Cdk 013 Penyakit Mata

37

Transcript of Cdk 013 Penyakit Mata

Page 1: Cdk 013 Penyakit Mata
Page 2: Cdk 013 Penyakit Mata

No.13,1978

Pcmeriksaan mata dengan slit-lamp.

CerminDuniaKedokteran

lnternational Standard Serial Number : 0125 — 913X

Majalah triwulanditerbitkan oleh :Pusat Penelitian dan Pengembangan P.T. Kalbe Farma dandipersembahkan secara cuma-cuma

Daftar isi

4 EDITORIAL

ARTIKEL

KORTIKOSTEROID DAN KELAINAN MATA

GONOBLENNORRHEA NEONATORUM

CORPUS ALIENUM INTRA OCULI

KOMPLIKASI OFTALMOLOGIK DARI MENINGITIS

HERPES ZOSTER OPHTHALMICUS

EKSTRAKSI CATARACT

24 CARCINOMA COLON DI R S SUMBER WARAS

28 KERACUNAN Pb.

34 PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN DIFICIENCY VITAMIN A.

36 RESENSI BUKU

37 HUMOR ILMU KEDOKTERAN

38 CATATAN SINGKAT

41 RUANG PENYEGAR DAN PENAMBAH ILMU KE-DOKTERAN

42 PENGALAMAN PRAKTEK

43 KAMI TELAH MEMBACA UNTUK ANDA : ABSTRAK—ABSTRAK

45 UNIVERSITARIA

5

8

13

1519

21

Page 3: Cdk 013 Penyakit Mata

Penglibatan yang cukup jelas merupakan unsur mutlak untuk kehidupan yang nor-mal. Kekurangan penglihatan atau kehilangan indera ini akan mengakibatkan derita yangbesar sekali. Kebutaan oleh kekurangan vitamin dan/atau infeksi masih sering ditemukanditanah air kita.

Sesungguhnya banyak yang dapat dilaksanakan oleh dokter yang berpraktek umumdalam usaha ikut mengurangi bahaya kebutaan.

Sebagai pos terdepan pelayanan kesehatan, seperti di Pusat Kesehatan Masyarakat,kelainan-kelainan pada mata paling dini dapat dijumpai untuk mana dapat diberikan pe-tunjuk-petunjuk dan/atau pengobatan yang cepat dan tepat.

Dengan tidak mengirim tiap penderita sakit mata ke dokter ahli mata ia akan ikutmeringankan biaya pengobatan dan juga mengurangi kehilangan waktu untuk penderita-penderita tadi. Sekaligus ia akan mengurangi kepadatan pengunjung Bagian Ilmu PenyakitMata di rumah sakit.

Tentunya semua ini perlu disertai dengan sikap mawas diri agar tindakan-tindakan ta-di justru tidak merugikan penderita-penderita penyakit mata.

Dalam nomor ini telah kami sajikan naskah-naskah yang mudah-mudahan dapat mem-bantu teman-teman sejawat dalam melakukan tugas mulia ini.

Redaksi.

4 Cermin Dunia Kedokteran No. 13. 1978

Page 4: Cdk 013 Penyakit Mata

KORTIKOSTEROID & KELAINAN MATA

dr Tjahjo NugrohoBagian Mata

Fakultas Kedokteran Universitas DiponegoroSemarang

PENDAHULUANSekitar tahun 1950 Kortikosteroid mulai dikenal oleh dunia

kedokteran. Preparat Kortikosteroid (K S) terus dikembang-kan, banyak modifikasi dan sintesa baru dari preparat ini,sehingga saat ini K S bukan merupakan obat baru lagi. Ma-lah ada yang menganggap bahwa K S pada keadaan tertentumerupakan "a life saving drug". Memang tidak perlu disang-kal lagi, misalnya menghadapi suatu anaphylaktik shock,serangan asma yang berat dan sebagainya preparat K S inisangat berguna sekali.

Dalam dunia farmasi preparat K S dikenal sebagai tablet,spray, suntikan,supositoria, salep dan obat tetes.

Pada korteks Adrenal disintesa tiga macam steroid yaitu :( i ) Oestrogen steroid ( ii ) Androgen steroid ( iii )Kortikosteroid. Yang terakhir ini mencakup :

(1) Hydrocortison (cortisol) yang berfungsi sebagaiglucocorticoid dan mempunyai peran dalam mengatur me-tabolisme karbohidrat, protein dan lemak.

(2) Aldosteron yang berfungsi sebagai mineralocorticoiddan mempunyai peran dalam mengatur metabolisme air dangaram-garam.Kerja K S pada pemakaian topikal umumnya adalah sebagaiberikut :

• anti inflamasi.• menghambat reaksi allergi.• mengurangi/membatasi permeabilitas membran.• menekan terjadinya jaringan granulasi dengan jalanmencegah proliferasi sel.• mengakibatkan vasokonstriksi, sehingga ektravasasi se-rum dicegah dan mengurangi oedem serta rasa gatal.

Pada pengamatan telah diketahui bahwa efek K S topikalakan menurun bila dipergunakan dalam jangka lama (beberapaminggu). Tetapi efek ini akan segera muncul kembali biladigunakan preparat K S yang lain atau bila aplikasi K Sdihentikan sementara untuk kemudian dipakai lagi. Gejalatoleransi yang muncul kembali ini disebut Tachyphylaxis.Mengingat adanya gelaja tersebut maka K S topikal sebaiknyadigunakan secara periodik dari pada dipakai secara kontinyu.

Bagaimana tentang konsentrasi suatu preparat K S padapemakaian topikal ? Pada umumnya dianggap bahwa preparatdengan konsentrasi tinggi akan bekerja lebih baik dan mempu-

nyai efek yang lebih kuat.WARNER dan HANSEN menggunakan preparatbetamethasonevalerate dalam konsentrasi 0, 1% dan 1% sebagai obat kulit,ternyata tidak ada perbedaan respons pada pengobatanDiscoid Lupus Erythematosus.ALLAN KUPFERMAN dan HOWARD M LElBOWIIZ dalampenyelidikannya dengan prednisolone acetate 0,125% dan1 % sebagai tetes mata. Hasilnya tidak ada perbedaan yangbermakna dari konsentrasi kedua preparat tersebut padacornea maupun dalam cairan humor. Juga tidak ada perbedaanyang bermakna mengenai kemampuan untuk menekan infla-masi pada cornea.

Untuk mengetahui obat-obat mata yang berisi K S dibawah initercantum beberapa nama salep mata atau tetes mata.

Salep mata : Tetes mata :Cetapred (Alcon) Adremycin (Organon )Cortamycin (Dupa) Cendocorton ( cendo)Cortimycin (Medial) Cclestone (Schering U S A)Dellamicos (Dupa) Cendoxitrol (Cendo)Enpicortin (Nicholas) Decadron ( M S D)Kaltetracort (Kalbe) Neocortcf (Upjohn)Kemicort (C Erba) Sofradex ( Roussel)Maxitrol (Alcon) Sterofrin ( Alcon )Scheroson F (Schering A G) dan lain-lain.Terracortil (Pfizer)Ultralan (Schering A G)

Pemakaian K S secara sistemik umumnya dimulai dengandosis yang tinggi, kemudian secara bertahap dosis diturunkansampai mencapai dosis yang menetap dan optimal atau do-sis diturunkan kemudian terapi dihentikan. Alasan ini meng-ingat adanya efek-efek atau komplikasi-komplikasi yang tidakmenguntungkan. Bila terjadi keracunan K S keadaan ini dise-but Hypercorticisme atau manifestasi Cushingoid (KORST ).

Saat ini telah banyak beredar macam-macam modifikasidari preparat K S yang tentunya dengan sifat-sifat farmakologisyang berbeda-beda. Adapun perbedaan ini terutama ditekankanpada efek anti-inflamasi dan efek retensi natrium. Untukmendapatkan gambaran yang lebih jelas dari perbedaan efekini dikutipkan tabel dari preparat-preparat K S dibandingkandengan Hydrokortison ( PEARN).

Cermin Dunia Kedokteran No. 13. 1978 5

Page 5: Cdk 013 Penyakit Mata

RELATIVE ANTI RELATIVE SODIUMPREPARAT

INFLAMATORY INDEX RETAINING INDEX

Hydrocortison 1 1Cortisone 0,8 0,8Prednisone 4 0,8Prednisolone 3,5 0,8Methyl Prednisolone 5 0Triamcinolone 5 0Betamethasone 25 0Dexamethasone 25 0Fludrocortisone 15 125

Dibawah ini disusun beberapa macam tablet/injeksi K S yang ada dalampasaran

( 1 ) Prednisone 5 mg/Prednisolone 5 mg :Prednison ( Soho )Dellacorta ( Dupa )Hostacortin ( Hoeschst )Pehacort ( Phapros )

( 2) Cortisone acetat 25 mg/ml : Cortone injeksi ( MSD )( 3) Betamethasone 0,5 mg : Celestone ( Schering USA)( 4) Triamcinolone4 mg : Drenacort ( Dupa )

Kenacort ( Squibb)( 5 ) Fluocortolone : Ultralan ( Schering A G)( 6) Dexamethasone 0,5 mg : Cetadexon ( Soho )

Corsona ( Phapros )Cortoral ( Konimex )Decadron ( MSD )Decilon—C ( Westmont )Deltafluorene ( Lepetit )Dexanel ( Nelco )Dexa—M ( Dexa )Dexascheroson ( Schering A G )Kalmethason ( Kalbe )Oradexon ( Organon )

dan lain-lain.

KELAINAN MATA YANG MERUPAKAN KONTRA INDI -

KASI PEMBERIAN KORTIKOSTEROIDq Trachoma.–Preparat K S akan mengakibatkan Trachomayang sudah tenang menjadi aktip kembali.q Herpes Corneae. –Penyakit ini disebabkan oleh virus HerpesSimplex dan K S merupakan kontra indikasi.q Semua kelainan cornea dimana Test Fluorescein hasilnya

positip.– Ini berarti ada kerusakan epitel cornea. Karena K Sakan menghambat epitelisasi akibatnya kerusakan cornea akanmenjadi lebih parah.q Glaucoma.– Pemberian K S pada kasus suspek glaucomasimplex akan jelas menaikan tekanan intra okuler. Akibatnyasaraf optikus akan mengalami kerusakan dan penglihatanmenjadi kabur. Pada 92% kasus glaucoma simplex ternyatasangat sensitip terhadap pemberian K S topikal ini.JOHN F BIGGER dkk memberikan K S topikal pada populasinormal untuk beberapa minggu dan didapatkan perubahan-perubahan tekanan intra okuler sebagai berikut :

• kenaikan minimal 58 %.•kenaikan sedang 36 %.• kenaikan maksimal 6 %.

KELAINAN MATA YANG MERUPAKAN INDIKASI PEM-BERIAN KORTIKOSTEROIDq Juvenile Rheumatoid Arthritis.– Penyakit ini sering mem-berikan komplikasi Iridocyclitis/Uveitis. Efek K S pada ke-adaan ini baik sekali.

q Lues, Tbc, Lepra. – Manifestasi pada mata sebagai kerati-tis profunda atau Uveitis. Pada keadaan ini K S dapat menekaninflamasi, mengurangi oedem,menyembuhkan infiltrat corneadan mencegah terjadinya jaringan parut pada cornea.q Syndroma arteritiscranialis, syndroma arteritis temporalis,

Giant cell arteritis.– Penyakit ini kebanyakan dijumpai pa-da orang tua sekitar umur 50 tahun. Arteria temporalis me-nebal, berbenjol-benjol dan tidak berdenyut.

Dapat menye-babkan kebutaan yang permanen karena terjadinya thrombosisarteria centralis retinae. Disini preparat K S perlu diberikansegera untuk mencegah kebutaan.q Neuritis Optica. – K S pada keadaan ini cepat mengembali-kan visus yang menurun dengan jalan mengurangi oedema danmenekan proses inflamasi pada nervus opticus.q Ocular Myasthenia. – Kasus ini sering sukar sembuh dengananti-cholinesterase. Dengan preparat K S gejala diplopia dapatpelan-pelan hilang dan kadang-kadang parese/paralyse otot-ototmata dapat disembuhkan. (GIBBERD dkk 1971, FISCHER& SCHWARTZMAN 1974 ).q Pseudo tumor orbitae. – Suatu proses yang membutuhkanruangan di dalam orbita dan berakibat exophthalmus. Hal initidak termasuk neoplasma, haematoma, granulasi spesifikmaupun banal dan endokrin exophthalmus. Banyak kasus-kasus ini berhasil baik dengan terapi Prednison. Proptosis dapatkembali, perbaikan pergerakan bola mata, kenaikan visus danperbaikan keadaan fundus mata ( JE L L IN E K 1969 ). Teta-pi................................... pseudo tumor orbitae ini sukar didiagnosa.Perlu difikirkan diferensial diagnosa yang luas antara lain :thyreotoxicosis, reticulosis, tumor nasopharynx, tumor orbitae,tumor cranium bagian depan.KOMPLIKASI MATA PADA PENGOBATAN DENGANKORTIKOSTEROIDq Nephrotic Syndrome. – Pengobatan penyakit ini pada anak-anak berhasil baik dengan K S. Tetapi dibalik keberhasilan inikerapkali timbul reaksi sampingan berupa posterior subcapsularcataract. Terutama pada anak-anak dengan manifestasiCushingoid.

BLACK R L( 1960 ) meyakinkan adanya hubunganyang pasti antara Posterior subcapsular cataract dengan K S.LORETO dkk mendapatkan 16 kasus cataract tersebut dari48 penderita Nephrotic Syndrome yang mendapat pengobatandengan K S.q Pseudo tumor cerebri. – ( Meningkatnya tekanan intrakranialyang benigna ). Dijumpai pada anak-anak dengan terapi K Syang lama, kira-kira setahun dimana setelah itu terapi dihenti-kan. Gejala yang timbul adalah : sakit kepala, penglihatankabur, bendungan papila N II dan kadang-kadang diplopia ka-rena terjadi parase saraf Abducens.q Exophthalmus.– Keadaan ini terjadi pada pemakaian K Syang bertahun-tahun lamanya ( HENKES 1968 ).q Alopecia areata.– Kelainanini yang diobati dengan suntikansuspensi K S intradermal setempat dapat menyebabkan ke-butaan karena timbulnya emboli pada fundus mata. Dijumpaitiga kasus wanita yang mendadak kabur penglihatannyapada satu mata yang homolateral dengan tempat suntikan. Duawanita tadi akhirnya menderita kebutaan permanen, sedangwanita lain visus perlahan-lahan dapat kembali lagi (DEBRA

6 Cermin Dunia Kedokteran No. 13 1978

Page 6: Cdk 013 Penyakit Mata

RICCIATTI & ROBERT S LESTER ).

KESIMPULANJelas sudah bahwa K S merupakan obat yang tidak boleh

diabaikan. Tetapi betapapun baiknya efek K S bagi sesuatupenyakit, masih perlu juga diperhatikan adanya kontra indikasipada saat K S mutlak diperlukan. Karena yang dihadap bukansaja satu organ tertentu, tetapi manusia secara keseluruhan.Misalnya untuk mengobati penyakit mata dengan K S perluditeliti lebih dahulu apakah penderita menderita hypertensi,diabetes mellitus, ulcus ventrikuli, tuberculosis, radang ginjalyang berat, infeksi virus yang akut, gangguan psyche, epilepsi,osteoporosis dan sebagainya............ dan sebagainya. Akhirnyapada penggunaan K S perlu diusahakan :

•jangka pengobatan yang pendek.

•dosis terapi yang rendah.

•frekwensi terapi yang jarang.•mengingat kontra indikasi.

KEPUSTAKAAN1. BIGGER et al : Correlation responsc with primary open angle

glaucoma and ocular corticostcroid scnsitivity. Am J Oph 79( 1 ), Jarr 1975.

2. COST W S: Toepassing en complicaties van corticosteroidtherapie. Ned T V G. No : 39 1508, 1977.

3. FORMAN et al : Reversibility of corticosteroid associatedcataract in children with the nephrotic syndrome. Am JOph 84( 1):75,1977.

4. Indonesia Index of Medical Specialties. 5 ( 3 ) : 97 - 188, 191,Oct 1976.

5. KORST J K : De toepassing van corticostcroiden in derheumatologie. Ned T V G. 40 : 1554, Okt 1977,

6. KUPFERMAN et al : Biological cquivalence ofophthalmicprednisolone acetate suspensions. Am J Oph 82 ( 1) : 109,July 1976.

7. PEARN J H: Use of corticosteroids in chlidhood discase.Med Progr 3 (11) : 23, Nov 1976.

8. RICCIATTI et al : Topical corticosteroid therapy. Mod Med of A.14 ( 1 ) : 11, Jan 1978.

9. SNEDDON I B : Clinical use of topical corticostcroids.Med Progr 3 ( 9 ) : 39, Sept 1976.

10. STAAL A : Corticosteroiden in de neuralogie. Ned T V G 18 :786, Mei 1976.

Sambungan dari halaman .................. 46

kin dilakukan.Banyak lagi topik-topik menarik yang dibicarakan selama

dua hari symposium tersebut. Sebagian besar membahas seca-ra umum keadaan darurat yang perlu diketahui oleh dokter-dokter umum dalam tugasnya sehari-hari.

Nampaknya Panitia cukup berhasil dalam penyelenggaraan,hal ini terbukti dari hasil questionair yang berhasil dikumpul-kan serta langsung disajikan pada seluruh peserta waktu pe-nutupan symposium. Dikatakan oleh Panitia kemung-kinan dalam waktu dekat akan diadakan symposium serupayang akan membahas topik-topik kedaruratan, berhubungluasnya bidang dan besarnya minat. q

SYMPOSIUM TUBERKULOSA MASA KINI

Pada 23 September 1978 di Surabaya telah berlang-sung symposium Tuberkulosa Masa Kini. Symposium yang di-selenggarakan oleh Ikatan Dokter Ahli Paru Indonesia CabangSurabaya ini diikuti oleh kurang lebih 150 peserta terutamadatang dari kota kota sekitar Surabaya, serta beberapa pesertadari Jakarta.

Pada Symposium tersebut dibahas 19 naskah kerja yang di-bawakan oleh pembicara dari Surabaya, Yogyakarta, Jakartadan seorang pembicara dari Perancis. Masalah yang dibahasseluruhnya berkaitan dengan Tuberkulosis. Mulai dari Programpemberantasan tuberkulosis di Jawa Timur, Reaksi Tuberkulin,Isolasi kuman tbc, Aspek pathologik anatomik, Pengelolaanpenderita, Pengalaman penggunaan berbagai jenis tuberkulos-tatika, serta berbagai aspek dari beberapa cabang ilmu kedok-teran yang mempunyai kaitan dengan tuberkulosa.

Hal yang cukup menarik yang dibawakan oleh seorang pem-bicara dari Jakarta adalah, antara lain dikatakan bahwa peme-riksaan bakteriologik lebih sensitif dari pada radiologik.Dimana pemeriksaan bakteriologik merupakan sarana penting

dalam pengobatan tuberkulosis paru, bukan saja lebih murahdibanding pemeriksaan radiologik tetapi juga lebih bersifatinformatif dalam segi diagnostik ; penentuan prognosa sertapenentuan gagal atau kambuhnya penyakit. Selanjutnya dika-takan oleh pembicara bahwa evaluasi radiologi dapat me-nyesatkan pengobatan, sehingga pengobatan yang berlebihanatau salah pengobatan dapat terjadi.q

DOKTER BARU FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS PAJAJARAN

Pada tanggal 11 Juli 1978, Fakultas KedokteranUniversitas Pajajaran Bandung telah melantik 12 dok-ter baru lulusan periode 1I-1978. Kedua belas dokterbaru tersebut adalah :

dr Diding Sjamsudindr Chusnan Dasukidr Kriswandi Kaswandadr Subagdja Nata'atmadjadr Suparman Gagandr Abdul Bachruman Sjukurdr Maria Ulfah Asmunidr Ny Lyna Soertidewi N Kdr Ny Mathilda Ivonne I Kdr Agustine Poernomowatidr Herman Wihandojodr Eddy Suhardi Sarim

Dengan demikian jumlah dokter yang telah dihasil-kan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Pajajaransejak berdirinya tahun 1957 sampai periode 11-1978adalah 986 dokter. q

Cermin Dunia Kedoktcran No. 13. 1978 7

Page 7: Cdk 013 Penyakit Mata

GONOBLENNORREA NEONATORUM

dr Siti Tjahjono, dr WidagdoBagian Mata Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/

R S Dr KariadiSemarang

PENDAHULUAN.Sampai saat ini Gonorrhea masih merupakan problem di

seluruh dunia, bahkan di negara-negara yang sudah sangat majusekalipun. Suburnya prostitusi, kurangnya kesadaran berobatsampai sembuh; kurangnya pengertian masyarakat sertaadanya phenomena pingpong mempersulit pemberantasangonorrhea. Malangnya penyakit ini bisa menyebar ke mata,bahkan juga mengenai mata bayi-bayi yang baru lahir.

Penyakit ini termasuk golongan oculo-genital diseaseyakni penyakit dari tractus genitalis yang dapat menyebarke mata. Lebih lanjut dapat merusak cornea dan lebih kedalam lagi menyebar ke rongga orbita berakibat menurunnyavisus bahkan kebutaan total.

Berbagai usaha telah diambil guna melindungi mata bayi-bayi yang baru dilahirkan dari penyakit ini, namun masihdidapatkan beberapa kegagalan.

GEJALA KLINIKGonoblennorrhea neonatorum adalah conjunctivitis puru-

lenta yang disebabkan Neisseriagonorrhoeae. Kuman-kumanyang berada pada jalan lahir menyebabkan infeksi pada matabayi yang baru dilahirkan. Masa inkubasi menurut MAY adalah12 jam sampai tiga hari, sedang menurut DUKE ELDERadalah satu sampai tiga hari.

