CEDERA OTAK
-
Upload
prasdiana-heny -
Category
Documents
-
view
44 -
download
1
description
Transcript of CEDERA OTAK
CEDERA OTAK
Asuhan Keperawatan Cedera Otak
Tujuan Instruksional Khusus
Setelah Pembelajaran ini mahasiswa diharapkan dapat:
1. Menjelaskan definisi cedera otak?
2. Menjelaskan klasifikasi cedera otak?
3. Menjelaskan penyebab terjadinya cedera otak?
4. Menjelaskan tanda dan gejala pada pasien cedera otak?
5. Menjelaskan patofisiologi dari cedera otak?
6. Menjelaskan saja komplikasi dari cedera otak?
7. Menjelaskan pemeriksaan penunjang pada pasien dengan cedera otak?
8. Menjelaskan penatalaksanaan pada pasien dengan cedera otak?
9. Menyusun asuhan keperawatan pada pasien dengan cedera otak?
PENDAHULUAN
Otak merupakan organ terpenting bagi kehidupan yang terletak di dalam rongga kranium
tengkorak. Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses
oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, sehingga bila kekurangan aliran darah ke
otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi.
Dengan kemajuan industrialisasi serta peningkatan sarana transportasi dan mobilisasi
manusia, barang dan jasa dari satu tempat ketempat lain tetapi tidak diimbangi pembangunan
sarana dan prasarana transportasi yang cukup memadai serta kepatuhan terhadap peraturan
berkendara dari pengguna jalan, berakibat tingginya angka cedera kepala, yang setiap tahun
cenderung meningkat. Oleh karena itu perlu adanya pemantauan secara intensif tentang kondisi
serta tingkat kesadaran pasien untuk mencegah terjadinya peningkatan derajat keparahan pada
cedera otak dan komplikasi. Sehingga diperlukan kemampuan dari tenaga medis khususnya
perawat untuk lebih memahami asuhan keperawatan yang dilaksanakan pada penanganan cedera
kepala dan otak dengan demikian angka mortalitas dan morbiditas dapat menurun
DEFINISI CEDERA OTAK
Cedera Kepala hampir disamakan dalam beberapa literatur tetapi akan lebih jelasnya
marilah kita simak definisi sendiri dari cedera kepapa dan cedera otak..
Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak.
Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius diantara penyakit neurologik
dan merupakan proporsi epidemic sebagai hasil kecelakaan jalan raya (Smeltzer & Bare 2001).
Resiko utama pasien yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak akibat atau
pembengkakan otak sebagai respons terhadap cidera dan menyebabkan peningkatan tekanan
inbakranial, cidera kepala sendiri didefinisikan dengan suatu gangguan traumatic dari fungsi otak
yang disertai atau tanpa disertai pendarahan interslities dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak.
Cdera kepala berdasarkan derajat keparahannya diklasifikasi menjadi :
1. Cedera kepala ringan ( CKR ) jika GCS antara 13-15 , dpt terjadi kehilangan kesadaran kurang
dari 30 menit, tetapi ada yang menyebut kurang dari 2 jam, jika ada penyerta seperti fraktur
tengkorak , kontusio atau temotom (sekitar 55% ).
2. Cedera kepala sedang ( CKS ) jika GCS antara 9-12, hilang kesadaran atau amnesia antara 30
menit -24 jam, dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientasi ringan ( bingung ).
3. Cedera kepala berat ( CKB ) jika GCS 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, juga meliputi
contusio cerebral, laserasi atau adanya hematoina atau edema.
Cedera otak didefinisikan sebagai kerusakan otak akibat kekuatan mekanik eksternal,
seperti percepatan atau perlambatan, dampak, atau penetrasi dengan proyektil yang melibatkan
bagian-bagian tertentu dari otak, bergantung pada mekanisme cedera yang terjadi. Fungsi otak
sementara atau permanen dan struktural kerusakan gangguan mungkin tidak terdeteksi dengan
teknologi saat ini
KLASIFIKASI CEDERA OTAK
Klasifikasi Cedera otak berdasarkan pada tingkat kerusakan dapat dibedakan atas
kerusakan primer dan kerusakan sekunder.
A. Kerusakan Primer
Kerusakan otak yang timbul pada saat cedera, sebagai akibat dari kekuatan mekanik yang
menyebabkan deformasi jaringan. Kerusakan ini dapat bersifat fokal ataupun difus. Keruskan
primer ini dapat berlanjut menjadi keruskan sekunder, jika kerusakan primer tidak mendapat
penanganan yang baik, maka kerusakan primer dapat menjadi kerusakan sekunder.
Kerusakan Fokal
Merupakan kerusakan yang melibatkan bagian-bagian tertentu dari otak, bergantung pada
mekanisme cedera yang terjadi. Kerusakan fokal yang terjadi dapat berupa :
a. Kontusio serebri,
Memar ini umumnya terjadi di area permukaan dan terdiri dari area hemoragi kecil – kecil yang
tersebar melalui substansi otak pada daerah tersebut, dari pada satu lokasi yang berbeda.
