Cdk 175 Kebidanan

download Cdk 175 Kebidanan

of 80

Transcript of Cdk 175 Kebidanan

PRAKTIS

Komponen Darah untuk TransfusiISSN: 0125-913 X I 175 / vol.37 no. 2 / Maret - April 2010

146

http.//www.kalbe.co.id/cdk

Efek Pemberian Cairan RL dibandingkan NaCl 0,9% terhadap Keseimbangan Asam-Basa (Stewart Approach) pada Sectio Caesaria

HASIL PENELITIAN

Endometriosis Suatu penyakit yang dewasa ini paling banyak menarik perhatian para ahli di dunia.

TINJAUAN PUSTAKA

Dr. Suryono Slamet Iman Santoso, SpOG, Hidup Jangan Terlalu Ngoyo

PROFIL

CDK Maret April DR.indd 81

2/23/2010 4:13:48 AM

CDK Maret April DR.indd 82

2/23/2010 4:13:58 AM

Petunjuk untuk Penulis

CDK

menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, bisa berupa tinjauan kepustakaan ataupun hasil penelitian di bidang-bidang tersebut, termasuk laporan kasus. Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh CDK; bila pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah medis sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah berisi 2000 - 3000 kata ditulis dengan program pengolah kata seperti MS Word, spasi ganda, font Eurostile atau Times New Roman 10 pt. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/ fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas- jelasnya dan telah dimasukkan dalam program MS Word. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirement for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh : 1. Basmajian JV, Kirby RL.Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore, London: William and Wilkins, 1984; Hal 174-9. 2. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanism of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974 ; 457-72. 3. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. CDK. 1990; 64: 7-10. Jika pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk. Naskah dikirim ke redaksi dalam bentuk softcopy / CD atau melalui e-mail ke alamat : Redaksi CDK Jl. Letjen Suprapto Kav. 4 Cempaka Putih, Jakarta 10510 E-mail: [email protected] Tlp: (021) 4208171. Fax: (021) 42873685

DAFTAR ISIEDITORIAL ENGLISH SUMMARY ARTIKEL Endometriosis Ali Baziad Deteksi Dini Kanker Serviks Melalui Uji Sitologi dan DNA HPV Sinta Sasika Novel, Ratu Safitri, Sukma Nuswantara Efektifitas dan Toksisitas Terapi Radiasi Eksternal pada Kanker Serviks Stadium IIb-III di RS Sanglah Denpasar, Uji Klinik Historical Control I Ketut Suwiyoga, IGN Dharma Putra Profil Operasi Seksio Saesaria di SMF Obstetri & Ginekologi RSUP Sanglah Denpasar, Bali Tahun 2001 dan 2006 Harry K Gondo, Kadek Sugiharta Efek Pemberian Cairan RL dibandingkan NaCl 0,9% terhadap Keseimbangan Asam-Basa (Stewart Approach) pada Sectio Caesaria M Mukhlis Rudi P GliSODin Meningkatkan Potensi Sel Punca Post Cesarean Placenta Increta Eddy Suparman BERITA TERKINI AAA: Aspirin Tidak Direkomendasikan Sebagai Pencegahan Primer Kejadian Kardiovaskular Angkak plus Modifikasi Gaya Hidup Sebagai Terapi Alternatif Pasien yang Intoleran terhadap Statin Apakah Semua Antihipertensi Golongan ARB Bermanfaat Melindungi Ginjal? FDA Menyetujui Colesevelam Sebagai Terapi Bagi Anak-Anak Hiperkolesterolemia Fibrosis Hati pada Pasien HIV Positif dengan Populasi Umum Memadukan Layanan TB, HIV dan Pengguna Narkoba Suntikan Menunda Mengobati Infeksi Menular Seksual Sering Dianggap Tidak Berisiko oleh Pasien Merkuri di Dalam Ikan Terkait dengan Tekanan Darah Tinggi Obat Baru Memberi Harapan dalam Melawan Hipertensi yang Sulit Diatasi Omega 3 dan Glukosamin Baik untuk Kesehatan Sendi Pasca Imunisasi Tidak Perlu Parasetamol Polusi Udara Penyebab Usus Buntu Respon Gen IL-28 Terhadap Pengobatan Berbasis Interferon untuk Hepatitis C Kronis Rosuvastatin Sebagai Terapi Bagi Pasien Pediatri dengan Hiperkolesterolemia Familial Testosterone Deficiency Syndrome pada Pria Manfaat Zinc pada Pnemonia Atorvastatin 80 mg Pada Pasien Pasca SKA Mengurangi Kejadian Iskemik dan Stroke Untuk Pasien STEMI Clopidogrel 600 mg Loading Dose Sebelum PCI Lebih Baik dibandingkan Dosis 300 mg. PRAKTIS PROFIL INFO PRODUK GERAI RPPIK 84 86

87

90

95

99

104 109 112

115

118 121 123 124 125 126 128 129 130 131 132 134 135 136 137 139 143 146 150 153 154 158

Mengingat saat ini CDK sudah dapat diakses lewat internet (online) maka (para) penulis hendaknya menyadari bahwa makalah yang diterbitkan juga akan dapat lebih mudah dimanfaatkan oleh lingkungan yang lebih luas. Korespondensi selanjutnya akan dilakukan melalui e-mail; oleh karena itu untuk keperluan tersebut tentukan contact person lengkap dengan alamat e-mailnya.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga tempat kerja si penulis.

CDK 175 / vol.37 no. 2 / Maret - April 2010

83

CDK Maret April DR.indd 83

2/23/2010 4:14:00 AM

EditorialKANKER serviks merupakan salah satu kanker ganas tersering di kalangan perempuan; selain kanker payudara. Dan masalah yang selalu mengemuka dalam penanganan kanker pada umumnya ialah deteksi dini; deteksi dini penting agar kasus bisa ditangani secepat mungkin dan dengan demikian memperbaiki prognosis. Artikel di edisi ini antara lain membahas beberapa aspek diagnostik dan terapi kanker serviks, dilengkapi dengan beberapa bahasan lain mengenai sectio caesarea salah satu tindakan obstetrik yang paling sering dengan indikasi yang beragam. Bahasan lain juga tidak kalah menarik untuk dibaca, semoga bisa memenuhi kebutuhan informasi sejawat akan perkembangan dunia kedokteran, antara lain dapat sejawat baca di rubrik berita terkini. Selamat membaca,

Redaksi

84

CDK 175 / vol.37 no. 2 / Maret - April 2010

CDK Maret April DR.indd 84

2/23/2010 4:14:06 AM

Redaksi KehormatanProf. Drg. Siti Wuryan A Prayitno, SKM, MScD, PhDBagian Periodontologi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta

Prof. Dr. Abdul Muthalib, SpPD KHOMDivisi Hematologi Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

ISSN: 0125-913 X http://www.kalbe.co.id/cdk Alamat Redaksi Gedung KALBE Jl. Letjen. Suprapto Kav. 4 Cempaka Putih, Jakarta 10510 Tlp: 021-420 3030, 425 5000 Fax: 021-425 0412 E-mail: [email protected] http://twitter.com/CDKMagazine Nomor Ijin 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976 Penerbit Kalbe Farma Pencetak Dian Rakyat

Prof. Dr. Djoko Widodo, SpPD-KPTIDepartemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Prof. DR. Dr. Charles Surjadi, MPHPusat Penelitian Kesehatan Unika Atma Jaya Jakarta

Prof. DR. Dr. H. Azis Rani, SpPD, KGEHDepartemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Prof. DR. Dr. Sidartawan Soegondo, SpPD, KEMD, FACEDepartemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

DR. Dr. Abidin Widjanarko, SpPD-KHOMFakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Kanker Dharmais, Jakarta

DR. Dr. med. Abraham Simatupang, MKesBagian Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia, Jakarta

Prof. Dr. Sarah S. Waraouw, SpA(K)Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Manado

Prof. DR. Dr. Rully M.A. Roesli, SpPD-KGHBagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung

Dr. Aucky Hinting, PhD, SpAndBagian Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya

DR. Dr. Yoga Yuniadi, SpJPDepartemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta

Prof. DR. Dra. Arini SetiawatiBagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Prof. Dr. Faisal Yunus, PhD, SpP(K)Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/SMF Paru RS Persahabatan, Jakarta

Prof. DR. Dr. Rianto Setiabudy, SpFK

Susunan

Redaksi

Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Dr. R.M. Nugroho Abikusno, MSc., DrPHFakultas Kedokteran Universitas Trisakti, Jakarta

Prof. DR. Dr. Wimpie Pangkahila, SpAnd, FAACSFakultas KedokteranUniversitas Udayana Denpasar, Bali

Ketua Pengarah Dr. Boenjamin Setiawan, PhD Pemimpin Umum Dr. Erik Tapan Ketua Penyunting Dr. Budi Riyanto W. Manajer Bisnis Nofa, S.Si, Apt. Dewan Redaksi Prof. Dr. Sjahbanar Soebianto Zahir, MSc. Dr. Michael Buyung Nugroho Dr. Karta Sadana Dr. Sujitno Fadli Drs. Sie Djohan, Apt. Ferry Sandra, Ph.D. Budhi H. Simon, Ph.D. Tata Usaha Dodi SumarnaCDK 175 / vol.37 no. 2 / Maret - April 2010

Prof. DR. Dr. Ignatius Riwanto, SpB(K)Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/RS Dr. Kariadi, Semarang

Dr. Tony Setiabudhi, SpKJ, PhDUniversitas Trisakti/ Pusat Kajian Nasional Masalah Lanjut Usia, Jakarta

Prof. DR. Samsuridjal Djauzi, SpPD, KAISub Dept. Alergi-Imunologi, Dept. Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Dr. Prijo Sidipratomo, SpRad(K)Departemen Radiologi FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Prof. DR. Dr. Johan S. Masjhur, SpPD-KEMD, SpKNDepartemen Kedokteran Nuklir Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/ RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung

Dr. Hendro Susilo, SpS(K)Dept. Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RS Dr. Soetomo, Surabaya

Prof. DR. Dr. Darwin Karyadi, SpGKInstitut Pertanian Bogor, Bogor, Jawa Barat

Dr. Ike Sri Redjeki, SpAn KIC, M.KesBagian Anestesiologi & Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung

85

CDK Maret April DR.indd 85

2/23/2010 4:14:12 AM

ENGLISH SUMMARYResult. Pre operative strong ion difference (SID) of RL (38,58 + 2,28) show alkalosis state, while SID of NaCl (37,42 + 1,18) show acidosis. Post operative mean of RL SID (37,79 + 1,18) is more stable than alkalosis NaCl SID (39,67 + 3,10). Conclusion. Administration of RL solution in caesarean section is more beneficial than sodium chloride (NaCl) 0,9% because of lacks of effect on SID acidbase balance shift. Key words. Crystalloid solution, Stewart Acid base balance, sectio caesaria, regional anesthesia. CDK 2010; 104-108

IMAGE BANK

Post Caesarean Placenta IncretaEddy SuparmanDept. of Obstetrics and Gynecology, Sam Ratulangi University/General Hospital, Manado, Indonesia

Cytologic and DNA HPV test for Cervical Cancer Early DetectionSinta Sasika Novel1, Ratu Safitri2, Sukma Nuswantara31

tection to prevent transmission, for example through cytology and DNA HPV test. CDK 2010; 90-94

Student in Biology, Faculty of Mathematics

and Natural Sciences, Padjadjaran University, Bandung, Indonesia, 2Lecturer, Dept. of Microbiology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Padjadjaran University, Bandung, Indonesia. 3Biotech Coordinator, Sandia Biotech Diagnosis Centre, Santosa Bandung International Hospital, Bandung, Indonesia.

Acid-base Balance in Caesarean Section (Stewart Approach)M Mukhlis Rudi PDept. of Anesthesiology & Reanimation, Faculty of Medicne, Jenderal Soedirman University, Prof. DR Margono Soekarjo Regional Hospital, Purwokerto, Central Java, Indonesia

Post partum bleeding is still a major cause of mortality and morbidity during delivery. The incidence is about 5 % in normal delivery, more commonly in primipara. It can occur after placental retention, sub-involution of placenta implantation site and in incision site, lysis of clot and thrombus. This case was primipara, 28 years old, 43-44 weeks of pregnancy, first stage of labor; intrauterine fetal, singleton, alive, cephalic presentation, macrosomia, with decreased of fetal heart sound. The patient had vaginal bleeding 5 days after operation. This case was managed with hysterectomy due to uncontrolled bleeding. Subtotal hysterectomy was chosen to minimize bleeding. The histopathology finding was placental increta. CDK 2010; 112-114

ABSTRACT Cervical cancer has been known to have E6 and E7 carcinogen proteins. Genes E6 and E7 are HPV vectors - the carcinogen protein carrier. This fact opens an opportunity for primary and secondary prevention. The primary prevention is through vaccination to prevent HPV infection, whereas secondary prevention is through various methods of early de-

Background. Administration of crystalloid solution in surgery, especially caesarean section can cause electrolyte imbalance and influence metabolic and healing process. Post operative electrolyte blood level examination is important. Method. A double blind randomized control trial method was done to compare Ringer Lactate or NaCl 0,9% solution for correcting acid base balance (Stewart method).