Pada penyakit ini dikenal beberapa stadium :q Stadium infiltrasi. — Setelah masa inkubasi, mata terlihatbengkak dan merah, palpebra sangat oedematous dan tegang.Untuk dapat melakukan pemeriksaan sering mata harus kitabuka dengan spatula. Dari rima palpebra keluar sekret se-rous/sero-sanguinus, sedikit purulent. Kelenjar lymphe preau-riculair dapat pula membengkak, bahkan dapat sampai timbulsupurasi. Suhu tubuh naik. Pada preparat hapus sekret matayang dicat dengan pewarnaan Gram, didapatkan kuman Ngonorrhoeae dan erythrocyt.q Stadium blennorrhea . — Setelah lima hari supurasi makinmenghebat dan sekret menjadi purulent. Pada saat ini mudahtimbul ulkus cornea karena epitel cornea rusak disana-sinidisertai tanda-tanda nekrosis. Bila keadaan ini dibiarkan tanpapengobatan, terjadilah ulkus cornea perforatus dan kumanmulai masuk ke dalam bola mata dan mengakibatkan endoph-thalmitis. Kuman bahkan dapat menjalar ke jaringan ronggaorbita dan menimbulkan tanda-tanda panophthalmitis. Ini

merupakan komplikasi terberat.Pada stadium ini pemeriksaan preparat hapus sekret mata

akan dijumpai kuman N gonorrhoeae serta leucocyt p m n.q Stadium penyembuhan.— Pembengkakan mulai berkurang,nyeri berkurang, discharge akan menghilang dalam waktudua sampai tiga minggu akan tetapi cornea sudah mengalamikehancuran total dan timbul jaringan parut sedangkan con-junctiva tetap merah dan tebal sampai beberapa minggu.

Diagnosa gonoblenorrhea neonatorum ditegakkan denganadanya gejala klinik yang tersebut diatas dan pemeriksaanpreparat hapus sekret mata yang mengandung kuman Ngonorrhoeae.

DIFFERENTTAL DIAGNOSAq Inclusion conjunctivitis. — Suatu conjunctivitis purulentayang disebabkan oleh Chlamidya oculo-genitale. Radang inisering menyerang bayi-bayi yang lahir dari ibu yang men-derita urethritis nonspecificans. Keadaan penyakitnya tidaksehebat gonoblenorrhea. Terjadi conjunctivitis yang diffusdan dapat sembuh sendiri tanpa jaringan parut atau rusaknyacornea. Masa inkubasi adalah sekitar tujuh hari dan peme-riksaan hapus sekret mata tidak ditemukan kuman gono-coccus. Pada pemeriksaan scraping epithel conjunctiva di-dapatkan inclusion bodies.qDacryostenosis/dacryocystitis. Pada kelainan ini yangmenonjol adalah keluarnya sekret serous (D D dengan gono-blenorrhea stadium infiltrasi). Mata nrocos terus menerusdan terlihat kotor. Keadaan ini juga sering mengenai bayi.Pada pemeriksaan hapus sekret mata tidak ditemukan kumangonococcus, pada spoeling canalis lacrimalis hasilnya buntu.

KOMPLIKASIq Ulkul cornea. — Letak ulkus umumnya di marginal, akantetapi dapat juga disentral. Ulkus corneae sentralis inilah yangpaling cepat mengalami nekrosis dan terjadi perforasi.

q Endophthalmitis , Panophthalmitis. Kedua hal ini dapat ber-akhir dengan kebutaan total.

PROGNOSAApabila penderita mendapat pengobatan yang baik pada

minggu pertama(masih dalam stadium infiltrasi), biasanya akan

8 Cermin Dunia Kedokteran No. 1 3. 1978

Page 8: Cdk 013 Penyakit Mata

sembuh sempurna tanpa bekas. Sedangkan bila pengobatanpada minggu kedua maka penyembuhannya akan disertaileucoma atau leucoma adhaerens. Apabila pengobatan barudiberikan pada minggu ketiga, maka walaupun dapat sembuhakan disertai kebutaan total akibat terjadinya phthisis bulbi.

Untunglah pada umumnya penderita-penderita gonoblen-norrhea neonatorum datang berobat pada minggu pertama,sebab perhatian orang tua terhadap bayi biasanya cukup baiksehingga cepat mencari pengobatan.

PENGOBATANGonoblennorrhea neonatorum stadium infiltrasi dan

stadium blennorrhea sangat infeksius, sehingga perlu dirawat dan diisolasi. Sekret harus selalu dibersihkan dari per-mukaan mata.

Topikal diberikan tetes mata, umumnya tetes antibiotikaseperti Neosporin; Statrol; Soframycin atau Sodium penicil-lin yang dibuat tetes mata 10.000 IU/cc. Pemberian harussesering mungkin, dapat 15 menit, 30 menit atau tiap jamtergantung hebatnya proses. Pengobatan dihentikan sampaipemeriksaan sekret mata tidak ditemukan N gonorrhoeaelagi. Juga diberikan antibiotika secara sistemik.

PENCEGAHANYang paling utama adalah pengobatan terhadap ibu bayi.

Sedang terhadap bayinya dikenal berbagai macam cara pen-cegahan/prophylaxis.

q Prophylaxis secara CREDE. Usaha pencegahan ini dicetuskan pada tahun 1881 oleh CARL SIEGMUND FRANC CRE-DE (1879). PadE metoda ini dipakai AgNO 3 2% satu tetespada mata bayi-bayi yang baru dilahirkan. AgNO 3 mempu-nyai daya bakterisid terhadap kuman gonococcus. Cara initernyata sangat efektif, dimana timbulnya ophthalmia neo-natorum diklinik obstetri CREDE di Leipzig ini berhasilditurunkan dari 7,8% menjadi hanya 0,17%.

Di Amerika, BARSAM (1958) menyelidiki jumlah kebuta-an akibat gonoblennorrhea neonatorum pada anak-anaksekolah. Angka ini dibandingkan dengan jumlah bayi-bayiyang mendapat prophylaxis CREDE pada tahun anak-anaktersebut dilahirkan. Ternyata pada tahun 1958 didapatkanangka 0,3%.

Silver Conjunctivitis atau chemical conjunctivitis seringterjadi pada pencegahan secara CREDE ini. Tetapi keadaanini menjadi jauh berkurang setelah digunakan konsentrasiAgNO 3 yang lebih encer, yaitu 1%. Tetapi disini pelaksanaan-nya menjadi kurang praktis sebab AgNO 3 inipun sering ber-ubah konsentrasinya. Apabila mengalami evaporasi dan de-komposisi oleh cahaya, konsentrasi menjadi lebih pekat danini bisa menimbulkan silver conjunctivitis lagi. Kekurang-praktisan dan mudah berubahnya konsentrasi AgNO 3 1 %ini, menyebabkan pemakaian AgNO 3 1 % kurang disukai.

Untuk mengatasi ini semua telah dilakukan berbagai usa-ha. Di negara Belanda diusahakan larutan AgNO 3 yang dimasukkan dalam ampul untuk pemakaian satu kali. Namunperlu juga berhati-hati terhadap kemungkinan masuknyabagian-bagian kecil gelas ke dalam mata.

Pada tahun 1976 LOENDERSLOOT mengutarakan adanya

anjuran pemakaian 10 ml larutan AgNO 3 dalam flexiole.Larutan ini tidak akan mengendap pada dinding dan dapatdisimpan selama setengah tahun.q Prophylaxis dengan antibiotika. Drug of choice adalahpenisilin, walaupun pemakaian tetes penisilin banyak yangmenentangnya. Pada percobaan-percobaan dikatakan hasil-nya cukup baik namun sering menimbulkan hypersensitivitydan mata menjadi kemerahan. Juga dilakukan percobaanpercobaan dengan erythromycin (WOCHTER dan PENNO-YER, 1956) dengan hasil baik. MARGILETH (1757) men-coba memakai bacitracin, sedangkan MARTINEZ dkk (1952)mencoba efek pemakaian Terramycin dengan hasil baik.Menurut MASSEY dkk (1976) pemakaian tetracyclin H Cltopikal pada mata hanya mempunyai efek bakteriostatik.Dalam bentuk salep 1 — 2%, efek bakteriostatiknya hanyasekitar enam jam.

Bentuk-bentuk lain lebih singkat lagi, dalam bentuk oli1% efeknya kurang dari dua jam. Sedangkan larutan dalamair 1% atau 2% efek bakteriostatiknya kurang dari 20 menit.Hasil penyelidikan ini sesuai dengan pendapat BARSAMdkk yang berpendapat bahwa pencegahan dengan AgNO 3

1 % (yang mempunyai efek bakterisid) hasilnya lebih baikbila dibandingkan dengan cara-cara yang lain.

DATA YANG DAPAT DIKUMPULKAN DI BAGIAN MATAFK-UNDIP/RSDK

Angka-angka gonoblennorrhea neonatorum di Indonesiakurang kami ketahui, juga jenis prophylaxis apa yang diguna-kan di kota-kota lain di Indonesia ini. Sebagai ilustrasi kamilaporkan kasus-kasus gonoblennorrhea neonatorum yangberobat dibagian mata F K-UNDIP/RSDK Semarang selamaempat tahun (1974 — 1977).

TABEL 1 : JUMLAH PENDERITA GONOBLENNORRHEAYANG BEROBAT DI BAGIAN MATA F K-UNDIP/RS DR KARIADI, SEMARANG (1974-1977).

Gonoblennorrhea Gonoblennorrhea

ThNeonatorum Anak & Dewasa Juml se-

Pria Wanita Jumlah % Pria Wnt Jumlhluruhnya

1974 16 17 33 (76,9%) 3 7 10 431975 13 10 23 (56,1%) 8 10 18 411976 14 20 34 ( 61,8%) 14 7 21 551977 15 22 37 ( 49,3%) 24 14 38 75

58 69 127 (59,4%) 49 38 87 214

Dari kedua tabel 1 dan 2 terlihat jelas bahwa penderi-ta-penderita gonoblennorrhea neonatorum baik yang ber-obat maupun yang dirawat, selalu lebih banyak dibandingkanpenderita-penderita dewasa dan anak-anak. Prosentase rata-rata penderita neonatus yang berobat = 59,4% sedangkan yangdirawat = 72,9% dari seluruh penderita. Ini menunjukkanperhatian orang tua terhadap penyakit bayinya jauh lebihbesar dibandingkan penderita-penderita yang lebih dewasa,dimana pengobatannya selalu ditunda-tunda atau bahkan tidakberobat sama sekali. Kemungkinan lain adalah jumlah kasusdewasa dan anak-anak memang lebih sedikit dibanding neo-natus.

Cermin Dunia Kedokteran No. 1 3. 1978 11

Page 9: Cdk 013 Penyakit Mata

TABEL 2 :JUMLAH PENDERITA GONOBLENNORRHEAYANG BEROBAT DI BAGIAN MATA F K-UNDIP/RS DR KARIADI, SEMARANG (1974-1977).

Th Gonoblennorrhea Gonoblennorrhea Jumlh se-Neonatorum Anak & Dewasa luruhnya

Pria Wanita Jumlah % Pria Wnt Jumlh

1974 3 2 5 (62,5%) 3 — 3 81975 13 10 23 (77,0%) 4 2 6 291976 12 15 27 (70,1%) 10 1 11 381977 10 21 31 (72,1%) 4 8 12 43

38 48 86 (72,9%) 21 11 32 118

Apabila kedua tabel tersebut kita perhatikan, tampakbahwa penderita-penderita yang menolak untuk dirawat se-makin sedikit. (Perlu diingat bahwa penderita-penderita neo-natus umumnya berobat pada stadium awal, jadi harus dirawat). Pada tahun 1974 terdapat 33 penderita neonatusyang berobat. Dari jumlah ini hanya lima penderita yangmau dirawat. Dalam tahun 1975 semua penderita neonatusbersedia dirawat (23 penderita). Sedangkan pada tahun 1976dan 1977 masih ada tujuh dan enam penderita yang menolakdirawat. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran berobat sam-

pai sembuh sudah semakin tinggi walaupun belum memuas-kan benar. Namun harus diingat kemungkinan penuhnyatempat dimana penderita sementara terpaksa berobat jalan.Dengan penerangan yang lebih intensif dan kesadaran ber-obat yang makin tinggi, diharapkan di tahun-tahun men-datang tidak ada penderita gonoblennorrhea yang menolakuntuk dirawat.

KEPUSTAKAAN

1. BARSAM P C: Specific prophylaxis of gonorrheal ophthalmianeonatorum. New Engl JMed 274:731-734, 1966.

2. CREDE: Report from the obstetrical clinic in Leipzig, Preven-tion of eye inflamation in the newborn.AmJDisChild 121:3-5,1971.

3. DUKE ELDER S: System ofophthalmology Vol-lll, part-1.London. Henry Kimpton, 1965.

4. FORBES G B AND FORBES G M: Silver nitrate and theeyes of the newborn. Am JDis Child 121:1-3, 1971.

5. HEIDE JVD: Blennorrheae neonatorum. Ned T Geneesk121:1190, 1977.

6. MASSEY et al: Effect of drug vehicie on human ocular retentionof topically applied tetracycline. Am J of Opht 81 (2):151-156, 1976.

7. PERRERA C A: May 's manual of the disease of the e ye. 21 thed. Baltimore. William and Wilkins Coy, 1957.

DON'T RISK YOUR GOOD MEDICAL REPUTATION !Always have a few ampoules of K A L M E T H A S O N E ® ready to save life inemergency cases :

o ANAPHYLACTIC SHOCKSTATUS ASTHMATICUSHEPATIC COMA

• PEMPHIGUS VULGARIS

COMPOSITION :each ampoule contains Dexamethasone Sodium Phosphateequivalent to Dexamethasone Phosphate .....................4.0 mg

DOSAGE:I.V. or I.M. dose ranges from 4 to 20 mg depending onthe severity of the disease.

PRESENTATION:Boxes of 3 ampoules of 1 ml KALMETHASONE® injections.

12 Cermin Dunia Kedokteran No. 13. 1978

Page 10: Cdk 013 Penyakit Mata

CORPUS ALIENUM INTRA O CULI

dr M Sitepu, dr Chairul Bahri A D, dr Mohd D MahmudBagian Penyakit MataFakultas Kedokteran Universitas Sumatra UtaraMedan.

PENDAHULUAN.Corpus alienum intra oculi adalah suatu kasus emergency,

keadaan terdapatnya benda asing di dalam bola mata yang ber-asal dari luar. Pada keadaan ini harus secepatnya diberikan per-tolongan untuk mengeluarkan corpus alienum tersebut. Bilatidak maka dalam beberapa hari saja sudah terjadi perobahan-perobahan di dalam bola mata, sehingga kebutaan timbuldengan cepat. Penyakit ini jarang kita jumpai di Bagian Pe-nyakit Mata FK-USU/RSUPP, Medan. Yang sering kita jumpaiadalah corpus alienum extra oculi misalnya di cornea danconjunctiva.

KASUS

Seorang laki-laki 39 tahun, pekerjaan supir, telah datangke Bagian Mata RSUPP dengan anamnesa sebagai berikut :

Mata kanan sakit sejak dua hari yang lalu, hal ini disebabkan waktupasien memukul besi dengan martil maka pecahan besi masuk kedalam mata kanan. Sesudah kejadian (tanggal 24-4-1978) pasienlangsung berobat ke R S Ballge. Luka tempat masuk benda dijahitdan tidak nampak adanya benda asing di dalam mata tetapi padafoto nampak adanya benda asing. Di R S Balige penderita telah di-beri suntikan ATS serta antibiotika dan analgetika , lokal diberlsalep mata (menurut surat pengantar dokter). Pada saat itu peng-lihatan masih baik. Kemudian penderita dikirim ke Bagian MataRSUPP Medan. Pasien datang berobat tanggal 26-4-1978 pada waktudiperiksa ternyata penderlta hanya dapat melihat cahaya tetapiarah cahaya tidak dapat ditentukan.Pada pemeriksaan didapatkan visus mata kanan seper tak terhinggadengan proyeksi cahaya negatip. Tensi mata kanan secara digitalmeninggi, kedudukan mata kanan menonjol serta pergerakan ter-batas. Dldapatkan oedema palpebra superlor dan inferior matakanan dengan hyperemi dan oedem dari conjunctiva tarsalis supe-rior dan inferior. Pada conjunctiva bulbi bagian temporal terdapatluka yang sudah dijahit disertai dengan oedema dan hyperemi.Pada sclera terdapat luka yang telah dijahit dengan dua jahitan,nampak adanya ciliar injeksi. Terlihat adanya dilatasi pupil matakanan dengan reflek cahaya yang negatip serta tepi yang irreguler.Iris nampak coklat dan kurang berkilat. Lensa mata kanan nampakkeruh dan corpus vitreus tak dapat dilihat : Fundus oculi tak dapatdilihat, fundus reflek negatip serta placido test irreguler.

q Diagnosa. Dari hasil pemeriksaan tersebut diatas kami berkesim-pulan bahwa penderita menderita Uveitis anterior mata kanan de-ngan corpus allenum intra oculi.

q Pengobatan. Penderita kami rawat dan dilakukan enukleasimata kanan pada tanggal 27-6-1978. Pada waktu operasi, setelah

bola mata dibuka ternyata terdapat corpus alienum di dalam corpusvitreus. Penderita kami beri antlbiotika per injeksi selama limahari dilanjutkan dengan per os selama tujuh hari.

TINJAUAN KEPUSTAKAANApabila suatu corpus alienum masuk kedalam bola mata,

maka biasanya terjadi reaksi infeksi yang hebat serta timbulk erusakan dari isi bola mata danterjadi iridocyclitis serta pano-phthalmitis. Karena itu perlu cepat mengenali benda asingtersebut dan menentukan lokalisasinya di dalam bola matauntuk kemudian mengeluarkannya.

Beratnya kerusakan pada organ-organ di dalam bola matatergantung dari besarnya corpus alienum; kecepatannya ma-suk; ada atau tidaknya proses infeksi dan jenis bendanyasendiri. Bila benda ini berada pada segmen depan dari bola ma-ta hal ini kurang berbahaya jika dibandingkan dengan bilabenda ini terdapat di dalam segmen belakang.Jika suatu benda masuk ke dalam bola mata, maka akan ter-jadi salah satu dari ketiga perobahan berikut :

(1) Mechanical effect(2) Permulaan terjadinya proses infeksi(3) Terjadinya perobahan-perobahan spesifik pada jaring-

an mata karena proses kimiawi (reaction of oculartissue).

qMechanical effect. — Benda yang masuk ke dalam bola matadapat melalui cornea ataupun sclera. Setelah benda ini me-nembus cornea maka ia masuk kedalam kamera oculi ante-rior dan mengendap kedasar. Bila kecil sekali dapat mengendapdi dalam sudut bilik mata. Bila benda ini terus, maka ia akanmenembus iris dan kalau mengenai lensa mata akan terjadicataract traumatica. Benda ini bisa juga tinggal di dalam cor-pus vitreus. Bila benda ini melekat di retina, biasanya kelihat-an sebagai bagian yang di kelilingi oleh eksudat yang berwarnaputih serta adanya endapan sel-sel darah merah, akhirnyaterjadi degenerasi retina.q Infeksi. — Dengan masuknya benda asing ke dalam bolamata, maka kemungkinan akan timbul infeksi. Corpus vi-treus dan lensa dapat merupakan media yang baik untuk per-tumbuhan kuman sehingga sering timbul infeksi supuratip.Juga kita tidak boleh melupakan infeksi dengan kuman tetanusdan gas gangren.

Cermin Dunia Kedokteran No. 13. 1978 13

Page 11: Cdk 013 Penyakit Mata

Reaction of ocular tissue. Reaksi bola mata terhadap corpusalienum adalah bermacam-macam dan ini ditentukan olehsifat kimia dari benda tersebut. Non organized material dapatmenimbulkan proliferasi dan infeksi dengan pembentukanjaringan granulasi.

DISKUSISetelah dilakukan enukleasi maka didapat adanya corpus

alienum (besi) di dalam corpus vitreus. Suatu benda yangmasuk ke dalam corpus vitreus dapat melalui beberapa jalan :(1) Melalui cornea —> iris —►lensa — ►corpus vitreus.(2) Melalui cornea —► pupil —►lensa —► corpus vitreus.(3) Melalui cornea—> iris —►. zonula Zinii —► corpus

vitreus(4) Melalui sclera corpus vitreus.

Yang sering dijumpai adalah cara (1) dan (3). Pada kasusini benda tersebut masuk dengan cara (4).

Benda asing yang masuk ke dalam corpus vitreus akanmengendap kedasar dan menimbulkan perobahan-perobahandegenerasi sehingga corpus vitreus akan menjadi encer. Olehkarena benda ini besi, maka akan terjadi dissosiasi elektrolitdengan corpus vitreus, dimana metal akan disebarkan kedalam jaringan dan akan bereaksi dengan protein sel, memati-kan sel dan terjadi atrophy. Keadaan ini disebut siderosis.

Pada pasien ini juga terjadi proses infeksi karena kumanturut masuk dan corpus vitreus merupakan media yang baikuntuk pertumbuhan kuman. Oleh sebab itu corpus alienumperlu dikeluarkan secepatnya. Pengeluaran corpus alienum daricorpus vitreus dapat dilakukan dengan dua cara yaitu : (i)Ekstraksi melalui anterior route. (ii) Ekstraksi melalui poste-rior route.Oleh karena pada penderita ini sudah terjadi iri-docyclitis dan visus yang sangat jelek maka tidak dilakukan

Tahukah anda bahwa..................????????

Ethambutol dapat menimbulkan toxic amblyopia.Gejalanya dimulai dengan gangguan visus axial atau para axial.Oleh sebab itu sangat dianjurkan sebelum pengobatan penderitatuberkulosis dengan Ethambutol dilakukan pemeriksaan mata.Juga dilakukan pemeriksaan mata ulangan setiap bulan. Bilatoxic amblyopia pada pengobatan ethambutol terjadi seyogya-nya segera menghentikan pemakaiannya.

Symposium tbc masa kini, Surabaya Sept 1978.

14 Cermin Dunia Kedokteran No. 13. 1978

lagi pengeluaran corpus alienum dengan ekstraksi tapi terusdilakukan enukleasi.

KESIMPULAN(1) Corpus alienum intra oculi jarang dijumpai di Bagian

Mata FK-USU/RSUPP, Medan(2) Corpus alienum harus secepatnya dikenali dan diketahui

lokalisasinya untuk secepatnya mengeluarkan corpusalienum tersebut.

(3) Pada pasien ini kalau secepatnya datang ke R S Matadimana fasilitas cukup lengkap kemungkinan dapat ditolong tanpa mengadakan enukleasi.

(4) Semua pekerja yang waktu melakukan pekerjaan dimana kemungkinan benda asing dapat mengenai mata,harus memakai kaca pelindung mata.