Kontusio serebral merupakan lesi yang paling banyak tampak setelah cedera kepala.
b. Kontusio ‘intermediete coup’ /kontusio ‘glinding’
Lesi kontusio sering berkembang sejalan dengan waktu, penyebabnya adalah pendarahan yang
terus berlangsung, iskemik, nekrosis, dan diikuti oleh edema vasogenik. Selanjutnya lesi akan
mengalami reabsorbsi terhadap eritrosit yang lisis (48-72 jam), disusul dengan infiltrasi
makrofag (24 jam-beberapa minggu) dan gliosis aktif yang terus berlangsung secara progresif
(mulai dari 48 jam).
c. Perdarahan subarachnoid traumatika
paling sering ditemukan pada cedera kepala, umumnya menyertai lesi lain. Perdarahan terletak di
antara arachnoid dan piameter, mengisi ruang subarachnoid.
d. Intraserebral hematoma (ICH), diartikan sebagai hematoma yang terbentuk pada jaringan otak
(parenkim) sebagai akibat dari adanya robekan pembuluh darah. Terutama melibatkan lobus
frontal dan temporal (80-90%), tetapi dapat juga melibatkan korpus kallosum, batang otak dan
ganglia basalis. Gejala dan tanda juga ditentukan oleh ukuran dan lokasi hematoma. Berdasarkan
hasil pemeriksaan CT Scan, Fukamachi dkk. Tahun 1985, membagi ICH atas :
a. Tipe 1, hematoma sudah terlihat dalam CT Scan awal
b. Tipe 2, hematoma berukuran kecil sampai sedang pada CT Scan awal, kemudian membesar pada
CT Scan selanjutnya
c. Tipe 3, hematoma terbentuk pada daerah normal pada CT Scan awal
d. Tipe 4, hematoma berkembang pada daerah yang abnormal sejak awal (‘salt and pepper)
e. Hematoma Epidural
Hematoma Epidural adalah suatu akumulasi darah pada ruang antara ruang tengkorak bagian
dalam dan lapisan meninges paling luar. Hepatoma ini terjadi karena robekan cabang kecil arteri
meningeal tengah atau arteri meningeal frontal.
Pasien dengan hematoma epidural membentuk suatu kelompok yang dapat di kategorikan
sebagai “talk and die”. Tanda dan gejala klasik terdiri dari penurunan kesadaran ringan pada
waktu terjadi benturan yang terjadi pada periode lucid (pikiran jernih) dari beberapa menit
sampai beberapa jam. Periode “talk” ini kemudian di ikuti oleh penurunan neurologis dari kacau
mental sampai koma, dari bentuk gerakan bertujuan sampai pada bentuk tubuh dekotrikasi atau
deserebrasi, dan dari pupil isokor sampai anisokor. Semua ini merupakan tanda – tanda hernia
yang berkembang cepat dan harus ditngani dengan cepat untuk mencegah kematian pada pasien.
f. Hematoma Subdural
Hematoma Subdural adalah akumulasi darah dibawah lapisan meningeal duramater dan diatas
lapisan araknoid yang menutupi otak. Penyebabnya biasanya robekan permukaan vena atau
sinus.
Pasien dengan hematoma subdural akut menunjukkan gejala dalam 24 jam sampai 48 jam
setelah cedera. Meninfestasi ini dari perluasan massa lesi dan peningkatan TIK (PTIK) dengan
cepat dan memerlukan interfensi darurat. Hematoma subdural kronis terjadi dari 2 minggu
sampai 3-4 bulan setelah cedera awal. Gejala umum meliputi sakit kepala, letargi, kacau mental,
kejang, dan kadang-kadang disfasia. Bila intervensi bedah diperlukan pada kasus perluasan
hematoma dan memperburuknya gejala, kraniotomi biasanya diperlukan dan drain dapat
dipasang setelah bedah kepala.
CT scan Penyebaran hematoma subdural (panah tunggal), pergeseran garis tengah (panah
ganda).
g. Fraktur Tengkorak
Susunan lapisan tengkorak sampai kulit kepala membantu menghilangkan energy benturan
kepala sehingga sedikit kekuatan ditransmisikan ke permukaan otak. Sekalipun demikian fraktur
tengkorak kerupakan masalah yang umum terjadi pada pasien dengan cedera kepala berat
meskipun kejadiannya berfariasi dari 12% sampai 80%, tergantung pada laporan penelitian.
h. Gegar Serebral
Gegar adalah sindrom yang mengakibatkan bentuk ringan dari cedera otak menyebar. Ini
adalah disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih dengan atau tanpa kehilangan kesadaran.
Jika ada penurunan kesadaran mungkin hanya beberapa detik atau beberapa menit. Sesudah itu
mungkin pasien mengalamidisorentasi dan bingung hanya dalam waktu yang relative singkat.