86

CDK 175 / vol.37 no. 2 / Maret - April 2010

CDK Maret April DR.indd 86

2/23/2010 4:14:14 AM

TINJAUAN PUSTAKA

EndometriosisAli BaziadDepartemen Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia

Endometriosis, suatu penyakit yang dewasa ini paling banyak menarik perhatian para ahli di dunia. Menarik karena penyakit ini dapat menyebabkan seorang perempuan susah mendapatkan keturunan, bahkan dapat menurunkan kualitas hidupnya. Nyeri haid yang disebabkan oleh endometriosis menyebabkan kaum perempuan sulit melakukan kegiatannya sehari-hari. Di Amerika Serikat, nyeri haid dialami oleh 30-50% perempuan usia reproduksi. Sekitar 15 % di antaranya terpaksa kehilangan kesempatan kerja, bahkan tidak dapat masuk sekolah berhari-hari. 25-30 % penyebab infertilitas primer adalah endometriosis. Nyeri haid menjelang atau saat haid merupakan gejala klinis paling utama yang ditemukan pada penderita endometriosis. Dahulu nyeri haid pada remaja dikatakan merupakan hal yang normal dan dianjurkan untuk segera kawin, karena begitu seorang perempuan hamil, maka keluhan nyeri haidnya akan hilang; memang akibat kadar hormon estrogen dan progesteron yang tinggi selama kehamilan, keluhan nyeri haid akan hilang. Namun pendapat tersebut menimbulkan perdebatan karena jika perempuan tersebut tidak hamil, maka penyakit tersebut akan terus berkembang ke stadium yang lebih lanjut, yang pada akhirnya akan sangat sulit mendapatkan anak. Endometriosis disebut juga penyakit misterius, banyak pasien dengan endometriosis, bahkan endometriosis stadium lanjut sekalipun, dapat mendapatkan keturunan, namun banyak juga pasien endometriosis ringan, sangat sulit mendapatkan keturunan; hingga kini penyebab pastinya belum diketahui. Dalam satu hal para ahli semua sepakat, bahwa pertumbuhan endometriosis dipicu oleh hormon steroid, terutama estrogen, sehingga pengobatan medikamentosa bertujuan untuk menekan produksi hormon estrogen, baik yang dihasilkan oleh ovarium maupun yang dihasilkan oleh jaringan lemak perempuan gemuk. Lemak perempuan gemuk dapat menghasilkan estrogen dalam jumlah besar. Endometriosis disebut juga sebagai penyakit kanker jinak, karena penyakit ini dapat menyebar sampai ke paru-paru, otak, diaphragma, usus, kandung kemih dan mata. Bila misalnya seorang perempuan mengeluh sesak nafas sampai batuk darah menjelang atau saat haid, atau sering pingsan, atau kolik usus dan kencing berdarah saat atau menjelang haid perlu dipikirkan adanya endometriosis di organ-organ tersebut. Baku emas diagnosis endometriosis adalah dengan laparoskopi. Alat USG tidak dapat digunakan untuk menCDK 175 / vol.37 no. 2 / Maret - April 2010

diagnosis endometriosis, namun dapat mendeteksi ada tidaknya kista endometriosis. Dengan alat laparoskopi dapat ditentukan stadium endometriosis, mulai yang minimal ringan (stadium 1-II), sedang ( stadium III) atau berat ( stadium IV). Dikatakan stadium berat, bila diketemukan kista endometriosis (kista coklat) uni atau bilateral disertai perlekatan berat. Pengobatan akan sangat tergantung, apakah saat masih remaja, sudah kawin dan ingin anak, sudah kawin belum ingin anak, atau pada usia perimenopause. Selain itu juga sangat tergantung dari stadium endometriosis itu sendiri. Pengobatan dapat secara medikamentosa atau secara pembedahan. Prinsip dasar pengobatan endometriosis adalah, memilih cara pengobatan yang paling efektif dan yang paling kecil angka rekurensinya, karena endometriosis akan terus ada. Oleh karena itu, setelah pengobatan, jangan pernah mengatakan bahwa penyakit tersebut sudah tidak ada lagi. Cukup dikatakan saat ini penyakit sudah tidak terlihat dan kemungkinan kambuh di masa depan tetap ada. Pengobatan medikamentosa yang angka kekambuhannya paling rendah adalah dengan pemberian Gn-RH agonis, maupun antagonis. Kedua jenis obat ini menekan produksi hormon estrogen di ovarium saja. Dewasa ini mulai banyak digunakan obat penghambat enzim aromatase (aromatase inhibitor). Obat jenis ini selain menghambat pembentukan estrogen di ovarium, juga menghambat pembentukan estrogen di jaringan lemak. Pengaruh lingkungan terhadap endometriosis Endometriosis banyak ditemukan pada perempuan di kotakota besar, yang tingkat polusinya tinggi. Para ahli menduga bahwa beberapa senyawa kimia seperti dioksin, DDT atau merkuri berpengaruh terhadap timbulnya endometriosis Diagnosis endometriosis dan penatalaksanaannya Perlu dilakukan anamnesis yang cermat. Yang paling khas adalah pasien mengeluh nyeri haid, yaitu menjelang haid dan puncaknya pada hari pertama dan ke dua siklus haid, kadang-kadang disertai perdarahan abnormal, mual dan muntah. Pada umumnya pasien sampai menggunakan obat penghilang rasa sakit. Pasien yang sudah menikah tidak jarang mengeluh nyeri saat sanggama. Pada pasangan suami istri yang sulit mendapatkan anak (infertilitas) perlu dipikirkan adanya endometriosis. Pada 50 % pasutri infertil ditemukan endometriosis dan pada 70-80% perempuan dengan infertilitas tidak terjelaskan, ditemukan endometriosis.

87

CDK Maret April DR.indd 87

2/23/2010 4:14:16 AM

TINJAUAN PUSTAKAPada pemeriksaan ginekologik, kadang-kadang teraba nodul-nodul di kavum Douglasi, yang disertai nyeri. Perlu dicari adanya massa di kedua aneksa (tumor ovarium). Tidak jarang ditemukan lesi coklat atau merah di vagina dan serviks. Nyeri siklik saat buang air besar perlu dipikirkan disebabkan endometriosis di usus. Pada nyeri siklik suprapubik dan saat berkemih, dan air seni bercampur darah, perlu dipikirkan kemungkinan endometriosis di vesika urinaria. Pada nyeri kepala hebat, yang kadang-kadang disertai pingsan, mungkin endometriosisnya ada di otak; nyeri dada, sesak dan kadang-kadang disertai batuk darah, kemungkinan sangat besar sekali endometriosisnya ada di paru-paru. Perlu ditekankan, bahwa semua rasa nyeri, bila munculnya menjelang, pada hari pertama dan ke dua puncak menstruasi, perlu dicurigai disebabkan endometriosis. Dengan USG atau CT Scan dapat terlihat adanya massa kistik di satu atau ke dua ovarium yang mengarah ke kista coklat, atau ditemukan bercak-bercak endometriosis dalam miometrium (adenomiosis). Pemeriksaan serologik terhadap marker endometriosis, seperti CA 125 masih mengecewakan, karena sensitivitasnya hanya 60 % dan spesifisitas 90 %. Pada kecurigaan endometriosis, laparoskopi merupakan pemeriksaan utama dan pasti. Dengan laparoskopi akan tampak semua jenis lesi endometriosis dan sekaligus dapat ditentukan stadiumnya. Berbagai jenis lesi endometriosis dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Berbagai jenis lesi endometriosisFOTO-FOTO: IMAGE BANK

1.a. Lesi Endometriosis bentuk tonjolan, warna keputihan/kuning

1.b. Lesi endometriosis yang hipervaskularisasi

1.c. Lesi endometriosis berbentuk papil

1.d. Lesi endometriosis yang dikelilingi oleh nodul fibrotik dan daerah seperti parut

88

CDK 175 / vol.37 no. 2 / Maret - April 2010

CDK Maret April DR.indd 88

2/23/2010 4:14:18 AM

CDK 175 / vol.37 no. 2 / Maret - April 2010

89

CDK Maret April DR.indd 89

2/23/2010 4:14:21 AM

TINJAUAN PUSTAKABila tidak tersedia peralatan laparoskopi, cara sederhana adalah uji fungsional dengan Gn-RH analog. Gn-RH analog diberikan satu kali saja pada saat haid dan setelah itu dinilai pada saat berikutnya apakah keluhan menghilang atau tidak. Andaikata keluhan menghilang, maka kemungkinan besar (70-80 %) pasien tersebut menderita endometriosis dan Gn-RH analog dilanjutkan untuk 5 bulan lagi. Selain itu, berdasarkan lokasi nyeri dapat diduga letak lesi endometriosis. Misalnya, rasa nyeri di perut bagian bawah, menunjukkan endometriosis berada di peritoneum. Nyeri saat sanggama, kemungkinan besar endometriosisnya berada di vagina atau kavum Douglasi, dan nyeri di seluruh perut merata seperti tertarik-tarik, atau melilit-lilit, kadang-kadang disertai mual, muntah dan sampai pingsan, menunjukkan endometriosisnya berada di rongga pelvis. Pengobatan endometriosis sangat tergantung, apakah pasien menginginkan anak atau tidak. Pada saat laparoskopi, lesi endometriosis yang terlihat perlu dikauter, dan bila ditemukan kista coklat > 4 cm, perlu dilakukan kistektomi. Untuk diketahui, meskipun telah dilakukan kauterisasi secara menyeluruh dan benar, lesi-lesi endometriosis tidak akan pernah 100% hilang. Pada perempuan yang belum menikah, terutama remaja, atau pada perempuan yang sudah menikah, namun tidak menginginkan anak, cukup pengobatan medikamentosa saja. Berbagai jenis obat dapat diberikan, seperti analgetika, progestogen, kontrasepsi oral kombinasi maupun yang mengandung progestogen saja. Sayangnya, obat-obat jenis ini kurang efektif menekan pertumbuhan endometriosis, bahkan kadang-kadang hanya menghilangkan nyeri. Gn-RH analog, baik jenis agonis maupun antagonis merupakan pengobatan yang paling efektif menekan produksi estrogen di ovarium, sehingga angka kekambuhannya paling rendah. Gn-RH analog diberikan selama 6 bulan saja. Karena penekanan terhadap produksi estrogen begitu kuat, dapat muncul keluhan-keluhan seperti yang dialami perempuan menopause, seperti rasa panas di wajah dan dada, berkeringat dan nyeri tulang dan otot. Oleh karena itu, selama pemberian Gn-RH analog harus ditambahkan estrogen + progestogen alamiah, yang dikenal dengan istilah addback therapy; Yang paling banyak digunakan adalah tibolon. Jangan memberikan pil kontrasepsi kombinasi sebagai addback therapy, karena estrogen di dalam pil kontrasepsi masih sanggup memicu endometrium yang mengakibatkan terjadi perdarahan bercak. Pada perempuan yang ingin anak, pengobatan sangat tergantung dari stadium endometriosis. Pada stadium minimalringan ( I-II) dapat langsung diberi obat pemicu ovulasi. Bila setelah 3 siklus tidak terjadi konsepsi, dilanjutkan dengan inseminasi intra uterus, dan bila dengan cara ini juga tidak terjadi konsepsi, maka berikan Gn-RH analog 3 bulan, setelah itu pasien dipersiapkan mengikuti program fertilisasi in vitro (!VF). Bila cara ini juga gagal, ada dua pilihan, yaitu pemberian medikamentosa, atau histerektomi totalis dan salfingoofarektomi bilateral (HT-SOB). Pemberian GnRH analog jangka panjang dapat menyebabkan osteoporosis, sehingga harus disertai addback therapy, kalsium, atau bifosfonat. Pengobatan stadium sedang (III) sama seperti stadium I-II. Yang paling sulit adalah pengobatan stadium berat (IV). Pada stadium ini biasanya ditemukan kista coklat uni/bilateral dan perlekatan sangat berat. Pasien langsung dimasukkan ke dalam program IVF, namun sebelumnya diberi Gn-RH analog 3 bulan. Bila cara ini gagal, maka pilihannya adalah HT-SOB atau, bila pasien menolak, diberi pengobatan medikamentosa saja. Kepada pasien-pasien yang menjalani HT-SOB, jangan lupa diberi terapi hormon dengan estrogen + progestogen (HRT) selama tidak ada kontraindikasi. Dewasa ini mulai dicoba pemberian obat penghambat enzim aromatase, namun penelitiannya masih sedikit. Di Indonesia, obat jenis ini dijual untuk indikasi kanker payudara. Otak dan tulang sangat membutuhkan enzim aromatase agar androgen dapat diubah menjadi estrogen. Bila kedua organ tersebut kekurangan estrogen, maka sangat mudah terjadi osteoporosis dan dementia.

DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Schweppe KW. Diagnostik der Endometriose. Der Frauenarzt 1995:36:325-33 Working document. Gn-RH agonist in management of endometriosis. Presented of the 4th International Symposium on GN-RH analogues in Cancer and Human Reproduction. Geneva, February 8-11, 1996 Shaw RW. GN-RH agonist /antagonist. Clinical applications. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol 1988;28: 109-21 Bulun SE, Zeitoun K, Takayama K, Noble L, Michael DM, Simpson E. Estrogen production in endometriosis and use of aromatase inhibitors to treat endometriosis. Endocr Related Cancer 1996;6: 293-301 ESHRE guideline for diagnosis and treatment of endometriosis. Human Reproduction 2005;20: 2698-2704 CNGOF Guidelines for the Management of Endometriosis. 2006, http:// www.cngof.asso.fr/D. English translation M.Canis (2007) Baziad A. Endokrinologi Ginekologi, edisi ke dua. Media Aesculapius FKUI, 2003: 1-22

90

CDK 175 / vol.37 no. 2 / Maret - April 2010

CDK Maret April DR.indd 90

2/23/2010 4:14:22 AM

TINJAUAN PUSTAKA

Deteksi Dini Kanker Serviks Melalui Uji Sitologi dan DNA HPVSinta Sasika Novel1, Ratu Safitri2, Sukma Nuswantara31

Mahasiswa Biologi, Dosen Mikrobiologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran, Bandung, Indonesia3

2

Biotech Coordinator, Sandia Biotech Diagnosis Centre, Santosa Bandung International Hospital, Bandung, Indonesia

ABSTRAK

Kanker serviks adalah jenis kanker yang telah diketahui protein karsinogennya yaitu protein E6 dan E7. Gen E6 dan E7 merupakan vektor pembawa protein karsinogen dari HPV(1) ; oleh karena itu sesungguhnya kanker serviks dapat diatasi dengan pencegahan primer dan sekunder. Pencegahan primer yaitu mencegah infeksi HPV melalui vaksinasi(2), sedangkan pencegahan sekunder adalah melalui deteksi dini yang dapat dilakukan dengan berbagai metode, di antaranya uji sitologi dan uji DNA HPV(3).

PENDAHULUAN Kanker adalah suatu proses perubahan pada sel normal yang berproliferasi tanpa kendali akibat mutasi gen. Mutasi gen dapat disebabkan oleh berbagai agen, seperti agen bahan kimia, radiasi, dan virus. Virus penyebab kanker disebut v-onkogen. HPV adalah salah satu jenis virus yang dapat menyebabkan perubahan pada siklus sel normal. Infeksi HPV dapat menyebakan kutil dan kanker serviks. Di Indonesia kanker serviks telah menjadi masalah penting karena telah menempati urutan pertama penyebab kanker pada wanita, melebihi jumlah penderita kanker payudara. Banyaknya kasus memerlukan kewaspadaan melalui deteksi dini (4). KANKER SERVIKS Infeksi HPV ditandai oleh perubahan morfologi dan pembelahan sel yang tak terkendali akibat percepatan proliferasi dan terhambatnya diferensiasi sel. Sifat kelainan ada yang tetap jinak dan ditandai oleh batas yang tegas dengan jaringan normal(5). (1) (2)

Secara seluler, mekanisme terjadinya kanker serviks berkaitan dengan siklus sel yang diekspresikan oleh HPV. Protein utama yang terkait dengan karsinogen adalah E6 dan E7. Bentuk genom HPV sirkuler jika terintegrasi akan menjadi linear dan terpotong di antara gen E2 dan E1. Integrasi antara genom HPV dan DNA manusia menyebabkan gen E2 tidak berfungsi, jika E2 tidak berfungsi akan merangsang E6 dan E7 berikatan dengan gen p53 dan pRb(2). Ikatan antara E6 dan p53 akan menyebabkan p53 kehilangan fungsi sebagai gen tumor supresor yang bekerja di fase G1. Gen p53 akan menghentikan siklus sel di fase G1, agar sel dapat memperbaiki kerusakan sebelum berlanjut ke fase S. Mekanisme kerja p53 adalah dengan menghambat kompleks cdk-cyclin(6) yang akan merangsang sel memasuki fase selanjutnya sehingga ketika E6 berikatan dengan p53 akan menyebabkan sel terus bekerja, terus membelah dan menjadi abnormal(7). Jalur yang digunakan p53 melalui p21 yang akan melawan aktivitas kompleks cdk-cyclin, karena itu inaktivasi p21 mengakibatkan jalur regulasi p53 terganggu(8). Sedangkan E7 akan berikatan dengan pRb, yang seharusnya pBR berikatan dengan E2F. E2F adalah gen yang akan merangsang siklus sel melalui aktivasi proto-onkogen c-myc, N-myc(2). Ikatan pRB-E2F menghambat gen yang mengatur sel keluar dari fase G1. Jika E2F tidak terikat akan menyebabkan E2F menstimulasi proliferasi sel(8). Siklus sel yang tidak terkontrol menyebabkan proliferasi sel melebihi batas normal sehingga berubah menjadi sel karsinoma(9). Beberapa faktor risiko terkena kanker serviks antara lain aktivitas seksual (oral-genital, mekanik-genital, genital-genital) pada usia muda(10) sering berganti pasangan seksual; aktivitas seksual melalui anal(11), homoseksual, sering menderita infeksi di daerah kelamin; melahirkan banyak anak; kebiasaan merokok (risiko dua kali lebih besar); defisiensi

Gambar 1. (1) serviks yang telah terinfeksi HPV (2) serviks normalSumber : (1) http://embryology.med.unsw.edu.au/ (2) www.jinekolognet.com

CDK 175 / vol.37 no. 2 / Maret - April 2010

91

CDK Maret April DR.indd 91

2/24/2010 1:45:11 PM

TINJAUAN PUSTAKAvitamin A,C,E; penggunaan alat kontrasepsi oral(7); faktor nutrisi rendah; imunitas rendah; koinfeksi dengan HIV(10). TES SITOLOGI 1. Pap Smear Pap smear adalah suatu test yang aman dan murah dan telah dipakai bertahun-tahun lamanya untuk mendeteksi kelainan sel epitel serviks. Pap smear merupakan cara deteksi kanker serviks yang paling umum dikenal. WHO merekomendasiikan semua wanita yang telah menikah atau telah melakukan hubungan seksual untuk menjalani pemeriksaan Pap smear minimal setahun sekali sampai usia 70 tahun. Pap smear screening dapat mengidentifikasi potensi pra-kanker(12), pemeriksaan sitologi konvensional ini untuk mengetahui kondisi sel-sel serviks apakah masih normal atau sudah mengalami perubahan. Beberapa sel abnormal dapat menjadi pre-kanker dan dapat berubah menjadi sel-sel kanker. Perubahan sel-sel epitelium serviks yang terdeteksi dini akan memungkinkan tindakan pengobatan sebelum sel-sel tersebut dapat berkembang menjadi sel kanker(13). tapi dengan intensitas yang kurang dan cepat menghilang; ini yang membedakannya dengan proses pra-kanker di mana epitel putih lebih tajam dan lebih lama menghilang karena asam asetat berpenetrasi lebih dalam sehingga terjadi koagulasi protein yang lebih banyak(17).

(1)

(2)

Gambar 3. (1) Serviks sebelum uji IVA dan (2) setelah uji IVASumber : Novel, 2008

Gambar 2. Sel epitelium yang telah di uji pap smearSumber : http://upload.wikimedia.org/wikipedia

2. TES IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat) IVA merupakan pemeriksaan skrining alternatif dari Pap smear karena murah, praktis, sangat mudah untuk dilakukan dengan peralatan sederhana, dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan selain dokter ginekologi(9,14,15). Pemeriksaan ini dengan cara melihat serviks yang telah diberi asam asetat 3-5% secara inspekulo. Zat ini akan meningkatkan osmolaritas cairan ekstraseluler epitel abnormal. Cairan ekstraseluler hipertonik ini akan menarik cairan intraseluler sehingga membran akan kolaps dan jarak antar sel semakin dekat. Akibatnya jika permukaan epitel disinari maka sinar tersebut tidak akan diteruskan ke stroma namun akan dipantulkan dan permukaan epitel abnormal akan berwarna putih(16). Daerah metaplasia yang merupakan daerah peralihan juga akan berwarna putih setelah pengusapan asam asetat te-

Makin putih dan makin jelas, makin tinggi derajat kelainan histologiknya. Demikian pula makin makin tajam batasnya, makin tinggi derajat jaringannya; sehingga dengan pemberian asam asetat akan didapatkan hasil gambaran serviks yang normal (merah homogen) dan bercak putih (displasia). Dibutuhkan satu sampai dua menit untuk dapat melihat perubahan-perubahan pada epitel. Serviks yang diberi larutan asam asetat 5% akan merespon lebih cepat daripada larutan 3%(17). Efek akan hilang setelah sekitar 50-60 detik. Lesi yang tampak sebelum aplikasi larutan asam asetat bukan merupakan epitel putih namun dikatakan suatu leukoplasia. Dari beberapa penelitian didapatkan sensitivitas 65-96% dan spesifisitas 64-98%. Sedangkan penelitian efektivitas IVA oleh bidan di Jakarta mendapatkan sensifitas 90% dan spesifisitas 99,8% dengan nilai duga positif 83,3%(17). UJI DNA HPV 1. PCR dan elektroforesis PCR pertama kali dikembangkan oleh Kary Mullis pada tahun 1985(18). Pada tahun 1990 Ting dan Manos telah mengembangkan suatu metode deteksi HPV dengan PCR(16). Prinsip PCR dalam deteksi dini kanker serviks adalah pada keberadaan DNA HPV di dalam sel serviks; dengan isolasi DNA, amplifikasi DNA, dan deteksi menggunakan elektroforesis akan diketahui keberadaan DNA HPV pada sel uji. Amplifikasi sangat berkaitan dengan pelacak DNA, pelacak untuk HPV terbagi dua yaitu (1) pelacak generik adalah pelacak DNA yang didesain untuk banyak tipe tetapi tidak semua HPV dan (2) pelacak spesifik adalah pelacak yang didesain untuk mendeteksi hasil amplifikasi(19).CDK 175 / vol.37 no. 2 / Maret - April 2010

92

CDK Maret April DR.indd 92

2/24/2010 1:45:14 PM

TINJAUAN PUSTAKA2. Hybrid Capture II Teknik pemeriksaan dengan hibridisasi dikenal dengan istilah teknik Hybrid Capture II System (HC-II). Teknik ini yang merupakan teknologi terbaru di bidang biologi molekuler. HC-II pada intinya adalah melakukan hibridisasi yang dapat mendeteksi semua tipe HPV high risk pada seseorang yang diduga memiliki virus HPV dalam tubuhnya Teknik komputerisasi dilakukan untuk pemeriksaan di tingkat DNA dan RNA, apakah pasien tersebut sudah terinfeksi HPV(20). SIMPULAN Uji DNA HPV bukan pengganti uji sitologi untuk mendeteksi dini kanker serviks, tetapi mendampingi tes sitologi untuk keakuratan diagnosis.