(5) Untuk menegakkan diagnosa corpus alienum intra oculiperlu dilakukan :

• Anamnesa yang baik• Pemeriksaan klinis• Fundus copi• Rontgen foto• Pemeriksaan dengan magnit.

KEPUSTAKAAN

1. DUKE ELDER S : Parsons ' Diseases of the eye. 15th ed J AChurchill ltd London 1970

2. PERRERA C A : May's manual of the diseases of the eye. 24th ed.Williams Wilkins Co. Baltimore, 1965.

3. DANIEL VAUGHAN : General ophthalmology. 6th ed Lange medPublic. San Franscisco 1975.

4. FRANCIS HEED ADLER : Textbook of ophthalmology. 7th ed.W B Saunders, Philadelphia 1962.

UNTUK MENGURANGI DERITA DAN KELUARNYA AIRMATA

Bila saudara pernah terluka pada ujung jari tangan atau kaki,akihat terpukul/terjepit sehingga timbul memar dari jari tersehutdisertai terkupasnya kuku, maka saudara tentu dapat memba-yangkan betapa sakitnya hila luka tadi tersentuh atau terinjak.

Nah! Untuk mengurangi derita dan mengalirnya air mata aki-bat rasa sakit yang timhul karena sentuhan tadi, dihawah inidisampaikan suatu cara yang cukup mudah dan murah.

Setelah ujung jari tadi diohati dan dibalut, huatlah sebuahtabung dari bahan karton yang cukup tehal untuk menutupijari tadi. Ukuran panjang tahung dibuat sedikit lebih panjangdari jari yang luka.

OLH

Page 12: Cdk 013 Penyakit Mata

KOMPLIKASI OFTALMOLOGIK DARI

MENINGITIS

dr Wilardjo, dr PramanawatiBagian Mata

Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/R S Dr KariadiSemarang

PENDAHULUANMeningen merupakan jaringan yang terdiri dari tiga la-

pisan yaitu durameter, arachnoid dan piameter yang me-lindungi otak dan medula spinalis. Peradangan dari meningen;meningitis dapat terjadi karena berbagai etiologi, antara lain:meningococcus meningitis; tuberculous meningitis; purulentmeningitis dan acute serous meningitis. Untuk mendiagnoseadanya meningitis umumnya cukup berdasarkan adanyatanda-tanda klinik seperti suhu yang meningkat, adanya Ker-nig sign, Brudzinski sign, epistotonus dan lain-lain. Keluhkesah cephalgia umumnya bersifat difus, akan tetapi kadang-kadang mempunyai lokalisasi tertentu misalnya diregio fron-talis, regio occipitalis yang menjalar ke tengkuk dan sebagai-nya. Cephalgia ini sering disertai dizziness dan vomiting.

Punksi lumbal sangat penting pada penyakit ini karenadapat dipakai untuk menegakkan diagnosa ataupun untukpengobatan.

KOMPLIKASI OFTALMOLOGIKSejak saat awal dari penyakit ini pemeriksaan mata ada-

lah suatu hal yang sangat penting. Bila timbul phenomenamotor irritative dengan gejala bermacam-macam spasme dantetani maka dapat nampak pada mata adanya blepharospas-mus.

Oleh karena proses peradangan segera menyangkut nervicraniales pada basis otak, maka tanda-tanda irritasi yangpendek segera disusul dengan bermacam-macam gejala para-lyse. Bentuk pupil menjadi irreguler dan mydriasis , reflekslambat sampai negatip serta pupilary border memberi kesankaku (rigid).Cabang-cabang nervi craniales banyak memberi inervasi keotot-otot mata sehingga efek paralyse saraf tampak sebagaiblepharospasmus paralyticus, kadang-kadang berakibat nys-tagmus. Pasangan bola mata yang tidak lurus dapat menimbul-kan keluhan binoculer diplopia dan hal ini dapat juga menjadipenyebab cephalgia.Bermacam-macam peradangan mata yang dapat timbul :q Dermatitis. — Kulit palpebra dapat timbul bentukan-

bentukan vesiculae yang mirip dengan vesikel Herpes Zoster.Vesikel ini mudah mengering dalam beberapa hari.

q Conjunctivitis. Dasar-dasar pathogenesa belum jelas.

q Keratitis dan ulkus cornea. Atas dasar akibat dari adanyalagophthalmus dan juga bilamana proses sampai menyangkutN Trigeminus dan cabang-cabangnya.

q Iritis dan i ridocyclitis. Peradangan bagian ini dapat denganproduk eksudat serous sampai purulen. Akibat peradangan da-pat serius sampai terjadi kebutaan.

q Endophthalmitis dan panophthalmitis.Dapat terjadi aki-bat perluasan radang dengan eksudat purulen (purulen meni-ngitis) sampai ke bulbus oculi.

PEMERIKSAAN FUNDUSKOPIq Papilia nervi optici. Dapat, dijumpai adanya ( i) Papil oe-

dema (choked disk), ini jarang terjadi. (ii) Optic neuritis, mu-dah dimengerti pathogenesanya. Dan (iii) Optic atropi. Semuakelainan ini dapat terjadi unilateral maupun bilateral.q Retina. Dapat dijumpai adanya gambaran chorioretinitis;

gambaran perdarahan retina yang disebabkan oleh oblitera-ting end arteritis atau dapat pula disebabkan oleh throm-bosis vena.

TINJAUAN KASUSPada tahun 1977 (selama satu tahun) berhasil kami kum-

pulkan 94 kasus meningitis yang terdiri dari : 48 kasus ber-macam-macam meningitis dan 46 kasus Meningoencephalitis.Di mana semua penderita adalah golongan bayi dan anak-anakyang berumur antara 16 bulan sampai 14 tahun.Pada seorang penderita mungkin terdapat lebih dari satumacam komplikasi.

Kelainan oftalmologik yang dijumpai pada 48 kasus Meningitis.

Tidak ada kelainan oftalmologik 21Kelainan pupil 23Lagophthalmus 3Conjunctivitis akut 2Keratitis 4Kelainan motilitas mata 14Opticus atrophi 9Optic neuritis 2Maculopathia 5

Ccrmin Dunia Kedokteran No. 13. 1978 15

Page 13: Cdk 013 Penyakit Mata

Kelainan oftalmologlk yang dijumpal pada 46 kasus Meningo-ence-phalitis.

Ti dak ada kelainan oftalmologik 24Kelainan pupil 16Lagophthalmus 4Keraritis 4Kelainan motilitas 11Opticus atrophi 6Choked disk 1Perdarahan retina 2Macul opathi a 4

PENGOBATAN DAN TINDAKAN

Sampai saat ini pemberian pengobatan symptomatis ma-sih sering dilakukan. Bila dapat ditemukan mikro organismedalam liquor cerebrospinalis, maka pemberian obat dapatlebih terarah.

Tindakan operasi Craniotomi telah pemah dilakukan diJepang, bertujuan membebaskan gangguan disekitar chiasmaopticum. Hal ini adalah untuk mencegah terjadinya opticusatropi.PEMBICARAAN

Meningitis banyak dijumpai pada anak-anak, pada uraiandiatas terkumpul 94 kasus selama satu tahun. Hal ini ber-arti kira-kira delapan anak dalam sebulan. Dapat dibayang-kan, misalkan di dalam Bagian Kesehatan Anak dari suaturumah sakit yang mempunyai 30 tempat tidur untuk penya-kit-penyakit infeksi, berarti hampir 1/3 dari jumlah tempattidur dipergunakan penderita Meningitis. Dari jumlah ter-sebut kira-kira 50% mengalami komplikasi o ftalmologik,umumnya karena terlambat pemberian pengobatan.

Seperti diketahui sebagian besar komplikasi oftalmologikadalah akibat dari terkenanya saraf otak. Regenerasi kelainan-kelainan yang mengenai saraf apapun umumnya sukar. Lebih-

lebih opticus atrophi yang sudah lanjut berarti akan mem-bawa akibat kebutaan dengan visus nol untuk selamanya.Pada hal penderita masih anak-anak yang jangka waktu hidup-nya masih jauh. Walaupun tidak buta mungkin juga terjadikelainan kosmetik yang sulit diatasi seperti blepharoptosis,strabismus dan sebagainya.

Di samping itu komplikasi yang berupa peradangan mataberat seperti ulkus cornea luas, uveitis, endopthalmi danpanophthalmi akan menyebabkan penderitaan yang berupamengempesnya bola mata.

Maka sangat penting mengenal gejala-gejala klinik darimeningitis agar dapat mendiagnosa penyakit itu sedini mung-kin serta memberikan pengobatan yang terarah sehingga tidakterjadi komplikasi.

KESIMPULANPenderita Meningitis sebagai penyakit peradangan atas

dasar adanya infeksi kuman masih banyak jumlahnya padaanak-anak.

Komplikasi oftalmologik dapat terjadi mulai dari yangringan sampai berat berupa peradangan, paralyse dari yangringan sampai yang berat serta atropi organ-organ di dalamruang orbita dan bola mata.

KEPUSTAKAAN1. HEDGES T R Jr et al : Metastatic endophthalmitis as a compli-

cation of meningococcic meningitis. Arch Ophthal 55 : 503-505, 1956.

2. IMACHI J, TOSHIKAZU I: A case of cryptococcal meningitistreated with craniotomy. Japanese J of Ophthal 16:51-56, 1972.

3. RANSOM S W, CLARK S L : The anatomy of the nervus system.9th ed. W B Saunders Co Philadelphia, 1957.

4. WECHSLER I S : A textbook of clinical neurology. 8th ed. W BSaunders Co. Philadelphia, 1958 .

16 Cermin Dunia Kedokteran No. 13. 1978

Page 14: Cdk 013 Penyakit Mata

HERPES Z O STER OPHTHALMICUS

dr Broto Parwoto, dr Ny Norma D HandoyoBagian Mata

Fakultas Kedokteran Universitas DiponegoroSemarang.

PENDAHULUAN

Herpes zoster ophthalmicus merupakan penyakit yangkadang-kadang dijumpai di praktek umum. Penyakit ini cukupberbahaya karena dapat menimbulkan penurunan visus.Seperti herpes zoster dibagian tubuh yang lain maka daerahyang terkena juga bersifat unilateral. Virus merupakan etio-logi dari penyakit ini , beberapa ahli telah memastikan bahwavaricella dan herpes zoster disebabkan oleh virus yang samadan disebut varicella zoster virus (5) (9). Sedangkan BATE-M A N menganggap timbulnya zoster karena reaktivasi dari vi-rus varicella beberapa tahun kemudian (3).Virus ini setelah menimbulkan gejala varicella yang spesifikakan meng-infeksi serabut saraf sensoris kulit dan menjalarkeatas sampai ganglion. Disini akan menjadi inaktif karenaadanya antibody. Apabila daya tahan tubuh menurun dibawah titik kritik, gejala klinik akan timbul karena virusberkembang biak dan menjalar melalui saraf sensoris kekulitserta menimbulkan laesi zoster yang khas. Walaupun penu-laran secara kontak person jarang terjadi, oleh DA N I E Ldilaporkan satu kasus timbulnya herpes zoster setelah sese-orang tertusuk jarum yang mengandung virus tersebut (4).

GEJALA-GEJALA

Penyakit ini selalu terbatas pada sebelah muka dengantanda khas batas yang tegas ditengah-tengah muka sepanjangdahi hidung dan mulut. Virus akan menyerang ganglion Gasseriyang mempunyai tiga cabang utama. Cabang . yang paling se-ring terkena adalah ramus ophthalmicus yang mengenaidaerah dahi dan sekitar mata.. Urutan yang kedua adalah ramusmaxillaris, sedang yang jarang terkena adalah ramus mandi-bularis. Kadang-kadang ketiga ramus tersebut dapat terkenasekaligus yang biasanya disertai dengan zoster pada ganglionGeniculatum (1),(10). Pada hari-hari pertama akan timbul pe-rasaan sakit dan panas yang kadang-kadang hebat, disertai de-ngan hyperaesthesi di daerah saraf yang terkena selama satusampai tiga hari. Bahkan kadang-kadang ada yang mengeluhbila rambutnya tersentuh akan terasa sakit. Pada saat ini dapattimbul demam ataupun tanda-tanda iritasi meningeal yangberupa kaku kuduk. Sering pula disertai dengan photophobidan lacrimasi pada mata sisi yang terkena serta timbul regionallymphadenopathy (1), (2), (3), (9), (10). Kemudian akan tim-bul papulla pada dasar kulit yang erythematous. Beberapa

papulla akan bersatu membentuk vesikel yang mula-mulaberisi cairan yang jernih untuk kemudian cepat menjadi ke-ruh. Vesikel ini akan pecah, terjadi crusta yang bila tidakada sekunder infeksi akan lepas dan meninggalkan bekas yangtipis. Bila disertai dengan sekunder infeksi maka akan me-ninggalkan bekas yang dalam dan menetap cukup lama (10),(12).

DIAGNOSA

Untuk menentukan diagnosa biasanya mudah oleh karenagejala-gejalanya jelas dan khas. Tetapi sebelum timbul vesi-kel gejalanya dapat dikelirukan dengan kelainan saraf yanglain. Adanya penurunan sensibilitas comea dapat menyokongperkiraan adanya herpes zoster ophthalmicus. Pada permulaanpenyakit dapat juga dengan erysipelas, karena adanya kulityang erythematous dan membengkak (1), (2), (9), (10).Yang perlu diperhatikan adalah kelainan di mata yang apabilatidak segera diatasi dapat menimbulkan penurunan visus.

KOMPLIKASI

q Myelitis. Merupakan komplikasi di luar mata yang pernahdilaporkan oleh GORDON dan TUCKER, demikian juga en-cephalitis dan hemiplegi walaupun jarang ditemukan tetapipernah dilaporkan. Hal ini diperkirakan karena penjalaranvirus ke otak (8), (10).

q Conjunctiva. Pada mata komplikasi yang dapat timbuladalah chemosis yang ada hubungannya dengan pembeng-kakan palpebra. Pada saat ini biasanya disertai dengan pe-nurunan sensibilitas cornea dan kadang-kadang oedema corneayang ringan. Dapat juga timbul vesikel-vesikel di conjunctivatetapi jarang terjadi ulserasi. Pernah dilaporkan adanya canali-culitis yang ada hubungannya dengan zoster.

q Cornea. Bila comea terkena maka akan timbul infil-trat yang berbentuk tidak khas dengan batas yang tidak te-gas (10), tetapi kadang-kadang infiltratnya dapat menyerupaiherpes simplex (7). Proses yang terjadi pada dasamya berupakeratitis profunda yang bersifat khronis dan dapat bertahanbeberapa minggu setelah kelainan kulit sembuh. Akibatkekeruhan comea yang terjadi maka visus akan menurun.

Cermin Dunia Kedokteran No. 13. 1978 19

Page 15: Cdk 013 Penyakit Mata

q Iris.Adanya laesi diujung hidung sangat penting untukdiperhatikan karena kemungkinan besar iris akan ikut terke-na mengingat n. nasociliaris merupakan cabang dari n.oph-thalmicus yang juga menginervasi daerah iris, corpus ciliazedan cornea. Iritis/iridocyclitis dapat merupakan penjalarandari keratitis ataupun berdiri sendiri. Iritis biasanya ringan,jarang menimbulkan eksudat, pada yang berat kadang-kadangdisertai dengan hypopion atau secundair glaucoma (10).Akibat dari iritis ini sering timbul sequele berupa iris atropiyang biasanya sektoral. Pada beberapa kasus dapat disertaimassive iris atropi dengan kerusakan sphincter pupillae (8).

q Sclem. Scleritis merupakan komplikasi yang jarang ditemukan, biasanya merupakan lanjutan dari iridocyclitis. Pada scle-ra akan terlihat nodulus dengan injeksi lokal yang dapat tim-bul beberapa bulan sesudah sembuhnya laesi di kulit. Nodu-lusnya bersifat khronis, dapat bertahan beberapa bulan,bila sembuh akan meninggalkan sikatrik dengan hyperpig-mentasi. Scleritis ini dapat kambuh lagi.

q Ocular palsy. Dapat timbul bila mengenai N III, N IV,N V1, N III dan N IV dapat sekaligus terkena. Pernah pula dila-porkan timbulnya ophthalmoplegi totalis dua bulan setelahmenderita herpes zoster ophthalmicus. Paralyse dari otot-otot extra-oculer ini mungkin karena perluasan peradangandari N Trigeminus di daerah sinus cavemosus. Timbulnyaparalyse biasanya dua sampai tiga minggu setelah gejala permu-laan dari zoster dirasakan, walaupun ada juga yang timbulsebelumnya. Prognosa otot-otot yang pazalyse pada umum-nya baik dan akan kembali normal kira-kira dua bulan kemu-dian.

q Retina. Kelainan retina yang ada hubungannya denganzoster jarang ditemukan. Kelainan tersebut berupa choroi-ditis dan perdazahan retina, yang umumnya disebabkan ada-nya retinal vasculitis (6).

q Optic neuritis . Optic neuritis juga jazang ditemukan; te-tapi bila ada dapat menyebabkan kebutaan karena timbul-nya atropi n. opticus. Gejalanya berupa scotoma sentralyang dalam beberapa minggu akan terjadi penurunan visussampai menjadi buta (10).

PENGOBATANTidak ada pengobatan yang spesifik. Pengobatan hanya

bersifat simptomatik untuk mengurangi rasa nyeri, pence-gahan sekunder infeksi dan menekan peradangan. Bila masihstadium akut sebaiknya penderita istirahat di tempat tidur.(2) ,(9) , (10). Untuk kulitnya agar diusahakan supaya ve-sikel jangan sampai pecah dan dilindungi dari sekunder infeksidengan cream antibiotika yang mengandung kortikosteroid .Dapat ditambahkan taburan bedak untuk mengurangi rasagatal diatas cream terse.but. Setelah pemberian terapi lokalseperti diatas, sedapat mungkin dijaga agar jangan kena airsampai crusta lepas dengan sendirinya. Beberapa penulis meng-anjurkan pemberian collodion yang mengandung 10% ich-tyol dan calamin lotion. Tetapi bahan ini bila kering akan me-nyebabkan crusta yang melekat dengan kulit sehingga pelepas-annya akan menimbulkan rasa sakit (2) ,(3), (9), (10). Untuk

mata yang terkena diberi antibiotika dan kortikosteroid lo-kal, kecuali bila ada keratitis, kortikosteroid merupakan kontraindikasi . Mata perlu diistirahatkan dengan ditutup. Perlujuga diberikan atropin sebagai mydriaticum bila terlihat tandatanda keratitis dan iridocyclitis (1),(10).

Pemberian kortikosteroid sistemik masih diperdebatkan.Beberapa penyelidik membuktikan pemberian kortikosteroidper oral dapat memperberat dan memperluas penyakitnya,sedang BAT E M A N(3) menganjurkan pemberian prednisolondosis tinggi yaitu 60 mg sehari pada minggu-I, kemudian diturunkan sampai 15 mg sehari pada minggu ke-II. Cara inikhusus untuk penderita dengan umur 60 tahun ke atas. Untukpenderita dengan umur 40 tahun sampai 60 tahun dianjurkanuntuk memberikan terapi diathermis dengan UKG, sedanguntuk penderita dengan umur kurang daii 40 tahun biasanyahanya memerlukan analgetika saja. Selain itu dapat pula diberikan antibiotika sistemis dan obat-obatan neurotropik.Pengobatan dengan cara lain misalnya dengan gamma globu-Iin ataupun cytarabine tidak kami bahas mengingat obat-obattersebut sukar didapat di Indonesia. Prognosa biasanya baik,kecuali bila cornea atau bagian yang lebih dalam lagi ter-kena (10).

POST HERPETIC TRIGEMINAL NEURALGIAIni merupakan keluhan yang sangat dikhawatirkan ka-

rena menimbulkan penderitaan yang hebat terutama padapenderita yang telah tua. Nyeri neuralgik dapat menetap ber-bulan-bulan setelah serangan akut untuk pencegahan pemberi-an kortikosteroid per oral akan sangat membantu.Pengobatan dapat dilakukan beberapa cara :•obat-obatan lokal yang mengandung camphor atau menthol

(2).•suntikan larutan triamcinolon 2% dalam garam fisiologis

secara subcutan di daerah yang terkena (3),(5).•infus larutan 50 cc procain 1% dalam NaCl 500 cc dengan

kecepatan 40 sampai 60 tetes per menit (5).•suntikan alkohol pada ganglion Gasseri (10).

KEPUSTAKAANF H: Textbook of ophthalmology. 7th ed. Phila-

delphia. Saunders, 1964.2. ANDREWS G C: Disease of the skin. 4th ed. Philadelphia,

Saunders, 1961.3. BATEMAN P P: Treatment of herpes zoster. Med Prog 4

(3): 25-32, 1977.4. DANIEL W P et al: Herpes zoster, case report of possible acci-

dental inocculation. ArchofDermatol 102:1755-1756, 1976.5. ERVIN EPSTEIN: Treatment of zoster and post zoster neuralgia

by the intra lesional injection of triamcinolone.Inter J of Dermatol15 (10): 762-769, 1976.

6. HESSE J R: Herpes zoster ophthalmicus: AmJofOpthal84 (3): 329-331, 1977.

7. FORREST W M& KAUFMAN H E: Zosteriform herpessimplex. Am J of Ophthal 81 (1) : 86-88, 1976.

8. MARS R J: Iritis and iris atrophy in herpes zoster ophthalmicus.Am JOf Ophthai 78 (2):255-260, 1974.

9. RHODES & VAN ROYEN: Virus disease of man. , 4th ed,New York Nelson & Sons, 1948.

10. WALS F B: Clinical newo ophthalmology. 3th ed

1. ADLER

20 Cermin Dunia Kedokteran No. 13. 1978

Page 16: Cdk 013 Penyakit Mata

EKSTRAKSI CATARACT

dr Aslim D Sihotang, dr H T AdninBagian Penyakit Mata

Fakuitas Kedokteran Universitas Sumatra Utara/Rumah Sakit Umum Pusat Profinsi

Medan.

PENDAHULUAN

Cataract ialah suatu pengeruhan lensa crystalina yangdatangnya seiring dengan datangnya ketuaan. Hal ini sebenar-nya merupakan salah satu tanda bahwa seseorang telah men-jadi tua sama seperti datangnya uban di kepala. Tetapi cataractdijumpai juga pada umur yang lebih muda bahkan pada bayi-bayi yang baru lahir.