Gejala lain meliputi : sakit kepala, tidak mampu untuk berkonsentrasi, ganguan memori
sementara, pusing dan peka. Beberapa penderita mengalami amnesia retrograde. Kebanyakan
pasien sembuh sempurna dan cepat, tetapi beberapa penderita lain berkembang ke arah sindrom
pascagegear dan dapat mengalami gejala lanjut selama beberapa bulan.
i. Konkusio
Konkusio adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap, setelah terajdinya
cedera pada otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik yang nyata. Konkusio menyebabkan
kelainan fungsi otak tetapi tidak menyebabkan kerusakan struktural yang nyata. Konkusio bisa
menyebabkan kebingungan, sakit kepala dan rasa mengantuk yang abnormal; sebagian besar
penderita mengalami penyembuhan total dalam beberapa jam atau hari.
B. Kerusakan Sekunder
Kerusakan otak yang timbul sebagai komplikasi dari kerusakan primer termasuk
kerusakan oleh hipoksia, iskemia, pembengkakan otak, TTIK (Tekanan Tinggi Intrakranial),
Hidrosephalus, dan infeksi.
Berdasarkan mekanismenya, kerusakan ini dapat dikelompokkan atas 2, yaitu :
1. Kerusakan Hipoksi-iskemik menyeluruh
a. Sudah berlangsung saat antara terjadinya trauma dan awal pengobatan
b. Martin dkk membaginya atas 3 fase yaitu :
Fase 1 : Hipoperfusi, terjadi pada hari 0, dapat turun hingga < 18ml/100g/min pada 2-6 jam
sesudah cedera.
Fase 2 : Hiperemia, terjadi pada hari 1-3.
Fase 3 : Vasospasme, terjadi di antara hari 4-15.
c. Kerusakan ini timbul karena :
Hipoksia : penurunan jumlah O2 dalam alveoli
Iskemia : berhentinya aliran darah
Hipotensi arterial sistemik
2. Edema serebri terjadi karena peningkatan kandungan air dalam jaringan otak atau peningkatan
volume darah( intravaskuler), Kekurangan O2 menyebabkan berlangsungnya metabolism anaerob
yang menimbulkan terjadinya gangguan pembentukan energi dan mengakibatkan terjadinya
gangguan pada fungsi sel: dimana 1 mol glukosa aerob ® 38 ATP sedangkan 1 mol glukosa
anaerob ® asam laktat + 2 ATP Berkurangnya jumlah ATP disertai pembentukan asam laktat
akan mengakibatkan bertambahnya edema otak. Secara prinsip terapi dari edema serebri adalah
menghilangkan air yang ada dalam sel (intraseluler) ataupun air diluar sel (ekstraseluler) dengan
cara pemberian cairan hiperosmotik (manitol) dengan dosis 0,5 g – 1 g/Kg BB/kali diberikan
secara bolus dalam waktu 15 – 20 menit., disamping sebagai cairan hiperosmolar maka manitol
dengan dosis rendah berfungsi sebagai penangkap bahan radikal bebas dan dapat meningkatkan
mikrosirkulasi dari sel-sel darah merah (rheologi), pemberian manitol selama 4 hari kemudian
dilakukan tapering agar tidak terjadi "rebound phenomena". Pemberian Kortikosteroid, obat ini
dapat memperbaiki sawar darah otak sehingga secara tidak langsung memperbaiki edema serebri,
dan pemberian Diueretik seperti furosemide.
3. Peningkatan Tekanan intra kranial
Pada umumnya definisi tekanan intra kranial merupakan jumlah tekanan dari jaringan
otak (80%), cairan serebrospinal (10%), pembuluh darah (10%). Penyebabnya PTIK sendiri
adalah Infeksi SSP , perdarahan intrakranial, tumor otak, hidrosefalus. Disamping itu PTIK juga
memiliki komplikasi antara lain herniasi otak sehingga menyebabkan kerusakan syaraf
otak ,kematian
PENYEBAB CEDERA OTAK
1. Pukulan/tekanan berlebih pada kepala.
2. Jatuh.
3. Kecelakaan (olah raga, industri, lalu lintas).
4. Tertimpa benda keras.
5. Perilaku kekerasan.
TANDA DAN GEJALA PASIEN DENGAN CEDERA OTAK
1. Penurunan kesadaran, koma
2. Peningkatan tekanan intrakranial yang ditandai dengan
a. Turunnya denyut nadi
b. Peningkatan tekanan darah
c. Kedalaman pernafasan berkurang/terlambat
d. Penurunan skor GCS
e. Muntah proyektil
f. Dilatasi pupil, hilangnya reflek pupil/pupil asimetris
g. Nyeri kepala
3. Fraktur kranium
a. Hematoma periorbita (mata panda)
b. Memar di sekitar area mastoideus (battle sign)
c. Keluarnya cairan serebrospinal dari hidung, telinga, dan laserasi di sekitar fraktur
d. Pembengkakan kulit kepala yang terlihat menonjol
e. Perdarahan subkonjungtiva tanpa batas posterior
4. Disfungsi sensori
5. Kejang otot
6. Vertigo
7. Gangguan pergerakan
8. Kejang
9. Syok hipovolemik
(Brito, 1996)
PATOFISIOLOGI CEDERA OTAK
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi.
Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak
tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar
akan menyebabkan gangguan fungsi. Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha
memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan
dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi
penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis
metabolik.
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya dampak
yang akan diberikan pada otak. Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin
karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi.
Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral
dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume
darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua
menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK).
Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia,
dan hipotensi. Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal” dan
“menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan hasil yang
lebih khusus.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml / menit / 100 gr.
jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output. Trauma kepala meyebabkan perubahan
fungsi jantung sekuncup aktivitas atypicalmyocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem
paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan
disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia. Akibat adanya perdarahan otak akan
mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh
darah arteriol akan berkontraksi . Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh
darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.
KOMPLIKASI CEDERA OTAK
1. Epilepsi pasca trauma
Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang terjadi beberapa waktu setelah otak
mengalami cedera karena benturan di kepala.
kejang merupakan respon terhadap muatan listrik abnormal di dalam otak.
kejang terjadi pada sekitar 10% penderita yang mengalami cedera kepala hebat tanpa adanya
luka tembus di kepala dan pada sekitar 40% penderita yang memiliki luka tembus di kepala.
kejang bisa saja baru terjadi beberapa tahun kemudian setelah terjadinya cedera.
2. Afasia
Penderita tidak mampu memahami atau mengekspresikan kata-kata.
3. Apraksia
ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang memerlukan ingatan atau serangkaian gerakan.
Kelainan ini jarang terjadi dan biasanya disebabkan oleh kerusakan pada lobus parietalis.
4. Agnosia
Agnosia merupakan suatu kelainan dimana penderita dapat melihat dan merasakan sebuah
benda tetapi tidak dapat menghubungkannya dengan peran atau fungsi normal dari benda
tersebut. Penyebabnya adalah kelainan fungsi pada lobus parietalis dan temporalis, dimana
ingatan akan benda-benda penting dan fungsinya disimpan.
5. Amnesia
Amnesia adalah hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan untuk mengingat peristiwa yang
baru saja terjadi atau peristiwa yang sudah lama berlalu. Amnesia hanya berlangsung selama
beberapa menit sampai beberapa jam (tergantung kepada beratnya cedera) dan akan menghilang
dengan sendirinya. pada cedera otak yang hebat, amnesia bisa bersifat menetap.
6. Edema serebri dan herniasi
Herniasi otak adalah kondisi medis yang sangat berbahaya di mana jaringan otak menjadi
berpindah dalam beberapa cara karena peningkatan tekanan intrakranial (tekanan di dalam
tengkorak). Herniasi Otak merupakan pergeseran dari otak normal melalui atau antar wilayah ke
tempat lain karena efek massa.Biasanya ini komplikasi dari efek massa baik dari tumor, trauma,
atau infeksi.
7. Defisit neurologi
8. Infeksi sistemik (pneumonia, ISK, abses otak, meningitis, osteomeilitis).
9. Osifikasi heterotropik (nyeri tulang pada sendi yang menunjang berat badan).
10. Edema pulmonal
Edema paru dapat diakibatkan dari cedera pada otak yang mengakibatkan cedera pada otak yang
mengakibatkan reflex cushing.peningkatan pada tekanan darah sistemik terjadi pada responsdari
system saraf simpatis pada peningkatan TIK. Peningkatan vasokontriksi tubuh umum ini
menyebabkan lebih banyak aliran darah ke paru- paru. Perubahan permeabilitas pembuluh darah
paru berperan pada proses dengan memungkinkan cairan berpindah ke dalam alveolis.
11. Kejang
Kejang terjadi kira- kira 10% dari pasien cedera kepala selama fase akut. Perawat harus
membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan spatel lidah dengan diberi bantalan
atau jalan nafas oral disamping tempat tidur dan peralatan penghisap dekat dalam jangkauan.
Pagar tempat tidur harus tetap dipasang, dari bantalan pada pagar engan bantal atau busa untuk
meminimalkan resiko sekunder terhadap cedera karena kejang. Selama kejang, perawat jangan
pernah mencoba memaksakan apapun diantara gigi atau membuka rahang. Pasien harus
dimiringkan untuk memudahkan mengalirnya sekresi atau mudah dihisap. Gerakan pasien harus
di restrain hanya cukup untuk mencegah memukul obyek, yang menyebabkan memer atau
cedera.Satu-satunya tindakan medis terhadap kejang adalah obat. Diazepam adalah obat yang
paling banyak digunakan dan diberikan secara perlahan melalui intra vena karena obat ini
menekan pernapasan maka frekuensi dan irama pernapasan pasien harus di pantau dengan
cermat.