(1)

(2)

(3)

(4)

Gambar 4. Hybrid Capture System IISumber : Novel dkk, 2008

Langkah-langkah dasar konsep HC-II : (1) mengeluarkan Asam Nukleat, spesimen steril digabungkan dengan solusi basa yang mengacaukan virus atau bakteri dan mengeluarkan DNA target. Tidak dibutuhkan perlakuan yang khusus terhadap persiapan sampel, (2) Hibridisasi RNA probe dengan DNA target, DNA target bergabung dengan RNA Probe spesifik menghasilkan RNA: DNA hybrids, (3) Capture Hybrids, RNA Multiple DNA hybrids ditangkap di fase solid dengan penangkapan secara keseluruhan antibodi yang spesifik untuk RNA:DNA hybrid, (4) Penandaan untuk Pendeteksian; Captured RNA : DNA hybrids dideteksi dengan antibodi yang bekonjugasi dengan alkalin fosfat. Hasilnya sinyal dapat dikuatkan sampai 3000 lipat, dan (5) Pendeteksian, Pembacaan dan Intrepetasi Hasil. Ikatan alkalin fosfatase dideteksi dengan substrat chemiluminescent dioxetane dengan menggunakan alkalin fosfatase, yaitu substrat yang memproduksi cahaya yang dapat diukur luminometer (4).CDK 175 / vol.37 no. 2 / Maret - April 2010

DAFTAR PUSTAKA 1. Thomas M, Narayan N, Pim D et al. Human Papillomaviruses, Cervical Cancer and Cell Polarity. Oncogene 2008; 27(55): 7018-7030. 2. Rasjidi I., Sulistiyanto H. Vaksin Human Papillomavirus dan Eradikasi Kanker Mulut Rahim. Jakarta: Sagung Seto; 2007. 3. Castle PE, Lorincz IM. Lohnas et al. Result of Human Papillomavirus DNA Testing Wwith The Hybrid Capture II Assay Are Reproducible. Clinical Microbiol. 2002; 40: 1088-1090. 4. Novel SS, Safitri R, Nuswantara S. Aplikasi Hybrid Capture II System dalam Deteksi Dini Kanker Serviks. CDK 2009; 36(1): 24-26. 5. Myers ER, McCrory DC, Nanda K, Bastian L, Matchar DB.. Mathematical Model for The Natural History of Human Papillomavirus Infection and Cervical Carcinogenesis. Am. J. Epidemiol. 2000; 151(12): 1158-1171. 6. Bheda A, Creek KE. Pirisi L Loss of p53 Induces Epidermal Gowth Factor Reseptor Promoter Activity in Normal Human Keratinocytes. Oncogene 2008; 27(31): 4315-4323. 7. Castellsagu X, Munoz N.. Cofactors in Human Papillomavirus Carcinogenesis-role of Parity, Oral Contraceptives and Tobacco Smoking. J. Nat. Cancer Institute Monograph 2003; 31: 20-28. 8. Holland TA, Elder J, McCloud JM et al. Subcellular Localisation of Cyclin D1 Protein in Colorectal Tumours is Associated with p21 Expression and Correlates with patient survival. Cancer 2001; 95: 302-306. 9. Goldie SJ, Kuhn L, Denny L, Pollack A, Wright TC. Policy Analysis of Cervical Cancer Screening Strategies in Low-resource: Clinical Benefits and Cost-effectivess. JAMA 2001; 285: 3107-3115. 10. Clifford GM, Rana RK, Franceschi S, et al. Human Papillomavirus Genotype Distribution in Low-Grade Cervical Lesions: Comparison By Geographic Region And With Cervical Cancer. Cancer Epidemiol Biomarkers 2005; 14(5): 1157-1164. 11. Zuna RE, Allen RA, Moore WE, Lu Y, Mattu R, Dunn ST. Distribution of HPV Genotypes in 282 Women with Carvical Lessions: Evidence for Three Categoris of Intraepithelial Lesions Based on Morphology And HPV Type. Modern Pathol 2006; 20: 167-174. 12. Walboomers JM, Jacobs MV, Manos MM et al. Human Papillomavirus is a Necessary Cause of Invasive Cervical Cancer Worldwide. Pathol. 1999; 189(1): 12-19.http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10735343 13. Schiffman MH, Brinton LA. The epidemiology of cervical carcinogenesis. Cancer 1995; 76: 1888-1901. 14. Singh V, Sehgal A, Luthra UK.. Screening for Cervical Cancer by Direct Inspection. BMJ 1992; 304: 534-536. 15. Sankaranarayanan R, Wesley R, Somananthan T, Dhakad N, Shyamalumary B,. Amma NS. Visual Inspection of the Uterine Cervix After the Application of Acetic Acid in the Detection of Cervical Carcinoma and its Precursors. Cancer 1998; 83: 2150-2155. 16. Novel SS, Safitri R, Nuswantara S. Aplikasi Hybrid Capture II System Dalam Deteksi Dini Kanker Serviks. Jatinangor: Biologi FMIPA-UNPAD; 2008. 17. Hanafi I. Efektifitas Pemeriksaan Inspeksi Visual dengan Asam Asetat oleh Bidan Sebagai Upaya Mendeteksi Lesi Pra-kanker Serviks. Tesis. Depok: Bagian Obstetri Ginekologi FKUI. 2002. 18. Nuswantara S. Pendekatan Molekuler Untuk Mendeteksi Penyakit Manusia. Bandung: Sanbe Farma, Biotech&Research Division; 2002. 19. Yuwono T. Teori dan Aplikasi Polymerase Chain Reaction. Yogyakarta: Penerbit Andi, 2006. 20. Lrincz AT, Reid R, Jenson AB, Greenburg MD, Lancaster W, Kurman RJ. Human Papillomavirus Infection of the Cervix: Relative Risk Associations of 15 Common Anogenital Types. Obstet Gynecol. 1992; 79:328-337.

93

CDK Maret April DR.indd 93

2/23/2010 4:14:28 AM

HASIL PENELITIAN

Efektifitas dan Toksisitas Terapi Radiasi Eksternal pada Kanker Serviks Stadium IIb-III di RS Sanglah Denpasar Uji Klinik Historical ControlI Ketut Suwiyoga, IGN Dharma PutraSub Divisi Gineko Onkologi Bagian Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar

ABSTRAK

Tujuan: Mengetahui perbedaan efektifitas dan toksisitas antara terapi gabungan internal dan eksternal dengan terapi radiasi eksternal. Bahan dan Cara: Studi eksperimental historical control di RS Sanglah Denpasar selama tahun 1999-2001. Populasi adalah kanker serviks; kelompok kasus adalah kanker serviks jenis epitelial stadium IIb-III yang diberi terapi radiasi eksternal saja. Kelompok kontrol adalah kanker serviks jenis epitelial stadium IIb-III selama tahun 1990-1992 yang telah diterapi radiasi kombinasi yaitu radiasi internal dengan Cesium dan radiasi eksternal dengan Radium. Penentuan kasus secara consecutive dan kontrol secara acak serta dilakukan matching variabel umur, paritas, jenis histopatologik. Besar sampel dihitung dengan rumus Pocock negatif dan data hasil penelitian diolah dengan SPSS 10 for Windows serta hasilnya disajikan dalam bentuk tabel dan narasi. Hasil: Sejumlah 60 sampel dibagi atas masing-masing 30 di kelompok kasus dan kontrol. Efektivitas di kelompok kasus adalah 46,6% dan di kelompok kontrol 83,33%. Efektivitas terapi di kelompok kontrol 11,7 kali (OR=11,7 95%CI 4,89-15,75) lebih besar dibandingkan dengan di kelompok kasus. Toksisitas yaitu mualmuntah, diare, gangguan miksi, dan gangguan defekasi tidak berbeda bermakna antar kelompok (semua nilai p>0,05). Simpulan dan Saran: Efektivitas radiasi gabungan lebih baik dibandingkan dengan terapi radiasi eksternal untuk kanker serviks jenis epitelial stadium IIb-III ; toksisitasnya tidak berbeda bermakna. Hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai asupan untuk pengelola rumahsakit akan kepentingan terapi radiasi after loading. Kata kunci: kanker serviks jenis epitelial stadium IIB-III, terapi radiasi, efektivitas, toksisitas.

PENDAHULUAN Kanker serviks merupakan masalah kesehatan karena insiden dan mortalitasnya menempati urutan pertama di Indonesia.1 Mortalitas yang tinggi terutama karena 90-95% diagnosis kanker serviks ditegakkan pada stadium invasif, lanjut bahkan stadium terminal, pasien sosial-ekonomi rendah, keadaan umum inferior, dan jenis morfologi histopatologik.1,2 Terapi operatif tidak dapat dilakukan dan khemoterapi terhambat karena alasan harga obat sitostatika. Dengan demikian, terapi radiasi merupakan pilihan utama sebelum pilihan terapi paliatif. Terapi radiasi yang bertujuan kuratif dibedakan atas dua jenis yaitu radiasi interna dan radiasi eksterna.3,4,5

Sejak tahun 1993, sarana terapi radiasi internal Cesium di RS Sanglah Denpasar telah ditarik oleh Badan Atom Nasional untuk diganti dengan radiasi afterloading. Sampai tahun 2002, modalitas pengganti tersebut belum beroperasi. Dengan demikian, pasien kanker serviks stadium IIb-III yang tidak mampu mendanai sitostatika disarankan menjalani terapi radiasi eksternal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas dan toksisitas terapi radiasi eksterna pada kanker serviks stadium IIb-III. Hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai masukan kepada pengelola RS Sanglah dalam upaya penanganan kanker serviks invasif.CDK 175 / vol.37 no. 2 / Maret - April 2010

94

CDK Maret April DR.indd 94

2/23/2010 4:14:32 AM

HASIL PENELITIANBAHAN DAN CARA KERJA Rancangan penelitian adalah uji klinik. Subjek penelitian adalah kanker serviks tipe epidermoid stadium IIb-III yang bersedia ikut penelitian dan memenuhi syarat untuk terapi radiasi. Kelompok kasus adalah sampel yang menjalani terapi radiasi eksternal, kemudian dievaluasi klinis dan dites Pap. Kelompok kontrol adalah kanker serviks tipe epidermoid yang mendapat terapi gabungan radiasi internal Cesium dan radiasi internal Radium yang dilakukan antara tahun 1990-1992 di RS Sanglah Denpasar (historical control). Efektivitas terapi dibedakan atas respon cukup dan respon jelek. Kasus ditentukan dengan consecitive sampling dengan matching faktor umur dan paritas. Besar sampel dihitung dengan rumus trial negatif Pocock: Efektivitas terapi radiasi Kelompok kontrol diambil dari data penelitian 1990-1992 (historical control). Efektivitas terapi radiasi pada kanker serviks jenis epitelial dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Efektivitas terapi radiasi pada kasus dan kontrolKelompok penelitian Kasus Kontrol N 30 30 Efektivitas terapi Cukup 11 (36,7%) 25 (83,3%) Jelek 19 (63,3%) 5 (16,7%) OR 11,7 CI 95% 4,89 15,75 p 0,001

n = 1/d2 {2P (1-P) x f ()}dengan asumsi respon pada terapi kombinasi p = 80%, terapi radiasi eksternal d = 30%, = 0,05, dan = 0,20 diperoleh besar sampel adalah 30. Data dicatat pada formulir penelitian kemudian diolah dengan SPSS 10 for Windows, uji X2, dan hasil analisis disajikan dalam bentuk tabel dan narasi. Definisi operasional variabel. 1. Kanker serviks tipe epidermoid adalah kanker tipe epidermoid pada serviks didiagnosis dengan pemeriksaan histopatologi di Bagian Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar. 2. Radiasi eksternal adalah terapi kanker serviks dengan memakai Radium 6000 cGy pada titik A,B, dan C pelvis. 3. Radiasi internal adalah terapi kanker serviks dengan tandon Cesium dosis 4000 cGy intrakaviter dan para servikalis. 4. Respon cukup jika perdarahan berhenti dan permukaan serviks licin. 5. Respon jelek jika perdarahan berlanjut dan permukaan serviks kasar. HASIL DAN PEMBAHASAN Sebanyak 30 kasus kanker serviks epidermoid stadium IIb-III selama tahun 1999-2001 dimasukkan sebagai kelompok kasus. Kontrol dipetik dari formulir penelitian kanker serviks jenis epidermoid stadium IIb-III selama tahun 1991-1992 pada 43 kasus kanker serviks yang diberi terapi radiasi kombinasi. Dilakukan analisis komparabilitas umur dan paritas (tabel 1). Rerata umur dan paritas antara kelompok kasus dengan kelompok kontrol tidak berbeda bermakna (p> 0,05). Tabel 1. Hasil uji K-S umur dan paritasKasus (n=30) Rerata Umur Paritas 49,10 4,03 SD 10,52 1,75 Kontrol (n=30) Rerata 48,97 4,13 SD 9,76 1,57

Efektivitas terapi pada kelompok kasus 11,7 kali lebih kecil daripada kelompok kontrol; berarti terapi radiasi kombinasi lebih efektif dibandingkan dengan terapi radiasi eksternal saja. Terapi radiasi pada kanker serviks stadium IIb-III merupakan pilihan kedua setelah kemoterapi.6,7 Terapi radiasi ini dipilih pada kanker serviks inoperable, biaya relatif murah, sebagai neoajuvan, dan paliatif.6,8 Kanker serviks stadium IIb-III termasuk inoperable dan sebagian besar kasus dengan sosial ekonomi rendah serta tidak mampu membiayai kemoterapi. Peneliti lain mendapatkan respon terapi radiasi gabungan sebesar 67,21-74,35% dengan harapan hidup lima tahun sebesar 30,5-32,0%.9,10 Five-year survival rate (5YSR) pada radioterapi gabungan adalah 73,0-79,3% untuk kanker serviks stadium II dan 53,0-55,0% untuk kanker serviks stadium III.11,12,13 Choy dan Wong mendapatkan bahwa 5YSR pada kanker serviks dengan radioterapi gabungan adalah 90,0% untuk stadium Ib, 82,1% untuk stadium IIa, 72,0% untuk stadium IIa, 51,5% untuk stadium IIIa, dan 50,0% untuk stadium IIIb.13 Herman dkk mendapatkan 5YSR untuk stadium I adalah 95,4%, untuk stadium II adalah 71,4%, dan untuk stadium III adalah 57,9%.12 Toksisitas terapi radiasi Toksisitas terapi radiasi dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Toksisitas terapi radiasi pada kelompok kasus dan kontrol.Kelompok penelitian Mual dan muntah Diare Gangguan miksi Gangguan defekasi Tidak ada Jumlah Efek samping Kasus 8 (26,7%) 5 (16,7%) 1 (3,3%) 5(16,7%) 11(36,7%) 30 (100,0%) Kontrol 10 (33,3%) 5 (16,7%) 6 (20,0%) 5 (16,7%) 4 (13,3%) 30 (100,0%) Total 18 (30,0%) 10 (16,7%) 7(11,7%) 10 (16,7%) 15 (25,0%) 60 (100,0%) p 0,247 0, 240 0,100 0, 240 0,120

t 0,51 0,223

p 0,96 0,82

Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa toksisitas/efek samping antara kasus dengan kontrol tidak berbeda bermakna (p>0,05) dalam hal mual-muntah, diare, gangguan miksi, dan gangguan defekasi. Patel et al (1994) mendapatkan gangguan miksi defekasi 4,56 kali lebih kecil pada radiasi internal di-