Sebenarnya belum ditemukan tindakan pencegahan terha-dap cataract tetapi pada taraf permulaan sering bisa diatasidengan mengoreksi visus menggunakan kaca mata. Namunakhirnya perlu juga dilakukan tindakan yang optimal untukseterusnya mencegah terjadinya kebutaan yaitu dengan mela-kukan operasi pengeluaran lensa yang telah mengeruh itu( Cataract extraction).

Kemajuan-kemajuan yang penting telah didapat pada abadterakhir ini sehingga hasil ekstraksi cataract menjadi lebihbaik dan ini menimbulkan keyakinan pada penderita bahwatindakan operasi akan sangat menolong penglihatannya.

Akan tetapi tidak selalu didapat hasil yang memuaskan.Masih dapat terjadi komplikasi-komplikasi yang menyebabkanpenglihatan penderita tidak seterang yang diharapkan, terutamapada penderita cataract yang berpenyakit lain seperti Diabetes,trauma dan sebagainya.

Pada tulisan ini akan kami sampaikan hasil-hasil ekstraksicataract di bagian penyakit Mata FK—USU / RSUPP Medandengan segala komplikasi yang ditemukan serta hasil akhir se-telah diberi kaca mata.

BAHAN PENYELIDIKAN DAN CARA KERJA

Kasus-kasus dalam tulisan ini diambil dari penderita-pen-derita cataract yang berkunjung ke Bagian Penyakit MataFakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara selama kuranglebih tiga tahun ( Januari 1974 sampai Januari 1977).

Yang dimaksud dengan cataract pada tulisan ini adalahcataract congenitalis (dari lahir sampai umur 20 tahun)cataract juvenilis (dari umur 20 tahun sampai 40 tahun)cataract senilis yang terjadi pada umur 40 tahun keatas dancataract traumatica yang terjadi karena trauma.

Ekstraksi cataract dilakukan setelah indikasi dipenuhi, yaitu

( 1 ) Visus satu perenam puluh dengan proyeksi cahayapositif.

( 2 ) Fundus reflex negatif.

( 3) Tidak ada infeksi pada mata.( 4) Tensi oculi normal ( sampai dengan 25 mm ).( 5) Tensi sanguinis normal ( sekitar 160/80).( 6) Tidak dijumpai KP yang aktif.( 7) Anel test tidak dijumpai sumbatan.( 8) Pada penderita DM, reduksi urine sudah negatif.

Sehari sebelum operasi penderita harus tinggal dirumah sakituntuk persiapan operasi dan pemberian premedikasi. Premedi-kasi yang diberikan pada cataract senilis ialah cocktail yangterdiri dari campuran phenobarbital 100 mg, pethidin 50 mgdan largactil 25 mg. Bila tensi oculi sedikit meninggi diberiDiamox 3 x 250 mg. Selanjutnya bagi penderita cataractcongenitalis sebagai anestesi diberi Ketalar 2mg/kg BB. Demi-kian juga pada sebagian penderita cataract juvenilis.Sementara itu pada penderita cataract senilis setelah dibericocktail, diberi juga retro bulbair Novocain 4% dan sub cutanNovocain 2%.Fiksasi bola mata dilakukan dengan benang pada sclera sebelahtemporal bagi mata kanan dan sebelah nasal pada mata kiri.Adakalanya dilakukan fiksasi dengan pincet saja. Sebelumdimulai membuka cornea dilakukan massage pada bola matasampai tensi oculi menunjukan skala 10 pada tonometerSchiotz.

Untuk lapangan operasi pada cataract congenitalis biasanyadipakai eye speculum sedang pada cataract juvenilis dan senilisdipakai benang pada margin palpebra superior dan inferiordisamping simpul pada tendon musculus rectus superior.

Cornea dibuka pada cataract congenitalis dengan discicisedang pada cataract juvenilis dilakukan dengan metodaVON GRAEFES dan McLEAN dengan variasi-variasinya yangtergantung dari kondisi camera oculi anterior, seluas 150-J80 0 .

Selanjutnya dilakukan penjahitan cornea sclera dengan tigaatau lima ikatan silk 6/0. Kemudian dilakukan iridectomi,biasanya mulai dengan basal (perifer), apabila didapat kesulitanpada pengeluaran lensa maka diteruskan dengan Key Holeatau total iridectomi. Iridectomi ini biasanya dilakukan satuyaitu pada jam 12.

Setelah benang cornea sclera dilonggarkan maka lensa dike-luarkan dengan Hook dan pincet atau dengan kryophak. Apabila terdapat kesulitan pada pengeluaran lensa, biasanya diberi-kan chemotripsin lebih dahulu atau dipakai spatel untuk mem-bebaskan bagian-bagian yang lengket.

Cermin Dunia Kedokteran No. 13.1978 21

Page 17: Cdk 013 Penyakit Mata

Setelah lensa dikeluarkan iris direposisi dan benang corneasclera dikuatkan. Untuk metoda McLEAN conjunctiva dijahitkontinu dengan silk 6/0.

Sebelum mata ditutup dilakukan spooling camera oculianterior dengan SBSS atau aqua bidest dan apabila cameraoculi anterior dangkal dimasukan udara. Mata dibersihkanlalu ditetesi pilocarpin 2% dan dioleskan salep anti biotika,kemudian ditutup dengan kasa dan dop yang dibuka setiap ha-ri untuk mengganti kasa dan sekaligus melihat hasil perkem-bangan sementara. Untuk pemeriksaan ini dipakai ukuranpenghitungan jari sampai jarak satu meter.

Selanjutnya hari ke IV pasien duduk, hari ke V—VI jalan,bila tak dijumpai komplikasi hari ke-X pasien dipulangkansetelah dilakukan pemeriksaan funduskopi dan benang corneasclera dibuka setelah seminggu kemudian.Kaca mata diberikansetelah tiga bulan post ekstraksi.Tabel I: Jumlah penderita cataract.

Wanita Pria Jumlah

Cataract congenital 5 13 18Cataract juvcnilis 11 I2 23Cataract senilis 170 112 282Cataract traumatica – 5 5

Jumlah 186 I42 328

Tabel II : Jumlah penderita cataract uni dan bilateral.

Uni lateral Bilateral Jumlah

Cataract congenital 1 2 3Cataract juvenilis 5 9 14Cataract senilis 89 103 192Cataract traumatica 5 – 5

Jumlah 100 I14 214

Dari tabel I dan II terlihat bahwa dari seluruh jumlah pen-derita cataract ternyata cataract senilis mencapai I92 dari 214penderita(89,7%). Cataract juvenilis hanya 6,5% dan cataracttraumatica 2,3% serta cataract congenital hanya 1,5%.

Perbandingan cataract uni lateral dan bilateral tidak begitumenyolok yaitu 46,7% dan 53,3%. Perbandingan yang menyo-lok terdapat pada cataract traumatica dimana unilateral sam-pai 100% sedang pada cataract juvenilis 38,4% berbanding61,6%. Pada cataract congenitalis unilateral 33,3% sedangyang bilateral 66,7%.

Dari tabel II dapat dilihat bahwa perbandingan cataractpada pria dan wanita adalah 186:142 berarti 56,7% dan 43,3%.

Cataract cases in two hospital in Bangkok by community, age and sex1957 — I959 ( H S HALEVI )

Community Thai Chinese Indian

male fcmale male female male female

40 – 49 64 57 I6 18 1 150–59 147 184 50 46 7 –60 – 69 218 219 79 52 8 570 + 146 151 43 28 4 –

Total 575 629 188 144 20 6

Hal ini terjadi karena cataract yang terbanyak adalah cataractsenilis dan disini terbanyak pada wanita sedang cataractcongenitalis justru laki-laki 71,6%. Sedang cataract juvenilisseimbang. Cataract traumatica terdapat seluruhnya pada laki-laki, hal ini terjadi karena sebagian besar pekerja adalah laki-laki. Perbandingan yang terdapat pada data diatas hampir samadengan perbandingan yang terdapat pada orang Thai tetapiterbalik pada orang Cina dan India seperti yang digambarkanoleh H S HALEVI dkk.

KOMPLIKASIKomplikasi-komplikasi yang terjadi dapat dilihat pada tabel

III.q COA yang dangkal.Camera oculi yang dangkal terjadi pada62 penderita dan 50 penderita diantaranya terjadi pada waktuoperasi sedang sisanya terjadi pada hari I—V. Komplikasi C O Ayang dangkal ini bila terjadi waktu operasi maka diinjeksikanSBSS dan bila tak berhasil diberi udara. Sementara yang terja-di pada hari I—V biasanya diberi Acetasolamide ( Diamox )2 x 250 mg dan dua atau tiga hari setelah pemberian tersebutkita lihat C O A telah membaik kembali.q Prolapsus vitreus. Terjadi pada 3I penderita (9,4%). Sebagianbesar terjadi ketika operasi dan enam diantaranya sesudah hariI—V. Kejadian ini biasanya disebabkan oleh penjahitan corneasclera yang kurang kuat serta pasien yang batuk-batuk dan ge-lisah. Untuk menghindari ini dianjurkan pada pasien yanggelisah diberikan obat penenang. Angka ini dibandingkan

Tabe III : Komplikasi-komplikasi operasi cataract.

Komplikasi Jumlah Waktu operasi hari I–V hari V–X

Prolapsus vitreus 31 25 6Hyphaemia I1 – 11C O A dangkal 62 50 I2 –Infeksi intra oculi 5 4 1Butir-butir Elshing– – 5Iris prolaps 6 5 1Gluacoma 3 3Ablatio retinae – – –Nastar 80 – 70 I0

dengan yang didapat oleh F I CAIRD dkk cukup besar (lihattabel V) dimana mereka hanya mencatat 26 pasien dari 1141atau 2,3%. Hal ini mungkin disebabkan anestesi yang baik(anestesi umum) serta jahitan cornea sclera yang lebih banyak(5—8 simpul).qHyphaemia, juga merupakan komplikasi yang terjadi pada11 penderita dan semuanya terjadi pada hari I—VI (3,3%),angka ini dibanding dengan yang didapat oleh F I CAIRDcukup kecil yaitu 207 dari II41 penderita (19%), sedang DEVOE mendapat 21%, NUTT 0%, TOWNES dan CASEY 10,5%sedang GRAEVES 24%.q Iris prolaps. Terjadi pada enam orang, berarti 1,8%. Dimanalima diantaranya terjadi pada hari I—V sedang yang seoranglagi terjadi pada hari V—X. Angka ini hampir serupa denganyang didapat oleh F I CAIRD yaitu 1,8% atau 2I dari II41penderita.q Infeksi intra ocuii (Uveitis). Terjadi pada lima penderita(I,5%). Empat diantaranya terjadi pada hari 1—V sedangyang seorang lagi pada hari V—X. Juga angka ini hampir sama

2 2 Cermin Dunia Kedokteran No. 13. 1978

Page 18: Cdk 013 Penyakit Mata

dengan yang didapat oleh F I CAIRD tetapi TOWNES danCASEY mendapatkan 5% sedang NUTT 12%; BECKET dan

HOOBS 1,5% serta KIRMANI mendapat angka yang tinggiyaitu 17%.qGlaucoma. Merupakan komplikasi yang paling sedikit kamijumpai yaitu hanya tiga penderita atau tidak sampai 1%, sedangF I CAIRD mendapatkan I,3%. Komplikasi-komplikasi lain tidak tercatat dalam status.yang dibuat.

Tabel V Komplikasi operasi cataract ektraksi yang dijumpai olehF I CAIRD. Jumlah operasi 1141.

Early post operative

Jcnis komplikasi Jumlah penderita Prosen

Prolapsus vitreusHyphaemaIris prolapsChoroidal dctachementDclaycd heallinglritis

late post operative

26207

2131

519

2,319

1,82,70,41,7

%%%%%

%

Jenis komplikasi Jumlah pcnderita Proscn

Glaucoma 15 1,3 %Retinal detachement 11 1 %Pcrdarahan corpus vitrcus 2 0,2 %Corneal dystrophy 6 0,6 %epithelial downgrowth 6 0,6 %Ophthahnia sympathica 3 0,3 %

Tabel V1 : Frekwensi hyphaema dan iritis menurut beberapa peneliti.

Nama peneliti Jumlah operasi hyphacmadalatn prosen

lritisdalam proscn

Dc Voe (1942) 413 21NUTT (I953)TOWNES dan CASEY

50 112

(1955) 1844 10,5 5BECKETT dan HOBES(I96I) I35 6 1,5GREAVES (1962) 130 24 4KIRMANI (I964) I00 13 17F I CAIRD (I965) 1141 19 1,7 %

Tabel Vll : Visus setelah operasi dan setelah diberi kaca mata.

Visus Jumlah Prosen

6/12 atau lebih 97 30,1 %6118 sampai 6/60 195 56,7 %kurang dari 6/60 53 1 4,2

HASILDari tabel VII terlihat bahwa akhir dari operasi cataract

menunjukan 56,7% dari seluruh penderita mempunyai visusantara 6/60 sampai 6/ I8 sedang yang mempunyai visus 6/ 12atau lebih hanya 30,1%. Dan penderita dengan visus 6/60atau kurang adalah 14,2%. Mengapa visus hanya sampai 6/60atau kurang ? Belum didapat jawaban yang pasti. Menurutbeberapa penulis hal ini disebabkan oleh berbagai faktor anta-

ra lain :• Oleh karena komplikasi operasi 1,0 %• Penyakit mata lainnya 2,3 %• Penyakit-penyakit lain 0,4 %• Tidak diketahui 1,2 %

KESIMPULANq Cataract yang paling banyak dijumpai adalah cataractsenilis yaitu 89,7% diikuti oleh cataract juvenilis 6,5% ;cataract traumatica 2,3% dan cataract congenitalis 1,5%.q Perbandingan cataract unilateralis dan bilateralis adalah46,7% berbanding 53,3%.q Ratio cataract pada wanita dan pria adalah 56,7% berban-ding 43,3%.q Komplikasi yang terbanyak adalah Nastar sebesar 24,5%dan komplikasi yang paling sedikit terjadi adalah Glaucomayaitu I,3%. Sedang komplikasi lain adalah C O A yang dangkal19,6% ; Prolapsus vitreus 9,4%;Hyphaema 3,3% ; Iris prolaps1,8%, dan infeksi intra oculi (Uveitis) 5%.q Hasil operasi yang didapat berturut-turut adalah visusantara 6/18 dan 6/60 sebanyak 56,7% ; visus 6/12 atau lebih30,I% dan visus kurang dari 6/60 sebanyak 14,2%.

KEPUSTAKAAN

1. ARRUGA H : Ocular Surgery. 3th ed Mc Grow Hill Co. NewYork, 1962.

2. ALEXANDER A : Stcrility of thc aqueous humor followingcataract surgcry. Am J of Ophthal 74 (1): 49, 1972.

3. ADLER FRANCIS HEED : Texthook of ophthalmology. 7thcd. W B Saunders. Philadelphia, 1962.

4. ALLEN JAMES H : May 's manual diseases of the eye 24thcd. The Williams Wilkins Co. Baltimore, 1968.

5. BEASLEY F J : Iris Rctraction by suture during cryo extraction.Arch J of Ophthal 81 (5):653, 1969.

6 BERENS : The eye and its diseases. Sec ed. W B Saundcrs Co.Philadelphia, 1962.

7. CAIRD F I: Cataract extraction and diabetes. British J ofOphthal 49:461, 1965.

8. DUKE ELDER S : Parsons diseases of the eye. 15th ed. J AChurchill Ltd London, 1970.

9. FLUSEL J T Limbal wound healing after cataract extracrion.Arch J of Ophthal 81 (5) : 653, 1969.

10. HALVI H S : Hospitalized senilis cataract in different Jcwishcommunity in Isracl. British J of Ophthal 46:285,1962.

11. JARDINE P : Simultan bilateral cataract extraction. BritishJofOphthal49 (7) : 337-392, I965.

12. PAUL A C et al : Gonioscopy during surgery for aphakic eyes.Am Jof Ophthal 74(4):571,1972.

13. PATEN DAVID : Clinical Symposia 26(3), 1974.14. SIHOTA G S : Scleral ledge in cataract incission. Am J of Oph-

thal 47(9):567,1959.15. VAUGHAN D et al: General Ophthalmology . 6th ed. Lange

med Publications. Co Ltd. San Francisco, 1975.

mohon perhatian !!

Beritahukanlah kepada kami bila anda pindah alamat!!!Dan jangan lupa memberikan juga alamat lama anda.

Cermin Dunia Kedokteran No. I3. 1978 23

Page 19: Cdk 013 Penyakit Mata

CARCINOMA COLON

DI R S SUMBER WARAS

dr C TjiptiadhiBagian Bedah R S Sumber Waras

Jakarta

PENDAHULUANCarcinoma colon masih merupakan salah satu carcinoma

yang banyak terdapat di negara kita ini . Bahkan merupakansalah satu dari tiga jenis tumor ganas yang banyak terdapat,yaitu carcinoma mammae, carcinoma uteri dan carcinomacolon. Sayang angka-angka pasti tentang carcinoma colondi negara kita ini tidak dapat dijumpai dalam kepustakaan.BE R M A N S j A H telah melaporkan tentang carcinoma colondan rectum di RSCM sejak tahun 1960-1966 dan selamatahun-tahun tersebut didapatkan 93 penderita carcinoma co-lon sebagai bahan penyelidikan.

Di Amerika diperkirakan setiap tahun terdapat 73.000penderita carcinoma colon dan 43.000 orang meninggal kare-na penyakit ini.

Tulisan ini bertujuan untuk mengemukakan data-dataklinik dari carcinoma colon di RSSW serta membandingkandata dari klinik lain. Sebagai bahan diambil 8I penderitacarcinoma colon yang terdapat di RSSW sejak April I969sampai dengan Desember 1975. Di bawah ini kami kemuka-kan angka-angka dari tumor ganas yang terdapat di RSSW dansebagai perbandingan kami kemukakan angka-angka dariAmerika.Tabel I : Jumlah penderita berbagai carcinoma di RSSW dari

tahun 1969 — I 975

Tahunjumlah

69 70 71 72 73 74 75

— — 4 5 4 1 3

I 6 6 11 9 11 19 634 1 2 12 1 3 11 5 1 0 673 5 3 6 8 8 — 332 5 11 15 1 7 1 3 1 8 81

Jelas bahwa angka-angka tersebut di atas tidak dapat dipakai sebagai gambaran sebenarnya tentang ke lima tumorganas yang kami sebut baik di Jakarta apalagi di lndonesia.Akan tetapi tampak bahwa carcinoma colon selama kira-kiralima setengah tahun di RSSW merupakan tumor ganas yangterbanyak.

JENIS KELAMINCarcinoma colon dijumpai pada laki-laki maupun wanita

dalam frekwensi yang hampir sama (lihat tabel 3).Tabel 3 : Pembagian carcinoma menurut jenis kelamin• di RSSW

Tahunjenis kelamin jumlah

69 70 71 72 73 74 75

Laki-laki 2 2 4 1 3 5 8 43

Wanita 3 7 6 4 8 1 0 38

jumlah 2 5 11 1 5 1 7 1 3 18 81

Laki-laki : Wanita = 43:38 atau 1,1 3:1

Perbandingan ini juga hampir sesuai dengan yang didapat diklinik lain. BE R M A N S J A H di RSCM Jakarta mendapat angkaperbandingan laki-laki : wanita = 1:1 dari sejumlah 93 pen-derita, selama enam tahun (1960-1966). COHN dkk selama15 tahun (1948-I963), dari sejumlah 1887 penderita yang diselidiki didapat angka perbandingan laki-laki: wanita =1 : 1,3FA H L dkk di Mayo klinik mendapat angka perbanding-an laki-laki : wanita = 2,2 : 1.

Tabel 4 Perbandingan jenis kelamin penderita carcinoma colondiberbagai klinik.

jenis Carcinoma

Ca ThyroidCa MammaeTumor paruCa UteriCa Colon

Laki-laki WanitaTabel 2 : Jumlah penderita berbagai carcinoma di Amerika selama

tahun 197IR S S W 1,1BERMANSjAH 1COHN dkk 1 1,3FAHL dkk 2,2

Kasus baru Kematian

115.000 5.200

75.000 46.000 Umur71.000 64.00069.000 30.750 Carcinoma colon biasanya dijumpai pada umur yang agak42.000 12.700 lanjut, meskipun kadang-kadang juga terdapat pada usia muda.

Lokalisasi Ca

KulitColonParuMammae

Uterus

24 Cermin Dunia Kedokteran No. 13. 1978

Page 20: Cdk 013 Penyakit Mata

Dari 81 penderita yang ditemukan di RSSW kami dapatkanpembagian menurut umur sebagai berikut :

Golongan umur Jumlah penderita

20 — 29 tahun 6

30 — 39 tahun 740 — 49 tahun 16

50 — 59 tahun 17

60 — 69 tahun 20

70 — 79 tahun 11

80 — 89 tahun 4

Umur termuda yang kami dapatkan adalah 23 tahun dan yangtertua adalah 63 tahun. Umur rata-rata pada penderita laki-laki maupun wanita adalah 55 tahun. Frekwensi terbanyakkami dapatkan pada umur 60 — 69 tahun dan peak incidenceini juga didapat oleh J W DUTTON.

Tabel 5 : Umur rata-rata penderita carcinoma colon di Amerika

Tabel 6 : Umur rata-rata penderita carcinoma colon di RSWW

KELUHANPada umumnya penderita-penderita datang dalam keadaan

yang sudah lanjut. Masa sejak penderita merasa ada keluhansampai penderita pertama kali datang dibagian kami rata-rata

38,6 minggu atau sembilan setengah bulan. Di Mayo clinicdidapatkan rata-rata 6,8 bulan sejak keluhan pertama hinggapenderita berobat. Tentu saja anamnesa keluhan-keluhan inisukar dapat dipercaya sepenuhnya. Keluhan yang paling diniadalah satu minggu (?) dan keluhan yang paling lama adalah15 tahun (?). Yang terakhir ini adalah seorang laki-laki berumur 62 tahun dengan keluhan sejak 15 tahun adanya lubang-lubang kecil di sekitar dubur yang selalu mengeluarkan cair-an. Pada pemeriksaan terdapat multiple fistulae ani dan rec-tal taucher terdapat carcinoma recti yang inoperable. Pen-derita datang pada tahun 1973.Setelah dilakukan biopsi dan pemeriksaan pathologi anatomipenderita minta pulang paksa. Menurut keluarganya penderitameninggal pada bulan Februari 1975.