PEMERIKSAAN PENUNJANG PADA PASIEN CEDERA OTAK
1. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasi luasnya lesi traumatic ( edema fokal &
difus, kontusio, hematoma intraserebral, hematoma intraventrikuler, hematoma ekstraserebral,
perdarahan subarachnoid,fraktur). Indikasi dilakukan CT scan adalah : CT scan dilakukan pada
semua cedera otak berat, penurunan GCS lebih dari 1, lateralisasi (pupil anisokor, hemiparesis),
luka tusuk/tembak, GCS di bawah 15 dan tidak membaik selama terapi konservatif, kejang, nyeri
kepala/muntah, bradikardi.(Samsuhidayat, 1997)
2. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif. Pemeriksaan ini
jarang digunakan untuk cedera otak karena kurang praktis dan memiliki keterbatasan dalam
deteksi perdarahan pada jam-jam pertama.(ATLS, 1997)
3. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti: perubahan jaringan otak
sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
4. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
CT scan menunjukkan epidural hematoma (A), subdural hematoma(B)
5. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
6. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
7. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8. CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
9. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi
peningkatan tekanan intrakranial
10. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan
tekanan intrkranial
11. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan
kesadaran
PENATALAKSANAAN PADA PASIEN CEDERA OTAK
Penanganan cedera otak sesuai dengan ATLS (Advanced trauma life support) yang meliputi,
anamnesa sampai pemeriksaan fisik secara seksama:
Primary survey
1. Menilai “airway” jalan napas, buka jalan nafas (head tilt, chin lift, jaw trust) untuk
membebaskan jalan nafas demi menjamin petukaran udara adekuat, bersihkan jalan napas dari
debris dan muntahan, lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan badan
dengan memasang kolar servikal, pasang guedel bila dapat ditolerir. Jika cedera orofasial
mengganggu jalan napsa, maka pasien harus diintubasi.
2. Menilai “breathing” pernapasan, look-listen-feel, tentukan apakah pasien bernapas spontan atau
tidak. Jika tidak, beri oksigen melalui masker oksigen.
3. Menilai “circulation” sirkulasi, otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua
perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan secara khusus adanya cedera intraabdomen
atau dada. Hentikan perdarahan dari luka terbuka. Pasang alat pemantau dan EKG bila tersedia.
Pasang jalur intravena yang besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan darah perifer lengkap,
ureum, elektrolit, glukosa dan analisis gas darah arteri. Berikan larutan koloid. Sedangkan
larutan kristaloid (dekstrosa atau dekstrosa dalam salin) menimbulkan eksaserbasi edem aotak
pasca cedera kepala. Keadaan hipotensi, hipoksia, dan hiperkapnia memperburuk cedera kepala.
4. Disability : monitoring GCS.
5. Environtment : berikan posisi in line position (cedera cervical).
6. Obati kejang, kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati. Mula-mula
berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali bila masih
kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kgBB diberikan intravena perlahan-
lahan dnegan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.
7. Menilai tingkat keparahan
Secondary Survey
a. Penilaian ulang jalan nafas dan ventilasi: umumnya, pasien dnegan stupor atau koma (tidak
dapat mengikuti perintah karena derajat kesadaran menurun) harus diintubasi untuk proteksi
jalan nafas
b. Monitor tekanan darah: jika pasien memperlihatkan tanda ketidakstabilan hemodinamik
(hipotensi atau hipertensi Karena auroregulasi sering terganggu pada cedera kepala akut, maka
tekanan arteri rata-rata harus dipertahankan untuk menghindari hipotensi (<70 mmHg) dan
hipertensi (>130mmHg). Hipotensi dapat menyebabkan iskemia otak sedangkan hipertensi dapat
mengeksaserbasi serebri.
c. Pemasangan alat monitor tekanan intrakranial pada pasien dengan skor GCS < 8,
d. Penatalaksanaan cairan: hanya larutan isotonis (salin normal atau laruran ringer laktat) yang
diberikan kepada pasien dengan cedera kepala karena air bebas tambahan dalam salin 0,45% atau
dekstrosa 5% dalam air (D5W) dapat menimbulkan eksaserbasi edema serebri.
e. Nutrisi : cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan katabolik, dnegan
keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal. Pemberian makanan enteral melalui pipa
nasogastrik atau nasoduodenal harus diberikan sesegera mungkin(biasanya hari ke-2 perawatan).
f. Temperatur badan: demam (temp > 101°F) mengeksaserbasi cedera otak dan harus diobati
secara agresif dengan asetaminofen atau kompres dingin. Pengobatan penyebab (antiboitik)
diberikan bila perlu.
g. Antikejang : fenitoin 15-20 mg/kg BB bolus intravena, kemudian 300mg/hari intravena
mengurangi frekuensi kejang pasca trauma dini (minggu pertama) dari 14% menjadi 4% pada
pasien dengan perdarahan intrakranial traumatik. Pemberian fenitoin tidak mencegah timbulnya
epilepsi pasca traumadi kemudian hari. Jika pasien tidak menderita kejang, fenitoin harus
dihentikan setelah 7-10 hari. Kadar fenitoin harus dipantau ketat karena kadar subterapi sering
disebabkan hipermetabolisme fenitoin.
h. Steroid : steroid tidak terbukti mengubah hasil pengobatan pasien cedera kepala dan dapat
meningkatkan resiko infeksi, hipergilkemia dan komplikasi lain. Untuk itu, steroid hanya dipakai
sebagai pengobatan terakhir pada herniasi serebri akut (deksametason 10 mg intravena setiap 4-6
jam selama 48-72 jam).