CDK 175 / vol.37 no. 2 / Maret - April 2010

95

CDK Maret April DR.indd 95

2/24/2010 1:46:33 PM

HASIL PENELITIANbandingkan dengan eksternal.14 Hammer et al (1993) dan Thesima et al (1993) melaporkan bahwa persentase komplikasi radiasi eksternal masing-masing 32,81-34,63% dan 37,23-39,75% dan pada radiasi internal adalah 12,12% dan 8,23%.15,16 Terapi radiasi interna relatif lebih aman; efek samping sebagian terbesar dihubungkan dengan terapi radiasi eksternal. Hasil penelitian ini juga menunjukkan hal yang tidak berbeda. SIMPULAN DAN SARAN Efektifitas terapi radiasi eksterna saja 11,7 (OR=11,7 CI95% 4,89-15,75) kali lebih kecil dibandingkan dengan terapi radiasi gabungan pada kanker serviks stadium IIb-III. Toksisitas radiasi gabungan dan toksisitas terapi radiasi eksternal saja pada kanker serviks stadium IIb-III tidak berbeda (p>0,05). Saran untuk pengelola RS Sanglah Denpasar agar dapat mendayagunakan terapi radiasi internal afterloading.3. Djakaria M, Radiotherapi dalam ginekologi. Dalam: Wiknjosastro H, Saifuddin AB, eds. Ilmu Kandungan, ed II. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo 1997: 693-6,. Jones HW. Cervical intra epithelial neoplasma, In: Jones REW, Wents AC, Burnett eds. Novaks Textbook of Gynecology, 12thed. Baltimore: Williams and Wilkins 2000:1111-40. Hatch KD, Fu YS. Cervical and vaginal cancer. In: Berek JS, Adashi EY, Hillard PA eds, Novak,s Textbook of Gynecology, 11th ed. Baltimore: Williams and Wilkins 1996: 1111-40. Khalil M, Principles of radiation therapy, In : Preveir MS, ed. Manual of Gynecologic Oncology and Gynecology, 1 st ed., Boston: Little Brown and Co 1989.hal.184-93, Bantuk H, Sutoto. Respon klinik serta histologi pada terapi penyinaran carsinoma servicis uteri, Semarang: bagian Obstetri dan Ginekologi FK UNDIP, 1990. Leopold GK. The effects of therapeutic procedures and drugs on the epithelia of the female genital tract, In: Leopold GK ed. Diagnostic Cytology, 4th ed.: JB Lippincott Co. 1999.hal. 663-75, Nana S, Tansil H. Pengobatan radiasi pada kanker leher rahim stadium lanjut, Jakarta: Bagian Radiologi FK UI/RSCM.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10. Luther WB. Carcinoma of the uterine cervix, In: Carlos AP, ed. Principles and practise of radiation oncology. Philadelpia, JB, Lippincott Company, 933-45, 1999. 11. Shindu, IB, Suwiyoga K, Evaluasi respon terapi radiasi pada kanker serviks di RSUP Denpasar, 1993. 12. Herman T, Christen N, Atlheit HD, Gynecologic brachytherapy from low dose rate to high tech, Strahlenther Oncol 169: 141-51,1993. 13. Choy D, Wong LC, Shan J, Ngan HY, Ma HK, Dose tumor response of carcinoma of cervix: an analysis of 594 patients treated by radiotherapy, Gynecol Oncol 49: 311-7, 1993.

DAFTAR PUSTAKA 1. Farid A, Kampono N, Sjamsuddin S, Djakaria M, Manual prekanker dan kanker serviks uterus. Jakarta: Bagian Obstetri dan Ginekologi FK UI/ RSCM 1989:1-24. Chion JF, Liu MT, Lai YL, Chang KH, High dose rate afterloading brachytherapy in carcinoma of the uterine cervix, J Formos Med Assoc 1993; 92: 16573.

14. Patel FD, Sharma SC, Negi PS, Ghoshal S, Gupta BD, Low dose rate vs high dose rate brachitherapy in the treatment of carcinoma of uterine cervix: a clinical trial. Int J Radiat Oncol Biol Phys 28: 335-41, 1994 15. Hammer J, Zoidi JP, Atendorfer C, Seewald DH, Combine external and high dose rate infracavitary radiotherapy in the primary treatment in cancer of the uterine cervix, Radiother. Oncol 27: 66-8, 1993. 16. Thesima T, Inoue T, Ikeda T. High dose rate and low dose rate intracavitary therapy for carcinoma of the uterine cervix. Concern 72: 2409-14, 1993.

2.

96

CDK 175 / vol.37 no. 2 / Maret - April 2010

CDK Maret April DR.indd 96

2/23/2010 4:14:33 AM

HASIL PENELITIAN

Profil Operasi Seksio Sesarea di SMF Obstetri & Ginekologi RSUP Sanglah Denpasar, Bali Tahun 2001 dan 2006Harry K Gondo, Kadek SugihartaDivisi Obstetri dan Ginekologi Sosial, SMF Obstetri & Ginekologi RSUP Sanglah Denpasar, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Bali

ABSTRAK

Seksio sesarea sering dikerjakan terutama di negara-negara maju, dengan alasan yang bervariasi. Alasan berbeda di antara institusi pendidikan dan populasi umum, namun secara nasional angka seksio sesarea makin meningkat. Beberapa faktor peningkatan itu adalah terlambat mendapat keturunan, jumlah anak yang diinginkan makin kecil, dan meningkatnya usia ibu saat hamil. Permintaan ibu juga berkontribusi untuk peningkatan angka seksio sesarea. Persalinan sesarea yang lebih aman menjadi alasan memilih persalinan sesarea berencana. Masalah yang masih dalam perdebatan termasuk menghindari trauma pelvis selama persalinan pervaginam, mengurangi risiko trauma janin, dan alasan kenyamanan.

PENDAHULUAN Seksio sesarea atau persalinan sesaria adalah prosedur pembedahan untuk melahirkan janin melalui sayatan perut dan dinding rahim. Seksio sesaria makin meningkat sebagai tindakan akhir dari berbagai kesulitan persalinan. Indikasi yang banyak dikemukakan adalah; persalinan lama sampai persalinan macet, ruptura uteri iminens, gawat janin, janin besar, dan perdarahan antepartum. Meskipun dalam 10 tahun terakhir ini banyak perhatian difokuskan pada upaya mengurangi angka kejadian seksio sesaria (SS), persalinan SS atas indikasi permintaan penderita (Cesarean Section on request, maternal request CS) tetap unik dan eksperimental. Indikasi SS tidak semata alasan medis. Mengacu pada WHO, Indonesia mempunyai kriteria angka SS standar antara 15 20% untuk RS rujukan. Angka itu dipakai juga untuk pertimbangan akreditisasi Rumah Sakit Sayang Ibu. Sejak tahun 1986 di Amerika satu dari empat persalinan diakhiri dengan seksio sesaria. Di Inggris angka kejadian seksio sesaria di Rumah Sakit Pendidikan relatif stabil yaitu antara 11-12 %, di Italia pada tahun 1980 sebesar 3,2% 14,5%, pada tahun 1987 meningkat menjadi 17,5%. Dari tahun 1965 sampai 1988, angka persalinan sesarea di Amerika Serikat meningkat progresif dari hanya 4,5% menjadi 25%. Sebagian besar peningkatan ini terjadi sekitar tahun 1970an dan tahun 1980-an di seluruh negara barat. Pada tahunCDK 175 / vol.37 no. 2 / Maret - April 2010

2002 mencapai 26,1%, angka tertinggi yang pernah tercatat di Amerika Serikat. 1,2,3,4 Di Indonesia angka persalinan dengan seksio sesaria di 12 Rumah Sakit Pendidikan berkisar antara 2,1%-11,8%. Di RS Sanglah Denpasar insiden seksio sesaria selama sepuluh tahun (1984-1994) 8,06% - 20,23%; rata-rata pertahun 13,6%, sedangkan tahun 1994-1996 angka kejadian seksio sesaria 17,99% dan angka kejadian persalinan bekas seksio 18,40%.1,6,7 TINJAUAN PUSTAKA Seksio sesaria atau persalinan sesaria didefinisikan sebagai melahirkan janin melalui insisi dinding abdomen (laparatomi) dan dinding uterus (histerotomi). Definisi ini tidak mencakup pengangkatan janin dari kavum abdomen dalam kasus ruptur uteri/kehamilan abdominal. Ada beberapa alasan yang menyebabkan peningkatan angka SS di negara maju antara lain:4,8,9,10 1. Jumlah anak lebih sedikit, sehingga sebagian besar kelahiran adalah nullipara, yang merupakan risiko tinggi. 2. Umur rata-rata ibu khususnya nullipara meningkat, merupakan risiko persalinan. 3. Pemantauan janin secara elektronik telah menyebar luas. Teknik ini dihubungkan dengan peningkatan angka persalinan sesarea dibandingkan dengan auskultasi denyut jantung janin secara intermiten. Walaupun hanya sebagian kecil persalinan sesarea atas indikasi gawat

97

CDK Maret April DR.indd 97

2/23/2010 4:14:35 AM

HASIL PENELITIANjanin, pada banyak kasus kekhawatiran frekuensi denyut janin abnormal mendorong dilakukannya persalinan sesarea. Sebagian besar janin dengan presentasi bokong sekarang dilahirkan dengan sesarea. Kejadian pelahiran forseps midpelvik dan vakum menurun Angka induksi persalinan terus meningkat, khususnya di antara nullipara, meningkatkan risiko persalinan. Prevalensi obesitas meningkat; obesitas juga meningkatkan risiko persalinan. Kekhawatiran tuntutan malpraktik telah secara bermakna berperan meningkatkan angka persalinan sesarea. Lebih dari satu dekade yang lalu, tidak dilakukannya persalinan sesarea sehingga terjadi kelainan neurologis atau cerebral palsy pada neonatus merupakan klaim yang dominan dalam tuntutan malpraktik obstetrik di Amerika Serikat. Beberapa persalinan sesarea berencana dilakukan pada rongga panggul sempit untuk menghindari trauma lahir pervaginam. Tabel 2 : Jumlah Ibu Partus Primigravida di SMF Obstetri dan Ginekologi RSUP Sanglah, Denpasar Bali, 2001 dan 2006.Paritas Primigravida Non Primigravida TOTAL 2001 Jumlah 244 7119 7363 % 18,23 81,77 100,00 Jumlah 335 4621 4956 2006 % 26,30 73,70 100,00

4. 5. 6. 7. 8.

Tabel 3 : Indikasi Operasi Seksio Sesarea di SMF Obstetri dan Ginekologi RSUP Sanglah Denpasar, Bali, 2001 dan 2006No 01 02 03 04 05 Indikasi SC Fetal Distress/ KTG Pathologis Distosia e.c Power Distosia e.c Passage & Passenger LMR (Previous CS) APB Placenta Previa Solutio Placenta 06 07 Prolaps Tali Pusat Pre Eklampsia PE Berat PE Ringan Eklampsia 08 09 10 11 12 Partus Kasep KPD > 12 Jam (Gagal Drip/Febris) On Request (Sosial,Infertil,Primitua) Malpresentasi & Malposisi Multi Fetus Gemelli Triplet 13 14 Bad Obstetric History Komplikasi Jantung Asthma Sindrom Nefrotik Kondiloma Akuminata (STD) HNP 15 16 Oligohidramnion Impending Uterine Rupture TOTAL 2001Jumlah %

2006Jumlah %

232 17,3 40 133 99 134 5 12 64 49 7 8 84 228 31 26 26 13 13 7 2 1 1 2 10 0,73 5 0,35 1341 100 1 1 6,3 17 2,5 2 4,7 3 9,9 7,4

267 21,13 22 96 136 137 126 4 7 62 44 9 9 50 166 64 188 31 30 1 5 14 5 4 2 0 3 23 12 1273 1,8 1 100 0,4 1,1 3,9 13 5 14,8 2,4 4,9 1,7 7,55 10,7 10,8

9.

