopy Exploration/repair No stent necessary Tracheostomy Direct laryngoscopy Esophagoscopy Exploration/repair Stent required Operatif

Group 4

Airway compromise

Group 5

Most severe

Tabel 1. Prinsip penatalaksanaan pada trauma laring.

11,13,14

IX. Komplikasi trauma laring Berbagai komplikasi lanjut akibat trauma laring yang tidak tertangani dengan baik adalah sebagai berikut: Gangguan vokal Gangguan bernapas Gangguan menelan Jaringan granulasi post operatif Stenosis laring Immobilitas pita suara 6,7,11

17