i. Profilaksis trombosis vena dalam: sepatu bot kompresif pneumatik dipakai pada pasien yang
tidak bergerak untuk mencegah terjadinya trombosis vena dalam pada ekstremitas bawah dan
resiko yang berkaitan dengan tromboemboli paru. Heparin 5000 unit subkutan setiap 12 jam
dapat diberikan 72 jam setelah cedera pada pasien dengan imobilisasi lama, bahkan dnegan
adanya perdarahan intrakranial.
j. Profilaksis ulkus peptik: pasien dengan ventilasi mekanis atau koagulopati memiliki resiko
ulserasi stres gastrik yang meningkat dan harus mendapat ranitidin 50mg intravena setiap 8jam
atau sukralfat 1g peroral setiap 6 jam atau H2 antagonis lain atau inhibitor proton.
k. Antibiotik: penggunaan antibiotik rutin untuk profilaksis pada pasien dnegan cedera kepala
terbuka masih kontroversial. Golongan pinisilin dapat mengurangi resiko meningitis pneumokok
pada pasien dengan otorea, rinorea cairan serebrospinal atau udara intrakranial tetapi dapat
meningkatkan resiko infeksi dnegan organisme ayang lebih virulen.
l. CT Scan lanjutan: umumnya, skan otak lanjutan harus dilakukan 24 jam setelah cedera awal
pada pasien dnegan perdarahan intrakranial untuk menilai perdarahan yang progresif atau yang
timbul belakangan. Namun, biaya menjadi kendala penghambat.
Kriteria KRS pada C edera Otak Ringan :
a. Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya berjalan) dalam batas
normal
b. Foto servikal jelas normal
c. Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati pasien 24 jam pertama, dengan
instruksi untuk segera kembali ke bagian gawat darurat jika timbul gejala perburukan
Kriteria perawatan di rumah sakit :
a. Adanya darah intrakranial atau fraktur yang tampak pada CT Scan
b. Konfusi, agitasi atau kesadaran menurun
c. Adanya tanda atau gejala neurologis fokal
d. Intoksikasi obat atau alkohol
e. Adanya penyakit medis komorbid yang nyata
f. Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien dirumah
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN CEDERA OTAK
A. Pengkajian
Focus pengkajian meliputi :
1. Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab): nama, umur, jenis kelamin, agama, suku
bangsa, status perkawinan, alamat, golongan darah, pengahasilan, hubungan klien dengan
penanggung jawab.
1. Riwayat kesehatan :
Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea / takipnea, sakit kepala, wajah
simetris / tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi sekret pada saluran napas, adanya
liquor dari hidung dan telinga dan kejang
Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang berhubungan dengan sistem
persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya. demikian pula riwayat penyakit keluarga
terutama yang mempunyai penyakit menular.
Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga sebagai data subyektif.
Data-data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi prognosa klien.
2. Pemeriksaan fisik
BREATHING
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas.
BLOOD:
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
BRAIN
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :
Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah,
pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang
pandang, foto fobia.
Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus menyebabkan kompresi
spasmodik diafragma.
Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu sisi, disfagia,
disatria, sehingga kesulitan menelan .
BLADER
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi. BOWEL
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi. BONE
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.
3. Pemeriksaan Diagnostik: CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran
ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak
akibat edema, perdarahan, trauma.
X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan /
edema), fragmen tulang.
Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika terjadi
peningkatan tekanan intrakranial.
Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan
intrakranial.
Prioritas perawatan:
1. memaksimalkan perfusi/fungsi otak
2. mencegah komplikasi
3. pengaturan fungsi secara optimal/mengembalikan ke fungsi normal.
4. mendukung proses pemulihan koping klien/keluarga
5. pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana pengobatan, dan rehabilitasi.
1. Keluhan Utama : Adanya perdarahan, pasien tidak sadarkan diri, dan GCS < 15
2. Riwayat penyakit : Tingkat kesadaran atau GCS < 15, konvulsi, muntah, takipnea,sakit kepala,
wajah simetris atau tidak, lemah, luka di kepala,akumulasi sekret pada saluran pernafasan, dan
kejang.