151 11,2

Mengapa Angka SS Harus Ditekan Atau Diturunkan? Standar yang sudah disepakati untuk SS, adalah antara 1520% sesuai dengan status RS bersangkutan; angka SS yang terlalu tinggi atau terlalu rendah akan memberikan luaran neonatal yang kurang baik. Risiko plasenta previa dan abortus pada kehamilan setelah SS akan meningkat. Kenyataannya partus percobaan pasca SS bahkan dengan induksi dengan misoprostol cukup berhasil meskipun harus hati-hati. SS juga bisa menyebabkan morbiditas ibu berupa infeksi puerperalis. Ruptur uteri bisa terjadi jika tanpa pengawasan adekuat. Partus percobaan pasca SS lebih mudah berhasil pada ibu bersalin pasca SS yang pernah melahirkan pervaginam, pernah sukses partus percobaan dan inpartu spontan serta yang mempunyai skor pelvik (Bishop Score) di atas 6. Partus percobaan hanya sedikit meningkatkan ruptur uteri dibandingkan SS elektif, sebaliknya angka morbiditas ibu berupa demam, transfusi darah dan risiko histerektomi jauh lebih rendah.

212 15,8

CARA PERSALINAN DI SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI RSUP SANGLAH (2001 DAN 2006) Tabel 1 : Jumlah Persalinan Pervaginam dan Seksio Sesarea di SMF Obstetri dan Ginekologi RSUP Sanglah, Denpasar Bali, 2001 dan 2006.Jumlah Persalinan Persalinan Normal SC Data TOTAL 2001 Jumlah 6022 1341 7363 % 77,73 22,27 100,00 Jumlah 3683 1273 4956 2006 % 65,44 34,56 100,00

Grafik 1 : Grafik jumlah Persalinan Pervaginam dan Seksio Sesarea di SMF Obstetri dan Ginekologi RSUP Sanglah, Denpasar Bali, Periode tahun 2001 dan 2006.7.000 6.000 5.000 4.000 3.000 2.000 1.000 0 2001 2002 1.341 1.273 3.683 Persalinan Normal Seksio Sesarea 6.022

98

CDK 175 / vol.37 no. 2 / Maret - April 2010

CDK Maret April DR.indd 98

2/24/2010 1:47:27 PM

HASIL PENELITIANGrafik 2 : Grafik perbandingan prosentase Persalinan Pervaginam dan SS pada tahun 2001 dan 2006.2001 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Persalinan Normal (%) Seksion Sesarea (%) 2006

penderita yang sebelumnya seksio sesaria dengan insisi transversa, banyak ahli meneliti keberhasilan dan keamanan persalinan pervaginam pada bekas seksio sesaria. Keuntungannya : mempersingkat lama rawat inap, pemulihan kesehatan ibu lebih cepat, biaya lebih murah, kesempatan persalinan alamiah, dan risiko infeksi lebih kecil. Pada dasarnya peningkatan seksio sesaria ulang pada pasien bekas seksio sesaria adalah karena risiko ruptura uteri pada parut uterus. Beberapa penelitian mendapatkan insiden ruptura uteri meningkat 4,3 8,8 % pada irisan klasik sedangkan pada irisan segmen bawah rahim hanya 0,2 0,8 %. Seiring kemajuan teknologi, tindakan seksio sesaria memberikan hasil yang makin baik, dengan penyembuhan luka operasi lebih sempurna dan menjadi lebih aman. Berangsurangsur diktum EB Craigin ditinggalkan dan ditinjau kembali menjadi sekali seksio tidak selalu diikuti seksio sesaria. Persalinan percobaan pada kasus riwayat seksio sesaria sebelumnya sering dilakukan, namun informasi keberhasilan dan hasil akhirnya masih minim. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba mengevaluasi persalinan pada penderita dengan riwayat seksio sesaria sebelumnya Partus percobaan pasca seksio sesaria tidak diindikasikan pada kasus dengan: Insisi klasik pada seksio sebelumnya. Seksio sesaria 3 kali. Disertai kelainan letak. Adanya ancaman ruptura uteri. Plasenta previa. Adanya kelainan kongenital. Kehamilan ganda

Grafik 3 : Indikasi Operasi Seksio Sesarea (dalam prosentase) di SMF Obstetri dan Ginekologi RSUP Sanglah Denpasar, Bali Periode tahun 2001 dan 2006, nomor sesuai indikasi pada tabel 3300 250 200 150 100 50 1 2 3 4 5 6 7 2001 8 9 10 11 12 13 14 15 16 2006 0

PEMBAHASAN SEKSIO SESAREA karena BEKAS SEKSIO SESAREA (PREVIOUS CESAREAN SECTION) Dalam waktu 5 tahun, antara tahun 2001 dan tahun 2006 ada peningkatan signifikan SS (sekitar 45%) karena Previous CS dari 7,4% (2001) menjadi 10,7% (2006). Di Amerika Serikat sampai dengan tahun 1979 tidak banyak laporan keberhasilan persalinan pervaginam pada penderita bekas seksio sesaria, karena adanya kepercayaan bahwa pernah seksio sesaria adalah kontraindikasi absolut untuk melahirkan pervaginam (diktum EB Craigin : sekali seksio sesaria selalu seksio sesaria). Terjadi kenaikan angka seksio sesaria : sebelum tahun 1970 di bawah 5% naik tiga kali lipat di tahun 1985 menjadi 15,2% dan mencapai puncaknya di tahun 1988 sebesar 24,7% ; 48% di antaranya adalah seksio sesaria ulangan.5,10,11 Setelah The American College of Obstetricians and Gynecologist (1988) menganjurkan partus percobaan padaCDK 175 / vol.37 no. 2 / Maret - April 2010

Faktor kondisi sebelumnya yang dapat mempengaruhi hasil akhir partus percobaan adalah: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Bekas seksio karena disproporsi kepala panggul. Bekas seksio karena letak sungsang. Persalinan pervaginam sebelumnya. Bekas seksio lebih dari satu kali. Pemakaian oksitosin. Lamanya inpartu dan pembukaan serviks pada seksio sebelumnya.

Tidak terdapat perbedaan bermakna pada morbiditas dan mortalitas maternal antara seksio sesaria elektif dengan partus percobaan paska seksio. Tindakan partus percobaan pada bekas seksio sesaria harus memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut: 2,7,8,9 Indikasi seksio sesaria yang lalu. Seksio sesaria dilakukan segera, bila indikasinya pang-

99

CDK Maret April DR.indd 99

2/23/2010 4:14:37 AM

HASIL PENELITIANgul sempit atau kehamilan dengan kelainan letak, ketuban pecah dini, kepala tinggi, dan adanya ancaman ruptura uteri. Irisan seksio membujur (corpore) merupakan kontraindikasi partus percobaan. Observasi ketat dengan kemungkinan response time seksio sesaria dalam waktu 30 menit. Gawat janin dan nyeri perut bagian bawah merupakan indikasi penting untuk segera melakukan seksio sesaria. 1. Terletak di kota besar 2. Pasien berasal dari kalangan strata ekonomi yang cukup 3. Tingkat pendidikan ibu yang melahirkan di RS penelitian ini cukup baik. 4. Ibu melahirkan pada umumnya berasal dari strata ekonomi mampu. Ada beberapa faktor nonmedis yang mempengaruhi pemilihan SS ibu yang melahirkan, yang pada penelitian ini disebutkan sebagai fenomena sosial dalam pemilihan SS, yaitu :5,7,8,9,10 1. Keadaan ekonomi Makin tinggi tingkat ekonomi ibu melahirkan, makin tidak ada masalah pendanaan dalam SS. Ibu melahirkan dengan SC banyak berasal dari strata ekonomi mampu. Keadaan ini dapat dimengerti karena biaya untuk SS jelas lebih tinggi atau mahal daripada proses kelahiran tanpa operasi.. 2. Keadaan masyarakat sekitarnya Termasuk masyarakat perkotaan atau pedesaan. Ibu melahirkan di kota lebih memilih nyaman, bebas dari rasa sakit, cepat, dan bila perlu tetap terjaga estetika kewanitaannya. Fenomena ini ada, dan mulai berkembang terutama pada ibu dari kalangan sosio-ekonomi yang baik. Selain lingkungan perkotaan, beberapa etnis tertentu juga memanfaatkan kemajuan di bidang kedokteran ini sebagai sarana untuk menjalankan adat istiadatnya. Misalkan : pemilihan hari lahir, bahkan jam lahir yang sama sekali terlepas dari indikasi medis. 3. Psikologi ibu melahirkan Tak dapat dipungkiri, makin tinggi strata ekonomi ibu melahirkan, makin ingin nyaman ibu tersebut dalam melahirkan. Ibu yang berasal dari sosio ekonomi baik, umumnya kurang bisa mentoleransi rasa nyeri alamiah saat akan melahirkan (inpartu). Keadaan ini menambah atau menyumbang tingginya angka SS 4. Gravida Jumlah kehamilan bisa masuk indikasi medis maupun sosial, sehingga perlu penelitian lebih lanjut. Pada kasus pasangan suami istri yang sudah lama menikah dan lama tidak mempunyai anak, janin mempunyai nilai sosial yang tinggi. Sedangkan pada riwayat obstetri yang jelek, jumlah kehamilan jelas memiliki nilai indikasi medis yang tinggi . SIMPULAN Beberapa peneliti telah membuktikan adanya kemungkinan menurunkan angka persalinan sesarea secara bermakna di institusi kesehatan tanpa meningkatkan morbiditas atau mortalitas perinatal. Program untuk mengurangi persalinan sesarea yang tidak diperlukan umumnya difokuskan pada upaya pendidikan dan pengawasan sesama kolega, menCDK 175 / vol.37 no. 2 / Maret - April 2010

Karena alasan monitoring yang belum maksimal maka di RSUP Sanglah sebagai RS pendidikan tidak dilakukan induksi persalinan terhadap kehamilan pada bekas seksio dan kehamilan letak sungsang. Ada kecenderungan dokter spesialis di RS Swasta lebih cepat memutuskan SS dengan berbagai alasan dan pengalamannya. Di RSUP Sanglah setelah menjadi Perjan sejak tahun 2000, dan dokter spesialis diberi kesempatan melayani pasien VIP; terdapat peningkatan keputusan SS. Keputusan tindakan SS lebih cepat dibandingkan dengan protokol standar.1,3 SEKSIO SESAREA ON REQUEST Hidup di jaman modern ditandai oleh sesuatu yang serba cepat dan instan. Segala sesuatu yang diperoleh lebih cepat akan memberi keuntungan yang lebih; modern identik dengan serba cepat atau instan. Kesibukan tugas dan kewajiban membebani setiap orang untuk bekerja dan mengambil keputusan lebih cepat. Mengapa menantikan persalinan bayi harus berjam-jam bahkan berhari-hari? Mengapa tidak memilih seksio sesarea sebagai cara persalinan yang paling modern dan paling cepat? Karena wanita hidup di era serba cepat dan penuh perencanaan, mereka akan memilih waktu yang tepat untuk ulang tahun kelahiran bayinya, yaitu dengan seksio sesarea. Di samping itu seksio sesarea lebih nyaman, bebas nyeri, lebih cepat dibandingkan cara persalinan lainnya. Antara tahun 2001 dan tahun 2006 ada peningkatan 100% CS on request: 2,5% pada tahun 2001 menjadi 5% pada tahun 2006. Melindungi otot-otot dasar panggul sering dipakai sebagai alasan memilih seksio sesarea antara lain oleh ahli kebidanan perempuan di London; mereka percaya bahwa persalinan bayi akan merusak dasar panggul, dan seksio sesarea bisa secara efektif mencegah inkontinensia, mencegah prolaps, dan mencegah disfungsi seksual. Di samping itu, trauma pada persalinan sebelumnya menyebabkan ibu-ibu memilih seksio sesarea sebagai alternatif paling menyenangkan untuk persalinan bayinya.2,8,9, Tingginya angka SS on request saat ini tidak dapat dianggap lagi tabu ; asumsi SS merupakan kegagalan ANC tidak lagi sepenuhnya benar. Tingginya angka SS juga dapat karena pemilihan tempat persalinan, misalnya:

100

CDK Maret April DR.indd 100

2/23/2010 4:14:37 AM

HASIL PENELITIANdorong percobaan persalinan pada wanita dengan riwayat persalinan sesarea transversal, dan membatasi persalinan sesarea atas indikasi distosia persalinan pada wanita yang memenuhi kriteria yang ditentukan secara ketat. Apabila seorang ibu menginginkan tindakan seksio sesarea untuk melahirkan bayinya, hendaknya dilakukan konseling yang memadai. Keinginan ibu bukanlah merupakan indikasi untuk seksio sesarea, oleh karena itu alasan yang lebih spesifik harus digali dan didiskusikan. Apabila gagal menemukan alasan yang tepat untuk seksio sesarea tersebut, hendaknya dipertimbangkan keuntungan dan risiko tindakan seksio itu dibandingkan persalinan pervaginam. Pada akhirnya, semuanya kembali pada hubungan antara dokter dan pasien. Dokter tetaplah harus berprinsip yang terbaik bagi kesehatan dan kesembuhan pasien, demikian pula pasien berhak mendapatkan haknya. Jika seorang dokter sudah beritikad baik, tetapi pasien tetap memaksa SS dengan berbagai alasan (infertilitas, kesakitan, adat, sosial, dll) tanpa indikasi medis, seyogyanya seorang dokter bertindak dan berpikir bijaksana dalam menyikapi kondisi ini. Dokter tetaplah manusia, yang juga memiliki faktor psikososial dalam menentukan suatu tindakan.DAFTAR BACAAN 1. Suwardewa TGD, Seksio Sesarea On Request : Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB) II Obsgin. Denpasar, Divisi Fetomaternal Bagian ./SMF Obstetri Ginekologi FK UNUD/RS Sanglah, 2005. Royal Collage Obsteric Gynecology, Cesarean Section Clinical Guideline, London, 2004 Karkata K, Meningkatkan Keselamatan Operasi Bedah Sesar. Denpasar, Divisi Fetomaternal Bagian ./SMF Obstetri Ginekologi FK UNUD/RS Sanglah, 2005. Caesarean Sections, Parliamentary Office Science and Technology, No 184, London, Oktober 2004. Arulkumaran S,Devendra K, Should Doctors Perform an Elective Caesarean Section On Request?. Ann.Acad.Med.Sing 2003; 23(5). Sedana KP, Keberhasilan Persalinan Pervaginam Pada Kehamilan Aterm Bekas Seksio Sesaria Dengan Ketuban Pecah Dini. Denpasar, SMF Obstetri Ginekologi FK UNUD/RS Sanglah, 2004. Gondo HK, Fenomena Sosial Operasi Seksio Sesarea di Salah Satu Rumah Sakit Swasta Besar Surabaya Periode 1 Januari 2000 31 Desember 2005. Dexa Media 2006;19(2): 72-79. Royal College of Obstetricians and Gynaecologits (RCOG) Clinical Effectiveness Support Unit, The National Sentinel Caesarean Section Audit Report. London: RCOG Press, 2001. Petrou S, Henderson J, Glazener C, Economic aspect of caesarean section and alternative mode of delivery. Oxford, National Perinatal Epidemiology Unit, Institute of Health Sciences, University of Oxford, 2000.

2. 3.

4. 5. 6.

7.

8.

9.

10. Robson S, Mooloy D,Tippett C, Elective Caesarean Section at Maternal Request, Obstetricians find themselves somewhere between a rock and a fairly indurated place. O&G Austral.J. Med. 2004;6(3) : 186 189. 11. Bettes BA, Coleman V, Zinber, et all. Cesarean delivery on maternal request, Obstetrian gynecologist knowledge, perception, and practice patterns. Am. Coll. .Obstetr. Gynecol. 2007;109

CDK 175 / vol.37 no. 2 / Maret - April 2010

101

CDK Maret April DR.indd 101

2/23/2010 4:14:38 AM

HASIL PENELITIAN

Efek Pemberian Cairan RL dibandingkan NaCl 0,9% terhadap Keseimbangan Asam-Basa (Stewart Approach) pada Seksio SesareaM Mukhlis Rudi PBagian Anestesiologi & Reanimasi FKIK Universitas Jenderal Soedirman, RSUD Prof. DR Margono Soekarjo, Purwokerto

ABSTRAK

Latar belakang. Pemberian cairan pada pasien yang akan dioperasi, khususnya sectio caesaria (SC), jarang didahului pemeriksaan elektrolit; padahal gangguan keseimbangan elektrolit dapat mempengaruhi proses metabolik dan penyembuhan. Pemeriksaan elektrolit setelah operasi penting karena intervensi cairan selama operasi untuk mengontrol elektrolit dan keseimbangan asam-basa. Metode. Penelitian eksperimental uji klinik tahap 2 secara acak tersamar ganda untuk mengetahui cairan yang lebih baik, RL atau NaCl 0,9% terhadap strong ion difference (SID) keseimbangan asam-basa berdasarkan metode Stewart. Pada pasien calon operasi SC; dipasang jalur intravena dan diambil darah venanya di ruang bedah sentral; premedikasi serta loading cairan untuk mencegah hipotensi akibat obat regional anestesi. Selama operasi pasien diberi cairan kristaloid. Setelah selesai, dilakukan pemeriksaan darah vena. Uji statistik menggunakan t-test. Hasil. Rerata sebelum operasi SID RL (38,582,28) menunjukkan alkalosis, sedangkan SID NaCl (37,424,35) menunjukkan asidosis. Rerata setelah operasi SID RL (37,791,18) menunjukkan kestabilan dibandingkan rerata SID NaCl (39,673,10) yang alkalosis. Kesimpulan. Pemberian RL pada pasien sectio caesaria lebih menguntungkan dibandingkan NaCl, karena NaCl mempengaruhi pergeseran SID keseimbangan asam-basa Stewart. Kata kunci. Cairan kristaloid, keseimbangan asam-basa Stewart, sectio caesaria, anestesi regional.

PENDAHULUAN Kasus-kasus dengan perdarahan hingga 15% EBV banyak ditemukan pada sectio caesaria, laparotomi tanpa reseksi usus, bedah urologi, pasien trauma ortopedi tertutup, trauma kepala (EDH), dan operasi-operasi lain. Selama ini, penggantian cairan pada pasien operasi dengan perdarahan kurang dari 15% EBV lebih banyak menggunakan cairan kristaloid Ringer Laktat (RL) atau NaCl 0,9% dibandingkan koloid hydroxy ethyl starch (HES), sementara pasien dengan regional anestesi lebih banyak menggunakan koloid. Keseimbangan asam-basa merupakan keseimbangan antar komponen elektrolit cairan tubuh yang dinilai dengan

menggunakan persamaan Stewart. Penilaian berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium BGA, albumin, dan elektrolit (Na, K, Cl, Mg, PO4) preoperatif dan postoperatif.1,2 Pemilihan keseimbangan asam-basa Stewart karena di ICU (intensive care unit) RSDK, terapi cairan berdasarkan cara Henderson-Hasselbach tidak lebih baik daripada cara Stewart , dinilai dari hasil pemeriksaan blood gas analysis (BGA), elektrolit, albumin, dan kondisi obyektif pasien. Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan penelitian yang membandingkan cairan dasar (RL dengan NaCl 0,9%), karena kedua cairan tersebut selain murah juga mudah didapat di daerah. Dilakukan penghitungan strong ion difference (SID) berdasarkan hasil pemeriksaan elektrolit; albumin danCDK 175 / vol.37 no. 2 / Maret - April 2010

102

CDK Maret April DR.indd 102

2/23/2010 4:14:39 AM

HASIL PENELITIANpCO2 tidak diperiksa karena SID (strong ion difference) lebih mewakili status keseimbangan asam-basa Stewart.3 METODE PENELITIAN Metode eksperimental berupa uji klinik tahap 2 acak tersamar ganda untuk mengetahui efektivitas pemberian infus RL dan infus NaCL terhadap keseimbangan asam-basa (metode Stewart). Subyek penelitian adalah semua pasien RSDK dengan operasi elektif ataupun cito sectio caesaria usia 20-35 tahun dengan status fisik ASA I-II, berat badan 50-70 kg, tinggi badan 150-170 cm, tidak ada indikasi kontra untuk tindakan anestesi regional. Lama operasi antara 60120 menit. Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Sentral RS. Dr. Kariadi Semarang antara 19 Oktober 2006 hingga 20 Desember 2006. HASIL Analisis dilakukan pada karakteristik penderita berdasarkan umur dan lama operasi, distribusi SID kedua kelompok sebelum dan sesudah operasi, rerata SID kedua kelompok sebelum dan sesudah operasi, serta rerata masing-masing kelompok sebelum dan sesudah operasi. Penelitian dilakukan terhadap 48 pasien yang terbagi 2 kelompok, 24 orang diberi RL dan 24 orang diberi NaCl 0,9%. Tabel 1.1 Karakteristik Pasien Kelompok RL dan NaCl 0,9%Karakteristik Kelompok SID RL (n=24) 26,54 2,963 84,7913,947 Kelompok SID NaCl (n=24) 26,583,55 84,7912,022 p

Nilai SID kelompok SID RL dan SID NaCl diuji t (p = 0,01) dan Mann-Whitney (p = 0,043), berarti nilai SID kelompok SID RL dan SID NaCl setelah operasi berbeda bermakna. Tabel 1.2 Rerata SID pada Kelompok RL, NaCl Pra dan Pasca OperasiWaktu Operasi Sebelum operasi (Pra) Setelah operasi (Pasca) Kelompok SID RL 38,582,28 37,791,18 Kelompok SID NaCl 37,424,35 39,673,10 p 0,253 0,01*

*Significant 0,05). Pasca operasi pasien kelompok RL yang mengalami asidosis 25% (6 orang) dan yang mengalami alkalosis 29,16% (7 orang), sisanya 45,83% (11 orang) normal. Distribusi SID kelompok NaCl pasca operasi menunjukkan bahwa pasien asidosis 54 % (13 orang), sedangkan sisanya 46% (11 orang) mengalami alkalosis (uji KS 0,063 > 0,05 distribusi normal); data nilai SID NaCl pasca operasi normal (uji KS 0, 455 > 0,05)CDK 175 / vol.37 no. 2 / Maret - April 2010

Rata-rata SID RL sebelum operasi bersifat alkalosis (>38), sedangkan SID RL setelah operasi turun bersifat netral (=38). PEMBAHASAN Pemilihan cairan pengganti selama tindakan operasi, selama ini masih kontroversial Keduanya dianggap merupakan cairan dasar yang paling baik kandungannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa infus NaCl 0,9% akan berpengaruh pada pergeseran keseimbangan asam-basa Stewart, karena pada pasien dengan SID < 38, larutan NaCl 0,9% dalam jumlah sesuai kebutuhan, mungkin menjadi asidosis lebih berat atau bahkan alkalosis yang lebih berat, karena keseimbangan kadar natrium dan klorida dalam cairan tersebut. Namun, bila diberi larutan RL, pergeseran keseimbangan asam-basanya tidak besar, karena kandungan

103

CDK Maret April DR.indd 103

2/23/2010 4:14:39 AM

104

CDK 175 / vol.37 no. 2 / Maret - April 2010

CDK Maret April DR.indd 104

2/23/2010 4:14:40 AM

HASIL PENELITIANnatrium dan kloridanya tidak sama, selain itu juga ada tambahan laktat, yang akan dimetabolisme melalui siklus Krebb dan kemudian akan di buffer oleh bikarbonat menjadi asam bikarbonat dan akhirnya akan dilepaskan melalui paru-paru4, sehingga tidak menggeser keseimbangan asam-basa secara berlebihan. Hasil SID untuk kelompok RL dan SID NaCl dengan menggunakan uji t (p=0,253) dan Mann Whitney (P=0,264), tidak berbeda bermakna (p > 0,05), hal ini mungkin karena intervensi cairan hanya 500 ml dan berfungsi sebagai loading untuk mengatasi kemungkinan hipotensi akibat anestesi regional. Untuk menimbulkan perubahan yang nyata pada SID, paling tidak dibutuhkan intervensi hingga 3 kali perdarahan yang hilang. Kondisi elektrolit pasien sebelum operasi juga akan sangat mempengaruhi SID pasca intervensi. Nilai SID dari kelompok SID RL dan SID NaCl setelah operasi berbeda bermakna (uji t (p=0,01) dan Mann-Whitney (p = 0,043), p < 0,05). Pemberian cairan yang disesuaikan dengan perdarahan, akan mengakibatkan perubahan keseimbangan elektrolit, karena setiap perdarahan atau keluarnya cairan tubuh akan disertai dengan perubahan keseimbangan elektrolit tubuh.5,6,7 Selain itu, NaCl 0,9% lebih hipertonis dibandingkan dengan RL, karena mengandung Na+ (154 mmol/L) yang tinggi, serta Cl- yang tinggi (154 mmol/L). Padahal kandungan Na+ plasma hanya berkisar antara 135 147 mmol/L, sedangkan Cl- plasma sebesar 94 111 mmol/L. Pemberian infus NaCl 0,9% dalam jumlah yang besar akan berakibat asidosis.4 Selama penelitian, tidak ditemukan gangguan akibat pemberian cairan, seperti alergi dan mual muntah. Rasa mual, biasanya lebih sering disebabkan oleh manipulasi operator selama operasi. Menurut Magner dkk (2004), oksigenasi selama operasi akan berperan dalam menurunkan kejadian mual muntah pasca operasi (PONV).6 Distribusi data SID pada kelompok RL dan NaCl sebelum operasi menunjukkan 33,33% (SID < 35) terjadi pada pasien dengan pemberian NaCl awal, sedangkan 8,33% (SID = 38) terdapat pada pemberian RL. Alkalosis banyak terjadi pada pasien dengan pemberian RL sebelum operasi (58,33%), sedangkan pada NaCl hanya 16,66%. Distribusi data SID pasca operasi, menunjukkan bahwa asidosis berat (SID < 35) terjadi pada pemberian NaCl (25%), alkalosis juga lebih banyak terjadi pada pemberian NaCl (25%). Rerata SID kelompok NaCl pra operasi sebesar 37,42+4,35 dan pasca operasi 37,924,14 menunjukkan bahwa NaCl bersifat asidosis (38), sedangkan SID setelah operasi turun menjadi 37,96 0,19 berarti netral (=38).CDK 175 / vol.37 no. 2 / Maret - April 2010