LOKALISASI

Dari 81 penderita carcinoma colon yang kami rawat didapat lokalisasi seperti yang terlihat pada tabel 7. Sebagaiperbandingan kami ketengahkan angka-angka dari JAC KM ANR J. Angka-angka ini menunjukkan persesuaian, dimana le-bih dari 50% carcinoma colon berada didaerah rectosigmoid.Kami mendapatkan kira-kira 64% berlokalisasi didaerah recto-sigmoid; JACKMAN dalam serinya mendapatkan 77%; CH RIS-TOPHER mendapatkan 77%. Jadi lebih dari 50% penderitacarcinoma colon berlokalisasi di daerah sigmoid sampai rec-tum. Suatu daerah yang mudah dicapai dengan rectal taucherdan rectosigmoidoscopy.

Tabel 7 : Lokalisasi tumor pada penderita di RSSW.

Lokalisasi Jumlah Dalam %

caecum 4 5 %

colon ascendens 6 7,5%

flexura hepatica 6 7,5%

colon transversum 3 3,75%

flexura lienalis 4 5%

colon ascendens 1 1,25%

sigmoid 10 12,5%

rectosigmoid 19 23,75%

Tabel 8 : Lokalisasi tumor menurut JACKMAN R J

Lokalisasi Jumlah dalam %

caecum 4, 2 %

colon ascendens 3 , 7 %flexura hepatica 2 , 3%

colon transversum 4,1%

flexura lienalis 2,8%

colon descendens 5,4%

sigmoid 17,1 %

rectosigmoid 10,6%

rectum 50%

GEJALABerhubung dengan colon sebelah kiri mempunyai lumen

yang relatip lebih kecil dari colon sebelah kanan dan isi colonsebelah kiri merupakan faeces yang sudah padat sedang isicolon sebelah kanan masih merupakan faeces yang cair, maka

Cermin Dunia Kedokteran No. 13. I978 25

Page 21: Cdk 013 Penyakit Mata

tergantung pada lokalisasi tersebut. Maka dapat dikatakanbahwa pada carcinoma colon sebelah kanan terutama akanmemberikan gejala-gejala perubahan dalam kebiasaan defe-kasi. Adanya occult blood dalam faeces, rasa lemas dan adanyapalpable mass di perut sebelah kanan. Sedang carcinoma colonsebelah kiri terutama akan memberi gejala-gejala perubahandalam kebiasaan defekasi, adanya lendir dan darah dalam fae-ces serta gejala-gejala obstruksi usus dan kadang-kadangjuga teraba tumor massa di daerah perut sebelah kiri.

q Obstruksi. Tanda obstruksi usus merupakan tanda lanjut(late sign) dari carcinoma colon. Dengan obstruksi usus inikami maksudkan obstruksi usus mekanik total yang tidakdapat ditolong dengan cara pemasangan tube lambung, puasadan infus. Akan tetapi harus segera ditolong dengan operasi(laparotomia).

Dari 81 penderita tersebut kami dapatkan 26 penderitayang datang dengan obstruksi usus total (32%) atau satu diantara tiga penderita . Lima diantara 26 penderita tadi me-nolak operasi dan minta pulang paksa, 12 penderita pada wak-tu operasi ternyata inoperabel dan hanya sembilan yang ma-sih operable (dalam arti resectable). Lokalisasi carcinoma co-lon yang menimbulkan obstruksi tadi dapat dilihat pada tabel9.Tabel 9 Lokalisasi tumor yang menimbulkan obstruksi

Lokalisasi obstruksi Jumlah penderita

caecumcolon ascendensflexura hepatica

colon transversumFlexura lienaliscolon descendenssigmoi drectosigmoid

rectum

Jadi lokalisasi obstruksi tadi pada delapan penderita ter-letak di colon sebelah kanan atau kira-kira 30% sedang 18terletak di colon sebelah kiri atau kira-kira 70%.q Lendir/darah dalam faeces. Adanya lendir dan darah se-cara makroskopik dalam faeces kami dapatkan pada 56 pen-derita atau kira-kira 69%. Sepuluh penderita ternyata tumorterletak di colon sebelah kanan dan 46 penderita tumornyaterletak di colon sebelah kiri. Dari 46 penderita ini 42 ter-letak di daerah sigmoid-rectum.q Abdominai mass. Dari 19 penderita carcinoma colon sebelahkanan kami jumpai sembilan penderita (47%) teraba tumormassa dari luar. Sedang dari 62 penderita carcinoma colonsebelah kiri hanya sembilan penderita(14%), yang teraba ada-nya tumor massa. Memang dikatakan bahwa carcinoma colonsebelah kanan lebih sering teraba tumor massa dari luar dibanding yang sebelah kiri. JA C K M A N& BE A H R S mengatakanbahwa 50% dari carcinoma colon sebelah kanan teraba tumormassa dari luar sedang yang sebelah kiri hanya 10% saja.q Gejala-gejala lain. Perubahan-perubahan dalam kebiasaan de-fekasi seperti obstipasi atau diarrhea merupakan gejala per-mulaan. Akan tetapi sukar sekali untuk mendapatkan ke-terangan yang jelas.

q Penurunan beratbadan. Juga banyak penderita tidak memberikan gambaran yang jelas tentang ada atau tidak adanya pe-nurunan berat badan karena tidak biasa menimbang beratbadannya.q Perasaan lemah. Tidak jelas kapan dimulainya.

PEMERIKSAAN RADIOLOGIK.

Pemeriksaan radiologik dengan barium enema tidak dapatdilakukan pada semua penderita. Hal ini disebabkan penolak-an dari sebagian penderita dan sebagian lagi datang dalamkeadaan obstruksi usus total, sehingga memerlukan tindakanoperatif segera. Pada 18 penderita hanya dilakukan plain filmdari abdomen berhubung adanya gejala-gejala obstruksi total.Pada 43 penderita dilakukan pemeriksaan barium enema de-ngan hasil positif. Empat penderita tidak dapat menahanbarium enema tersebut dan pemeriksaan gagal meskipun su-dah diulang. Enam belas penderita tidak dilakukan peme-riksaan radiologik karena alasan ekonomi akan tetapi padapenderita-penderita ini diagnosa sudah dapat ditegakkan hanyadengan pemeriksaan rectal taucher/rectosigmoidoscopy sertabiopsi.

PENGOBATANPengobatan yang akan dibahas di bawah ini adalah peng-

obatan secara operasi yang dilakukan di RSSW. Dari 8I pen-derita tersebut di atas, 37 penderita menolak operasi danpulang paksa (45,7%). Dua penderita dalam keadaan cachexiadan inoperabel, jadi tidak di operasi. Yang mengalami operasiadalah 42 penderita, ternyata pada 13 penderita pada waktulaparotomia keadaan carcinomanya sudah demikian meluassehingga hanya dapat dilakukan by pass atau colostomia saja.Jadi yang inoperable adalah 18,5%. Sisanya 29 penderita(35,8%) masih operable.

Jenis operasi yang dilakukan di RSSW adalah sebagai berikut :decompresi colostomi dilakukan pada 9 penderitaby pass dilakukan pada 4 penderitareseksi-anastomose dilakukan pada 10 penderitahemicolectomi dilakukan pada 8 penderitareseksi anterior dilakukan pada 2 penderitaoperasi secara Miles dilakukan pada 9 penderita

PROGNOSA DAN SURVIVAL RATEFLOYD dkk menyelidiki 1687 penderita dengan carci-

noma colon dan mendapatkan grafik .Dari grafik tersebut dapat kita ketahui bahwa :(1) Survival rate untuk penderita yang mengalami operasidibanding penderita seluruhnya menunjukkan hasil yangmemuaskan.(2) Survival rate untuk seluruh penderita menurun dengantajam dalam tahun pertama sesudah diagnosa ditegakkan.Dan hanya tinggal kira-kira 45% yang hidup setelah satu tahunserta 25% sesudah lima tahun.(3) Penderita dengan operasi palliatif yang masih hidup dalamtiga tahun tinggal kira-kira 8% dan kurang dari dua prosensetelah lima tahun.

2 6 Cermin Dunia Kedokteran No. 13. 1978

Page 22: Cdk 013 Penyakit Mata

grafik dari FLOYD

(4) Penderita yang mendapat operasi dekompresi saja dan ma-sih hidup dalam satu tahun hanya tinggal 4% saja.Bagaimana dengan hasil di RSSW? Bila kita tinjau kembali pen-derita-penderita carcinoma colon dari tahun 1969 sampaiDesember 1971 dimana lima tahun telah lewat maka didapat-kan angka-angka sebagai berikut :Selama jangka waktu tersebut ditemukan 18 penderita dimanapada sepuluh penderita dilakukan operasi sedang delapanpenderita menolak operasi. Dari jumlah tersebut empat pen-derita (dua menolak dioperasi dan dua di operasi), tidak dapatdiketahui lagi alamatnya sedang 14 penderita lainnya telahmeninggal dalam jangka waktu satu sampai tiga tahun. Perlukami tekankan bahwa pada penderita-penderita yang me-ninggal tersebut tidak dilakukan autopsi sehingga sebab kematian tidak jelas. Tapi jelas five year survival rate tidak dapat dicapai. Dan jelas pula bahwa sebab dari keadaan ini adalah ter-lambatnya , penderita datang berobat.

Sedang dalam tahun 1972 terdapat 15 penderita dengancarcinoma colon yang dirawat di RSSW. Dimana empat pen-derita tidak dapat diketahui alamatnya lagi. Sampai bulanOktober 1976 masih hidup tiga penderita atau setelah empattahun masih hidup 20%.

Kami menilai bahwa penderita-penderita carcinoma colonpada umumnya datang berobat dalam keadaan terlambat ke rumah sakit kami sehingga bila hasil pengobatan yang kamidapatkan dimasukkan dalam grafik dari FLOYD dkk makagrafiknya akan terletak diantara garis semua penderita (allpatients) dan garis palliative saja.

KEPUSTAKAAN

1.DAVIS CHRISTHOPHER : Textbook of surgery. 7th ed. W BSaunders Co. Philadelphia, 1972.

2.JACKMAN & BEARS : Tumors of the large bowel. 4 th ed. W BSaunders Co Philadelphia, 1969.

3.TILDEN C EVERSON, WARREN H COLE : Cancer of the diges-tive tract. 5th ed Meredith Corp. New York 1969.

4.BERMANSJAH : Colorectal carcinoma di RSCM 1960—1966.Jakarta 1969.

5. JOHN CLARK, ANDREW W H,A RAHIM MOOSA : Treatmentof obstructing cancer of the colon and rectum. Surg Gyn &Obstetrics III : 541—544, 1975.

6.SHEKEEB SUFLAN, T MATSUMOTO : Intestinal obstruction.TheAm J ofSurg 130:9—14, 1975.

7.WARREN E : Carcinoma of the colon a d rectum. Surg clin ofNorth Am 56 (1) : 175—187, 1976.

8.ANDREW W H,A R MOOSA & G E BLOCK :Controversies in thetreatment of colorectal cancer. Surg Clin of North Am 56 (1):189—197, 1976.

9. RICHARD A : Practical aspects of investigation and treatment ofcolorectal cancer. Med Clin of North Am 56 (3): 665—675, 1972.

10.J W DUTTON, A H RENO, L G HAMPSON : Mortality and progno-sis of obstructing carcinoma of the large bowel. The Am J of Surg131 : 36—41, 1976.

kalender kegiatan ilmiah

25—27 November 1978Koperensi Rcgional Dermatologi ke 11Idi BaliSekretariatdr A Kosasih, Bagian Penyakit Kulit KclaminFakultas Kedokteran Universitas 1 ndonesiaJ1 Diponegoro 71Jakarta

23—27 Januari I979Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Kcdokteran F K U 1 ke Xdi JakartaSekretariatBagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas IndonesiaJI Salemba 6, P O Box 358Jakarta

10-15 Juni I979Kongres Obstetri Ginekologi lndonesia kc 1Vdi YogyakartaSekretariatBagian Obstetri GinekologiFakultas Kedokteran Universitas Gajah MadaR S Mangkuyudan P O Box 60Tilpun 3331Yogyakarta

25—27 Juni I979Pertemuan Regional Ahli Farmakologi Asia dan Pasifik Baratke IIdi YogyakartaSekretariatdr R H Yudono Bagian FartnakologiFakultas Kedokteran Universitas Gajah MadaSekip UtaraYogyakarta.

6-7 Juli 1979Seminar Nasional ke II Ikatan Ahli Radiologi Indonesiadi SemarangSekretariat :Bagian Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Dipone-goro/R S Dr KariadiJI Dr Soetomo 16Semarang

Cermin Dunia Kedokteran No. 13. 1978 2 7

Page 23: Cdk 013 Penyakit Mata

KERACUNAN Pb

dr U Sjamsudin, dr F D SuyatnaBagian Farmakologi

Fakuitas Kedokteran Universitas IndonesiaJakarta

PENDAHULUAN

Intoksidasi Pb sudah dikenal sejak lebih dari 2000 tahunyang lalu, berupa kolik yang ditemukan oleh dokter diber-bagai negara Yunani dan Arab. Pada tahun 100 — 200,DIOSCORIDES mengemukakan bahwa kolik usus yang ter-jadi disebabkan Pb yang termakan dan debu Pb yang diinhala-si. Sebab banyak alat-alat rumah tangga terbuat dari Pb yangdapat menimbulkan keracunan. Sekitar tahun 1831 dan 1839tidak kurang dari 1217 kasus plumbism pekerja industri Pb, dilaporkan pada rumah sakit di Perancis.

Keracunan Pb pada orang dewasa sering terjadi dalampabrik cat. Kira-kira 50 tahun yang lalu, keracunan Pb pa-da anak jarang terjadi. Tetapi sekitar tahun 1960 ditemukanintoksikasi Pb pada anak dengan sosial-ekonomi rendah, karenainhalasi atau menelan cat dari rumah yang rusak. Kebiasaanmemasukkan benda kedalam mulut dan pika sering dihubung-kan dengan intoksikasi Pb. Keadaan sosial-ekonomi mempe-ngaruhi insidens. Tetapi keracunan Pb dari tahun ke tahunterus meningkat, walaupun tahap sosial ekonomi semakin baik.Di luar negeri dikhawatirkan peningkatan konsumsi Pb me-lalui air minum dan polusi udara, yang diduga dapat me-nimbulkan cacad mental pada bayi baru lahir, karena ibunyaexposed terhadap Pb, disamping kemungkinan terjadinyaabortus spontan. Terdapat korelasi positip antara kadar Pbdarah ibu dan bayi yang diukur pada tali pusat.

Problema intoksikasi Pb yang lebih luas ialah kadar Pbyang terdapat dalam udara yang dapat diabsorbsi melaluiparu dengan baik. Menurut KEHOE, kurang dari 10% Pbdalam makanan yang diabsorbsi melalui usus, tetapi 25 —50% Pb yang diinhalasi akan diabsorbsi. Walaupun semua se-nyawa Pb bersifat racun, tetapi toksisitas tergantung daripada daya larut dan ukuran partikel. Semakin kecil ukuranpartikel, semakin mudah diabsorbsi. Umpama Pb asetat yangkurang menimbulkan bahaya intoksikasi (kecuali bila ter-makan) oleh karena tidak berbentuk debu, dilain pihak Pbsuboksida sangat toksik karena dapat menyublim.Kadar Pb udara berbeda-beda ditiap tempat. Dari penyelidikanyang dilakukan, disimpulkan bahwa urutan daerah yangmempunyai kadar paling rendah hingga berkadar tinggi mulaidari tengah lautan — pegunungan — pantai — suburban — urban.Sewaktu musim dingin kadar Pb lebih tinggi daripada musimpanas, sebab polusi Pb kurang dapat dieliminasi oleh aliran

angin pada waktu musim dingin. Intake rata-rata melalui res-pirasi ialah 0,33 mg/hari, dengan kadar maksimal yang dianjurkan 10 ug/m 3 (the American Hygiene Association).Para penyelidik menghubungkan keadaan polusi ini denganpenggunaan bahan bakar.Pb tetraetil (TEL) merupakan campuran bahan bakar untukantiknock (menaikkan bilangan oktan), bersama-sama denganPb tetrametil. Konsentrasi maksimal yang dianjurkan berbedadi tiap negara, biasanya tidak melebihi 1,12 g/l. Di Indonesiauntuk campuran bensin hingga memenuhi persaratan premium(bilangan oktan 87) dan super (bilangan oktan 98), berturut-turut dipergunakan TEL maximum 2,5 ml dan 3 ml per gallonAmerika.

Sebagian besar sample udara mengandung partikel Pb ber-ukuran dibawah 1,0 u, yang merupakan batas ukuran partikelyang dapat diabsorbsi per inhalasi. Di Amerika lebih daripada2 x 108 kg Pb dibakar sebagai campuran antiknock per-tahun. Dikatakan bahwa lebih daripada 98% hasil pembakaranPb berasal dari bensin. Surveykasus keracunan yang dirawatdi rumah sakit—rumah sakit Jakarta sejak tahun 1971 belumpernah dilaporkan adanya keracunan Pb. Hal ini mungkin disebabkan karena kasus memang tidak ada atau diagnosa tidakdapat ditegakkan. Berdasarkan adanya polusi Pb udara, ke-mungkinan intoksikasi Pb pada orang-orang yang exposed,terutama di kota besar makin banyak.

KINETIKA TIMBALSetelah diabsorbsi, Pb didistribusi kejaringan lunak seperti

otak, paru, hati, limpa dan sumsum tulang sebagai Pb di-fosfat, kemudian mengalami redistribusi dan disimpan da-lam tulang sebagai Pb trifosfat yang sukar sekali larut. Prosesini berlangsung beberapa bulan bila penderita tidak diobati.Pb disimpan dan dimobilisasi dari tulang sama seperti kalsium.Dalam keadaan terikat pada tulang ini dianggap tidak toksikdan toksisitas timbul jika berada dalam keadaan bebas. Pem-berian banyak kalsium dan keadaan asidosis akan membebas-kan Pb dari tulang rimenuju jaringan lunak. Intake fosfat tinggimempermudah penimbunan Pb dalam tulang dan mengurangiPb dalam jaringan lunak, sedangkan intake fosfat rendahakan mempermudah mobilisasi Pb dari tulang dan menambahPb dalam jaringan lunak. Pb diekskresi bersama urin, tinja dankeringat (sedikit). Ekskresi Pb ditingkatkan dengan pemberianCaNa 2 EDTA atau penisilamin dan dimerkaprol.

2 8 Cermin Dunia Kedokteran No. I3. I978

Page 24: Cdk 013 Penyakit Mata

INTOKSIKASI PB DAN PENGOBATANNYA

Saluran pencernaan, susunan saraf, sistim hemopoietikdan ginjal merupakan alat-alat tubuh yang paling sensitifterhadap efek toksik Pb.

q Intoksikasi Pb akut. Intoksikasi Pb akut jarang terjadi, biasa-nya bersifat accidental poisoning yaitu termakannya senyawaPb akut yang mengenai saluran pencernaan dapat berupahaus, nausea, vomitus, diare, konstipasi, sakit perut dan rasalogam (metallic taste). Sedangkan gejala yang berhubungandengan susunan saraf pusat berupa insomnia, tremor, halusina-si dan gejala pada anak yang menonjol yaitu ataxia, kon-vulsi, koma dan ensefalopati. Gejala intoksikasi Pb terhadapsusunan saraf perifer dapat berupa parestesi perasaan, sakitdan lemah pada otot terutama kaki. Anemia hemolitik beratkadang-kadang terjadi pada intoksikasi Pb akut. Hal ini didugakarena Pb merusak membran sel eritrosit muda dan dewasapada sumsum tulang serta darah tepi.

Anak-anak dan orang dewasa dengan keracunan Pb akutdapat menderita disfungsi tubuli proximal dengan gejala-gejala seperti sindroma de Toni Fanconi (aminoasiduria,glikosuria, hiperfosfaturia). Mungkin hal ini disebabkan olehgangguan enzim tubuli atau defek fungsi mitokhondria yangdapat kembali normal sesudah diobati dengan chelating agent.

Intoksikasi Pb khronik. Intoksikasi Pb khronik didapatkanmelalui exposed terhadap Pb secara terus menerus sehinggakumulasi Pb makin meningkat dalam jaringan, suatu saat me-Iampaui safety level dan menimbulkan keluhan dan gejalaintoksikasi.Adanya deposit Pb abnormal terlihat pada gambaran radio-logi tulang panjang, dimana terdapat penambahan densitasujung metafisis dan garis Pb pada gingiva.Pada keadaan lanjut terlihat kelumpuhan (radial palsy, wristdrop, foot drop dan sebagainya) yang diduga disebabkan olehefek toksik prekursor porfirin, kelainan metabolisme hemedalam saraf atau mekanisme lain yang belum jelas.

Anemia merupakan tanda lanjut dan paling sering terjadi pa-da orang dewasa, biasanya ringan serta selalu hipokrom. Hal inimenunjukkan salah penggunaan Fe dalam sumsum tulang,sehingga Fe ' darah meningkat. Pada penelitian ternyata ter-dapat pengurangan inkorporasi Fe kedalam eritrosit dan pe-nimbunan Fe berlebih-lebihan dalam mitokhondria prekursoreritrosit. Anemia yang terjadi digolongkan sebagai anemiasideroblastik. Pembentukan heme terganggu pada tingkatanmitokhondria yang didapat sebagai perubahan yang palingdini, atau langsung terhadap sintesa ribosom dan atau solubleRNA, terutama pada sumsum tulang dan hati.

Menurut AL B A H A R Y, hambatan terjadi pada enzim-enzim(1), (2) dan (4). Sedangkan menurut AN DE R S O N, terhadapenzim-enzim (2), (3) dan (4).Pb sebagai racun bekerja terhadap enzim-enzim yang kayaakan gugus sulfhidril (SH) seperti ALA dehidratase (ALA-D)dan dalam mitokhondria yaitu ALA sintetase dan hemesinte-tase. Hambatan ini bersifat nonkompetitif, tetapi aktivitasenzim ini dapat dikembalikan in vitro dengan menambah dithiothreitol, yaitu suatu reagen yang melindungi gugus SH.