3. Lakukan Pemeriksaan Fisik secara umum :
a. Tingkat kesadaran : AVPU, GCS
b. Koordinasi gerakkan : Gerakan merupakan koordinasi aktifitas neuromuskuloskletal. Pergerakan
diatur oleh saraf cranial, oleh karena itu pengkajian disarankan pada fungsi saraf cranial, yaitu :
Gerakan mata dan lapangan pandang, menguji N. III, IV, VI
Bicara dan ingesti(menggigit dan menelan), menguji N V, VII, IX, X, XII
Mengatupkan graham, menguji N V
Mengangkat alis, menguji N VII
Mengucapkan “ah”, menguji reflek gag (IX, X
Menjulurkan lidah (XII)
Motorik bicara, artikulasi mee, bee(VII), ‘ia’(XII), ‘ka,ga’(IX,X), suara parau/suara hidung(X)
c. Kekuatan otot tingkat kekuatan otot, sbb :
- Skala 0, kekuatan 0% ; paralisis total
- Skala 1, kekuatan 10% ; terlihat hanya kontraksi otot, tanpa gerakan
- Skala 2, kekuatan 25% ; gerakan otot menentang gravitasi, tanpa mencapai ROM
- Skala 3, kekuatan 50% ; gerakan otot menentang gravitasi, mencapai ROM, tanpa tahanan
- Skala 4, kekuatan 75% ; gerakan otot menentang gravitasi, mencapai ROM, dengan tahanan
- Skala 5, kekuatan 100% ; gerakan otot menetang gravitasi, mencapai ROM, dengan tahanan
penuh
d. Reflek, diuji dengan memberikan stimulus (input sensori kemudian diamati responnya. Tidak
ada respon menandakan adanya gangguan pada serabut sensorik, reflek hiperaktif menandakan
adanya lesi pada neuron motorik atas.
Skala tingkatan reflek adalah :
0 : tidak ada reflek
1 : reflek lemah
2 : Normal
3 : meningkat tetapi tidak patologis
4 ; hiperaktif
GCSb. Refleks pupilTanda awal dari herniasi lobus temporalis adalah dilatasi ringan pupil dan refleks cahaya melambat. Tanda awal dari herniasi central chepalic adalah miosis bilateral.c. Gerak bola mata :- Oculocephalic (“doll’s eyes”)- Oculovestibular (Calorics)
4. Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan TIK.
2. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan b.d peningkatan TIK/edema otak
sekunder terhadap perdarahan.
3. Pola nafas tak efektif atau ketidakmampuan mempertahankan pola nafas spontan b.d
depresi pusat pernafasan pada medulla oblongata sekunder terhadap perdarahan
intracranial/infark.
4. Resiko cedera (Injuri) b.d perubahan fungsi cerebral sekunder terhadap cedera serebral.
5. Mual-muntah b.d deprsi pusat muntah pada medulla oblongata sekunder terhadap
perdarahan intracranial.
6. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kebutuhan metabolisme berlebihan,
ketidakmampuan menelan, kekacauan mental, agitasi, perubahan tingkat kesadaran, atau
depresi.
7. Nyeri akut b.d peningkatan TIK/edema serebri sekunder terhadap perdarahan intracranial.
8. Resiko terhadap kerusakan jaringan kulit b.d imobilisasi/paresa/paralisis sekunder
terhadap perdarahan/infark.
9. Kerusakan komunikasi verbal b.d kerusakan fungsi motorik otot bicara/iskemia lobus
temporal-frontal sekunder terhadap perdarahan/infark.
10. Perubahan eliminasi perkemihan yang b.d kehilangan kontrol volunter pada kandung
kemih, hipertontsitas, atau spasme kandung kemih.
11. Perubahan proses pikir b.d kerusakan neurologis.
5. Intervensi Keperawatan
Diagnosa keperawatanKriteria hasil/tujuan
pasienIntervensi keperawatan
Perubahan perfusi jaringan
serebral berhubungan
dengan peningkatan TIK.
Gangguan perfusi jaringan
berhubungan dengan b.d
peningkatan TIK/edema
Mempertahanakan
tingkat kesadaran
biasa atau membaik
dan fungsi
motorik/sensorik
Mempertahankan
tingkat kesadaran
biasa/ perbaikan,
1. Pertahankan patensi jalan napas
2. Posisikan kepala Head up 15 – 30 derajat
3. Cegah pasien dari valsava manuver
4. Pantau tingkat kesadaran dan tanda- tanda vital
5. Pertahankan oksigenasi6. Cegah pasien mengalami
hiperthermia ato hipothermia7. Monitor BGA8. Pasang restrain utk
mencegah cedera
1. Tirah baring dgn elevasi kepala 15-300
2. Batasi rangsangan3. Atasi
hipertensi(dengan kompres air hangat)
4. Jaga keseimbangan masukan dan luaran cairan pada normal rendah(1500-2000)
5. Motivasi untuk
otak sekunder terhadap
perdarahan.
kognisi, dan fungsi
motorik/sensori.
menahan batuk/muntah/mengejan
6. Petahankan dower catheter
7. Pantau tanda vital, peningkatan TIK (gelisah, mual muntah)
8. Kaji reflek cahaya dan besar pupil
9. Kaji GCS10. Lakukan tindakan
kolaboratif(beri O2, pantau AGD, cegah kejang, dll)
Pola nafas tak efektif atau
ketidakmampuan
mempertahankan pola
nafas spontan b.d depresi
pusat pernafasan pada
medulla oblongata
sekunder terhadap
perdarahan
intracranial/infark.
Mempertahankan
pola pernapasan
normal/efektif, GDA
dalam batas normal,
bebas sianosis.
1. Atur posisi dengan elevasi kepala 15-300
2. Jaga kebersihan jalan nafas3. Miringkan kepala pasien saat
muntah4. Kaji pola nafas5. Kolaborasi ; pantau AGD
(Analisa Gas Darah)
Resiko cedera (Injuri) b.d
perubahan fungsi cerebral
sekunder terhadap cedera
serebral.