Berdasarkan analisis data, penggunaan RL atau NaCl secara statistik berbeda tidak bermakna, akan tetapi perbedaan sebesar 1,00 secara klinis sangatlah bermakna. Pemberian cairan kristaloid (RL / NaCl 0,9%) pada kedua kelompok pasien yang menjalani SC sangat bervariasi, disesuaikan dengan jumlah perdarahan selama operasi; sehingga perbedaan klinis SID kedua cairan sangat penting, karena pergeseran keseimbangan sedikit saja akan berakibat fatal. Distribusi SID pemberian cairan kristaloid pasca operasi, menunjukkan bahwa SID 24 pasien yang diberi RL berkisar antara 35 41. Sedangkan yang diberi NaCl < 35 dan > 41 tanpa SID yang normal, yang berarti memperberat kondisi asidosis aataupun alkalosis. Cairan pengganti diberikan berdasarkan 5 aspek utama5 : 1. jenis cairan yang harus diberikan 2. jumlah cairan harus jelas 3. kriteria petunjuk terapi cairan harus jelas 4. kemungkinan efek samping yang harus dipertimbangkan 5. biaya Hipovolemi berhubungan dengan aliran yang tidak bisa memenuhi jalur nutrisi sirkulasi. Selama hipovolemi yang berhubungan dengan disfungsi hemodinamik, organisme mencoba mengkompensasi defisit perfusi dengan meredistribusi aliran ke organ vital (jantung dan otak) yang mengakibatkan kurangnya perfusi ke organ lain seperti usus, ginjal, otot, dan kulit. Aktifasi sistem saraf simpatis dan sistem renin-angiotensin-aldosteron merupakan mekanisme kompensatorik untuk menjaga perfusi perifer. Banyaknya substansi vasoaktif yang beredar dan mediator inflamasi merupakan kejadian tambahan pada situasi tersebut. Kompensasi aktivasi neurohumoral awalnya bermanfaat, tetapi mekanisme ini bisa merusak dan mungkin mengakibatkan hasil buruk pada pasien kritis. Jadi, perbaikan adekuat volume intravaskuler tetap merupakan tindakan yang penting dalam pengaturan pasien bedah.16,17 Cairan mungkin bertahan dalam kompartemen intravaskuler atau seimbang dengan kompartemen cairan interstisial/ intraseluler. Tujuan utama penatalaksanaan cairan adalah jaminan hemodinamik yang stabil oleh perbaikan sirkulasi volume plasma, tetapi akumulasi cairan, terutama dalam jaringan interstisial harus dihindari. Hipotesis Starling menganalisis dan menjelaskan perubahan cairan yang melintasi membran biologis. Berdasarkan persamaan tersebut, tekanan onkotik koloid merupakan faktor penting dalam menentukan aliran cairan yang melintasi membran kapiler antara ruang intravaskuler dan interstisial. Jadi, adanya manipulasi tekanan onkotik koloid menjadi jaminan sirkulasi volume intravaskuler yang adekuat.14 Besar dan durasi efek volume tergantung pada : 1. kapasitas substansi ikatan air yang spesifik 2. berapa banyak substansi yang diinfuskan bertahan di rongga intravaskuler

105

CDK Maret April DR.indd 105

2/23/2010 4:14:52 AM

HASIL PENELITIANKarena sifat fisikokimia yang berbeda, umumnya penggunaan cairan pengganti dibedakan berdasarkan pada tekanan onkotik koloid, efek volume, dan lamanya bertahan dalam intravaskuler. Keseimbangan elektrolit dan asam-basa harus dinilai dan harus dikoreksi jika perlu, karena pemberian cairan kristaloid (RL/NaCl) akan sangat berpengaruh. Kekurangan waktu paruh intravaskuler dan hiponatremia, biasanya mengurangi penggunaaan cairan saline < 0,9% untuk cairan resusitasi dan pemeliharaan intraoperatif. Penyebab utama pemilihan NaCl dan RL atau larutan garam berimbang yang lain adalah efeknya terhadap rasio Na ekstraseluler dan keseimbangan asam-basa. Tabel 1.5 Pertimbangan kualitatif dalam pemilihan terapi cairan intraoperatif8Pertimbangan Kapasitas angkut oksigen Faktor koagulasi Tekanan onkotik koloid Edema jaringan Keseimbangan elektrolit Keseimbangan asam-basa Metabolisme glukosa / nutrisi Abnormalitas serebral

Aldosteron meningkat segera mengikuti dan selama operasi, jadi meningkatkan absorbsi tubulus distal renal. Peningkatan aviditas tubulus terhadap natrium, memerlukan pendampingan absorbsi ion negatif (Cl) yang lain atau sekresi hidrogen atau ion K untuk menjaga netralitas elektrik tubulus renal. Jadi, jumlah Cl berhubungan dengan peningkatan Na, yang mungkin terjadi pada pemberian NaCl 0,9% jumlah besar ; sekresi hidrogen dan K akan diminimalkan dengan akibat hiperkloremi yang dipicu oleh asidosis metabolik non-gap. Pemberian RL, bagaimanapun juga akan lebih fisiologis (seimbang) dan tidak mengakibatkan asidosis. Pemberian RL dalam jumlah besar mungkin akan mengakibatkan alkalosis metabolik pasca operasi yang berkaitan dengan adanya peningkatan bikarbonat dari metabolisme laktat.9,10,11,12 SIMPULAN Pemberian infus RL dan infus NaCl 0,9%, yang mulai diberikan sebelum, selama, dan setelah operasi, kemudian dilakukan penilaian terhadap SID (strong ion difference) menunjukkan hasil bahwa : 1. Pemberian RL lebih baik dibandingkan NaCl 0,9%. 2. NaCl 0,9% dapat lebih mungkin menimbulkan asidosis ataupun alkalosis dibandingkan RL.

DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Stewart PH. How to Understand Acid-Base : a Quantitative Acid Base Primer for Biology and Medicine. From : http://www. acidbase..org. Boldt J. Intraoperative Fluid Therapy Crystalloid or Colloid Debate. Revista Mexicana de Anesthesiologia. 2005; 28 : 23-28 Mustafa I, George YWH. Keseimbangan Asam-Basa (Paradigma Baru). Anesthesia & Critical Care. Vol 21. Jakarta. 2003 Leksana E. SIRS, Sepsis, Keseimbangan Asam-Basa, Syok dan Terapi Cairan. CPD IDSAI Jateng-Bagian Anestesi dan Terapi Intensif FK Undip. Semarang. 2006 Boldt J. Intraoperative Fluid Therapy Crystalloid or Colloid Debate. Revista Mexicana de Anesthesiologia. 2005; 28 : 23-28 Magner JJ, McCaul C, Carton E, Gardiner J, Buggy D. Effect of Intraoperative Intravenous Crystalloid Infusion on PONV after Gynaecological Laparoscopy :Comparison of 30 and 10 ml kg-1. BJA. 2004 ; 93(3) : 381-385. Schierhout G, Roberts I. Fluid Resuscitation with Colloid or Crystalloid Solutions in Critically Ill Patients : A Systematic Review of Randomized Trials. BMJ. 1998; 316 : 961-4 Soenarjo. Fisiologi Cairan. Simposium Tatalaksana Cairan, Elektrolit dan Asam-Basa (Stewart Approach). Semarang, 2006. Norris MC. Handbook of Obstetric Anesthesia. Lippincott, Philadelphia. 2000.

10. Hood Vl, Tannen RL. Protection of Acid Base Balance by pH Regulation of Acid Production. NEJM 1998; 12 : 819-825. 11. Cooper N. Acute Care : Volume Resuscitation. BMJ. 2004; 12 : 145-146. 12. Singh G, Chaudry KI, Chaudry IH. Crystalloid is as Effective as Blood in the Resuscitation of Hemorrhagic Shock. J. Ann.Surg.. 1992; 04 : 377-382.

106

CDK 175 / vol.37 no. 2 / Maret - April 2010

CDK Maret April DR.indd 106

2/23/2010 4:14:59 AM

HASIL PENELITIANIMAGE BANK

GliSODin Meningkatkan Potensi Sel PuncaAgnes O. Lizandi1, Caroline T. Sardjono2, Frisca1, Wahyu Widowati2, Rimonta F. Gunanegara2, Ferry Sandra11

Stem Cell and Cancer Institute, Jakarta, 2Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Maranatha, Bandung

Dewasa ini, masyarakat semakin mengenal apa yang disebut dengan sel punca (stem cell) dan mulai menaruh perhatian lebih pada peranan sel tersebut dalam bidang kesehatan. Sel punca merupakan sel yang secara alami terdapat dalam tubuh yang akan dilepaskan menuju organ yang mengalami kerusakan untuk memperbaikinya. Hal ini dapat terjadi karena sifat dari sel punca yang belum mempunyai karakteristik tertentu dan berpotensi untuk memperbanyak diri sehingga dapat berubah menjadi sel yang identik dengan sel asalnya menurut signal biologis yang diterimanya. Oleh karena itu, sel punca menjadi sangat penting dalam proses regenerasi jaringan. Proses regenerasi jaringan secara natural terjadi di dalam tubuh, namun dengan seiring bertambahnya usia, kemampuan regenerasi ini akan semakin berkurang. Untuk mempertahankannya, diperlukan suatu perlakuan khusus yang dapat mempertahankan jumlah dan potensi sel punca. Telah diketahui bahwa dengan mempertahankan jumlah sel punca dalam tubuh baik dengan memberikan asupan tertentu dapat menekan angka timbulnya penyakit sehingga kesehatan umum dapat ditingkatkan.CDK 175 / vol.37 no. 2 / Maret - April 2010

Pertumbuhan sel punca tentunya dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah lingkungan tempat hidupnya (microenvironment). Reactive Oxygen Species (ROS) merupakan salah satu senyawa yang mengganggu pertumbuhan sel karena mengakibatkan reaksi autooksidasi dalam sel yang dapat mengoksidasi lipid pada membran sel yang pada akhirnya mengakibatkan kematian sel. Oleh karena itu dibutuhkan suatu tindakan untuk menekan pembentukan senyawa tersebut, antara lain adalah dengan memberikan asupan anti-oksidan. GliSODin adalah produk yang mengandung anti-oksidan extramel yang didapatkan dari buah melon (Cucumis melo) dan dilapisi dengan gliadin agar tidak rusak jika terkena asam lambung dan baru berfungsi sebagaimana mestinya jika sudah mencapai usus halus. Extramel ini memiliki aktivitas sebagai enzim Super Oxide Dismutase (SOD) yang akan memecah anion peroksida, senyawa reaktif yang dihasilkan pada reaksi auto-oksidasi, menjadi oksigen dan hidrogen peroksida (Gambar 1). Hidrogen peroksida juga merupakan senyawa yang toksik bagi sel, sehingga akan dipecah kembali oleh enzim katalase menjadi oksigen dan air. Produk ini juga telah dilaporkan dapat menurunkan oksidan dalam tubuh.

107

CDK Maret April DR.indd 107

2/23/2010 4:14:59 AM

HASIL PENELITIAN

O2NAD(P)H Xanthine oxidase NADPH oxidasePersentase

1,1 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 4 2 0

NAD (P)+

Mitochondrial Electron Transport Chain

O2-.

H+

Superoxide dismutase

Catalase

H2O2

Glutathione peroxidase

Kontrol

Extramel

Gambar 2 Perbedaan jumlah sel antara kontrol dengan kultur yang diberi perlakuan extramel.

H2O 2GSH

H 2O GSSG

Glutathione reductase

Selama proses kultur, sel punca mengalami diferensiasi karena pada medium kultur terdapat faktor pertumbuhan yang dapat mengarahkan sel punca menjadi sel progenitor endotel / endothelial progenitor cell (EPC). Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa setelah tujuh hari, masih terdapat sel punca yang belum terdiferensiasi (Gambar 2). Oleh karena itu, perlu diuji juga apakah penambahan extramel mempengaruhi laju diferensiasi atau tidak.