SKEMA SINTESA HEMEsuksinil CoAALA sintetase (I)

piridoksal dan asam pantotenat

ALA dehidratase (2)

portobilinogen

uroporfirinbgen III

koproporfirinogen III

Koproporfirin dekarboksilase dihambat lebih ringan dibandingkan yang lain.

Ferokhelatase yaitu suatu enzim mitokhondria yang tidakada pada eritrosit dewasa karena sel ini tidak mempunyaimitokhondria. Kenaikan protoporfirin eritrosit (PP eritrosit)menunjukkan hambatan ferokhelatase terjadi dini pada pre-kursor seri eritrosit dalam sumsum tulang, sehingga PP danbeberapa prekursornya meningkat dalam sumsum tulang, da-rah dan ekskreta.ALA serum (serum delta amino laevulinic acid) bertambah taksebanyak PP eritrosit, ALA ini meningkat pada serum dan urin.In vivo porfobilinogen (PBG) urin meningkat lebih sedikit dibandingkan yang terjadi in vitro.Perhatian utama ditujukan pada penentuan proporfirin eri-trosit, ALA urin dan CP urin; dimana kadarnya meningkatbersamaan dengan munculnya sel bertitik basofil yang pertamadalam sumsum tulang. Untuk kasus ringan dan keperluan pro-filaksis dapat dilakukan pemeriksaan ALA urin saja. CP urinnormal pada anak dengan berat dibawah 80 lb kurang lebih0 — 75 ug/24 jam.

Dengan cheiating agent, ALA dan CP urin ini mula-mulamenurun dengan cepat dan selanjutnya berlangsung lebih lam-bat. Penurunan PP eritrosit kadang-kadang makan waktu lebihlama, hal ini disebabkan karena PP eritrosit yang berlebihanmembentuk kompleks dengan Zn dalam sel dan waktu paruheritrosit yang cukup panjang. Peninggian PP eritrosit ini tidakspesifik untuk intoksikasi Pb. Hal ini dapat pula terjadi padaanemia defisiensi Fe dan porfiria herediter. Sedangkan CPurin juga meninggi pada demam rematik, poliomielitis, anemiadefisiensi Fe, alkoholisme dan cirrhosis hepatis. Kelainan me-

glisin

delta amino laevuliniv acid(delta ALA)

UP III (—H 2 )

koproporfirinogen dekarboksilase (3)

protoporfirin IXFe+++

.

globin+

hemoglotiin

hemesintetase (ferokhelatase) (4)+ glutation+ asam askorbat

vit. A?

CP III (—H2)

Cermin Dunia Kedokteran No. I3. 1978 29

Page 25: Cdk 013 Penyakit Mata

tabolisme porfirin ini harus diperhatikan juga pada jaringan-jaringan selain darah, mengingat jumlah koproporfirin yangdikeluarkan melalui urin;seperti hepar dan ginjal. Kecuali ituterjadi perubahan proporsi normal HbA, HbF dan HbA 2 yangmirip dengan thallasemia.

Pengobatan bertujuan mengurangi konsentrasi Pb bebas da-lam darah dan cairan tubuh, hal ini dilakukan dengan berbagaicara antara lain :(1) Mencegah absorbsi Pb melalui usus dan paru.(2) Memperlancar pengeluaran Pb dalam urin dan empedu

tanpa merusak alat-alat ekskresi.

Untuk mengobati keracunan Pb akut dilakukan hal-hal sebagaiberikut :(1) Cuci lambung dengan MgSO 4 I %.

Pemberian 30 g MgS04 dianggap sebagai tindakan perta-ma yang penting, jika terdapat Pb dalam usus. Bila diberikan edathamil terlebih dahulu (peroral atau parenteral)sangat berbahaya karena mempercepat absorbsi dantransport ke otak.

(2) Berikan putih telur, susu atau tannin untuk mengikat Pb.(3) Berikan atropin atau morfin untuk menghilangkan sa-

kit perut.(4) Berikan CaC12 10%, 5 ml atau Ca glukonat 10%, 10 ml

intravena untuk menghilangkan kolik Pb. Dosis dapat diulangi tiap 4 — 6 jam.

(5) Pasang infus garam fisiologis.(6) Berikan chelating agent yang biasa dipakai ialah eda-

thamil (calcium disodium versenate, CaNa 2 EDTA).A L B A H A R Y menganjurkan dosis harian 0,5 — I,0 g da-

pat diberikan intravena, intramuskulus atau per infus, selama4 — 5 hari. Pemberian parenteral dapat diulangi setiap dua atautiga hari sesudah jadwal terapi selesai.Untuk infus dibuat larutan 3% dengan melarutkan 5 ml (1 gram)edathamil dalam 33 ml NaC1 isotonis dan 5% dextrose. Kecepatan: 0,17 g/jam/4½ kg BB dan maksimal lima — tujuh hari(dosis maksimal 2,5 g/4½ kg BB).Menurut . BY ER S dan MALOOF, untuk anak diberikan 65mg/kg BB/hari intravena (1 g/I5 kg/hari) dosis dibagi dua da-lam 100 — 200 ml dextrose. Jadwal terapi biasanya 3 hari dandapat diulangi hingga dua atau tiga kali selang tiga sampai em-pat hari.Penisilamin dan BAL (British Anti Lewisite) dipandang sebagaichelating agent yang kurang; poten dibandingkan edathamil.Pengobatan intoksikasi Pb khronis sama seperti keracunanakut, ditambah dengan pemberian barbiturat dan urea intra-vena untuk menghilangkan udema otak atau menurunkantekanan intrakranial yang tinggi.Akhirnya penting diperhatikan untuk mencegah kemungkinanexposed yang kedua kalinya.

Peranan laboratoriumAkhir-akhir ini cara mendeteksi kadar sesuatu zat dalam

tubuh mengalami kemajuan, sehingga peka untuk mengukurkwantitas yang kecil sekali.Beberapa cara untuk mengtikur kadar Pb dalam udara, darahatau urin ialah dengan :(1) Double Extraction, Mixed Color, Dithizone Method(2) Atomic absorption spectrophotometry (PE R K I N E L M E R

306/HGA/72).Cara pertama berdasarkan reaksi antara diphenylthiocarbazonedengan Pb, sehingga membentuk Pb dithizonate yang dapat diekstraksi dengan chloroform. Kepekaan dapat dicapai hingga0,3 mikrogram. Sarana yang tersedia memungkinkan untukdapat dilakukan di Indonesia.Tanda dan gejala keracunan Pb biasanya terjadi pada kadar 0,8ug/ml darah atau lebih sedangkan ensefalopati terjadi padakadar 1 — 2 ug/ml atau lebih.Hubungan antara diet dan sumber Pb udara dan bahayanyaterhadap kesehatan dapat dilihat pada tabel I.

TABEL I . Hubungan diet dan sumber Pb di udara

Udara Absorbsi mcg/hari IPerkiraan kadarKeadaan -mcg/ dalam darahm 3 Udara Diet Total (mcg/ml)

0,0005 Udara bersih — — — —2 14 30 44 0,212 — 5 Udara kota Kadar antara10 Ekskresi ALA

mulai mening-kat 69 30 99 0,40

50 Terjadi in-toksikasi 345 30 375 0,72

Menurut B ROOKES, kadar Pb 0,015 ppm umumnya diterimasebagai batas maksimum Pb udara dalam ruangan kerja.Cara lain untuk menentukan adanya peninggian absorbsi Pb se-awal mungkin ialah dengan mengukur :q Kadar koproporfirin urin (Cp urine). Cara untuk menentu-kan kadar Cp urin dikenal sebagai metode AS K E V O L D.Penentuan ini dilakukan dengan cara ekstraksi dan menggu-nakan fluorimeter dan spektrofotometer.q Kadar delta ALA urin. Kadar delta ALA urin ditentukandengan menggunakan metode :(i) G R A B E C K I dan (ii) DAVI SALA test.q Aktivitas deltaALA dehidratase dalam darah. Penetapanak-tivitas delta-aminolaevulinic acid dehidratase (ALA-D) darahberdasarkan penetapan porfobilinogen yang dibentuk dari ALAoleh ALA-D dengan kolorimetri. Harga normal: 80 — 120 U/mleritrosit.q Banyaknya selbertitikbasofil dalam darah perifer. Karena Pb

normal terdapat dalam makanan sehari-hari, maka biasanyadidapatkan eritrosit bertitik basofil sekitar 3 — 4 x 10 3 /mm 3

darah. Bila terdapat lebih dari 50 x 105 eritrosit bertitik basofildalam I mm3 darah, jika bukan karena anemia mungkin disebabkan oleh karena intoksikasi Pb.Beberapa nilai MAC (maximal allowable concentration) yangdianjurkan dapat dilihat pada tabel II dan III .

KesimpulanTelah dibicarakan mengenai intoksikasi timbal dan cara

mengobatinya. Intoksikasi timbai dinegeri kita (terutama dikota-kota besar seperti Jakarta) mungkin ada dan akan ber-tambah karena penggunaan timbal diindustri atau sebagai polu-si semakin meningkat. Asumsi ini baru dapat dibuktikan

30 Cermin Dunia Kedokteran No. 13 I978

Page 26: Cdk 013 Penyakit Mata

kebenarannya setelah mengadakan suivey di tempat-tempatyang relatif sumber timbalnya tinggi dihubungkan dengankeluhan, gejala intoksikasi Pb, kadar Pb darah, kadar PB — CPdan delta ALA dalam urin (case finding approach). Daripemeriksaan laboratorium dapat diketahui apakah kadar zatzat tersebut diatas sudah melampaui safety level atau belum. Halini penting, karena akan merupakan "early warning" supayatidak terjadi tragedi seperti keracunan air raksa (Minamatadisease) di Jepang.TABEL 11 : KADAR Pb MAXIMAL YANG DIPERBOLEHKAN

Pb urin 0,2 mg/24 jam

ALA urin 3,0 mg/24 jam

CP urin 0,2 mg/24 jam

ALA darah 40 ug%

PP eritrosit 60 ug%

PP faeces 40 ug/gm dry weight

CP faeces 20 ug/gm dry weight

ALA mg/1 Derajat "exposed" terhadap Keterangan

0 — 6 tidak ada normal

6,1 — 10 ringan "trace"

10,1 — 20 sedang +

20,1 — 40 berat ++

Lebih dari 40,1 sangat berat +++

KEPUSTAKAAN:

1. ALBAHARY C : Leadandhemopolsis. The mechanism andconsequences of the erythropathy of occupational lead poisoning.Am I Med 52: 367-378, 1972.

2. ANDERSON K E et al: Plubism from airborne lead in a firingrange. An anusual exposure to a toxic heavy metal. Am J med63: 306-3II, 1977.

3. BROOKES V J & JACOBS M B : Poison. second ed D van Nos-trans Co, Inc. Princeton, 1958.

4. BYERS R K : Lead poisoning. Review of the literature andreport on 45 cases.Pediatrics 23: 585-602, 1959.

5. CHOW T J & EARL J L : Reports, lead in aerosols in the atmos-phere: lncreasing concentration. Science 169: 577, 1970.

6. CROSSBY W H : Editorials. Lead contaminated health food:The tip of an iceberg.JAMA 238:1544, 1977.

7. DARMANSJAH I, HANDOKO T and SINTASARI M: Poisoningadmissions in Jakarta hospitals during 1971 and 1972. KongresNasional ke Il lkatan Ahli Farmakologi Indonesia,

J akarta, De-

sember 1974.

8. DAVID D J & HOFFMAN S: Blood lead and metal retardation.Lancet 23: 906, I977.

9. Determination of lead in air and in biological materials: TheUSPHS double extraction, mixed color dithizone method.Manualof analytical methods, pp 1—I8, 1958.

10. DREISBACH R H: Handbookofpoisoning. Diagnosis andtreatment. Sec ed Lange Medical Publ, California, 1959.

11. FISCHBEIN A: Lead poisoning from cocktail glasses. JAMA187:703, 1964.

12. GLEASON M N et al: Clinical toxicology of commercial pro-ducts. Acute poisoning. 3rd ed The William and Willkins Co.Baltimore, 1969.

13. GOLDSMITH J R and HEXTER A C: Respiratory exposureto lead: Epidemiological and experimental dose response re-lationship. Science 158: 132, 1967.

14. GOLDSTEIN A, ARONOW L and KALMAN S M: Principleofdrugaction. The basis of Pharmacology. seced A Wiley Bio-medical Health Publication, John Wiley & Sons. New York,1974.

15. GODMAN L S and GILMAN A:The pharmacological Basis oftherapeutics. 5th ed Mac Millan Publis Co, Inc. 1975.

16. GOYER R A: Lead toxicity, A problem in environmentalpatho-Iogy.AmJ Pathol 64:167-179, I971.

17. GRIGGS R C et al: Environmental factors in childhood leadpoisoning. JAMA 187:703, 1964.

HAMILTON A and HARDY H L:Industrial toxicology . seced Paul B hoeber Inc. Medical book department of Harper &Brothers, New York, 1959.

19. KEHDE R: Lead, alkyl compounds. International labour office.Encyclapedia of occupationalhealth and safety. I LO, Geneva,1972.

20. LIGHTFOOTE J et al: Lead intoxication in an adult causedby Chinese herbal medication. JAMA 238:1539, I977.

21. LIVESLY B and SISSONS C E: Chronic lead intoxicationmimicking motor neuron disease. Brith Med J 4: 387-388, 1968.

22. MOORE M R et al: A retrospective analysis of blood lead inmentally retarded children. Lancet 2: 7I7, 1977.

23. MOORE et al: Contribution of lead in drinking water to bloodlead. Lancet 24: 661, 1977.

24. PERLSTEIN M A and ATTALA R: Neurologic seqdellae bfplumbism in children. Clin Pediat 5: 292-298, I966.

25. Pertamina. Komunikasi pribadi, 1978.

26. PUESCHEL S M et al: Children with an increased lead burden.A screening and follow up study.JAMA 222: 462, 1972.

27. SCHEIDERMAN M A et al: Reports, toxicity. Thetherapeuticindex and the ranking of drugs. Science 144: 1212, 1964.

28. STANKVIC M et al: Manual of methods. lnternational trainingcourse in applied toxicology. lnstitute of occupational and radio-logical health, Belgrade, Deligradka 29, Jugoslavia 1975 and1977.

29. WILSON V K, THOMSON M L and DENT C E: Amino-aciduria in lead poisoning: A case in childhood. Lancet 265:66-68, 1953.

30. ZETTERLUND B et al: Lead in umbilical cord correlated withthe blood lead of the mother in areas with low, median or highatmosphere pollution. Acta Paediatr Scand 66: 169-175, I977.

31. ZIELHUIS R L: Lead, alloys and compounds. lnternationalLabour Office. Encyclopaedia of occupational Health and safety .ILO, Geneva, 1972.

TABEL 111 HUBUNGAN KADAR ALA URIN DENGAN DERAJAT18.EXPOSED

Cermin Dunia Kedoktcran No. I3. 1978 3 3

Page 27: Cdk 013 Penyakit Mata

PENCEGAHAN & PENGOBATAN

DEFICIENCY VITAMIN A

dr. R. Rachmad

Bagian Ilmu GiziFakultas Kedokteran Universitas Indonesia,

Jakarta.

PENDAHULUAN.Salah satu masalah gizi yang perlu mendapat perhatian

di Indonesia adalah deficiency vitamin A. Masalah ini sudahdikenal lama; terutama pada anak-anak 1 — 5 tahun dan sam-pai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakatdi Indonesia.

SALIM (I958) menyatakan bahwa penyebab utama kebuta-an di Indonesia adalah deficiency vitamin A. Hal ini diperkuatoleh penelitian TEN DOESCHATE (1968) di Surabaya dan se-kitarnya, ia mendapatkan bahwa kebutaan pada hampir sete-ngah dari 675 anak dibawah I7 tahun disebabkan karena defi-ciency vitamin A.

Di Jakarta diantara 118.631 pengunjung poliklinik BagianIlmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM selama satu tahun (Su-tedjo dkk. 1968) ditemukan 5,56 % penderita deficiency vi-tamin A. Observasi selama 10 tahun dari 1957 - I966 (Teng1968) , menunjukkan bahwa 21% diantara pasien pengunjungRumah Sakit Mata Cicendo, Bandung yang berumur 0 — 6tahun adalah penderita Xerophthalmia.

Dari hasil-hasil survey lain ditemukan prevalensi defi-ciency vitamin A pada anak-anak prasekolah diberbagaitempat sebagai berikut :Pondok Pinang, Jakarta 13,9%(SAROSO dkk. 1972); Desa Kebon Klapa, Bogor 27,6% (KARYADI dkk. 1972), Cibatok,Bogor 17,6% (KARYADI dkk. I974), di kota Salatiga 4,3%dan di 5 Desa Kabupaten Semarang 5,2% (TARWOTJO dkk.1975). Atas dasar kadar vitamin A dalam serum di 5 Kabupa-ten di JATIM dengan kriteria 10 ug/100 ml sebagai "defi-ciency " dan 10-19 ug/ 100 ml sebagai"rendah " (KA R Y A D I,1976) didapatkan serum vitamin A deficien pada bayi yangmasih menyusu (dibawah satu tahun) 7,7-35, 7%, paling tinggipada umur 1 — 3 tahun (11,5 — 30,3%) dan keadaan lebihbaik sesudah 4 tahun sekalipun jumlah anak dengan nilai"deficien "masih cukup tinggi.

Hasil penelitian di daerah Sumatra Utara (KUSNI dkk.)menunjukkan bahwa masalah deficiency vitamin A (menurutkriteria WHO 1976) di daerah itu masih merupakan masalahkesehatan masyarakat. Beberapa angka sementara hasil pene-litian Team penanggulangan Kebutaan menunjukkan preva -

lensi Xerosis conyuntiva dipelbagai desa di Sumatra Utarabervariasi dari 0 — 8,4%

Pada umumnya prevalensi Xerosis Cornea yang masihaktif

di tiap propinsi berada diatas kriteria WHO untuk menetap-kan adanya masalah deficiency vitamin A.

Deficiency vitamin A sering ditemukan bersama-samaKKP (Kurang Kalori Protein). OOMEN (1954) menemukanbahwa penderita KKP menunjukkan juga tanda-tanda de-ficiency vitamin A, POEY (1957) menemukan 49% sedangKARYADI (1968) menyatakan hampir seluruh penderita defi-ciency vitamin A yang mengunjungi Klinik Gizi di Bogor me-nunjukkan tanda-tanda KKP.FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB DEFICIENCY VITAMIN A.

Terjadinya deficiency vitamin A berkaitan dengan ber-bagai faktor dalam hubungan yang komplex seperti halnya de-ngan masalah KKP. Makanan yang rendah dalam vitamin Abiasanya juga rendah dalam protein, lemak dan hubungannyaantar hal-hal ini merupakan faktor penting dalam terjadinyadeficiency vitamin A. Selanjutnya deficiency vitamin A danprotein mengurangi resistensi tubuh terhadap infeksi denganakibat terjadinya suatu "Circulus vitiosus" antara infeksi dankekurangan gizi. Konsumsi vitamin A yang rendah selaludilaporkan pada penyelidikan-penyelidikan deficiency vi-tamin A.

Pada percobaan binatang dan manusia diperoleh beberapapetunjuk hubungan antara protein & vitamin A dan untuk me-mudahkan dapat kita simpulkan sebagai berikut :

Protein dari diet sehari-hari mempengaruhi absorpsi,transportdan penimbunan vitamin A ke hati dan mobi-lisasi vitamin A dari hati.

(2). Deficiency vitamin A dan keadaan KKP biasanya ter-jadi bersama-sama.

(3). Protein dalam diet diperlukan untuk memobilisasi ca-dangan vitamin A dari hati ke aliran darah.

FUNGSI VITAMIN A.Vitamin merupakan "body regulators" dan berhubungan

erat dengan proses-proses metabolisme. Secara umum fungsitersebut dapat kita bagi dua (i) Yang berhubungan denganpenglihatan dan (ii) Yang tidak berhubungan dengan peng-lihatan.

q Yang berhubungan dengan penglihatan.WALD mengurai-kan, bahwa Rods yang ada di retina sensitif terhadap cahayadengan intensitas yang rendah, sedang Cones untuk cahaya

(1)•

34 Cermin Dunia Kedokteran No. 13. 1978

Page 28: Cdk 013 Penyakit Mata

dengan intensitas yang tinggi dan untuk menangkap cahayaberwarna.Pigment yang sensitif terhadap cahaya dari Rods disebut se-bagai Rhodopsin , yang merupakan kombinasi dari Retinal aldan protein opsin.

Peranan vitaminA pada proces penglihatan.

Rhodopsin (11-cis)

Lumi-rhodopsin (all-trans)

Meta-rhodopsin (all-trans)

Perubahan dari rhodopsin ke retinene terjadi pada prosespenglihatan: Disini mungkin rhodopsin hanya salah satu daristruktur protein yang akan menjadi stabil setelah dikombina-si dengan vitamin A:qEffect lain dari vitamin A: Pada penglihatan yang ber-pengaruh secara tidak langsung ialah pada epithel cornea &conyunctiva: Pada keadaan deficiency, epithel menjadi keringdan terjadi keratinisasi seperti tampak pada gambaran Xero-phthalmia:

KLASSIFIKASI DEFICIENCY VITAMIN A PADA MATA:Untuk mengklasifikasi derajat berat ringannya dan untuk

melihat prognosanya, TEN DOESCHATE membagi kelainan-kelainan deficiency vitamin A pada mata sebagai berikut :

X o : HemeralopiaX 1 : Hemeralopia/conyunctivae Xerosis/Bitot spotsX 2 : Xerosis corneaX 3 : KeratomalaciaX 4 : Staphyloma, phthisis bulbi.

X 3 dan X 4 berbentuk kelainan irreversible meskipun diberipengobatan dengan massive dose vitamin A:

X o s/d X 2 masih merupakan kelainan yang reversible danmemberi respons baik dengan penambahan vita-min A.