Pasien tidak akan
menderita cedera
selama kejang,
agitasi, atau postur
refleksi.
1. Pasang pengaman tempat tidur
2. Kolaborasi dengan keluarga untuk melakukan pengawasan pada pasien
3. K/P lakukan restrain4. Kurangi Rangsangan pada
pasien5. Cegah gerakan
patologis/membahayakan6. Jaga kebersihan dan berikan
perawatan kulit7. Berikan perawatan mata
Mual-muntah b.d deprsi
pusat muntah pada
medulla oblongata
sekunder terhadap
perdarahan intracranial
Pasien tidak mual-
muntah.
1. Kurangi bau-bauan2. Batasi aktivitas3. Latih nafas dalam4. Rawat mulut setelah muntah5. Batasi masukan cairan saat
makan6. Makan makanan yang dingin7. Kurangi berbaring datar
Perubahan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh:
yang berhubungan dengan
kebutuhan metabolisme
berlebihan,
ketidakmampuan menelan,
kekacauan mental, agitasi,
Mempertahankan
berat badan adekuat.
1. Kaji status nutrisi pasien saat masuk rumah sakit.
2. Pertahankan masukkan nutrisi melalui selang makan atau NGT bila tak mampu untuk menelan.
3. Kaji kemampuan untuk menelan sebelum memberikan makan: kaji refleksi menelan dengan
perubahan tingkat
kesadaran, atau depresi.
mempalpasi tonjolan tiroid pada gerakan ke atas; observasi gerakan lidah dan bibir.
4. Posisi pasien duduk tegak untuk memungkinkan masukan oral.
5. Kaji reflek batuk sebelum memulai masukan oral.
6. Mulailah memberikan makan per oral dengan makanan padat jernih seperti gelatin atau agar-agar dan beritahu prosesnya.
7. Gunakan jumlah sedikit, misal 5 ml.
8. Setelah makan, periksa kembali rongga mulut makanan yang tertinggal.
9. Hentikan latihan menelen jika terjadi batuk atau aspirasi.
10. Pantau hasil sinar x dada terhadap pneumonia aspirasi, khususnya lobus kanan bawah.
Nyeri akut b.d
peningkatan TIK/edema
serebri sekunder terhadap
perdarahan intracranial.
Nyeri berkurang atau
hilang.
1. Turunkan ansietas2. Kolaborasi pemberian
analgetik
Resiko terhadap kerusakan
jaringan kulit b.d
imobilisasi/paresa/paralisis
sekunder terhadap
perdarahan/infark.
Kulit menjadi halus
kembali tanpa ada
kerusakan jaringan,
tidak terjadi
dekubitus.
1. Ubah posisi minimal tiap 2 jam
2. Jaga kebersihan kulit dan lingkungan
3. Lakukan masase pada daerah yang tertekan dengan minyak kelapa
Kerusakan komunikasi
verbal b.d kerusakan
fungsi motorik otot
bicara/iskemia lobus
Pasien dapat
berkomunikasi
kembali dengan baik.
1. Gunakan bahasa lisan/tulisan2. Anjurkan untuk menarik
nafas dalam sebelum bicara3. Latihan seperti meniup
lilin/bersiul
temporal-frontal sekunder
terhadap
perdarahan/infark.
Perubahan eliminasi
perkemihan yang
berhubungan dengan
kehilangan kontrol
volunter pada kandung
kemih, hipertontsitas, atau
spasme kandung kemih.
Mempertahankan
haluaran urine
adekuat, tanpa
retensi urine.
1. Kaji pengeluaran urine terhadap jumlah, kualitas, dan berat jenis.
2. Periksa residu kandung kemih stelah berkemih.
3. Jika setelah berkemih residu urine >200ml.
4. Catatlah masukan dan haluaran.
5. Jika kateter intermiten digunakan (4-8 jam) ,pertahanan teknik steril selama prosedur.
6. Penampungan urine eksternal mencegah infeksi saluran kemih.
7. Pasien kacau mental atau lupa mendapatkan keuntungan dari pemberian bedpan/ urinal yang sering.
8. Jika kateter suprapubik di gunakan,bersihkan sisi kateter setiap 8 jam dan pernafasan serta kantung drainase kosong setiap 4-8 jam dan pernafasan.
9. Kaji suhu tubuh, peningkatan SDP, dan turbiditas urine sebagai tanda infeksi.
Perubahan proses pikir b.d
kerusakan neurologis.
Pasien akan
berespons terhadap
rangasangan secara
tepat.
1. Kontrol rangsangan pada lingkungan pasien.
2. Kaji respons terhadap rangsangan yang terkontrol.
3. Hindari pemberian sebutan terhadap respons yang tidak sesuai (mis. Bermusuhan, apatis, marah, menerik diri).
4. Jika pasien letargik, tambahkan rangsangan pada lingkungan (radio, tape).
5. Jika pasien agitasi, kurangi rangsangan lingkungan.