Pada Report of the international vitamin A consultativegroup (IVACG) Maret 1976 di Haiti, kelainan Xerophthalmiadibagi sebagai berikut :

X 1 A : Conyunctival xerosis

X 1 B : Bitot's spot with conyunctival xerosisX 2 : Corneal xerosisX 3 A : Corneal ulceration with xerosisX 3 B : Keratomalacia

XN : Night blindnessXF : Xerophthalmia fundusXS : Comeal scarsXB : Bitot's spot

Klasifikasi diatas telah digunakan oleh WHO:

Keterangan.(1). Tanda-tanda diatas lebih merupakan discriptive dari

kelainan dan bukan diagnostik: Semua tanda-tanda yangterlihat pada pemeriksaan dicatat:

(2). Secara umum dapat dilihat bahwa beratnya tingkat ke-lainan terdapat pada klasifikasi yang ada di dalam ko-tak:

(3).. Klasifikasi diatas dapat dipakai baik pada field surveymaupun pada penderita di Rumah Sakit/Poliklinik:

(4). Pada tabulasi tanda kelainan hanya ditulis satu saja danditulis yang paling berat:

(5). Hanya Bitot's spot dengan xerosis conyunctive biasa-nya pada anak 0 — 5 tahun merupakan gejala defi-ciency vitamin A:

(6). Tanda-tanda yang ditulis diluar kotak, sering berhubung-an dengan gejala deficiency vitamin A dan sebaiknya di-tulis terpisah:

Kriteria untuk menentukan apakah Xerophthalmia dan defi-ciency vitamin A secara nyata merupakan problem PublicHealth adalah sebagai berikut :

(1): X1B 2:0 %(2). X2 + X3A + X3B 0:01 %(3): XS 0:1 %(4): Plasma vitamin A kurang dari 10 ug/100 ml

>=5 %:PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN

Usaha-usaha untuk mencari pemecahan masalah vitamin Asudah dilakukan berbagai pihak dengan cara-cara pendekatanyang berbeda-beda, seperti :

(1). Dengan memberikan minyak kelapa sawit ± 4 cc seharipada anak-anak Balita; terlihat bahwa frequensi defi-ciency vitamin A menurun dan serum vitamin A me-ningkat dengan nyata:

(2). Sejak diperkenalkan pemberian massive oral dose vi-tamin A pada tahun 1970, maka di Indonesia juga telahdilakukan percobaan-percobaan pemberian massive oraldose vitamin A per oral dan dapat disimpulkan bahwapemberian 200.000 I.U. massive oral dose vitamin Adalam bentuk oil emulsion dua kali dalam satu tahunpada anak Balita atau 300.000 I.U. sekali dalam satutahun dapat memberikan perlindungan terhadap ke-mungkinan deficiency vitamin A dan juga dapat meng-hilangkan gejala deficiency vitamin A.

Penelitian program evaluasi pemberian 'massive

11—cis-Retinal+ opsinNADH + H+

lkoholNAD

dehydrogenase11-cis-Retinal

gelap

all-trans-Retinal

retinal isomerase

Cahaya

'Cahaya

gelap

NAD

all-trans-Retinal + opsin

NADH + H+

alkoholdehydrogenase

CerminDunia Kedokteran No: 13: 1978 35

Page 29: Cdk 013 Penyakit Mata

dose " terhadap efektivitas dan penilaian sistim pe-layanannya telah dilakukan oleh TARWOTJO dkk.1975.Kemungkinan pe manfaatan Karotin, dengan pemberianmakanan yang banyak mengandung Karotin atau pem-berian vitamin A melalui garam konsumsi.

Semua cara tersebut diatas memberikan harapanuntuk pemecahan problem deficiency vitamin A dike-mudian hari dan memerlukan penelitian lebih lanjutun-tuk pelaksanaan secara luas. Karotin ternyata tidakseefektif vitamin A. Pemberian vitamin A pada garamkonsumsi menunjukkan bahwa selain kadar vitaminA dalam serum meningkat dengan nyata, juga kadar Hbmeningkat. Bagaimana hubungan vitamin A dengan pe-ningkatan Hb., masih belum dapat diterangkan secarategas dengan pengetahuan yang ada.

KEPUSTAKAAN

1. DOWLING J E, G WALD : Vitamin A deficiency and night

blindness. Proc Natl Acad Sc, U S 44 : 648, 1958.

2. KARYADI D et al : Prevention of vitamine A deficiency by

bianual administration of oral massive dose of vitamin A emulsi-

on. Presented at II Asian Congress of Nutrition , Jan 12-17,Manila, 1973.

3. KARJATI SRI, J A KUSIN, C De WITH : Geographical distri-bution and prevalence of nutritional deseases in East Java,Indonesia. Univ Airiangga School of Med. Prev Health Service

Surabaya • Royal Tropical Inst. Amstredam, 1976.

4. KUSIN J A, H S R PARLINDUNGAN SINAGA and A M MAR-PAUNG : Xerophthalmia in North Sumatra. Trop Geogr Med29 : 41, 1977.

5. MUHILAL and DARWIN KARYADI : Study on the availabili-

ty of vegetables carotenes and preformed vitamin A in pree

school children. IVACMeeting, Geneva, 1977.

6. OEY KOEN LIAN : Efforts toward preventing blindness inIndonesia. MKI : 12 : 72, 1963.

7. SALIM I: Masalah kebutaan dan penyakit mata di Indonesia.

Pidato Pengukuhan Guru Dasar. Jakarta, 1958.

8. SUTEDJO, K ROHTIATMO and SUDIYANTO : Morbidity

in outpatients attending the department of child health. Medical

school University of Indonesia, Jakarta. Paed Indon 8 : 235-250, 1968.

9. SWAMINATHAN M C, SUSHELA T D, THIMMAYANA B V S:

Field prophylactic trial with a single anual oral dose of vitaminA. Am J Clin Nutr 23 : 109, 1970.

10. TARWOTJO IG et al : An evaluation of the vitamin A deficien-

cy prevention pilot project in Indonesia 1973•1975. AFOBInc Report, 1975.

11. TEN DOSSCHATE J : Causes of blindness in and around Suraba-ya, East Java. Indonesia. Thesis. 1968.

12. TENG KHOEN HIN : Some observations on Xerophthalmiaduring the last decades 1957-1966. Proc Kongr Nas PERDAMII, 1968.

Diseases of the Liver and Biliary System.Ditulis oieh Sheila Sherlock.Edisi ke V, tahun 1975.Diterbitkan oleh Blackweil Scientific Publication, Oxford,London. Edisi Asia diterbitkan oieh Igaku Shoin Ltd . Tokyo,Japan.

Dr. Sheila Sherlock adalah seorang ahli dalam penyakit hatiyang terkenal dalam dunia kedokteran dan memiliki juga ba-nyak pengagum diantara kalangan dokter spesialis di Indonesia.

Edisi Asia ini bersampul tebal (hard cover) dan terdiri dari820 halaman yang dicetak di atas kertas tebal dan mengkilat.Illustrasi-illustrasi di dalamnya cukup bagus dengan beberapadiantaranya berwarna.

Cara penyajiannya menarik dan ditulis dalam bahasa Inggerisyang cukup enak dibaca.

Dimulai dengan anatomi hati dan cara-cara pemeriksaanyang mutakhir seperti hepatic scinti-scanning serta teknik/indikasi/interpretasi biopsi jarum jaringan hati. Disusul olehperobahan-perobahan biokimia penyakit hati. Setelah ini barudilakukan pembahasan bagian kliniknya.

Penulis resensi ini berpendapat bahwa semua atau hampirsemua kelainan/gangguan hati dapat ditemukan dalam buku ini,dari hepatic cellular failure, portal hypertension sampaimetabolic diseases dan tumor-tumor hati.

Beberapa bab diantaranya yang menarik sekali ialah:hepatitis virus, drugs and the liver dan nutritional liverdiseases.

Tidak mengherankan bahwa buku ini telah mengalami ce-tak ulang sebanyak lima kali antara tahun I955 dan I975 sertatelah diterbitkan pula dalam bahasa-bahasa Spanyol, Jerman,Portugis, Yunani, Jepang dan Itali.

Kepada teman-teman sejawat dan mahasiswa-mahasiswakedokteran yang hendak memperdalam pengetahuan dalamkelainan/gangguan hati, kami anjurkan untuk membaca bukuini.

Untuk keterangan lebih lanjut dipersilahkan menghubungi:KALMAN BOOK SER VICE, P. O. Box 3105/Jkt.

3 6 Cermin Dunia Kedokteran No. 13. 1978

Page 30: Cdk 013 Penyakit Mata

HUMOR

ILMU KEDOKTERAN

JABATAN YANG DIRANGKAP

Kakak saya adalah seorang dokter yang me-megang sebuah poliklinik sosial di kotanya.Suatu sore, dia pergi ke polikliniknya walau-pun merasa tidak enak badan.

Seorang pasien telah diperiksa dan diberiobat, giliran pasien berikutnya. Tiba-tiba ...........serangan kolik menyerang sehingga dia takberdaya, sambil mengaduh kesakitan dia me-megangi perutnya. Pasien-pasien menjadi ributdan berusaha menolong. Dia ditidurkan di tem-pat tidur yang biasa dipakai untuk memeriksapasien, sedang para pasien sibuk menggosok-gosok badannya dengan minyak gosok, mencarikan air panas untuk kompres hangat dan lain-lain.

Setelah rasa sakit reda dia minta air untukminum obat. Pasien-pasien tak bisa pulang,karena turun hujan lebat.....................................Melihat "penolongnya " menunggu hujan lebatreda, kakakku tak sampai hati untuk mem-biarkan begitu saja, sehingga dengan masihmemegangi perut dia sekarang bertugas lagijadi dokter dan ganti memeriksa pasien-pasienyang tadi menjadi "dokter"-nya.........................

Ternyata salah seorang "dokter"-nya adalahpenderita decompensatio cordis, untung bukanmyocard infarct . . . . !!!!!!!!

dr M M B SunartiBagian parasitologi F K-U S M

Saia

DISANA BINGUNG................................DISINI BINGUNG

Pada suatu pagi saya dipanggil ke sebuah desa. Kebiasaan di desa,orang sakit dikerubungi orang banyak, ingin tahu!

Saya datang dengan gaya tersendiri, diikuti orang yang memanggil,sambil menjinjing tas saya. Ketika saya masuk, orang-orang menyibak. Merekatentunya penuh harapan karena sang penolong sudah datang.

Kemudian saya tanya-tanya sebentar kepada istri si sakit. Sesudahtanya jawab selesai saya mengatakan: "Bu, bapak ini lumpuh separuh. "Sesudah tensimeter saya pasang, stetoskop-pun diletakkan ditelinga. Tiba-tiba..........................aduuuuuuuhh!!! Suasana mengagetkan. Sambil memegangtelinga, saya lari pontang-panting. Orang-orang jadi kebingungan, karenayang pontang-panting justru pak dokter yang kesakitan.— "Ada apa pak, ada apa dok . . . . ???+ "Ambiikan itu aikohol, masukkan ke teiinga ini! perintah saya.Setelah beberapa saat barulah saya kembali tenang, muka merah padam danbadan keringatan.+ "Ah, sial . . . sial . . . , itu lho . . . . stetoskop saya disarangi serangga, lalumasuk ketelinga. (Begitulah stetoskop yang tergantung lama ada bahayanya,jadi sarang serangga!).

Sesudah kembali kerumah, saya meminta bantuan istri saya untuk me-ngeluarkan serangga yang masih bersarang di telinga ..........................................

dr Nyoman SumarthaBajera,Tabanan, Bali.

Jawaban Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran

1. A 3. A,B 2. A, B, C. 4. B

5. D 6. D 7. B 8. B

Cermin Dunia Kedokteran No. 13. 1978 37

Page 31: Cdk 013 Penyakit Mata

Catatan singkatMethotrexate merupakan sitostatik yang cukup

banyak dipakai dalam klinik, harganyapun cukuptinggi. Beberapa peneliti berusaha untuk menda-patkan biay4 pengobatan yang lebih rendah tanpamenurunkan efeknya.

Ternyata pemakaian probenecid pada pemberi-an methotrexate memperlambat eliminasi metho-trexate, dalam 24 jam kadar serum adalah empatkali lebih tinggi dari pada penderita yang tidak di-beri probenecid.

Dikatakan bahwaefek inhibitor dari probenecidpada ekskresi methotrexate di tubuli ginjal inidapat dipakai untuk memperkecil dosis metho-trexate yang dipakai sehingga dapat menurunkanbiaya pengobatan.

British Med Journal 1 1097, 1978.

Berbagai jenis obat dapat menimbulkan ketuli-an, antara lain salicylate. Malah akhir-akhir inibanyak antibiotika golongan aminoglycoside jugamempunyai efek samping tersebut diatas.

C DIA M O N D dalam surveynya melaporkan pa-da tahun 1973 dijumpai 0,3% dari 11 526 pende-rita yang berobat mendapat ketulian akibatobat-obat yang diberikan. Dari jenis obat-obatpenyebab ketulian tersebut didapatkan : aminogly-coside ( 13 per 1000 ) Aspirin ( 11 per 1000 ); Ethacrynic acid (7 per 1000) dan Quinidine (3per 1000). Diingatkan juga bahwa banyak tetestelinga yang memakai antibiotika golongan ami-noglycoside. Karena pemakaian tetes telinga da-pat mencapai telinga bagian dalam, kemungkinanketulian melalui jalan ini juga perlu dipikirkan.

C DIAMOND Adverse Drug React Bull 69:244,1978

Diagnosa dini dari tumor cerebri merupakan halpenting yang dapat membantu pengobatan pende-rita dengan tumor cerebri.

Oleh sebab itu pada penderita-penderita dengantanda peninggian tekanan intra cranial atau kelainan neurologik focal yang progresif perlu diteliti se-cara lebih cermat, agar pengobatan oleh ahli bedahsaraf dapat mencapai hasil yang lebih baik untukpenderita. Tetapi perlu diingat bahwa kenaikantekanan intra cranial tidak selalu disebabkan olehtumor cerebri. Beberapa casus anak karena keracu-nan Pb, nalidixic acid, tetracyclin pada bayi ataugejala withdrawal pada pemakaian kortikoteroidjuga dapat menimbulkan hal tersebut Kadang- kadang sebab dari kenaikan tekanan intra cranial yangbenigne baru dapat ditemukan sesudah dilakukanpemeriksaan yang cermat.

Epilepsy dan gejala-gejala lain yang menyebab-kan timbulnya kecurigaan akan kemungkinan ada-nya peninggian tekanan intra cranial tentunyasangat membantu menegakan diagnosa. Juga pen-ting meneliti adanya kelainan visus serta kelainanpendengaran yang bersifat unilateral.

BRYAN ASHWORTH Practitioner 221 : 59 65, 1978

Pada klinik rheumatologi di Brisbane, Austrliatelah dilakukan penelitian pemakaian aspirin yangdibandingkan dengan pemakaian aspirin dengankombinasi phenacetin dalam bentuk APC terhadapefek samping yang terjadi pada penderita denganrheumatoid arthirts.

IAN FERGUSON et al mendapatkan pada pemakaian aspirin dalam bentuk kombinasi dengan phe-nacetin (APC) yang lebih dari satu kg aspirin,di-temukan adanya hubunganyangbermakna denganterjadinya renal papilary necrosis (RPN). Tetapipada penderita yang memakai aspirin saja sesudahjumlah yang sama (satu Kg) RPN tidak terjadi.Analysa perbandingan juga dilakukan di New Zea-land dan didapatkan terjadinya RPN sekitar 10,6%pada pemakai aspirin yang dikombinasi denganphenacetin dalam bentuk APC sesudah pemakaianlebih dari satu Kg. Dan hanya 0,3% bila hanyaaspirin saja yang dipakai tanpa kombinasi.

Dikatakan sebaiknya pemakaian phenacetin ha-rus benar-benar dibatasi mengingat efek sampingyang mungkin timbul.

IAN FERGUSON et al. Med J Austr 1 : 950 — 954, 1977

38 Cermin Dunia Kedokteran No. 13. 1978

Page 32: Cdk 013 Penyakit Mata

Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini ???Jawaban dapat dilihat pada halaman 37

1. Seorang ibu datang dengan keluhan anaknya panas (39,4 0 )sejak dua hari yang lalu, pada pemeriksaan tidak ditemukangejala-gejala fisik lain. Cara yang paling mudah dan efektifuntuk mengetahui bahwa anak tersebut menderita infeksivirus atau bukan adalah dengan :(A) Memberikan antipiretika, bila penyebab panas adalah

infeksi virus maka dalam satu jam suhu tubuh akanmenjadi normal kembali dan keadaan anak akanmenjadi biasa kembali.

(B) Dilakukan pemeriksaan darah rutin lengkap.(C) Dilakukan pemeriksaan serologis terhadap virus.(D) Semuanya benar.(E) Semuanya salah.

2. Obat mana dari yang tertera di bawah ini dapat menimbul-kan febris yang persistent ?(A) Quinidine(B) Methyldopa(C) Decongestant(D) Kortikosteroid(E) Semua yang tersebut diatas

3. Pemeriksaan apa yang perlu dilakukan sebagai pemeriksaanpendahuluan pada penderita dengan panas yangtidak diketahui sebabnya ?

(A) Hitung jumlah leucosit(B) Hitung jenis(C) Pemeriksaan ASTO(D) Pemeriksaan creatinin darah(E) Bukan salah satu yang tersebut diatas

4. Seorang penderita datang dengan pembesaran kelenjarlymphe disertai tanda-tanda peradangan lokal yang ringan,setelah diberikan antibiotika follow up apa yang perlu di-lakukan ?(A) Pemeriksaan laboratorium lengkap(B) Satu sampai dua minggu kemudian dilakukan evaluasi

apakah kelenjar tersebut tetap sama besar, mengecilatau semakin besar, bila perlu dilakukan biopsy un-tuk pemeriksaan PA.

(C) Langsung dilakukan biopsy untuk pemeriksaan PA.(D) Bukan salah satu diatas(E) Semua yang tersebut diatas

5. Seorang penderita ulkus peptikum yang diobati denganantasida, terserang sinusitis. Antibiotika yang dipakai untukmengobati sinusitis yang diderita adalah tetracyclin. Sesudahtiga hari, pemeriksaan mikrobiologis ternyata tidak me-nunjukan adanya perbaikan. Tindakan yang perlu diambiladalah :(A) Mengganti tetracyclin dengan cephalosporin(B) Menambahkan cephalosporin selain pemberian

tetracyclin(C) Pemberian tetracyclin intra muskulus.(D) Perlu dipastikan bahwa penderita tidak memakai

antasida dua jam sebelum dan dua jam sesudahmene-lan tetracyclin.

(E) Bukan salah satu diatas.6. Herpes zoster dapat menimbulkan kelainan pada cornea

berupa :(A) Keratitis supervisialis yang cepat menyembuh.(B) Keratitis supervisialis yang kronik.(C) Keratitis profunda yang cepat menyembuh.(D) Keratitis profunda yang kronik dan dapat bertahan

beberapa minggu setelah kelainan kulit sembuh.(E) Bukan salah satu diatas.

7. Gejala paralyse pada penderita meningitis disebabkan oleh :(A) Timbulnya suatu keadaan encephalopathia.(B) Proses peradangan menyangkut nervi craniales pada

dasar otak.(C) Karena peninggian tekanan intra kranial.(D) Panas yang tinggi menimbulkan gangguan keseimbang-

an cairan dan elektrolit.(E) Bukan salah satu diatas.

& Pada gonoblennorrhea neonatorum dikenal tiga stadiumyaitu :(A) Stadium infiltrasi ; stadium infasi dan stadium pe-

nyembuhan.(B) Stadium infiltrasi ; stadium blennorrhea dan stadium

penyembuhan.(C) Stadium blennorrhea ; stadium infiltrasi dan stadium

penyembuhan.(D) Stadium irirtasi ; stadium infiltrasi dan stadium pe-

nyembuhan.(E) Bukan salah satu diatas.

Cermin Dunia Kedokteran No. 13. 1978 4 1

Page 33: Cdk 013 Penyakit Mata

PENGALAMAN PRAKTEKPENGALAMAN PENGOBATAN TUBERCULOSIS PARU

dr TjubiantoBiro Konsultasi Penyakit Paru KebayoranJakarta.

Pengobatan penderita TBC paru berbeda di dalam pengobat-an masal dan praktek partikulir. Faktor-faktor yang me-nentukan dalam pengobatan masal :

• Harga obat sebaiknya serendah mungkin dengan efekterapi sebesar mungkin dan efek samping seminimalmungkin.

• Tempat-tempat pengobatan untuk penderita TBCparu yang biasanya tergolong dalam golongan sosioekonomi rendah, sebaiknya terletak dekat rumah pen-derita.

Sebaliknya pada praktek partikulir, dimana seorang dok-ter hanya berhadapan dengan satu penderita (individual treat-ment), maka obat-obat dapat disesuaikan dengan kemampu-an penderita.

Cara pengobatan masal di Biro Konsultasi Penyakit ParuKebayoran adalah sebagai berikut :• Satu bulan intensif initial treatment, tiap hari penderita

diberikan satu gram Streptomycin, 400 mg INH dan 10 mgvitamin B 6 .

• Sebelas bulan biweekly treatment, dua kali seminggu pen-derita diberi satu gram Streptomycin, 700 mg INH dan 10mg vitamin B 6 .

• Satu tahun penderita diberikan INH saja, dengan dosis400 mg sehari. Supervised treatment, dimana obat yangdiberikan harus ditelan di tempat pengobatan.

• Untuk pengobatan tidak dipungut bayaran.• Pemeriksaan sputum hanya dilakukan dengan direct sme-

ar.• Hanya penderita dengan sputum positif yang mendapat

pengobatan.Dari cara pengobatan seperti tersebut diatas, didapatkan hasilseperti yang terlihat pada tabel kelompok I dan II.Dari hasil-hasil yang tersebut pada tabelkami bersimpulkanbahwa :

(1) Defaulter rate sangat tinggi. (defaulter = penderitayang mendapat pengobatan kurang dari 80%dari yang seharusnya).

(2) Dengan cara pengobatan seperti diatas, tidak adaperbedaan antara enam bulan pengobatan dengan12 bulan.

Pada saat ini sedang dilakukan percobaan dengan Strep-tomycin - INH dan vitamin B 6 selama enam bulan, kemudianINH saja selama tiga bulan dengan memperhatikan relaps rate.Penderita-penderita dengan sputum (+) sesudah pengobatan

Kelompok—1 : Terdiri dari 110 penderlta.

WaktuPenilatan 3 bulan 6 bulan 9 bulan 12 bulan

Pengobatan ber-hasil sputum(+) menjadi(—)

49 (44,5%) 47 (42,7%) 38 (34,5%) 41 (37,2%)

Pengobatantidak ber-hasil sputumtetap (+)

19 (17,3%) 12 (10,9%) 14 (12,7%) 8(7,3%)

Defaulter 42 (38,1%) 51 (46,4%) 58 (52,7%) 61 (55,4%)

Kelompok 11 : Terdiri darl 89 penderita yang berobat selama 12 bu-lan. Penilaian ditakukan setelah enam dan 12 bulan.

Waktu penilalan 6 bulan 12 bulan

Pengobatan berhasll 76Sputum (+)menjadl (—)

(85,4%) 77 (86,5%)

Pengobatan tldak 13berhasii Sputumtetap (+)

(14,6%) 12 (13,5%)

Streptomycin INH dan vitamin B 6 selama enam bulan sebaik-nya dipikirkan untuk diobati dengan obat-obat sekunder seper-ti rifampicin, ethambutol, prothionamide, thiocetazone danPAS, dengan kombinasi dua atau tiga macam obat ini.

Di Jakarta sedang dilakukan percobaan pengobatan de-ngan rifampicin dan ethambutol sebagai pengobatan sekun-der.

Karena defaulter rate masih sangat tinggi, sebaiknya jugadicari cara untuk mengurangi hal ini, misalnya :• dengan mengikut sertakan semua puskesmas kelurahan

dalam Tuberculosis control program.• dengan kunjungan ke rumah-rumah penderita.

Bila biaya untuk Tuberculosis Control Program memung-kinkan, maka penderita-penderita dengan sputum (—) diberijuga pengobatan dengan cuma-cuma, sebab penderita-pende-rita ini selalu mempunyai kemungkinan untuk menjadi positifkembali.

Pengalaman merupakan guru yang terbaik ! Oleh sebabitu bila sejawat mempunyai pengalaman yang baik un-tuk diketahui oleh sejawat-sejawat lain, silahkan se-jawat kirimkan kepada kami untuk dimuat dalamruang ini.

Redaksi.

42 Cermin Dunia Kedokteran No. 13. 1978

Page 34: Cdk 013 Penyakit Mata

H E PATOLOGI

PULMONOLOGI

ABSTRAK-ABSTRAKHUBUNGAN ANTARA TEST FUNGSI HEPAR DENGAN KELAINAN HEPAR

Dalam klinik hampir selalu dimintakan pemeriksaan test fungsi hepar untuk melihatkelainan fungsi hepar sekaligus untuk menegakkan diagnosa kelainan pathologik hepar.Akan tetapi test-test ini tidak dapat mengukur secara quantitative besarnya kelainanfungsi hepar tersebut.

Hal tersebut dibuktikan oleh GALAMBOS dan W ILLS yang meneliti 242 penderi-ta obesitas terhadap empat pemeriksaan fungsi hepar yang biasa dilakukan diikutidengan biopsy hepar. Pemeriksaan fungsi hepar yang dipakai adalah SGOT, alka-line phosphatase, bilirubin dan albumin.

GALAMBOS dan WILLS mendapatkan bahwa 60—89% dari penderita dengankelainan biopsy hepar mempunyai satu atau lebih test fungsi hepar yang abnormal.Makin berat kelainan test fungsi hepar juga didapatkan kelainan biopsy yang lebihberat. Tetapi dari seluruh penderita didapatkan 12% pemeriksaan fungsi hepar yangnormal dengan hasil biopsy yang abnormal.

GALAMBOS & WILLS, Gastroenterology 74 : 1191 — 1195, 1978.

PERBANDINGAN BEBERAPA CARA PENGOBATAN TBC

Oleh East African & British Medical Research Council telah dilakukan perbanding-an pengobatan tbc dalam lima cara pemberian selama empat bulan. Cara pemberiandan obat-obat yang diberikan adalah sebagai berikut :

1. Streptomycin, INH, rifampicin dan pyrazinamide diberikan setiap hari se-lama delapan minggu kemudian diteruskan dengan INH, rifampicin dan pyra-zinamide setiap hari untuk sembilan minggu.

II. Seperti I selama delapan minggu kemudian diteruskan dengan INH dan rifam-picin setiap hari selama sembilan minggu.

III. Seperti I untuk delapan minggu diikuti INH dan pyrazinamide tiap hariselama sembilan minggu.

IV. Keempat jenis obat diberikan selama delapan minggu kemudian diteruskandengan INH saja selama sembilan minggu.

V. INH, rifampicin dan pyrazinamide tiap hari selama delapan minggu diterus-kan dengan INH saja tiap hari selama sembilan minggu.

Dosis obat yang diberikan adalah :• Streptomycin lg/hari.• INH 300 mg/hari.• Rifampicin 450 mg/hari untuk penderita dengan berat badan < 50 kg dan

600 mg/hari untuk penderita dengan berat badan > 50 kg.• Pyrazinamide diberikan 1,5 g/hari untuk penderita dengan berat badan

< 50 kg serta dan 2 g/hari untuk penderita dengan berat badan > 50 kg.Dari cara-cara yang tersebut diatas dimana rifampicin diberikan terus menerus

selama empat bulan, didapatkan relaps bakteriologik sebesar 8% dalam enaln bulanpertama sesudah pengobatan dihentikan. Tetapi pada tiga cara pemberian yang laindimana rifampicin diberikan hanya dalam waktu dua bulan dijumpai relaps bakterio-logik sebesar 24 — 34%. Tidak dijumpai adanya efek yang nyata pada penambahanpyrazinamide dalam pengobatan terhadap relaps bakteriologik..Penghentian pemberian streptomycin pada dua bulan pertama pengobatan menun-jukan terjadinya penurunan efek bakterisid dari chemotherapy yang dipakai, tetapiperbedaannya dikatakan kurang bermakna.

Lancet II : 334 -- 338, 1978.

Cermin Dunia Kcdokteran No. 13. 1978 43

Page 35: Cdk 013 Penyakit Mata

ANTIBIOTIKA

HEPATOLOGI

ONCOLOGI

ANTIBIOTIKA vs BATUK PILEKDalam praktek sehari-hari sering kita menghadapi anak-anak dengan infeksi saluran

pernafasan bagian atas, dengan gejala batuk pilek dan panas. Pada keadaan tersebutsering timbul keraguan dalam penggunaan antibiotika. Keadaan ini juga menimbul-kan kebingungan pada para orang tua, lebih-lebih bila disertai dengan panas dan me-nurunnya nafsu makan.

SALINSKY mengadakan penelitian pada 30 anak yang berumur antara satu sampaisepuluh tahun dengan infeksi saluran pernafasan bagian atas. Ke 30 anak tersebutdibagi dalam dua kelompok. Kelompok I hanya diberikan campuran tripolidone,pseudoephedrin dan codein sebagai pengobatan symtomatik, sedang kelompok IIdiberikan erythromycin. Para orang tua diminta membantu mencatat keadaan anakselama lima hari.

Sesudah lima hari SA L IN S KY mendapatkan bahwa pada kelompok anak yangdiberikan antibiotika terjadi dua komplikasi, satu anak menderita otitis media dansatu anak menderita infeksi saluran pernafasan bagian bawah disertai bronchospasme.Pada kelompok nonantibiotika dijumpai tiga komplikasi, dua anak menderita otitismedia dan satu anak menderita infeksi saluran pernafasan bagian bawah.

Gejala panas menghilang sesudah 2,2 hari pada kelompok antibiotika sedang padakelompok nonantibiotika adalah 3,5 hari.

Dari 30 anak-anak tersebut dijumpai empat biakan hapusan tenggorok yang positifterhadap beta hemolityc Streptococcus, dua dari masing-masing kelompok.

SALINSKY berkesimpulan bahwa pemberian antibiotika dapat memperingan gejalatetapi tidak dapat secara mutlak mencegah komplikasi.

Clinical Trial J 15 (3): 76 — 81, 1978.

ARTERIOPORTAL FISTULA AKIBAT CHOLANGIOGRAPHY/BIOPSY HATI

Pemeriksaan biopsy jarum pada hepar, percutaneus transhepatic cholangiographydan catheterisasi transhepatic dari saluran empedu intra hepatic atau vena porta se-makin sering dilakukan akhir-akhir ini.

Cara-cara pemeriksaan tersebut sangat membantu dalam menegakan diagnosakelainan hati dan saluran empedu. Akan tetapi tindakan-tindakan tersebut diatasjuga mempunyai resiko antara lain terjadinya arterioportal fistula.

KUNIO OKUDA et al meneliti penderita-penderita yang telah mengalami pemerik-saan tersebut diatas. Satu bulan sesudah tindakan dilakukan, OKUDA melakukanhepatic arteriogram. Ia menemukan terjadinya fistula arterioportal pada lima (5,4%)dari 93 penderita sesudah biopsy hati ; tiga (3,8%) dari 79 penderita sesudah per-cutaneus transhepatic cholangiography dan tujuh (26,2%) dari 26 penderita sesudahcatheterisasi saluran empedu intra hepatic.

Fistula yang terjadi tidak terlalu besar dan umumnya tertutup terhadap portahepatis. Dalam observasi ternyata fistula tersebut dapat menutup secara spontansesudah beberapa bulan.

K OKUDA Gastroenterology 74 : 1204—1207, 1978.

PENGARUH BROMOACETYLCHOLINE PADA NEUROBLASTOMANeuroblastoma merupakan tumor yang sering terjadi pada anak-anak dan dewasa,

penyakit ini mempunyai prognosa yang buruk. Suatu penelitian yang cukup menariktelah dilakukan oleh C Y CHIOU di University of Florida.

C Y CHIOU melakukan penelitian pada tikus-tikus yang telah diinokulasi denganneuroblastoma, dengan memberikan 30 mg/kg Bromoacetylcholine intra tumor satusampai tiga kali sehari dan Bromoacetat 12 mg/kg intra tumor dua kali sehari. la men-dapatkan bahwa hidup tikus-tikus percobaan tersebut dapat diperpanjang sampai200 %. Dikatakan mungkin efek cytolytic dari Bromoacetylcholine dan Bromoacetatpada neuroblastoma dapat merupakan titik terang terhadap pengobatan penderitadengan neuroblastoma.

C Y. CHIOU. J of Pharm Sciences 67 (3): 331 — 33, 1978.

44 Cermin Dunia Kedokteran No. 13. 1978

Page 36: Cdk 013 Penyakit Mata

UNIVERSITARIA

SYMPOSIUM ALERGI DAN IMUNOLOGI PENYAKITSALURAN PERNAFASAN

Pada tanggal 17 Juli 1978 di Rumah Sakit Pusat Per-tamina, Jakarta telah berlangsung Symposium Alergi dan Imu-nologi Penyakit Saluran Pernafasan. Symposium yang diselenggarakan oleh Pengurus Besar Perhimpunan Alergi danImunologi Indonesia (P B PERALMUNI ) ini diikuti oleh ku-rang lebih 300 peserta berasal dari Jakarta, Bandung, SemarangYogyakarta dan Surabaya.

Pada symposium ini dibahas tujuh kertas kerja dimanasebagian besar (empat kertas kerja) dibawakan oleh ProfPepys, seorang ahli dalam bidang alergi dan imunologi dariInggris yang sudah mempunyai reputasi internasional. Dalamsymposium ini Prof Pepys memberikan sebagian besar dariinti judul symposium sedang beberapa pembicara dari Jakartamenambahkan data-data yang ada untuk memberikan gam-baran dari keadaan di tanah air kita. Di sini secara khusus dibahas aspek alergi dan imunologi dari penyakit paru. Hal-halyang dibahas antara lain :q dr Karnen, Kepala Sub Bagian Alergi dan Imunologi

FKUI-RSCM mengatakan bahwa sejak dibukanya Sub BagianAlergi dan Imunologi tahun 1974 sampai akhir tahun 1977rata-rata diterima 800 penderita baru per tahun. Jumlah inimerupakan angka pengunjung baru tertinggi kedua sesudahSub Bagian Kardiologi. Sedangkan selama periode tersebutdiatas tercatat sekitar 12.000 sampai 15.000 pengunjung yangmendapat pengobatan di Sub Bagian yang sama. Jumlah inimerupakan Jumlah pengunjung poliklinik tertinggi dari semuaSub Bagian yang ada di bawah Bagian Ilmu Penyakit Dalam.

Dari penelitiannya, dr Karnen mendapatkan bahwa 25%dari mahasiswa FKUI tingkat III tahun 1976-1977 dan 1977-1978 menderita penyakit alergi. Dimana 50% dari mahasiswapenderita asma tersebut menunjukkan test kulit yang positifterhadap debu rumah. Sedang 60% dari mahasiswa penderitarhinitis juga menunjukkan hasil test kulit yang positif ter-hadap bahan yang sama.Dikatakan bahwa penyakit saluran pernafasan merupakanpenyakit yang sering dijumpai dalam praktek sehari-hari.Mengingat penyakit tersebut mempunyai banyak aspek, baikimunologik maupun nonimunologik maka pengelolaannyaperlu dilakukan dengan sebaik-baiknya agar penderita tidakmasuk ke dalam keadaan yang kronik dengan fungsi paru yangirreversible.q Prof Pepys banyak membicarakan aspek-aspek alergi

dan imunologi berbagai penyakit paru antara lain : Imuno-pathologi dari asma; Imunopathologi dari aspergilus paru;Imunologi klinik dari penyakit alergi pada saluran pernafasanyang disebabkan oleh asap atau uap dan debu serta bahan-bahan kimia. Juga ia membahas tentang Reaksi hypersen -

sitivitas dari paru akibat antigen yang terinhalasi.q dr Rasjid mengetengahkan data-data penderita yang

dirawat dibagian paru Rumah Sakit Persahabatan dan sampaitahun 1977 seberapa jauh faktor-faktor alergi dan imunologiberperan dalam penyakit-penyakit paru tidak dapat diterang-kan lebih lanjut, karena memang tidak pernah diselidiki ke-arah itu.q dr Jan Susilo mengetengahkan beberapa kasus yang kli-

nik diduga suatu tumor paru, sesudah operasi ternyata ke-lainan disebabkan oleh jamur. Ia mengingatkan perlu jugadipikirkan kemungkinan infeksi jamur pada kelainan paru yangdijumpai dalam praktek sehari-hari, walaupun frekwensinyatidak begitu besar.

SEMINAR KORTIKOSTEROID26 Juli 1978

Kortikosteroid merupakan sejenis obat dengan lapanganpenggunaan yang luas sekali; dari dermatologi sampai pada pencangkokan ginjal. Tak mengherankan bahwa jumlah peminatyang hendak mengikuti Seminar Kortikosteroid jauh melebihiangka yang telah diperkirakan (200 orang). Dengan berbagaicara pembatasan masih terdaftar juga sekitar 300 orang.Pada umumnya mereka terdiri dari dokter-dokter yang beradadi Jakarta dan wilayah-wilayah sekitarnya.

Seminar yang diselenggarakan di istana Ballroom, HotelSari Pacific Jakarta, hanya berlangsung satu hari; dari jam9.00 sampai jam 14.00 dengan waktu istirahat untuk minumkopi/teh dan makan siang.

Acara ilmiah dimulai dengan pembahasan dasar farma-kologi kortikosteroid yang dilanjutkan dengan penggunaannyadiberbagai bidang dalam klinik seperti ilmu Penyakit TelingaHidung dan Tenggorokan, Penyakit Mata, Penyakit Kulit,Penyakit Dalam, Pediatri dan yang tak kalah penting yaitupenggunaan kortikosteroid yang kurang tepat atau salah.

Acara ilmiah berlangsung dengan lancar dan cukupmenarik untuk para pendengar yang terbukti dari jumlahdan jenis pertanyaan-pertanyaan yang telah diajukan.

Beberapa kekurangan yang kiranya perlu mendapat per-hatian panitia penyelenggara ialah : kurang besarnya slide-pro-jector untuk ruang sidang yang cukup luas dan pelaksanaanmakan siang yang seharusnya dapat ditingkatkan. q OLH

KONGRES NASIONAL KE-X DAN KONGRES IL-MIAH KE-111 IKATAN SARJANA FARMASI INDO-NESIA

Pada tanggal 17 — 20 Juli 1978 di Yogyakarta telah ber-langsung Kongres Nasional ke-X dan Kongres Ilmiah Farmasi

Cermin Dunia Kedokteran No. 13. 1978 4 5

Page 37: Cdk 013 Penyakit Mata

ke-III Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia. Kongres yang dihadirioleh kurang lebih 600 peserta ini dibuka oleh Menteri Kesehat-an, Dr Suwardjono Surjaningrat bertempat di gedung Purna-budaya, Kompleks Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Tema kongres nasional_kali ini adalah: "Menghadapi tan-tangan dan perkembangan farmasi dimasa datang. " SedangKongres Ilmiahnya bertema: "Meningkatkan stabilitas obatsebagai salah satu unsur dari quality drugs.

Pembukaan Kongres ISFI ke X

Acara kongres. Meliputi sidang pleno yang diadakan untukmembentuk Presidium, sidang Komisi dan sidang ilmiah.Dalam sidang pleno dan sidang komisi telah dibahas strukturdan kedudukan organisasi Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia(ISFI) pada saat sekarang. Juga telah dicetuskan gagasan-gagasan baru yang menyangkut bidang tugas, peranan, hak dankewajiban tenaga sarjana farmasi, khususnya dalam rangkamenghadapi tantangan dan perkembangan dunia farmasi dimasa mendatang.

Dalam sidang ilmiah telah dibahas 69 kertas kerja yangsebelumnya didahului oleh suatu symposium mengenai stabi-litas obat. Dimana pemrasaran terdiri dari ahli-ahli dari dalamdan luar negri. Masalah-masalah yang dibahas antara lain :• Stabilitas obat dalam hubungan dengan distribusi.• Stabilitas obat pada kondisi daerah tropik.• Hubungan antara stabilitas dan bioavailabilitas.• Penggunaan test yang dipercepat untuk menetapkan sta-

bilitas obat.• Stabilitas obat-obat tradisionil.• Aspek-aspek farmakologi dan biokimia dalam hubungan-

nya dengan stabilitas obat.• Aspek struktur dan sifat kimia dalam hubungannya dengan

stabilitas obat.Kesan yang dapat disampaikan adalah: secara umum Pani-

tia telah menyelenggarakan Kongres ini dengan cukup ber-hasil. Semoga kongres-kongres berikutnya dapat lebih sukses12 q o.w.

SYMPOSIUM ILMU KEDOKTERAN DARURAT

Pada tanggal 14—15 September 1978, di Surabaya telahberlangsung Symposium Ilmu Kedokteran Darurat. Sympo-sium yang diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran Univer-sitas Airlangga bekerja sama. dengan P T Kalbe Farma ini cu-

kup mengundang banyak peminat. Sampai-sampai perlu di-buat pemberitahuan dibeberapa surat kabar, serta ratusanpeminat terpaksa ditolak karena kapasitas ruangan tidak me-madai. Tercatat kurang lebih 600 peminat yang mendaftaruntuk dapat mengikuti symposium tetapi berhubung tempatyang terbatas hanya 400 peserta yang dapat ditampung.

Para peserta datang dari seluruh pelosok tanah air antaralain Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra,Bali, NTT, NTB, Sulawesi, dan irian Jaya. Demikian melim-pahnya peserta sehingga untuk setiap kali istirahat diperlukanwaktu cukup lama baru suasana dapat tenang kembali. Umum-nya atau hampir sebagian besar para peserta adalah dokter-dokter umum yang bekerja di Puskesmas daerah (± 60%,berdasarkan questionair yang diadakan oleh Panitia. — Red).

Pada Symposium ini dibicarakan 37 kertas kerja; dua dariJakarta dan selebihnya 35 kertas kerja dibawakan oleh pembi-cara dari Surabaya. Masalah yang dibicarakan semuanya ber-kisar antara keadaan yang serba darurat seperti : Tindakandarurat pada keracunan akut, Penangulangan kegagalan ginjalmendadak, Keracunan pada anak, Gawat bayi, Resusitasi padabayi, Trauma capitis, Tracheotomi untuk mengeluarkan ben-da asing dalam trachea dan bronkhus, resusitasi cardiopulmo-nair dan sebagainya.Beberapa hal yang dapat kami ketengahkan :q Berdasarkan data-data yang berhasil dikumpulkan di Ru-mah Sakit seluruh Jakarta, dari tahun 1971—1976 ternyataprevalensi keracunan akut adalah 0,26—0,4% dari semua pen-derita yang dirawat. Sedang jenis keracunan yang sering di-jumpai adalah : hypnotik sedatif, minyak tanah, analgesik-antipiretik dan pestisida. Dan keracunan makanan yang ter-sering ialah karena jengkol. Case fatality rate berkisar antara2,6 — 7,57%. Juga dibicarakan tindakan-tindakan yang perludalam menolong penderita.q Pada kegagalan ginjal mendadak, pengobatan konservatifyang dilakukan secara tepat dan dini masih merupakan tindak-an yang memuaskan. Dialisa peritoneal dan hemodialisa mem-buka kemungkinan yang lebih baik pada pengobatan kegagalanginjal mendadak. Dikatakan oleh pembicara bahwa sering tin-dakan yang tidak tepat membuat hasil menjadi lebih jelek.Juga dikatakan bahwa setiap dokter umum seyogyanya dapatmenangg ulangi keadaan ini.q Penangulangan dan pengelolaan kasus darurat akibat kece-lakaan yang terbanyak adalah kasus bedah. Semakin hari ka-sus-kasus seperti ini semakin meningkat, sehingga semakinsering melibatkan dokter-dokter diperipheri. Jadi mau tidakmau dokter di daerah harus bertindak sebagai pos terdepan.q Keracunan anak sering terjadi pada umur satu sampai em-pat tahun, laki-laki lebih banyak dari wanita. Bahan yang se-ring diminum adalah : bahan rumah tangga yang toksik, obat-obatan dan makanan yang tercemar. Dikatakan pengobatansymtomatik dan suportif memegang peranan yang besar da-lam menanggulangi keadaanqTracheotomi untuk mengeluarkan benda asing dalamtrachea dan bronkhus merupakan tindakan yang dapat meno-long penderita dengan aspirasi benda asing dalam tracheaserta bronkhus, terutama di peripheri dimana fasilitas sertaketrampilan untuk tindakan bronkhoskopi masih belum mung-

Bersambung ke halaman.............. 7

46 Cermin Dunia Kedokteran No. 13. 1978